• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Psychological Well-Being pada Guru Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten Bangka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbedaan Psychological Well-Being pada Guru Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten Bangka"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Perbedaan

Psychological Well-Being

pada Guru Sekolah Menengah Atas

dan Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten Bangka

(The Difference of Psychological Well-Being among Senior High School and

Vocational High School Teachers in Bangka Regency)

Primalita Putri Distina dan Erida Rusli Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya perbedaan tantangan dan beban mengajar pada guru SMA dan SMK. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan psychological well-being

pada guru sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan di Kabupaten Bangka. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan pengumpulan data melalui kuesioner. Penelitian ini menggunakan alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well-Being yang telah diadaptasi oleh kelompok payung penelitian

Psychological Well-Being 2012. Responden dalam penelitian ini berjumlah 152 guru, terdiri dari 74 guru SMA dan 78 guru SMK di Kabupaten Bangka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan skor mean psychological well-being yang signifikan pada guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka (r(152)=1.801, p=0.074, signifikan pada L.o.S 0.05). Hasil tersebut dapat diartikan, tidak terdapat perbedaan

psychological well-being pada guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka.

Kata Kunci : guru; Kabupaten Bangka; psyhcological well-being; SMA; SMK

This reseacrh was conduct because of there’re difference of challenge and teaching loads between senior high school teachers and vocational high school teachers. This research aims to describe the difference of psychological well-being among senior high school and vocational high school teachers in Bangka Regency. This research used quantitative approach by collecting data through questionnaires. This research used Ryff’s Scale of Psychological Well-Being which adopted by a research team of psychological well-being in 2012. The respondents in this research were 152 teachers, with 74 from senior high school teachers and 78 from vocational high school teachers in Bangka Regency. The result showed there’s no significant difference of psychological well-being among senior high school and vocational high school teachers in Bangka Regency (r(152)=1.801, p=0.074, significant at L.o.S 0.05). This result indicated there’s no difference of psychological well-being among senior high school and vocational high school teachers in Bangka Regency.

Keywords : Bangka Regency; psyhcological well-being; senior high school; teachers; vocational high school

Pendahuluan

Pendidikan merupakan salah satu usaha untuk mengembangkan potensi seseorang agar memiliki keterampilan yang dibutuhkan dalam hidupnya. Berbicara tentang pendidikan, kita tidak bisa lepas dari sosok yang menjadi pelaksana pendidikan yaitu guru sebagai tenaga

(2)

pendidik. Undang-Undang Republik Indonesia No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan, “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Guru memiliki banyak tugas dan tanggung jawab yang besar. Guru tidak hanya berperan dalam memberikan pengajaran, tetapi juga mendidik siswa serta bertanggung jawab kepada orang tua, sekolah, dan masyakaratnya. Berbagai macam tugas dan tanggung jawab guru tersebut, membuat profesi guru merupakan salah satu pekerjaan yang rentan menimbulkan stres (Cherniss; Greenberg dan Vallentutti; Lazarus dan Folkman, dalam Ben-Ari, Krole & Har-Even, 2003). Umumnya, stres pada guru disebabkan oleh perilaku buruk siswa. Perilaku siswa yang harus ditangani oleh guru, menurut Biglan (2008) berhubungan dengan psychological well-being mereka, dimana hubungan ini saling timbal balik. Malek, Mearns dan Flin (2010) menyatakan bahwa sumber stres kerja memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan

psychological well-being. Hal ini berarti semakin tinggi stres kerjanya maka akan semakin rendah psychological well-beingnya. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres yang dihadapi oleh guru berpengaruh pada psychological well-being mereka.

Pyschological well-being dijelaskan sebagai kesejahteraan (well-being) psikologis dimana seseorang memiliki potensi untuk berfungsi secara penuh yang dilihat dari enam dimensi yaitu penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, hubungan yang positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, dan memiliki tujuan hidup (Ryff, 1989). Seorang guru diharapkan mampu memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi karena akan berdampak positif bagi performa kerjanya. Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Wright dan Corpanzano (2000) yang menemukan bahwa semakin tinggi psychological well-being seseorang, performa kerja yang diberikan pun akan tinggi. Guru yang memiliki

psychological well-being yang tinggi tentu dapat mengatasi hal-hal yang membuat mereka stres yang akhirnya berakibat pada performa kerja mereka. Performa kerja guru tentu saja akan berdampak pada hasil pengajaran, terutama pencapaian akademik siswa.

