80
KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA BEBERAPA JENIS PATI SAGU(Metroxylonsp.)
Physico-chemical characterization of sago (Metroxylonsp.) starch
Febby J. Polnaya1*, J. Talahatu1, Haryadi2, D.W. Marseno2, H.C.D. Tuhumury 1
1 Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, Jl. Ir. M. Putuhena, Kampus Poka - Ambon 2
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta * e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Pati sagu dalam penggunaannya, sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisiko-kimia. Sampel pati sagu yang dianalisis meliputi Sagu Tuni (Metroxylon rumphii Mart.), Sagu Ihur (M. sylvestre Mart.), Sagu Molat (M. sagu Rott.) dan Sagu Makanaru (M. longispinum Mart.) yang diekstrak segera setelah dilakukan penebangan pohon. Komposisi proksimat menunjukkan bahwa kadar air pati sagu bervariasi antara 12,53-12,96%, kadar abu 0,127-0,137%, lemak 0,155-0,286%, serat kasar 0,011-0,032% dan protein total 0,216-0,265%. Kadar amilosa berkisar antara 35,13-38,65%. Kejernihana pasta pati bervariasi antara 30,21-56,19%T650
dan setelah disimpan selama 5 hari pada suhu 4oC, maka kejernihan pasta turun menjadi 1,73-4,32%T650. Suhu awal gelatinisasi pati sagu berkisar antara
70,5-73,5oC, suhu puncak gelatinisasi 76,5-84oC dan viskositas maksimum 1.008-1.933 BU. SEM menunjukkan bentuk granula pati sagu adalah oval dengan diameter 20-40 μm.
Kata kunci: pati sagu, komposisi proksimat, kejernihan pasta, gelatinisasi
PENDAHULUAN
Molekul pati tersusun atas dua komponen, yaitu amilosa merupakan polisakarida rantai lurus, digabungkan dengan ikatan α-1,4 dan amilopektin merupakan polisakarida rantai bercabang, digabungkan dengan ikatan α-1,4 pada rantai lurus dan percabangannya ikatan α-1,6. Panjang rantai adalah bervariasi tergantung dari sumber botaninya. Berat molekul amilosa relatif lebih kecil, berkisar dari beberapa ribu sampai 500.000 dan larut dalam air, sedangkan amilopektin mempunyai berat molekul lebih besar, serta tidak larut dalam air (Thomas dan Atwell, 1999; Whistler dan Daniel, 1984).
Kandungan amilosa dan amilopektin dalam setiap jenis pati berbeda tergantung pada sumber botaninya. Pada umumnya kandungan amilosa pati berkisar antara 15-20% dan amilopektin 70-85%. Menurut Whistler dan BeMiller (1997), kandungan amilosa pati jagung, kentang dan gandum sekitar 20-30% dan amilopektin 70-80%, sedangkan menurut Pomeranz (1991) kadar amilosa pati sagu adalah 24-27% dan Polnaya dan Talahatu (2007) kadar amilosa 27,64%.
Granula pati adalah padatan yang membulat, tersusun dari molekul-molekul berantai lurus dan bercabang yang teratur dengan arah jari-jari seperti kerang yang konsentrik. Granula pati ini membentuk bangunan dengan susunan sebagai berikut: a) susunan teratur amilosa dengan arah jari-jari; b) daerah amorf terdiri atas amilopektin; dan c) daerah kristalin tersusun atas molekul-molekul
81
amilosa. Bagian luar rantai yang lurus pada amilopektin juga dapat membentuk susunan kristalin (Meyer, 1982). Molekul-molekul berantai lurus membentuk daerah kristalin yang kompak sehingga susah ditembus air, enzim dan bahan kimia. Sebaliknya daerah amorf lebih mudah ditembus (French, 1984).
Pati yang berasal dari sumber yang berbeda menunjukkan karakter yang berbeda untuk distribusi ukuran granula, bentuk, kandunga amilosa dan lemak, distribusi panjang rantai amilopektin dan struktur kristalinitas.
Pati sagu diisolasi dari empelur sagu (Metroxylon spp.). Jenis pohon sagu di Maluku terbagi atas jenis berduri dan tidak berduri. Jenis berduri yaitu: a) M. rumphii Mart. (nama daerahnya “Lapia Tuni”), warna pati putih; b) M. sylvestre Mart. (nama daerahnya “Lapia Ihur”), pati berwarna kemerah-merahan; c) M. longispinum Mart. (nama daerahnya “Lapia Makanaru”); d) M. microcanthum Mart. (nama daerahnya “Lapia Duri Rotan”; dan jenis tidak berduri yaitu: e) M. sagu Rott. (nama daerahnya “Lapia Molat”), pati berwarna putih (Louhenapessy, 1992).
