• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. praktik atau praktek. Mal berasal dari kata Yunani, yang berarti buruk. Praktik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. praktik atau praktek. Mal berasal dari kata Yunani, yang berarti buruk. Praktik"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Malpraktek (malapraktek) atau malpraktik terdiri dari suku kata mal dan praktik atau praktek. Mal berasal dari kata Yunani, yang berarti buruk. Praktik (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Purwadarminta, 1976) atau praktik (Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka kementrian Pendidikan Malaysia, 1971) berarti menjalankan perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan (profesi). Jadi, malpraktik berarti menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege artis, tidak tepat. Malpraktik tidak hanya terdapat dalam bidang kedokteran, tetapi juga dalam profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik, dan wartawan. Dengan demikian, malpraktik medik dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan seorang dokter atau tenaga medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran di lingkungan yang sama.1

Kelalaian tersebut tidak hanya berfokus kepada profesi dokter saja, akan tetapi berlaku juga untuk tenaga medis lainnya, dalam skripsi ini yang dibahas adalah bidan yang sebagai salah satu tenaga medis yang berprofesi.

1

Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Kedokteran EGC, Jakarta, 1999, halaman : 96

(2)

Perkembangan pendidikan kebidanan berjalan seiring dan selalu berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Dalam perkembangannya, selalu mengikuti tuntutan atau kebutuhan masyarakat di satu sisi, di sisi lain pun mengikuti sistem manajemen modern serta pelayanan yang semakin modern pula.2

Bidan merupakan suatu profesi dinamis yang harus mengikuti perkembangan era ini. Oleh karena itu bidan harus berpartisipasi mengembangkan diri mengikuti permainan global. Partisipasi ini dalam bentuk peran aktif bidan dalam meningkatkan kualitas pelayanan, pendidikan dan organisasi profesi.3

Defenisi bidan menurut Internasional Confederation Of Midwives (ICM) ke 27, bulan Juli 2005, yang diakui oleh Who dan Federation of Internasional Gynecologist obstetrition (FIGO), “ Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.4

Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan , asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas, memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi kepada ibu dan anak , dan akses

2

Dwiana Estiwidani dkk, Konsep Kebidanan, Fitrimaya, Yogyakarta, 2009, halaman :25.

3

Ibid, halaman : 61.

4

Heni Puji Wahyuningsih , Etika Profesi Kebidanan, Fitrimaya, Yogyakarta, 2008, halaman : 100-101.

(3)

bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawatan daruratan.

Bidan mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan, tidak hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas pada kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi.

Bidan dapat praktik di berbagai tatanan pelayanan, termasuk di rumah, masyarakat, rumah sakit, klinik atau unit kesehatan lainnya. IBI menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.5

Mengingat besarnya tanggung jawab dan beban kerja bidan dalam melayani masyarakat, pemerintah bersama dengan IBI telah mengupayakan pendidikan bagi bidan agar dapat menghasilkan lulusan yang mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan dapat berperan sebagai tenaga kesehatan professional.6

Permasalahan yang dihadapi saat ini ialah semakin banyaknya bidan memiliki izin untuk melakukan kegiatan medis dengan begitu mudahnya, sehingga memungkinkannya muncul bidan-bidan yang tidak berkompeten dan dalam skripsi ini dibahas mengenai malpraktik yang terjadi akibat dari

5

Ibid, halaman : 101.

6

(4)

bidan yang tidak berkompeten tersebut. Penulis tertarik untuk membahas dari segi malpraktik dan hukum terhadap rumusan-rumusan masalah yang akan dibahas.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang akan saya bahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU kesehatan No.36 tahun 2009 dan KUHP.

2. Bagaimana faktor penyebab terjadinya tindak pidana malpraktek. 3. Bagaimana penerapan kebijakan hukum mengenai tindak pidana dalam

kasus malpraktek.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal diatas yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaiamana pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU kesehatan No.36 tahun 2009 dan KUHP.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana malpraktek. 3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan kebijakan hukum mengenai

tindak pidana dalam kasus malpraktek.

