• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Intimacy

2.1.1. Definisi Intimacy

Kata intimacy berasal dari bahasa latin, yaitu intimus, yang memiliki arti

innermost deepest” yang artinya paling dalam (Caroll, 2005). Intimacy dapat

diartikan sebagai sebuah proses berbagi di antara dua orang yang sudah saling memahami sebebas mungkin dalam pemikiran, perasaan dan tindakan (Masters,1992).

Intimacy dapat terjadi melalui penerimaan, komitmen, kelembutan dan

kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah intimacy

dengan orang lain tergantung bagaimana seseorang memahami diri sendiri yang didasarkan pada pengetahuan tentang diri yang sebenarnya dan berdasarkan tingkat penerimaan terhadap diri sendiri (Masters, 1992). Penerimaan terhadap diri sendiri adalah dasar yang utama terhadap kemampuan membentuk intimacy

dalam hubungan dengan orang lain, karena seseorang yang menerima diri sendiri akan mampu untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus menutup-nutupi dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain.

Schafaer dan Olson (1981) mendefinisikan intimacy sebagai suatu proses dan pengalaman yang merupakan hasil dari pengungkapan topik mengenai

intimacy dan berbagi pengalaman intim. Intimacy juga dikatakan oleh Schafaer

(2)

kedekatan, yaitu meliputi perasaan yang dekat, keterbukaan, memiliki teman, menunjukan kasih sayang, berbagi ide, mendiskusikan berbagai hal yang terjadi setiap hari, dan saling berbagi mengenai hobi ataupun aktivitas mereka masing-masing.

Sternberg (Papalia, 2004) intimacy adalah komponen emosi dari cinta yang meliputi perasaan dengan orang lain, seperti perasaan hangat, sharing, dan kedekatan emosi serta mengandung pengertian sebagai elemen afeksi yang mendorong individu untuk selalu melakukan kedekatan emosional dengan orang yang dicintainya.

Menurut Baur and Crooks (2008) Intimacy juga merupakan salah satu upaya untuk membantu orang lain, keterbukaan dalam sharing, bertukar pikiran, dan merasakan sedih ataupun senangnya dengan seseorang yang dicintainya. Bentuk-bentuk intim yaitu dari persaudaraan, persahabatan dan percintaan. Pertama persaudaraan yaitu hubungan intim yang terhadap saudara didasarkan adanya hubungan darah. Pada persaudaraan itu di dalamnya terkandung keakraban.Kehidupan bersama tersebut memungkinkan segala hubungan terjadi, misalanya keakraban, kedekatan, dan interaksi.

Baumgardner dan Clothers (Hanurawan, 2010) Keintiman adalah suatu konsep yang mengacu pada perasaan kedekatan atau perasaan keterhubungan di antara dua orang. Perasan-perasaan itu seperti pada fenomena seseorang memikirkan kesejahteraan orang lain, pemahaman timbal balik dengan orang lain, dan kemampuan berbagi (sharring) dengan orang lain. Dalam keintiman, orang yang melakukan interaksi sosial pada suatu hubungan cinta menjadi saling

(3)

memahami di antara kedua belah pihak dan terdapat fenomena kehangatan afeksi di antara kedua belah pihak.

Berdasarkan berbagai definisi yang dikemukakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa intimacy mengacu kepada perasaan dekat tidak hanya secara fisik dan bermakna serta dapat saling menerima diri dan orang lain dalam sebuah hubungan dan diekspresikan secara verbal ataupun non-verbal yang dapat membuat dua orang menjadi lebih mengenal satu sama lain. Ekspresi tersebut kemudian menghasilkan pengungkapan topik mengenai intimacy meliputi perasaan yang dekat, keterbukaan, memiliki teman, menunjukan kasih sayang, berbagi ide, mendiskusikan berbagai hal yang terjadi setiap hari, dan saling berbagi mengenai hobi ataupun aktivitas mereka masing-masing.