Pati sagu atau di Maluku lebih dikenal dengan nama ”sagu mentah” biasanya digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan makanan tradisional seperti sagu lempeng, bagea, serut, sagu mutiara dan lain-lain, serta belakangan ini, pati sagu sudah dikembangkan menjadi pati sagu kering dan digunakan untuk pembuatan berbagai macam kue kering maupun kue basah. Jika dibandingkan dengan tanaman penghasil pati lainnya, maka sagu merupakan sumber pati yang murah dan juga mempunyai beberapa sifat penting seperti mudah tergelatinisasi, mempunyai viskositas yang sangat tinggi apabila dieskstrak dengan baik.
Tujuan penelitian adalah untuk mengkarakterisasi sifat fisiko-kimia empat jenis pati sagu di Pulau Ambon, Maluku dan menentukan informasi tentang sifat-sifat fisiko-kimia pati sagu.
METODE Bahan
Bahan penelitian ini meliputi empat jenis pati sagu yaitu Sagu Ihur, Sagu Molat dan Sagu Tuni dan Sagu Makanaru yang berasal dari Pulau Ambon. Bahan kimia yang digunakan adalah amilosa murni, NaOH, etanol, asam asetat, iodin berasal dari Riedel-de Haën, buffer pH berasal dari Merck, bahan kimia lainnya dan akuades. Semua bahan kimia yang digunakan adalah puree analysis.
Alat
Alat yang digunakan untuk ekstraksi pati berupa mesin parut, wadah/baskom, ember plastik, blender elektronik (Phillips), kain saring 100 mesh, pisau dan ayakan 100 mesh. Peralatan yang digunakan untuk pengujian sifat fisiko-kimia meliputi hot air oven (Memmert), timbangan analitik (AdventurerTM Ohaus), hot plate stirer (Barnstead Thermolye Cimarec) dan magnet, desikator, spektrofotometer (Shimadzu UV-1800), cawan porselen, tanur, sentrifus (Centrifuge PLC Series), penangas air (Memmert), refigerator (Sharp), brabender amylograph, SEM JSM-5310-LV dan alat-alat gelas untuk analisis.
Ekstraksi Pati Sagu
Metode yang digunakan untuk ekstraksi pati dapat dilihat pada Gambar 1. Tahapan proses pembuatan pati sagu yaitu batang sagu dipotong-potong dalam
82
ukuran yang lebih kecil yang bertujuan untuk memudahkan pemarutan. Hal ini dimaksudkan untuk merusak jaringan empelur agar pati mudah keluar. Kemudian dilanjutkan dengan proses ekstraksi yang bertujuan untuk memisahkan pati dengan ampas.
Peremasan dilakukan memberi tekanan pada parutan agar pati keluar dari jaringan dengan menambahkan air pada perbandingan 1:4 dengan frekuensi ekstraksi sebanyak 3 kali. Hasil ekstraksi dibiarkan selama 1 jam sampai pati mengendap. Setelah endapan pati dihasilkan, maka selanjutnya dilakukan pencucian dengan air dan filtrasi untuk mendapatkan pati yang bersih dari kotoran. Pencucian dan filtrasi diulang sebanyak 3 kali. Tahap terakhir adalah pengeringan pati basah dengan membiarkan pada suhu kamar selama 5 jam, selanjutnya dikeringkan pada pengering kabinet pada suhu sekiktar 40-45°C sampai kadar air ±12%. Pati yang berbentuk bongkah dan tidak seragam hasil pengeringan dapat segera digiling untuk mendapatkan ukuran pati yang seragam. Selanjutnya dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayak berukuran 100 mesh.
Gambar 1. Bagan alir ekstraksi pati sagu
Scanning Electron Microscopy
Scanning Electron Micrographs (SEM) ditentukan dengan menggunakan JSM-5310-LV dengan prosedur pati langsung ditabur di atas stub, kemudian di coating menggunakan Au atau emas selama 7 menit, kemudian langsung diamati menggunakan SEM. Pemarutan Ekstraksi Pengendapan Pati Sagu Pengeringan 40oC
Pati Sagu Kering Penggilingan Pengayakan (100 mesh) Pati Sagu Air Ampas Air Susu Pati Filtrasi Empelur Sagu 3 kali Pengendapan
83
Analisis ProksimatAnalisis proksimat meliputi kadar air, kadar abu, lemak, serat kasar dan protein mengikuti metode AACC (1995). Protein ditentukan dengan mengestimasi nitrogen total dengan menggunakan faktor konversi 6,25.
