HUBUNGAN ANTARA MOTIF BERAFILIASI DENGAN GAYA HIDUP
METROSEKSUAL
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana SI Psikologi
C ISLAM £
a. > z oleh: ASTI WULANDARI 01320147 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM INDONESIAYOGYAKARTA 2006
HALAMAN PENGESAHAN
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi Fakultas
Psikologi Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi
Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana S-l Psikologi
Pada Tanggal
1* FEB 2006
Dewan Penguji
1. Yulianti Dwi Astuti, S.Psi
2. Muh. Bachtiar, Drs. H., MM 3. Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si
Mengesahkan,
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia Dekan
Sukarti, Dr
Tanda Tanrfan,
HALAMAN PERNYATAAN
Bersama ini saya menyatakan bahwa selama melakukan penelitian ini dan
dalam membuat laporan penelitian, tidak melanggar etika akademik seperti
penjiplakan, pemalsuan data dan memanipulasi data. Apabila dikemudian hari saya
terbukti melanggar etika akademik, maka saya sanggup menerima konsekwensi berupa pencabutan geiar keserjanaan yang telah saya peroleh.
Yang Menyatakan, Februari 2006
HALAMAN PERSEMBAHAN
Segala Puji bagi Allah SWT, atas Rahmat-NYA
Karyayang sederhana inipenulispersemhahkan
Dengan setulus hati dan penuh cinta kepada orang-orang yang dekat di hati
Bapak dan Ibu Bpk Adji Sasmita dan Ibu Tatik Trisnowati
Atas segala Do 'a, kasih sayang, perjuangan, pengorhanan dan semangat
yang takpernah akan terbalaskan oleh apapun...
Adikku
Yudha Yudhistira Atas semangat, keceriaan dan canda tawanya...
HALAMAN MOTTO
'* - i ' * % ' - * * t~- _ *->
EqpUy_iaj<i <S>.b^=>3!iM>(UjW^jU L^' ty&M
Artinya :
"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
PRAKATA
Assalamu'alaikum. Wr. Wb
Alhamdulillah Ya Allah. Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, atas petunjuk,
bimbingan dan pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah semata-mata berkat
rahmat Allah SWT yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Penulis menyadari keberhasilan dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas
dari beberapa pihak yang telah memberikan bantuan berupa do'a, bimbingan,
petunjuk maupun data yang dibutuhkan mulai dari persiapan, tempat, dan
pelaksanaan penelitian hingga tersusunnya skripsi ini. Untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu. Sukarti, Dr., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
beserta seluruh jajarannya yang telah banyak memberikan ilmu yang sangat
berharga bagi penulis.
2. Ibu Yulianti Dwi Astuti, S.Psi., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan
waktu, untuk membimbing serta memberikan petunjuk, semangat dan harapan bagi
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
3. Seluruh Dosen Pengajar Psikologi Universitas Islam Indonesia yang telah
memberikan begitu banyak ilmu yang sangat berharga selama masa studi penulis,
sehingga dapat menjadi bekal yang berguna bagi penulis.
4. Bapak Irwan Nuryana Kurniawan, S.Psi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing
Akademik dan Kepala Biro Skripsi yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Staff Tata Usaha Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia yang
telah membantu memperlancar proses administrasi selama pengerjaan skripsi.
6. Ayahanda tercinta atas segala perjuangan dan pengorbanan yang tak pernah
terbalaskan oleh apapun. Semangat Beiiau memberikan contoh teladan bagi penulis
untuk tetap bangkit melewati semua tantangan.
7. Ibunda tersayang yang selalu menyertai penulis dalam setiap do'a dan langkah.
Tiada kata yang sanggup melukiskan betapa penulis sangat menyayangi ibu.
8. Adikku satu-satunya Yudha Yudhistira, terimakasih atas tawa dan keceriaan yang
mengiringi hari-hari penulis serta semangat yang diberikan menambah semangat
penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini
9. Edwin Wahyudi, atas semangat yang diberikan, pengertian, pengorbanan,
bantuannya dalam pengambilan data.
10. Mba' Mus atas kesabarannya, dukungan yang tiada henti-hentinya memberikan
semangat kepada peneliti selama berada di Jakarta.
11. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Psikologi UII angkatan 2001 yang telah menghabiskan waktu bersama di kampus tercinta ini.
12. Sahabat kecilku Astri, Neli yang telah memberikan penulis banyak pelajaran
dalam mengarungi hidup ini.
13. Teman-teman kos Carona, Nana, Nita, Rini, Yuli, hari-hari bersama kalian
menjadi kenangan yang tak terlupakan.
14. Ina, Diah, Mya, Ayuk yang telah banyak membantu memberikan semangat dan
dukungan pada penulis.
15. Teman-teman KKN unit 17 tahun 2004 Susan, Chandra, Rahman, Arif, Fatur,
Andi, Hengki, Mba' aini, Wahyu, Fitri, Umar, terimakasih atas kerjasamanya.
16. Semua pihak yang telah membantu penelitian ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Wassalamu'alaikum Wr.Wb
Yogyakarta, Februari 2006
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL j HALAMAN PENGESAHAN n HALAMAN PERNYATAAN ni
HALAMAN PERSEMBAHAN
jv
HALAMAN MOTTO
v
PRAKATA
vj
DAFTAR ISI
jx
DAFTAR TABEL
xj
DAFTAR LAMPIRAN
xjj
INTISARI
xiii
BAB I
PENGANTAR
1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Tujuan Penelitian
7
C. Manfaat Penelitian
7
D. Keaslian Penelitian
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
n
A. Gaya Hidup
^
1. Pengertian Gaya Hidup
H
2. Gaya Hidup Metroseksual
14
3. Ciri-ciri Gaya Hidup Metroseksual
17
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup
18
B. Motif Berafiliasi 21
1. Pengertian Motif 21
2. Pengertian Motif Berafiliasi 24
3. Aspek-aspek Motif Berafiliasi 25
C. Hubungan Antara Motif Berafiliasi dengan Gaya Hidup
Metroseksual 26
D. Hipotesis Penelitian
30
BAB III METODE PENELITIAN
31
A. Identifikasi Variabel Penelitian
31
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
31
C. Subyek Penelitian
33
D. Metode Pengumpulan Data
33
E. Validitasdan Reliabilitas Alat Ukur
35
F. Metode Analisis Data
37
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
38
A. Orientasi Kancah dan Persiapan
38
B. Pelaksanaan Penelitian
45
C. Hasil Penelitian
46
D. Pembahasan
4g
BAB V PENUTUP
58
A. Kesimpulan
58
B. Saran
58
DAFTAR PUSTAKA
5g
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Blue Print Skala Gaya Hidup Metroseksual 34
Tabel 2. Blue Print Skala Motif Berafiliasi 35
Tabel 3. Distribusi Butir Skala Gaya Hidup Metroseksual 43
Tabel 4. Distribusi Butir Skala Motif Berafiliasi 44
Tabel 5. Deskripsi Data Penelitian 47
Tabel 6. Kriteria Kategorisasi Skala Gaya Hidup Metroseksual 47 Tabel 7. Kriteria Kategorisasi Skala Motif Berafiliasi 47
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Angket Penelitian 62
Lampiran 2. Data try-out 75
Lampiran 3. Hasil Uji Reliabilitas dan Validitas 86
Lampiran 4. Data Penelitian 102
LAmpiran 5. Hasil Analisis Data Penelitian
108
Hubungan Antara Motif Berafiliasi Dengan Gaya Hidup Metroseksual
Asti Wulandari Yulianti Dwi Astuti
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara motif berafiliasi dengan gaya hidup metroseksual. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah ada hubungan positif antara motif berafiliasi dengan gaya hidup metroseksual. Semakin tinggi motif berafiliasi maka gaya hidup metroseksual semakin tinggi dan sebaliknya semakin rendah motif berafiliasi maka semakin
rendah gaya hidup metroseksual.
Subjek penelitian ini adalah laki-laki berumur 24-45 tahun yang tinggal di
kota besar dan berpenghasilan diatas 2 juta per bulan. Skala motif berafiliasi dibuat
sendiri oleh penulis berdasarkan teori dari Hill (1987). Adapun aspek motif berfiliasi
yang ingin diungkap adalah kebutuhan akan dukungan emosional, kebutuhan akan
stimulasi
positif,
kebutuhan
akan
perhatian,
kebutuhan
untuk melakukan
perbandingan sosial. Sedangkan skala gaya hidup metroseksual dibuat sendiri oleh
penulis berdasarkan karakteristik metroseksual yang diungkapkan oleh Hermawan Kartajaya (2004) yaitu sangat memperhatikan penampilan, memiliki kesadaran yang
tinggi mengenai kesetaraan gender, fashion oriented, socialbutterfly.
