• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modul Farmaekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Modul Farmaekonomi"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

BAB I

KONSEP DASAR DAN PENGERTIAN FARMAKOEKONOMI

A. Pengertian Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh dihubungkan dengan pengunaan obat dalam perawatan kesehatan. Analisis farmakoekonomi menggambarkan dan menganalisa biaya obat untuk sistem perawatan kesehatan. Studi farmakoekonomi dirancang untuk menjamin bahwa bahan-bahan perawatan kesehatan digunakan paling efisien dan ekonomis (Orion, 1997).

Farmakoekonomi di defenisikan juga sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi serta determinasi suatu alternatif terbaik. Evaluasi farmakoekonomi memperkirakan harga dari produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih sudut pandang (Vogenberg, 2001).

B. Tujuan Farmakoekonomi

Tujuan dari farmakoekonomi diantaranya membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama selain itu juga dapat membandingkan pengobatan (treatment) yang berbeda untuk kondisi yang berbeda). Adapun prinsip farmakoekonomi sebagai berikut yaitu menetapkan masalah, identifikasi alternatif intervensi, menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat, identifikasi dan mengukur outcome dari alternatif intervensi, menilai biaya dan efektivitas, dan langkah terakhir adalah interpretasi dan pengambilan kesimpulan. Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya terbatas misalnya pada RS pemerintah dengan dana terbatas dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien, profesi

(3)

pada pelayanan kesehatan (Dokter, Farmasis, Perawat) dan administrator tidak sama dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001).

C. Ruang Lingkup Farmakoekonomi

Ruang lingkup farmakoekonomi tidak hanya untuk para pembuat kebijakan di bidang kesehatan saja, tetapi juga bagi tenaga kesehatan, industri farmasi, perusahaan asuransi dan bahkan pasien, dengan kebutuhan dan cara pandang yang berbeda.

Bagi pemerintah, farmakoekonomi sangat berguna dalam memutuskan apakah suatu obat layak dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi, serta membuat kebijakan-kebijakan strategis lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Contoh kebijakan terkait farmakoekonomi yang relatif baru diterapkan di Indonesia adalah penerapan kebijakan INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group) yang menyetarakan standar pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah.

Hasil studi farmakoekonomi dapat berguna untuk industri farmasi dalam hal, antara lain penelitian dan pengembangan obat, strategi penetapan harga obat, serta strategi promosi dan pemasaran obat. Selain itu, data farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk memutuskan obat mana saja yang dapat dimasukkan atau dihapuskan dalam formularium rumah sakit, yang biasanya disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi Rumah Sakit. Farmakoekonomi juga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan pedoman terapi obat.

Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan mewujudkan penggunaan obat yang rasional dengan membantu pengambilan keputusan klinik, mengingat penggunaan obat yang rasional tidak hanya mempertimbangkan aspek keamanan, khasiat, dan mutu saja, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek ekonomi. Pada akhirnya, pasien diharapkan akan memperoleh alokasi sumber daya pelayanan kesehatan yang optimal dengan cara mengukur serta membandingkan aspek khasiat serta aspek ekonomi dari berbagai alternatif terapi pengobatan.

(4)

pengambilan kebijakan pelayanan kesehatan sehingga dapat tercapai hasil yang efisien dan ekonomis. Kesadaran akan terbatasnya sumber daya dalam upaya pelayanan kesehatan membuat kebutuhan akan farmakoekonomi menjadi semakin mendesak.

(5)

BAB II

MODEL ANALISIS FARMAKOEKONOMI

A. Evaluasi dalam farmakoekonomi meliputi

Metode-metode analisis dan evaluasi ekonomi yang digunakan dalam farmakoekonomi meliputi: Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis (CEA), Cost-Benefit Analysis (CBA), dan Cost-Utility Analysis (CUA) (Trisnantoro, 2005).

a. Cost-Minimization Analysis.

Cost-Minimization Analysis adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Suatu kekurangan yang nyata dari analisis cost-minimization yang mendasari sebuah analisis adalah pada asumsi pengobatan dengan hasil yang ekivalen. Jika asumsi tidak benar dapat menjadi tidak akurat, pada akhirnya studi menjadi tidak bernilai. Pendapat kritis analisis cost-minimization hanya digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama (Orion, 1997).

Metode Cost-minimization analysis (CMA) membandingkan biaya total penggunaan 2 atau lebih obat yang khasiat dan efek samping obatnya sama (ekuivalen). Karena obat-obat yang dibandingkan memberikan hasil yang sama, maka CMA memfokuskan pada penentuan obat mana yang biaya per-harinya paling rendah.

Contoh dari analisis cost-minimization adalah terapi dengan antibiotika generik dengan paten, outcome klinik (efek samping dan efikasi sama), yang berbeda adalah omset dan durasinya. Maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per-harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).

b. Cost-Benefit Analysis

Analisis Cost-Benefit adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil

(6)

bermanfaat pada kondisi antara manfaat dan biaya mudah dikonversi ke dalam bentuk rupiah (Orion, 1997).

Merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda. Merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif dan sulit dilakukan karena mengkonversi benefit kedalam nilai uang (Vogenberg, 2001).

Metode Cost-Benefit analysis (CBA) mengukur dan membandingkan biaya penyelenggaraan 2 program kesehatan dimana outcome dari kedua program tersebut berbeda (contoh: cost-benefit dari program penggunaan vaksin dibandingkan dengan program penggunaan obat antihiperlipidemia). Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya kalau program kesehatan dilakukan. Makin tinggi ratio benefit:cost, maka program makin menguntungkan. Metode ini juga digunakan untuk meneliti pengobatan tunggal. Jika rationya lebih dari 1, maka pengobatan dianggap bermanfaat karena ini berarti manfaatnya lebih besar dari biayanya.

CBA merupakan analisis yang paling komprehensif dan sulit untuk dilakukan. Berbeda dengan CEA yang menggunakan efek terapeutik sebagai outcome atau CUA yang menggunakan kualitas hidup, maka CBA menggunakan nilai uang dalam mengukur benefit, sehingga dapat menimbulkan perdebatan, sebagai contoh: berapa nilai uang sebuah kualitas hidup seseorang? Pertanyaan yang harus dijawab dalam cost-benefit analysis adalah alternatif mana yang harus dipilih diantara alternatif-alternatif yang dapat memberikan manfaat atau benefit yang paling besar (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).

c. Cost-Effectiveness Analysis

Analisis Cost-Effectiveness adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, dimana pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan.

Metode yang paling sering dilakukan adalah Cost-effectiveness analysis (CEA). Metode ini cocok jika terapi yang dibandingkan memiliki hasil terapi

(7)

(outcome) yang berbeda. Metode ini digunakan untuk membandingkan obat-obat yang pengukuran hasil terapinya dapat dibandingkan. Sebagai contoh, membandingkan dua obat yang digunakan untuk indikasi yang sama tetapi biaya dan efektifitasnya berbeda. CEA mengubah biaya dan efektifitas ke dalam bentuk ratio.

Ratio ini meliputi cost per cure (contoh: antibiotika) atau cost per year of life gained (contoh: obat yang digunakan pada serangan jantung). Pada saat membandingkan dua macam obat, biasanya digunakan pengukuran incremental cost-effectiveness yang menunjukkan biaya tambahan (misalkan, per cure atau per life saved) akibat digunakannya suatu obat ketimbang digunakannya obat lain. Jika biaya tambahan ini rendah, berarti obat tersebut baik untuk dipilih, sebaliknya jika biaya tambahannya sangat tinggi maka obat tersebut tidak baik untuk dipilih.

Analisis Cost-Effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian pogram mana yang akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis/ pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 1994).

Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis cost-effectiveness berdasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa dicegah.

Contoh sederhana, program A dengan biaya US $ 25.000 dapat menyelamatkan 100 orang penderita. Sehingga unit costnya atau CE rationya US $ 250/ life. Sedangkan dengan biaya yang sama, program B hanya dapat menyelamatkan 15 orang penderita, berarti unit costnya atau CE rationya mencapai $ 1,677/ life. Dalam hal ini jelaslah bahwa program A yang akan dipilih karena lebih efektif daripada program B (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).

(8)

mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat yang dibandingkan.

d. Cost-Utility Analysis

Metode lain adalah Cost-Utility analysis (CUA). Metode ini dianggap sebagai subkelompok CEA karena CUA juga menggunakan ratio cost-effectiveness, tetapi menyesuaikannya dengan skor kualitas hidup. Biasanya diperlukan wawancara dan meminta pasien untuk memberi skor tentang kualitas hidup mereka. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sudah dibakukan, sebagai contoh digunakan skala penilaian (0= kematian; 10= kesehatan sempurna). Quality-adjusted life years (QALYs) merupakan pengukuran yang paling banyak digunakan.

Analisis Cost-Utility adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam utility-beban lama hidup; menghitung biaya per utility; mengukur ratio untuk membandingkan diantara beberapa program. Analisis cost-utility mengukur nilai spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap individu atau masyarakat. Seperti analisis cost-effectiveness, cost-utility analysis membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan (Orion, 1997).

Dalam cost-utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya ditunjukan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi kedalam nilai QALYs, sebagai contoh jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup. Kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997).

B. Kerangka dalam menetapkan biaya

Strategi dalam mengaplikasikan hasil studi farmakoekonomi untuk menetapkan biaya, maka sebelum mengaplikasikan data farmakoekonomi ke "dunia nyata", terlebih dahulu harus dimiliki keterampilan dalam mengevaluasi secara kritis hasil penelitian farmakoekonomi yang sudah dipublikasikan. Pedoman dalam melakukan evaluasi penelitian farmakoekonomi telah banyak dipublikasikan.

(9)

Untuk menerapkan data farmakoekonomi dari literatur ke "dunia nyata" sesuai situasi dan kondisi setempat, ada 3 strategi yang dapat dilakukan, yaitu: 1. Menggunakan langsung data dari literatur;

2. Membuat data model ekonomi (economic modeling data); 3. Melakukan penelitian sendiri.

Pemilihan strategi yang akan dilakukan sebaiknya mempertimbangkan juga dampak yang akan dihasilkan baik terhadap biaya maupun mutu pelayanan. Jika dampaknya minimal, maka strategi menggunakan data langsung dari literatur dapat dijadikan pilihan. Jika dampaknya lumayan, maka membuat data model ekonomi dapat dipilih. Sedangkan jika dampaknya besar, maka perlu melakukan penelitian sendiri agar data yang didapat benar-benar sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka sudah seyogyanya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu membuat keputusan dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis.

(10)

BAB III

MANFAAT DAN KEKURANGAN PENERAPAN FARMAKOEKONOMI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP

A. Manfaat Penerapan Farmakoekonomi dalam Meningkatkan Kualitas Hidup

Manfaat yang dapat diperoleh dalam penerapan farmakoekonomi dalam meningkatkan kualitas hidup manusia adalah:

1.Memberikan pelayanan maksimal dengan biaya yang terjangkau.

Hal ini memberikan manfaat, yaitu terdapat banyak pilihan obat yang dapat diberikan untuk tindakan terapi bagi pasien. Oleh karena itu, pertimbangan farmakoekonomi dalam menentukan terapiyang akan diberikan kepada pasien sangat diperlukan, misalnya dengan penggunaan obat generic. Di Indonesia khususnya, telah terdapat 232 jenis obat generic yang diregulasi dan disubsidi oleh pemerintah dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan obat patennya.

2.Angka kesembuhan meningkat.

Angka kesehatan meningkat dan angka kematian menurun. Terapi yang diberikan oleh dokter akan berhasil apabila pasien patuh terhadap pengobatan penyakitnya. Kepatuhan ini salah satunya dipengaruhi oleh factor ekonomi. Selain itu ketepatan dokter dalam memilih terapi yang tepat untuk penyakit pasien atau berdasar Evidense Based Medicine juga berpengaruh.

3.Menghindari tuntutan dari pihak pasien dan asuransi terhadap dokter dan rumah sakit karena pengobatan yang mahal.

Seorang pasien menjadi semakin kritis dan ingin tahu untuk apa saja ia membayar, termasuk dalam halo bat-obatan atau terapi serta pemeriksaan yang dilakukan. Apabila ada kesan kelalaian dokter dan pihak rumah sakit, pasien berhak mengajukan tuntutan ke pengadilan.

(11)

B. Kekurangan Penerapan Farmakoekonomi dalam Meningkatkan Kualias Hidup

Kekurangan penerapan farmakoekonomi dalam meningkatkan kualitas hidup: 1. Untuk mendapatkan manfaat dari farmakoekonomi secara maksimal maka diperlukan edukasi yang baik bagi praktisi medic termasuk dokter maupun masyarakat, dan menghilangkan pandangan masyarakat bahwa obat yang mahal itu pasti bagus. Hal ini belum tentu karena obat yang rasional adalah obat yang murah tapi tepat untuk penyakitnya.

2. Diperlukan peran pemerintah membuat regulasi obat-obat generic yang bermutu untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan baik tingkat pusat sampai kecamatan dan desa.

3. Tidak selamanya ke empat evaluasi farmakoekonomi yang meliputi Cost-Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis (CEA), Cost-Benefit Analysisi (CBA), dan Cost-Utility Analysis (CUA) dapat berjalan bersamaan.

C. Aplikasi analisis cost-minimization

Lisa Sanchez, seorang pakar farmakoekonomi dari Amerika Serikat mengemukakan suatu istilah yang disebut applied pharmacoeconomics dan mendefinisikannya sebagai: Putting pharmacoeconomic principles, methods and theories into practice, to quantify the "value" of pharmacy products and pharmaceutical care services utilized in "real-world" environments". Jika kita mengacu pada definisi di atas, maka farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk menilai biaya-manfaat baik dari produk obat maupun pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).

Farmakoekonomi tidak hanya penting bagi para pembuat kebijakan di bidang kesehatan saja, tetapi juga bagi tenaga kesehatan (dokter, apoteker), industri farmasi, perusahaan asuransi dan bahkan pasien, yang masing-masing mempunyai kebutuhan dan cara pandang yang berbeda. Bagi pembuat kebijakan, farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk: memutuskan apakah suatu obat layak dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi, memilih program pelayanan

(12)

Di tingkat rumah sakit, data farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk memutuskan apakah suatu obat bisa dimasukkan ke dalam formularium rumah sakit, atau sebaliknya, suatu obat harus dihapus dari formularium rumah sakit karena tidak cost-effective dibandingkan obat lain. Selain itu juga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun pedoman terapi, obat mana yang akan digunakan sebagai obat lini pertama dan lini berikutnya.

Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan untuk membantu pengambilan keputusan klinik dalam penggunaan obat yang rasional, karena penggunaan obat yang rasional tidak hanya mempertimbangkan dimensi aman-berkhasiat-bermutu saja, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai ekonominya. Sedangkan industri farmasi berkepentingan dengan hasil studi farmakoekonomi untuk berbagai hal, antara lain: penelitian dan pengembangan obat, penetapan harga, promosi dan strategi pemasaran.

Di Australia dan Kanada, hasil studi farmakoekonomi menjadi bahan pertimbangan utama dalam mengevaluasi suatu obat baru yang akan dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi pemerintah. Kebijakan ini juga sudah mulai diikuti oleh negara-negara di Eropa. Di Amerika Serikat, beberapa perusahaan asuransi melakukan studi farmakoekonomi sendiri dan tidak tergantung dari hasil studi yang dilakukan industri farmasi.

Apoteker dengan pengetahuannya yang mendalam tentang obat, selayaknya memiliki pengetahuan pula tentang prinsip-prinsip farmakoekonomi, dan akan lebih baik lagi jika mempunyai keterampilan yang memadai dalam mengevaluasi hasil studi farmakoekonomi

(13)

BAB IV STUDI KASUS A. Studi Kasus 1

Suatu antibiotik diketahui mempunyai waktu paruh 2 jam dan volum distribusi 200 ml/kg berat badan. Konsentrasi efektif minimum dan konsentrasi toksik minimum dari antibiotik tersebut masing-masing sebesar 2 μg/ml dan 16 μg/ml. Dokter menginginkan antibiotik tersebut diberikan dengan dosis 250 mg setiap 8 jam melalui pemberian injeksi intravena bolus.

a. Berikan pendapat anda mengenai aturan dosis yang diberikan jika obat tersebut akan diberikan kepada seorang pasien yaitu Tuan X yang berusia 28 tahun dengan berat badan 80 kg (Nilai F dan s adalah masing-masing 1).

b.Apakah anda akan merekomendasikan rancangan dosis yang baru untuk pasien tersebut? Jika ya berikan rancangan dosis yang baru beserta alasannya!

Jawaban :

a.Diketahui Dosis (D) = 250 mg

Vd = 200 ml/kg BB = 200 ml/kg x 80 kg = 16000 ml = 16 l Rentang konsentrasi yg diinginkan = 2μg/ml---<16 μg/ml T1/2 = 2 hr Kel = 0.693/2 jam = 0.347 jam-1σ= 8 hr Cav = F x S xD

Vd x Kel x σ Cav = 1 x 250 mg

16 L x 0.347 jam-1x 8 jam= 5.64 mg/L = 5.64 μg/mL

b.Tidak perlu ada penyesuaian aturan dosis karena rancangan dosis yang diberikan (250 mg setiap 8 jam) sudah memberikan konsentrasi obat yang berada dalam interval konsentrasi terapetik yang diinginkan.

B. Studi Kasus 2

Seorang pasien asma (usia 55 tahun, berat badan 78 kg) menerima infus intravena aminofilin dengan kecepatan infus 36 mg/jam. Diketahui konsentrasi rata-rata (Cav) sebesar 12 μg/ml dan klirens sebesar 3 ml/jam.

(14)

b.Jika teofilin yang tersedia di pasaran adalah tablet teofilin 500 mg, bagaimana anda merancang aturan dosisnya?

Jawaban Cav = F x S x D Vd x Kel x σ D= Cav x Kel x Vd Σ S x F = 12 μg/mL x 3 L/jam 0.85 x 0.9 D= 47.06mg/jamσ

b. Teofilin yang diberikan untuk 1 hari (24 jam) = 47,06 mg/jam x 24 jam

= 1129.44 mg/24 jam ~ 1000 mg/24 jam

Jadi teofilin dapat diberikan sebanyak 2 tablet (1000 mg) sebanyak satu kali/hari atau

diberikan 1 tablet dengan frekuensi dua kali/hari.

C. Penyesuaian aturan dosis pada penderita dengan kerusakan ginjal

Ginjal merupakan organ ekskresi utama yang juga berperan penting dalam pengaturan kadar cairan tubuh dan keseimbangan elektrolit.Bila terjadi kerusakan ataupun penurunan fungsi ginjal, baik terjadi secara akut maupun kronik, maka berpengaruh padafarmakokinetika obat-obat tertentu terutama yang diekskresikan lewat ginjal. Salah satu penyakit yang terkait dengan kerusakan ginjal adalah uremia. Uremia merupakan akumulasi cairan dan produk-produk nitrogen secara berlebihan dalam darah yang disebabkan adanya penurunan proses filtrasi di glomerulus ginjal. Kondisi uremia akan menyebabkan penurunan klirens dan memperpanjang waktu paruh eliminasi dari obat yang digunakan. Untuk melakukan penyesuaian aturan dosis pada kondisiuremia ini dapat dilakukan melalui 2 pendekatan, yaitu :

1.penyesuaian dosis berdasarkan klirens obat

(15)

Pendekatan yang pertama dilakukan dengan prinsip utama untuk mempertahankan Cav yang diinginkan jika terjadi perubahan kli

rens total tubuh setelah pemberian obat baik dosis oral ganda ataupun injeksi intravena bolus ganda. Untuk penderita

dengan kondisi uremia maka klirens tubuh total akan berubah ke suatu nilai baru Clu. Oleh karena itu, untuk mempertahankan Cav yang sama se

perti yang diinginkan maka dosis harus berubah menjadi Du atau jarak waktu pemberian dosis harus berubah menjadi σu seperti pada persamaan berikut : Cav = F.D→Cav= Dn = Du

Cl.σ Cln.σ nClu.σu

Adapun untuk pemberian secara infus IV, Css yang diinginkan dipertahankan baik untuk pasien dengan fungsi ginjal normal maupun untuk pasien uremia seperti pada persamaan berikut :

Css =R = R Cln Clu Keterangan :

N=normal U=uremi

Setelah mempelajari pendekatan pertama maka mahasiswa sekarang akan mengetahui pendekatan kedua yaitu penyesuaian dosis berdasarkan konstanta kecepatan eliminasi. Pada pasien uremia, konstanta kecepatan eliminasi akan menurun. Suatu aturan dosis dapat dirancang dengan menurunkan dosis normal obat dengan mempertahankan frekuensi pemberian (jarak waktu pemberian) atau dengan menurunkan frekuensi pemberian dan mempertahankan dosis tetap. Untuk cara pertama ditunjukkan dengan persamaan di bawah ini ;

Ku=1-fe (1-Clu) Kn Cln Du= Ku Dn Kn Keterangan :

(16)

Adapun cara kedua dari pendekatan ini dapat dilihat melalui persamaan di bawah ini ;

σn= Kn σu Ku

Untuk lebih memahami penerapan farmakokinetika klinis dalam penyesuaian aturan dosis pada penderita dengan kerusakan ginjal.

D. Studi Kasus 3

Farmakoekonomi Dampak Penulisan Resep yang Tidak Sesuai dengan Standar Pengobatan terhadap Pasien di Rumah Sakit Umum Kabupaten.

Hampir semua rumah sakit umum daerah telah membuat standar pengobatan dan formularium rumah sakit, namun belum diketahui (1) seberapa besar kesesuaian penulisan resep untuk penyakit tertentu dengan standar pengobatan yang obatnya tercantum pada FRS, (2) seberapa besar selisih biaya yang harus dibayar pasien akibat penulisan resep yang tidak sesuai dengan standar pengobatan yang obatnya tercantum pada FRS, (3) berapa rerata kemampuan pasien membayar biaya pengobatan, dan (4) bagaimana peran instalasi farmasi dan panitia farmasi terapi berkaitan dengan ketidak sesuaian penulisan resep dan standar pengobatan.

Metode penelitian cross sectional dilakukan terhadap 258 pasien di RSU Kabupaten K serta 272 pasien di RSU Kabupaten B. Sampel penelitian pasien pasien rawat jalan dan rawat inap untuk penyakit TB paru, hipertensi, demam tifoid dan diabetes, serta dilengkapi dari medical record. Pengumpulan data dilakukan dengan kunjungan ke RSU kabupaten untuk melatih pewawancara pasien dan pengumpulan data sekunder. Ujicoba kuesioner pasien rawat jalan, rawat inap dan rumah sakit dilakukan di RSU Kota Jakarta Timur. Analisis data mencakup analisis deskriptif dan analisis biaya obat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa :

1. Ketidaksesuaian antara jenis obat yang ditulis pada resep dan FRS di RSU Kabupaten K sebesar 66,7% untuk pasien rawat jalan TB Paru/ KP dan 96,6% untuk pasien rawat jalan hipertensi, sedangkan di RSU Kabupaten B sebesar

(17)

44,8% untuk pasien TB paru, 82,3% untuk pasien hipertensi, dan 76,7% untuk pasien diabetes mellitus.

2. Rata-rata biaya obat di RSU Kabupaten K untuk pasien TB paru rawat inap per hari Rp 110.955 dan rawat jalan per kunjungan Rp. 47.560, pasien hipertensi rawat inap per hari Rp. 121.054 dan rawat jalan per kunjungan Rp. 31.940, serta pasien demam tifoid rawat inap per hari Rp. 78.432. Rerata biaya obat di RSU Kabupaten B untuk pasien TB paru rawat inap per hari Rp. 81.671 dan rawat jalan per kunjungan Rp. 47.750, pasien hipertensi rawat inap per hari Rp. 71.417 dan rawat jalan per kunjungan Rp. 25.482, pasien demam tifoid rawat inap per hari Rp. 95.070, serta pasien diabetes rawat inap per hari Rp. 86.481 dan pasien rawat jalan per kunjungan Rp. 30.941.

3. Rata-rata selisih biaya obat yang harus dibayar oleh pasien rawat jalan per kunjungan RSU Kabupaten K sebesar Rp. 10.060 untuk TB paru dan Rp. 26.552 untuk hipertensi, sedangkan di RSU Kabupaten B sebesar Rp. 5.818 untuk TB paru, Rp. 8.956 untuk hipertensi, dan Rp. 15.218 untuk diabetes melitus. 4. Kemampuan pasien membayar biaya pengobatan di RSU Kabupaten K Rp. 19.807 dan pasien di RSU Kabupaten B Rp. 15.301, lebih rendah daripada biaya pengobatan rawat jalan per kunjungan, apalagi biaya rawat inap. 5. Peran PFT dalam menyusun formularium RSU dan standar pengobatan cukup baik, namun demikian sosialisasinya kepada penulis resep belum berjalan dengan baik.

(18)

BAB V

CONTOH-CONTOH APLIKASI FARMAKOEKONOMI

A. Aplikasi Farmakoekonomi

Biaya pelayanan kesehatan, khususnya biaya obat, telah meningkat tajam beberapa dekade terakhir, dan kecenderungan ini tampaknya akan terus berlanjut. Hal ini antara lain disebabkan populasi pasien usia lanjut yang semakin banyak dengan konsekuensi meningkatnya penggunaan obat, adanya obat-obat baru yang lebih mahal, dan perubahan pola pengobatan. Di sisi lain, sumber daya yang dapat digunakan terbatas, sehingga harus dicari cara agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Perkembangan farmakoepidemiologi saat ini tidak hanya meneliti penggunaan dan efek obat dalam hal khasiat (efficacy) dan keamanan (safety) saja, tetapi juga menganalisis dari segi ekonominya. Studi khusus yang mempelajari hal ini dikenal dengan nama farmakoekonomi.

Farmakoekonomi adalah studi yang mengukur dan membandingkan antara biaya dan hasil/konsekuensi dari suatu pengobatan. Tujuan farmakoekonomi adalah untuk memberikan informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Jika kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa kelebihan suatu obat dilihat dari segi cost-effectiveness-nya dibandingkan obat lain? Apakah diperoleh hasil terapi yang baik dengan biaya yang wajar? Apakah suatu obat dapat dimasukkan ke dalam formularium atau ke dalam daftar obat yang disubsidi? Maka farmakoekonomi dapat berperan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Informasi farmakoekonomi saat ini dianggap sama pentingnya dengan informasi khasiat dan keamanan obat dalam menentukan pilihan obat yang akan digunakan. Farmakoekonomi dapat diaplikasikan baik dalam skala mikro -misalnya dalam menentukan pilihan terapi untuk seorang pasien untuk suatu penyakit, maupun dalam skala makro -misalnya dalam menentukan obat yang akan disubsid atau yang akan dimasukkan ke dalam formularium.

(19)

Seiring dengan berkembangnya pelayanan farmasi klinik yang dilakukan oleh apoteker di berbagai belahan dunia, maka ruang lingkup farmakoekonomi juga meliputi studi tentang manfaat pelayanan farmasi klinik secara ekonomi.

Hasil studi semacam ini bisa dimanfaatkan untuk menjustifikasi apakah suatu bentuk pelayanan farmasi klinik dapat disetujui untuk dilaksanakan di suatu unit pelayanan, ataukah suatu pelayanan farmasi klinik yang sudah berjalan dapat terus dilanjutkan.

Pihak-pihak yang berkepentingan dalam upaya menjadikan pelayanan kesehatan lebih efisien dan ekonomis ditantang untuk mampu melakukan penilaian menyeluruh terhadap suatu obat baik dari segi efektifitas obat maupun dari segi nilai ekonomisnya. Untuk itu diperlukan bekal pengetahuan tentang prinsip-prinsip farmakoekonomi dan keterampilan yang memadai dalam melakukan evaluasi hasil studi farmakoekonomi.

B. Metode-metode dalam farmakoekonomi

Metode-metode analisis yang digunakan dalam farmakoekonomi meliputi: Cost-minimization analysis, Cost-effectiveness analysis, Cost-Utility analysis dan Cost-benefit analysis.2,3

Metode Cost-minimization analysis (CMA) membandingkan biaya total penggunaan 2 atau lebih obat yang khasiat dan efek samping obatnya sama (ekuivalen). Karena obat-obat yang dibandingkan memberikan hasil yang sama, maka CMA memfokuskan pada penentuan obat mana yang biaya per-harinya paling rendah.

Metode yang paling sering dilakukan adalah Cost-effectiveness analysis (CEA). Metode ini cocok jika terapi yang dibandingkan memiliki hasil terapi (outcome) yang berbeda. Metode ini digunakan untuk membandingkan obat-obat yang pengukuran hasil terapinya dapat dibandingkan. Sebagai contoh, membandingkan dua obat yang digunakan untuk indikasi yang sama tetapi biaya dan efektifitasnya berbeda. CEA mengubah biaya dan efektifitas ke dalam bentuk ratio.

(20)

membandingkan dua macam obat, biasanya digunakan pengukuran incremental cost-effectiveness yang menunjukkan biaya tambahan (misalkan, per cure atau per life saved) akibat digunakannya suatu obat ketimbang digunakannya obat lain. Jika biaya tambahan ini rendah, berarti obat tersebut baik untuk dipilih, sebaliknya jika biaya tambahannya sangat tinggi maka obat tersebut tidak baik untuk dipilih.

Metode lain adalah Cost-Utility analysis (CUA). Metode ini dianggap sebagai subkelompok CEA karena CUA juga menggunakan ratio cost-effectiveness, tetapi menyesuaikannya dengan skor kualitas hidup. Biasanya diperlukan wawancara dan meminta pasien untuk memberi skor tentang kualitas hidup mereka. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sudah dibakukan, sebagai contoh digunakan skala penilaian (0= kematian; 10= kesehatan sempurna). Quality-adjusted life years (QALYs) merupakan pengukuran yang paling banyak digunakan.

Metode Cost-Benefit analysis (CBA) mengukur dan membandingkan biaya penyelenggaraan 2 program kesehatan dimana outcome dari kedua program tersebut berbeda (contoh: cost-benefit dari program penggunaan vaksin dibandingkan dengan program penggunaan obat antihiperlipidemia). Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya kalau program kesehatan dilakukan. Makin tinggi ratio benefit:cost, maka program makin menguntungkan. Metode ini juga digunakan untuk meneliti pengobatan tunggal. Jika rationya lebih dari 1, maka pengobatan dianggap bermanfaat karena ini berarti manfaatnya lebih besar dari biayanya. CBA merupakan analisis yang paling komprehensif dan sulit untuk dilakukan. Berbeda dengan CEA yang menggunakan efek terapeutik sebagai outcome atau CUA yang menggunakan kualitas hidup, maka CBA menggunakan nilai uang dalam mengukur benefit, sehingga dapat menimbulkan perdebatan, sebagai contoh: berapa nilai uang sebuah kualitas hidup seseorang?

C.Aplikasi hasil studi farmakoekonomi

Lisa Sanchez -seorang pakar farmakoekonomi dari Amerika Serikat-mengemukakan suatu istilah yang disebut applied pharmacoeconomics dan

(21)

mendefinisikannya sebagai: Putting pharmacoeconomic principles, methods and theories into practice, to quantify the "value" of pharmacy products and pharmaceutical care services utilized in "real-world" environments".4 Jika kita mengacu pada definisi di atas, maka farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk menilai biaya-manfaat baik dari produk obat maupun pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).

Farmakoekonomi tidak hanya penting bagi para pembuat kebijakan di bidang kesehatan saja, tetapi juga bagi tenaga kesehatan (dokter, apoteker), industri farmasi, perusahaan asuransi dan bahkan pasien, yang masing-masing mempunyai kebutuhan dan cara pandang yang berbeda. Bagi pembuat kebijakan, farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk: memutuskan apakah suatu obat layak dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi, memilih program pelayanan kesehatan dan membuat kebijakan-kebijakan strategis lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Di tingkat rumah sakit, data farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk memutuskan apakah suatu obat bisa dimasukkan ke dalam formularium rumah sakit, atau sebaliknya, suatu obat harus dihapus dari formularium rumah sakit karena tidak cost-effective dibandingkan obat lain. Selain itu juga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun pedoman terapi, obat mana yang akan digunakan sebagai obat lini pertama dan lini berikutnya.

Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan untuk membantu pengambilan keputusan klinik dalam penggunaan obat yang rasional, karena penggunaan obat yang rasional tidak hanya mempertimbangkan dimensi aman-berkhasiat-bermutu saja, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai ekonominya. Sedangkan industri farmasi berkepentingan dengan hasil studi farmakoekonomi untuk berbagai hal, antara lain: penelitian dan pengembangan obat, penetapan harga, promosi dan strategi pemasaran. Di Australia dan Kanada, hasil studi farmakoekonomi menjadi bahan pertimbangan utama dalam mengevaluasi suatu obat baru yang akan dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi pemerintah. Kebijakan ini juga sudah mulai diikuti oleh negara-negara di Eropa. Di Amerika Serikat, beberapa perusahaan asuransi melakukan studi farmakoekonomi sendiri

(22)

Apoteker dengan pengetahuannya yang mendalam tentang obat, selayaknya memiliki pengetahuan pula tentang prinsip-prinsip farmakoekonomi, dan akan lebih baik lagi jika mempunyai keterampilan yang memadai dalam mengevaluasi hasil studi farmakoekonomi.

D. Strategi dalam mengaplikasikan hasil studi farmakoekonomi.

Sebelum mengaplikasikan data farmakoekonomi ke "dunia nyata", terlebih dahulu harus dimiliki keterampilan dalam mengevaluasi secara kritis hasil penelitian farmakoekonomi yang sudah dipublikasikan. Pedoman dalam melakukan evaluasi penelitian farmakoekonomi telah banyak dipublikasikan.

Untuk menerapkan data farmakoekonomi dari literatur ke "dunia nyata" sesuai situasi dan kondisi setempat, ada 3 strategi yang dapat dilakukan, yaitu: 1. Menggunakan langsung data dari literatur;

2. Membuat data model ekonomi (economic modeling data); 3. Melakukan penelitian sendiri.

Masing-masing strategi mempunyai kelebihan dan kekurangan, seperti tercantum pada tabel 2. Pemilihan strategi yang akan dilakukan sebaiknya mempertimbangkan juga dampak yang akan dihasilkan baik terhadap biaya maupun mutu pelayanan. Jika dampaknya minimal, maka strategi menggunakan data langsung dari literatur dapat dijadikan pilihan. Jika dampaknya lumayan, maka membuat data model ekonomi dapat dipilih. Sedangkan jika dampaknya besar, maka perlu melakukan penelitian sendiri agar data yang didapat benar-benar sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.

Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka sudah seyogianya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu membuat keputusan dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis.

(23)

BAB VI

COST-EFFECTIVENESS ANALYSIS

Analisis efektivitas biaya (CEA) banyak digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan yang memberikan besaran efek berbeda (Rascati et al., 2009). MelaluiCEApengguna dapat untuk memilih intervensi kesehatan yang memberikan nilai tertinggi dengan dana yang terbatas jumlahnya (cost-effective). Misalnya membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama tetapi memberikanoutcomeberbeda atau membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat diukur dengan unit alamiah yang sama, walau mekanisme kerjanya berbeda.

