• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI LIMBAH SEDIMEN TAMBAK UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SUPER INTENSIF DENGAN KEPADATAN BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISASI LIMBAH SEDIMEN TAMBAK UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SUPER INTENSIF DENGAN KEPADATAN BERBEDA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI LIMBAH SEDIMEN TAMBAK UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)

SUPER INTENSIF DENGAN KEPADATAN BERBEDA

Hidayat Suryanto Suwoyo, Suwardi Tahe, dan Mat Fahrur Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No.129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: yayhat_95@yahoo.com ABSTRAK

Budidaya udang vaname superintensif dengan padat penebaran tinggi memberikan konsekuensi pada beban limbah sebagai hasil samping kegiatan budidaya yang dapat mempengaruhi kelayakan habitat udang serta lingkungan hidup perikanan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik limbah sedimen tambak pada budidaya udang vaname pola super-intensif. Pengamatan Laju sedimentasi dan karakterisasi sedimen dilakukan pada tambak beton berukuran 1000 m2 sebanyak tiga petak yang ditebari dengan benur

vaname (L. vannamei) ukuran PL-10 dengan padat tebar 750 ekor/m2 (A) 1.000 ekor/m2; (B) dan 1.250 ekor/

m2 ; (C) Sumber oksigen menggunakan kincir air 1 PK dan Ring blower 5,5 Kw 3 inchi sebagai aerasi dasar.

Pakan diberikan dimulai setelah penebaran sebanyak 300% dari biomasa dan menurun pada bulan keempat pemeliharaan hingga 2 % dari berat total biomasa udang. Lama pemeliharaan 105 hari. Pengukuran laju sedimentasi di dasar tambak dilakukan dengan memasang perangkap sedimen yang terbuat dari pipa paralon berukuran 4 inchi dengan panjang 40 cm, dipasang sebanyak 5 titik untuk setiap petaknya. Koleksi sedimen dilakukan setiap minggu. Karakterisasi sedimen yang diukur adalah pH, potensial redoks, Bahan organik total, C-organik (%), TN (%) dan TP (%). Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jumlah sedimen yang dihasilkan seiring dengan peningkatan padat penebaran. Jumlah sedimen tertinggi terjadi pada petak C sebesar 21,9 ton diikuti petak B dan A masing-masing 20,3 dan 18,2 ton. Karakteristik sedimen pada ketiga petak tambak yang diamati yakni nilai pH sedimen berkisar antara 5,76-6,43; potensial redoks berkisar antara -393,8 sampai -311,8 mV; kandungan C-organik berkisar 6,98-13,89%; bahan organik berkisar antara 12,03-24,10%; Total N sedimen berkisar antara 0,93-2,35%; dan Total P berkisar antara 0,57-2,11%.

KATA KUNCI: karakteristik sedimen,limbah, super-intensif, L. vannamei PENDAHULUAN

Udang merupakan komoditas primadona dalam bidang perikanan yang dapat meningkatkan devisa negara melalui ekspor, perluasan lapangan kerja dan usaha, serta peningkatan pendapatan pembudidaya. Produksi udang dalam negeri terus mengalami kenaikan. Produksi udang nasional pada 2012 sebesar 415.703 ton atau meningkat 4 persen dari 2011. Sementara, produksi udang nasional pada 2013 sebesar 608 ribu ton dan tahun 2014 ditargetkan mencapai 699 ribu ton (Anonim, 2014). Angka ini akan terus didorong dan harus optimis tercapai, mengingat peluang besar yang ada mulai dari permintaan dunia yang cenderung meningkat serta harga menunjukan trend naik, yang dibutuhkan sekarang adalah memaksimalkan potensi yang dimiliki Indonesia, yakni tenaga kerja dan lahan. Data KKP menunjukkan total potensi area pertambakan seluas 1,2 juta ha, dengan potensi efektif untuk budidaya udang sekitar 773 ribu ha. Jika potensi ini dimaksimalkan, Indonesia berpeluang menjadi negara pengekspor udang terbesar di dunia (KKP, 2014). Budidaya udang vaname pola intensif atau superintensif pada tambak skala kecil menjadi orientasi sistem budidaya masa depan untuk mencapai target produksi tersebut.

Budidaya udang vaname super-intensif dengan padat penebaran tinggi sepenuhnya mengandalkan masukan pakan berupa pelet yang mencapai kisaran 60-70% dari biaya operasional (Atjo, 2013; Rachmansyah et al., 2013). Padat penebaran tinggi yang diaplikasikan dalam sistem budidaya super-intensif memberikan konsekuensi pada beban limbah sebagai hasil samping kegiatan budidaya yang dapat mempengaruhi kelayakan habitat udang serta lingkungan hidup perikanan. Pakan diduga sebagai pemasok limbah nutrien yang potensial. Pakan yang diberikan sebagian besar akan dimanfaatkan

(2)

oleh udang melalui proses pencernaan akan diperoleh energi dan nutrisi yang tersimpan dalam jaringan udang sebagai biomassa. Sisanya akan terbuang sebagai hasil ekskresi baik dalam bentuk terlarut maupun feses yang terbuang ke dalam badan air dan mengalami proses pelarutan, sedimentasi, mineralisasi, dan dispersi. Rachmansyah et al. (2003) mengemukakan bahwa sisa pakan akan menghasilkan limbah sedimen yang komposisinya terdiri atas bahan organik dan anorganik. Bahan organik terdiri atas protein, karbohidrat dan lemak sedangkan an organik terdiri atas partikel lumpur. Sejalan dengan pertumbuhan udang maka presentase pemberian pakan akan semakin bertambah dan sisa pakan juga akan bertambah. Apabila hal ini terus berlangsung maka limbah sedimen yang mengendap didasar akan mengalami proses penguraian (dekomposisi) menghasilkan nitrat, nitrit, amonia, karbondioksida dan hidrogen sulfida. Kandungan ini apabila diatas ambang batas akan mempengaruhi kualitas air dan membahayakan sintasan udang.