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 11.0 untuk menguji apakah terdapat hubungan antara motif berafiliasi
dengan gaya hidup metroseksual. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar 0,482 dengan p = 0,000 (p<0,01) sehingga hipotesis
yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif antara motif berafiliasi dengan
gaya hidup metroseksual dapat diterima. Hasil uji korelasi terseut menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara kedua variabel penelitian.
Kata Kunci : motif berafiliasi, gaya hidup metroseksual
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Perawatan tubuh pada umumnya hanya dilakukan oleh kaum perempuan dan
dianggap tabu bila dilakukan oleh kaum laki-laki. Terlebih dalam kultur khusus,
budaya Jawa misalnya muncul anggapan bahwa perempuan harus pintar masak,
manak dan macak. Kata macak diartikan sebagai perawatan tubuh yang dilakukan
secara seksama oleh kaum perempuan agar mereka tetap tampil cantik dan
menarik, selain itu yang dianggap wajar melakukan segala aktivitas yang
bersangkutan dengan perawatan tubuh adalah perempuan.
Masyarakat yang menganut paham patriarkhi mempunyai anggapan yang
memisahkan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan pada sifat, aktivitas, dan
peran gender antara laki-laki dan perempuan yang sangat tajam. Sifat pemberani,
kasar, gemar berolahraga dan pencari nafkah merupakan sifat yang khas pada
laki-laki. Kegiatan-kegiatan maskulin yang cenderung berbahaya seperti panjat tebing,
tinju, arung jeram, akan lazim jika dilakukan oleh laki-laki. Selain itu pria identik
dengan bentuk tubuh yang kuat dan berotot. Hal ini sesuai dengan tuntutan bahwa
laki-laki harus mempunyai sikap mental yang jantan dan macho. Laki-laki yang
bertubuh lemah gemulai, kurus dan lembek dianggap tidak sepenuhnya laki-laki
Suciati (Suara Merdeka, 9 Agustus 2004) beranggapan bahwa banyak laki-laki
menyatakan tidak mudah menjadi laki-laki karena masyarakat mempunyai sudut
pandang yang berlebihan terhadapnya. Mereka harus menjadi sosok yang kuat,
pemberani, dan tidak cengeng. Ketika seorang laki-laki dipukul dan dilecehkan oleh
sesamanya, maka ia tidak boleh menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedih dan malu
tapi sebaliknya laki-laki harus tampak percaya diri, gagah dan tidak boleh
memperlihatkan kekhawatiran dan ketidakberdayaannya.
Jika seorang laki-laki tidak sesuai dengan sudut pandang di atas dan
mengembangkan sifat feminisme seperti gemar berdandan, melakukan perawatan
tubuh dan sangat memperhatikan penampilan akan menyalahi kodrat lazimnya
seorang laki-laki.
Tidak demikian halnya yang terjadi pada saat sekarang ini, nilai-nilai baru yang
mewarnai gaya hidup masyarakat Indonesia khususnya laki-laki yang tinggal di
perkotaan, cenderung berorientasi pada nilai-nilai kebendaan. Artinya bahwa telah
terjadi pergeseran orientasi nilai budaya pada jenis kegiatan, minat maupun
pendapat yang lebih mementingkan penampilan secara fisik, glamour dan
sebagainya, sehingga bisa dipastikan bahwa keberadaan gaya hidup tersebut
menimbulkan kesan modern. Kini para pria yang tinggal di kota besar menjadi
bagian penikmat dari layanan salon atau klinik kecantikan yang mulai menjamur di
kota-kota besar {http://www.suaramerdeka.com). Salah satu buktinya adalah riset
yang dilakukan oleh MarkPlus & Co bekerjasama dengan Adwork Euro RSCG salah
responden pria kelas atas pada bulan Desember 2003. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pria semakin perduli dengan perawatan diri, mereka sekarang
tidak malu pergi ke salon untuk facial, manicure, ataupun berdandan untuk
memperbaiki penampilan. Riset tersebut juga mengungkap bahwa sepertiga (33%)
responden menginginkan tubuh yang sempurna sepanjang hidup. Penelitian serupa
di Amerika Serikat menunjukkan 89 persen responden pria di Amerika Serikat setuju
dengan pernyataan bahwa penampilan merupakan salah satu aspek penting untuk
menunjang aktivitas mereka khususnya di tempat kerja.
Survey yang dilakukan pada tahun 1989 terhadap 100 laki-laki yang berusia
antara 18-60 tahun oleh Ruth Striegel, Phd, Professor di Wesleyan University,
Middletown, Connecticut menemukan bahwa 63 persen laki-laki percaya bahwa
tampil menarik sangat penting dan persentase ini meningkat 34 persen
dibandingkan survey serupa yang dilakukan tahun 1973 (
).
Kondisi yang seperti ini sama halnya dengan yang terjadi di Indonesia, yaitu
semakin banyak pria di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya yang ingin
merubah penampilan menjadi lebih menarik dengan cara menghabiskan uangnya
untuk berolah tubuh ke fitness center maupun ke salon.
Berdasarkan hasii riset Euro RSCG "The Future Of Marl1 yang dilakukan pada
bulan Juni 2004, mereka menyimpulkan bahwa telah hadir sekelompok pria yang
jumlahnya terus bertambah dan menentang semua pembatasan terhadap peranan
pria tradisional. Mereka melakukan apa yang mereka inginkan, membeli apa yang
mereka inginkan, dan menikmati apa yang mereka inginkan, terlepas dari anggapan
sebagian orang yang menganggap ini sebagai hal yang "tidak laki-laki". Dari temuan
riset juga terungkap bahwa kini pria semakin "nyaman" mengekspresikan sisi-sisi
feminin layaknya wanita. Mereka setuju bahwa berpenampilan menarik merupakan
hal yang penting bagi mereka. Mereka melihat bahwa tidak menjadi masalah jika
pria melakukan manicure dan melakukan facial {Media Indonesia, 28 Maret2004).
Fenomena ini disebut dengan istilah metroseksual. Personality traits yang dimiliki
kaum metroseksual merupakan visi hidup dari pria modern. Kaum metroseksual
lebih bebas dalam mengekspresikan dirinya, berbeda dengan jalan pemikiran
tradisional yang masih merujuk pada nilai-nilai budaya lokal. Contohnya dalam hal
menjaga penampilan, pria generasi lama mungkin merasa bahwa menghabiskan
waktu 30 menit untuk berdandan sangatlah "wanita sekali" tapi sebaliknya bagi pria
metroseksual aktivitas tersebut sah saja dilakukan, asalkan alasan dibalik itu semua
bisa diterima. Bukannya malu karena dikonotasikan sebagai "band" tapi karena para
pria ini justru merasa bahwa kebebasan berekspresi termasuk di dalamnya
melakukan perawatan adalah tanda bagi sebuah "kejantanan pria zaman sekarang".
* Gaya hidup di Indonesia ini dipicu oleh tawaran yang konsumtif. Hal ini dapat
dilihat dari adanya berbagai acara televisi dari pagi hingga malam yang tak lepas
dari tawaran gaya hidup. Iklan merupakan tawaran yang menjanjikan kenyamanan
hidup, kenikmatan dan kemudahan. Selain televisi, gaya hidup tersebut memang
sengaja ditawarkan melalui iklan-iklan pada radio, majalah, internet dan Iain-Iain.
Kehadiran iklan dalam kehidupan masyarakat mampu menggiring seseorang untuk
ditujukan kepada khalayak lewat suatu media yang bertujuan untuk mempersuasi
masyarakat untuk mencoba dan akhirnya membeli produk yang ditawarkan
(Sumartono, 2002)
-Gambaran mengenai gaya hidup metroseksual yaitu suka berdandan, merawat
diri, mereka betah berjam-jam di salon untuk creambath, facial, manicure, pedicure
bahkan body waxing untuk menghilangkan bulu-bulu di lengan atau punggung.
Tertarik dengan dunia fashion, karena itu mereka selalu mengikuti perkembangan
dunia fashion terkini di majalah-majalah mode pria, selalu mengikuti trend model
rambut, baju, celana. Layaknya wanita, pria metroseksual paling hobi belanja di mat
atau butik dan sangat senang membicarakan sesuatu yang baru di yang ada di
lingkungan sekitarnya. Hasil riset terungkap bahwa sekitar 79 persen dari responden
pria di Jakarta mengambarkan dirinya sebagai seorang yang senang bersosialisasi.
Karena didukung oleh kesamaan karakter, para pria metroseksual memiliki hobi
berkumpul dalam komunitasnya, mereka membicarakan segala sesuatu mulai dari
trend terbaru sampai membicarakan lelucon terburuk (Media Indonesia, 4 April
2004).