Selanjutnya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat sebagai berikut : 1. Manfaat secara teoritis

(5)

a. Menambah wawasan dan pengetahuan terhadap tindak pidana malpraktek yang dapat ditinjau dari segi medis dan kedokteran serta pertanggungjawaban terhadap tindak pidana malpraktik. b. Memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang tindak pidana

malpraktik, kategori-kategori dikatakan sebagai tindak pidana malpraktik dan bagaiman pertanggungjawabannya khususnya di bidang kebidanan.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai pedoman bagi mahasiswa, tenaga medis dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat mengenai tindak pidana malpraktik dan kategori-kategori tindak pidana malpraktik serta pertanggungjawaban tindak pidana malpraktik khususnya dibidang kebidanan.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang diketahui dan dicermati oleh penulis, di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Analisis

Putusan Sanksi Pidana Malpraktek yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung) belum pernah dilakukan sebelumnya

namun penulisan tentang malpraktek sudah ada sebelumnya , perbedaannya terletak kepada kebijakan penanggulangan malpraktek. Penulisan mengenai

(6)

malpraktek membahas mengenai upaya-upaya pencegahan malpraktek dan kendala-kendala dalam menentukan malpraktek, sedangkan dalam skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban dan kebijakan hukum dalam malpraktek. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan di Perpustakaan Departemen Hukum Pidana, dan tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli. Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian tindak pidana malpraktek.

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam

(7)

upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.7

Tindak pidana seringkali disebut sebagai peristiwa pidana. Menurut hukum positif, demikian Pompe, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan nalaten (pengabaian; tidak berbuat; berbuat pasif) biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta, yang disebut gedragstype itulah disebut uraian delik.8

Adapun defenisi malpraktik medik pada intinya mengandung salah satu unsur berikut.9

1. Dokter atau tenaga medis kurang menguasai ilmu pengetahuan medis dan keterampilan yang sudah berlaku umum di kalangan profesi medis. 2. Dokter dan tenaga medis memberikan pelayanan medik di bawah

standar (tidak lege artis).

3. Dokter dan tenaga medis melakukan kelalaian berat atau kurang hati-hati, yang dapat mencakup :

a. Tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan, atau

b. Melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.

7

Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana ,USU Pers, Medan, 2010, halaman : 74.

8

H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta , 2007, halaman : 226.

9

(8)

4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.

Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai malpraktik, seperti salah diagnosis atau terlambat diagnosis karena kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi yang sudah ketinggalan zaman, kesalaha teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis obat, salah metode tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan pasien, kegagalan komunikasi, dan kegagalan peralatan.

Malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter atau tenaga medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian di sini ialah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.

2. Pelaku-pelaku tindak pidana malpraktek.

Pelaku-pelaku tindak pidana malpraktek medik ialah para tenaga medis yang dalam penulisan skripsi ini adalah bidan. Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinnya. Pelayanan

(9)

kebidanan berada di mana-mana dan kapan saja selama ada proses reproduksi manusia.

Ada beberapa pengertian tentang bidan. Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa bidan adalah profesi yang khusus, dinyatakan suatu pengertian bahwa bidan adalah orang pertama yang melakukan penyelamat kelahiran sehingga ibu dan bayinya lahir dengan selamat. Tugas yang diemban oleh bidan, berguna untuk kesejahteraan manusia.

Bidan juga dinamakan midwife atau pendamping isteri. Kata bidan berasal dari bahasa Sansekerta “Wirdhan” yang artinya “Wanita Bijaksana”.10

Bidan sebagai profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Mengembangkan pelayanan yang unik kepada masyarakat.

2. Anggota-anggotanya dipersiapkan melalui suatu program pendidikan, yang ditujukan untuk maksud profesi yang bersangkutan.

3. Memiliki serangkaian pengetahuan ilmiah.

4. Anggota-anggotanya menjalankan tugas profesinya sesuai dengan kode etik yang berlaku.

5. Anggota-anggotanya bebas mengambil keputusan dalam menjalankan profesinya.

6. Anggota-anggotanya wajar menerima imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.

7. Memiliki suatu organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh anggotanya.

10

(10)

I. Arti dan Ciri Jabatan Profesional

Secara populer seseorang pekerja dibidang apapun sering diberi predikat profesional dalam bahasa keseharian tersebut adalah seorang pekerja yang terampil atau cakap dalam kerjanya, biarpun ketrampilan atau kecakapan tersebut produk dari fungsi minat dan belajar dari kebiasaan.