Penentuan Kadar Amilosa
Kadar amilosa ditentukan dengan metode AOAC (1984).
Viscogram
Sifat amilografi pasta pati diukur menggunakan Brabender Amilograf seperti dikemukakan oleh Subarna et al. (2000), sebagai berikut: konsentrasi dispersi pati yang digunakan 45 g pati dalam 450 mL akuadest. Suhu awal pengukuran adalah 30oC dan kecepatan kenaikan suhu 1,5oC/menit. Variabel yang diukur adalah suhu awal gelatinisasi (SAG), suhu gelatinisasi maksimum (SGM) dan viskositas maksimum (VM).
Kejernihan Pasta Pati (Metode Craig et al., 1989 dalam Singh et al., 2004)
Dibuat suspensi pati dengan konsentrasi 2% (w/v) dan dipanaskan pada penangas air dengan suhu 90oC selama 30 menit sambil digojog. Suspensi didinginkan hingga suhu ± 30oC, kemudian simpan selama lima hari, suhu 4oC. Transmitansi (%T650) diukur pada spektrofotometer UV-Vis. pada panjang
gelombang 650 nm. Sebagai blanko digunakan akuadest.
HASIL DAN PEMBAHASAN Scanning electron microsopy
SEM menunjukkan bahwa pati sagu berbentuk oval dengan diameter 20-40
μm. Ukuran granula pati sagu yang cukup besar, mengakibatkan ikatan hidrogen antara molekul pada rantai yang berdampingan pada lebih mudah putus selama pemanasan. Menurut Phillips dan Williams (2000), bentuk granula pati sagu adalah oval, elips dan kadang-kadang bulat, komponen yang besar sering membentuk kerucut dengan ujung yang datar dan mempunyai ukuran diameter 15-65 μm. Tidak terdapat perbedaan antara granula keempat jenis sagu (Gambar 2).
Gambar 2. SEM untuk pati sagu: a) ihur; b) molat; c) tuni; dan d) makanaru (perbesaran 1.500×)
a
b
c
d
84
Komposisi ProksimatKomposisi proksimat dari sampel pati sagu ditunjukkan pada Tabel 1. Kadar air pati sagu berkisar antara 12,53-12,96% dan cocok digunakan sebagai pati komersial. Jika dibandingkan dengan beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa kadar air pati sagu 12,54 (Polnaya dan Talahatu, 2007) dan pati sagu 12-21 (Wattanachant et al., 2002). Kadar abu pati sagu berkisar antara 0,127-0,137% dan lebih rendah dibandingkan kadar abu pati keladi adalah 2,29-2,65% (Lawal, 2004). Kadar abu pati ubi kayu adalah 0,02-0,49% (Rickard et al., 1991), pati sagu adalah 0,179% (Polnaya dan Talahatu, 2007), pati sagu 0,1-16% (Wattanachant et al., 2002). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar abu keempat jenis pati yang diteliti dapat diterima sebagai produk komersial.
Kadar lemak pati sagu menunjukkan nilai yang rendah, dengan kisaran 0,155-0,286%, sementara untuk pati pati ubi jalar adalah 0,006-0,26 (Tian et al., 1991; Woolfe, 1992); pati ubi kayu 0,02-0,49 (Rickard et al., 1991); pati keladi 0,39 (Pacheco dan Medina, 1992); pati sagu 0,1-0,3 % (Wattanachant et al., 2002).
Tabel 1. Komposisi proksimat pati sagu
Pati Kadar air
(%) Kadar Abu (%) Lemak (%) Serat kasar (%) Protein total (%) Ihur 12,53 0,127 0,155 0,022 0,265 Molat 12,77 0,137 0,253 0,032 0,216 Tuni 12,96 0,133 0,249 0,011 0,238 Makanaru 12,65 0,130 0,286 0,028 0,228 Pati juga mengandung 0,011-0,032% serat kasar, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Wattanachant et al. (2002) yaitu serat kasar pati sagu adalah 0,08-0,5% dan relatif sama dengan pendapat Asaoka et al. (1991) untuk serat kasar pati ubi kayu yaitu 0,01-0,029%.
Protein total untuk pati sagu berkisar antara 0,216-0,265%. Kisaran yang relatif sama juga dikemukakan oleh Wattanachant et al. (2002) untuk pati sagu yaitu 0,1-1,0% protein, dan oleh Lawal (2004) untuk pati keladi yaitu 0,1-0,22% protein.