Gambaran mengenai gaya hidup metroseksual seperti yang telah disebutkan di
atas, bertujuan untuk memperoleh banyak teman. Selain itu kaum metroseksual
selalu mengerjakan aktivitasnya secara berkelompok. Dengan arti lain secara tidak
langsung, melalui gaya hidup metroseksual terbentuk ikatan pertemanan di antara
Berdasarkan data, maka tampak bahwa yang merupakan ciri-ciri gaya hidup
metroseksual adalah selalu memiliki pola perilaku yang cenderung pada kesenangan
hidup. Hal ini dapat dilihat dari jenis aktivitas, minat maupun pendapat yang
cenderung tertuju pada objek-objek tertentu. Gaya hidup metroseksual akan
menjadikan laki-laki menuju gaya hidup yang serba boleh, dimana
peraturan-peraturan atau norma-norma sudah diabaikan sehingga terbentuk perilaku yang
bebas. Kondisi di atas menjadi suatu masalah yang menjadi perhatian. Apabiia gaya
hidup metroseksual sampai pada perbedaan-perbedaan status sosial yang terlalu
menyolok
maka
akan
menimbulkan
kecemburuan
sosial.
Hai
ini
dapat
mengakibatkan terjadinya hal-hal yang bersifat anarkis bahkan kriminal. Gaya hidup
ini juga menjadikan laki-laki sebagai seorang yang egois, individualistik. Dia akan
cenderung peduli pada diri sendiri dan kelompoknya, kurang perduli terhadap orang
lain atau lingkungan di sekitarnya.
- Sarlito (dalam Harjanti, 2001) berpendapat bahwa dalam diri setiap orang ada
kebutuhan akan pengakuan dari orang lain, sehingga mempengaruhi kebiasaan gaya
hidup yang lebih menekankan gaya atau penampilan daripada fungsi produk itu
sendiri dan pengakuan dari lingkungan lebih penting dari rasa puas atau fungsi
produk. Penjelasan di atas diperkuat oleh teori Mclelland (dalam Harjanti, 2001)
bahwa salah satu kebutuhan hidup manusia adalah need for affiliation atau
ketergantungan kepada kelompok dimana kebutuhan berafiliasi tersebut dapat
memandang individu untuk memiliki pola perilaku yang cenderung sama dengan
Melihat kecenderungan-kecenderungan di atas dapat diketahui bahwa status,
gengsi, maupun penampilan fisik yang merupakan alasan individu memiliki gaya
hidup metroseksual lebih terjadi pada intensitas yang tinggi pada ikatan pertemanan
yang terjalin disebabkan adanya motif berafiliasi seperti kebutuhan diakui, diterima,
dan diperhatikan oleh lingkungan.
Berdasar uraian tersebut, penelitian ini akan mencoba menguji hipotesis bahwa
ada hubungan antara motif berafiliasi dengan gaya hidup metroseksual. Semakin
tinggi motif berafiliasi maka gaya hidup metroseksualnya akan semakin tinggi dan
sebaliknya. *~
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara motif berafiliasi
dengan gaya hidup metroseksual.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat secara teoritis yaitu
menambah khasanah ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial, psikologi
kepribadian Selain itu secara praktis penulis berharap agar hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai salah satu refrensi untuk mendapatkan gambaran perilaku
metroseksual yang sedang berkembang di masyarakat. Selain itu untuk mengetahui
D. Keaslian Penelitian
1. Keaslian Topik
Penelitian yang membahas masalah motif berafiliasi atau tentang gaya hidup
telah banyak dilakukan, seperti penelitian mengenai Hubungan Antara Motif
Berafiliasi dan Intensi Prososial Pada Anggota Organisasi Amatir Radio Indonesia di
Daerah Gunung Kidul yang dilakukan oleh Dwi (1996). Subjek penelitian ini adalah
anggota ORARI lokal Gunung Kidul yang bertempat tinggal di daerah Wonosari dan
sekitarnya, aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang diadakan kelompok dan
masih melakukan kegiatan komunikasi di udara.
Penelitian lain juga pernah diteliti oleh Yanto (1994) mengenai Hubungan Antara
Motif Berafiliasi Dengan Tingkah Laku Prososial Pada Mahasiswa Anggota Kelompok
Pecinta Alam di Yogyakarta. Subjek penelitian ini adalah individu yang menjadi
anggota kelompok pecinta alam pada perguruan tinggi di Yogyakarta.
Penelitian Suryo (1998) tentang Perbedaan Tingkat Konformitas Ditinjau dari
Gaya Hidup Pada Remaja. Subjek adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Gadjah Mada yang berusia 18-21 tahun.
Ada penelitian yang hampir sama yaitu mengenai Hubungan Antara Motif
Berafiliasi Dengan Kecenderungan Gaya Hidup Hedonis Pada Remaja (Harjanti,
2001). Perbedaan penelitian Harjanti dengan penelitian ini adalah pada subjeknya.
Dalam penelitian Harjanti subjek yang diambil adalah siswa sekolah menengah
umum kelas tiga, berumur 18-21 tahun baik pria maupun wanita yang sedang
belajar di Primagama.
2. Keaslian Teori
Penelitian Dwi (1996) dan Yanto (1994) menggunakan teori berdasar aspek motif
berafiliasi yaitu : kebersamaan, interaksi, penerimaan, afeksi, sikap setia,
kesepakatan, kooperatif, konformitas. Sedangkan Harjanti (2001) menggunakan
aspek motif berafiliasi yang diambil dari Harja (1995) berdasarkan teori dari Hill
(1987) yaitu: kebutuhan akan dukungan emosional, kebutuhan akan stimulasi
positif, kebutuhan akan perhatian, kebutuhan untuk melakukan perbandingan sosial.
Pada penelitian ini menggunakan dasar aspek motif berafiliasi dari Hill (1987)
yaitu : 1) kebutuhan akan dukungan emosional, 2) kebutuhan akan stimulasi positif,
3) kebutuhan akan perhatian, 4) kebutuhan untuk melakukan perbandingan sosial.
Sedangkan aspek gaya hidup metroseksual merupakan hasil susunan penulis yang
didasarkan pada karakteristik yang telah diungkap dalam definisi, juga dengan
memperhatikan penelitian terdahulu yang selanjutnya disesuaikan dengan konsep
dasar dan pemikiran penulis.
3. Keaslian Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasar karakteristik
gaya hidup metroseksual yang disusun oleh penulis seperti yang diungkap Kartajaya
(2004) yaitu : 1) sangat memperhatikan penampilan, 2) memiliki kesadaran yang
tinggi mengenai konsep kesetaraan gender, 3) Fashion Oriented adalah selalu
terdepan dalam mode ataupun peralatan mutakhir, 4) Social Butterfly adalah gemar
10
membicarakan fenomena baru di lingkungannya, menyukai bersosialisasi daiam
komunitas tertentu.
Aspek motif berafiliasi menggunakan aspek dari Hill (1987) yaitu : 1) kebutuhan
akan dukungan emosional, 2) kebutuhan akan stimulasi positif, 3) kebutuhan akan
perhatian, 4) kebutuhan untuk melakukan perbandingan sosial.
4. Keaslian Subjek
Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti mirip dengan penelitian Harjanti
(2001) yaitu tentang Hubungan Antara Motif Berafiliasi Dengan Kecenderungan Gaya
Hidup Hedonis Pada Remaja. Meskipun penelitian ini mirip dengan penelitian
Harjanti, subjek dan penelitian ini berbeda dengan penelitian tersebut. Penelitian
Harjanti menggunakan subjek siswa Sekolah Menengah Umum, sedangkan
penelitian ini menggunakan subjek laki-laki yang berumur 24-45 tahun, tinggal di
kota besar dan berpenghasilan diatas 2 juta per bulan.
Dari penjelasan diatas sepanjang yang diketahui oleh peneliti, penelitian dengan
judul hubungan antara motif berafiliasi dengan gaya hidup metroseksual belum ada
yang meneliti. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gaya Hidup
1. Pengertian Gaya Hidup
Setiadi (2003) mendefinisikan gaya hidup sebagai cara hidup seseorang tentang
bagaimana orang menghabiskan waktu yang dimiliki atau aktivitas, tentang sesuatu
yang dianggap penting dalam lingkungan atau ketertarikan, dan tentang sesuatu
yang dipikirkan tentang diri mereka sendiri dan juga dunia sekitarnya. Pengertian
gaya hidup yang lain adalah gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern atau
yang biasa disebut modernitas (Chaney, 1996). Maksud dari pemyataan tersebut
adalah siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan gagasan
tentang gaya hidup untuk mencerminkan tindakannya sendiri maupun orang lain.