2.1.2 Aspek – Aspek Intimacy

Olson (dalam Schaefer & Olson, 1981) menyebutkan bahwa terdapat tujuh tipe

intimacy, yaitu:

1. Emotional Intimacy: adalah ketika dimana dua individu merasa nyaman

untuk berbagi perasaan mereka satu sama lain atau ketika mereka berempati terhadap perasaan individu lainnya, benar – benar berusaha untuk peka terhadap perasaan pasangannya.

pengalaman dari kedekatan perasaan

2. Social Intimacy: pengalaman memiliki teman-teman yang sama dan

kesamaan dalam jaringan sosial. Ditemukan bahwa wanita memiliki level sosial intimacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria pada rekan sebaya yang memiliki gender yang sama dengan mereka.

(4)

3. Intellectual Intimacy: pasangan dimana ketika bertukar pikiran, berbagi ide, serta menikmati kesamaan dan juga perbedaan dalam pendapat mereka. Ketika pasangan mampu melakukan ini dengan cara yang terbuka dan juga nyaman mereka bisa menjadi intim dalam area intelektual.

4. Sexual Intimacy: definisi intimacy yang lebih dimengerti sama banyak

orang. Dalam sexual intimacy terdapat banyak aktivitas sensual, dan bukan hanya sekedar berhubungan sexual. Ini adalah bentuk dari ekpsresi sensual terhadap pasangan. pengalaman dalam berbagi kasih sayang dan aktivitas sexual.

5. Recreational Intimacy: melakukan aktivitas bersama, menemukan hal-hal

yang disukai bersama dan melakukannya bersama pasangan. Intinya adalah menghabiskan waktu secara bersama-sama dengan pasangan. salah satunya dengan berbagi pengalaman dalam hal minat, hobi/kegemaran, partisipasi mutual dalam peristiwa-peristiwa olahraga.

6. Spiritual Intimacy: pengalaman dalam hal mengenai keprihatinan, arti

hidup dan kepercayaan agama.berbagi keyakinan religi dan melakukan praktek-praktek religi bersama. Hal ini sesederhana seperti berdo’a bersama, kerumah ibadah bersama atau membahas permasalahan spiritual sebagai pasangan.

7. Aesthetic Intimacy: ketika pasangan bisa menikmati hal-hal berkaitan

dengan keindahan atau disebut estetika, misalnya selera musik, selera film, selera makan, menikmati mendekorasi rumah secara bersama dari berbagi pengalaman keindahan.

(5)

Dalam perkembangan ke tujuh aspek-aspek intimacy tersebut aspek

spiritual intimacy dan aesthetic intimacy dianggap belum memiliki konsep

yang jelas dan empiris sehingga kedua aspek tersebut dianggap tidak layak untuk menjadi dimensi dari intimacy. Kemudian Schaefer dan Olson (1981) hanya menggunakan lima aspek intimacy untuk digunakan sebagai konstruk alat ukur Personal Assesment of Intimacy in Relationship (PAIR). Schaefer dan Olson (1981) mengatakan bahwa kelima aspek tersebut merupakan aspek-aspek yang digunakan untuk melihat pengalaman

intimacy.

2.1.3 Komponen Intimacy

Menurut Masters (1992), untuk memahami proses terbentuknya intimacy dalam sebuah hubungan, intimacy itu sendiri memiliki beberapa komponen, yaitu :

1. Memahami (Caring) dan Berbagi (Sharing)

Memahami (caring) adalah bentuk sikap atau perasaan yang dimiliki terhadap orang lain, yang secara umum dihubungkan dengan kuatnya perasaan positif terhadap orang tersebut. Berbagi (sharing) pemikiran, perasaan dan pengalaman mengiringi pertumbuhan intimacy dalam hubungan yang muncul melalui kebersamaan untuk saling mempelajari satu sama lain tanpa ada batasan, misalnya menutupi rahasia pribadi. Salah satu kunci dalam mengembangkan sebuah

intimacy adalah adanya self-disclosure, keinginan untuk memberitahu pasangan

(6)

ketidakpastian dan masalah pribadi yang lain juga akan mempengaruhi berkembangnya intimacy dalam sebuah hubungan.