Amilosa pati sagu
Kadar amilosa pati sagu ditunjukkan pada Tabel 2. Rata-rata kadar amilosa pati sagu berkisar antara 35,13-38,65%. Kadar amilosa tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Polnaya dan Talahatu (2007) yaitu sebesar 27,64%; Pomeranz (1991) yaitu sebesar 24-30%; Kawabata et al. (1984), Sim et al. (1991) dan Howling (1980) yaitu sebesar 22-31,7%.
Kandungan amilosa granula pati bervariasi menurut sumber biologis pati tersebut dan juga dipengaruhi oleh kondisi iklim dan tipe tanah selama pertumbuhan tanaman (Singh et al., 2004). Variasi kandungan amilosa dari sumber tanaman yang berbeda maupun yang sama tapi varietasnya berbeda dari beberapa data hasil penelitian disebabkan karena prosedur isolasi pati berbeda dan metode analisis yang digunakan untuk menentukan kandungan amilosa juga berbeda. Selain itu, proses ekstraksi pati sagu dan pengeringan yang dilakukan segera
85
setelah penebangan pohon memungkinkan tidak terjadi kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas mikrobia selama proses pencucian dan pengendapan.
Tabel 2. Kadar amilosa pati sagu
Pati Amilosa (%) Ihur 35,13 Molat 38,27 Tuni 37,34 Makanaru 38,65 Sifat amilografi
Sifat amilografi untuk pati sagu ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil yang relatif sama juga ditunjukkan oleh Polnaya dan Talahatu (2007) untuk pati sagu yaitu SAG 72,38 oC, SPG 75,38 oC. Tetapi untuk viskositas maksimum (1008-1933 BU), menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Polnaya dan Talahatu (2007) yaitu 350 BU, ataupun Cecil (1986) yaitu 960 BU. Hal ini dapat disebabkan karena proses ekstraksi pati sagu dan pengeringan yang dilakukan segera setelah penebangan pohon memungkinkan tidak terjadi kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas mikrobia selama proses pencucian dan pengendapan.
Tabel 3. Viscogram pati sagu
Pati SAG (oC) SPG (oC) Viskositas maksimum (BU)
Ihur 70,5-72 76,5-78 1907-1922
Molat 72 79,5 1008-1010
Tuni 72-73 76,5-79 1717-1723
Makanaru 73,5 84 1880-1933
Keterangan: SAG = suhu awal gelatinisasi, oC; SPG = suhu puncak gelatinisasi, oC
Kejernihan pasta pati sagu
Kejernihan pasta pati sagu ditunjukkan pada Tabel 4. Kejernihan pasta pati sagu lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Polnaya dan Talahatu (2007) yaitu sebesar 24,68% dan Polnaya dan Rumapar (2006) sebesar 25,35%. Kejernihan pasta berhubungan langsung dengan keadaan dispersi suspensi pati dan kecenderungan terjadinya retrogradasi pati. Menurut Phillips dan Williams (2000), pati sagu alami memberikan warna gel yang buram.
Tabel 4. Kejernihan pasta pati sagu
Pati Kejernihan Pasta
(%T650)
Kejernihan Pasta (%T650),
setelah disimpan 5 hari, 4oC
Ihur 35,59 1,73
Molat 30,21 4,32
Tuni 56,19 1,91
86
Setelah pasta pati sagu disimpan selama 5 hari pada suhu 4oC, terjadi penurunan tingkat kejernihan pasta pati yang sangat drastis sampai mencapai < 5%. Penurunan % transmitansi juga dikemukakan oleh Polnaya dan Rumapar (2006), yaitu terjadi penurunan dari 25-35% menjadi 19,22%. Penurunan yang cukup drastis ini disebabkan karena tingginya kadar amilosa pati sehingga proses retrogradasi lebih cepat terjadi. Menurut Lawal (2004), bahwa % transmitansi pati mengalami penurunan dengan meningkatnya waktu penyimpanan.
KESIMPULAN
Komposisi proksimat menunjukkan bahwa kadar air pati sagu bervariasi antara 12,53-12,96%, kadar abu 0,127-0,137%, lemak 0,155-0,286%, serat kasar 0,011-0,032% dan protein total 0,216%-0,265%. Kadar amilosa berkisar antara 35,13-38,65%. Kejernihana pasta pati bervariasi antara 30,21-56,19%T650 dan
setelah disimpan selama 5 hari pada suhu 4oC, maka kejernihan pasta turun menjadi 1,73-4,32%T650. Suhu awal gelatinisasi pati sagu berkisar antara
70,5-73,5oC, suhu puncak gelatinisasi 76,5-84oC dan viskositas maksimum 1.008-1.933 BU. SEM menunjukkan bentuk granula pati sagu adalah oval dengan diameter 20-40 μm.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada DP2M DIKTI yang telah memberikan dana bantuan penelitian melalui Program Hibah Pekerti Tahun 2008.
