• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Independensi Auditor Internal

Menurut Arens (2006 : 84) mendefinisikan independensi sebagai :

“Independensi adalah cara pandang yang tidak memihak didalam pelaksanaan pegujian evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Dari define tersebut dapat diambil kesimpulan mengenai definisi independensi akuntan publik adalah sikap pikiran dan sikap mental akuntan publik yang jujur dan ahli, serta bebas dari bujukan, pengaruh, dan pengendalian pihak lain dlam melaksanakan perencanaan, penilaian, dan pelaporan hasil pemeriksaan.”

Menurut Mulyadi (2002 : 26-27) mengemukakan independensi :

“Independensi berarti sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya.”

Menurut Arens dan Loebbecke (2009 : 111) mengemukakan bahwa : “A member in public practice shall be independence in the performance a professional service as require by standards promulgated by bodies designated by a council.

“Anggota yang ada didalam praktik publik harus independen dalam kinerja layanan professional seperti yang dipersyaratkan oleh standar yang dikeluarkan oleh badan yang ditunjuk oleh dewan.”

(2)

Sedangkan menurut Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2009:51) mengemukakan independensi sebagai berikut :

“Independensi dalam audit berarti cara pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Sikap mental independen tersebut harus meliputi Independece in fact dan independence in appearance.”

Independence in fact menurut siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2009:51) adalah sebagai berikut :

“Independen dalam kenyataan akan ada apabila pada kenyataan auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelakksanaan auditnya. Artinya sebagai suatu kejujuran yang tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya, hal ini berarti bahwa dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang dipakai sebagai dasar pemberiaan pendapat, auditor harus objektif dan tidak berprasangka.”

Independence in appearance menurut siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2009:51) adalah sebagai berikut :

“Independen dalam penampilan adalah hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi ini. Auditor akan dianggap tidak independen apabila auditor tersebut memiliki hubungan tertentu (misalnya hubungan keluarga) dengan kliennya yang dapat menimbulkan kecurigaan bahwa auditor tersebut akan memihak kliennya atau tidak independen.”

Antle (1984) dalam Mayangsari (2003) mendefinisikan independensi sebagai :

(3)

“Suatu hubungan antara akuntan dan kliennya yang mempunyai sifat sedemikian rupa sehingga temuan dan laporan yang diberikan auditor hanya dipengaruhi oleh bukti-bukti yang ditemukan dan dikumpulkan sesuai dengan aturan atau prinsip-prinsip profesionalnya.”

Menurut Islahuzzaman (2012 : 179) menyatakan :

“Auditor yang independen adalah auditor yang tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri auditor dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam audit. Independensi lebih banyak ditentukan faktor luar diri auditor.” Berdasarkan beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli, independensi adalah sikap pikiran dan sikap mental yang tidak memihak dan tidak dikendalikan oleh pihak lain didalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan dan penyusunan laporan audit yang sesuai dengan aturan atau prinsip-prinsip profesionalnya.

Lalu menurut Mulyadi (2002 : 27) mengungkapkan keadaan yang sering mengganggu sikap mental independen seorang auditor adalah :

1) Sebagai seorang yang melaksanakan audit secara independen , auditor dibayar oleh kliennya atas jasanya tersebut.

2) Sebagai penjual jasa seringkali auditor mempunyai kecendrungan untuk memuaskan keinginan kliennya.

3) Mempertahankan sikap mental independen seringkali dapat menyebabkan lepasnya klien.

Arens et al (2003) menyatakan bahwa audit dilakukan oleh orang yang kompeten, independen dan objektif atau disebut sebagai auditor. Berdasarkan kelompok atau pelaksana audit, auditor dibagi 3 jenis yaitu:

(4)

1) Auditor ekstern/independen bekerja untuk kantor akuntan publik yang statusnya diluar struktur perusahaan yang mereka audit. Pada umumnya, auditor ekstern menghasilkan Laporan Hasil Audit atas Laporan Keuangan;

2) Auditor intern bekerja untuk perusahaan yang mereka audit. Laporan Hasil Audit Operasional/Manajemen umumnya berguna bagi manajemen perusahaan yang diaudit dalam melakukan perbaikan kinerja perusahaan. Oleh karena itu tugas internal auditor biasanya adalah audit operasional/manajemen;

3) Auditor Pemerintah yaitu auditor yang bekerja untuk kepentingan pemerintah, misalnya di bidang perpajakan atau audit terhadap dana-dana yang bersumber dari pemerintah.