2. Kepercayaan

Proses self-disclosure tidak terjadi dalam sebuah ruangan yang hampa,tetapi tergantung pada tingkatan sejauh mana kepercayaan pada orang yang dipilih untuk melakukan self-disclosure. Kepercayaan merupakan bagian dari intimacy, dan sama seperti komponen memahami dan berbagi, kepercayaan juga berkembang seiring dengan waktu. Saat orang-orang berusaha membentuk hubungan yang intim, usaha tersebut akan dimulai dengan menaruh kepercayaan kepada orang lain. Pada saat kepercayaan tumbuh semakin kuat, dua orang yang saling percaya tersebut dapat lebih berbagi dalam hal informasi, perasaan, pemikiran tanpa ada rasa takut bahwa keterbukaan yang mereka lakukan akan digunakan untuk menyerang mereka.

3. Komitmen

Komponen intimacy yang lainnya adalah komitmen sebagai lanjutan dari adanya saling memahami, berbagi dan percaya terhadap pasangan yangdimulai di awal hubungan. Komitmen melibatkan ke dua pribadi yang menjadi pasangan untuk berkeinginan mempertahankan intimacy yang sudah terbentuk dalam hal apapun.

(7)

4. Kejujuran

Kejujuran adalah hal yang penting dalam intimacy, meskipun untuk sepenuhnya jujur tidak terlalu baik dalam sebuah hubungan. Terlalu jujur dapat menghancurkan hubungan jika tidak memahami bagaimana isi pesan yang disampaikan. Terdapat perbedaan dalam memutuskan menjaga suatuhal yang bersifat sangat pribadi dengan kebohongan. Kebohongan yang muncul dalam sebuah hubungan merupakan suatu peringatan bahwa ada manipulasi yang dilakukan salah satu pasangan dalam hubungan tersebut.

5. Empati

Empati merupakan kemampuan untuk merasakan pengalaman yangdialami oleh pasangan, mengenali dan mengalami emosi pasangan, pikirandan sikap pasangan tanpa harus membicarakannya.

6. Kelembutan

Salah satu hal yang paling sering ditolak dalam sebuah intimacy adalah kelembutan hati, yang hanya bisa dicapai melalui pembicaraan atau dengan bahasa tubuh, contohnya memeluk, menggenggam tangan. Komponen intimacy

sering menjadi hal yang sulit bagi seorang pria, karena pria yang dipandang sosial sebagai seorang yang berpikiran rasional, berorientasi pada tindakan, sehingga pria akan merasa tidak menjadi seorang pria saat melakukan komponen ini. Beberapa pria akan mampu memberikan kelembutan secara fisik, tetapi merasa kurang nyaman dalam menyampaikan kalimat-kalimat yang lembut terhadap pasangannya.

(8)

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Intimacy

Atwater (1983) mengatakan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

intimacy, yaitu :

a. Saling terbuka

Saling berbagi pikiran dan perasaan yang dalam, serta rasa saling percaya diperlukan untuk membina dan mempertahankan keintiman.

b. Kecocokan pribadi

Adanya kesamaan atau kemiripan latar belakang, kebudayaan, pendidikan dan persamaan lain yang membuat pasangan memiliki kecocokan. Meskipun begitu, beberapa perbedaan pasti akan muncul di dalam suatu hubungan, maka yang terpenting adalah bagaimana mengatasinya. Dengan demikian, bukan tidak mungkin dengan adanya perbedaan individu tidak dapat melengkapi satu sama lain.

c. Penyesuaian diri dengan pasangan

Berusaha mengerti pandangan pasangan, memahami sikap dan perasaan pasangan. Dalam hal ini ditekankan pentingnya berkomunikasi secara efektif, yaitu kemampuan untuk mendengarkan secara efektif dan memberikan respon dengan cara tidak mengadili. Hal ini akan menciptakan rasa saling percaya dan penerimaan pada pasangan.

(9)

2.1.5 Gaya Interaksi yang Intim

Setiap individu menunjukkan gaya interaksi intim yang berbeda-beda. Orlofsky (Santrock, 2004) membuat klasifikasi yang terdiri atas lima gaya hubungan yang intim :

a. Gaya yang intim (intimate style)

Individu membentuk dan memelihara satu atau lebih hubungan cinta yang mendalam dan lama.

b. Gaya pra-intim (preintimate style)

Individu menunjukkan emosi yang tercampur aduk mengenai komitmen, suatu ambivalensi yang tercermin dalam strategi menawarkan cinta tanpa kewajiban atau ikatan yang tahan lama.

