501
DIAGNOSIS FILARIASIS LIMFATIK
Tutik Ida Rosanti 1, Soeyoko 2
1 Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto 2 Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
ABSTRACT
Lactose intolerance is a condition caused by lactase deficiency in the brush border of the intestine, causing inability in digesting lactose into glucose and galactose. It is a mild metabolic disease with low morbidity, but often used interchangeably with cow’s milk allergy, resulting confusion in public understanding. Lactase deficiency keeps lactose not hydrolyzed, resulting increased osmotic pressure and fluid secretion of intestine lumen. In the colon, the result of fermentation from the undigested lactose is hydrogen gas. The symptoms of lactose intolerance are abdominal bloating, distension, pain, flatulence, and diarrhea. Symptoms are alleviated by complete elimination or reduced consumption of lactose-containing foods. Meanwhile, dairy products which contain large amount of lactose also become the main source of calcium as well. Elimination of dairy products from daily diet may results low calcium level, osteopenia, until osteoporosis. People with lactose intolerance need calcium supplementation to maintain the calcium level in the body if lactose is restricted
Key Words: lactose intolerance, lactase, calcium.
PENDAHULUAN
Filariasis limfatik adalah infeksi parasitik yang disebabkan oleh nematoda dan ditularkan oleh nyamuk. Filariasis
limfatik masih merupakan penyakit
parasitik dan menginfeksi sekitar 120 juta penduduk dunia, 90%nya disebabkan oleh spesies Wuchereria bancrofti sedangkan 10%nya disebabkan oleh Brugia malayi (Palumbo, 2008).
Diagnosis filariasis limfatik
setidaknya didasarkan pada empat
pendekatan yaitu diagnosis klinis, diagnosis parasitologis dan diagnosis serologis serta diagnosis berdasarkan DNA. Pada tulisan kali ini, penulis akan memaparkan diagnosis filariasis limfatik berdasarkan diagnosis klinis dan diagnosis parasitologis.
Perlu diketahui bahwa tidak semua penderita filariasis limfatik menunjukkan manifestasi klinis tertentu. Khususnya di daerah endemis filariasis, sebagian besar
penduduknya berada pada status
asimtomatik meskipun di dalam darah
perifernya ditemukan mikrofilaria
(mikrofilaremia asimtomatik). Oleh karena itu penting kiranya mengetahui beberapa teknik pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan mikrofilaria di dalam darah maupun mendeteksi keberadaan cacing dewasanya agar diagnosis filariasis limfatik dapat ditegakkan sedini mungkin sehingga penderita filariasis limfatik tidak sampai jatuh pada kondisi filariasis kronis dengan elefantiasis dengan segala dampaknya.
502
A. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis filariasis limfatik secara klinis didasarkan atas gejala-gejala klinis yang muncul pada penderita baik pada
stadium akut maupun kronik. Perlu
diketahui bahwa di Indonesia terdapat tiga jenis filariasis limfatik berdasarkan pada spesies cacing filaria penyebabnya. Ketiga jenis filariasis limfatik tersebut yaitu filariasis bancrofti yang disebabkan oleh
Wuchereria bancrofti, filariasis malayi yang
disebabkan oleh Brugia malayi dan filariasis timori yang disebabkan oleh Brugia timori.
Gejala akut pada filariasis bancrofti pada umumnya berupa peradangan pada saluran limfe genitalia yaitu timbul funikulitis, epididimitis dan orkitis. Pada stadium kronik akan terjadi khiluria, hidrokel testis, elefantiasis skroti maupun elefantiasis seluruh tungkai atau lengan dan mammae (Partono, 1987 ; Shenoy et al., 1999).
Gejala akut pada filariasis malayi dan
filariasis timori berupa demam,
limfadenitis, limfangitis desendens, abses dan limfedema. Pada stadium kronik terjadi elefantiasis pada tungkai di bawah lutut atau lengan di bawah siku.
B. DIAGNOSIS PARASITOLOGIS
Diagnosis filariasis limfatik secara
parasitologis berdasarkan pada
ditemukannya mikrofilaria dan cacing dewasa. Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam darah, urin dan cairan hidrokel.
Cacing dewasa dapat ditemukan di dalam kelenjar/saluran limfe inang definitifnya. 1. Pemeriksaan mikrofilaria di dalam
darah
Cara diagnosis menggunakan cara ini hanya dapat mendeteksi mikrofilaria jika kepadatannya di dalam darah tinggi dan jika kepadatan mikrofilaria di dalam darah rendah maka mikrofilaria akan sulit terdeteksi.