Auditor yang profesional akan merencanakan audit sebaik-baiknya, mempertimbangkan risiko yang timbul dan melakukan pengumpulan serta pengujian bukti secara cermat.

Supriyono (1988) membuat kesimpulan mengenai pentingnya independensi akuntan publik sebagai berikut :

1. Independensi merupakan syarat yang sangat penting bagi profesi akuntan publik untuk memulai kewajaran informasi yang disajikan oleh manajemen kepada pemakai informasi.

2. Independensi diperlukan oleh akuntan publik untuk memperoleh kepercayaan dari klien dan masyarakaat, khususnya para pemakai laporan keuangan.

(5)

3. Independensi diperoleh agar dapat menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen.

4. Jika akuntan publik tidak independen maka pendapat yang dia berikan tidak mempunyai arti atau tidak mempunyai nilai.

5. Independensi merupakan martabat penting akuntan publik yang secara berkesinambungan perlu dipertahankan. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas auditnya, seorang auditor tidak hanya dituntut untuk memiliki keahlian saja, tetapi juga dituntut untuk bersikap independen.

Wilcox (1952) dalam Supriyono (1989) menyatakan bahwa independensi bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun.

Arens dan Loebbecke (1997) mendefinisikan independensi dalam pengauditan sebagai ”pengguna cara pandang yang tidak bisa dalam pelaksanaan pengujian audit, evaluasi hasil pengujian tersebut, dapat pelaporan hasil temuan audit. Selain itu, Arens dan Loebecke (1997) mengkategorikan independensi kedalam dua aspek, yaitu : independensi dalam kenyataan (independence in fact) dan idependensi dalam penampilan (independence in appearance). Independensi dalam kenyataan ada apabila akuntan publik berhasil mempertahankan sikap yang tidak bias selama audit, sedangkan independensi dalam penampilan adalah hasil persepsi pihak lain terhadap independensi akuntan publik

(6)

Sekar Mayangsari (2003) yang melakukan penelitian tentang hubungan antara independensi dengan pendapat audit menyimpulkan bahwa auditor yang independen memberikan pendapat lebih tepat dibandingkan auditor yang tidak independen.

Mulyadi (2008:26) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mengindikasikan independensi adalah :

1. Sikap mental yang bebas dari pengaruh

Akuntan publik pada saat masa penugasannya tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan berbagai pihak sehingga menghasilkan sebuah laporan audit yang berkualitas.

2. Tidak dikendalikan oleh pihak lain

Akuntan publik melakukan tugasnya bebas dari kendali pihak luar yang menginginkan sebuah hasil laporan audit yang dikendalikan, sehingga laporan audit yang dihasilkan bebas dari rekayasa apapun. 3. Tidak tergantung pada orang lain

Akuntan publik pada masa penugasannya tidak bergantung pada pihak lain atau membutuhkan pihak lain sehingga membuat laporan audit yang dikeluarkan diragukan kebenarannya.

Menurut Mautz & Sharaf (1980:249) practicioner independent

(independensi praktisi) mencakup tiga dimensi, antara lain :: 1. Independen Perencanaan

Bebas dari kontrol atau pengaruh yang tidak semestinya dalam pemilihan teknik dan prosedur audit. Ini mensyaratkan bahwa auditor

(7)

memiliki kebebasan untuk mengembangkan program sendiri, baik dalam menetapkan langkah-langkah untuk dimasukkan dan jumlah pekerjaan yang harus dilakukan dalam batas-batas perikatan.

2. Independensi Pelaksanaan

Bebas dari kontrol atau pengaruh yang tidak semestinya dalam pemilihan daerah, kegiatan, hubungan pribadi, dan kebijakan manajerial untuk diperiksa. Ini mensyaratkan tidak ada sumber yang sah dari informasi ditutupi untuk auditor.