Sedimen adalah salah satu sumber utama nutrien terlarut ditambak udang. Hidrolisis aerobik (proses mineralisasi) menyebabkan nutrien terlepas dari sedimen ke kolom air (Namatra & Wantawin, 2006). Menurut Avnimelech & Rivto, (2003), sedimen tambak kaya akan nutrien dan bahan organik. Konsentrasi nutrien disedimen tambak jauh lebih tinggi dari yang ada di badan air diperkirakan 1 cm ketebalan sedimen tambak umumnya terdapat 10 kali atau lebih jumlah nutrien yang ada pada 1 m kedalaman badan air. Bahan organik yang melimpah di sedimen tambak, menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme sangat pesat, sehingga konsumsi oksigen di sedimen tambak menjadi banyak dan dapat mengakibatkan daerah dasar tambak di bawah permukaan menjadi daerah anoksid. Produk anaerobik yang beracun yang diduga berasal dari sedimen dapat menyebabkan stres pada udang, mengurangi vitalitas, resistensi dan kepekaan terhadap penyakit, penurunan nafsu makan, pertumbuhan lambat dan rendahnya sintasan udang (Lemonnier & Brizard, 2001; Delgado et al. 2001).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik limbah sedimen tambak pada budidaya udang vaname pola super intensif sebagai bahan informasi dalam pengelolaan limbah tambak udang, sekaligus berpotensi untuk dijadikan bahan baku pupuk organik.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan (ITP), Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP), yang berlokasi di Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Pengamatan karakterisasi sedimen dan laju sedimentasi dilakukan pada petak tambak beton berukuran 1.000 m2 sebanyak 3 petak yang ditebari dengan benur vaname (L. vannamei) ukuran Post Larva (PL-10) dengan padat tebar 750 ekor/m2 (A), 1.000 ekor/m2(B) dan 1.250 ekor/m2 (C). Sumber oksigen menggunakan kincir air 1 PK dan Ring blower 5,5Kw 3 inchi sebagai aerasi dasar. Pemberian pakan dimulai setelah penebaran sebanyak 300% dari biomasa dan menurun pada bulan ke empat pemeliharaan hingga 2,0% dari berat total biomasa udang dengan lama pemeliharaan 105 hari (15 minggu). Frekuensi pemberian pakan 3-5 kali/hari.

Pengukuran laju sedimentasi dan jumlah sedimen di dasar tambak dilakukan dengan memasang perangkap sedimen yang terbuat dari pipa paralon berukuran 4 inchi dengan panjang 40 cm (Gambar 1), dipasang sebanyak 5 titik untuk setiap petaknya. Koleksi sedimen dilakukan seminggu sekali. Sampel sedimen yang terkoleksi diukur pH dan redox menggunakan pH meter HANA HI 8424, kemudian dikering-anginkan dan ditimbang bobotnya. Karakteristik sedimen yang diukur adalah potensial redoks, pH, TN sedimen (metode Kjeldhal), TP sedimen (metode amonium molybdat dengan Spectrofotometer), C-organik, dan bahan organik total (metode Walkley & Black’s). Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik. Laju sedimentasi dihitung berdasarkan persamaan berikut (Rachmansyah et al., 2004):

Laju sedimentasi (g cm2 hr-1) =

t

A

/

(3)

di mana:

Wsd = bobot kering sedimen dalam (g) Ap = luas penampang paralon ( cm2) T = periode koleksi sedimen dalam (hari)

HASIL DAN BAHASAN Laju Sedimentasi

Sedimentasi di tambak terjadi karena proses pengendapan partikel bahan organik baik yang berasal dari sisa pakan, feses udang, plankton atau organisme lain yang mati serta partikel lumpur yang terbawa oleh aliran pasokan air dari laut. Menurut Hopkins et al. (1994) bahwa sumber akumulasi sedimen di dalam tambak udang berasal dari pakan yang tidak termakan, feses, plankton/diatom yang mati dan membusuk, erosi tanah tambak dan jasad renik merupakan bagian dari sedimen. Rachmansyah et al. (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan estimasi laju sedimentasi yang diperoleh dari pemasangan sediment trap dapat diketahui jumlah sedimen selama pemeliharaan udang vaname.

Laju sedimentasi harian yang terjadi di petak A antara 1,04-2,51 (1,62±0,51) g/cm2/hr, petak B antara 0,99-2,69 (1,81±0,56) g/cm2/hr dan petak C antara 1,46-2,33 (1,96±0,31) g/cm2/hr. Total sedimen pada petak A, B danpetakC masing-masing adalah 18.2ton, 20,3 ton dan 21,9 ton selama pemeliharaan udang 105 hari. Bobot bahan kering sedimen (g/kg udang) pada petak A sekitar 2,31, petak B sebesar 1,90 dan petak C1,80 g/kg udang (Tabel 1). Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah sedimen yang dihasilkan meningkat seiring dengan peningkatan padat penebaran. Menurut Merican & Philips (1985), jumlah buangan sedimen atau laju sedimentasi bervariasi cukup besar dan diperkirakan berhubungan dengan perbedaan ukuran pellet, padat penebaran dan kesehatan ikan.

