• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

276 JSBPSDM 1(3)(2020), 276-280.

Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan

https://ojs.bpsdmsulsel.id/

Teknik asosiasi bebas sebagai upaya menghilangkan gangguan trauma

terhadap kekerasan bagi siswa

Badrullah

Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Provinsi Sulawesi Selatan

Email: badrullahbakri@gmail.com

ABSTRACT

Violence can be interpreted as a deliberate or unintentional act and can damage others physically, mentally, socially and economically that can violate human rights, which are contrary to the values and norms of the community so that the impact of psychological trauma for victims. PTSD (post-traumatic stress disorder) or post-traumatic stress disorder is a mental condition that is triggered by a tragic event that has been experienced or witnessed. Free association technique seeks counselee to clear or erode his mind from the realm of everyday experience and thought, now, so that the counselee easily expresses his past experiences.

Keywords: free association technique, trauma disorders, violence. ABSTRAK

Kekerasan dapat diartikan sebagai tindakan yang disengaja atau tidak disengaja dan dapat merusak orang lain baik itu fisik, mental, sosial dan ekonomi yang dapat melanggar hak asasi manusia, yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban. PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pasca trauma adalah kondisi kejiwaan yang dipicu oleh kejadian tragis yang pernah dialami atau disaksikan. Teknik asosiasi bebas mengupayakan konseli untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari, sekarang, sehingga konseli mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya.

Kata kunci: Teknik asosiasi bebas, gangguan trauma, kekerasan.

© 2020 Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sulawesi Selatan

PENDAHULUAN

Pendidikan anak seringkali tidak lepas dari tindak kekerasan. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan pada anak dapat bermacam-macam, mulai verbal hingga fisik. Fenomena tersebut semakin memprihatinkan, sebab tindak kekerasan juga terjadi di sekolah, yang merupakan lembaga pendidikan dimana orangtua mempercayakan anak-anak mereka untuk mendapat pendidikan. Tindak kekerasan tersebut dapat dilakukan oleh guru dan kerap dianggap sebagai bagian dari pendidikan ataupun pembentuk perilaku (Muis, 2011). Anak merupakan generasi yang akan menjadi penerus cita-cita bangsa, sehingga mereka sebaiknya sudah diberikan pendidikan sejak usia dini untuk dapat membantu anak tumbuh dan berkembang dengan baik. Apabila dalam pengasuhan orangtua kepada anak kurang kasih sayang maka akan menghasilkan anak yang memiliki sikap negatif atau perilaku menyimpang seperti perkelahian, berkata kasar, tidak disiplin dan terkena pergaulan bebas (Nuraini, 2016).

Belakangan ini sering terjadi pelecehan dan bahkan kekerasan yang terjadi. Mirisnya, pelaku tidak hanya mengincar para korban dewasa saja, namun juga menjadikan anak-anak yang masih tidak tau apa-apa menjadi korban. Dampak pelecehan pada anak akan mengakibatkan gangguan

(2)

277 stress pascatrauma atau yang biasa di sebut sebagai Post Traumatic Stress Discorder (PTSD) (Wahyuni, 2016). Post-Traumatic Stress Discorder (PTSD) merupakan gangguan yang bersifat kompleks karena gejala-gejala yang nampak menunjukkan kemiripan dengan gejala depresi, kecemasan dan gejala gangguan psikologis lain, namun tidak semua gangguan psikologis yang sama tersebut termasuk dalam kriteria PTSD. Pengalaman traumatis tidak selalu berlanjut dalam bentuk PTSD (Solichah, 2013).

Banyaknya masalah yang terjadi pada anak-anak dapat disebabkan oleh kesalahan individu maupun perlakuan yang salah dari orang dewasa di sekitar. Sehingga teknik yang digunakan untuk membantu permasalahan disesuaikan dengan kondisi anak-anak. Dan keberhasilan penyelesaian masalah tergantung pada keinginan dan kemampuan anak serta dukungan dari pihak luar (keterlibatan keluarga dan dukungan dari masyarakat) (Atikah, 2015). Prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk mengambil langkah dengan memperhatikan masalah dari berbagai perspektif atau sudut pandang tertentu yang biasa disebut dengan teori-teori bimbingan konseling. Ada banyak teori tentang konseling, tetapi yang akan kita bahas hanya tiga yang terkenal di dunia yaitu: 1. Teori konseling psikoanalisis, 2. Teori konseling berpusat pada klien, dan 3. Teori konseling behavioristik (Nugroho, 2018).