3. Independensi Pelaporan

Bebas dari pengaruh yang tidak semestinya dalam menyatakan fakta-fakta yang diungkapkan dalam pemeriksaan atau dalam memberikan rekomendasi dan pendapat sebagai hasil dari pemeriksaan. Hubungan dari pelaporan hingga pemeriksaan telah dinyatakan rapi dengan mengikuti sebagai berikut: Anda memberitahu kita apa yang harus dilakukan dan juga memberitahu anda apa yang dapat kita tulis dalam laporan anda, anda memberitahu kami apa yang anda ingin, kami mengatakan dalam laporan anda dan kami akan memberi tahu anda apa yang harus kita lakukan.

2.2 Kompetensi Auditor Internal

Menurut Wibowo (2007:86) mendefinisikan kompetensi sebagai :

“Kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi oleh keterampilan dan pengetahuan kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Dengan demikian kompetensi menunjukan keterampilan atau pengetahuan yang

(8)

dicirikan oleh profesionalisme dalam suatu bidang tertentu sebagai suatu yang terpenting, kompetensi sebagai karakteristik seseorang berhubungan dengan kinerja yang efektif dalam suatu pekerjaan atau situasi.”

Roe (2001 : 73) mengemukakan kompetensi sebagai :

Competence is defined as the ability to adequately perform a task, duty or role. Competence integrates knowledge, skills, personal value and attitudes. Competence builds on knowledge and skills and is acquired through work experience and learning by doing.”

“Kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan-keterampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan.”

Lalu menurut Robbin (2007 : 38) mendefinisikan bahwa kompetensi adalah “kemampuan (ability) atau kapasitas seseorang untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan, dimana kemampuan ini ditentukan oleh 2 (dua) faktor yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik.”

Menurut Spencer dan Spencer dalam Hamzah B. Uno (2007 : 63), membagi lima karakteristik kompetensi yaitu sebagai berikut:

1) Motif, yaitu sesuatu yang orang pikirkan dan inginkan yang menyebabkan sesuatu.

2) Sifat, yaitu karakteristik fisik tanggapan konsisten terhadap situasi. 3) Konsep diri, yaitu sikap, nilai, dan image dari seseorang.

(9)

4) Pengetahuan, yaitu informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu.

5) Keterampilan, yaitu kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan fisik dan mental.

Sedangkan menurut E.Mulyasa (2004 : 37-38) mendefinisikan kompetensi sebagai :

”Kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Pada sistem pengajaran kompetensi digunakan untuk mendeskripsikan kemampuan professional yaitu kemampuan untuk menunjukkan pengetahuan dan konseptualisasi pada tingkat yang lebih tinggi. Kompetensi ini dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman lain sesuai tingkat kompetensinya.”

Berdasarkan uraian diatas maka kompetensi merupakan kemampuan dalam menunjukkan keterampilan, pengetahuan, nilai, dan sikap berdasarkan pengalaman dan pembelajaran yang dilakukan, sehingga seseorang dapat menunjukkan profesionalismenya.

Penelitian yang dilakukan oleh Murtanto (1998) dalam Mayangsari (2003) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia terdiri atas:

1. Komponen pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan pengalaman.

2. Ciri-ciri psikologis, seperti kemampuan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerjasama dengan orang lain.

Libby (1991) dalam Hernandito (2002) mengatakan bahwa seorang auditor menjadi ahli terutama diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman. Seorang auditor lebih berpengalaman akan memiliki skema lebih baik dalam

(10)

mengidentifikasi kekeliruan-kekeliruan daripada auditor yang kurang berpengalaman. Sehingga pengungkapan informasi tidak lazim oleh auditor yang berpengalaman juga lebih baik dibandingkan pengungkapan oleh auditor yang kurang berpengalaman.

Menurut Standar Kompetensi Auditor (BPKP: 2010), disebutkan bahwa auditor harus memiliki kemampuan mencakup:

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan fakta, informasi, dan keahlian yang diperoleh seseorang melalui pendidikan, baik secara teori maupun pemahaman praktis. Kompetensi dalam aspek pengetahuan merupakan pengetahuan di bidang pengawasan yang harus dimiliki oleh seluruh auditor di semua tingkat atau jenjang jabatan. Perolehan pengetahuan melibatkan proses kognitif yang kompleks meliputi: persepsi, pembelajaran, komunikasi, asosiasi dan argumentasi. Dalam Taksonomi Bloom, pengetahuan masuk dalam ranah kognitif yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual.