Gambar 1. Perangkap sedimen (sediment trap) dan sedimen yang terkoleksi

Petak/padat tebar (ekor m2)

Min Max Avg sd

Total sedimen (ton) Produksi udang (ton) Bobot bahan kering sedimen (g/kg udang) A 750 B 1 C 1,25 7.862 2,31 1,90 1,46 2,33 1,96 0,31 21,9 12.163 1,80 0,99 2,69 1,81 0,56 20,3 10.699 1,04 2,51 1,62 0,51 18,2

(4)

Mcintosh et al (1999 dalam Boyd & Clay, 2002) melaporkan sebanyak 720 g bobot kering sludge untuk setiap kg udang yang dihasilkan. Oleh karena itu, sludge yang terjadi selama pemeliharaan udang perlu dibuang dari lingkungan tambak setiap hari untuk menjaga kondisi lingkungan perairan tambak berada pada tingkat kelayakan habitat yang dibutuhkan udang.

Menurut Clifford (1998), pada tambak intensif dihasilkan sedimen organik sebesar 0,8 kg bahan kering/m2/hari. Lemonnier & Brizard (2001) melaporkan bahwa rata-rata laju sedimentasi musiman sekitar 200 ton/ha dengan ketebalan lapisan atas/permukaan sedimen berkisar 0,25-0,3 g/mL, dengan bagian dasar tambak yang tertutupi oleh sedimen yang baru terdeposit berkisar 5-36% dari bagian tambak. Rachmansyah et al. (2006) melaporkan bahwa laju sedimentasi di dalam tambak selama 100 hari pemeliharaan udang vaname dengan perlakuan jumlah kincir berbeda mencapai 49,49-813,21 (332,71±203,20) g/m2 bahan kering. Jumlah sedimen yang didapatkan pada budidaya udang vaname dengan kepadatan 50 ekor/m2 dengan perlakuan 2, 3 dan 4 kincir masing-masing sebesar 2.829 kg; 3.120 kg dan 3.154 kg sedimen. Suwoyo et al. (2009) mendapatkan laju sedimentasi tambak intensif udang vaname antara 6,89-142,71 g/m2/ hari dengan jumlah sedimen berkisar 676,39-1262 kg/petak/ siklus. Suwoyo et al. (2014) mendapatkan laju sedimentasi tambak super-intensif udang vaname dengan padat tebar 500 ekor/m2 berkisar antara 0,01-0,04 g/cm2/hari dengan rata-rata 0,02±0,01 g/ cm2/hari, dan pada padat tebar 600 ekor/m2 berkisar 0,01-0,05 g/cm2/hari dengan rata-rata 0,03±0,01 g/cm2/hari dengan jumlah sedimen yang terakumulasi di dasar tambak masing-masing sebesar 3.327 dan 4.193 kg bobot kering/petak/siklus. Wyban & Sweeny (1991) mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara laju sedimentasi dengan kecepatan arus air. Semakin rendah kecepatan arus air (cm/detik) maka laju sedimentasi semakin tinggi terutama pada bagian tengah tambak. Pada kecepatan arus 3 cm/detik, diperoleh laju sedimentasi sebesar 320 g/m2/hari. Saat kecepatan arus 10 cm/detik, diperoleh laju sedimentasi sebesar 180 g/m2/hari dan pada kecepatan arus 22 cm/detik, diperoleh laju sedimentasi sebesar 120 g/m2/hari. Lebih lanjut dikatakan bahwa sedimentasi mulai terlihat pada minggu ke-5 pada siklus pemeliharaan udang. Pada saat sedimen yang terakumulasi cukup banyak (sekitar 20 cm) maka sedimen tersebut harus dibuang melalui central drain.

Karakteristik Sedimen

Karakteristik sedimen limbah tambak udang vaname super intensif meliputi pH, potensial redoks, kandungan bahan organik, carbon organik (%), total N (%), dan total P (%) disajikan pada Tabel 2.

Sedimen yang terbentuk di dalam tambak udang vaname super-intensif memiliki nilai pH yang cenderung asam di ketiga petak dengan kisaran 5,76-6,43 (6,09±0,20) dengan nilai koefisien variasi kurang dari 5%. Hal ini menandakan bahwa nilai pH sedimen tidak mengalami fluktuasi yang signifikan. Namun demikian, nilai pH sedimen yang dikoleksi menunjukkan adanya kecenderungan yang meningkat siiring dengan lamanya waktu pemeliharaan sebagai akibat terjadinya proses dekomposisi (Tabel 2 dan Gambar 2). Sunarto (2003) berpendapat bahwa dekomposisi merupakan proses yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan dekomposer baik jumlah maupun diversitasnya. Sedangkan keberadaan dekomposer sendiri sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan baik kondisi kimia, fisika maupun biologi. Faktor-faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap dekomposisi antara lain oksigen, bahan organik dan bakteri sebagai agen utama dekomposisi. Tersedianya nutrien (bahan organik) dan keberadaan oksigen diperairan menjadi faktor utama yang menentukan keberadaan bakteri sebagai pelaku dekomposisi, meskipun hal ini bergantung pada jenis dekomposernya.Menurut Ritvo et al. (1999) Fluktuasi pH yang kecil pada tambak terjadi akibat dilakukannya pengapuran yang intensif. Analisis regresi komponen utama menunjukkan hasil produksi sangat sensitif terhadap perubahan pH. Peningkatan nilai pH sebesar 1% mempengaruhi peningkatan produksi sebesar 0,36%.

pH adalah logaritme negatif dari konsentrasi ion hidrogen dengan range antara 1-14. pH tanah dasar mempunyai range antara nilai kurang dari 4 sampai dengan lebih dari 9, tetapi pH yang paling baik sekitar 7 (netral) (Boyd, 1995). Sebagian besar mikro organisme tanah,khususnya bakteri tanah berfungsi optimum pada pH 7-8. Nilai pH dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimiawi tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah tersebut. Menurut Boyd (1992), pH tanah mempengaruhi kecepatan penguraian bahan organik di dasar tambak. Hal ini disebabkan