Pengertian gaya hidup menurut Adler (Alwisol, 2004) yaitu cara unik dari setiap
orang dalam berjuang untuk mencapai tujuan khusus yang telah ditentukan oleh
dirinya sendiri dalam kehidupan dimana prinsip sistem dimana kepribadian individual
berfungsi; keseluruhanlah yang memerintah bagian-bagiannya. Setiap orang
memiliki gaya hidup tetapi tidak mungkin dua orang mengembangkan gaya hidup
yang sama. Gaya hidup menurut Engel (1994) disebut sebagai fungsi kepribadian,
motivasi dan hasil belajar. Hal tersebut membawa kepada konsekuensi logis untuk
tidak menyamaratakan manusia, karena setiap manusia memiliki satu kepribadian
yang tidak bisa disamakan dengan kepribadian manusia yang lain, itulah yang
menyebabkan kepribadian dikatakan unik dan khas.
12
Reynold dan Draden (Engel, et al; 1994) mengemukakan definisi dari gaya hidup
sebagai AIO {Aktivities, Interest dan Opinion) sebagai alat meramalkan perilaku
membeli seseorang. Aktivitas adalah suatu tindakan nyata seperti berbelanja.
Berbelanja di mal akan dilakukan karena individu sadar bahwa dari berbelanja di mal
apa yang dibelinya memperoleh nilai tambah yaitu dapat mencerminkan dan
mempertahankan gaya hidupnya dibandingkan berbelanja di toko biasa. Minat
terhadap suatu obyek, peristiwa atau topik adalah tingkat kesenangan yang timbul
secara khusus dan membuat orang memperhatikannya. Minatnya terhadap mode
untuk menunjang penampilan membuat individu selalu mengikuti perkembangan
mode, misal dengan membeli majalah seperti Hai, FHM (For Him Magazine), Men's
Health, Popular yang dikenal sebagai majalah khusus pria.
Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa gaya hidup yang dimiliki
seseorang sebagai kerangka acuan dalam bertingkah laku akan membentuk pola
tertentu, terutama tentang bagaimana ia ingin dipersepsi orang lain. Dengan
demikian gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana seseorang membentuk
citra di mata orang lain yang berkaitan dengan status sosialnya dengan sendirinya
juga banyak berkaitan dengan komunikasi verbal dan non verbal. Gaya hidup
mencerminkan bagaimana seseorang menghabiskan waktu dan uangnya yang
13
Tipe-tipe Gaya Hidup
Pada penelitian sebelumnya, Susianto (1993) mengajukan 6 kelompok gaya
hidup:
a. Kelompok gaya hidup hura-hura
Kelompok ini memiliki ciri keterlibatan yang tinggi dengan orang lain, lebih
menyukai kegiatan yang sifatnya hura-hura daripada kegiatan sosial, tidak terialu
serius dan senang keramaian.
b. Kelompok gaya hidup hedonis
Kelompok ini memiliki ciri-ciri antara lain: mengerahkan aktivitas untuk mencapai
kenikmatan hidup, sebagian besar perhatiannya ditujukan keluar rumah, merasa
mudah berteman walaupun memilih-milih, menjadi pusat perhatian, saat luang
hanya untuk bermain dan kebanykana anggota kelompok adalah orang yang berada.
c. Kelompok gaya hidup rumahan
Kelompok ini bercirikan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, penuh
perhatian pada lingkungan rumah dan sanak-saudara, kurang aktif dalam bergaul,
banyak membaca, lebih senang berwisata ke tempat-tempat yang tenang bersama
keluarga.
d. Kelompok gaya hidup sportif
Kelompok ini memiliki ciri senang olahraga, berusaha berprestasi di bidangnya,
berusaha mandiri, tidak terialu mementingkan penampilan, terbuka terhadap kritik,
14
e. Kelompok gaya hidup kebanyakan
Kelompok ini ditadai dengan ciri cenderung berhati-hati dalam bertingkah laku,
terialu konformitas, tidak mau bertentangan dengan mayoritas sehingga kurang
berani menjadi inisiator.
f. Kelompok gaya hidup untuk orang lain
Ciri kelompok ini adalah peka dengan kebutuhan orang lain, banyak terlibat pada
kegiatan-kegiatan sosial, produktif, kebersamaan dalam keluarga memiliki porsi yang
besar dalam perhatiannya.
2. Gaya Hidup Metroseksual
Sebagai gaya hidup, kecenderungan metroseksual bukan tumbuh secara tiba-tiba
ada proses yang cukup panjang sebelum kecenderungan itu mulai diminati oleh
kalangan yang lebih luas lagi. Apalagi jauh sebelum itu kecenderungan kaum
laki-laki yang "malu-malu" ketika datang ke salon bukan hanya sebagai dugaan tapi
sudah merupakan kenyataan . Ada semacam beban psikologis yang berat bagi
seorang laki-laki untuk datang ke salon dan merawat tubuhnya secara berkala.
Kejengahan itu disebut-sebut berasal dari stigmatisasi bahwa laki-laki yang terialu
njelimet merawat tubuhnya tak ubahnya seorang waria. Bahkan ketika wacana
mengenai laki-laki metroseksual dipergunjingkan, pemyataan semacam itu muncul.
Maksudnya kecenderungan laki-laki metroseksual dimaknakan sebagai pola hidup
15
Menurut
pendapat
yang
dikemukakan
oleh
Dewi
{http://www.suaramerdeka.com/03/06/04) seorang praktisi kecantikan Susan Salon
Semarang, menyatakan bahwa pria yang memperhatikan perawatan tubuh akan
dicap sebagai waria. Menurutnya laki-laki yang datang ke salon untuk merawat
tubuhnya secara berkala adalah proses yang wajar, apalagi kesadaran bahwa
penampilan menunjang kesuksesan telah diyakini banyak kalangan. Secara etimologi
metroseksual berasal dari kata Yunani, metropolis yang artinya ibukota plus seksual.
Pengertian dari mertroseksual (
j
Metroseksual adalah mereka penikmat hidup yang ditopang kemampuan
finans.al. Namun bukan sekedar pembelanja potensial, tapi juga pekerja cerdas
yang penuh percaya diri, berdedikasi serta berkomitmen kepada karya dan
keluarga. Jumlah mereka terus bertambah banyak. Mereka potensi pasar yanq
luar biasa besar
Istilah metroseksual sendiri diperkenalkan oleh Mark Simpson, seorang kolomnis
fashion Inggris dalam bukunya Male Impersonators: Male Performing Masculinity
tahun 1994 untuk menggambarkan sekelompok anak muda berkantung tebal yang
hidup di kota besar (metropolis) atau di sekitarnya, sangat menyayangi bahkan
cenderung memuja diri sendiri {narcistic) serta sangat tertarik pada fashion dan
perawatan tubuhnya. Kulit mereka mulus, lembut dan harum, wajahnya yang halus
tampak dipoles bedak tipis, sementara kukunya dicat dan bibirnya dipoles lip balm,
bahkan terkadang terlihat mengkilap karena dipulas lip gloss.
Metroseksual adalah laki-laki muda yang punya uang untuk
dihambur-hamburkan, hidup di tengah atau setidaknya dalam jangkauan metropolis dimana
lain-lain. Laki-laki dalam kategori ini tidak harus kalangan gay atau homoseksual, ini
bukan urusan preferensi seksual {http://www.kompas.com)
Menurut Mark Simpson (Kartajaya dkk, 2004) definisi metroseksual "mereka
yang memiliki uang untuk dibelanjakan dan tinggal di kota metropolis atau
sekitarnya, ia mungkin seorang gay, heteroseksual, ataupun biseksual, tapi hal ini
tidak penting karena ia menjadikan diri sebagai preferensi seksualnya".
Salah satu alasan mengapa disebut sebagai metroseksual adalah karena
memang gejala ini terjadi di kota (metro) di tengah hingar-bingarnya kota besar
temyata telah tumbuh sekelompok segmen berpenghasilan lumayan dan memiliki
cara unik untuk membelanjakan uangnya. Mereka umumnya adalah kalangan
pekerja kelas menengah-atas dan termasuk kategori Adalam strata sosial ekonomi.
Metroseksual bahkan dipandang sebagai satu-satunya identitas seksual yang tidak
berbicara tentang perilaku seksual, artinya ia berbeda dengan heteroseksual,
homoseksual dan biseksual.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya hidup metroseksual
adalah gaya hidup laki-laki yang mempunyai banyak uang dan tinggal di kota besar,
sangat memperhatikan penampilan yaitu suka dandan dan memanjakan diri, senang
membicarakan sesuatu yang baru di lingkungannya, dan terdepan dalam mengikuti
17
3. Ciri-ciri Gaya Hidup Metroseksual
Mereka paling perduli dengan penampilan, suka berdandan dan merawat diri,
senangtiasa merawat kulit, sangat tertarik dengan make up dan melakukan
perawatan tubuh. Laki-laki ini betah berjam-jam di salon untuk creambath, facial,
manicure, pedicure, bahkan body waxing untuk menghilangkan bulu-bulu di lengan
atau punggung, bahkan untuk memperbaiki penampilannya mereka tidak
segan-segan memasang kawat gigi atau melakukan operasi plastik untuk memancungkan
hidung atau menambal dagunya. Mereka melakukan semua ini sebagai wujud
kecintaan pada dirinya. Sangat tertarik dengan dunia fashion selalu mengikuti trend
mode rambut, baju, celana, atau sepatu terbaru, mereka memperhatikan apa yang
dipakai oleh orang lain di sekitarnya karena itu mereka mengikuti perkembangan
fashion terkini di majalah-majalah mode pria seperti : The Face, Arena, Maxim, Best
Life, Men's Health, Stuff, Amico, FHM. Mereka cenderung tidak setuju dengan
pembatasan gender (pria di sektor publik dan wanita di sektor domestik). Mereka
umumnya bisa menerima jika rekan kerja wanita menjadi pemimpin dan lebih maju
dan berprestasi. Begitu juga halnya di lingkungan keluarga mereka bisa melakukan
partnering dengan istri dalam mengurus semua problem rumah tangga.