2. Keterampilan/Keahlian (skill)

Keterampilan merupakan kemampuan untuk melakukan tugas dengan baik atau lebih baik dari rata-rata. Dalam Taksonomi Bloom, keterampilan masuk dalam ranah psikomotor yang berisi perilaku- 22 perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik. Kompetensi dari aspek keterampilan/keahlian merupakan keterampilan/keahlian dibidang bidang

(11)

pengawasan yang harus dimiliki oleh seluruh auditor di semua tingkat atau jenjang jabatan.

3. Sikap Perilaku (attitude)

Sikap perilaku mewakili rasa suka atau tidak seseorang pada suatu hal. Dalam Taksonomi Bloom, sikap perilaku masuk dalam ranah afektif yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Kompetensi dari aspek sikap perilaku merupakan sikap perilaku yang harus dimiliki oleh seluruh auditor di sumua tingkat atau jenjang jabatan. Selain hal tersebut, dalam Standar Kompetensi Auditor pasal 3 ayat (2), auditor wajib mempertahankan Kompetensinya melalui Pendidikan dan Pelatihan Profesional Berkelanjutan (Continuing Professional Education) guna menjamin Kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan organisasi dan perkembangan lingkungan pengawasan. Pendidikan dan Pelatihan Profesional Berkelanjutan diperoleh melalui keanggotaan dan partisipasi dalam asosiasi profesi, pendidikan sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor (JFA), konferensi, seminar, kursus-kursus, program pelatihan di kantor sendiri dan partisipasi dalam proyek penelitian yang memiliki substansi di bidang pengawasan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel Kompetensi Auditor Internal dalam penelitian dapat diukur dengan beberapa indikator sebagai berikut:

(12)

b) Keterampilan/keahlian yang dimiliki

c) Sikap perilaku yang dimiliki

d) Pendidikan dan pelatihan professional berkelanjutan.

2.3 Pengertian Risiko Pengendalian Internal

Menurut Committee Sponsoring Organization of the Treadway Commission (COSO) (1992) mendefinisikan pengendalian internal sebagai :

“Internal control is process, affected by entility’s board of directors, management and other personnel, designed to provide reasonable assurance regarding the achievement of objectives in the following categories: Effectiveness and efficiency of operations, Realibillty of Financial Reporting, Compliance with Applicable laws and regulations.”

“Pengendalian internal merupakan suatu proses yang melibatkan dewan komisaris, manajemen, dan personil lain, yang dirancang untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga tujuan berikut ini: Efektivitas dan efisiensi operasi, Keandalan pelaporan keuangan, Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.”

Menurut Azhar (2008 : 95) mendefinisikan pengendalian internal adalah :

“Suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen, dan karyawan yang dirancang untuk memberikan jaminan yang meyakinkan bahwa tujuan organisasi akan dapat dicapai melalui efisiensi dan efektifitas operasi, penyajian laporan keuangan yang dapat dipercaya, dan ketaatan terhadap undang-undang dan aturan yang berlaku.”

Krismiaji (2002:218), menjelaskan pengertian pengendalian internal sebagai berikut:

(13)

“Rencana organisasi dan metode yang digunakan untuk menjaga atau melindungi aktiva, menghasilkan informasi yang akurat dan dapat dipercaya, memperbaiki efisiensi, dan untuk mendorong ditaatinya kebijakan manajemen”.

Sedangkan pengendalian internal menurut Widjajanto (2001:18) adalah : suatu pengendalian yang meliputi struktur organisasi beserta semua metode dan ukuran yang diterapkan oleh perusahaan dengan tujuan untuk mengamankan aktiva perusahaan, mengecek kecermatan dan ketelitian data akuntansi, meningkatkan efisiensi dan mendorong kebijakan manajemen dipatuhi oleh segenap jajaran organisasi.

Berdasarkan beberapa definisi yang diungkapkan oleh para ahli, pengendalian internal merupakan suatu proses yang dirancang untuk memberikan jaminan yang meyakinkan tentang pencapaian efektifitas dan efisiensi operasi, keandalan pelaporan keuangan dan ketaatan terhadap undang-undang dan aturan yang berlaku.

Menurut Akmal (2007:25) dalam bukunya Pemeriksaan intern, ciri-ciri pengendalian internal yang efektif yaitu :

1. Tujuannya jelas

Jika suatu pengendalian tidak dapat dimengerti, maka prosedur pengendalian tersebut tidak akan digunakan dan jika tidak mempunyai tujuan yang jelas, maka pengendalian tersebut tidak memiliki nilai.