(5)

karena pH tanah berpengaruh secara langsung dengan aktivitas mikroorganisme tanah untuk melakukan proses penguraian bahan organik tanah. Bila pH tanah rendah maka aktivitas mikroorganisme tanah untuk melakukan penguraian bahan organik akan terhambat sehingga menyebabkan akumulasi bahan organik didasar tambak. Budiardi (1998) memperoleh nilai pH tanah pada 8 petak tambak udang intensif di Karawang, Jawa Barat berkisar antara 5,2-7,0 dengan rata-rata 6,4. Sementara Meagaung (2000) memperoleh hasil pengukuran nilai pH tanah pada 50 petak

Peubah Petak Min Max Avg Sd

A 5,89 6,31 6,08 0,18 B 5,76 6,42 6,10 0,23 C 5,85 6,43 6,11 0,22 A -393,8 -320,2 -351,5 25,9 B -393,8 -311,8 -362,3 26,2 C -381,8 -347,6 -361,0 13,8 A 8,09 13,89 11,62 1,93 B 7,66 13,44 10,09 1,39 C 6,98 13,65 10,55 1,92 A 13,95 24,10 20,03 3,34 B 13,21 21,45 17,39 2,39 C 12,03 23,53 18,18 3,31 A 1,38 2,02 1,67 0,27 B 1,29 2,35 1,65 0,39 C 0,93 1,97 1,65 0,36 A 0,85 2,11 1,40 0,42 B 0,76 1,54 1,23 0,23 C 0,57 1,68 1,35 0,40 TP (%) pH Redox (mV) C Organik (%) BO (%) TN (%)

Tabel 2. Karakteristik sedimen tambak udang vaname(L.vannamei) pola super-intensif selama pemeliharaan

(6)

tambak Intensif di Sulawesi Selatan berkisar antara 6,11-7,11 dengan rata-rata 6,68. Karakteristik sifat kimia tanah dalam hal ini pH tambak budidaya air payau dari 346 sampel tanah yang dikategorikan oleh Boyd et al. (1994) menjadi sangat rendah bila pH <4, rendah bila pH 4-6, medium bila pH 6-8, tinggi pH 8-9 dan sangat tinggi bila pH >9.

Redoks potensial (Eh) adalah besarnya nilai relatif dari proses oksidasi dan reduksi di lingkungan dasar perairan/tambak. Nilai yang lebih besar menunjukkan kondisi yang lebih teroksidasi yang dinyatakan dalam milivolt (mV). Kondisi sedimen dasar tambak yang ditemukan bernilai negatif (-) menunjukkan bahwa kondisi sedimen di dasar tambak didominasi oleh proses reduksi yang cenderung anaerob (Gunarto, 2006). Nilai redoks sedimen yang telah mengendap di dalam sedimen trap berkisar -393,8 sampai -311,8 mV dengan nilai rataan -358±22,2 mV (Tabel 3 dan Gambar 3), menunjukkan bahwa kondisi sedimen di dasar tambak khususnya di sekitar central drain didominasi oleh proses reduksi yang cenderung anaerob. Jika tidak dilakukan pembuangan sludge selama proses pemeliharaan, maka nilai redox sedimen jauh di bawah nilai yang persyaratkan.

Menurut Avnimelech & Rivto (2003) bahwa perbedaan stratifikasi di sedimen dicirikan oleh perbedaan akseptor elektron. Oksigen merupakan agen oksidasi yang paling penting dipermukaan sedimen. Pada kedalaman dibawah 0 – 4 cm, dimana kandungan oksigen telah menurun sehingga terjadi proses denitrifikasi, Nitrat (NO­3) merupakan akseptor elektron selanjutnya diikuti oleh besi (Fe3+), mangan (Mn++), sulfat (SO

42-) dan karbondioksida membantu sebagai elektron akseptor (Tabel Gambar 3. Redox sedimen tambak udang vaname selama

pemeliharaan

Sistem oksidasi

(Elektron aseptor) Proses

Perkiraan nilai redoks potensial

(mV)

O2 → ­CO2 Respirasi aerob 500 – 600

NO­3-→ N2 Denitrifikasi 300 – 400 Senyawa Organik Fe3+→ Fe2+ Fermentasi < 400 Mn4+→ Mn2+ Reduksi 200 SO4→ S2- Sulfat Reduksi -100 CO­2 → CH4 Methanogenesis -200

Tabel 3. Reaksi redoks yang terjadi pada sedimen tambak (Reddy et al., 1986 dalam Avnimelech & Rivto, 2003)

(7)

3), yang umumnya terjadi pada kedalaman antara 10–50 cm. Aliran energi biologi di sedimen pada umumnya hanya terjadi pada empat zona tersebut dan pemisahan zona tersebut berdasarkan hasil energi bebas dari reaksi redoks potensial yang terjadi pada masing-masing zona. Respirasi secara aerob terjadi pada lapisan dimana didominasi oleh banyaknya oksigen, sedangkan zona lainnya respirasi terjadi secara anaerob.