c. Gaya yang stereotip (stereotyped style)

Individu memiliki hubungan artificial yang cenderung didominasi oleh ikatan persahabatan dengan orang yang berjenis kelamin sama daripada yang berjenis kelamin yang berlawanan.

d. Gaya intim yang semu (pseudointimate style)

Individu memelihara attachment seksual dalam waktu yang lama dengan kadar kedekatan yang sedikit atau tidak dalam.

e. Gaya yang mandiri (isolated style)

Individu menarik diri dari perjumpaan sosial dan memiliki attachment yang sedikit atau tidak sama sekali dengan individu yang berjenis kelamin sama atau yang berlawanan.

(10)

2.2. Penyesuaian Diri

2.2.1. Definisi Penyesuaian Diri

Schneiders (1999) menyatakan penyesuaian diri adalah usaha yang mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan dengan diri atau lingkungannya. Konflik dan frustrasi muncul karena individu tidak dapat menyesuaikan diri dengan masalah yang timbul pada dirinya.

Chaplin (2002) berpendapat penyesuaian diri adalah variasi dalam kegiatan organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan serta menegakkan hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial. Misalnya kebutuhan untuk diterima orang lain maka individu berusaha menjalin relasi sesuai dengan norma masyarakat, mengurangi perilaku seperti mudah marah, agresif. Bila individu dapat menyelaraskan kebutuhannya dengan tuntutan lingkungan yaitu orang lain maka akan tercipta penyesuaian diri yang baik.

Spanier (1976) menjelaskan bahwa penyesuaian diri berarti pasangan suami istri berusaha untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi pada diri sendiri, pasangan, dan lingkungannya dalam kehidupan pernikahan, dengan berupaya menjaga komunikasi agar tetap berjalan baik dan sehat.

(11)

2.2.2. Aspek-Aspek penyesuaian diri terhadap pasangan

Menurut Spanier (1976) penyesuaian diri yang baik dapat diukur dari sejauh mana pasangan suami istri bisa melaksanakan aspek-aspek yang terkandung di dalam penyesuaian diri secara optimal, yaitu kesepakatan antar pasangan, kepuasan antar pasangan, kelekatan antar pasangan, dan ungkapan perasaan.

a. Dyadic Concensus atau Kesepakatan antar pasangan

Masa awal pernikahan merupakan fase transisi yang sulit karena pasangan harus meninggalkan keluarga asalnya, melepas kemandirian mengatur hidup, dan mulai berfungsi sebagai pasangan (Olson & Defrain, 2003). Arnold dan Parker (Donna, 2009) menyatakan bahwa dalam hubungan pernikahan, pasangan akan menemukan berbagai permasalahan-permasalahan yang harus disepakati, seperti mengatur anggaran belanja dan bagaimana membagi tugas-tugas rumah tangga, dan pasangan akan menyadari bahwa mereka mempunyai perbedaan perspektif terhadap berbagai hal.

Sejalan dengan penjabaran di atas, kesepahaman pasangan pada dimensi ini terkait permasalahan yang ada pada pernikahan. Kesepahaman ini mencakup masalah finansial, rekreasi, kepercayaan (agama), kesepahaman mengenai hubungan dengan teman, kesepahaman terkait hubungan seksual, kesepahaman mengenai hubungan dengan mertua, kesepahaman tujuan hidup, kesepahaman pengambilan keputusan, kesepahaman pembagian tugas-tugas rumah tangga,

(12)

kesepahaman dalam menghabiskan waktu luang, dan karir pasangan (Spanier, 1976).

b. Dyadic Satisfaction atau Kepuasan antar pasangan

Dyadic Satisfaction mengacu pada derajat kepuasan pasangan dalam

hubungan yang mencakup rendahnya tingkat pemikiran yang mengarah pada perpisahan atau perceraian dan penyesalan, penyelesaian konflik dengan baik dan harapan mengenai masa depan hubungan yang dijalani (Spanier, 1976). Kepuasan pernikahan merujuk pada perasaan positif yang dimiliki pasangan dalam pernikahan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan, kesenangan dan kesukaan (Lestari, 2012).

c. Dyadic Cohesion atau Kelekatan antar pasangan

Cohesion merupakan perasaan akan kedekatan emosional dengan orang lain

(Olson & Defrain, 2003). Kedekatan pasangan menggambarkan tingkat kedekatan emosi yang dirasakan pasangan dan kemampuan menyeimbangkan antara keterpisahan dan kebersamaan. Hal ini mencakup kesediaan untuk saling membantu, memanfaatkan waktu luang bersama dan pengungkapan perasaan dekat secara emosi (Gunarsa, 2012).