(14)

Suatu pengendalian internal harus dapat dimanfaatkan oleh seluruh pengguna atau oleh seluruh pihak yang berkaitan.

3. Biaya yang dikeluarkan dapat mencapai tujuan

Biaya yang dikeluarkan harus mencapai tujuan yang ditetapkan, namun biaya tersebut tidak boleh melebihi dari manfaat yang dihasilkannya.

4. Didokumentasikan Proses

Dokumentasi yang baik adalah proses dokumentasi yang sederhana dan dapat dengan mudah dimengerti, serta jelas hubungannya dengan risiko pengendalian dan memberikan keyakinan kepada manajemen bahwa pengendalian internal ini berada pada tempatnya.

5. Dapat diuji dan di review

Proses pengendalian dan manajemen dan dokumentasinya dapat diuji dan di review agar dapat disempurnakan atau dapat diperbaharui jika proses pengendalian internal yang dilakukan sudah tidak sesuai dengan kondisi pada saat pengendalian dilakukan.

Menurut Messier/Glover/Prewitt (2006:215) dalam bukunya Auditing & Assurance Service a Systematic Approach yaitu bahwa pengendalian internal itu harus di rancang dan di operasikan untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa tujuan entitas telah dicapai.

(15)

Efektivitas pengendalian internal berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan alamiah, termasuk diabaikannya pengendalian internal oleh manajemen, kesalahan personel, dan kolusi.

1) Manajemen Mengabaikan Pengendalian Internal

Pengendalian entitas dapat diabaikan oleh manajemen. Sebagai contoh, manajer senior dapat meminta karyawan bawahannya untuk mencatat jurnal dalam cacatan akuntansi yang tidak konsisten dengan substansi transaksi dan melanggar pengendalian entitas, karena takut akan kehilangan pekerjaannya. Dalam contoh lainnya, manajemen mungkin mengadakan perjanjian dengan pelanggan yang mengubah syarat dan kondisi kontrak penjualan standar entitas dalam cara yang akan menghalangi pengakuan pendapatan. Auditor terutama berkepentingan ketika manajemen senior terlibat aktivitas seperti itu yang akan menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas manajemen. Akan tetapi, pelanggan prosedur pengendalian oleh manajemen senior lebih sulit untuk dideteksi dengan prosedur audit normal.

2) Kesalahan atau Kelalaian Manusia

Sistem pengendalian internal hanya seefektif personel yang mengimplementasikan dan melakukan pengendalian. Cacat di pengendalian internal dapat terjadi karena kesalahan manusia seperti kesalahan atau kelalaian sederhana. Misalnya, kesalahan dapat terjadi dalam merancang, menjaga, atau mengawasi pengendalian otomatis.

(16)

3) Kolusi

Efektivitas pemisahan tugas terletak pada individu yang hanya melakukan pekerjaan yang ditugaskan padanya atau kinerja seseorang diperiksa oleh orang lain. Selalu ada risiko bahwa kolusi antar individu yang menerima pembayaran kas dari pelanggan dapat bekerja sama dengan orang yang mencatat penerimaan tersebut dalam catatan pelanggan untuk mencuri uang dari entitas.

Auditing Standards Board. SAS 55(AU 319) Auditor untuk mendapat pemahaman terhadap struktur pengendalian intern klien, yang luasnya setidaknya mencukupi untuk merencanakan pemeriksaan yang memadai, dalam hal 4 masalah spesifik perencanaan:

a) Auditability

Auditor harus memperoleh informasi tentang integritas manajemen dan kemampuan yang luas dalam pencatatan akuntansi untuk melengkapi bukti yang tersedia untuk mendukung neraca laporan keuangan.

b) Salah saji potensial dan material

Auditor diwajibkan untuk mengidentifikasi kesalahan dan penipuan yang mungkin mempengaruhi laporan keuangan dan untuk menilai resiko yang mungkin terjadi dalam jumlah yang material.

(17)

Informasi tentang pengendalian internal digunakan untuk menilai resiko pengendalian untuk setiap keobjektifan yang mempengaruhi rencana penemuan resiko dan bukti audit.

d) Perancangan pengujian.