Hasil pengukuran kandungan bahan organik sedimen pada petak A berkisar antara 13,95-24,10 (20,03±3,34)%; pada petak B berkisar 13,21-21,45 (17,39±2,39)%; dan pada petak C berkisar 12,03-23,53 (18,18±3,31)% (Gambar 4). Kandungan bahan organik total yang diperoleh cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan udang vaname. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada budidaya udang super-intensif dengan padat penebaran tinggi digunakan pakan buatan dalam jumlah yang besar sebagai sumber gizi utama bagi udang. Pemberian pakan secara terus-menerus selama budidaya berlangsung dan akan bertambah jumlahnya sejalan dengan pertumbuhan biomassa udang mengakibatkan peningkatan akumulasi bahan organik dari sisa pakan yang tidak termakan dan kotoran udang. Menurut Boyd (1992), bahan organik yang terakumulasi berupa sedimen akan semakin meningkat dengan bertambahnya umur pemeliharaan. Pada tambak semi intensif dan intensif di Ecuador, Colombia, Thailand, dan Philipina mengandung bahan organik total berkisar antara 0,24-9,50%. Nirmala (2009) menambahkan bahwa semakin tua umur sedimen tambak, semakin sulit pengelolaan kualitasnya dan semakin rendah produktivitas tambaknya. Juga semakin tua umur sedimen tambak semakin sulit menumbuhkan pakan fitoplankton dan semakin tidak stabil ekosistem tambak dan makin berfluktuasinya kualitas air tambak. Hal ini disebabkan karena akumulasi bahan organik tambak yang menghasilkan produk-produk intermediat yang bersifat toksik. Boyd et al. (1998), mengemukakan bahan organik secara umum dapat dikendalikan dengan cara persiapan tanah dasar tambak yang baik sehingga dicapai bahan organik <12%. Bahan organik yang ideal adalah berkisar antara 6-9%.

Menurut Smith & Briggs (1998), input materi padatan memperlihatkan bahwa erosi merupakan sumber utama dari padatan (88-93%) dan bahan organik (40-60%). Pakan yang diberikan ke tambak merupakan sumber bahan organik yang besar (31-50%) namun memberikan kontribusi yang sedikit terhadap padatan (4-7%). Hal ini merupakan sesuatu yang penting karena komponen pakan merupakan indikasi kontribusi faekal bagi udang. Aliran air merupakan sumber dari sedimen pada tambak intensif namun hanya memberikan kontribusi sebesar 2-3% dari padatan di tambak sistem intensif. Kontribusi bahan organik dari aliran air sebesar 7-13% lebih rendah dibandingkan dari pakan dan erosi tanah. Tambak udang secara efektif merupakan area sedimentasi dimana tanah dan alochtonus mengendap di tambak menjadi akumulasi sedimen. Akumulasi ini mengandung 58-70% bahan organik pada

Gambar 4. Bahan organik(%) sedimen tambak udang vaname selama pemeliharaan

(8)

sistem. Yuvanatemya (2007) mengemukakan bahwa tingginya bahan organik (10-100 mg/kg pada air tambak dan 10.000-200.000 mg/kg pada sedimen tambak) dapat mengakibatkan blooming alga, yang berakibat pada kematian massal udang secara mendadak. Lemonnier & Brizard (2001) menyampaikan bahwa penumpukan bahan organik pada sedimen tambak telah mengakibatkan penurunan tingkat sintasan udang dari 60% menjadi 10%.

Hasil pengukuran kandungan Carbon-organik sedimen pada petak A berkisar antara 8,09-13,89 (11,62±1,93)%; pada petak B berkisar 7,66-13,44 (10,09±1,39)%; dan pada petak C berkisar 6,98-13,65 (10,55±1,92)% (Tabel 2). Pola kandungan C-organik seiring dengan fluktuasi kandungan bahan organik total sedimen tambak. Kandungan C-organik yang diperoleh cenderung meningkat seiring dengan lamanya pemeliharaan udang vaname (Gambar 5).

Menurut Avnimelech & Rivto (2001), bahwa akumulasi karbon (C), Nitrogen (N) dan Phosfor (P) yang merupakan bagian nutrien (nutrient budget) di dasar tambak. Kebanyakan bahan yang terakumulasi di dasar tambak/kolam yang telah dipanen mengandung 75 % nitrogen, 80 fosfor dan 25% karbon organik (Avnimelech & Rivto, 2001). Klasifikasi kandungan carbon organik tanah untuk Budidaya Tambak (Boyd et al., 2002) sebagai berikut: kandungan karbon organik >15% (organik tanah), kandungan karbon organik 3,1-15% (mineral tanah, kandungan bahan organik tinggi), karbon organik 1,0-3,0% (mineral tanah, kandungan bahan organik sedang, kisaran yang baik untuk budidaya tambak), karbon organik <1,0% (mineral tanah, kandungan bahan organik rendah)

Hasil penelitian Yunatemiya et al. (2011) pada 7 tambak dengan sistem terbuka diperoleh konsentrasi karbon organik tanah sebesar 1,35±0,81% dibandingan dengan sistem tambak tertutup memiliki kandungan carbon organik tanah 1,77±0,88%. Produksi udang pada tambak sistem terbuka sebesar 3.708±2.342 kg/ha sedangkan pada sistem tertutup produksi udang sebesar 1.719±1.761 kg/ha. terdapat hubungan korelasi yang negatif antara kandungan carbon organik tanah dengan produksi udang budidaya, dimana terdapat kecenderungan penurunan produksi udang dengan semakin meningkatnya karbon organik tanah (r= -0,582; P<0,05).

TN sedimen sebagian bersumber dari sisa pakan, feses dan jasad yang mati dan terikat dalam materi organik. Hasil pengukuran kandungan total N (TN) di sedimen pada ketiga tambak berkisar antara 0,93-2,35%, di mana pada pada petak A berkisar antara 1,38-2,02 (1,67±0,27)%, pada petak B berkisar 1,29-2,35 (1,65±0,39)% dan pada petak C berkisar 0,93-1,97 (1,65±0,36)% (Tabel 2). TN sedimen menunjukkan kecenderungan peningkatan seiring dengan lamanya pemeliharaan udang (Gambar 6). Hal ini dapat mengindikasikan bahwa manajemen pakan kurang optimal sehingga banyak pakan tersisa yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan TN dan TP sedimen. Hal ini terindikasi dari nilai RKP di ketiga petak >1,3. Kandungan N Total sedimen dalam penelitian ini cukup tinggi. Standar optimum kandungan N total pada sedimen tambak untuk budidaya udang adalah

0,40-Gambar 5. Karbon organik % sedimen tambak udang vaname selama pemeliharaan

(9)

0,75% (BSN, 2009). Menurut Riyadi et al. (2008), nilai N-organik sedimen tambak saat pengeringan tambak sebesar 0,10%, kemudian 0,12% saat penebaran benih udang, pada umur 30 hari kandungan N-organik sedimen mencapai 0,15%, kemudian 0,19% pada umur 60 hari dan 0,20% pada saat udang berumur 90 hari.