Dyadic cohesion merupakan dimensi untuk melihat kedekatan hubungan serta

melihat seberapa banyak pasangan menghabiskan waktu bersama danmenikmati kebersamaan. Kedekatan ini mencakup kebersamaan mengerjakan suatu tugas/pekerjaan, terlibat dalam diskusi bersama dan bertukar ide (pemikiran), dan

(13)

d. Affectional Expression atau Ungkapan perasaan

Kesepakatan dalam menyatakan perasaan dan hubungan seksual serta masalah-masalah yang terkait hal tersebut. Kesepakatan ekspresi perasaan dan hubungan seksual disini mencakup bagaimana cara pasangan menyatakan perasaan, penilaian pasangan mengenai relasi seksual (Spanier, 1976). Komunikasi seksualitas akan membantu pasangan untuk saling memahami perspektif masing-masing terhadap kebutuhan dan ketertarikan seksual. Dalam komunikasi seksual, komunikasi non verbal dapat membantu menunjukkan afeksi terhadap pasangan (Lestari, 2012).

Dalam ke empat aspek-aspek penyesuaian diri tersebut aspek Affectional

Expression atau ungkapan perasaan tidak terpakai karena subskala nya dianggap

tidak baik, sehingga aspek tersebut dianggap tidak layak untuk menjadi dimensi dari penyesuaian diri. Busby, dkk (1995) hanya menggunakan tiga aspek intimacy

untuk digunakan sebagai konstruk alat ukur Revision Dyadic Adjustment Scale (RDAS).

2.2.3. Dimensi Penyesuaian Diri

Haber dan Runyon (Siregar, 2010) membagi penyesuaian diri menjadi lima dimensi, yaitu :

a. Persepsi akurat terhadap realita

persepsi terkait dengan keinginan dan motivasi pribadi, sehingga terkadang persepsi tersebut tidak murni sama dengan realita dan lebih merupakan keinginan individu. Penyesuaian diri individu dianggap baik

(14)

apabila ia mampu untuk mempersepsikan dirinya sesuai dengan realita. Selain itu, ia juga mempunyai tujuan yang realistis, mampu memodifikasi tujuan tersebut apabila situasi dan kondisi lingkungan menuntutnya untuk itu, serta menyadari konsekuensi tindakan yang diambil dan mengarahkan tingkah laku sesuai dengan konsekuensi tersebut.

b. Kemampuan mengatasi stres dan kecemasan

Halangan yang dialami individu disetiap proses pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan, dapat menimbulkan kegelisahan dan stres. Penyesuaian diri dikatakan baik apabila mampu mengatasi halangan, masalah, dan konflik yang timbul dengan baik.

c. Citra diri yang positif

Individu harus mempunyai citra diri yang positif dengan tetap menyadarisisi negatif dari dirinya, di mana individu menyeimbangkan persepsinya dengan persepsi orang lain.

d. Kemampuan mengekspresikan perasaan

Individu yang sehat secara emosional mampu untuk merasakan dan mengekspresikan seluruh emosinya. Pengekspresian emosi dilakukan secara realistis, terkendali dan konstruktif, serta tetap menjaga keseimbangan antara kontrol ekspresi yang berlebihan dengan kontrol ekspresi yang kurang.

(15)

e. Mempunyai hubungan interpersonal yang baik

Individu yang penyesuaian dirinya baik, mampu untuk saling berbagi perasaan dan emosi. Mereka mempunyai kompetensi menjalin hubungan dengan orang lain, mampu untuk mencapai kadar keintiman yang layak dalam hubungan sosial, dan menyadari bahwa suatu hubungan tidaklah selalu mulus.