Dari setiap informasi yang dihasilkan, auditor harus diijinkan untuk membuat rencana pengujian yang efektif dari neraca laporan keuangan.

Perusahaan harus melakukan penilaian risiko (risk assessment) untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengelola risiko yang berkaitan dengan pelaporan keuangan. Penilaian risiko manajemen untuk tujuan pelaporan keuangan dan desain serta implementasi aktivitas pengendalian yang ditujukan untuk mengurangi risiko tersebut pada tingkat minimum untuk mempertimbangkan biaya dan manfaatnya. Tujuan manajemen mengadakan penilaian risiko adalah untuk menentukan bagaimana cara mengatasi risiko yang telah di identifikasi (Singleton:2007).

Menurut Singleton (2007:28) penaksiran resiko sebagai berikut :

Penaksiran risiko manajemen harus mencakup pertimbangan khusus terhadap risiko yang dapat timbul dari perubahan keadaan seperti :

a) Perubahan dalam lingkungan operasional yang membebankan berbagai tekanan persaingan baru atas perusahaan.

b) Personel baru yang memiliki pemahaman berbeda atau tidak memadai atas pengendalian internal.

(18)

c) Sistem informasi baru atau yang direkayasa ulang sehingga memengaruhi pemrosesan transaksi.

d) Pertumbuhan yang signifikan dan cepat hingga mengalahkan pengendalian internal yang ada.

COSO atau Committee of Sponsoring Organizations of the Treatway Commission memperkenalkan adanya lima komponen pengendalian intern yang meliputi Lingkungan Pengendalian (Control Environment), Penilaian Resiko (Risk Assesment), Prosedur Pengendalian (Control Procedure), Pemantauan (Monitoring), serta Informasi dan Komunikasi (Information and Communication).

1. Lingkungan Pengendalian

Lingkungan pengendalian perusahaan mencakup sikap para manajemen dan karyawan terhadap pentingnya pengendalian yang ada di organisasi tersebut. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap lingkungan pengendalian adalah filosofi manajemen (manajemen tunggal dalam persekutuan atau manajemen bersama dalam perseroan) dan gaya operasi manajemen (manajemen yang progresif atau yang konservatif), struktur organisasi (terpusat atau terdesentralisasi) serta praktik kepersonaliaan. Lingkungan pengendalian ini amat penting karena menjadi dasar keefektifan unsur-unsur pengendalian internal yang lain. Merupakan dasar dari komponen pengendalian yang lain yang secara umum dapat memberikan acuan disiplin. Meliputi : Integritas, Nilai Etika, Kompetensi Personil Perusahaan, Falsafah Manajemen Dan Gaya Operasional, cara manajemen di dalam

(19)

mendelegasikan tugas dan tanggung jawab, mengatur dan mengembangkan personil, serta, arahan yang diberikan oleh dewan direksi.

2. Penilaian Risiko

Semua organisasi memiliki risiko, dalam kondisi apapun yang namanya risiko pasti ada dalam suatu aktivitas, baik aktivitas yang berkaitan dengan bisnis (profit dan non profit) maupun non bisnis. Suatu risiko yang telah di identifikasi dapat di analisis dan evaluasi sehingga dapat di perkirakan intensitas dan tindakan yang dapat meminimalkannya. Identifikasi dan analisa atas risiko yang relevan terhadap pencapaian tujuan yaitu mengenai penentuan “bagaimana risiko dinilai untuk kemudian dikelola”. Komponen ini hendaknya mengidentifikasi risiko baik internal maupun eksternal untuk kemudian dinilai. Sebelum melakukan penilain risiko, tujuan atau target hendaknya ditentukan terlebih dahulu dan dikaitkan sesuai dengan level-levelnya.

3. Aktivitas Pengendalian

Prosedur pengendalian ditetapkan untuk menstandarisasi proses kerja sehingga menjamin tercapainya tujuan perusahaan dan mencegah atau mendeteksi terjadinya ketidakberesan dan kesalahan. Prosedur pengendalian meliputi hal-hal sebagai berikut:

(20)

 Pelimpahan tanggung jawab.

 Pemisahan tanggung jawab untuk kegiatan terkait.