PEMBAHASAN

Proses pendidikan anak, tidak lepas dari keterlibatan orang dewasa yang ada disekitar mereka. Orangtua merupakan pendidik utama dalam membantu tumbuh kembang anak. Secara signifikan orang tualah yang berada di dekat anak untuk setiap harinya. Pendidikan di rumah berperan sangat besar dalam pendidikan anak, hasil penelitian 93% anak menghabiskan waktunya di rumah. Orangtua atau guru idealnys melindungi dan mendidik anak dengan kasih saying, namun ironisnya tidak semua orangtua atau guru yang mampu memahami hal tersebut. Penanaman sikap dan nilai-nilai moral secara langsung sudah didapatkan di sekolah dan dibentuk sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah. Oleh karena itu, pendidikan di sekolah merupakan pendidikan perluasan setelah pendidikan yang mereka peroleh dirumah. Lingkungan sekolah yang bagus adalah lingkungan memiliki rancangan dan program kegiatan pengembangan sikap yang disusun bersama dengan orangtua. Karena orangtua memiliki hak dan juga kewajiban terlibat dalam program yang di selenggarakan oleh sekolah (Nuraini, 2016). Sehingga tingkat kekerasan di sekolah tidak akan terjadi lagi.

Penyebab munculnya tindak kekerasan guru terhadap siswa menurut survey diantaranya adalah karena kesalahan yang dilakukan siswa, temperamen guru, dan berbagai alasan lain yang merujuk pada perilaku siswa yang tidak disukai guru, seperti perilaku malas, ramai di dalam kelas, tidak memperhatikan, serta alasan yang tidak diketahui siswa. Berkaitan dengan hal tersebut, diketahui pula apa yang dirasakan siswa sebagai dampak atau akibat dari tindak kekerasan guru terhadap mereka. Siswa diantaranya mengaku merasa minder atau rendah diri, marah, sakit hati, sedih dan ingin balas dendam. Akan tetapi, ada pula siswa yang mengatakan biasa saja, atau dengan kata lain tidak menganggap serius tindakan guru terhadap mereka. Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan mengapa siswa merasa biasa saja dalam menyikapi tindakan guru terhadap mereka. Pertama, siswa tidak menyadari bahwa tindakan yang tidak wajar, terutama dalam dunia pendidikan. Hal tersebut dimungkinkan dengan maraknya tayangan kekerasan di media-media massa, termasuk televise, internet, dan game atau permainan virtual yang menjadikan siswa terbiasa dengan perilaku-perilaku tersebut di lingkungan mereka.

Alasan yang kedua, siswa merasa bahwa mereka layak mendapat hukuman atas perilaku mereka. Sebagian siswa mungkin memaknai tindak kekerasan yang mereka alami sebagai bentuk hukuman atas perilaku mereka yang tidak pada tempatnya. Hal ini terlihat dari kemampuan siswa untuk mengidentifikasi perilaku-perilaku yang memicu munculnya tindak kekerasan tersebut. Dengan demikian, siswa sebenarnya dapat mengenali perilaku yang secara normatif salah, akan tetapi ada faktor-faktor lain yang menyebabkan mereka tidak dapat mengendalikan diri dan menghindari perilaku-perilaku tersebut. Salah satunya dapat disebabkan kurang efektifnya pengelolaan kelas yang dapat dipengaruhi oleh tidak memadainya rasio antara guru dengan siswa dalam satu kelas. Padatnya siswa dalam satu kelas, dapat memicu berbagai permasalahan dalam

(3)

278 upaya pengelolaan kelas yang dapat berdampak pada perilaku siswa. Lebih lanjut lagi, sebagian siswa mengatakan tidak mengetahui alasan munculnya tindak kekerasan guru (Muis, 2011).

Kasus kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan, mengindikasikan bahwa mainstream kekerasan masih digunakan dalam pembelajaran di dunia pendidikan. Kekerasan kerap kali dilakukan terhadap siswa di sekolah dengan dalih menumbuhkan kedisiplinan. Ada beberapa bentuk kekerasan yang umumnya dialami siswa, antara lain kekerasan fisik, yaitu bentuk kekerasan yang mengakibatkan luka pada siswa, seperti dipukul dan dianiaya. Selain itu jugakekerasan psikis, yaitu kekerasan secara emosional yang dilakukan dengan cara menghina, melecahkan, mencela atau melontarkan perkataan yang menyakiti perasaan, melukai harga diri, menurunkan rasa percaya diri, membuat orang merasa hina, kecil, lemah, jelek, tidak berguna dan tidak berdaya (Diyah, 2016). Kekerasan adalah suatu tindakan yang bersandar pada penggunaan ketegasan ekstra. Kekerasan dapat diartikan sebagai tindakan yang disengaja atau tidak disengaja dan dapat merusak orang lain baik itu fisik, mental, sosial dan ekonomi yang dapat melanggar hak asasi manusia, yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban. Tidak mengherankan jika semakin hari kekerasan semakin meningkat dalam berbagai macam dan bentuk. Tindak kekerasan yang pernah dialami langsung atau lihat bisa mengakibat orang tersebut mengalami PTSD (post taumatic stress disorder) terhadap tindakan kekerasan tersebut.

PTSD (post-traumatic stress disorder) atau gangguan stres pasca trauma adalah kondisi kejiwaan yang dipicu oleh kejadian tragis yang pernah dialami atau disaksikan. Contoh peristiwa traumatis yang dapat memicu kondisi ini adalah kecelakaan lalu lintas, bencana alam, tindak kejahatan seperti pemerkosaan atau perampokan, atau pengalaman di medan perang. PTSD termasuk kategori gangguan kecemasan yang membuat penderitanya tidak bisa melupakan atau sebaliknya tidak mau mengingat pengalaman traumatis tersebut, serta berpikir negatif terhadap diri sendiri dan dunia sekitarnya. Kondisi ini umumnya ditandai dengan mimpi buruk, merasa terisolir, kesal, memiliki perasaan bersalah, sulit berkonsentrasi, serta sulit tidur atau insomnia. Ada yang mengalaminya segera setelah kejadian dan ada juga yang muncul setelah beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun kemudian.

Namun gejala pada anak-anak, terdapat beberapa indikasi khusus yang juga harus diwaspadai. Indikasi tersebut meliputi sering melakukan reka ulang kejadian tragis melalui permainan, mengompol, serta sangat gelisah saat berpisah dengan orang tua. Jika gejala PTSD berlangsung kurang dari empat minggu setelah kejadian traumatis, maka gejala tersebut tergolong ringan. Sedangkan untuk gejala yang sudah berlangsung lebih dari empat minggu, maka gejala tersebut dikategorikan berat. Pada penulisan karya tulis ilmiah ini untuk membantu menghilangkan gangguan trauma penderita PTSD (post-traumatic stress disorder) kami menggunakan salah satu teknik yang diperkenalkan oleh salah satu tokoh psikologis atau yang dikenal sebagai bapak psikologi yaitu Sigmund Freud dengan teknik asosiasi bebas. Teknik asosiasi bebas merupakan teknik utama dalam konseling psikoanalitik. Sasaran yang hendak dicapai adalah membuka pintu-pintu untuk mengungkapkan keinginan yang tidak disadari, fantasi, konflik, dan motivasi-mativasi, untuk mengungkap pengalaman-pengalaman di masa lalu.

Teknik asosiasi bebas mengupayakan konseli untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari, sekarang, sehingga konseli mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Tujuan teknik asosiasi bebas adalah agar konseli mengungkapkan masa lalu, melepaskan, dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lalu, atau yang disebut dengan istilah katarsis. Jika berbicara tentang tindak kekerasan atau trauma, ada suatu istilah yang dikenal sebagai Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD (gangguan stres pasca trauma). Yaitu gangguan stres yang timbul berkaitan dengan peristiwa traumatis luar biasa. Misalnya, melihat orang dibunuh, disiksa secara sadis, korban kecelakaan, bencana alam, dan lain-lain.

PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya. Perlu untuk dibedakan, apakah seseorang sudah mengarah pada PTSD atau masih PTS (post traumatic sympton). Yang perlu dilakukan adalah jangan sampai PTS menjadi PTSD. Post-traumatic stress disorder dapat mempengaruhi mereka yang secara pribadi mengalami bencana atau musibah besar, mereka yang menjadi saksi atas kejadian tersebut, dan mereka yang membantu dalam kejadian tersebut, bahkan

(4)

279 hal ini dapat terjadi di kalangan teman atau kerabat dari orang yang mengalami trauma. Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat anda merasa tidak berdaya Faktor yang terkait dengan traumatis, berasal dari penyebab terjadinya kejadian traumatis. Misalnya, penelitian telah menunjukkan bahwa sebanyak 100% dari anak-anak yang menyaksikan pembunuhan orang tua atau kekerasan seksual mengembangkan PTSD. Demikian pula, 90% anak-anak mengalami pelecehan seksual hampir selalu mengalami PTSD, 77% dari anak-anak terkena penembakan sekolah, dan 35% dari remaja perkotaan mengalami kekerasan masyarakat mengembangkan PTSD.

Hatta (2015) mendifinisikan trauma dalam beberapa aspek, yaitu: 1). Trauma didefinisikan sebagai nyeri yang dialami oleh seseorang yang mempengaruhi psikologis dan fisik sehingga membawa dampak kepada kehidupan seperti menurunnya tingkat produktivitas dan aktivitas keseharian, 2). Trauma terjadi karena peristiwa pahit apakah fisik atau mental yang menyebabkan kerusakan langsung ke tubuh atau kejutan pada pikiran, 3). Trauma terjadi karena ada ke khawatiran yang ekstrim atau ke khawatiran yang trauma oleh efek fisik dan psikologis yang dapat menyebabkan ganggguan emosi yang dipicu oleh peristiwa pahit yang akut, 4). Trauma adalah peningkatan gejala tekanan (stress) yang menyebabkan gangguan emosi kepada anak atau siswa sekolah akan menyebabkan perubahan perilaku, perubahan emosi dan pemikiran, 5).trauma juga dikatakan sebagai cedera tubuh yang disebabkan oleh energi fisik dari luar seperti tembakan, kebakaran, kecelakaan, tikaman senjata tajam, luka akibat berkelahi, diperkosa dan sebagainya.

Psikoanalisa secara umum berarti suatu pandangan tentang manusia, dimana ketidaksadaran memegang peranan sentral. Konflik timbul karena ada dorongan-dorongan yang saling bertentangan, baik dari dorongan yang disadari maupun yang tidak disadari. Psikoanalisa sebagai teori dari psikoterapi menguraikan bahwa gejala neurotik pada seseorang timbul karena tertahannya ketegangan emosi yang ada, ketegangan yang ada kaitannya dengan ingatan mengenai hal-hal yang traumatik pada masa kanak-kanak yang ditekan. Terapi psikoanalisa adalah teknik pengobatan yang dilakukan oleh terapis dengan cara menggali permasalahan dan pengalaman yang direpresnya selama masa kecil serta memunculkan dorongan-dorongan yang tidak disadarinya selama ini. Teknik ini menekankan menggali seluruh informasi permasalahan dan menganalisis setiap kata-kata yang diungkapkan oleh klien. Didalam terapi psikoanalisa ini sangat dibutuhkan sifat dari terapeutik, maksudnya adalah adanya hubungan interpersonal dan kerja sama yang professional antara terapis dan klien.

Hal kejiwaan yang merupakan bagian kesadaran (consciousness) dan ketidaksadaran (unconsiousness), serta mengedepankan pengaruh pengalaman-pengalaman dimasa lalu. Contoh beberapa masalah yang dihadapi antara lain: masalah dalam menjalin hubungan dengan orang lain, masalah yang berhubungan dengan akademik, depresi, kecemasan, trauma, dan masalah dimasa lalu yang mengganggu seseorang untuk aktivitas sehari-hari. Asosiasi merupakan salah satu dari peralatan dasar sebagai pembuka pintu keinginan, khayalan, konflik, serta motivasi yang tidak disadari. Dalam tehnik ini Freud menggunakan Hipnotis untuk mendapatkan data-data dari klien mengenai hal-hal yang dia pikirkan dialam bawah sadarnya, dengan tehnik ini klien dapat mengutarakan apapun yang dia rasakan tanpa ada yang disembunyikan sehingga psikoterapis dapat menganalisis masalah apa yang sebenarnya terjadi pada klien. Dalam hal ini terapis fokus

bertugas untuk mendengarkan, mencatat, menganalisis bahan yang direpres,

memberitahu/membimbing pasien memperoleh insight (dinamika yang mendasari perilaku yang tidak disadari). Asosiasi bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisa. Cara yang khas adalah dengan mempersilahkan klien berbaring di atas balai-balai sementara terapis duduk di belakangnya, sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas.