Pengertian jabatan profesional perlu dibedakan dari jenis pekerjaan yang menuntut dan dapat dipenuhi lewat pembiasaan melakukan ketrampilan tertentu (magang, keterlibatan langsung dalam situasi kerja di lingkungannya, dan ketrampilan kerja sebagai warisan orang tuanya atau pendahulunya). Seseorang pekerja profesional perlu dibedakan dari seorang teknisi keduanya (pekerja profesional dan teknisi) dapat saja terampil dalam unjuk kerja yang sama (misalnya : menguasai teknik kerja yang sama dapat memcahkan masalah-masalah teknis dalam bidang kerjanya), tetapi seorang pekerja profesional dituntut menguasai visi yang mendasari ketrampilannya. Dari kesimpulan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa bidan tergolong jabatan profesional karena memnuhi ketiga macam persyaratan di atas.

Secara lebih rinci, ciri-ciri jabatan profesional tersebut adalah sebagai berikut (termasuk bidan).11

1. Bagi pelakunya secara nyata (defacto) dituntut berkecakapan kerja (keahlian) sesuai dengan tugas-tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya (cenderungke spesialisasi).

11

(11)

2. Kecakapan atau keahlian seseorang pekerja profesional bukan sekedar hasil pembiasaan atau latihan rutin yang terkondisi, tetapi perlu didasari oleh wawasan keilmuan yang mantap. Jabatan yang terprogram secara relevan serta berbobot, terselanggara secara efektif-efesien, dan tolok ukur evaluatifnya terstandar.

3. Pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas, sehingga pilihan jabatan serta kerjanya didasari oleh kerangka nilai tertentu, bersikap positif terhadap jabatan dan perannya, dan bermotivasi serta berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya. Hal ini mendorong pekerja profesional yang bersangkutan untuk selalu meningkatkan (menyempurnakan) diri serta karyanya. Orang tersebut secara nyata mencintai profesinya dan memiliki etos kerja yang tinggi.

4. Jabatan profesional perlu mendapat pengesahan dari masyarakat dan atau negaranya. Jabatan profesional memiliki syarat-syarat serta kode etik yang harus dipenuhi oleh pelakunya, hal ini menjamin kepantasan berkarya dan sekaligus merupakan tanggung jawab sosial pekerja profesional tersebut.

Sehubungan dengan profesionalisme jabatan bidan, perlu dibahas bahwa bidan jabatan profesional. Jabatan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional. Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas ada dan diatur berjenjang dalam suatu organisasi, sedangkan jabatan fungsional adalah jabatan yang ditinjau serta dihargai dari aspek fungsinya yang vital dalam kehidupan masyarakat dan negara. Selain fungsi dan perannya yang vital dalam kehidupan masyarakat jabatan fungsional juga berorientasi kualitatif.

(12)

Dalam konteks inilah jabatan bidan adalah jabatan fungsional profesional, dan wajarlah apabila bidan tersebut mendapat tunjangan fungsional.

II. Bidan adalah Jabatan Profesional

Sesuai dengan uraian tersebut diatas, sudah jelas bahwa bidan adalah jabatan profesional. Persyaratan dari bidan sebagai jabatan profesional telah dimiliki oleh bidan tersebut. Persyaratan tersebut adalah :

1. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersidat khusus atau spesialis.

2. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga profesional.

3. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat.

4. Mempunyai kewenangan yang disyahkan atau diberikan oleh pemerintah.

5. Mempunyai peran dan fungsi yang jelas. 6. Mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur. 7. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah. 8. Memiliki kode etik bidan.

9. Memiliki etika kebidanan. 10. Memiliki standar kebidanan. 11. Memiliki standar praktek.

12. Memiliki standar pendidikan yang mendasar dan mengembangkan profesi sesuai dengan kebutuhan pelayanan.

(13)

13. Memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahan pengembangan kompetensi.

3. Pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek.

I. Kekhilafan dan pertanggungjawaban pidana

12

Menurut Bambang Poernomo, S.H. (Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dalam bukunya asas-asas hukum pidana, terbitan Ghalia Indonesia halaman 132 menyebutkan : “ Bahwa seseorang melakukan perbuatan bersifat melawan hukum, atau melakukan sesuatu perbuatan mencocoki dalam rumusan undang-undang pidana sebagai perbuatan pidana, belumlah berarti bahwa dia langsung dipidana. Dia mungkin dipidana, yang tergantung kepada kesalahannya.

