• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otonomi berasal dari kata autonomos atau autonomia (yunani) yang berarti “keputusan sendiri” (self ruling). Otonomi mengandung pengertian kondisi atau ciri untuk tidak dikontrol oleh pihak lain atau kekuatan luar atau bentuk pemerintahan sendiri, yaitu hak untuk memerintah dan menentukan nasibnya sendiri. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 pasal 1 angka 5, Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini pemerintah memberikan hak, wewenang dan kewajiban kepada masing-masing daerah untuk mampu mengelola apa yang dimiliki oleh daerah tersebut untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Adapun prinsip dari otonomi daerah adalah pemerintahan daerah yang diberi wewenang untuk mengelola daerahnya sendiri. Hanya saja ada beberapa bidang yang tetap ditangani pemerintah pusat, yaitu agama, peradilan, pertahanan, dan keamanan moneter/fiscal, politik luar negeri dan dalam negeri serta sejumlah kewenangan bidang lain (perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi Negara dan lembaga perekonomian Negara, pembinaan sumber daya manusia, pemanfaatan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, dan konversi serta standarisasi nasional).

(2)

2

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah telah diatur mengenai pelaksanaan sistem desentralisasi di negara Indonesia, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk melakukan serangkaian proses, mekanisme dan tahap perencanaan yang dapat menjamin keselarasan pembangunan (Thomas, 2013). Pada masa orde baru secara substansial pembangunan desa cenderung dilakukan secara seragam (penyeragaman) oleh pemerintah pusat. Program pembangunan desa lebih bersifat top-down. Pada era reformasi secara substansial pembangunan desa lebih cenderung diserahkan kepada desa itu sendiri. Sedangkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah cenderung mengambil posisi dan peran sebagai fasilitator, memberi bantuan dana, pembinaan dan pengawasan. Telah banyak program pengentasan kemiskinan yang dilakukan diantaranya Program Inpres Desa Tertinggal dan Bantuan Masyarakat Tertinggal. Program pembangunan desa lebih bersifat bottom-up atau kombinasi buttom-up dan top-down.

Proses desentralisasi yang telah berlangsung telah memberikan penyadaran tentang pentingnya kemandirian daerah yang bertumpu pada pemberdayaan potensi lokal. Meskipun pada saat ini kebijakan yang ada masih menitikberatkan otonomi pada tingkat Kabupaten/Kota. Namun secara esensi sebenarnya kemandirian tersebut harus dinilai dari level pemerintahan ditingkat paling bawah, yaitu desa. Pemerintah desa diyakini mampu melihat prioritas kebutuhan masyarakat dibandingkan Pemerintah Kabupaten yang secara nyata memiliki ruang lingkup permasalahan lebih luas dan rumit. Untuk itu, pembangunan pedesaan yang dilaksanakan harus sesuai dengan

(3)

3

masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki, aspirasi masyarakat dan prioritas pembangunan pedesaan yang telah ditetapkan. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa.

Pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan daerahnya. Salah satu bentuk kepedulian pemerintah terhadap pengembangan wilayah pedesaan adalah pemerintah mengalokasikan Dana Desa dalam anggaran pendapatan dan belanja negara setiap tahun anggaran yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota untuk pembangunan wilayah pedesaan, yakni dalam bentuk Alokasi Dana Desa (ADD). Inilah yang kemudian melahirkan suatu proses baru tentang desentralisasi desa diawali dengan digulirkannya Alokasi Dana Desa (ADD). Alokasi Dana Desa (ADD) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) setelah dikurangi dana alokasi khusus.

Undang-Undang NO.72 Tahun 2005 menjelaskan mengenai desa, bahwa desa merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang bertempat tinggal didesa diperlukan pendapatan desa agar tujuan dalam pembangunan dan pemberdayaan desa dapat tercapai. Salah satu sumber

(4)

4

pendapatan desa yang telah diatur dalam Undang-Undang Desa adalah Alokasi Dana Desa. Rosalinda (2014) berpendapat bahwa Pemerintah desa diyakini lebih mampu melihat prioritas kebutuhan masyarakat dibandingkan Pemerintah Kabupaten yang secara nyata memiliki ruang lingkup permasalahan lebih luas dan rumit. Untuk itu, pembangunan pedesaan yang dilaksanakan harus sesuai dengan masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki, aspirasi masyarakat dan prioritas pembangunan pedesaan yang telah ditetapkan.

Dengan bergulirnya dana–dana perimbangan tersebut melalui Alokasi Dana Desa (ADD) harus menjadikan desa benar–benar sejahtera. Namun untuk persoalan Alokasi Dana Desa (ADD) saja, meski telah diwajibkan untuk dianggarkan di pos APBD, namun lebih banyak daerah yang belum melakukannya. Untuk itu, seharusnya proses transformasi kearah pemberdayaan desa harus terus dilaksanakan dan didorong oleh semua elemen untuk menuju Otonomi Desa. Daerah/Desa dalam melaksanakan hak, kewenangan serta kewajibannya dalam mengelola kemampuan dan potensi yang dimiliki dituntut untuk dilakukan secara transparansi dan memiliki akuntanbiltas yang tinggi.

Menurut Penny Kusumastuti (2014;2) akuntabilitas merupakan bentuk kewajiban penyedia penyelenggaraan kegiatan publik untuk dapat menjelaskan dan menjawab segala hal kenyangkut langkah dari seluuruh keputusan dan proses yang dilakukan serta pertanggungjawaban terhadap hasil dan kinerja. Sedangkan menurut Abdul Halim (2012:20) menyatakan bahwa akuntabilitas dalam arti luas merupakan kewajiban untuk memberikan

(5)

5

pertanggung jawaban serta menerangkan kinerja dan tindakan seseorang, badan hukum atau pimpinan organisasi kepada pihak yang lain yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban dan keterangan.

Waluyo (2013) juga memberikan pendapat bahwa akuntabilitas merupakan pemberian informasi keuangan kepada masyarakat dan pengguna lainnya sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktifitas yang dilakukan, bukan hanya laporan keuangan saja namun harus memberikan informasi dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial dan politik. Selain itu akuntabilitas adalah upaya pemerintah dalam menciptakan penyelenggaraan pemeritahan kearah yang lebih baik dengan berlandaskan good governance.

Menurut Rochman (2009:276) Governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan non negara dalam satu usaha kolektif. Sedangkan menurut Sedarmayanti (2009:273), Good Governance sebagai penyelenggaraan manajemen pembangunan solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi secara politik dan administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta pendiptaan kerangka kerja politik dan hukum bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.

Menurut Solekhan (2012) Good Governance merupakan penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga keseimbangan sinergitas konstruktif

(6)

6

antara domain negara, sektor swasta, dan masyarakat. Adapun prinsip yang harus di perhatikan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa ada 3, diantaranya :

1) Partisipasi, artinya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan desa seharusnya pemerintah melibatkan seluruh elemen masyarakat, pemerintah desa seharusnya memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan tiga hal yaitu : bersuara, akses dan kontrol dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan desa.

2) Transparansi artinya, proses penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan harus tranparansi sehingga bisa diketahui oleh seluruh masyarakat.

3) Akuntabilitas artinya, setiap langkah dan proses penyelenggaraan pemerintahn desa seharusnya bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, baik secara hukum, politis, transparan dan akuntabel.

Akuntabilitas diharapkan dapat memperbaiki kualitas serta kinerja dari instansi pemerintah agar menjadi pemerintahan yang transparan dan berorientasi pada kepentingan publik. Adapun konsep dari akuntabilitas didasarkan pada individu-individu atau kelompok jabatan dalam tiap klasifikasi jabatan bertanggungjawab pada kegiatan yang dilakukannya. Akuntabilitas dalam pemerintah desa menurut sumpeno (2011;222) melibatkan kemampuan pemerintah desa untuk mempertanggungjawabkan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitannya dengan masalah pembangunan dan pemerintahan desa. Pertanggungjawaban yang dimaksud menyangkut masalah finansial yang terdapat dalam APBDes dengan Alokasi Dana Desa

(7)

7

sebagai salah satu komponen didalamnya. Fungsi akuntabilitas lebih luas bukan hanya sekedar ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang belaku. Akan tetapi, fungsi akuntabilitas tetap memperhatikan penggunaan sumber daya secara bijaksana, efisien, efektif, dan ekonomis. Penyelenggaraan pemerintahan maupun penyelenggaraan perusahaan harus menekankan tujuan utama dari akuntabilitas, agar setiap pengelola atau manajemen dapat meyampaikan akuntabilitas keuangan dengan membuat laporan keuangan.

Kabupaten Blitar merupakan salah satu daerah otonom yang ada di Jawa Timur yang telah melaksanakan prinsip-prinsip otonomi daerah dengan berusaha mengoptimalkan potensi desa demi terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan transparan. Pedoman alokasi dana desa tertera dalam Perbup No.8 Tahun 2016 menjelaskan Tentang tatacara pengalokasian dan penetapan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah (APBD) Kabupaten Blitar Tahun Anggaran 2016. Ketentuan penting yang harus dipatuhi oleh setiap desa penerima Alokasi Dana Desa adalah memasukkan Alokasi Dana Desa tersebut ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Keberhasilan Akuntabilitas Alokasi Dana Desa (ADD) sangat dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Namun di dalam pelaksanaannya tergantung bagaimana pemerintah melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pengelolaan ADD dalam mendukung keberhasilan program (Arifiyanto, 2014).

(8)

8

Alokasi Dana Desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pengelolaan keuangan negara. Sistem pengelolaan dana desa yang dikelola oleh pemerintah Desa termasuk didalamnya mekanisme penghimpunan dan pertanggungjawaban merujuk pada Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, pedoman umum tata cara pelaporan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan Desa yang tertera didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No.35 Tahun 2007, pedoman pengelolaan keuangan Desa didalam pedoman Peraturan Menteri Dalam Negeri No.37 Tahun 2007. Pengelolaan Alokasi Dana Desa dibagi menjadi pos pembiayaan besar yaitu 30% dialokasikan untuk membiayai kegiatan operasional penyelenggaraan pemerintah Desa dan 70% dialokasikan untuk membiayai pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Bupati No.8 Tahun 2016, kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Kabupaten Blitar dalam mendistribusikan dana ADD dengan asas merata dan adil. Alokasi dana desa Minimal yang selanjutnya disingkat ADDM adalah bagian dari ADD yang dialokasikan kepada Desa dengan besarannya sama setiap Desa. Alokasi Dana Desa Proporsional yang selanjutnya disingkat ADDP merupakan bagian dari Alokasi Dana Desa yang dialokasikan kepada Desa dengan besaran sesuai dengan hasil penghitungan atas variabel-variabel yang ditetapkan. Variabel-variabel yang ditetapkan sebagai berikut: Variabel potensi desa, Variabel-variabel tingkat kemiskinan, dan variabel tingkat pendidikan.

(9)

9

Berdasarkan penelitiannya Siti (2016) di Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi memfokuskan pada sistem akuntabilitas, yang merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan dana publik oleh pemerintah yang dilakukan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, serta pengawasan terhadap pengelolaan Alokasi Dana Desa. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahap perencanaan dan pelaksanaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan pengelolaannya telah dilakukan secara akuntabel dan transparan. Untuk tahap pengawasan masih belum berjalan dengan baik karena kurangnya transparansi terhadap masyarakat. Sedangkan untuk tahap pertanggungjawaban juga belum berjalan dengan baik dikarenakan Sumber Daya Manusia selaku sebagai tim pelaksana dalam membuat laporan administrasi yang masih kurang, sehingga diperlukan adanya pembinaan dan pengawasan yang lebih dari pemerintah daerah.