Menurut Smith & Briggs, (1998), pakan yang diberikan memberikan kontribusi sebesar 78% pada input N, erosi memberikan kontribusi sebesar 16% N. Sedangkan aliran air memberikan kontribusi sebesar 4% dan pupuk, air hujan dan postlarva memberikan kontribusi sebanyak 2% pada kandungan N di sistem. Penyerapan N terjadi pada sediment (24%), udang yang dipanen (18%) dan pembebasan ke air (27%), dan sekitar 30% sisanya merupakan nitrogen yang tidak dapat dihitung, diasumsikan sebagai N yang dilepaskan ke atmosfer sebagai N2 atau ammonia karena adanya proses dekomposisi oleh bakteri di tambak. Akumulasi nitrogen pada tambak memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi perairan tambak.

Hasil pengukuran kandungan total P (TP) di sedimen pada ketiga tambak berkisar antara 0,57-2,11%, di mana pada pada petak A berkisar antara 0,85-2,11 (1,40±0,42)%; pada petak B berkisar 0,76-1,54 (1,23±0,23)%; dan pada petak C berkisar 0,57-1,68 (1,35±0,40)% (Tabel 2). Pola kandungan total fosfor di sedimen terlihat bahwa pada awal pemeliharaan rendah, kemudian pada bulan kedua meningkat dan pada bulan ketiga dan keempat cenderung menurun seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan udang vaname (Gambar 7).Hal ini disebabkan peningkatan pemberian pakan buatan dan pergantian air selama masa pemeliharaan. Masuda & Boyd (1994)

Gambar 6. Kandungan TN sedimen (%) selama pemeliharaan udang vaname

(10)

menemukan sekitar 2/3 phosphat yang diaplikasikan ke tambak dalam makanan terakumulasi di tanah dasar. Mereka juga menunjukkan bahwa sebagian besar fosfat tanah terikat secara kuat dan hanya dalam jumlah kecil yang terlarut dalam air.Tanah tambak bukan merupakan sumber utama dalam air, karena phosphor yang terabsorbsi dari tanah tidak larut (Boyd & Munsiri, 1996) Material organik dalam tambak secara cepat diabsorbsi oleh tanah dan sedikit yang masuk ke air. Tanah yang mempunyai pH hampir netral mempunyai kapasitas lebih kecil mengasobsorbsi phosphor dan mempunyai kecenderungan lebih besar mengeluarkan phosphor dibanding tanah asam atau basa (Boyd,1995). Sumber fosfor pada sistem diperoleh karena adanya input pakan (51%). Sebesar 26% input fosfor diperkirakan dari erosi. Aliran air memberikan kontribusi sebesar 10% P (Smith & Briggs, 1998). Rachmansyah et al. (2006) melaporkan bahwa input phosphorous dalam tambak udang vaname terdiri atas 87,75±0,24% dari pakan; 7,73±0,19% pupuk; 4,05±0,25% inflow dan media probiotik <1%. Sementara komposisi output phosphorous didominasi oleh lumpur 39,03±6,59%; kemudian udang yang dipanen 15,22±0,85% dan outflow 3,09±0,26%.

Selama proses budidaya udang vaname superintensif, TN, TP, dan C organik yang terakumulasi dalam sedimen masing 303 kgTN, 263 kgTP, dan 2.082 kgC untuk petak A, petak B masing-masing 325 kgTN, 253 kgTP, dan 2.042 kgC organik, sementara petak C masing-masing-masing-masing 362 kgTN, 299 kgTP, dan 2.334 kgC organik (Tabel 4).Berdasarkan tabel tersebut terlihat kecenderungan bahwa peningkatan nutrien di dalam sedimen seiring dengan peningkatan kepadatan udang yang ditebar, jumlah pakan yang diberikan dan jumlah total sedimen yang dihasilkan. Hal ini sejalan dengan Lemonnier & Brizard (2001) yang melaporkan adanya korelasi antara tingkat akumulasi sedimen dengan kepadatan akhir udang pada 13 petak tambak di New Caledonia. Suwoyo et al. (2009) mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara jumlah sedimen dengan kepadatan akhir udang vaname dan jumlah total pakan. Kepadatan udang dan jumlah pakan memberikan konstribusi sebesar 58,3% dalam menentukan jumlah sedimen dalam tambak intensif udang vaname, sisanya sebesar 41,7% diterangkan oleh faktor lain.