DAFTAR PUSTAKA
[AACC] American Association of Cereal Chemists. 1995. Approved methods of the American Association of Cereal Chemists (9th ed.) St. Paul, Minnesota, USA: American Association of Cereal Chemist.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. 14th ed. AOAC Inc. Arlington. Virginia.
Asaoka, M., J.M.V. Blanshard, and J.E. Rickard. 1992. Effect of cultivar and growth season on the gelatinization properties of cassava (Manihot esculenta) starch. J. Sci. Food Agric. 59:53-58.
Cecil, J.E. 1986. Increasing profits from sago processing. Pp. 112-120 in The development of the sago palm and its products. Report of the FAO/BPPT consultation, Jakarta, Indonesia, 16-21 Januari 1984. FAO, Rome.
French, D. 1984. Organization of Starch Granules. In: Whistler, R.L., J.N. BeMiller and E.F. Paschall. Starch Chemistry and Technology, 2nd ed. Academic Press, Inc.: Orlando, Florida.
Howling, D. 1980. The influence of the structure of starch on it’s rheological properties. Food Chem. 6:51-61.
87
Kawabata, A., S. Sawayama, N. Nagasihma, R.R. Rosario, and M. Nakamura. 1984. Some physicochemical properties of tropical starches. J. Jpn. Soc. Starch. Sci. 31:224-232.
Lawal, O.S. 2004. Composition, physicochemical properties and retrogradation characteristics of native, oxidized, acetylated and acid-thined new cocoyam (Xanthosoma sagittifolium) starch. Food Chem. 87:205-218.
Louhenapessy, J.E., 1992. Sagu di Maluku: Potensi, Kondisi Lahan dan Permasalahannya. Prosiding Simposium Sagu Nasional, Ambon, 12-13 Oktober 1992. p:135-149.
Meyer, L.H. 1982. Food Chemistry. The Avi Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.
Pacheco, F.E.P. and M.R.M. Medina. 1992. Starch extraction from Xanthosoma saggittifolium. Trop. Sci. 32:203-206.
Phillips, G.O., and P.A. Williams, 2000. Handbook of Hydrocolloids. Boca Raton, Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC.
Polnaya, F.J. dan F. Talahatu. 2007. Karakterisasi pati sagu hidroksipropil. Eugenia 13(4):335-345.
Polnaya, F.J. dan M. Rumapar. 2006. Perlakuan kimiawi untuk meningkatkan kejernihan pasta pati sagu termodifikasi. Buletin Penelitian BIAM 2(48):19-24.
Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. (2nd ed.). Academic Press, Inc. p.24-78.
Rickard, J.E., M. Asaoka, and J.M.V. Blanshard. 1991. The physicochemical properties of cassava starch. Trop. Sci. 31:189-207.
Sim, S.L., C.G. Oates, and H.A. Wong. 1991. Characterization and comparison of sago starches obtained from Metroxylon sagu processed at different times. Starch 43:459-466.
Singh, N., D. Chawla, and J. Singh. 2004. Influence of acetic anhydride on physicochemical, morphological and thermal properties of corn and potato starch. Food Chem. 86:601-608.
Subarna, S. Koswara, D.R. Tirtasujana, D. Tresnakusumah, S. Dewi, dan A.W. Permana. 2000. Ekstruksi, Pemanggangan, dan Penggorengan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tian, S.J., J.E. Rickard, and J.M.V. Blanshard. 1991. Physicochemical properties of sweet potato starch. J. Sci. Food Agric. 57:459-491.
Thomas, D.J., and W.A. Atwell. 1999. Starch, Handbook Series. Eagan Press. St. Paul, Minnesota, U.S.A.
Wattanachant, S., S.K.S. Muhammad, D.M. Hashim, and R.Abd. Rahman, 2002. Suitability of sago starch as a base for dual-modification. Songklanakarin J. Sci. Technol. 24(3):431-438.
88
Whistler, R.L., and J.N. BeMiller. 1997. Carbohydrate Chemistry for Food Scientists. Eagan Press. St. Paul, Minnesota, U.S.A.
Whistler, R.L., and J.R. Daniel. 1984. Molecular Structure of Starch. p:153-182. In: Whistler, R.L., J.N. BeMiller, and E.F. Paschall. Starch Chemistry and Technology, 2nd ed. Academic Press, Inc.: Orlando, Florida.
Woolfe, J.A. 1992. Sweet potato: an untapped food resource. Cambridge University Press, Cambridge, p 643.