Mereka
juga senang bersosialisasi dan banyak membicarakan sesuatu dalam komunitasnya.
Menurut Euro RSCG beberapa ciri yang dominan pada pria metroseksual adalah
mereka heteroseksual tapi nyaman saja jika bergaul di lingkungan gay. Mereka
sangat tertarik dengan make-up dan melakukan perawatan tubuh, tentu saja
sebagai wujud kecintaan pada dirinya. Mereka mengikuti mode dan selaiu
memperhatikan apa yang dipakai oleh orang lain di sekitarnya (Kartajaya dkk, 2004,
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri gaya hidup metroseksual
adalah gaya hidup laki-laki yang tinggal d, kota besar, sangat memperhatikan
penampilan karena mereka sangat suka tampil menarik dan ingin merasa nyaman
dengan penampilannya tersebut, mempunyai kesadaran yang tinggi mengenai
kesetaraan gender, selalu mengikuti trend mode terbaru, suka bersosialisasi dalam
komunitas-komunitas tertentu.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Hidup
Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang
dapat dibedakan menjadi faktor yang berasal dari dalam individu (faktor internal)
dan faktor yang berasal dari luar individu (faktor eksternal).Faktor-faktor yang
mempengaruhi gaya hidup secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
1. Faktor internal
a. Sikap
Sikap berarti suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikir yang
dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang
diorganisir melalui pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada
perilaku. Keadaan jiwa tersebut sangat dipengaruhi tradisi, kebiasaan,
berpikir yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya (Dharmmesta dan Handoko
2000).
b. Pengalaman dan pengamatan
Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan seseorang dalam bertingkah
laku. Pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakannya di masa lalu dan
dapat dipelajari. Hasil dari pengalaman seseorang akan membentuk suatu
pandangan tertentu terhadap suatu obyek. Perbedaan pandangan individu akan
menciptakan proses pengamatan dalam perilaku yang berbeda pula
(Dharmmesta dan Handoko, 2000).
c. Kepribadian
Kepribadian adalah organisasi dari faktor-faktor biologis, psikologis dan
sosiologis yang mendasari perilaku individu. Kepribadian mencakup
kebiasaan-kebiasaan, sikap, ciri-ciri, sifat, atau watak yang khas dan menentukan
perbedaaan perilaku dari tiap individu yang berkembang apabila berhubungan
dengan orang lain. Kepribadian dapat didefinisikan sebagai pola sifat individu
yang dapat menentukan tanggapan dengan cara bertingkah laku, terutama
sebagaimana tingkah lakunya dapat dijelaskan oleh orang lain dengan cara yang
cukup konsisten (Dharmmesta dan Handoko, 2000)
d. Motif
Dharmmesta dan Handoko (2000) mengartikan motif sebagai keadaan dalam
pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan
20
dan Handoko, 2000, memperkenalkan konsep hirarki kebutuhan, dimana
manusia men* kebutuhan yang bertingkat secara konsisten.
Kebutuhan-kebutuhan in, meningkat dan yang paiing dasar sampai yang paling kompieks
V*u !, kebutuhan nsiolog.s, 2, kebutuhan akan keselamatan, 3, kebutuhan
m,l,k dan keclntaan, 4, kebutuhan akan penghargaan, 5, kebutuhan akan
kenyataan din. Berdasa*an hira*, diatas maka pedlaku yang ditampilkan pada
sehap orang berbeda tergantung dari kekuatan kebutuhan tersebut.
2. Faktor eksternal a. Kelompok refrensi
Dharmmesta dan Handoko (2000, mengungkapkan pengerhan kelompok
<*«. sebaga, kelompok sosia, yang menjadi ukuran seseorang untuk
membentuk kepribadian dan perilaku.
b. Keluarga
Dibandlng kelompok-kolompok iain yang berhubungan langsung, keluarga
memegang peranan terbesar dan teriama d^m „
u . ,
teriama dalam pembentukan sikap dan perilaku
manusia (Dharmmesta dan Handoko, 2000)
c Kelas sosial
Sorokin (Dharmmesta dan Handoko, 2000, menyatakan bahwa kelas sosial
adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam ke,as-ke,as secara
berhngkat. Penvujudannya adalah adanya ke,as-ke,as tinggi dan kelas-kelas yang
'ebih ^^ ^^ W» «" «*m masyarakat dapat terjadi dengan
sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Alasan yang dipakai juga berlainan bagi tiap-tiap masyarakat, ada yang berdasarkan
kepandaian, keturunan, pemilikan tanah, kekayaan dan sebagainya. d. Kebudayaan
Kebudayaan meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan individu sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain kebudayaan mencakup keseluruhan yang didapatkan atau
dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Dharmmesta dan Handoko,
2000)
B. Motif Berafiliasi
1. Pengertian Motif
Ahli-ahli psikologi berpendapat bahwa dalam diri individu ada sesuatu yang
menentukan perilaku dan bekerja dengan cara-cara tertentu untuk mempengaruhi
perilaku tersebut. Penentu perilaku tersebut diberi istilah need, namun ada yang memberi istilah motif. Walgito (1980) mengartikan motif sebagai sesuatu yang
terdapat dalam diri organisme yang menyebabkan organisme itu bertindak atau
berbuat dan dorongan ini tertuju kepada suatu tujuan tertentu.
Perilaku seseorang merupakan cerminan dari motif yang ada pada dirinya. Motif meliputi semua penggerak, alasan-alasan, dorongan-dorongan dalam diri manusia
22
yang menyebabkan individu berbuat sesuatu (Gerungan, 1981). Motif yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu tingkah laku yang diarahkan pada tujuan mencapai sasaran kepuasan. Jadi motif bukanlah sesuatu yang dapat diamati, tetapi adalah hal yang dapat disimpulkan adanya karena sesuatu yang dapat kita saksikan (Dharmmesta dan Handoko, 2000)
Istilah motivasi digunakan untuk menunjukkan keadaan individu yang terangsang
yang muncul jika suatu motif telah dihubungkan dengan harapan yang tepat yaitu harapan bahwa perilaku tertentu adalah alat untuk mencapai tujuan motif. Istilah
motif dan motivasi juga mempunyai kaitan yang erat. Dalam istilah motivasi itu
sendiri sudah tercakup pengertian motif sebagai penggerak dan pengarah perilaku.
Kebutuhan atau motif (istilah-istilah ini dipahami secara bergantian) diaktifkan
ketika ada ketidakcocokan antara keadaan aktual dan keadan yang diinginkan.
Ketidakcocokan yang meningkat menghasilkan pengaktifan kondisi yang diacu
sebagai dorongan {drive). Hal ini seiring dengan penjelasan tentang keseimbangan
kebutuhan yang dikemukakan Busch dan Houston (dalam Martaniah, 1984) yaitu
bahwa motivasi berkembang dari need-reduction yang berupa serangkaian needs
yang mendorong untuk bertingkah laku. Apabila needs ini terpenuhi maka orang
tersebut berada dalam keadaan seimbang, sebaliknya jika tidak terpenuhi maka
timbul ketegangan yang memunculkan dirinya, setelah itu orang akan memilih
perilaku yang spesifik dari pengaruh pengalaman dan pengetahuan sehingga
23
Davidoff (1991) mengemukakan bahwa motif atau motivasi dipakai untuk
menunjukkan suatu keadaan dalam diri seseorang yang berasal dari akibat suatu
kebutuhan yang membengkitkan perilaku yang biasanya tertuju pada pemenuhan
kebutuhan kebutuhan tersebut.
Dharmmesta dan Handoko (2000) mendefinisikan motif adalah suatu dorongan
kebutuhan dan keinginan individu yang diarahkan pada tujuan untuk memperoleh
kepuasan. Motif tidak dapat diamati secara langsung melainkan hanya dapat dilihat
dan diketahui dari perilaku yang ditimbulkannya.
Motif mempunyai kemungkinan untuk berubah karena pembantukan motif
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang diperoleh individu. Pendapat ini
senada dengan Walgito (1983) yang mengemukakan bahwa motif dapat berubah
selaras dengan perkembangan yang dialami individu. Motif ini akan mengalami
perubahan sesuai dengan norma-norma yang ada.