2.2.4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri

Menurut Schneiders (1999) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah:

a. Keadaan fisik

Kondisi fisik individu merupakan faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri.

b. Perkembangan dan kematangan

Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan. Sejalan dengan perkembangannya, individu meninggalkan tingkah laku infantil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang.

(16)

Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri.

c. Keadaan psikologis

Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustrasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Variabel yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri.

d. Keadaan lingkungan

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertian, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggota-anggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Keadaan keluarga memegang peranan penting pada individu dalam melakukan penyesuaian diri.Susunan individu dalam keluarga, banyaknya anggota keluarga, peran sosial individu serta pola hubungan orang tua dan anak dapat mempengaruhi individu dalam melakukan penyesuaian diri. Keluarga dengan jumlah anggota yang banyak mengharuskan anggota untuk menyesuaikan perilakunya dengan harapan dan hak anggota keluarga yang lain. Situasi tersebut dapat mempermudah penyesuaian diri, proses belajar, dan sosialisasi atau justru memunculkan persaingan, kecemburuan, dan agresi.

(17)

Setiap individu dalam keluarga memainkan peran sosial sesuai dengan harapan dan sikap anggota keluarga yang lain.

e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan

Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustrasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya (Schneiders, 1999). Kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan suatu faktor yang membentuk watak dan tingkah laku individu untuk menyesuaikan diri dengan baik atau justru membentuk individu yang sulit menyesuaikan diri.

2.3. Definisi Pernikahan Jarak Jauh

Pernikahan jarak jauh (long distance relationship) oleh Jones (1995) adalah pernikahan antara pasangan suami istri yang tinggalnya terpisah. Torsina (1991), menyatakan bahwa pernikahan jarak jauh adalah pernikahan yang karena alasan khusus menyebabkan pasangan suami istri tidak bisa tinggal serumah. Maines (1993), menjelaskan bahwa pernikahan jarak jauh adalah pernikahan terpisah antara suami dengan istri yang didasari atas komitmen sebelum pernikahan karena tuntutan karier atau pekerjaan.

(18)

2.3.1. Aspek-Aspek Dalam Pernikahan Jarak Jauh

Aspek-aspek yang digunakan dalam menentukan pernikahan jarak jauh pada subyek, mengacu pada teori Robinson dan Blanton (2003) yang mengemukakan beberapa faktor terpenting dalam sebuah pernikahan yang memuaskan, antara lain:

a. Keintiman

Keintiman antara pasangan di dalam pernikahan mencakup aspek fisik, emosional, dan spiritual. Hal-hal yang terkandung dalam keintiman adalah saling berbagi baik dalam minat, aktivitas, pemikiran, perasaan, nilai serta suka dan duka. Keintiman akan tercipta melalui keterlibatan pasangan satu sama lain baik dalam situasi yang menyenangkan maupun menyedihkan Selain itu, keintiman dapat ditingkatkan melalui kebersamaan, saling ketergantungan atau interindependensi, dukungan dan perhatian. Meskipun pasangan memiliki keintiman yang sangat tinggi, bukan berarti pasangan selalu melakukan berbagai hal bersama. Suami atau istri juga berhak melakukan aktivitas dan minat yang berbeda dengan pasangannya.

b. Komitmen

Salah satu karakteristik pernikahan yang memuskan adalah komitmen yang tidak hanya ditujukan terhadap pernikahan sebagai sebuah intuisi, tetapi juga terhadap pasangannya. Beberapa pasangan berkomitmen terhadap perkembangan hubungan pernikahannya, antara lain kematangan hubungan, penyesuaian diri dengan pasangan, perkembangan pasangan, serta terhadap pengalaman dan situasi baru yang dialami pasangan.