Sedangkan menurut Thomas (2013) dalam penelitiannya di Desa Sebawang Kecamatan Sesayap Kabupaten Tana Tidung menjelaskan tentang Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam upaya meningkatkan pembangunan. Namun dalam pengelolaan ADD di Desa Sebawang mengalami kendala yang dikarenakan rendahnya kualitas SDM yang mengelola ADD serta belum sesuainya pengelolaan yang dilakukan oleh Pemerintah Desa terhadap peraturan Bupati Tana Tidung. Dan menurut Taufik (2015) dalam penelitianya di Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo menjelaskan bahwa sistem Akuntabilitas perencanaan dan pelaksanaan telah menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Pertanggungjawaban Alokasi Dana

(10)

10

Desa (ADD) baik secara teknisn maupun administrasi sudah baik, namun harus tetap mendapat atau diberikan bimbingan dari pemerintah kecamatan.

Sedangkan penelitian ini dilakukan di Desa Wonotirto Kecamatan Wonotirto Kabupaten Blitar yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Blitar. Kecamatan ini masih banyak membutuhkan sarana dan prasarana fisik dalam menunjang kesejahteraan masyarakat Desa dan untuk melaksanakan pembangunan tersebut membutuhkan banyak biaya.

Wonotirto merupakan salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten Blitar dan memilik 8 desa. Salah satunya adalah Desa Wonotirto merupakan desa yang memiliki Alokasi Dana Desa paling Rendah dibandingkan dengan 7 desa lainnya yaitu sebesar Rp. 499.935.000 di Tahun 2015 sedangkan pada Tahun 2016 Desa Wonotirto mengalami kenaikan ADD sebesar Rp. 562.935.000. Dengan diterimanya Alokasi Dana Desa paling Rendah, walau dana yang diterima Rendah akan tetapi pertanggungjawaban atas dana yang dikelola tinggi agar pengelolaan dana tersebut dapat diterima oleh publik, maka peneliti melakukan penelitian di Desa Wonotirto dengan fokus terhadap bentuk dan sistem Akuntabilitas Pengelolaan Alokasi Dana Desa yang tahun anggaran 2016.

Menurut Subroto (2009) dalam penelitiannya di Kecamatan Tlogomulyo Kabupaten Temanggung menjelaskan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban program Alokasi Dana Desa sesuai dengan konsep yang menerapkan prinsip partisipatif, responsif, transparansi. Walaupun penerapan prinsip akuntabilitas pada tahap pelaksanaan masih sebatas pertanggungjawaban fisik, sedangkan sisi administrasi masih belum

(11)

11

sepenuhnya dilakukan dengan sempurna dan pertanggungjawaban administrasi keuangan kompetensi sumber daya manusia pengelola merupakan kendala utama, sehingga masih memerlukan pendampingan dari aparat Pemerintah Daerah guna penyesuaian perubahan aturan setiap tahun.

Sedangkan Menurut Risti dan Djoko (2015) dalam penelitiannya di Desa Dasri Kecamatan Tegalasri Kabupaten Banyuwangi tentang Akuntabilitas Pengelolaan Dan Pemanfaatan Alokasi Dana Desa Dalam Proses Pembangunan dan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tahap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban pengelolaan Alokasi Dana Desa sudah menerapkan prinsip akuntabel dengan indikator partisipatif, transparan dan responsif sesuai dengan pedoman yang berlaku. Dan menurut Aisyah (2016) dalam penelitiannya di Desa Tunjungtirto Kecamatan Singosari Kabupaten Malang tentang Analisis Pengelolaan dan Penyajian Laporan Keuangan Dana Desa atas penerapan UU No.6 Tahun 2014 Tentang Desa dan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pengelolaan Keuangan Desa sudah menggunakan sistem Transparan, Akuntabel, Partisipatif serta tertib dan disiplib anggaran. Dalam hal pelaporan Dana Desa, telah menerapkan asas Transparasi dan Akuntabel. Namun, kendala yang dialami Pemerintah Desa tunjungtirto antara lain faktor Internal.

Didalam pengelolaan Alokasi Dana Desa diperlukan pengawasan ketat baik itu secara operasional dan pengawasan teknis agar tidak terjadi penyimpangan dalam mengelola Alokasi Dana Desa. Tahap evaluasi dilakukan untuk menilai dan mengukur kinerja Pemerintah Desa apakah sudah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan baik kegiatan operasional

(12)

12

Pemerintah Desa dan pemberdayaan masyarakat. Semua bentuk pengawasan dan evaluasi memiliki peran penting dalam pengelolaan alokasi dana desa di pemerintah desa bertujuan untuk menerapkan prinsip akuntabilitas yang dapat dicerminkan melalui prinip transparan, partisipatif dan responsif agar menciptakan kondisi good governance di Pemerintah Desa.

Penelitian ini akan menganalisi Akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa yang terletak di Desa Wonotirto Kecamatan Wonotirto Kabupaten Blitar.

1.2. Rumusan dan Batasan Masalah 1.2.1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sistem Akuntabilitas Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan dan Pertanggungjawaban mengenai Alokasi Dana Desa di Desa Wonotirto Kecamatan Wonotirto Blitar?

1.2.2. Batasan Masalah

Batasan ini dilakukan agar peneliti tidak menyimpang dari arah dan tujuan serta dapat diketahui sejauh mana hasil penelitian dapat dimanfaatkan. Penelitian ini dibatasi pada sistem Akuntabilitas Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pertanggungjawaban mengenai Alokasi Dana Desa di Desa Wonotirto Kecamatn Wonotirto Blitar.

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan dan menganalisis sistem Akuntabilitas Perencanaan,

(13)

13

Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pertanggungjawaban mengenai Alokasi Dana Desa di Desa Wonotirto Kecamatan Wonotiro Blitar.

1.4. Manfaat Penelitian

Peneliian ini dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihan antara lain:

1.4.1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil peneliti ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi peneliti mengenai Akuntansi Sektor Publik terutama pada akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa.

1.4.2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil Peneliti ini diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan bagi kemajuan akademisi dan dapat dijadikn acuan atau referensi bagi peneliti selanjutnya.

1.4.3. Bagi Instansi yang Bersangkutan.

Bisa menjadi masukan terhadap pemerintah Kabupaten Blitar khususnya Desa Wonotirto Kecamatan Wonotirto dalam meningkatkan akuntabilitas pengelolaan Alokasi Dana Desa.

Referensi

Dokumen terkait

Di tahun 2019, Komite Audit KDM telah melakukan rapat gabungan dengan Dewan Komisaris dan Direksi. Informasi mengenai frekuensi rapat gabungan yang dihadiri oleh Komite Audit

c. pengembangan sistem informasi yang dibutuhkan oleh pemangku kepentingan. 3) LKPP menetapkan standar layanan, kapasitas, dan keamanan informasi SPSE dan sistem pendukung. 4)

Perencanaan Strategis SI/TI Dengan Metode SWOT dan BSC Di Universitas XYZ bertujuan untuk dapat memberikan gambaran dan rekomendasi mengenai kondisi bisnis dan SI/TI internal

Basis data (database) merupakan kumpulan dari data yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tersimpan di perangkat keras komputer dan digunakan

usaha kecil.. zakat, infak dan shadaqah kepada masyarakat; kedua yaitu menerima dan menyalurkan dana yang dihimpun dari masyarakat atau pihak ketiga dengan untuk

dalam mengolah bentuk bangunan dan penataan ruang-ruangnya, sehingga diharapkan mampu memunculkan site yang mendukung perancangan Pusat Volkswagen Yogyakarta, konsep dasar

Mendukung pencapaian Visi dan Misi Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan Agenda Pembangunan dan Arahan (Strategi) Presiden dan Wakil Presiden, Sekretariat Kabinet

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Terdapat jaminan seperti