TN dan TP serta C sedimen merupakan beban limbah budidaya yang terbuang ke lingkungan yang terikat dalam bentuk partikel organik dan sebagian besar merupakan bagian dari beban limbah yang berasal dari pakan dan materi organik yang terbentuk selama proses budidaya. Chien et al. (1989) menyebutkan bahwa sedimen memegang peranan penting dalam keseimbangan sistem akuakultur karena berfungsi sebagai buffer dalam konsentrasi nutrien air. Proses sedimentasi memegang peranan penting dalam mekanisme hilangnya P di tambak sebab lumpur diketahui memiliki afinitas yang kuat untuk phosphorus (Shrestha & Lin, 1996). Tingginya kandungan bahan organik, nitrogen dan phosphor di dalam sedimen, menjadikan sedimen sebagai bahan organik yang potensial untuk pupuk, di mana sebelumnya diperlukan pengurangan kadar salinitas di dalam sedimen itu sendiri.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwaJumlah sedimen yang dihasilkan seiring dengan peningkatan padat penebaran. Jumlah sedimen tertinggi terjadi pada petak C sebesar 21,9

Petak A Petak B Petak C

750 1 1,25

Total sedimen (kg) bobot kering 18,2 20,3 21,9

TN sedimen (kg) 303 325 362

TP sedimen (kg) 263 253 299

C organik sedimen (kg) 2,082 2,042 2,334

Peubah

Padat penebaran (ekor/m2)

(11)

ton diikuti petak B dan A masing-masing 20,3 dan 18,2 ton. Karakteristik sedimen pada ketiga petak tambak yang diamati yakni nilai pH sedimen berkisar antara 5,76-6,43; potensial redoks berkisar antara -393,8 sampai -311,8 mV; kandungan C-organik berkisar 6,98-13,89%; bahan organik total berkisar antara 12,03-24,10; Total N sedimen berkisar antara 0,93-2,35%; dan Total P berkisar antara 0,57-2,11%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada BPPBAP, Maros yang telah mendanai penelitian ini melalui anggaran APBN 2014 Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Keberhasilan penelitian ini sangat ditentukan oleh kerjasama semua pihak. Oleh karena itu, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi disampaikan kepada tim peneliti, teknisi litkayasa, dan analis yang terlibat serta pengelola anggaran yang telah mendukung jalannya penelitian ini dengan sangat baik.

DAFTAR ACUAN

Atjo, H. (2013). Budidaya udang vaname supra-intensif Indonesia. Dipresentasikan pada Launching Budidaya Udang Vaname Supra-intensif Indonesia. Barru, 24 Oktober 2013. MAI-SCI Sulawesi Selatan, 4 hlm.

Avnimelech, Y., Ritvo, G., Meijer, L.E., & Kochba, M. (2001). Water content, organic carbon and dry bulk density in flooded sediments. Aquacultural Engineering, 25(2001), 25-33. doi:10.1016/ S0144-8609(01)00068-1.

Avnimelech, Y., & Rivto, G. (2003). Shrimp and fish pond soil: process and management. Aquaculture 220 :549-567.doi:10.1016/S0044-8486(02)00641-5.

Badan Standardisasi Nasional. [BSN]. (2009). Produksi udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan teknologi sederhana. http://bsn.go.id/ [4 Juli 2011].

Boyd, C.E. (1992). Shrimp Pond Bottom Soil and Sediment Management. P. 166-181. In Wyban, J. (Editor): Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming. Worl Aqaculture Society, Baton Rouge, L.A, U.S.A.

Boyd, C.E. (1995). Bottom Soils, Sediment, and Pond Aquaculture. Chapman and Hall, New York, 348 pp. Boyd, C.E., & Clay, J.W. (2002). Evaluation of Belize Aquaculture, Ltd: A Superintensive Shrimp Aquaculture Systems. Reportprepared under the World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for Public Discussion. Published by the Consortium, 17 pp.

Boyd, C.E., Massaut, L., & Weddig, L.J. (1998). Towards reducing environmental impacts of pond aquaculture. INFOFISH International 2/98, p. 27-33.

Boyd, C.E., Wood, C.W., & Thunjai, T. (2002). Aquaculture Pond Bottom Soil Quality Management. Pond Dynamics/Aquaculture Collaborative Research Support Program Oregon State University, Corvallis, Oregon, p. 1-38.

Budiardi, T. (1998). Evaluasi akumulasi bahan organic, penyiponan dan produksi udang windu (Penaeus monodon Fab). pada budidaya intensif. [tesis]..Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 63 hlm.

Delgado, P.C., Avnimelech, Y., McNeil, R., Bratvold, D., Browdy, C.L., & Sandifer, P. (2001). Physical, chemical and biological characteristics of radially aerated shrimp ponds. Aquaculture, 217(1), 235-248.

Gunarto. (2006). Apakah nilai reduksi dan oksidasi potensial sediment tambak berpengaruh terhadap produksi udang windu di tambak ?. Media Akuakultur, 1(3): 91-96.

Hopkins, J.S., Sandifer, P.A., & Browdy, C.L. (1994). Sludge management in intensive pond culture of shrimp-effect of management regime on water quality, sludge characteristics, nitrogen exiction, and shrimp production. Journal of Aquaculture Engineering 13, 11-13. doi:10.1016/0144-8609/94/ S07.00.

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2014). Statistik Kelautan dan Perikanan 2014. Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 330 pp.

(12)

Lemonnier, H., & Brizard, R. (2001). Number of shrimp crops and shrimp density effects on sediment accumulation on earthen pond bottoms. World Aquaculture Society meeting, January 21–25, 2001, Disney’s Coronado Springs Resort Lake Buena Vista, Florida. Book of Abstracts, 365 pp. Lin, C.K., & Nash, G.L. (1996). Asian Shrimp News, Collected Columns, 1989-1995. Asian Shrimp Culture

Council, Bangkok, Thailand, 312 pp.

Masuda, K and Boyd, C.E. (1994). Phosporous Fraction in Soil and Water Aquaculture Pond Built on Vclayey Utisol at Auburn, Alabama. Journal of Word Aquaculture Society, 25:379-395.doi:1111/j.1749-7345.1994.tb00222.x

Meagaung, W.D.M. (2000). Karakterisasi dan pengelolaan residu bahan organik pada dasar tambak udang intensif [disertasi]. Makassar. Program Pasacasarjana Universitas Hasanuddin, 128 hlm.