 Pemisahan fungsi akuntansi, penyimpanan aset dan operasional. 4. Informasi dan Komunikasi

Informasi dan komunikasi merupakan elemen-elemen yang penting dari pengendalian internal perusahaan. Informasi tentang lingkungan pengendalian, penilaian risiko, prosedur pengendalian dan monitoring diperlukan oleh manajemen operasional dan menjamin ketaatan dengan pelaporan hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku pada perusahaan. Informasi juga diperlukan dari pihak luar perusahaan. Manajemen dapat menggunakan informasi jenis ini untuk menilai standar eksternal. Hukum, peristiwa dan kondisi yang berpengaruh pada pengambilan keputusan dan pelaporan eksternal. Menampung kebutuhan perusahaan di dalam mengidentifikasi, mengambil, dan mengkomukasikan informasi-informasi kepada pihak yang tepat agar mereka mampu melaksanakan tanggung jawab mereka. Di dalam perusahaan (organisasi), Sistem informasi merupakan kunci dari komponen pengendalian ini. Informasi internal maupun kejadian eksternal, aktifitas, dan kondisi maupun prasyarat hendaknya dikomunikasikan agar manajemen memperoleh informasi mengenai keputusan-keputusan bisnis yang harus diambil, dan untuk tujuan pelaporan eksternal.

(21)

Pemantauan terhadap sistem pengendalian internal akan menemukan kekurangan serta meningkatkan efektivitas pengendalian. Pengendalian internal dapat di monitor dengan baik dengan cara penilaian khusus atau sejalan dengan usaha manajemen. Usaha pemantauan yang terakhir dapat dilakukan dengan cara mengamati perilaku karyawan atau tanda-tanda peringatan yang diberikan oleh sistem akuntansi. Penilaian secara khusus biasanya dilakukan secara berkala saat terjadi perubahan pokok dalam strategi manajemen senior, struktur korporasi atau kegiatan usaha. Pada perusahaan besar, auditor internal adalah pihak yang bertanggung jawab atas pemantauan sistem pengendalian internal. Auditor independen juga sering melakukan penilaian atas pengendalian intern sebagai bagian dari audit atas laporan keuangan. Pengendalian intern seharusnya diawasi oleh manajemen dan personil di dalam perusahaan. Ini merupakan kerangka kerja yang diasosiasikan dengan fungsi internal audit di dalam perusahaan (organisasi), juga dipandang sebagai pengawasan seperti aktifitas umum manajemen dan aktivitas supervise. Adalah penting bahwa defisiensi pengendalian intern hendaknya dilaporkan ke atas. Dan pemborosan yang serius seharusnya dilaporkan kepada manajemen puncak dan dewan direksi.

Kelima komponen ini terkait satu dengan yang lainnya, sehingga dapat memberikan kinerja sistem yang terintegrasi yang dapat merespon perubahan kondisi secara dinamis. Sistem Pengendalian Internal terjalin dengan aktifitas

(22)

opersional perusahaan, dana akan lebih efektif apabila pengendalian dibangun ke dalam infrastruktur perusahaan, untuk kemudian menjadi bagian yang paling esensial dari perusahaan (organisasi).

Menurut Standar Manajemen Risiko (4360 : 2004), manajemen risiko adalah kultur, proses, dan struktur yang diarahkan untuk merealisasikan peluang potensial dan sekaligus mengelola dampak yang merugikan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan risiko, antara lain :

1. Menetapkan Konteks

Konteks disini adalah tujuan perusahaan atau disebut dengan visi dan misi perusahaan.

2. Mengidentifikasi Risiko

Identifikasi melalui pertanyaan what, when, where, why, and how

berkaitan dengan kecenderungan dari munculnya risiko. Semakin lengkap data yang dikumpulkan dalam proses identifikasi ini, maka kita akan semakin mudah dalam mencari solusi bagi pengendalian risiko yang muncul.

3. Menganalisis Risiko

Menemukan tingkat pengendalian terhadap risiko-risiko tersebut dengan mempertimbangkan tingkat kemungkinan serta konsekuensinya terhadap tingkat risiko. Proses ini membantu memahami kemungkinan terjadinya risiko beserta dampak dari

(23)

setiap risiko bila nantinya benar-benar terjadi, serta mengetahui apakah suatu risiko dapat diterima atau tidak.