(19)

c. Komunikasi

Kemampuan berkomunikasi yang baik mencakup berbagi pikiran dan perasaan, mendiskusikan masalah bersama-sama, dan mendengarkan sudut pandang satu sama lain. Pasangan yang mampu berkomunikasi secara konstruktif, mereka dapat mengantisipasi kemungkinan terjadi konflik dan dapat menyesuaikan kesulitan yang dialaminya.

d. Kesesuaian

Untuk dapat mencapai pernikahan yang memuaskan, pasangan harus memiliki kongruensi atau kesesuaian dalam mempersepsi kekuatan dan kelemahan dari hubungan pernikahannya. Pasangan yang mempersepsikan hubungan pernikahannya kuat, cenderung merasa lebih nyaman dengan pernikahannya.

e. Keyakinan Beragama

Sebagian besar pasangan meyakini bahwa keyakinan beragama merupakan komponen penting dalam pernikahan, pasangan yang dapat berbagi dalam nilai-nilai agama yang dianutnya dan beribadah secara bersama-sama dapat menciptakan ikatan kuat dan nyaman diantara mereka serta berpengaruh positif bagi kepuasan pernikahan pasangan memperoleh dukungan sosial, emosional, dan spiritual melalui agama yang dianutnya.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mengemukakan beberapa faktor terpenting dalam sebuah pernikahan yang memuaskan, yaitu: keintiman, komitmen, komunikasi, kongruensi, dan keyakinan beragama.

(20)

2.4. Hasil dari penelitian sebelumnya :

 Hasil dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh (Patrick, 2002) menemukan bahwa intimacy merupakan faktor yang paling signifikan dalam memprediksi kepuasan hubungan pernikahan. Dengan demikian,

intimacy merupakan hal yang paling penting dalam sebuah pernikahan

untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan.

Pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa seseorang akan menjadi lebih intim, selama ada keterbukaan, saling responsif pada kebutuhan satu sama lain, serta adanya penerimaan dan penghargaan yang saling menguntungkan (Papalia, Old & Feldman, 2008).

Dalam perkembangan psikososial intimacy dapat terjalin karena dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu gaya kelekatan dengan orang tua (attachment style with parents), keterbukaan diri

(self-disclosure), kecocokan pribadi, dan penyesuaian diri antara individu

dengan pasangannya (Duffy & Atwater, 2005).

 (Hurlock, 1993) mengatakan bahwa keberhasilan sebuah proses penyesuaian diri pada pernikahan dapat dilihat dari kualitas hubungan interpersonal dan perilaku yang tampak. Keberhasilan ini dapat dilihat dari tercapainya kebahagiaan antara pasangan suami-istri yang berdasarkan atas kepuasan peran dan hubungan seksual, tercapainya hubungan yang baik antara orang tua dan anak, terselesaikannya perbedaan pendapat, kebersamaan dengan pasangan, penyesuaian yang baik pada keuangan dan penyesuaian yang baik pada keluarga pasangan.

(21)

 Subjek dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik, untuk faktor yang mempengaruhi dalam penyesuaian diri pada pasangan suami istri adalah kesehatan fisik, kesehatan mental, kemampuan stabilitas emosi, stabilitas ekonomi, mengenal pasangan, penyesuaian menghadapi kenyataan, kemampuan untuk saling memahami dan memperhatikan pasangan, juga penyesuaian terhadap keluarga besar (Trimingga, 2008).

2.5. Kerangka Berpikir

Penyesuaian diri seseorang dapat dipengaruhi oleh kondisi psikologisnya, termasuk kepribadiannya. Pasangan suami-istri yang memiliki penyesuaian diri yang efektif baik dengan pasangan maupun dengan lingkungan dapat mempengaruhi terhadap keadaan intimacy nya. Tingkat intimacy diasumsikan berbeda (tinggi dan rendah).

Suami atau istri yang menjalin intimacy akan lebih mudah untuk menyesuaikan diri sepanjang kehidupan pernikahannya, termasuk menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan kritis yang terjadi.

Intimacy di awal-awal pernikahan dapat menjadi landasan yang kuat untuk

menjalani kehidupan pernikahan selanjutnya.

Hal tersebut sesuai dengan pandangan Erickson (Papalia, Old & Feldman, 2008) bahwa intimacy yang dibawa sejak masa awal pernikahan memberikan kemampuan mendasar untuk dapat menghadapi tantangan selanjutnya. Jika pasangan berhasil melewati tahap pertama dengan baik, maka kemungkinan mereka akan melewati tahap berikutnya dengan mulus pula.