a) Pemeriksaan mikrofilaria di dalam sediaan darah langsung
Cara pemeriksaan mikrofilaria
menggunakan metode ini sangat
sederhana, mudah dan pelaksanaannya cepat. Namun kurang dapat dipercaya hasilnya karena memberikan kesalahan hitung jumlah mikrofilaria. Banyak mikrofilaria yang bergerak ke tepi gelas penutup atau beberapa mikrofilaria tidak
terlihat jelas karena adanya
penggumpalan darah. Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam sediaan darah langsung adalah sebagai berikut : setetes darah dari ujung jari diteteskan pada kaca obyek dan ditutup dengan kaca penutup. Selanjutnya dilihat langsung di bawah mikroskop pada pembesaran 10x
untuk melihat adanya gerakan
mikrofilaria (Denham et al.,1971). b) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam
sediaan darah tebal
Pemeriksaan mikrofilaria menggunakan sediaan darah tebal ini murah, dapat dipakai untuk mengidentifikasi spesies dan paling sering dipakai di lapangan
503 (WHO, 1987). Pemeriksaan mikrofilaria
menggunakan cara ini mempunyai
kelemahan yaitu kadang-kadang ada mikrofilaria yang hilang pada proses
hemolisis dan pewarnaan. Namun
kelemahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan kaca obyek yang bersih. Cara lain untuk mengatasi kelemahan tersebut adalah dengan mengeringkan darah selama lebih dari 12 jam untuk mencegah hilangnya mikrofilaria pada
proses hemolisis dan pewarnaan
(Partono & Idris., 1977). Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam sediaan darah tebal adalah sebagai berikut ; Sebanyak 20 – 60 µl darah
diambil dari ujung jari dengan
menggunakan pipet kapiler kemudian dibuat sediaan darah pada kaca obyek,
selanjutnya diwarnai dengan
menggunakan pewarnaan Giemsa.
Sediaan darah tsb kemudian dilihat di bawah mikroskop pada perbesaran 10x. c) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam
darah dengan bilik hitung.
Pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan bilik hitung hanya dapat dilakukan di suatu daerah yang telah diketahui spesiesnya. Hal tersebut karena pemeriksaan mikrofilaria dengan cara ini tidak dapat dipakai untuk melihat morfologi mikrofilaria. Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan bilik hitung adalah sebagai berikut : sebanyak 60 µl darah diambil dari ujung jari kemudian diencerkan
dengan aquabides. Larutan tersebut diteteskan ke dalam bilik hitung kemudian dilihat mikrofilarianya di bawah mikroskop. Apabila tidak dapat segera dilakukan pemeriksaan maka darah dapat dilarutkan dalam asam asetat dan kemudian disimpan (WHO, 1987). d) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam
darah filtrasi (darah yang disaring). Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah menggunakan metode ini paling peka untuk mendeteksi mikrofilaria
namun biayanya mahal sehingga
dipergunakan untuk tujuan tertentu misalnya untuk diagnosis per-orangan atau evaluasi pasca pengobatan (WHO, 1987). Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah filtrasi adalah sebagai berikut : sebanyak 1-5ml darah vena diambil kemudian disaring dengan membran filter 5µm yang dipasang pada nukleopore. Membran filter dikeringkan, difiksasi dan diwarnai dengan Giemsa. Selanjutnya dilihat di bawah mikroskop. McCarthy (2000) menyatakan bahwa penggunaan membran filter ini sangat
mudah untuk mendeteksi adanya
mikrofilaria dan menghitung beratnya infeksi serta sangat sesuai untuk mendeteksi adanya mikrofilaria pada tahap awal infeksi sebelum manifestasi klinis berkembang.
e) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan teknik konsentrasi Knott’s. Cara ini mempunyai sensitivitas lebih rendah dari pada cara filtrasi karena
504 mikrofilaria dapat hilang atau rusak pada
proses pengendapan. Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam darah dengan teknik konsentrasi Knott’s adalah sebagai berikut : Darah vena diencerkan menggunakan formalin 2% dengan perbandingan 1 : 10. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1500
rpm selama lima menit. Bagian
supernatan dibuang. Endapan diambil dan diteteskan pada kaca obyek. Perlu diteteskan metilen biru 1% agar mikrofilaria dapat terlihat jelas, kemudian dilihat di bawah mikroskop. f) Cara pemeriksaan mikrofilaria di dalam
darah dengan teknik Quantitative Buffy Coat (QBC).
Darah diambil menggunakan pipet
kapiler yang telah terisi heparin, EDTA
dan acridine orange kemudian
disentrifugasi sehingga mikrofilaria terkonsentrasi di daerah buffy coat.
Fungsi acridine orange adalah
memberikan pewarnaan pada
mikrofilaria sehingga morfologinya dapat dilihat dengan jelas dibawah mikroskop (Long et al., 1990).
2. Pemeriksaan mikrofilaria dalam urin atau cairan hidrokel.
Urin atau cairan hidrokel sebanyak 15 ml disentrifugasi dengan kecepatan 2000
rpm selama lima menit. Bagian
supernatan dibuang, endapannya
diperiksa di bawah mikroskop (WHO, 1987).