Untuk dapat mempidana seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatana yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat bukti dengan keyakinan Hakim terhadap tertuduh yang dituntut.13

Dari pembatasan tersebut dapat dipahami dengan sederhana, bahwa untuk dapat mempidana seseorang harus berdasarkan atas dua hal, yaitu seseorang itu harus melakukan perbuatan yang melawan hukum dan seseorang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.

Pengetian perbuatan melawan hukum dalam konteks ilmu hukum pidana dalam bingkai legalitas adalah perbuatan pidana itu sendiri. Prof. Moeljatno, S.H. mengartikan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, barangsiapa melanggar larang tersebut.14

12

Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1978, halaman : 132.

13

Waluyadi , Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum

Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2005, halaman : 120.

14

(14)

Jadi kita berpedoman pada pengertian tentang perbuatan pidana sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Moeljatno tersebut di atas, yang kemudian kita hubungkan dengan ketentuan pasal 359 dan 360 KUHPidana yang menggunakan kalimat “Barangsiapa” dapat dikategorikan bahwa dokter dan tenaga medis dalam hal ini bidan telah melakukan perbuatan pidana. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah ia dapat dipertanggungjawabkan (dianggap bersalah).

Secara sederhana dapat disebutkan, bahwa mampu bertanggungjawab adalah ia ( seseorang itu) tidak masuk dalam kriteria seseorang yang apabila melakukan tindak pidana ada alasan untuk tidak dipidana.

Untuk memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang unsur dari kesalahan, berikut saya kutipkan pendapat dari beberapa ahli :

1. Menurut Jonkres bahwa secara garis besar kesalahan tersebut, dapat dibagi menjadi tiga bagian15 :

a. Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet schuld)

b. Meliputi juga sifat melawan hukum ( de wederrechtelijkheid) c. Dan kemampuan bertanggungjawab ( de teorekenbaarheid)

2. Menurut Pompe, pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakekatnya tidak mencegah (vermijdbaarheid) kelakuan yang bersifat melawan hukum ( der wederrechtelijke gedeaging). Kemudian dijelaskannya pula hukum hakekat tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum

15

(15)

(vermijdbaarheid der wederrechtelijke gesraging) di dalam perumusannya pada hukum positif di situ mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet en onachtzaamheid0 yang mengarah kepada sifat melawan hukum (wederrechtlijkheid) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekenbaarheid).16

3. Menurut Vos memandang kesalahan mempunyai tiga tanda khusus, yaitu :17

a. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekenigsvatbaarheid van de deader).

b. Hubungan bathn tertentu dari orang yang berbuat, yang perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.

c. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.

4. Menurut E.Mezger memandang bahwa pengertian kesalahan terdiri dari :

a. Kemampuan bertanggungjawab (zurechnungsfahingist)

b. Adanya bentuk kesalahan (Schuldform) yang berupa kesengajaan (Vorzate) dan Culpa (Fahrlassigkeit)

c. Tak ada alasan penghapus kesalahan (keinen Schuldausschiesungsgrunde).

II. Kemampuan Bertanggung jawab

16

Ibid, halaman : 135.

17

(16)

Dengan pemahaman yang relatif minimal, masyarakat awam sulit membedakan antara risiko medik dengan malpraktik. Hal ini berdasarkan bahwa suatu kesembuhan penyakit tidak semata berdasarkan tindakan petugas kesehatan, namun juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan dalam penatalaksanaan regiment therapeutic.