Di Indonesia, guru-guru tersebar dan mengajar di berbagai sekolah, diantaranya adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai bentuk pendidikan menengah yang paling banyak di Indonesia. Siswa yang berada di pendidikan menengah pada umumnya sedang berada pada masa remaja, dimana siswa SMA dan SMK telah memasuki tahap pencarian identitas yang disebutkan oleh Erikson (Papalia, Olds & Feldman, 2009). Pada masa remaja ini, mereka seringkali sulit diatur dan melakukan tindakan yang buruk seperti tawuran, bullying, tindakan kriminal, seks bebas, dan perilaku buruk

(3)

lainnya. Karakteristik remaja yang seperti itu tentu saja membuat guru yang mengajar di pendidikan menengah memiliki tantangan yang lebih besar. Guru yang mengajar di SMA dan SMK juga memiliki tantangan dan beban yang berbeda. Berdasarkan Perpem No. 29 tahun 1990, siswa SMA dipersiapkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan siswa SMK dipersiapkan untuk langsung terjun ke dunia kerja. Oleh karena itu, guru di SMA akan lebih memberikan pengajaran yang bersifat teoritis dan mengarahkan siswa untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi, sedangkan guru SMK harus mengajarkan keterampilan kepada siswanya agar mereka memiliki kesiapan untuk langsung bekerja setelah lulus. Akan tetapi, siswa SMK sekarang juga bisa memilih untuk melanjutkan ke perguruan tinggi (snmptn.ac.id, n.d), sehingga tentu saja guru di SMK memiliki tanggung jawab yang lebih untuk mengajar siswa agar mampu bersaing dan dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.

Selain itu, berdasarkan wawancara kepada salah satu guru yang pernah mengajar di SMA dan SMK, guru di SMK memiliki beban yang lebih berat dalam menangani perilaku buruk siswa karena siswa SMK seringkali melakukan tindakan kenakalan remaja. Berbeda dengan siswa SMA yang tingkat kenakalannya hanya sebatas membuat keributan di kelas sebagai bentuk dari mencari perhatian guru. Meskipun ada beberapa siswa SMA yang dikeluarkan karena tindakan kenakalan remaja, tetapi hal tersebut tidak sebanyak dan sesering siswa SMK (Hikmah, Komunikasi Pribadi, 3 Mei 2013). Padahal, siswa SMK diharapkan mampu memiliki tingkat kedisiplinan yang lebih tinggi karena ketika mereka lulus dan bekerja, kedisplinan sangat diperlukan dalam dunia kerja. Oleh karena itu, peneliti menjadi tertarik untuk melihat bagaimana kondisi psychological well-being pada guru SMA dan SMK dan apakah terdapat perbedaan pada keduanya, mengingat bahwa guru SMA dan SMK memiliki beban dan tanggung jawab yang berbeda.

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan pada guru-guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hal ini dilakukan karena belum ada penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di Kabupaten Bangka dan juga pada guru-guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka. Kemudian, Bangka Belitung memiliki slogan Serumpun Sebalai dan ini merupakan kebudayaan masyarakat Bangka Belitung yang mencerminkan sistem hidup bermasyarakat yang menjunjung tinggi rasa solidaritas dan menegakkan demokrasi melalui musyawarah dan mufakat (babelprov.go.id, n.d). Budaya Serumpun Sebalai termasuk budaya kolektivis dan tentu saja berbeda dengan penelitian psychological well-being yang sudah dilakukan di negara barat oleh Ryff yang memiliki budaya individualis. Selain itu, dari tahun ke tahun tingkat kelulusan siswa SMA dan SMK di Kabupaten Bangka selalu berbeda. Misalnya, di tahun 2011 siswa SMA yang

(4)

tidak lulus sebanyak 2,45%, sedangkan siswa SMK yang tidak lulus sebanyak 7,47% (Laporan Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka tahun 2011). Kemudian, di tahun 2012 siswa SMA yang tidak lulus sebanyak 0,25% dan siswa SMK yang tidak lulus sebanyak 0,53% (Tomo, 27 Mei 2012). Meskipun ada peningkatan, tetapi jumlah siswa SMK yang tidak lulus selalu saja lebih banyak daripada siswa SMA. Peneliti semakin tertarik untuk melihat apakah adanya perbedaan pada angka kelulusan siswa SMA dan SMK ini dikarenakan adanya perbedaan psychological well-being pada guru yang mengajar di SMA dan di SMK. Hal ini dikarenakan psychological well-being pada akhirnya mempengaruhi peforma guru dalam mengajar yang tentunya berakibat pada nilai akademik siswa.

Pada akhirnya, dengan dilakukannya penelitian ini dan melihat gambaran dan perbedaan psychological well-being pada guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukannya berbagai macam kegiatan intervensi psikologis untuk meningkatkan psychological well-being pada guru sehingga akan berakibat positif terhadap performa kerja mereka khususnya, dan juga dalam dunia pendidikan secara umum.