Setelah meninjau beberapa konsep mengenai motif dan motivasi dengan
mengacu pendapat McClelland (dalam Martaniah, 1984) di atas, bahwa istilah motif
dan motivasi dapat digunakan dalam arti yang sama atau secara sinonim dapat
digambarkan sebagai suatu konstruksi yang potensial dan laten, yang dibentuk oleh
pengalaman-pengalaman
yang
secara
relatif dapat
bertahan,
meskipun
kemungkinan berubah masih ada dan berfungsi menggerakkan serta mengarahkan
24
2. Pengertian Motif Berafiliasi
Menurut McClelland (dalam Yanto, 1994 ) Need For Affiliation merupakan kebutuhan akan kehangatan dan dukungan dalam hubungannya dengan orang lain. Kebutuhan ini akan mengarahkan tingkah laku untuk mengadakan hubungan secara akrab dengan orang lain. Karakteristik orang yang memiliki motif afiliasi yang tinggi yaitu :1) lebih suka bersama dengan orang lain, hal ini ditandai dengan keinginan untuk selalu berhubungan dengan orang lain secara dekat dan hangat. 2) Bekerjasama atau interaksi ditandai dengan adanya keinginan untuk selalu berinteraksi dengan orang lain. 3) Menerima orang lain, lebih suka dengan orang-orang yang mempunyai kesamaan dengan dirinya dan diterima oleh orang-orang lain. 4) Menyenangkan orang lain dan memperoleh afeksi dari mereka. 5) Menunjukkan dan memelihara sikapsetia terhadap teman atau keluarga. 6) Mencari dukungan dari orang. 7) Bekerja lebih afektif bila bersama. 8) Konformitas, yaitu lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya daripada segi tugas-tugasnya.
Kretch, Crutchfield, dan Ballachey (1982) menyebut motif berafiliasi sebagai dorongan dari seseorang untuk melakukan kerjasama dan hubungan pribadi dimana afeksi dan nurturansi diterima dan diberikan secara timbal balik. Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk dicintai dan dimiliki yang akan dipenuhi dengan berafiliasi pada orang lain (Dharmmesta dan Handoko, 2000).
Martaniah (1984) menyebut motif berafiliasi sebagai motif yang mendorong
25
afeksi dan empati yang simpatik. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dijelaskan
bahwa individu memerlukan kebutuhan akan kondisi afiliasi yang menyenangkan.
Dapat disimpulkan : motif berafiliasi ini adalah sesuatu yang mendorong seseorang
untuk mendekat, bergabung, menjadi bagian atau mengadakan hubungan timbal
balik secara intim dan akrab yang di dalamnya mengandung kerjasama, afeksi,
simapti, empati, dan saling memelihara. Dorongan ini universal terdapat pada semua
orang tapi intensitasnya berbeda tergantung beberapa faktor seperti : kebudayaan,
nilai-nilai dan kebiasaan- kebiasaan.
3. Aspek-aspek Motif Berafiliasi
Dalam suatu penelitian, batasan yang dipakai untuk suatu pengukuran sangat
menentukan hasil kesimpulan dari penelitian tersebut. Dari semua batasan motif
berafiliasi, Hill (1987) mengemukakan bahwa motif berafiliasi terbentuk dari
komponen sebagai berikut:
a. Kebutuhan akan dukungan emosional
Dapat berwujud kebutuhan untuk mendapat simpati dari orang lain. b. Kebutuhan akan stimulasi positif
Kebutuhan akan situasi afektif maupun kognisi yang menguntungkan dalam proses afiliasi.
c. Kebutuhan akan perhatian
Kebutuhan akan perasaan, harga diri, pujian, memiliki kompetensi dalm
26
d. Kebutuhan untuk melakukan perbandingan sosial
Kebutuhan untuk mengatasi ketidakjelasan tentang identitas dirinya dengan jalan mencari informasi dari lingkungan sosial tempat individu berada.
C. Hubungan Antara Motif Berafiliasi Dengan Gaya Hidup Metroseksual
Kebanyakan orang mempunyai kecenderungan berafiliasi yang cukup tinggi. Seseorang yang mempunyai kebutuhan afiliasi tinggi biasanya adalah seorang yang ramah dan hangat terhadap orang lain, empati, cenderung mempunyai suasana hati yang lebih baik dalam berinteraksi dengan orang lain'. Teman yang setia, ingin mempunyai hubungan dekat dengan orang lain dan mempunyai toleransi yang tinggi
terhadap teman (McClelland, 1983) sehingga kehadiran orang lain tidak akan
mengganggu bahkan lebih menyenangkan dan keberhasilan dalam berhubungan dengan orang lain merupakan kepuasan dan tujuan utama dalam hidupnya. Hal ini disebabkan di dalam kebutuhan afiliasi sendiri terkandung kepercayaan, kemauan baik afeksi, kasih dan empati (Murray dalam Hall dan Lindzey, 1970). Schachter (dalam Yanto, 1983) menjelaskan bahwa ada dua alasan utama yang dimiliki individu untuk menjadi bagian dari suatu kelompok antara lain : yang pertama
seseorang seseorang mungkin bergabung dengan suatu kelompok karena kelompok
tersebut memiliki maksud dan tujuan yang sama. Jadi individu telah memiliki tujuan-tujuan pribadi yang hanya dapat diwujudkan melalui afiliasi dengan orang lain atau dengan menggabungkan diri pada suatu kelompok. Yang kedua seseorang mungkin
27
menggabungkan diri pada suatu kelompok karena adanya alasan bahwa kelompok dapat memberikan imbalan ataupun masukan kepada dirinya. Dengan demikian individu yang telah menjadi bagian dari suatu kelompok akan saling berinteraksi
antara satu dengan yang lain dan akhirnya dapat menularkan aktivitas-aktivitas.
Komunitas yang dibentuk oleh pria metroseksual sering melakukan kegiatan yang sifatnya positif. Seperti komunitas yang dibentuk oleh pria metroseksual yang berstatus lajang bernama Single Executive Club (SEC) beranggotakan para professional dan eksekutif. Kegiatannya bervariatif mulai dari yang santai, serius sampai dengan kegiatan amal. Terkadang klub ini mengadakan gathering, outbond
training atau mengadakan tour ke dalam maupun ke luar negri, movie party, dan
masih banyak lagi. SEC dapat menjadi wahana bagi para anggota untuk memilih
apakah huungan yang mereka bina mengarah ke relasi bisnis atau saudara. Hobi
para anggota juga bisa tersalurkan karena SEC mempunyai kelompok-kelompok kecil yang mempunyai hobi yang sama misalnya klub dansa, bowling, tennis club, dan
travelling club. Dengan adanya kelompok-kelompok kecil ini para anggota mudah
bertemu denga orang yang cocok dan sehobi.
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan kelompok akan bisa mempengaruhi anggotanya, yang akhirnya anggota kelompok bisa berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang ada. Sears (dalam Dwiyanti, 1996) mengemukakan bahwa penyesuaian individu terhadap perilaku dan tujuan kelompok dikarenakan individu tidak mau dikatakan menyimpang sehingga akan mendapatkan celaan dari anggota yang lain. Kekhawatiran dikatakan menyimpang mendorong mereka untuk
28
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kelompok khususnya kegiatan sosial. Terbentuknya kelompok-kelompok yang bergerak dalam kegiatan kemanusian atau sosial termasuk keinginan individu untuk menjadi anggota kelompok tertentu, tidak
lepas dari adanya motif berafiliasi pada dirinya (Thoha, 1993)
Berbagai komunitas ini juga dibentuk sejalan dengan perkembangan tehnologi informasi yang semakin pesat. Setiap hari, kaum metroseksual dibanjiri dengan berbagai informasi yang masuk. Karena terialu banyak terkadang mereka sulit untuk membedakan antara informasi yang benar-benar berguna atau informasi yang hanya
sekedar noise. Untuk menghemat waktu dan mengambil keputusan secara benar, kaum metroseksual lebih suka bertanya pada lingkungan sekitar mereka dalam komunitas tersebut. Anggota suatu komunitas pada umumnya mempercayai apa
yang dikemukakan oleh anggota komunitas lainnya. Dalam suatu komunitas biasanya terbentuk suatu hubungan atau relasi yang bersifat jangka panjang. Akibat dari hal ini adalah anggota komunitas juga biasanya mengenai pribadi satu sama
lain secara lebih baik dan lebih dekat. Jika sudah saling mengenai mereka akan
dapat saling percaya.
Tidak heran jika kita bisa menemukan banyak pria bergabung dalam
komunitas-komunitas interaktif. Mulai dari eksekutif yang tergabung dalam keanggotaan resmi
sebuah klub royal sampai kepada para remaja tanggung yang aktif meng-i/p date
data dalam komunitas maya bernama friendster.