Kecenderungan masyarakat lebih melihat hasil pengobatan dan perawatan, padahal hasil dari pengobatan dan perawatan tidak dapat diprediksi secara pasti. Petugas kesehatan dalam praktiknya hanya memberikan jaminan proses yang sebaik mungkin (ispanningverbintenis), sama sekali tidak menjanjikan hasil (resultaatverbintenis). Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan malpratik. Menurut Paulus Yanuar disebutkan bahwa terdapat formula malpraktik (malpractice formula) bila terdapat tiga unsur utama malpraktik yaitu18 :

1. Terbukti terjadi pelanggaran standar pelayanan.

2. Terbukti pasien mengalami kerugian atau kerusakan setelah menjalani perawatan.

3. Terbutki ada hubungan sebab-akibat antara pelaksanaan praktik yang tidak sesuai standar dengan kerugian yang dialami pasien.

Dalam beberapa literatur untuk membuktikan terjadinya malpraktik haru memenuhi rumusan 4D :

a. Duty ; kewajiban

18

Ta’adi, Ns, Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawarat Profesional, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2009, halaman :63.

(17)

b. Dereliction of duty ; mentelantarkan kewajiban c. Damage ; rusaknya kesehatan seseorang / kecacatan

d. Direct causation between damage with dereliction of duty ; adanya hubungan langsung antara tindakan menelantarkan kewajiban dengan rusaknya kesehatan / kecacatan.

Belum ada jaminan bahwa, pelayanan kesehatan yang diberikan petugas dapat memberikan kepuasan. Pada saat tertentu pelayanan tersebut justru menimbulkan kerugian besar pada pasien (cacat,mati). Kerugian tersebut merupakan risiko para pihak (salah satunya sebagai pemberi pelayanan).

Di dalam KUHPidana tidak menyebutkan secara tersurat maupun tersirat mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pengertian mampu bertanggung jawab. Pengertian tentang itu, dapat kita temukan dalam ilmu pengetahuan tentang hukum yang diungkapkan oleh para sarjana.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban tindak pidana malpraktik , selain itu juga bahan-bahan tulisan berkaitan dengan persoalan ini.

(18)

Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang diadaptasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan yang khusus yang mengatur tentang kesehatan, UU No.36 tahun 2009, dan KEPMENKES RI No.900/MENKES/SK/VII/2002.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, Koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research (studi kepustakaan). Metode Library Research yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skrispsi ini.

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan, kemudian diorganisasi dalam satu pola, kategori dan satu uraian dasar. Analisa

(19)

data dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara kualitatif yaitu menganalisa secara lengkap dan kompeherensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari lima bab dan sub-sub bab yang diuraikan sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, , perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.

BAB. II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK

PIDANA MALPRAKTIK.

Bab ini berisi aturan hukum tindak pidana malpraktik dalam KUHP dan UU No.36 Tahun 2009 dan undang-undang atau aturan lain yang mengatur tentang tindak pidana malpraktik, etika profesi kebidanan.

BAB. III FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA

MALPRAKTIK

(20)

BAB. IV PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA MALPRAKTIK.

Pada bab ini akan dibahas mengenai kebijakan hukum penal dan non penal terhadap tindak pidana malpraktik ditinjau dari Putusan MA No.2101 K/Pid.Sus/2010).

BAB. V PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi keseimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi.

Referensi

Dokumen terkait

c. pengembangan sistem informasi yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan. 3) LKPP menetapkan standar layanan, kapasitas, dan keamanan informasi SPSE dan sistem pendukung. 4)

Perencanaan Strategis SI/TI Dengan Metode SWOT dan BSC Di Universitas XYZ bertujuan untuk dapat memberikan gambaran dan rekomendasi mengenai kondisi bisnis dan SI/TI internal

Terjadinya sengketa mengenai hak cipta karena adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun

Hasil pengukuran pada tabel 4.5 dengan rangkaian setengah gelombang menggunakan beban R diperoleh hasil tegangan masukan dilihat pada pengukuran pada osiloskop

 Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus diberikan atau disediakan oleh pemerintah daerah

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Nikmat, Karunia serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun Skripsi dengan

Tugas Akhir yang dibahas adalah Identifikasi Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan (SML ISO 14001) pada Proyek Konstruksi di Kota Medan1. Selama penyusunan laporan tugas

Tingkat pengetahuan ibu hamil berdasarkan definisi kebudayaan, terutama pada pertanyaan tentang kehamilan merupakan proses alamiah sebagai kodratnya sebagai perempuan,