(22)

Namun, jika tahap awal tak dapat dilewati dengan baik, maka tahap selanjutnya akan menimbulkan masalah yang lebih parah. Meskipun

intimacy penting dalam suatu hubungan, namun pada kenyataannya tidak

semua orang dapat menjalin hubungan intimacy yang baik dengan orang lain atau pasangan romantis mereka.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Setiani (2011) yang mengungkapkan salah satu hal yang dapat mempengaruhi terbangunnya sebuah hubungan, yaitu jarak (proximity). Kedekatan atau jarak dapat mempengaruhi tingkat kedekatan hubungan interpersonal. Meningkatnya intensitas kedekatan fisik dapat membuat seseorang lebih tertarik dan semakin dekat pada orang lain. Sedangkan hubungan jarak jauh atau LDR

memiliki kelemahan keterpisahan fisik antara keduanya (DeVito, 2007).

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Yudistriana, dkk (2010) dalam penelitiannya mengenai intimacy dalam pria dewasa yang memiliki hubungan jarak jauh, bahwa keterpisahan fisik yang terdapat dalam hubungan percintaan jarak jauh berpotensi menimbulkan perubahan dalam komponen cinta yang harus dipenuhi dalam suatu hubungan. Dalam sebuah hubungan jarak jauh atau LDR individu akan berpotensi mengalami konflik dalam pemenuhan hubungan akan keintiman.

Keberhasilan sebuah proses penyesuaian diri pada pernikahan dapat dilihat dari kualitas hubungan interpersonal dan perilaku yang tampak. Keberhasilan ini dapat dilihat dari tercapainya kebahagiaan antara

(23)

seksual, tercapainya hubungan yang baik antara orang tua dan anak, terselesaikannya perbedaan pendapat, kebersamaan dengan pasangan, penyesuaian yang baik pada keuangan dan penyesuaian yang baik pada keluarga pasangan (Hurlock, 1993).

Seseorang yang merasakan intimacy tinggi terhadap pasangannya akan di prediksikan memiliki tingkat yang rendah dalam keputusan untuk berpisah, karena pasangan ini sudah dapat memiliki rasa intim satu sama lain meskipun mereka berada pada jarak yang berjauhan.

Seseorang yang memiliki intimacy rendah terhadap pasangannya akan di prediksikan memiliki tingkat keputusan yang lebih tinggi dengan pasangannya, karena pasangan ini memiliki kelekatan yang kurang dengan hubungan jarak jauhnya.

Bagan 2.5.1 Kerangka berpikir

2.6. Hipotesis Penelitian

H0: Tidak Terdapat pengaruh positif penyesuaian diri terhadap intimacy pada

pasangan suami-istri yang menjalani pernikahan jarak jauh.

H1/a : Terdapat pengaruh positif penyesuaian diri terhadap intimacy pada

pasangan suami-istri yang menjalani pernikahan jarak jauh

Referensi

Dokumen terkait

yang merupakan tersangka vektor di Desa Modu Waimaringu, Kecamatan Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat dengan uji ELISA dari potongan kepala- dada.. BAHAN DAN

Dan untuk mengoptimalkan stabilitas elektrokimia baterai, elektrolit dibantu dengan elemen yang memiliki sifat keterbasahan baik, yaitu separator yang dapat mencegah

Dalam modul ini terdapat materi mengenai kompetensi Guru Usaha Perjalanan Wisata Pada grade 5 yang bisa di baca dan dipelajari di rumah maupun di kelas, terdapat

19. Rekomendasi Teknis Penerbitan Ijin Mendirikan Bangunan 20. Rekomendasi Tim Teknis untuk Perijinan IMB.. PROSEDUR PELAYANAN PEMBUATAN IJIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI DINAS

Baik secara parsial maupun secara simultan. teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, kuesioner dan dokumentasi. Sampel dalam penelitian ini adalah pegawai pada

Berdasarkan fenomena tersebut, maka salah satu cara untuk meningkatkan kinerja para anggota BEM FISIP UNEJ adalah dengan menguatkan implementasi budaya organisasi BEM FISIP

Yogurt merupakan salah satu bentuk produk minuman hasil pengolahan susu yang memanfaatkan mikroba dalam proses fermentasi susu segar menjadi bentuk produk emulsi

Dipilihnya masalah “Pesan Moral dan Nilai Budaya Novel -Novel Karya Andrea Hirata” dalam penelitian ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan motivasi apresiasi sastra pada