Pria metroseksual terlihat tidak segan lagi disebut dengan predikat-predikat yang
29
dari dirinya dapat diapresiasi oleh lingkungan sosialnya. Dalam kacamata pria jenis
ini, lingkungan sosial tidak lagi menghargai pria berotot dan kasar. Selain mengadopsi sifat emosional wanita, pria metroseksual juga memiliki aktivitas yang dulu umum ditemukan pada komunitas wanita. Terungkap bahwa sekitar 80 persen
dari responden pria di Jakarta menggambarkan dirinya sebagai social butterfly,
artinya para pria ini mengaku senang bersosialisasi. Karakter ini bertolak belakang dengan apa yang selama ini dikonotasikan khas pria yaitu mandiri dan introvert.
Dalam diri setiap orang ada kebutuhan akan pengakuan dari orang lain, sehingga mempengaruhi kebiasaan gaya hidup yang lebih menekankan gaya atau penampilan
daripada fungsinya. Penjelasan di atas diperkuat oleh teori McClelland (dalam
Harjanti,2001) bahwa salah satu kebutuhan hidup manusia adalah need for
affiliation atau ketergantungan pada kelompok dimana kebutuhan berafiliasi tersebut
dapat memandang individu untuk memiliki pola perilaku yang cenderung sama
dengan pola perilaku kelompoknya.
Dengan melihat kondisi gaya hidup metroseksual pada saat ini, dapat dipandang
sebagai masalah yang perlu menjadi perhatian dari berbagai pihak. Seperti yang
telah diuraikan di muka, dampak yang ditimbulkan dari gaya hidup metroseksual adalah dapat mengembangkan pola perilaku yang tidak produktif. Hal ini dapat
diketahui dari cara-cara individu dalam mempergunakan waktu mereka pada kegiatan yang kurang bermanfaat dan orientasi minatnya terhadap segala sesuatu
30
Hal-hal yang dilakukan dalam rangka bergaya hidup metroseksual bisa dikatakan
sebagai perilaku untuk memenuhi kebutuhan berafiliasi. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya dorongan yang kuat dalam diri seseorang untuk berafiliasi maka keinginan untuk bargaya hidup metroseksual semakin kuat pula dan dapat disimpulkan bahwa motif berafiliasi bisa menjadi salah satu faktor yang
mendasari seseorang untuk bergaya hidup metroseksual.
D. Hipotesis Penelitian
Ada korelasi positif antara motif berafiliasi dengan gaya hidup metroseksual. Makin tinggi motif berafiliasi maka makin tinggi kecenderungan gaya hidup
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Sesuai dengan hipotesis yang diajukan, maka dibuat rancangan penelitian
sebagai berikut:
1. Variabel tergantung :gaya hidup metroseksual
2. Variabel bebas : motif berafiliasi
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Gaya Hidup Metroseksual
Gaya hidup metroseksual merupakan gaya hidup laki-laki yang tinggal di kota
besar dan memiliki karakteristik: a) Sangat memperhatikan penampilan; senang
berdandan {chic, wangi, dandy, good looking, mature) perduli dengan perawatan diri. b) Memiliki kesadaran yang tinggi mengenai konsep kesetaraan gender
{gender equality); menyadari tentang pentingnya emansipasi wanita, kepala
keluarga yang setia, menempatkan keluarga diatas segalanya, romantis, penyayang, perhatian terhadap istri dan anaknya, realistis, sangat terbuka terhadap hal-hal baru, easy going. C) Fashion Oriented; selalu mengikuti mode terbaru dari Milan dan Paris, selalu memperhatikan apa yang dipakai orang lain disekitarnya, technology enthusiast dan trend enthusiast (sangat gandrung
dengan teknologi atau trend-trend terbaru), selalu yang terdepan dalam peralatan mutakhir dan mode, gaya hidup yang liberal dan kosmopolit karena kemampuannya mengakses informasi tentang berbagai hal dari manapun di
32
seluruh dunia, hobi surfing di internet, berpendidikan d) Social butterfly, mereka umumnya menyukai bersosialisasi dalam komunitas tertentu, misalnya komunitas penyuka musik jazz atau rock, komunitas penyuka motor besar, komunitas para
lajang, komunitas arisan dan sebagainya. Gemar membicarakan fenomena baru
di lingkungannya, selalu berhubungan satu sama lain dan saling membagi informasi dengan sesamanya, mereka membentuk komunitas dengan berbagai tujuan diantaranya membangun relasi, saling berbagi pengalaman dalam melakukan bisnis, berbagi perasaan dan emosi, ajang bertukar pendapat.
Gaya hidup metroseksual diketahui dengan skor yang diperoleh subjek setelah mengisi angket metroseksual. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka gaya hidup metroseksual akan semakin tinggi. Semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah gaya hidup metroseksual.
2. Motif berafiliasi
Motif berafiliasi adalah motif yang mendorong seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain, yang mengandung kepercayaan, afeksi, dan kebersamaan dalam hidup. Motif berafiliasi dalam penelitian ini akan diungkap melalui skala
motif berafiliasi. Aspek-aspek yang termuat dalam variabel motif berafiliasi adalah 1) kebutuhan akan dukungan emosional, 2) kebutuhan akan stimulasi
positif, 3) kebutuhan akan perhatian, 4) kebutuhan untuk melakukan perbandingan sosial. Motif berafiliasi diketahui dengan skor yang diperoleh subjek setelah mengisi skala motif berafiliasi. Semakin tinggi skor yang diperoleh semakin tinggi motif berafiliasi, dan semakin rendah skor yang diperoleh semakin
33
C. Subjek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah laki-laki berumur 24-45 tahun yang tinggal di
kota besar dan berpenghasilan diatas 2 juta per bulan, berpendidikan minimal D3. Mereka umumnya adalah kalangan pekerja kelas menengah atas dan
termasuk kategori A dalam strata sosial ekonomi. Alasan dipilihnya usia subjek
karena pada umumnya mereka telah mapan secara ekonomi, mental dan perilaku. Jumlah subjek sebanyak 60 orang dan menggunakan metode insidental
non random sampling.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan 2 macam skala. Skala
ini juga menggunakan lembar identitas diri seperti nama (inisial), umur,
pekerjaan, penghasilan sebagai pelengkap data penelitian. Alat pengumpul data
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah angket. Alasan menggunakan
metode angket yaitu :1) Subyek merupakan orang yang paling tahu tentang
keadaan dirinya sendiri 2) Pemyataan subjek kepada peneliti adalah benar dan
dapat dipercaya 3) Intepretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang
diajukan peneliti sama dengan yang dimaksudkan peneliti (Hadi, 1986).
Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa 2 angket yaitu:
1. Angket motif berafiliasi
2. Angket gaya hidup metroseksual
Angket yang digunakan untuk mengukur motif berafiliasi merupakan
modifikasi dari angket motif berafiliasi yang diambil dari Harsja (1995)
34
berdasarkan teori-teori dari Hill (1987). Aitem-aitem angket motif berafiliasi terdiri dari 43 aitem dan terbagi dalam 4 aspek. Keempat aspek tersebut adalah : a.Aspek 1 : Kebutuhan akan dukungan emosional
b.Aspek 2 : Kebutuhan akan stimulasi positif
c.Aspek 3 : Kebutuhan akan perhatian
d.Aspek 4 : Kebutuhan untuk melakukan perbandingan sosial
Angket yang digunakan untuk mengungkap gaya hidup metroseksual disusun oleh peneliti berdasarkan karakteristik metroseksual dan ciri-ciri mereka dapat dilihat berdasarkan aspek sebagai berikut (Kartajaya dkk, 2004)
a.Aspek 1 :Sangat memperhatikan penampilan
b.Aspek 2 :Memiliki kesadaran tinggi mengenai kesetaraan gender
c.Aspek 3 : Fashion oriented d.Aspek 4 : Social Butterfly 1.Skala Gaya Hidup Metroseksual
Aspek-aspek skala gaya hidup metroseksual dijabarkan dalam aitem-aitem
yang terdiri dari aitem favorabel dan unfavorabel.
Tabel 1
Blue Print Skala Gaya Hidup Metroseksual
Aspek Aitem Favorable Aitem Unfavorable
Nomor butir Jumlah
4 Nomor butir 25,27,29,31,32 Jumlah Memperhatikan 24,26,28,30 5 penampilan Kesadaran 1,2,3,6,9 5 4,5,7,8,10 5 mengenai kesetaraan gender Fashion oriented 11,12,13,14,15,17, 18,19,21,22,23 11 16,20 2 Social Butterfly 33,34,36,38,40,41, 44,47 8 35,37,39,42, 43,45,46 7 Jumlah 28 19
35
Aitem-aitem angket gaya hidup metroseksual terdiri dari 47 aitem terdiri dari
penjabaran karakteristik metroseksual. Angket gaya hidup metroseksual disusun dalam model Likert yang telah dimodifikasi sehingga hanya terdiri dari 4 alternatif jawaban yang tersedia :1) Pemyataan favorabel SS (Sangat sesuai)= 4, S (Sesuai)= 3, TS (Tidak Sesuai)= 2, STS (Sangat Tidak Sesuai)= 1, 2) Pemyataan unfavorabel STS (Sangat Tidak Sesuai)= 4, TS (Tidak Sesuai)= 3, S (Sesuai)= 2, SS (Sangat Sesuai)= 1
2. Skala Motif Berafiliasi
Aspek-aspek motif berafiliasi akan dijabarkan dalam aitem-aitem yang terdiri
dari aitem favorabel dan unvaforabel.
Tabel 2
Blue Print Skala Motif Berafiliasi
Aspek Aitem Favorabel Aitem Unfavorabel
Nomor aitem Jumlah Nomor Aitem Jumlah
Kebutuhan dukungan 33,34,35,36, 9 42,43 2 emosional 37,38,39,40,41 Kebutuhan stimulasi 1,2,4,6,8, 7 3,5,7,9,10 5 positif 11,12 Kebutuhan akan 13,14,15,17,18, 9 16,21 2 perhatian 19,20,22,23 Kebutuhan 24,25,27, 6 26,29,32 3 melakukan 28,30,31 perbandingan sosial Jumlah 31 12
Angket motif berafiliasi disusun dalam bentuk model Likert dan terdiri dari
pernyataan-pernyataan favorabel dan unfavorabel. Adapun pemilihan jawaban yang mengacu pada model Likert telah dimodifikasi sehingga hanya terdiri dari 4 alternatif jawaban dengan rentang nilai sebagai berikut: 1) Pemyataan favorabel SS (Sangat sesuai) = 4, S (Sesuai) = 3, TS (Tidak Sesuai) = 2, STS (Sangat
36
Tidak Sesuai) = 1, 2) Pemyataan unfavorable STS (Sangat Tidak Sesuai) = 4, TS (Tidak Sesuai) = 3, S (Sesuai) = 2, SS (Sangat Sesuai) = 1
E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Uji Validitas
Validitas alat ukur mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat ukur dikatakan
memiliki validitas tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hail ukur sesuai dengan maksud dilakukannya penelitian tersebut
(Azwar, 2003)
Pendekatan yang digunakan untuk menguji validitas skala adalah seleksi aitem dan validitas isi. Pendekatan seleksi aitem menguji korelasi antara skor
butir aitem dan skor total. Teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi
product moment dari Pearson. Sedangkan validitas isi adalah aitem-aitem dalam
skala tersebut mencakup keseluruhan objek yang hendak diukur.
2. Uji Reliabilitas
Reliabilitas alat ukur berhubungan dengan sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Suatu hasil dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek belum berubah
37
F. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara statistik.
Teknik analisis statistik yang digunakan adalah teknik korelasi Product Moment dari Pearson dengan bantuan program komputer SPSS 11.0 for windows
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Orientasi Kancah dan Persiapan
1. Orientasi Kancah
Responden penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk mengambil data penelitian adalah laki-laki yang tinggal di kota besar (Jakarta). Penelitian
dilakukan di Jakarta karena Jakarta adalah kota terbesar di Indonesia, dan
sebagian dari penduduknya berasal dari kalangan atas (termasuk di dalamnya pria metroseksual). Di Jakarta, penelitian lebih banyak dilakukan di mal-mal terbesar di Jakarta, seperti Plaza Senayan, Entertainment X'enter Plaza Indonesia, Cilandak Town Square, Mangga Dua, Hard Rock Cafe, Starbucks Cofee. Sedangkan alasan dipilihnya Mal seperti diatas dikarenakan pengunjung yang datang adalah kelas menengah atas. Di mata pengunjung, khususnya segmen menengah atas {middle up) mal bukan lagi sekedar tempat belanja melainkan telah menjadi tempat hang out, arena hiburan, dan bahkan lebih luas lagi telah menjadi tempat pertemuan berbagai budaya. Porsi belanja hanyalah beberapa persen, sedangkan porsi hiburannya mendominasi minat individu yang berkunjung ke suatu mal. Plaza Indonesia yang terletak di kawasan bisnis Jl. Moh Husni Thamrin Jakarta Pusat, mencoba meraih pasar yang lebih high class (lebih keatas). Plaza Indonesia mulai mengurangi aneka barang dagangan untuk kalangan menengah. Plaza Senayan juga demikian yakni mengambil pangsa pasar golongan atas tapi banyak entertainment. Plaza Indonesia lebih banyak butiknya disamping memperbanyak kafe. Pengunjung memang lebih banyak di
39
Plaza Senayan ketimbang Plaza Indonesia, ini karena Plaza Indonesia mengambil pangsa pasar dari golongan atas yang paling ujung sekali. Karena itu pengunjung
Plaza Senayan lebih banyak daripada Plaza Indonesia. Plaza Indonesia tidak
memerlukan pengunjung yang banyak tapi yang penting kalangan masyarakat yang datang itu tepat yakni masyarakat borjuis kelas atas, sementara Plaza Senayan masih dikunjungi oleh kelas menengah atas. Letak Plaza Senayan yang ada di tengah kota tentu jadi alasan utama kenapa tempat ini jadi tempat favorit
meeting point. Bisa dipastikan berbagai gaya ada disana, mulai dari hip-hop
sampai punk terlihat berkeliaran di Plaza Senayan setiap weekend. Dengan konsep mal atau plaza yang menawarkan one stop entertainment b\sa dipastikan banyak kegiatan yang bisa dilakukan untuk menghabiskan weekend, baik itu untuk sekedar cuci mata sampai mengisi perut bisa dilakukan disana. Metode pengisian angket banyak di lakukan di toko buku yang ada di dalam mal, seperti Kinokuniya Book Store yang ada di lantai 5 Plaza Senayan karena biasanya pengunjung sedang santai atau sedang menghabiskan waktu di sela-sela waktu istirahat kantor, sehingga wawancara atau pengisian angket jadi lebih mudah.
Penelitian juga dilakukan di Salon Toni&Guy yang ada di Entertainment X'enter Plaza Indonesia, biasanya salon ini padat pengunjung pada akhir pekan, bukan hanya dipenuhi oleh para wanita tapi juga para pria. Meskipun harga di Salon itu lebih tinggi dibandingkan salon yang lainnya, konsumen termasuk kaum pria tersebut membayar lebih. Di Toni&Guy mereka mendapat perlakuan yang istimewa. Potong rambut bukan sekedar lagi potong rambut, tapi potong rambut yang benar-benar sesuai dengan bentuk muka bahkan kepribadian seseorang. Di bawah arahan para hairdreser yang sudah professional. Bukan hanya itu saja,
40
sambil potong rambut atau melakukan perawatan diri lainnya mereka dapat mendengarkan musik atau membaca-baca majalah mode edisi terbaru sambil menikmati minuman. Selain itu kalau mereka potong rambut, waktu sampai pada fase akhir pemotongan rambut, biasanya para penata rambut memberikan mereka "ilmu" untuk menata rambut dengan berbagai tawaran produk yang
mungkin dapat membantu dan memudahkan mereka dalam menata rambut.
Dalam 7 hari seminggu, Hard Rock Cafe yang terletak di Podium Gedung Sarinah, Thamrin ini tak pernah sepi pengunjung. Selain itu tempat ini juga kaya akan aneka program. Dari Ericcson I Like Monday, penampilan on stage para artis lokal setiap senin malam, hingga promosi makanan. Setiap harinya, selasa
sampai minggu, live music yang bisa dilihat di Hard Rock Cafe adalah Asia One
Band. Pertunjukan dimulai pukul 22.30-01.00 untuk hari minggu. Dan
23.30-02.00 untuk jumat dan sabtu. Hard Rock Cafe buka setiap hari minggu- kamis pukul 11.00-02.00 dan jumat-sabtu hingga pukul 3 dini hari. Bukan hanya makanan dan minuman yang diandalkan, Hard Rock Cafe juga ingin memuaskan selera musik pengunjungnya. Program Music dan Happy Hour had'w dimulai pukul 17.00-20.00 setiap harinya, pengunjung dapat meminta lagu dan video klip yang
disuka.
Jika anda masuk di Starbucks Cofee yang pertama dirasakan adalah suasana
yang nyaman dan bau kopi yang khas. Ketika sampai di counter pemesanan, anda akan dilayani oleh para pelayan dengan ramah. Dan ketika duduk rasanya
akan sulit beranjak karena anda akan menikmati suasana yang ada. Orang
bersedia untuk mengeluarkan uang lebih untuk menikmati kopi di Starbucks Cofee karena yang mereka beli dan cari bukan semata-mata hanya kopi saja,