3. Pemeriksaan cacing dewasa di dalam kelenjar atau saluran limfe.
Terdapat beberapa macam cara
pemeriksaan cacing dewasa di dalam kelenjar atau saluran limfe.
a) Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan biopsi kelenjar limfe
Diagnosis dengan cara ini jarang sekali digunakan untuk diganosis filariasis. Perlu pengetahuan tentang mikroanatomi penampang lintang cacing dewasa agar dapat mendiagnosis dengan pasti. Adanya mikrofilaria di sekitar cacing dewasa atau di dalam uterusnya sangat membantu diagnosis. Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan biopsi kelenjar limfe dilakukan dengan biopsi kelenjar kemudian dibuat sediaan jaringan. Pada umumnya cacing sudah mati bahkan seringkali telah mengalami kalsifikasi (WHO, 1987).
b) Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan ultrasound.
Cara diagnosis ini dapat digunakan untuk mengetahui efek obat anti filaria terhadap stadium dewasanya secara in vivo (Dreyer et al., 1995). Penggunaan ultrasound akan memperlihatkan adanya gerakan cacing dewasa dalam saluran limfe di daerah skrotum yang disebut filaria dance sign ( Amaral et al., 1994). Pada filariasis bancrofti dengan status mikrofilaremia, 80% diantaranya dapat menunjukkan filaria dance sign (Noroes et al., 1996). Amaral et al (1994) juga menyebutkan bahwa penggunaan USG
505 juga membantu untuk menentukan lokasi
dan memvisualisasikan gerakan cacing
W.bancrofti hidup di dalam pembuluh
limfe skrotum penderita filariasis asimptomatik mikrofilaremia. USG tidak berguna pada pasien dengan limfoedema karena cacing dewasa pada umumnya tidak ada pada stadium limfoedema ini demikian juga pada Brugia malayi. Namun pada filariasis malayi disebabkan karena spesies cacing penyebabnya tidak menyebabkan manifestasi klinis di genitalia (Shenoy, 2000).
c) Cara pemeriksaan cacing dewasa dengan High-power videomicroscopy.
Cara ini belum diujicobakan untuk diagnosis filariasis pada manusia. Cara ini dapat dipakai untuk melihat cacing dewasa yang masih hidup di dalam saluran limfe tungkai hewan coba (Case etal, 1992).
Diantara sekian banyak teknik dan
metode pemeriksaan untuk diagnosis
filariasis limfatik tersebut diatas, pemeriksaan darah jari dengan sediaan darah tebal masih merupakan baku emas untuk diagnosis filariasis limfatik. Terlebih
untuk menentukan endemisitas suatu
wilayah maupun untuk mengevaluasi hasil pengobatan, metode survei darah jari (SDJ) merupakan baku emas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amaral, F., Dreyer, G., Figueredo-Silva, J.,Noroes, J., Cavalcanti,A., Samico, C.S., Santos, A. And Coutinho, A. 1994. Adult worms detected by ultrasonographhy in
human bancroftian filariasis.
Am.J.Trop.Med.Hyg. 50 : 753-757
2. Case, T.C.,Witte, M.H., Way, D.L., Witte. C.L., Crandal, C.A.and Crandal, R.B. 1992.Videomicroscopy of intralymphatic
dwelling Brugia malayi.
Ann.Med.Parasitol. 86 (4) : 435-438
3. Dreyer, G., Amaral,F., Noroes, J., Medeiros, Z. and Addiss, D. 1995. A new tool to assess the adulticidal afficacy in vivo of antifilarial drugs for bancroftian filariasis. Trans.Roy.Soc.Trop.Med.Hyg. 89 : 225-226
4. Long, G.W., Rickman, L.S., Cross, J.H.1990. Rapid diagnosis of Brugia malayi and Whucereria bancrofti filariasis by an acridine orange/microhematocrit tube technique. J.Parasitol. 76 : 278-281
5. McCarthy, J.2000. Diagnosis of lymphatic filarial infection. In : Lymphatic Filariasis. Nutmant TB.ed. Imperial College Press.London.127-41
6. Noroes, J., Adiss, D., Amaral, F., Coutinho,A., Medeiros.Z and Dreyer,G.
1996. Occurence of living adult
Wuchereria bancrofti in the scrotal area of
men with microfilaremia.
Trans.Roy.Soc.Trop.Med.Hyg. 90 : 55-56
7. Palumbo, E. 2008. Filariasis : diagnosis, treatmen and prevention. Acta Biomed. 79 : 106-109
8. Partono,F & Idris, K.N.1977.Some factors influencing the loss of microfilariae from stained blood films. Southeast Asian J.Trop.Med.Publ.Health. 8 : 158-164
9. Partono, F.1987.The spectrum of disease in lymphatic filariasis. Ciba Foundation Symphosium 127. John Wiley & Son. P : 15-31
10. Shenoy, RK., Kumaraswami, V., Suma,
TK.1999. A double blind placebo
controlled study of the efficacy of oral penicilin, diethylcarbamazine or local treatment of the affected limb in preventing acute adenolymphangitis in lymphoedema caused by brugian filariasis. Ann Trop Med Parasitol. 93 : 367-77
11. Shenoy, RK., John A., Hameed S. 2000. Apparent failure of ultrasonography to detect adult worms of Brugia malayi. Ann Trop Med Parasitol. 94 : 77-82
12. WHO. 1987. Control of lymphatic
filariasis : A manual for health personal. Geneva. Switzerland