4. Mengevaluasi Risiko

Apabila risiko itu menurut hasil evaluasi tidak diterima maka kita akan dapat melakukan identifikasi kembali opsi-opsi penanganan yang akan kita pilih, menyiapkan rencana penanganan risiko, menerapkan rencana pengendalian risiko.

5. Penanganan Risiko

Menentukan prioritas penanganan dan penentuan batas toleransi apabla riisko tersebut tidak dapat dikelola seluruhnya. Batas toleransi ini akan menentukan seberapa jauh suatu risiko dapat diterima.

2.4 Kerangka Pemikiran

2.4.1 Pengaruh Independensi Auditor Internal terhadap Risiko Pengendalian Internal

Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Stephanie Christa Damayanti (2012) yang menunjukan bahwa independensi auditor internal dalam pengujian hipotesis mempunyai pengaruh signifikan positif terhadap risiko pengendalian internal. Kemudian hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Bambang Jatmiko (2013) menunjukkan bahwa independensi auditor internal dalam pengujian hipotesis mempunyai pengaruh signifikan terhadap risiko pengendalian internal.

(24)

Selanjutnya menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Dini Wahyu Hapsari (2012) menyatakan untuk variabel independensi auditor internal secara parsial terjadi korelasi yang signifikan antara independensi auditor internal dengan risiko pengendalian independen.

2.4.2 Pengaruh Kompetensi Auditor Internal terhadap Risiko Pengendalian Internal

Menurut Dini Wahyuni Hapsari (2012) menunjukkan bahwa kompetensi auditor internal dalam pengujian hipotesis mempunyai pengaruh signifkan positif terhadap risiko pengendalian internal. Kemudian hasil penelitian Bambang Jatmiko (2013) menunjukkan bahwa kompetensi auditor internal dalam pengujian hipotesis mempunyai pengaruh signifikan terhadap risiko pengendalian internal.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Stephanie Christa Damayanti (2012) menyatakan bahwa kompetensi auditor internal berpengaruh signifikan terhadap risiko pengendalian internal.

Penjelasan mengenai pengaruh independensi dan kompetensi auditor internal terhadap Risiko Pengendalian Internal dapat dilihat secara singkat pada gambar kerangka pemikiran sebagai berikut:

(25)

Kerangka pemikiran Gambar 2.1

Variabel Independen Variabel Dependen

Hipotesis Penelitian

2.5 Hipotesis Penelitian

Menurut Uma Sekaran (2007:135) Hipotesis dapat didefinisikan sebagai hubungan yang diperkirakan secara logis antara dua variabel yang diungkapkan dalam bentu pernyataan secara logis.

: Independensi Auditor Internal berpengaruh terhadap Risiko Pengendalian Internal.

: Kompetensi Auditor Internal berpengaruh terhadap Risiko Pengendalian Internal.

Ha3 : Independensi dan Kompetensi Auditor Internal berpengaruh terhadap

Risiko Pengendalian Internal.

Independensi Auditor Internal (X1)

Arens (2006 : 84)

Kompetensi Auditor Internal (X2) Robert A. Roe (2001 : 73 ) Risiko Pengendalian Internal (Y) Hall Singleton (2007:28)

Referensi

Dokumen terkait

Sawyers, Dittenhofer, dan Scheiner dalam bukunya Sawyer’s Internal Auditing (2005:10) menyatakan bahwa “audit internal adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif

Sedangkan menurut Sawyer (2005:10) audit internal adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan oleh auditor internal terhadap operasi dan

“audit internal adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan auditor internal terhadap operasi dan control yang berbeda-beda dalam organisasi untuk

Jika diterjemahkan secara bebas, audit internal merupakan suatu fungsi penilaian yang objektif dan sistematis oleh auditor internal tentang kegiatan dan pengendalian dalam

“ Audit internal adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan auditor internal terhadap operasi dan kontrol yang berbeda-beda dalam organisasi

Atas dasar audit yang dilaksanakan terhadap laporan keuangan historis suatu entitas, auditor menyatakan suatu pendapat mengenai apakah laporan keuangan tersebut

“ Audit internal adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan auditor internal terhadap operasi dan kontrol yang berbeda-beda dalam organisasi untuk

“Audit internal adalah sebuah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan auditor internal terhadap oprasi dan control yang berbeda - beda