Tinjauan Teoritis

Psychological Well-Being

Ryff (1989) menjelaskan psychological well-being sebagai potensi yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat berfungsi secara penuh dalam hidupnya yang dilihat dari enam dimensi yaitu penerimaan diri (self-acceptance), pertumbuhan pribadi (personal growth), hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), dan memiliki tujuan hidup (purpose in life). Keenam dimensi psychological well-being tersebut memiliki tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh seseorang agar dapat berfungsi secara positif. Menurut Ryff, seseorang harus puas dengan dirinya dan mengetahui batas kemampuannya sendiri (self-acceptence). Mereka juga harus membangun dan menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain (positive relation with others) serta membentuk lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepribadian mereka (environmental mastery). Agar dapat hidup secara mandiri di lingkungannya, mereka juga harus mampu mengambil keputusan sendiri dan tidak selalu bergantung kepada orang lain (autonomy). Hal yang paling penting adalah bagaimana mereka menemukan makna dan tujuan dari hidup mereka agar mampu berusaha dan siap menerima tantangan (purpose in life) serta berusaha mengembangkan kemampuan dan bakat mereka sendiri selama hidupnya (personal growth).

(5)

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Psychological Well-Being

Beberapa penelitian mengenai psychological well-being menemukan bahwa terdapat faktor-faktor yang memengaruhi tingkat psychological well-being seseorang yaitu, pertama adalah usia, dimana skor dimensi enviromental mastery, dewasa madya dan dewasa tua lebih tinggi dibandingkan dewasa muda. Dimensi autonomy meningkat dari dewasa muda ke dewasa madya. Purpose in life dan personal growth meningkat dari dewasa muda, tetapi menurun pada dewasa madya ke dewasa akhir. Pada dimensi self-acceptance dan positive relation with others tidak menunjukkan perbedaan yang dipengaruhi oleh usia. Kedua, jenis kelamin dimana perempuan dari semua rentang usia memiliki dimensi positive relation with others dan personal growth lebih tinggi daripada laki-laki. Untuk keempat dimensi lainnya tidak ditemukan perbedaan pada keduanya. Ketiga, budaya yaitu pada negara dengan budaya individualis seperti negara barat, dimensi self-acceptance dan autonomy lebih tinggi, sedangkan negara dengan budaya kolektivis dimensi self-acceptance dan autonomy rendah (Ryff & Singer, 1996). Sebaliknya, dimensi positive realtion with others lebih tinggi pada budaya kolektivis daripada budaya individualis (Ryff, 1995).

Terakhir adalah status sosial-ekonomi yang menurut Ryff, dkk., (dalam Ryan & Deci, 2001) status sosial-ekonomi berhubungan dengan dimensi self-acceptance, purpose in life, environmental mastery, dan personal growth. Terdapat banyak efek negatif yang ditimbulkan dari rendahnya status sosial-ekonomi seseorang terutama pada social comparison. Individu dengan status sosial-ekonomi rendah cenderung memberikan penilaian yang buruk ketika membandingkan diri mereka dengan orang lain dan merasa tidak mampu mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan. Pendidikan, pendapatan, dan jabatan pekerjaan juga termasuk status sosial-ekonomi. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin tinggi

psychological well-being mereka (Ryff & Singer, 1996), terutama asosiasinya pada dimensi

personal growth dan purpose in life (Ryff & Singer, 2008).

Dinamika Perbedaan Psychological Well-Being pada Guru SMA dan SMK

Guru yang mengajar di SMA dan SMK memiliki tantangan, beban, dan tanggung jawab yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari tujuan SMA dan SMK yang berbeda sehingga beban mengajar guru juga ikut berbeda. SMA bertujuan agar lulusannya dapat melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan SMK bertujuan agar lulusannya dapat langsung bekerja (Perpem No. 29 tahun 1990). Guru SMA akan berfokus memberi pengajaran berupa pemahaman teoritis yang mendalam agar mereka dapat lulus ketika menghadapi UN dan juga ujian masuk perguruan tinggi. Berbeda dengan guru SMA, guru SMK harus memberikan pengajaran

(6)

berupa pemahaman teoritis dan juga keterampilan kejuruan pada siswa. Siswa SMK dituntut tidak hanya bisa lulus UN, tetapi juga ketika lulus mereka dapat memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat langsung bekerja. Akan tetapi, siswa SMK sekarang juga sudah dapat memilih untuk terus melanjutkan ke perguruan tinggi (snmptn.ac.id, n.d) sehingga beban dan tanggung jawab guru SMK menjadi bertambah. Bertambahnya beban mengajar ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi performa guru (Nadeem, Rana, Lonu, Maqbool, Naz, & Ali, 2011) dan tentu saja berhubungan dengan psychological well-being mereka.

Selanjutnya, perilaku siswa SMA dan SMK juga berbeda. Berdasarkan pengamatan peneliti dan hasil wawancara kepada guru SMK, siswa SMK kurang memiliki motivasi dalam belajar dan cenderung lebih sering melakukan perilaku buruk daripada siswa SMA. Kurangnya motivasi untuk belajar dan berperilaku buruk merupakan salah satu stressor yang dialami oleh guru dan berpengaruh kepada well-being mereka (Broman, Hamilton & Hoffman; Hamilton, dkk., dalam Merino, 2004). Perilaku siswa juga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi performa guru (Nadem, dkk., 2011) yang ikut berhubungan dengan

psychological well-being guru. Adanya perbedaan beban mengajar dan tantangan dalam menghadapi perilaku siswa seperti yang telah disebutkan sebelumnya, membuat peneliti untuk mengambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan psychological well-being pada guru SMA dan SMK.

Metode Penelitian

Variabel penelitian ini adalah psychological well being dengan konstruk yang dikembangkan oleh Carol D. Ryff. Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah individu yang bekerja sebagai guru yang mengajar di SMA dan SMK, sudah mengajar minimal satu tahun, sedang berada pada masa dewasa muda dan madya, dan masih aktif menjadi guru hingga tahun 2013. Pengambilan data dilakukan pada 29 April 2013 hingga 3 Mei 2013 di tiga SMA dan tiga SMK di Kabupaten Bangka dengan teknik accidental sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 152 orang dari populasi guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka.

Hipotesis Penelitian

Ha: Terdapat perbedaan psychological well-being pada guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka..

H0: Tidak terdapat terdapat perbedaan psychological well-being pada guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka.

(7)

Alat Ukur

Penelitian ini menggunakan alat ukur yaitu Ryff’s Scale of Psychological Well-Being

(RSPWB) oleh Ryff (1989) dan sudah diadaptasi oleh peneliti kelompok payung skripsi

psychological well-being tahun 2012 dengan reliabilitas koefisien alpha sebesar 0.704 dan validitas lebih besar dari 0.2. Alat ukur ini terdiri dari 18 item dengan respon jawaban 6 point Likert Scale. Norma berdasarkan persentil 50 yang dilihat dari skor median kelompok yaitu 86. Kelompok yang memiliki psychological well-being yang rendah adalah kelompok yang memiliki skor mean sama dengan dan dibawah skor median (≤86), sedangkan total skor kelompok tinggi berada di atas skor median (>86).

Prosedur

Pengambilan data dilakukan satu kali 29 April 2013 hingga 3 Mei 2013 di tiga SMA dan tiga SMK di Kabupaten Bangka. Peneliti mendatangi sekolah yang dituju dan menyebarkan kuesioner pada saat jam istirahat di ruang guru. Terdapat dua sekolah dimana peneliti harus menitipkan kuesioner selama dua hari karena sedikitnya jumlah guru yang masuk. Data penelitian yang didapat diolah melalui sistem SPSS 16.0. dengan teknik analisis statistika deskriptif, independent sample t-test, dan one-way ANOVA.

Hasil Penelitian

Mayoritas responden yang mengajar di SMA dan SMK sedang berada di masa dewasa muda, berjenis kelamin perempuan, menempuh pendidikan terakhir di S1 (sarjana), telah bekerja selama 1-5 tahun, guru bidang studi sains untuk guru SMA dan guru bidang studi kejuruan untuk guru SMK, sudah menikah, memiliki status kerja sebagai guru PNS pada guru SMA dan sebagai guru honorer pada guru SMK, sudah memiliki sertifikasi pada guru SMA dan belum memiliki sertifikasi pada guru SMK, memiliki pendapatan per bulan dengan rentang 1,5 juta-3 juta, dan untuk responden yang sudah menikah paling banyak memiliki pasangan yang bekerja. Untuk lebih data demografis yang lebih menyeluruh, dapat dilihat pada tabel 1.

(8)

Tabel 1. Gambaran Data Demografis Responden (N=152) Karakteristik SMA SMK N % N % Usia 20-40 41-63 Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pendidikan SMA/Sederajat D2 D3 S1 S2 Lama Kerja 1-5 tahun 6-10 tahun 11-15 tahun 16-20 tahun 21-25 tahun 26-30 tahun >30 tahun Bidang Studi Bahasa Sains Sosial Kejuruan Agama Penjaskes Kesenian/Muatan Lokal Lain-lain Status Perkawinan Belum Menikah Menikah Status Pekerjaan PNS Honorer

Guru Tetap Yayasan Status Sertifikasi

Memiliki Sertifikasi Belum Memiliki Sertifikasi Pendapatan

<1,5 juta 1,5 juta-3 juta 3 juta- 5 juta Di atas 5 juta

Status Kerja Pasangan (Responden yang Menikah)

Bekerja Tidak Bekerja 38 36 34 40 3 2 2 63 4 16 13 16 12 10 5 2 15 20 15 0 9 2 5 8 10 64 41 27 6 43 31 23 26 19 6 50 14 51.4 48.6 45.9 54.1 4.1 2.7 2.7 85.1 54.4 21.6 17.6 21.6 16.2 13.6 6.8 2.7 20.3 27.0 20.3 0.0 12.2 2.7 6.8 10.8 13.5 86.5 55.4 36.5 8.1 58.1 41.9 31.1 35.1 25.7 8.1 78.1 21.9 46 32 27 51 5 1 8 63 1 27 12 13 16 7 3 0 14 10 12 21 4 4 2 11 16 62 28 53 1 29 49 28 30 16 4 54 8 59.0 41.0 34.6 65.4 6.4 1.3 10.3 80.8 1.3 34.6 15.4 16.7 20.5 9.0 3.8 0.0 17.9 12.9 15.4 26.9 5.1 5.1 2.6 14.1 20.5 79.5 30.8 67.9 1.3 37.2 62.8 35.9 38.5 20.5 5.1 87.1 12.9

(9)

Dari hasil analisis data, ditemukan tidak terdapat perbedaan mean psychological well-being yang signifikan pada responden (r(152)=1.801, p=0.074, siginifikan pada L.o.S 0.05). Hal ini berarti meskipun terdapat selisih pada skor mean psychological well-being pada guru SMA dan SMK, tetapi selisih mean tersebut tidak membuat adanya perbedaan yang signifikan. Akan tetapi, mean psychological well-being pada responden yang mengajar di SMA dan SMK berada di kelompok yang berbeda. Responden yang mengajar di SMA memiliki skor mean yang lebih tinggi daripada responden yang mengajar di SMK. Responden yang mengajar di SMA memiliki psychological well-being yang tergolong tinggi (M=86.55, SD=6.646), sedangkan responden yang mengajar di SMK memiliki psychological well-being

yang tergolong rendah (M=84.58, SD=6.873). Hal ini berarti responden yang mengajar di SMA lebih memiliki kemampuan untuk puas dan menerima dirinya, memiliki hubungan yang akrab dan hangat dengan orang lain, mampu mengambil keputusan sendiri dan memiliki standar evaluasi sendiri, mampu memanfaatkan lingkungan kerjanya, memiliki keinginan mengembangkan diri dan memiliki tujuan hidup (Ryff, 1989) daripada responden yang mengajar di SMK.

Selanjutnya, peneliti juga ingin melihat gambaran skor mean dimensi psychological well-being pada responden penelitian yang mengajar di SMA dan SMK.

Tabel 2. Gambaran Mean Dimensi Psychological Well-Being pada Responden yang Mengajar di SMA (N=74)

Dimensi Psychological

Well-Being Mean Standar Deviasi

Self Acceptance 13.31 2.323

Positive Relations with others 14.50 2.128

Autonomy 12.57 2.221

Environmental Mastery 14.45 2.001

Purpose in Life 15.46 1.416

Personal Growth 16.27 1.510

Tabel 3. Gambaran Mean Dimensi Psychological Well-Being pada Responden yang Mengajar di SMK (N=78).

Dimensi Psychological

Well-Being Mean Standar Deviasi

Self Acceptance 13.09 1.949

Positive Relations with others 14.54 1.680

Autonomy 12.58 2.201

Environmental Mastery 13.85 2.245

Purpose in Life 14.87 1.670

(10)

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan psychological well-being yang signifikan antara guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka. Akan tetapi, hal ini bukan berarti tidak adanya perbedaan pada skor mean psyhcological well-being pada kedua responden, melainkan selisih angka yang ada tidak cukup kuat untuk menjelaskan bahwa adanya perbedaan psychological well-being pada guru SMA dan SMK. Jika dilihat secara seksama, psychological well-being pada guru yang mengajar di SMA tergolong tinggi, sedangkan psychological well-being pada guru SMK tergolong rendah. Hal ini dapat disebabkan karena guru yang mengajar di SMK memiliki beban mengajar yang lebih banyak daripada guru di SMA. Guru SMK tidak hanya mengajar dengan memberikan keterampilan kepada siswa saja, tetapi juga pengajaran yang bersifat teoritis karena siswa SMK juga mengikuti UN. Selain itu, sekarang siswa SMK juga sudah bisa untuk memilih melanjutkan ke perguruan tinggi (snmptn.ac.id, n.d), sehingga guru SMK juga memiliki beban untuk mengajar siswa SMK agar mampu bersaing dengan siswa SMA untuk masuk ke perguruan tinggi. Bertambahnya beban mengajar ini membuat guru SMK memiliki tambahan stressor untuk membuat mereka menjadi stres dan pada akhirnya akan membuat psychological well-being mereka menjadi rendah. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Malek, Mearns, dan Flinn (2010) bahwa sumber stres kerja memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan psychological well-being.

Selanjutnya, guru SMK memiliki tantangan yang lebih besar dalam menghadapi perilaku buruk siswa daripada guru yang mengajar di SMA. Berdasarkan hasil wawancara pada salah seorang responden yang pernah mengajar di SMA dan sekarang mengajar SMK, dirinya mengaku kesulitan dalam berhubungan dan memotivasi siswanya. Siswa SMK cenderung kurang memiliki semangat belajar, kurang kompetitif, dan seringkali menimbulkan banyak masalah. Hal ini berbeda dengan siswa SMA dimana mereka cukup memiliki motivasi dalam belajar dan berkompetisi serta perilaku buruk mereka tidak lebih buruk daripada siswa SMK (Hikmah, Komunikasi Pribadi, 3 Mei 2013). Hal tersebut tentu saja membuat tingkat

psychological well-being guru SMK tergolong rendah daripada guru SMA. Hal ini juga didukung oleh Biglan (2008) bahwa psychological well-being guru berhubungan dengan kemampuan mereka dalam menangani perilaku siswa, dimana hubungan ini saling timbal balik.

Kemudian, guru SMK yang menjadi responden penelitian ini kebanyakan adalah guru honorer dengan gaji Rp. 500.000,00-Rp. 750.000,00. Hal ini berbeda dengan guru SMA yang kebanyakan adalah guru PNS dengan gaji tetap setiap bulan sesuai golongan dan dibayar

(11)

dengan APBN/APBD. Telah disinggung sebelumnya bahwa status sosial ekonomi dalam hal ini adalah pendapatan memengaruhi psychological well-being seseorang (Ryff, dkk., dalam Ryan & Deci, 2001) sehingga menyebabkan tingkat psychological well-being guru SMK menjadi rendah. Selain itu, guru honorer juga tidak mendapat kejelasan mengenai status kerja mereka di masa depan sehingga hal ini dapat menjadi stressor tambahan yang berdampak pada psychological well-being mereka.

Peneliti juga membahas hasil data demografis responden penelitian ini. Mayoritas responden yang mengajar di SMA dan SMK penelitian sedang berada di masa dewasa muda, berjenis kelamin perempuan, menempuh pendidikan terakhir di S1 (sarjana), telah bekerja selama 1-5 tahun, sudah menikah, memiliki pendapatan per bulan dengan rentang 1,5 juta-3 juta, dan untuk responden yang sudah menikah paling banyak memiliki pasangan yang bekerja. Hal itu terjadi karena peneliti dalam proses pemilihan sampel menggunakan teknik

non-probability sampling sehingga menyebabkan tidak semua anggota dalam populasi memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel penelitian. Penelitian ini juga menggunakan accidental sampling karena pengambilan data penelitian berdasarkan kemudahan dan ketersediaan responden saat itu (Kumar, 2005), sehingga peneliti tidak dapat mengontrol data demografis tersebut. Kemudian, untuk banyaknya jumlah responden yang menempuh pendidikan S1 dikarenakan kualifikasi akademik yang ditentukan oleh pemerintah adalah guru yang telah menempuh pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D4) (UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen).

Selanjutnya, jumlah guru bidang studi sains pada guru SMA lebih banyak karena mata pelajaran bidang sains yang peneliti kelompokkan terdiri dari matematika, fisika, biologi dan kimia. Keempat mata pelajaran tersebut diajarkan di kelas X, XI SMA program IPA, dan XII SMA program IPA. Selain itu, masing-masing mata pelajaran sains memiliki alokasi waktu yang paling banyak yaitu sebanyak 4 jam per minggu (Permendiknas No.22 tahun 2006). Untuk guru SMK, paling banyak adalah guru yang mengajar bidang studi kejuruan. Hal ini tentu saja dikarenakan SMK memang mengajarkan mengenai kejuruan atau keterampilan yang dibutuhkan oleh siswa, sehingga lebih banyak dibutuhkan guru yang mengajar bidang studi kejuruan. Berikutnya, untuk jumlah guru honorer yang lebih banyak di SMK dikarenakan kurangnya jumlah guru PNS di sekolah tersebut, terlebih dalam penelitian ini lebih banyak SMK swasta sehingga hampir semuanya merupakan guru honorer (Napitulu, 2012).

Terakhir, banyak guru SMK yang belum memiliki sertifikasi dikarenakan persyaratan untuk mengambil sertifikasi adalah guru PNS dan guru tetap yayasan (non-PNS) dengan

(12)

kualifikasi akademik S1 dan D4. Lama kerja juga menjadi bahan perhitungan, dimana guru yang bisa mengikuti ujian sertifikasi adalah mereka yang telah bekerja minimal 2 tahun (Permendiknas No.18 tahun 2007). Ujian sertifikasi guru juga memiliki tes kinerja dalam bentuk real teaching dimana mereka harus menjadi fasilitator dan mediator dalam proses belajar mengajar sesuai dengan KTSP. Guru-guru yang sudah sejak lama terbiasa mengajar dengan metode ceramah akan merasa kesulitan dan menyebabkan banyak yang gagal dalam ujianpraktik mengajar ini.

Berikutnya, peneliti menemukan bahwa dimensi yang paling tinggi dimiliki oleh responden baik secara umum maupun digolongkan berdasarkan tempat mengajar adalah dimensi personal growth. Tingginya dimensi ini dikarenakan guru-guru seringkali mengikuti pelatihan dan seminar untuk mengembangkan dan meningkatkan kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai guru. Sebelum memulai mengajar, biasanya guru akan mempelajari bahan ajar terlebih dahulu. Mereka tidak ingin tertinggal dan terkadang mencari materi dari sumber lainnya (Hikmah, Komunikasi Pribadi, 3 Mei 2013; D. Sihombing, Komunikasi Pribadi, 30 Mei 2013). Keinginan yang kuat untuk terus belajar dan menjadi lebih baik adalah salah satu komponen personal growth (Ryff, 1989). Selain itu, mayoritas responden ini adalah guru yang telah menempuh pendidikan S1 yang termasuk salah satu jenjang pendidikan tinggi. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ryff dan Singer (2008) bahwa psychological well-being dan pendidikan memiliki hubungan positif yang kuat, terutama asosiasinya dengan personal growth.

Dimensi yang paling rendah yang dimiliki oleh responden baik secara umum maupun digolongkan berdasarkan tempat mengajar adalah dimensi autonomy. Rendahnya dimensi ini menurut peneliti disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam mengambil keputusan secara cepat dan tepat ketika menghadapi masalah di dalam kelas. Kebanyakan responden penelitian ini memiliki lama kerja 1-5 tahun sehingga mereka masih belum memiliki banyak pengalaman dalam menangani permasalahan di dalam kelas. Kemudian, tuntutan sebagai guru yang dianggap harus menjadi teladan dan sempurna di mata masyarakat juga membuat mereka menjadi khawatir dalam mengambil keputusan yang dianggap tidak sesuai dengan standar masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ryff (1989) bahwa orang yang memilki autonomy yang rendah salah satunya karena mereka yang bertindak bergantung pada penilaian dan keputusan orang lain, khawatir terhadap standar masyarakat dan orang lain dalam membuat keputusan penting. Selain itu, budaya Bangka Belitung yang bersifat kolektivis juga dapat menjadi penyebab rendahnya dimensi ini. Ryff dan Singer (1996)

(13)

menemukan bahwa dimensi yang berorientasi pada diri seperti autonomy tidak menonjol pada masyarakat dengan budaya kolektivis.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, ditarik kesimpulan yang dapat menjawab pertanyaan penelitian, yaitu tidak terdapat perbedaan psychological well-being pada guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka. Jika dilihat dari masing-masing tempat mengajar, responden yang mengajar di SMA memiliki psychological well-being yang tergolong tinggi, sedangkan responden yang mengajar di SMK memiliki psychological well-being yang tergolong rendah. Dimensi paling tinggi pada responden baik yang mengajar di SMA dan SMK adalah dimensi personal growth, sedangkan dimensi paling rendah adalah dimensi autonomy.

Saran

Saran Metodologis

a. Penelitian mengenai psychological well-being pada guru sebaiknya terus dikembangkan, mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini dan belum banyaknya penelitian mengenai topik ini di Indonesia, khususnya di daerah (di luar Jakarta).

b. Penelitian selanjutnya dengan topik sejenis sebaiknya juga dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif agar dapat memahami lebih mendalam mengenai

psychological well-being dan juga dimensi-dimensinya. Hal ini juga diperlukan untuk memberikan penjelasan yang lebih valid dan realiabel serta mampu melengkapi penjelasan dari data kuantitatif yang dihasilkan.

c. Penelitian selanjutnya dengan topik sejenis sebaiknya mengukur variabel stres kerja juga, sehingga penelitian ini tidak hanya berdasarkan asumsi dan penarikan kesimpulan mengenai stres kerja dari penelitian lain. Hal ini akan berdampak pada gambaran yang lebih jelas mengenai psychological well-being pada guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka.

d. Penelitian selanjutnya dengan topik sejenis sebaiknya melihat minat untuk menjadi guru karena hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi performa guru dan psychological well-being mereka.

e. Penelitian selanjutnya dengan topik sejenis sebaiknya menambah jumlah responden penelitian dan menyeimbangkan proporsi responden agar mendapatkan hasil yang lebih representatif.

(14)

Saran Praktis

a. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa skor psychological well-being pada guru SMA tergolong tinggi dan guru SMK di Kabupaten Bangka tergolong rendah, tetapi hasil yang didapatkan hanyalah rata-rata dari psychological well-being pada guru SMA dan SMK di Kabupaten Bangka. Meskipun demikian, Pemerintah Daerah atau Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka sebaiknya membuat suatu kebijakan baru dalam organisasi dengan menyediakan konseling psikologis dalam lingkungan kerja mereka untuk membantu guru-guru meningkatkan kesejahteraan psikologis mereka dan mengurangi tingkat stres mereka terutama guru yang mengajar di SMK mengingat tingkat psychological well-being mereka tergolong rendah.

b. Memberikan saran kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka untuk terus menerus melakukan pelatihan dan pengembangan guru karena akan meningkatkan dimensi

personal growth mereka yang tentunya berdampak pada psychological well-being. Selain itu, diperlukan adanya pelatihan untuk meningkatkan dimensi autonomy pada guru karena semua responden baik yang mengajar di SMA dan SMK memiliki dimensi autonomy yang rendah.

Daftar Pustaka

Ben-Ari, R., Krole, R., & Har-Even, D. (2003). Differential effects of simple frontal versus complex teaching strategy on teachers stress, burnout and satisfaction. International Journal of Stress Management, 10 (2), 173-195. doi: 10.1037/1072-5245.10.2.173.

Biglan, Anthony. (2008). Teacher stress and collegiality: Overlooked factors in the effort to promote evidence-based practices. Association for Behaviour Analysis International Newsletter. Diunduh dari http://www.abainternational.org, pada 17 Januari 2013.

Ketentutan umum dan persyaratan. (n.d). Diunduh dari http://www.snmptn.ac.id, pada 6 Juli 2013.

Lambang daerah dan artinya. (n.d). Diunduh dari http://www.babelprov.go.id, pada 17 Juni 2013.

Malek, M. D. A., Mearns, K., & Flin, R. (2010). Stress and psychological well-being in uk and malaysian fire fighters. An International Journal Vol. 17(1), 50-61. doi: 10.1108/13527601011016907.

(15)

Merino, Akindotun. (2004). The effect of academic policy on the psychological well-being and collective self-esteem of California urban teachers. (Dissertation for Doctor of Phylosophy). Cappela University, Minneapolis.

Nadeem, M., Rana, M. S., Lone, A. H., Maqbool, S., Naz, K., & Ali, A. (2011). Teacher’s competencies and factors affecting the performance of female teachers in bahawalpur (southern punjab) pakistan. International Journal of Business and Social Science, 2

(19), 217-222. Diunduh dari http://www.ijbssnet.com, pada 3 Juli 2013

Papalia, D. E., Olds, S. W, & Feldman, R. D. (2009). Human development 11th Edition. New York: McGraw-Hill.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah.

Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual Review of Psychology52, 141-166. doi: 10.1146/annurev.psych.52.1.141.

Ryff, C. D. & Singer, B. H. (1996). Psychological well-being: Meaning, Measurement, and implication for psychotherapy research. Psychother Psychosom, 65, 14-23. Diunduh dari http://www.ssc.wisc.edu, pada 15 Maret 2013.

Ryff, C. D. & Singer, B. H. (2008). Know the self and become what you are: a eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9, 13–39. doi: 10.1007/s10902-006-9019-0.

Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meanings of psychological well being. Journal of Personality and Psychology, 57, 1069-1081. Diunduh dari http://education.ucsb.edu, pada 20 Februari 2013.

Ryff, C. D. (1995). Psychological well-being in adult life. Current Directions in Psychological Science, 4, 99-104. doi: 10.1111/1467-8721.ep10772395.

Tomo, Y. P. (2012). Kelulusan UN di babel meningkat. Diunduh dari http://www.reportasebangka.com, pada 3 Juli 2013.

(16)

Wright, T. A. & Cropanzano, R. (2000). Psychological well-being and job satisfaction as predictors of job performance. Journal of Occupational Health Psychology, 5 (1), 84-94. doi: 10.1037//1076-8998.5.1.84.

Gambar

Tabel 1. Gambaran Data Demografis Responden (N=152)  Karakteristik          SMA            SMK  N  %  N  %  Usia  20-40  41-63  Jenis Kelamin  Laki-Laki  Perempuan  Pendidikan  SMA/Sederajat  D2  D3  S1  S2  Lama Kerja  1-5 tahun  6-10 tahun  11-15 tahun
Tabel 2. Gambaran Mean Dimensi Psychological Well-Being pada Responden yang  Mengajar di SMA (N=74)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Oleh karena itu, melalui pendalaman iman khusus orang tua penulis memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka membantu para orang tua agar semakin menyadari akan tugas dan

Untuk terus mengoptimalkan PAD Kota Tangerangan, perlu adanya suatu starategi baru ataupun pengembangan strategi yang telah ada untuk terus mendongkrak PAD

Perekayasa: adalah jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan Teknologi dalam suatu kelompok kerja fungsional pada

Dari nilai signifikasi tersebut, juga menunjukkan bahwa ada perbedaan efektifitas pijat refleksi kaki dan hipnoterapi dalam menurunkan tekanan darah pada tekanan darah diastolik

Hasil dari penelitian tersebut setelah dilakukan uji dengan Mann-Whitney pada kelompok intervensi didapatkan p=0,001 (p&lt;0,05) sehingga dapat disimpulkan

PROGRAM INFSTRUKTUR KAWASAN NATUNA - ANAMBAS Rekonstruksi Jalan Masuk ke Pelabuhan KKP Sabang Mawang Panjang 0,8 km Rekonstruksi Jalan Masuk ke Kawasan Maritim Teluk Depeh

Berdasarkan hasil penelitian, pasien sindroma koroner akut di RSUP Haji Adam Malik, Medan 2015 berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh) paling ramai pasien yang didiagnosa dalam