PadaCEA, biaya intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter (rupiah) dan hasil dari intervensi tersebut dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik klinis maupun non klinis (non-moneter). Tidak seperti unit moneter yang seragam atau mudah dikonversikan, indikator kesehatan sangat beragam—mulai dari mmHg penurunan tekanan darah diastolik (oleh obat antihipertensi), banyaknya pasien katarak yang dapat dioperasi dengan sejumlah biaya tertentu (dengan prosedur yang berbeda), sampai jumlah kematian yang dapat dicegah, jumlah tahun hidup yang diperoleh (Life Years Gained, LYG), dan lain-lain.

Sebab itu,CEAhanya dapat digunakan untuk membandingkan intervensi kesehatan yang memiliki tujuan sama, atau jika intervensi tersebut ditujukan untuk mencapai beberapa tujuan yang muaranya sama (Drummond et al., 1997). Jika hasil intervensinya berbeda, misalnya penurunan kadar gula darah (oleh obat antidiabetes) dan penurunan kadar LDL atau kolesterol total (oleh obat antikolesterol),CEAtak dapat digunakan. Oleh pengambil kebijakan, metode Kajian Farmakoekonomi ini terutama digunakan untuk memilih alternatif terbaik di antara sejumlah intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil maksimal untuk sejumlah dana yang tersedia.

(24)

di Negara berkembang, yaitu 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi di Indonesia dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

Obat golongan kuinolon sampai saat ini masih belum tersedia untuk anak-anak dan remaja yang bebas dari efek samping. Obat standar yang saat ini digunakan untuk demam tifoid yaitu kloramfenikol, ampisilin atau amoksilin, kotrimoksasol (pengobatan lini pertama). Antibiotik alternatif lain untuk pengobatan demam tifoid yaitu golongan sefalosporin generasi ketiga (seftriakson dan sefotaksim secara intravena, cefixim secara oral), dan golongan fluoro-kuinolon.

Masalah biaya kesehatan seperti biaya dokter, rumah sakit, obat, pemeriksaan laboratorium, dan lain-lainnya sejak beberapa tahun terakhir telah banyak menarik perhatian. Sehingga untuk mengalokasikannya perlu dilakukan analisis ekonomi yang terkait dengan pelayanan kesehatan yaitu Cost-Minimization Analysis, Cost-Effectiveness Analysis, Cost-Utility Analysis, dan Cost-Benefit Analysis. Cost-effectiveness analysis yang dimana merupakan alat bantu untuk menganalisis progam-program tersebut sebelum diputuskan alternative mana yang akan dipilih. Oleh karena itu penggunaan antibiotic yang berbeda dapat mengakibatkan besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh pasien, sehingga berdasarkan alasan tersebut penelitian dalam jurnal ini dilakukan untuk mengetahui antibiotik mana yang lebih Cost-effective antara penggunaan sefotaksim dan kloramfenikol pada kasus demam tifoid anak.

B. Metode

Dalam jurnal ini, peneliti menggunakan metode dengan desain cross sectional. Peneliti mengambil sampel berdasarkan data sekunder berupa catatan rekap medis pasien demam tifoid anak yang dirawat inap di ruang aster kelas I RSUD Prof. Margono Soekarjo Purwokerto periode januari 2008 – Desember

(25)

2009. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pasien demam tifoid dengan penyakit penyerta, pasien keluar dari rumah sakit karena keinginan sendiri (pulang paksa) atau kabur sebelum dinyatakan sembuh, pasien meninggal dunia dan pasien yang menggunakan asuransi kesehatan. Analisis bivariat menggunakan independent t-test untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan cost-effective antara sefotaksim dan kloramfenikol pada pengobatan demam tifoid anak.

C. Hasil dan Pembahasan

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini, yang didapatkan dari uji independent t-test didapatkan hasil yang ada perbedaan bermakna antara total biaya pasien demam tifoid anak dengan terapi sefotaksim dan kloramfenikol dan juga terdapat perbedaan bermakna antara lama hari rawat pasien demam tifoid anak dengan terapi sefotaksim dan kloramfenikol.

Hasil penelitian dengan pendekatan cost-effective dari pengobatan demam tifoid anak menggunakan sefotaksim dan kloramfenikol yaitu total biaya yang dikeluarkan oleh pasien dengan terapi kloramfenikol lebih kecil dibandingkan dengan terapi sefotaksim. Hal ini dapat disebabkan, direct medical cost dipengaruhi oleh lamanya perawatan. Semakin lama lama hari perawatannya, maka semakin banyak juga biaya yang dikeluarkan oleh pasien. Pasien yang memperoleh terapi kloramfenikol hanya memerlukan rata-rata 4 hari sedangkan pada pasien yang memperoleh terapi sefotaksim memerlukan rata-rata 6 hari, hal ini disebabkan efektivitas kloramfenikol lebih besar dari sefotaksim dalam menurunkan gejala demam pada pasien demam tifoid anak. Sehingga hasil penelitian ini didapatkan efektivitas kloramfenikol lebih besar daripada efektivitas sefotaksim dantotal costkloramfenikol lebih kecil daripadatotal costsefotaksim. Maka dapat disimpulkan bahwa kloramfenikol lebih dominan atau lebih

(26)

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap cost-effectiveness analysis antara pasien demam tifoid anak yang menggunakan sefotaksim dengan pasien demam tifoid anak yang menggunakan kloramfenikol, dapat disimpulkan bahwa rata-rata LHR pada pasien demam tifoid anak yang menggunakan sefotaksim adalah 5,84 hari, sedangkan rata-rata lamanya hari rawat inap pada pasien demam tifoid anak yang menggunakan kloramfenikol adalah 4,38 hari. Rata-rata biaya pada pasien demam tifoid anak yang menggunakan sefotaksim sebesar Rp 1.075.500,00, sedangkan rata-rata biaya pada pasien demam tifoid anak sebesar Rp 714.200,00. Secara farmakoekonomi kloramfenikol lebih costeffective dibandingkan dengan sefotaksim pada pengobatan demam tifoid anak.

(27)

BAB VII

COST BENEFIT ANALYSIS A. Pendahuluan

Kesehatan adalah salah satu hal yang paling berharga dalam kehidupan. Ketika sakit, tak jarang seseorang harus mengeluarkan sejumlah uang dalam jumlah yang cukup besar. Pemerintah sendiri baru-baru ini mengeluarkan kebijakan Jamkesmas sebagai bentuk upaya pembiayaan kesehatan. Kita berharap agar kebijakan ini dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang adil, berkualitas dan dapat diakses oleh masyarakat luas.

Berbicara mengenai efisiensi biaya pengobatan rasanya akan turut pula membicarakan tentang obat karena obat merupakan komponen penting dalam upaya pelayanan kesehatan bahkan penggunaan obat dapat mencapai 40 % dari seluruh komponen biaya pelayanan kesehatan.

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi harga obat sehingga sering kali pasien kesulitan untuk melakukan efisiensi dalam investasi kesehatannya. Pasien sulit memprediksi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengobatan yang pada akhirnya dapat membuat pasien enggan untuk mengakses layanan kesehatan karena kekhawatiran harus menanggung biaya yang besar.

Untuk itu dalam farmakoekonomi dikenal istilah cost benefit analysis. Analisis ini digunakan untuk menilai apakah keuntungan pengobatan lebih besar dari biaya.

B. Pengertian Cost Benefit Analisis

Cost benefit analisis adalah analisis yang membandingkan antara biaya (cost) dari suatu penyakit dengan output atau keuntungan (benefit) dari pengobatan. Cost mencerminkan biaya dari penyakit dan pengobatannya. Sedangkan keuntungan mencerminkan hasil dari sebuah pengobatan/terapi. Benefit yang dimaksudkan disini dapat bersifat netral, positif atau negatif yang bergantung dari hasil yang dicapai. Sebuah terapi yang manjur akan menghasilkan benefit yang positif. Sedangkan terapi yang tidak manjur berarti

(28)

Dalam cost benefit analisis, input (biaya) dan output (hasil pengobatan) dikuantifikasi berdasarkan nilai uang. Dengan demikian, akan mudah membandingkan antara intervensi terapetik yang satu dengan yang lain. Sehingga, dapat ditentukan dengan mudah apakah hasil dari sebuah pengobatan (output) sebanding dengan investasi yang di lakukan. Dari analisis ini, dapat diketahui berapa jumlah uang yang pantas/akan dikeluarkan oleh seseorang untuk mendapatkan suatu keuntungan dalam hal kesehatan. Perhitungan antara cost dan benefit (dalam nilai uang) dapat dilakukan dengan dua cara yakni:

1. Membagi perkiraan benefit dengan perkiraan cost, yang akan memberikan rasio benefit-to-cost. Jika rasio ini lebih besar dari 1, berarti pilihan tersebut menguntungkan.

2. Mengurangi nilai benefit dengan nilai cost. Bila hasilnya positif, maka pilihan tersebut memberikan keuntungan.

Dasar pengukuran Cost Benefit Analisis Metode Dasar Pengukuran output Perhitungan antara cost dan benefit Cost Benefit Cost dan benefit diukur dalam satuan yang sama, yaitu uang.

Contoh: biaya yang dikeluarkan untuk mencegah kematian, biaya untuk mengurangi tekanan darah, rasa sakit dll. Keuntungan bersih = Keuntungan – biaya Rasio = benefit/cost

Keunggulan & Kelemahan dari CBA

Memberikan keunggulan dibandingkan analisis lainnya, karena keduanya dinilai dengan uang, mudah dibandingkan. Namun demikian, terdapat kelemahan dari CBA, yaitu sulitnya menterjemahkan suatu output dalam unit uang. Misalkan bagaimana mengukur rasa sakit, hidup manusia, dalam suatu nilai uang? Terdapat dua pendekatan yang dilakukan untuk mengatasi kelemahan ini:

1. Pendekatan human capital.

Suatu nilai dari output/keuntungan dianggap sama dengan produktivitas ekonomi yang dapat dihasilkan dari keuntungan tersebut. Sebagai contoh, biaya dari sebuah penyakit, adalah biaya yang diakibatkan karena hilangnya produktivitas berkenaan dengan terjangkitnya penyakit ini. Pendapatan seseorang

(29)

sebelum dikenakan pajak atau nilai dari kegiatan (pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak) dapat digunakan untuk mengukur nilai suatu cost dan benefit orang tersebut.

Contoh kasus:

Studi analisis cost dan benefit dari pemberian vaksin meninggococus kepada mahasiswa. Dalam studi ini nilai dari produktivitas mahasiswa diperkirakan mencapai 1 juta dolar. Padahal, nilai moneter ini belum tentu mewakili nilai riil seorang mahasiswa dalam masyarakat.

2. Pendekatan willingness-to-pay.

kemauan untuk membayar sejumlah uang Metode pendekatan willingness-to-pay, memperkirakan nilai dari benefit/output kesehatan dengan cara memeperkirakan berapa orang akan membayar untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hal hal yang tidak diinginkan.

contoh kasus:

Jika seseorang mau membayar $100 untuk mengurangi risiko kematian dari 1:1000 menjadi 1:2000, secara teoritis, sebuah hidup manusia bernilai: $ 200.000 didapat dari [$100 / (0.001-0.0005)]. Permasalahan dengan metode ini adalah, apa yang dikatakan seseorang tentang kemauan membayar, belum tentu berkaitan dengan apa yang akan dilakukan mereka. Selain itu, persepsi setiap orang tentang penurunan risiko kematian berbeda-beda, tergantung kondisinya.

C. Aplikasi Analisis Cost Benefit

Cost benefit analisis dapat digunakan untuk bermacam-macam tujuan: 1. Menyediakan data tentang net monetary outcome (hasil net output dalam bentuk uang) untuk sebuah intervensi medis. Bukan hanya sekedar berfungsi sebagai pembanding antara intervensi yang satu dengan yang lain saja. Netoutcome = benefit – cost. Atau dalam bentuk ratio benefit/cost 2. Menyediakan data tentang net monetary outcome untuk beberapa intervensi medis.

(30)

dapat dihitung dan dibandingkan. Jadi CBA bisa digunakan untuk membandingkan (dalam satuan uang) alternatif pengobatan yang satu dengan yang lain.

3. Perbandingan langsung secara kuantitatif intervesi medis untuk penyakit yang berbeda. Hal ini berguna untuk suatu rumah sakit, agen asuransi, pemerintah, karena budget keuangannya sering kali terbatas. Jadi, sebuah intervensi medis diharapkan dapat memberikan dampak kesehatan yang besar. Misalnya: Perlukah sebuah rumah sakit melakukan program edukasi untuk medidik masyarakat tentang bahaya keracunan pestisida? Ataukan lebih baik dana tersebut digunakan untuk membeli alat diagnostik yang baru? Dalam mengambil keputusan, CBA berperan sebagai alat untuk membantu pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan faktor terkait lainnya.

D. Contoh Perhitungan analisis cost-benefit

1) Sebuah RS ingin membandingkan obat yang akan diberikan pada pasien dalam mengatasi hipertensi, analisis cost benefit menunjukkan hasil sebagai berikut:

Total Cost Total Benefit Benefit: Cost Net benefit Obat A 90.000 120.000 120.000/90.000 = 1.33 120.000-90.000 = 30.000 Obat B 100.000 135.000 135.000/100.000 = 1.35 135.000-100.000 = 35.000.

Dari perhitungan diatas, keduanya memberikan rasio benefit:cost > 1 dan net benefit yang positif. Namun Obat B memberikan keuntungan lebih dibandingkan Obat A.

2) Analisis pemberian vaksinasi influenza secara cuma-cuma pada seluruh orang dewasa.

Pemerintah ingin mengetahui: perlukah flu vaksin diberikan secara cuma-cuma kepada setiap orang? Analisis Cost benefit membandingkan total biaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan program vaksin flu dengan keuntungan yang didapat, misal: menurunnya kasus influenza. Namun demikian ada kekurangan dari CBA, yaitu dalam contoh vaksin flu, keuntungan dari pemberian

(31)

vaksin flu sulit untuk diterjemahkan dalam bentuk uang. Keuntungan tersebut berupa:

 Efek vaksin terhadap berkurangnya hari kerja karena gejala flu

 Efek vaksin terhadap berkurangnya efektifitas/ kinerja seseorang karena gejala flu

 Efek vaksin terhadap jumlah kunjungan ke praktisi kesehatan Dari hasil penelitian, didapatkan hasil:

”Biaya untuk vaksin flu& administrasinya: $43.07. Benefit/keuntungan yg didapat: meningkatkan hari aktif kerja sebanyak 18%, meningkatkan efektifitas kerja sebanyak 18% mengurangi hari kunjungan ke praktisi kesehatan sebanyak 13%.” Dapat disimpulkan, melalui cost benefit analisis, vaksin flu memberikan keuntungan. Kelemahan dari analisis ini: Menurunnya prokduktifitas kerja, atau meliburkan diri karena harus beristirahat berbeda antara satu dengan yg lain. Dampak flu terhadap orang dewasa, orang tua, anak-anak akan sangat berbeda. Dengan demikian, CBA penggunaannya luas dengan syarat benefit dapat dihitung dengan uang.

(32)

BAB VIII

COST MINIMIZATION ANALYSIS A. Defenisi

Metode Cost minimization analysis (CMA) : membandingkan biaya total penggunaan 2 atau lebih obat yang khasiat dan efek samping obatnya sama, karena obat – obat yang dibandingkan memberikan hasil yang sama, maka CMA memfokuskan pada penentuan obat mana yang biayanya paling rendah.

Analisis minimalisasi-biaya (CMA) hanya dapat digunakan untuk membandingkan dua atau lebih intervensi kesehatan, termasuk obat, yang memberikan hasil yang sama, serupa, atau setara atau dapat diasumsikan setara secara klinis. Karena hasil pengobatan dari intervensi (diasumsikan) sama, yang perlu dibandingkan hanya satu sisi, yaitu biaya.

Dengan demikian, langkah terpenting yang harus dilakukan sebelum melakukanCMAadalah menentukan kesetaraan (equivalence) dari intervensi (misalnya obat) yang akan dikaji. Tetapi, karena jarang ditemukan dua terapi, termasuk obat, yang setara atau dapat dengan mudah dibuktikan setara, penggunaanCMAagak terbatas, misalnya untuk membandingkan obat generik berlogo (OGB) dengan obat generik bermerek dengan bahan kimia obat sejenis dan telah dibuktikan kesetaraannya melalui uji bioavailabilitas-bioekuivalen (BA/BE). Atau membandingkan obat standar dengan obat baru yang memiliki efek setara.

B. Contoh Kasus

Teknik yang berkonsentrasi menilai biaya langsung kesehatan yang terkait dengan intervensi. Teknik yang melakukan pilihan diantara beberapa altenative untuk mendapatkan outcome yang setara.

Parameter yang digunakan 2 obat yang di gunakan

1 indikasi dalam penyakit yang sama Data konsumsi obat yang di gunakan Klasifikasi biaya

(33)

Rawat inap atau Rawat singkat Alat kesehatan yang digunkan Visit Dokter

Pemantauan Apoteker

Biaya administrasi ( biaya perawat ) Penggunaan obat lain

Kerangka penetapan biaya Biaya obat terapi

Efektifitas Efek samping Biaya penyerta lainnya

Aplikasi analisis cost minimization Puskesmas

Klinik obat setempat Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Khusus Contoh kasus

Penggunaan obat kemotherapi pada pasien kanker payudara di Rumah Sakit Dharmais Jakarta

Obat yang di gunakan Capecitabine oral 500 mg Paclitaxel IV 80 mg

(34)

Paclitaxel 175 mg/m2 Biaya obat : Rp. 6.300.000 Rawat singkat : 1.000.000 Obat pramedikasi : 1.000.000 Pealatan kesehatan : 200.000 Capecitabine Biaya obat : Rp. 3.828.000 Obat ES : 50.000 Perbandingan

Total cost kemoterapi dengan paclitaxel : Rp. 8.500.000 Total cost kemoterai dengan capecitbine : Rp.3.878.000 Kesimpulan:

Pada studi kasus di atas dapat dilihat dua penggunaan obat yang biaya nya lebih minimal Regimen capecitabine lebih minimal di banding regimen paclitaxel.

(35)

BAB IX

Metode Cost utility analysis (CUA)

A. Pendahuluan

Di dalam mencari informasi yang dapat membantu para pembuat kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. Juga untuk meningkatkan kualitas hidup dalam peningkatan kesehatan bagi individu atau masyarakat. Maka untuk mendapatkan informasi tentang itu metode analisa utilitas ( Cost-Utility Analysis/CUA) sangat berperan dalam menganalisa, mengukur dan membandingkan antara biaya dan hasil/konsekwensi dari hasil pengobatan. Karena analisa biaya utilitas ( Cost-Utility Analysis/CUA ).

Merupakan salah satu metode analisa dari farmakoekonomi yang mempunyai korelasi dengan metode lainnya dalam menentukan kebijakan yang dapat menentukan keputusan biaya, baik dalam sekala kecil seperti terafi pasien maupun sekala besar seperti penentuan daftar obat yang akan disubsidi pemerintah.

B. Analisa Biaya Utility (Cost-Utility Anlysis)

Analisis Cost-Utility adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam utility-beban lama hidup, menghitung biaya perutility, mengukur rasio untuk membandingkan diantara beberapa program. Analisis Cost-Utility mengukur nilai spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap idividu atau masyarakat. Seperti analisis cost-efektivieness, cost- utility analisis membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Dalam cost-utility analisis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years/QALYs) dan hasilnya ditunjukan dengan biaya perpenyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi kedalam nilai QALYs, sebagai contoh jika pasien benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan

(36)

Metode ini dianggap sebagai subkelompok effektiviness karena Cost-utility analisis juga menggunakan rasio Cost-effektiveness, tetapi menyesuaikannya dengan skor kualitas hidup. Biasanya diperlukan wawancara dan meminta pasien untuk memberi skor tentang kualitas hidup mereka. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sudah dibakukan, sebagai contoh digunakan skala penilaian ( 0=kematian, 10=kesehatan sempurna ). Quality-adjusted life years(QALYs) merupakan pengukuran yang paling banyak digunakan.

C. Tujuan

Adalah untuk memperkirakan perbandingan antara suatu biaya intervensi yang berhubungan dengan kesehatan dan menghasilkan keuntungan dalam hal kualitas hidup dalam setahun oleh para penerima manfaat kesehatan.

D. Manfaat

Dalam skala kecil dapat menentukan terafi terhadap pasien dalam suatu pengobatan yang dipilih sehingga dengan biaya yang minimal berdampak manfaat yang maksimal. Dalam sekala besar pemerintah dapat menentukan kebijakan dalam hal pemberian subsidi terhadap obat atau program kesehatan.

E. Prinsip

Analisa biaya dilakukan untuk menentukan biaya yang dikeluarkan dalam kurun waktu satu tahun anggaran. Pelayanan kesehatan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan tercapainya hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat terwujud kesehatan masyarakat yang optimal.

F. Contoh Kasus

Perbandingan biaya utilitas escitalopram dan sertaline pada pasien depresi University of Arizona College of Pharmacy, Tucson, AZ 85721, USA. University of Arizona College of Pharmacy, Tucson, AZ 85721, USA. Armstrong@pharmacy.arizona.edu Armstrong@pharmacy.arizona.edu

(37)

TUJUAN:

Untuk membangun sebuah model utilitas biaya membandingkan dengan sertraline escitalopram dalam pengobatan gangguan depresif besar.

METODE:

Sebuah model analitik keputusan dibuat untuk membandingkan biaya-manfaat dari kedua antidepresan dari perspektif perawatan yang dikelola organisasi. Model ini dirancang untuk membandingkan 10-20 mg / hari escitalopram untuk 50-200 mg / hari sertraline. Manfaat (utilitas) skor dihitung berdasarkan klinis dan utilitas data yang diperoleh dari literature. Langsung biaya pengobatan termasuk biaya dari antidepresan, titrasi, kegagalan pengobatan, dan peristiwa-peristiwa buruk Biaya dan manfaat yang model selama 6 bulan dan model telah ditaklukkan kepada analisis sensitivitas menyeluruh. Perkiraan 6-bulan biaya total adalah 919 dolar untuk escitalopram dan 1.351 dolar untuk sertraline. Perkiraan untuk QALYs adalah 0,40296 dan 0,39268 untuk escitalopram sertraline. Perbedaan ini sebagian besar disebabkan oleh perbedaan dalam biaya akuisisi narkoba dan dampak buruk. Ketangguhan dari biaya-hasil model utilitas yang diuji dalam simulasi Monte Carlo 10 000 pasien dan ia mengindikasikan suatu probabilitas bahwa 88,5% escitalopram adalah terapi dominan, menunjukkan baik biaya yang lebih rendah dan lebih besar QALYs. KESIMPULAN:

biaya utilitas ini model yang memasukkan biaya titrasi dan dampak efek samping membandingkan escitalopram 10-20 mg per hari dan sertraline 50-200 mg per hari menunjukkan bahwa escitalopram tampaknya lebih murah dan menghasilkan kemanjuran (utilitas) pada setidaknya sama baiknya dan mungkin sedikit lebih baik daripada sertraline.

Contoh lain

kualitas hidup pasien geriatri dengan multipatologi

farmakoepidemi, QALY, pharmacoeconomi, farmakoekonomi, kualitas hidup KUALITAS HIDUP PASIEN GERIATRI DENGAN MULTIPATOLOGIK DI

(38)

oleh : Indri Oktiasari, Dyah Aryani Perwitasari, M.Si., Apt. dr. I Dewa Putu Pramantara S.,Sp.PD,K-Ger. Dra. Tri Murti Andayani, Apt., SpFRS., Muhammad Muhlis, S.Si., Apt., SpFRS

Pertumbuhan geriatri meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan kerentanan terhadap penyakit bagi geriatri disebabkan adanya dampak proses menua juga gaya hidup yang salah, dan terpapar polutan. Karakteristik geriatri adalah multipatologi yang memiliki konsekuensi polifarmasi. Oleh karena itu perlu penilaian kualitas hidup pasien yang menjalani terapi.

Penelitian ini berjudul Kualitas Hidup Pasien Geriatri dengan Multipatologi di Poliklinik Geriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode November – Desember 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas hidup pasien geriatri yang menjalani rawat jalan di poli geriatri RSUP Dr. Sardjito dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.

Penelitian ini bersifat cross sectional. Data diambil melalui wawancara dengan pasien. Identitas yang di ambil dari pasien berupa inisial nama pasien, jenis kelamin, umur, jumlah obat yang dikonsumsi, jumlah diagnosa penyakit dan lama kontrol di poli geriatri. Populasi target adalah pasien geriatri poliklinik geriatri periode November – Desember 2007. Populasi terjangkau adalah pasien geriatri yang dapat di wawancarai dan bersedia menjadi responden di poligeriatri RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode November – Desember 2007. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS berupa uji regresi dan uji korelasi untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kualitas hidup.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pasien geriatri memiliki kualitas hidup sedang. Dari 44 responden diperoleh pasien dengan kualitas hidup tinggi sebanyak 9 pasien (20,45%), kualitas hidup sedang sebanyak 27 pasien (61,36 %), dan sebanyak 8 pasien (18,18%) dengan kualitas hidup rendah. Terdapat pengaruh yang signifikan dengan hubungan korelasi negatif untuk jumlah diagnosa dan jumlah obat yang di konsumsi. Artinya semakin banyak jumlah diagnosa dan jumlah obat yang dikonsumsi maka kualitas hidup semakin

(39)

rendah atau sebaliknya. Sedangkan lama kontrol di poli geriatri tidak memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup.

Kata Kunci : Kualitas hidup, Geriatri, Multipatologik.

H. Kesimpulan

Cost-Utility Analisis adalah suatu metode parmakoekonomi yang menganalisa, mengukur manfaat dalam utility-beban lama hidup, menghitung biaya perutility, mengukur ratio untuk membandingkan diantara beberapa program.

Cost-Utility analisis diperlukan untuk memperoleh informasi tentang analisa biaya sebagai acuan untuk menentukan kebijakan / keputusan dalam pelayanan kesehatan. Manfaat dari analisa ini dapat dipakai dalam parmakoekonomi dalam studi yang mengukur dan membandingkan antara biaya dan hasil / konsekwensi dari suatu pengobatan.

(40)

BAB X

ANALISIS BIAYA DALAM FARMAKOEKONOMI

A. Analisa manfaat-biaya

Analisa manfaat-biaya adalah Analisaperbandingan dari dua atau lebih produk atau jasa farmasi dengan manfaat (hasil terapi) dalam nilai moneter. Tujuan Analisa manfaat-biaya adalah untuk mencapai pengembalian investasi tertinggi. Hasil tipe Analisa ini ditampilkan dalam istilah manfaat bersih (net benefit), yang mengurangkan biaya dari manfaat; tingkat internal pengembalian (internal rate of return), yang mengurangkan biaya dari manfaat dan membagi hasilnya dengan biaya, atau rasio manfaat-biaya, seperti akan dijelaskan nanti.

Analisa manfaat-biaya sangat berguna dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan alokasi sumberdaya untuk berbagai opsi penanganan atau program. Secara umum, rasio manfaat-biaya dikalkulasi menggunakan formula berikut:

Rasio manfaat-biaya=

Jika rasio > 1, manfaat melebihi biaya dan produk atau jasa tersebut bermanfaat Jika rasio = 1, manfaat sama dengan biaya

Jika rasio < 1, biaya lebih besar dibanding manfaat, dianggap tidak bermanfaat

Sebagai contoh:

Penanganan A berbiaya Rp. 10.000,- dan memberikan manfaat Rp. 20.000,-Penanganan B berbiaya Rp. 5.000,- dan memberikan manfaat Rp. 7.500,-Manfaat bersih penanganan A = Rp. 20.000 - Rp. 10.000 = Rp. 10.000,-sementara Manfaat bersih penanganan B = Rp. 7.500 -Rp. 5.000 = Rp. 2.500,-Dengan demikian:

Rasio manfaat-biaya penanganan A= = 2:1

Manfaat (dalam nilai moneter)

Biaya (dalam nilai moneter)

(41)

Rasio manfaat-biaya penanganan B = =1,5:1

Karena kedua rasio menunjukkan hasil yang bermanfaat (>1), walaupun ada perbedaan manfaat pada kedua penanganan, penanganan yang akan dipilih bergantung pada metoda yang paling tepat untuk pertanyaan yang dimaksud. Secara umum, hasil dari ketiga persamaan di atas harus ditampilkan untuk memberikan tampilan yang lebih seimbang mengenai biaya dan manfaatnya. Keuntungan analisa manfaat-biaya.

Analisa manfaat-biaya bisa digunakan untuk membandingkan dua program penanganan yang tidak saling berhubungan dengan hasil yang berbeda secara nilai moneter. Masing-masing program dievaluasi secara terpisah untuk rasio manfaat-biaya-nya.

Kerugian analisamanfaat-biaya.

Karena kita harus menempatkan nilai moneter pada setiap analisa, metoda ini mungkin cukup sulit untuk dilakukan, khususnya dalam kasus dimana kita harus memberikan nilai moneter pada manfaat yang dirasakan manusia, atau bahkan pada kehidupan itu sendiri.

B. Analisa kefektivitasan-biaya

Tipe analisa ini mengukur hasil dalam unit kesehatan alami dari perbaikan kesehatan. Hasil dinyatakan dalam istilah biaya per unit perbaikan, seperti biaya per % penurunan LDL, biaya per mmHg penurunan tekanan darah, biaya per nyawa yang berhasil diselamatkan, dsb. Efektivitas-biaya bisa didefinisikan sebagai memiliki:

Rp. 7.500,

(42)

2.Biaya yang lebih tinggi, namun manfaat yang lebih tinggi yang layak bagi penambahan biayanya, atau

3.Biaya yang lebih rendah dan manfaat yang lebih rendah, namun manfaat tambahannya tidak layak bagi penambahan biayanya.

Ketika sebuah studi mendapati bahwa sebuah medikasi cost-effective, ini berarti bahwa medikasi tersebut secara biaya lebih efektif relatif terhadap satu atau lebih terapi alternatifnya.

Berikut adalah contoh Analisa efektivitas-biaya:

Obat A berbiaya Rp. 100.000,- dan memberikan 43 kasus yang berhasil ditangani secara sukses Obat B berbiaya Rp. 83.000,- dan memberikan 39 kasus yang berhasil ditangani secara sukses Efektivitas-biaya rata-ratanya adalah:

Obat A= =Rp. 2326,-/ penanganan yang sukses

Obat B = = Rp. 2128,-/ penanganan yang sukses

Efektivitas-biaya marjinal = = Rp 4250,-/

tambahan kasus 43

-39 kasuss

keberhasilan. Menilai berdasarkan data efektivitas-biaya, orang memilih Obat B dibanding Obat A karena bisa menghemat Rp. 198 per pasien. Disamping itu, jika kita lihat efektivitas-biaya marjinal, diperlukan tambahan Rp. 4250 untuk mendapatkan satu tambahan penanganan yang sukses dengan Obat A. Pengambil keputusan harus berpikir apakah biaya tambahan dari Obat A layak dikeluarkan untuk

Rp. 100.000,-43 kasus Rp. 83.000, 39 kasus Rp. 100.000 - Rp. 83.000 43 - 39 kasus

(43)

mendapatkan efektivitas tambahan. Sebagian besar ekonomis setuju bahwa Analisa efektivitas-biaya marjinal merupakan cara yang lebih tepat untuk menampilkan Analisa efektivitas-biaya.

Keuntungan analisa

keefektivitasan-biaya. Keuntungan utama tipe analisa farmakoekonomi ini adalah kemampuannya untuk membandingkan penanganan alternatif dan menentukan investasi terbaik jika manfaatnya tidak bisa dikurangi ke dalam nilai moneter. Kerugian Analisa kefektivitasan-biaya.

Untuk bisa dibandingkan dengan Analisa ini, penanganan farmasi harus memiliki hasil yang sama.

(44)

BAB XI

ANALISIS BIAYA DALAM FARMAKOEKONOMI (Lanjutan)

A. Analisa minimisasi-biaya

Analisa minimisasi-biaya mencakup perbandingan dua atau lebih penanganan dengan ekuivalensi yang telah diasumsikan atau ditunjukkan dalam efikasi dan keamanan. Ini secara signifikan menyederhanakan Analisa, namun bisa muncul kontroversi mengenai hasilnya karena data yang bagus mengenai hasil tidak selalu sudah tersedia. Namun, Analisa minimisasi-biaya cocok digunakan untuk membandingkan agen-agen yang secara terapi adalah setara atau mengubah pengaturan dosis dari agen yang sama.

Sebagai contoh:

jika biaya penanganan dengan Obat A adalah Rp. 120.000,-, dan biaya penanganan dengan Obat B adalah Rp. 100.000,-, maka

Biaya intervensi dengan Obat B <Biaya intervensi dengan Obat A Dengan mengasumsikan bahwa Obat A dan B memiliki efektivitas klinik yang sama.

Penerapan Analisa minimisasi-biaya mungkin mencakup pembandingan sebuah obat generik dengan obat bermerek, atau membandingkan obat yang digunakan dalam kondisi berbeda (misalnya inpatient vs. outpatient). Tipe Analisa ini memiliki kemungkinan aplikasi (aplikabilitas) yang terbatas karena hanya ada sedikit skenario dimana terdapat efektivitas yang benar-benar setara.

Keuntungan Analisa minimisasi-biaya.

Ini merupakan yang paling sederhana dibanding semua Analisa farmakoekonomi lainnya.

Kerugian Analisa minimisasi-biaya.

Semua hasil terapi haruslah setara, yang biasanya sulit untuk dilakukan.

B. Analisa utilitas-biaya

Analisa utilitas-biaya, sebuah perluasan dari Analisa efektivitas-biaya, merupakan metoda penyesuaian untuk kualitas hasil. Unit yang paling umum digunakan dalam melakukan Analisa utilitas-biaya adalah

Gambar

Gambar 2. Model yang menjelaskan evaluasi ekonomi terhadap farmasiPILIHAN

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan pesannya adalah untuk membuat calon agen asuransi memiliki kesadaran akan pesan yang disampaikan oleh agen asuransi yang dalam penelitian ini adalah

ANALISIS KUANTITATIF RINGKASAN PULANG/ RESUME MEDIS ... Kemampuan Akhir Yang Diharapkan ... Uraian dan Contoh ... Mereview kelengkapan Identifikasi Pasien pada Lembaran

Audit Kuantitatif pendokumentasian lembaran khusus rekam medis yang dimulai dari memeriksa identifikasi pasien pada lembaran khusus rekam medis , adanya

Dalam medis, penyakit menular atau penyakit infeksi adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh sebuah agen biologi (seperti virus, bakteria, atau parasit), bukan disebabkan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi yang berguna bagi perusahaan dalam melakukan kebijakan dan strategi pemasaran bagi agen asuransi di PT AXA

Praktikum Klasifikasi kodefikasi penyakit masalah terkait sistem kulit akan membahas tentang terminology medis meliputi istilah medis yang terdiri dari prefixes,

Saya memberi kuasa kepada dokter berlisensi, praktisi medis, rumah sakit, klinik atau fasilitas medis atau medis terkait lainnya, perusahaan asuransi atau organisasi lainnya,

&#34;Melalui tema Yang Muda, Baru dan Berbeda, AAJI mengajak seluruh pelaku industri, khususnya agen asuransi jiwa untuk selalu memiliki jiwa dan semangat muda,