PENUTUP

Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat anda merasa tidak

(5)

280 berdaya. Asosiasi merupakan salah satu dari peralatan dasar sebagai pembuka pintu keinginan, khayalan, konflik, serta motivasi yang tidak disadari. Terapi psikoanalisa adalah teknik pengobatan yang dilakukan oleh terapis dengan cara menggali permasalahan dan pengalaman yang direpresnya selama masa kecil serta memunculkan dorongan-dorongan yang tidak disadarinya selama ini. Guru diharapkan dapat memberikan konseling untuk anak yang mengalami gangguan trauma terhadap kekerasan terutama dengan menggunakan teknik asosiasi bebas untuk menghilangkan gangguan trauma tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Atikah. (2015). METODE DAN TEKNIK BIMBINGAN KONSELING ISLAMI UNTUK MEMBANTU PERMASALAHAN PADA ANAK. Jurnal Bimbingan Konseling Islam, 6(1), 141-166.

Hatta, K. (2015). PERAN ORANG TUA DALAM PROSES PEMULIHAN TRAUMA ANAK. Internasional Journal of Child and Gender Studies, 1(2), 57-74.

Nugroho, A. F. (2018). TEORI-TEORI BIMBINGAN KONSELING DALAM PENDIDIKAN (TEORI PSIKOANALISIS, TEORI BERPUSAT PADA KLAIEN DAN TEORI BEHAVIORISTIK). Jurnal Tawadhu, 2(1), 428-446.

Nur Cholifa Mulud Diyah., A. I. (2016). KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN (STUDI FENOMENOLOGI PERILAKU KEKERASAN DI PANTI REHABILITASI SOSIAL ANAK). Jurnal Pradigma, 04(03), 1-12.

Nuraini, F. (2016). MODEL PENYADARAN ORANG TUA MENGGUNAKAN PENDEKATAN INTERAKSI DALAM UPAYA MEMINIMALISIR TERJADINYA KEKERASAN PADA ANAK. Jurnal Ilmiah Kependidikan, X(1).

Solichah, M. (2013). ASSESMENT POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (PTSD) PADA PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN (ACQUAINTANCE RAPE). Jurnal Humanitas, X(1), 87-102.

Sujadi, E. (2015). KONSELING PANCAWASKITA UNTUK MEMBENTUK PROBLEM fOCUSED COPING. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 3(1), 7-15.

TamsIl Muis., M. S. (2011). BENTUK, PENYEBAB, DAN DAMPAK DARI TINDAK KEKERASAN GURU TERHADAP SISWA DALAM INTERAKSI BELAJAR MENGAJAR DARI PERSPEKTIF SISWA DI SMPN KOTA SURABAYA : SEBUAH SURVEY. Jurnal Psikologi, 1(2), 63-73.

Tentama, F. (2014). DUKUNGAN SOSIAL DAN POST- TRAUMATIC STRESS DISORDER PADA REMAJA PENYINTAS GUNUNG MERAPI. Jurnal Psikologi Undip, 13(2), 133-138.

Wahidah, E. Y. (2017). RESISTENSI DALAM PSIKOTERAPI TERHADAP TRAUMA KDRT PADA ANAK (PERSPEKTIF PSIKOANALISA). Jurnal Al Murabbi,3(2), 159-177. Wahyuni, H. (2016). FAKTOR REASIKO GANGGUAN STRESS PASSCA TRAUMA PADA

Referensi

Dokumen terkait

Bagi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Formasi Tahun Anggaran 2010, yang Surat Keputusan Pengangkatannya telah selesai diproses (daftar nama terlampir) dapat mengambil Surat Keputusan

Melalui perancangan media komunikasi visual sebagai sarana promosi Carissa Cuci Mobil Otomatis (CCMO), dan untuk menjaga eksistensi menghadapi pesaingnya,

Seorang nyai berperan di dalam transformasi modernisasi di Jawa pada khususnya, transformasi modernisasi yang penulis maksud adalah proses perubahan kebiasaan atau budaya

Menurut Edward Djamaris dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Filologi, metode landasan dipakai apabila menurut tafsiran, nilai naskah jelas berbeda sehingga ada satu

Hal ini didukung oleh pernyataan Siagian (dalam Syamsi, 1995) bahwa pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan

Batas aliran lalu lintas yang ada pada suatu ruas jalan dilampaui, maka rata-rata kecepatan lalu lintas akan turun sehingga pada saat kecepatan mulai turun maka

Untuk menganalisis lebih jelas mengenai daya tarik yang dihipotesiskan mempunyai pengaruh terhadap promosi dan informasi, aksesbilitas yang dihipotesiskan mempunyai

Babakan Baru RT.03/03 Desa Rumpin