Merican, Z.O., & Philips, M.J. (1985). Solid waste production from rain bow trout, Salmo gairdineri, Richardson in cage culture. Aquacult. Fish. Management, 16, 55-70.

Namatra, C., & Wantawin, C. (2006). Characterization of Nutrients Hydrolysis from Shrimp Pond Sediment. The 2nd Joint International Conference on “Sustainable Energy and Environment (SEE 2006). 21-23 November 2006, Bangkok, Thailand. E-30-EP, p. 1-5.

Nirmala, K. (2009). Revitalisasi Tambak Udang: Review Tentang Kualitas Sedimen Tambak. Makalah disampaikan pada Form Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA). Surabaya 23-25 Juni 2009. Pusat Riset Perikanan Jakarta. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta, hlm. 475-483.

Rachmansyah, Usman, & Pongsapan, D.S. (2003). Pendugaan beban limbah dari budidaya bandeng dalam keramba jaring apung di laut. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 9(2), 65-76.

Rachmansyah, Makmur, & Kamaruddin. (2004). Pendugaan Laju Sedimentasi dan Dispersi Limbah Partikel Organik dari Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung di laut. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Edisi Akuakultur, 10(2), 89-99.

Rachmansyah, Suwoyo, H.S., Undu, M.C., & Makmur. (2006). Pendugaan nutrien budget tambak intensif udang vaname, Litopenaeus vannamei. Jurnal Riset Akuakultur, 1(2), 181-202.

Rachmansyah, Susianingsih, E., Mangampa, M., Tahe, S., Makmur, Undu, M.C., Suwoyo H.S., Asaad, A.I.J., Tampangallo, B.R., Septiningsih, E., Safar, Ilham, Rohani, S., Rosni, & Nurjannah. (2013). Laporan Teknis Akhir Kegiatan Pengembangan Budidaya Udang Vaname SuperIntensif di Tambak Kecil. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, 70 hlm.

Riyadi, S., Sulistiyono, D.J., Seri, M., & Darman. (2008). Peningkatan kualitas lingkungan tambak dengan penerapan probion pada budidaya udang. Laporan Kegiatan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau jepara. Tahun 2008, hlm. 193-208.

Shrestha, M.K., & Lin, C.K. (1996). Phosphorus fertilization strategy in fish ponds based on sediment phosphorus saturation level. Aquaculture, 142, 207-219.

Smith, S.J.F., & Briggs, M.R.P. (1998). Nutrient budget in intensive shrimp ponds : implications for sustainability. Aquaculture, 164, 117-133.

Sunarto. (2003). Peranan Dekomposisi dalam Produksi pada Ekosistem di Laut. Pengantar Falsafah Sains. Program Pasca sarjana Institut Pertanian Bogor, 17 hlm.

Suwoyo, H.S., Gunarto, & Rachmansyah. (2009). Studi Sedimentasi dan Kualitas Substrat Dasar Tambak Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Prosiding Seminar Nasional Tahun VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun 2009, Jilid I Budidaya Perikanan. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta, 25 Juli 2009, hlm. RB-04, 1-16.

Suwoyo, H.S., Undu, M.C., & Makmur. 2014. Laju Sedimentasi dan Karakterisasi Sedimen Tambak Super Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur (FITA) 2014. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, hlm. 327-339.

Yuvanatemya, V. (2007). Effect of organic matter concentration on production efficiency of shrimp pond soil. Journal Environmental and Natural Resources, 5, 44-49.

Yuvanatemiya, V., Boyd, C.E., & Thavipoke, P. (2011). Pond Bottom Management at Commercial Shrimp Farms in Chantaburi Province, Thailand. Journal Of The World Aquaculture Society, 42(5), 618-632.doi:10.1111/j.1749-7345.2011.00513.x

(13)

Wyban, J.A., & Sweeny, J.N. (1991). Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute Makapuu Point. Honolulu, Hawai USA, 158 pp.

Gambar

Tabel  1. Laju sedimentasi (g/cm 2 /hr) dan total sedimen tambak udang vaname pola super-intensif
Tabel  2. Karakteristik  sedimen  tambak  udang  vaname(L.vannamei) pola  super-intensif  selama  pemeliharaan
Gambar  3. Redox  sedimen  tambak  udang  vaname  selama pemeliharaan
Gambar  4. Bahan  organik(%)  sedimen  tambak  udang  vaname  selama pemeliharaan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini relevan dengan tekanan anggaran waktu sangat besar akan menyebabkan tingkat stres yang tinggi yang berpengaruh terhadap karakteristik personal auditor

Pengambilan contoh penelitian dilakukan secara purposive di Bagian Produksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dengan pertimbangan bahwa seluruh pekerja pada bagian tersebut adalah

Cost driver ini digunakan untuk membebankan biaya sumber daya yang dikonsumsi oleh akstivitas ke dalam cost pool.. sumber daya yang dikonsumsi oleh akstivitas ke dalam

Jenis penelitian ini adalah eksperimen (true experiment) karena dalam penelitian ini dilakukan perlakuan, yaitu pemberian ekstrak jahe dengan konsentrasi yang berbeda dan

Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan terhadap pengendali fuzzy model ke 1, 2, 3, dan 4 seperti terlihat pada Gambar 17, maka dapat diketahui bahwa pengendali fuzzy

Metode penelitian deskriptif kualitatif penulis jadikan sebagai metode penelitian untuk menganalisis nilai emosi pada tokoh Lail dalam novel Hujan karya Tere Liye

Dermatitis seboroik adalah penyakit papuloskuamosa kronis yang dapat dengan mudah dikenali dan biasanya menyerang bayi dan orang dewasa, sering ditemukan pada

Keadaan ini merupakan komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang menyebabkan kerusakan pada mata dimana secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh