• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAJALAH HUKUM NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAJALAH HUKUM NASIONAL"

Copied!
285
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Nomor 1 Tahun 2007

ISSN 0126-0227

MAJALAH

HUKUM

NASIONAL

(3)
(4)

MAJALA~~UKUM N~-Al

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

Nomor 1 Tahun 2007

Pelindung

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Dewan Redaksi

Penanggungjawab Syaiful Watni, S.H.

Redaktur Suradji, S.H., M.H.

Penyunting/Editor 1. Sri Badini Amidjojo, S.H., M.H.

2. Dr. Jeane Neltje Saly. S.H., M.H. 3. Sulastri Helmi, S.H.

Redaktur Pelaksana 1. Tana Mantiri, S.H., M.H.

2. Mugiyati. S.H., M.H. 3. Omen, S.H. Sekretariat 1. Lukino, S.H. 2. Sutriya 3. Sahadi 4. Haryanto 5. Supardjo Penyelenggara

Pusat Dokumentasi dan lnformasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Rl Jalan Mayjen Sutoyo - Cililitan

Telepon (021) 8091908; 8002192 Faksimile (021) 80871742

(5)
(6)

KATA PENGANTAR DEWAN REDAKSI

Pembinaan hukum nasional merupakansalah satu tugas pemerintah yang diserahkan kepada Departemen Hukum dan ~ak Asasi Man usia Republik Indonesia, yang kemudian dijadikan tugas pokok dan fungsi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi tersebut, BPHN telah menyelenggarakan berbagai kegiatan, salah satu diantaranya adalah pertemuan ilmiah. Dalam setiap pertemuan diundang para pakar dari berbagai disiplin ilmu, khususnya dari bidang kajian ilmu hukum. Para pakar menyampaikan gagasan dan pemikirannya secara langsung dalam forum serta menuangkannya dalam suatu makalah yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.

Untuk meningkatkan dayaguna berbagai gagasan dan pemikiran dari para pakar tersebut, BPHN berupaya menerbitkannya dalam Majalah Hukum Nasional. Di sisi lain mengingat lembaran majalah sangat terbatas, maka tidak mungkin semua makalah yang disampaikan dalam setiap per:temuan dapat diterbitkan. Oleh karena itu, Dewan Redaksi Majalah Hukum Nasional memilih 18 (delapan belas) makalah untuk dijadikan materi muatan dalam Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2007.

Penerbitan majalah ini dimaksudkan untuk menambah kuantitas khazanah informasi hukum, dan selanjutnya akan disebarluaskan ke semua Anggota Jaringan Dokumentasi dan lnformasi Hukum Nasional yang ada di pusat dan daerah. Dengan demikian isi majalah tersebut dapat dimanfaatkan oleh semua pihak, khususnya kalangan pemerhati bidang hukum.

Akhirnya, kepada yang terhormat para penulis makalah dan semua pihak yang berperan aktif dalam penerbitan majalah ini, kami ucapkan terima kasih.

(7)
(8)

DAFTAR lSI

Halaman Kata Pengantar Dewan Redaksi ... ,... vii Daftar lsi ... .

0

Ratifikasi Konveksi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi dan lmplikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia

Oleh: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M ... .

(!)

Amandemen UUD 1945 dan lmplikasinya Terhadap Arah Kebijakan Pembangunan Hukum Nasional

ix

1

Oleh: Prof. Dr. Ismail Sunny, S.H., M.C.L. ... 15 '_

@

Harapan dan Tantangan lmplementasi Undang-Undang No.1

Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

Oleh: Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja, S.H ... · 35

h \

Kedudukan dan Peran Hukum Islam Dalam Sistem Hukum

CJ

Nasional Saat ini dan Arah Kecenderungannya di Masa Datang Oleh : Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. ... 41 Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Pereko-nomian dan lnvestasi

Oleh: Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, S.H., LL. M ... .

~Arah

Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Penyeleng-garaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Hubungan Kewenangan Antara Pusat dan Daerah)

Oleh: Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein ... .

~

Transparansi dan

Pertanggun~jawaban Ti~dakan

Pemerintah

Oleh: Prof. Dr. H. Dahlan Tha1b, S.H., M.S1 ... .

r&\

Kapabilitas Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menjalankan

V

Mekanisme "Check and Balances" Dalam Hubungan Antara Eksekutif dan Legislatif

Oleh: Prof. (Em) Dr. T. Sri Soemantri Mertosuwignya, S.H ...

63

~ 105 l 115~ 127

(9)

l;;

Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Kesejah-/ teraan Rakyat, Sosial dan Budaya: Mewujudkan Negara

Sejahtera Republik Indonesia di Bawah Ridho Tuhan Yang Maha Esa

Oleh: Prof. Dr. H. M. Tahir Azhar, S.H. ... 139

@)

Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil

· Amandemen Dari PerspektifProgram Legislasi Nasional '~· Oleh: Dr. H. Bomer Pasaribu, S.H., S.E., M.S... 155 11. Arbitrase dan Kepailitan Dalam Sistem Ekonomi Syariah

Oleh: Dr. Syamsudin Manan Sinaga, S.H., M.H. ... 171 /

f~erspektif

dan Upaya Yang Dilakukan Dalam Perjanjian

V

Bantuan Timbal Balik Mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang,

(Money Laundering)

Oleh: Dr. Yunus Husein .. ... ... ... 183

@

Peranan Hukum Adat Dalam Aplikasi Kehidupan Berbangsa

dan Bernegara /

Oleh: Dr. H. Abdurrahman, S.H., M.H. ... 189

c·4)

Penyelesaian Sengketa Niaga di Pengadilan Negeri Sebagai

~- Cikal Penyelesaian Sengketa Niaga Syariah di Pengadilan Agama

Oleh: Ny. Andriani Nurdin, S.H., M.H. ... 207

@

Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam

Perspektif Legislatif

Oleh: lr.Agus Hermanto, M.M. ... 215

~

Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Pembangunan

/ Sosial dan Ekonomi: Tinjauan Dari Aspek Hukum

Olen: M. Daud Silalahi ... 223 E)Pengembalian

~set

Kejahatan

K~rupsi

Oleh: I Ktut Sud1harsa, S.H., M.S1. ... 233

'

r~

lmplikasi Putusan Bebas Dalam Perspektif HakAsasi Manusia

' ( ] (Telaah Terhadap Permasalahan Korupsi dan Illegal Logging)

(10)

RATIFIKASI KONVENSI PERSERIKATAN

BANGSA-BANGSA MENENTANG KORUPSI DAN

· IMPLIKASINYA TERHADAP SISTEM

HUKUM PIDANA INDONESIA*

0/eh: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M.1

PENDAHULUAN

Konvensi PBB Menentang Korupsi (UN Convention Against Cor-ruption) telah diadopsi oleh Sidang Majelis Umum PBB dalam

resolusi-nya Nomor 58/4 tanggal31 Oktober 2003, dan terbuka untuk ditanda-tangani di Merida Mexico dari tanggal 9 Oesember sampai dengan tanggal 11 Oesember 2003. Kovensi ini telah ditandatangani oleh 116 negara dan telah diratifikasi oleh lebih dari 15 negara. Konvensi ini didahului oleh dua konvensi terkemuka yang dikeluarkan oleh Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (Organization of Council of Europe=OCOE) yaitu, Criminal Law Convention on Corruption, yang

telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002, dan Civil Law Covention on Corruption, yang telah berlaku efektif tanggal 1 November 2003 dan

telah diratifikasi oleh 21 (dua puluh satu) negara Uni Eropa. Selain itu, negara-negara yang tergabung dalam Uni Afrika telah menghasilkan suatu, Africa Union Convention on Preventing and Combating Cor-ruption, yang ditetapkan di Addis Ababa pad a tanggal 18 - 19

Septem-ber 2002. Pada bulan Maret tahun 2006 pemerintah telah meratifikasi Konvensi PBB Men~ntang Korupsi tahun 2003 (KMK, 2003) dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Korupsi -UN Convention Against Corruption.

Karakteristik dan substansi KMK 2003 mencerminkan gabungan dua sistem hukum, "Civil Law" dan "Common Law" yang diwakili oleh kurang lebih 120 (seratus dua puluh) perwakilan negara anggota PBB.2

* Makalah disampaikan pads Seminar Tentang lmplikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap

Sistem Hukum Nasional diselenggarakan oleh BPHN Departemen Hukum dan HAM Rl beke~asama

dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan KantorWilayah Departemen Hukum dan HAM Rl Provinsi Bali, Bali 14-15 Junl2006

1 GURU BESARHUKUM PIDANAINTERNASIONALUNPAD/KETUA FORUM 2004

2 Penulis juga adalah alternate Head of Delegation Rl dalam sidang Prep-Com pembahasan draft Konvensi PBB 2003 di Wins sejak tahun 2000 s.d. tahun 2002.

(11)

Perpaduan dua sistem hukum sebagai sistem hukum mayoritas dalam penyusunan KMK 2003 sudah tentu memiliki karakteristik khas dan ketentuan-ketentuan tertentu yang tidak lazim digunakan baik dalam sistem hukum "Common Law" maupun dalam sistem hukum "Civil Law" sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.

Pasca ratifikasi KMK 2003 oleh pemerintah Indonesia sudah tentu merupakan agenda penting dalam peninjauan kembali dan revisi terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001.

Karakteristik yang khas dari KMK 2003 adalah, telah terjadi peru-bahan paradigma yang signifikan dalam strategi pemberantasan korupsi dalam kerangka kerjasama internasional. Perubahan paradigma tersebut telah diakui oleh peserta sidang preparatory-committee (Prep-Com)

yaitu:

1. bahwa, masalah korupsi dalam era globalisasi3 bukan lagi merupakan masalah nasional akan tetapi merupakan masalah internasional sehingga pemberantasannya tidak dapat dilaksanakan hanya oleh satu negara melainkan memerlukan kerjasama internasional;

2. bahwa masalah korupsi memiliki multi aspek, aspek hukum, HAM, pembangunan berkelanjutan; kemiskinan; keamanan dll (lihat power point);

3. bahwa strategi penindakan/penghukuman (represif) bukanlah

satu-satunya strategi yang ampuh dalam pemberantasan korupsi melainkan diperlukan juga strategi pencegahan (preventif), dan strategi pemulihan aset hasil korupsi (asset recovery) sebagai

suatu terobosan besar (major breakthrough);

4. bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi bukan hanya monopoli penegakan hukum pidana yang dilandaskan pada penuntutan (con-viction) semata-mata melainkan juga dapat dilaksanakan dengan

hukum keperdataan (civil procedure);

5. bahwa sistem beban pembuktian konvensional tidak selalu ampuh dalam pemberantasan korupsi sehingga sistem beban pembuktian terbalik merupakan suatu alternatif solusi yang diharapkan mampu

3 Korupsi termasuk salah satu kejahatan transnasional organized crime dan diaturdalam Konvensi Palermo, korupsi termasuk salah satu ancaman dari 6 (enam) golongan ancaman dunia saat ini Report of the Secretary-General's High-level Panel on Threats. Challenge and Change: A more secure world: Our shared Responsibility; United Nations, 2005; p 23.

(12)

memoenKan hasil yang optimal terutama dalam pengembalian aset hasil korupsi.

Ratifikasi oleh pemerintah Indonesia terhadap KMK 2003, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama internasional; kedua, dengan komitmen tersebut maka dorongan kuat terhadap negara lain termasuk yang dianggap non-kooperatif dalam pengembalian aset hasil korupsi dari Indonesia, untuk duduk bersama Indonesia membahas masalah tersebut; ketiga, langkah pemerintah Indonesia untuk mencegah dan mengembalikan aset hasil korupsi di negara lain, juga akan menjadi bagian dari agenda kerjasama internasional dalam pemberantasan korupsi secara global (PBS); keempat, dengan ratifikasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia mampu melaksanakan langkah pemberantasan korupsi sendiri dan tetap menghormati KMK 2003 dalam perspektif kedaulatan hukum NKRI; dan kelima, langkah ratifikasi KMK 2003 merupakan langkah strategis untuk menciptakan iklim bisnis di Indonesia dengan memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha beritikad baik dari persaingan usaha tidak sehat dan sarat dengan muatan KKN.

Dampak lain dari ratifikasi terhadap eksistensi dan integritas kelembagaan yang terlibat dalam pemberantasan korupsi adalah, memberikan dorongan kuat kepada pemerintah untuk melakukan reformasi total terhadap birokrasi saat ini. Saat ini masih ada ketidaksamaan persepsi dan penafsiran dari lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dan masih ada dua yurisdiksi yang berbeda satu sama lain dalam penanganan kasus korupsi yaitu pengadilan negeri di satu sisi dan pengadilan tipikor di sisi lain. Melalui perombakan tersebut diharapkan muncul satu bahasa hukum yang sama dan penafsiran hukum yang tidak berbeda antara lembaga penegak hukum sehingga terdapat kesatuan pandangan dan langkah yang jefas dalam menentukan arah pemberantasan korupsi di masa yang akan datang.

Dampak positif lain dan ratifikasi adalah, mendorong Pemerintah Indonesia untuk menyusun format, sistematika dan substansi laporan kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia untuk diajukan setiap akhir tahun kepada Conference of the Parties (COP), suatu lembaga

pemantau di bawah bandera PBS, yang bertugas mengkompilasi dan mengklarifikasi laporan setiap Negara peratifikasi serta melakukan

(13)

inventarisasi hambatan-hambatan pelaksanaan konvensi di masing-masing negara tersebut. Berdasarkan laporan dan klarifikasi tersebut COP menyampaikan laporannya dan rekomendasi kepada Sekjen PBB.4 Kesimpangsiuran perilaku penegak hukum satu sama lain dan kecurigaan yang terbentuk hanya karena arogansi sektoral harus segera dihilangkan dari pikiran-pikiran penegak hukum di dalam pemberantasan korupsi.

Ratifikasi akan menempatkan posisi pemerintah Indonesia sejajar dengan negara lain dalam konteks pemberantasan korupsi yang bersifat transnasional at au bahkan sebaliknya sang at tergantung dari prakondisi sebagaimana diuraikan di atas.

Dalam posisi sedemikian itulah kiranya pemerintah sejak saat sekarang harus sudah mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mulai duduk bersama negara lain membahas pengembalian aset hasil korupsi di Indonesia yang mengendap di luar negeri. KMK 2003 telah menyediakan ketentuan-ketentuan khusus mengenai kerjasama internasional yang selama ini seialu menjadi hambatan yang signifikan dengan negara lain apalagi negara yang ditengarai non-kooperatif. Perjanjian regional dan bilateral yang sudah ditandatangani segera harus diratifikasi, termasuk Asean Mutual Legal Assistance Treaty (AMLA,T's,} tahun 2004 dengan 5 (lima) negara ASEAN di

samping Indonesia.

Dalam konteks kerjasama internasional pemberantasan korupsi pasca ratifikasi, maka penentuan Kantor Pusat Pengendalian Kerjasama internasional (Central Authorithy) memegang posisi strategis ~~rena lembaga ini menentukan kerberhasilan atau kegagalan implementasi kerjasama internasional tersebut. Penentuan lembaga mana yang akan ditunjuk menjadi CA pasca ratifikasi Konvensi PBB 2003 sangat penting untuk masa depan kerja sama internasional khusus dalam pemberantasan korupsi. Penetapan CA harus memperhitungkan kondisi dan iklim, bukan hanya internal kementerian yang ditunjuk, melainkan juga iklim koordinasi antar instansi di Indonesia yang saat ini masih berisiko tinggi dan sering bermasalah. Contoh yang sudah dialami adalah lolosnya koruptor ke luar negeri sehingga menyutitkan

4 Beberapa tugas COP yang panting untuk dipertimbangkan secara serius adalah: "reviewing periodically the implementation of this Connvention by the State Partied"(e); dan "Making recommendations to improve this Convention and its implementation"(f) [Pasal 63 UNCAC, 2003]. Kedua tugas COP tersebut potensial berdampak politis yang dapat "merugikan" kepentingan negara peserta yang tidak dapat memenuhi rekomendasi tersebut.

(14)

pengembalian aset hasil korupsi; salah satu penyebab utama karena tidak ada koordinasi yang maksimal dan kinerja yang profesional dan aparatur penegak hukum atau instansi yang bertanggung jawab untuk tugas tersebut. Klausul "undue-delay" atau "within reasonable time"5

dalam setiap kerjasama internasional turut menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam pelaksanaannya. Kebiasaan kinerja birokrasi yang terbukti sering lamban dan kurang profesional menangani permintaan bantuan dari negara lain untuk kerjasama penegakan hukum terutama dari sisi manajemen administrasi harus segera dihentikan karena dalam kaitan ini berlaku prinsip resiprositas; suatu prinsip timbal balik yaitu jika ada keseriusan dan komitmen nyata dan menguntungkan bagi negara peminta maka sudah tentu kelak akan berbuah yang sama, kecuali sebaliknya.

SUBSTANSI PENTING KONVENSI PBB 2003 DAN IMPLIKASINYA BAGI UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN KORUPSI Dl INDO-NESIA

Konvensi PBS tahun 2003 (UNCAC, 2003) merupakan perjanjian internasional (treaty-based crimes) yang mengutamakan prinsip-prinsip kesamaan kedaulatan, prinsip integritas nasional dan prinsip non-intervensi (lihat Pasal 4). Ketentuan ini mencerminkan bahwa implementasi konvensi ini oleh setiap negara peserta tidak boleh melanggar prinsip-prinsip tersebut di atas. Contoh dalam upaya pemerintah Indonesia mengembalikan aset-aset hasil korupsi di In-donesia dan Singapura dan dari negara lain seharusnya ditempuh jalur diplomatik terlebih dulu sebelum jalur penegakan hukum langsung

(direct enforcement) melalui pihak Kejaksaan Agung atau Kepolisian karena kompleksitas masalah hukum pengembalian aset tersebut.

Ketentuan Pasal 4 tersebut di atas sangat relevan dengan keten-tuan mengenai kerjasama internasional (Bab IV) dalam Konvensi PBS tersebut yang mengatur mengenai berbagai bentuk kerjasama internasional, dan ketentuan dalam Bab V tentang Asset Recovery serta ketentuan mengenai Freeze, Seizure and Confiscation (Art. 31, Bab Ill tentang Criminalization and Law Enforcement) terutama aset yang berada di luar negeri. Sehubungan dengan ini, dapat diambil

5 Dalam kasus ekstradisi, ketentuan Pasal44 butir 11 UNCAC: "A State Party ... be obliged to submit the case with undue delay to its competent authorities for the purpose of prosection". Dalam kasus an exceptional case, advance notice is not possible, the receiving State Party shall inform the transmitting State Party of the disclosure without delay·.

(15)

contoh Perjanjian AMLA (Asean Mutual Legal Assistar:ce Treaty)B tahun 2004 telah ditandatangani oleh 6 (enam) negara anggotaASEAN termasuk Indonesia, dapat dijadikan landasan hukum regional untuk segera mewujudkan kehendak pemerintah mengembalika~ aset-aset hasil korupsi yang terjadi sejak era Suharto dan era reformasi sampai saat ini terutama kasus BLBI. Perjanjian ini tampak lebih efektif sekalipun juga tidak mudah dan kompleksitas masalah hukum yang cukup signifikan untuk pengembalian aset hasil korupsi. Apalagi dalam perjanjian tersebut dilampirkan daftar sejumlah kejahatan termasuk korupsi dan pencucian uang yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tersebut.

Perjanjian AMLA 2004 tersebut, masih ada kelemahan yang signifikan dilihat dari sisi terminologi hukum perjanjian yaitu, pada bagian sope of the treaty, ditegaskan kalimat, "may include" dan seterusnya sehingga kalimat tersebut merupakan "batu kerikil" yang tajam dan dapat 'menggagalkan upaya pengembalian aset hasil korupsi atau pencucian uang yang merupakan target pemerintah Indonesia terhadap Negara-negara yang non-kooperatif dalam kaitan ini. Ketentuan mengenai perjanjian ekstradisi (lihat Pasal 44) seperti, prinsip "dual

criminality".tidak lagi merupakan prinsip yang mengikat (kalimat, "State Party whose law so permits may grant the extradition ... of a person for any offences ... that are not punishable under its own domestic law";

Pasal 44 butir 2). Selain hal tersebut, terobosan hukum terhadap prinsip umum ekstradisi juga dilakukan terhadap negara yang masih mengadopsi prinsip nasionalitas seseorang yang dimintakan ekstradisi (lihat Pasal 44 butir 11 dan 12). Ketentuan tersebut memberikan kelonggaran terhadap negara yang menganut prinsip nasionalit~s untuk segera (undue delay) menyerahkan seseorang warganya yang dimintakan ekstradisi ke Negara peminta (requested state party) dengan syarat tertentu atau "conditional extradition". Namun demikian suatu perjanjian ekstradisi tidak menjamin efektivitas penyerahan tersangka

6 Pemerintah Indonesia telah "UU Payung" {Umbrella Act) tentang Mutual Legal Assistance Trpaty atau Bantuan Timbal Balikdalam masalah pidana Ieiah diundangkan di dalam UU Rl Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantu an Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Di dalam ketentuan mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana, UNCAC tidak lagi menganut prinsip "du.al criminality" secara mutlak di mana negara pihak dalam UNCAC jika dianggap perlu dapat melaksanakan bantuan timbal balik tersebut tanpa berpegang kepada prinsip tersebut Pasal 9 {a) UNCAC menegaskan:• A requested State Party, in respoding to a request for assistance .• .in the absence of dual criminality, shall take into account the purposes of this Convention, as set forth in article 1 . ." (b) State Party may decline (non-mandatory obligation, pen.) to render assistance pursuant to this article on the ground of absence of dual criminality."

(16)

dari satu negara ke negara lain. Kasus ekstradisi Hendra Rahardja dari Australia ke Indonesia merupakan contoh konkret bahwa Berdasarkan pengamatan penulis, implementasi perjanjian ekstradisi dari Australia ke Indonesia belum pernah menguntungkan pihak Indonesia, bahkan sebaliknya. 7 Prinsip untuk tidak mengekstradisi dengan alasan tindak

pidana pajak tidak lagi merupakan hal yang menghalangi ekstradisi (Pasal 44 butir 16). Bentuk kerjasama internasional yang baru dari Kovensi PBS 2003 adalah, "transfer of sentenced person" (TSP) [Pasal 45), dan "Transfer of criminal proceeding" (TCP) [Pasal 47]. 8 Pasal45

bersifat non-mandatory provision ("may consider"), dan Pasa147 bersifat mandatory provision ("shall consider').

Dalam kaitan dengan ketentuan Pasal 4 mengenai State Souvereignty ini kiranya perlu diperhatikan penggunaan prinsip-prinsip non-intervensi yang kaku yang justru menghambat kerjasama internasional terutama dalam menghadapi korupsi skala nasional dan menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat suatu negara. Dalam pemburuan aset hasil korupsi sedemikian maka menjadi kewajiban setiap negara peserta untuk memberikan bantuan penuh tanpa kecuali terhadap negara peminta (requesting state) baik dalam rangka pe~anjian bantuan hukum timbal balik maupun dalam rangka permintaan ekstradisi.

Berdasarkan hal tersebut maka dapat dipastikan bahwa, keber-hasilan kerjasama internasional (bilateral atau multilateral), pada khususnya kerjasama dalam hal pengembalian aset hasil korupsi atau karena tindak pidana pencucian uang sangat tergantung bukan pada kesempurnaan rumusan dalam Undang-undang Pemberantasan Korupsi pasca ratifikasi Konvensi PBS 2003, melainkan sangat ditentukan oleh strategi dan teknik diplomasi para pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia atau hubungan baik antara pemerintah. Indo-nesia dengan pemerintah negara lain. Kondisi ini belum lagi memperhitungkan kondisi internal dan lintas kementerian atau instansi

7 Pemerintah Indonesia dan Australia sudah menandatangani pe~anjian ekstradisi dan disahkan dengan UU Nomor 8 tahn 1994 TLN 3565

8 Pasal 45:" State Parties may consider entering into bilateral or multilateral agreements or arrangements on the transfer to their territory of persons sentenced to imprisonment or other forms of deprivation of liberty for offences established in accordance with this convention, in order that they may complete their sentence there".

Pasal47: "State Parties shall consider the possibility of transferring to one another proceedings for the prosecution of an offence ... in cases where such transfer is considered to be in the interest of the proper administration of justice, in particular cases where several jurisdictions are involved, with a view to concentrating the procsecution".

(17)

penegak hukum saat ini di lndonesia9

, dan keterbatasan anggaran

perjalanan dinas luar negeri bagi aparatur penegak hukum.

Kriminalisasi tindak pidana baru dalam Ko"nvensi PBB 2003 telah · membedakan antara "bribery in the public sector" (Pasal 15) dan "bribery in the private sector' (Pasal21 ). Hal ini menunjukkan keterkaitan

erat hubungan antara peran sektor publik dan sektor swasta dalam masalah korupsi yang semakin meningkat dan berdampak buruk terhadap penampilan dan kinerja pemerintah di sebagian besar negara berkembang.

Laporan penjelasan mengenai Criminal Law Convention

menyebutkan 2 (dua) pertimbangan dimasukkannya kriminalisasi tindak pidana korupsi di sektor swasta ke dalam konvensi ini, yaitu: pertama, bahwa korupsi di sektor swasta telah melemahkan nilai-nilai seperti, kepercayaan, loyalifas yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan hubungan sosial dan ekonomis. Sekalipun dampak negatif kepada korban tidak tampak nyata akan tetapi korupsi di sektor swasta menimbulkan akibat kerugian kepada masyarakat sehingga perlindungan atas persaingan sehat perlu dilakukan.

Kriminalisasi korupsi di sektor swasta justru bertujuan memulihkan kepercayaan dan loyalitas di dalam memelihara hubungan sosial dan ekonomi suatu negara. Kedua, terdapat teori yang dapat dijadikan justifikasi atas kriminalisasi tersebut, yaitu teori, "interdependence of others". Berdasarkan teori ini, seluruh sub-sistem sosial saling

mempengaruhi secara timbal balik termasuk nilai-nilainya. Atas dasar itu maka mustahil kiranya pemberantasan korupsi dilakukan di satu sektor sementara itu juga mengabaikan kegiatan yang sa rna di sektor yang lain. Oleh karena itu hambatan-hambatan di sektor ekonomi dan regulasinya akan berdampak terhadap system social yang lain seperti,

di sektor politik dan administrasi. Bertolak dari pernyataan teori di atas maka pemberantasan korupsi melalui peraturan perundang-undangan di bidang persaingan usaha hanya akan melemahkan seluruh institusi pemberantasan korupsi. 1o

9 Koordinasi lintas lnstansi penegak hukum dan Kementerian Hukum dan HAM san gat menentukan keberhasilan pe~anjian ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana khususnya berkaitan.

10 Albin Eser/ Michael Kubicil, "Institutions against Corruption: A Comparative Study ofthe National Anti-Corruption Strategies reflected by GRECO's First Evaluation Round"; Nomos; 2005, page

(18)

Sekalipun telah ada justifikasi sebagaimana diuraikan di atas tampaknya negara peserta dalam negosiasi proses penyusunan konyensi inl masih ragu-ragu untuk menyatakan secara tegas bahwa, korupsi di sektor swasta merupakan "mandatory obligation". Di dalam

Pasal 21 dirumuskan kalimat "shall consider adopting". Sedangkan

untuk kriminalisasi suap pejabat publik, di dalam pasal 15 dirumuskan dengan kalimat "shall adopt".

Kriminalisasi penting lainnya adalah perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment).11 Kriminalisasi perbuatan memperkaya diri sendiri, yang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri justru telah mempersempit lingkup tindak pidana korupsi yang sudah diatur di dalam Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999. Berkaitan dengan krimi-nalisasi tersebut, unsur kerugian Negara dalam UU Nomor 31 tahun 1999, oleh Konvensi PBB 2003 tidak lagi sebagai unsur penting. Hal ini terlihat dari bunyi ketentuan Pasal 3 butir 2 Konvensi PBB 2003 mengenai "scope of application" yang menegaskan bahwa, "For the purpose of implementating this Convention, it shall not be necessary except otherwise stated herein. For the offence ... to result in damage or harm to State property".

Ketentuan ini memerlukan kajian seksama dan mendalam dari para ahli hukum pidana ketika pemerintah diwajibkan mengadopsi ketentuan konvensi tersebut di atas ke dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi dan harus mengubah UU Nomor 31 tahun 1999 juncto UU Nomor 20 tahun 2001. Pertama, apakah unsur kerugian negara (State-loss) masih dapat diper:tahankan pasca ratifikasi konvensi

tersebut, sedangkan rumusan Pasal 3 bersifat mandatory (wajib)?;

kedua, apakah ketentuan mengenai, "illicit enrichment" sebagai suatu

tindak pidana yang berdiri sendiri dapat menggantikan rumusan Pasal 2 UU Nomor 31 tahun 1999 tersebut sehingga dapat digunakan sistem pembalikan beban pembuktian melalui jalur keperdataan (civil convic-tion) dan bukan hanya tergantung kepada "criminal conviction"?12 Sis~em

11 Pasal20: " ... each State Party shall consider adopting ... to establish as a criminal offence, When committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public offcial that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her unlawful income·. 12 Mengenai pemballkan beban pembuktian ini, kasus "Hongkong Bill of Rights Ordinance 1991",

merupakan contoh yang tepat. Dalam undang-undang ini, section 10 ditegaskan: "any person who, being or having been a public servant, (a) maintains a standar of living above that which is commensurate with his present or past official emoluments; or (b) is in control of pecuniary resources or property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives a satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources or property came under his control, be

(19)

pembalikan beban pembuktian terbalik melalui jalur keperdataan ini juga digunakan di beberapa negara.13 Pembuktian dengan cara tersebut

berpandangan, bahwa: "confiscation is not regarded as a penalty but as a "compensating measure" aimed at depriving the of-fender of what he or she has acquired illegally and therefore, has no right to possess. Its purpose is to replace the offender in the same situation (economically) as that in which he or she was before the offence was committed". Prosedur pembuktian seperti ini berbeda dengan penyitaan sebagai akibat putusan pengadilan dalam perkara pidana. Model baru dalam proses pembuktian ini selayaknya dipertimbangkan sebagai bag ian penting dalam perubahan undang-undang pemberantasan korupsi pasca ratifikasi Konvensi 2003. Kriminalisasi lain yang penting dan perlu dipertimbangkan secara serius adalah dimasukkannya tindak pidana pencucian uang ke dalam konvensi (Pasal23). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pencucian uang "conditio sine qua non"terhadap korupsi, sehingga dalam posisi sedemikan itu pemerintah setiap negara peserta berkewajiban menetapkan kedua perundangan tersebut dalam sistem hukum pidana nasionalnya. Bagi Indonesia posisi tersebut memerlukan peninjauan kern bali menengenai kedudukan dan hubungan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah oleh UU Nomor 20 tahun 2001, dan Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 yang telah diubah oleh UU Nomor 25 tahun 2003 satu sama lain.

guilty of an offence". UU tersebut dianggap bertentangan dengan ICCPR di dalam konstitusi Hongkong. Pengadilan Tinggi Hongkong, berpendapat bahwa, sebelum terdakwa membuktikan asal usul kekayaannya yang jauh melebihi penghasilannya; jaksa penuntut umum harus membuktikan "beyond reasonable doubt", status pegawai negeri tersebut, standar hid up yang bersangkutan selama penuntutan dan penghasilan resmi yang diterimanya selama itu; dan juga harus dapat membuktikan bahwa, kehidupan yang bersangkutan tidak dapat dijangkau oleh penghasilannya itu.Apabila penuntut umum dapatmembuktikannya seluruhnya, maka kewajiban terdakwa unluk menjelaskan bagaimana yang bersangkutan dapat hidup mampu dengan kekayaanya yang ada, a tau bagaimana kekayaannya berada di bawah kekuasaannya. Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa, dengan proses acara seperti ilu, maka tidak ada pertentangan dengan konstitusi karen a yang bersangkutan sudah diberikan haknya untuk menjelaskan dan jaksa penuntut umum sudah diwajibkan untuk membuktikan hal-hal tersebut; sistem pembuktian seperti ini, disebut, sistem "balance probabilities", bukan sistem pembalikan beban pembuktian

murni, tetapi menu rut penulis" sis tern pembalikan be ban pembuktian terbatas". Sistem ini sudah digunakan sejak diundangkannya (JU Nom or 3 tahun 1971 sampai dengan UU Nomor 31 tahun 1999: hanya mekanisme hukum acara untuk implementasi pasal tersebut belum diaturdi dalam HukumAcara Pidana yang berlaku (KUHAP) atau di dalam undang-undang dimaksud. Kovensi 2003 memberikan alternatifsolusi hukum baru, yaitu dengan memasukkan prosedurkeperdataan dalam menerapkan pembalikan beban pembuktian dengan melalui proses penyitaan perdata

(civil forfeiture); narnun demikian seluruh bukti-bukti yang diperoleh melalui proses ini tidak

dapat dijadikari alat bukti dalam proses penuntutan pidana.

13 Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope and Oliver Stolpe, "Legal Provisions to Facilitate the Gathering of Evidence in Corruption Cases: Easing the Burden of Proof"; page 24-25 (unpub-lished).

(20)

Praktik penegakan hukum terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi yang menarik perhatian masyarakat luas dan bersifat transna-siona!14, aparatur penegak hukum sering menghadapi kesulitan dalam melaksanakan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi dalam kaitan dengan pencucian uang hasil korupsi.15 Kesulitan tersebut

berdampak terhadap efisiensi dan efektivitas kerjasama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di negara lain. Masalah hukum yang muncul adalah, pertama, sejauh mana kemung-kinan pengaturan kedua tindak pidana tersebut di dalam satu perundang-undangan yang sama, dan apakah kewenangan penyidikan akan dilimpahkan kepada satu lembaga penegak hukum saja atau tetap kepada dua lembaga yang berbeda. Masalah kedua, kemungkinan menggunakan sistem beban pembuktian terbalik atau pembalikan beban terbalik (onus of proof/reversal burden of proof).

Kriminalisasi lain di dalam konvensi yang dipandang penting adalah,

"trading in influence"yang merupakan tindak pidana baru dalam lingkup

pemberantasan korupsi. "trading in influence" didefinisikan suatu

perbuatan yang dilakukan dengan sengaja: menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang akan terjadi (or undue advantage) kepada seorang pejabat publik

atau orang lainnya dengan tujuan agar pejabat publik tersebut atau orang lain tersebut, "abuse his or he real or supposed influence with

a view to obtaining from an administration or public authorithy of the State Party an undue advantage for the original instigator of the act or for any other person". Ketentuan ini dibedakan antara perbuatan

yang bersifat aktif dan perbuatan yang bersifat pasif.

Bandingkan ketentuan tersebut di atas dengan definisi, "bribery of national public officials": " .. when committed intentionally: (a) to promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another

14 Sifat transnasional dari tindak pidana adalah: (a) conduct affecting more than one state;(b) conduct including or affecting of citizens of more than one state: and (c) means and methods transcend nation; boundaries (dikutip dari Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana lnternasional; Refika Aditama, Bandung; 2003)

15 Setiap tindak pidana korupsi (dan tindak pidana lain yang berhubungan dengan keuangan) mutatis mutandis merupakan tindak pidana pencucian uang. HukumAcara Pidana (KUHAP) dan hukum acara khusus di dalam Undang-undang Nom or 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tidak mengatur secara khusus hukum acara yang dapat digunakan untuk melakukan penuntutan terhadap kedua tindak pidana tersebut dalam satu surat dakwaan, dan bagaimana ketentuan hukum pembuktiannya. Dari laporan lebih dari 5000 s/d tahun 2006. hanya 10 (sepuluh) perkara yang dilimpahkan ke pengadilan, dan 3 (tiga) diantaranya sudah memperoleh putusan pengadilan.

(21)

person or entity, in order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties"(article 15). Masalah

hukum dari dua ketentuan ini adalah bagaimana secara teknis hukum dalam pembuktian membedakan antara menyalahgunakan pengaruh dan tidak menjalankan tugas dan kewajibannya. Sekalipun ketentuan tersebut bersifat mandatory ("Shall consider'? akan tetapi harus dicermati dan dikaji secara teliti merumuskan unsur-unsur tindak pidananya.

Kriminalisasi lain yang relevan dengan situasi pemberantasan korupsi di Indonesia adalah, "obstruction of justice" (Art. 25), dihubungkan dengan ketentuan mengenai "protectio of witnesies, expert and vic-tims" (Art. 32).

Konvensi memerlukan ketentuan yang dapat mencegah terjadinya hambatan atau inefisiensi atau inefektivitas proses penyidikan dan peradilan terhadap tindak pidana korupsi. Masalah yang sering terjadi di negara berkembang pada umumnya, dan pada khususnya di Indo-nesia dalam praktik pemberantasan korupsi, adalah, justru aparatur penegak hukum yang melakukan "obstruction of justice", di sam ping dilakukan oleh organisasi kejahatan atau kelompok masyarakat tertentu. Ketentuan Pasal 25 khusus ditujukan untuk melindungi seseorang yang akan memberikan kesaksian atau melindungi aparatur penegak hukum termasuk hakim dan penasihat hukum dari gangguan atau ancaman atau serangan pihak lain, akan tetapi ketentuan konvensi tersebut belum dapat menjangkau fakta yang telah penulis uraikan di atas. Masalah hukum yang timbul apakah masih diperlukan UU tentang Perlindungan Saksi, Ahli atau Korban tersendiri atau diatur dalam ketentuan tersendiri dan lengkap di dalam UU Pemberantasan Korupsi yang baru.

Di dalam bagian mengenai Kriminalisasi dan Penegakan hukum (Bab Ill) Konvensi memasukkan ketentuan mengenai "Cooperation with law enforcement authorities" (Pasal 37). Ketentuan ini relevan dengan wacana yang dilontarkan oleh pihak Kejaksaan Agung baru-baru ini mengenai perlindungan terhadap tersangka koruptor yang telah kooperatif dalam proses penyidikan dan penuntutan dalam kasus korupsi. Ketentuan dalam Pasal 37 bersifat "mandatory obligation" (butir 1) yang ditujuan untuk mendorong agar mereka yang melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi untuk menyampaikan informasi penting kepada pihak berwenang yang dapat dijadikan bukti untuk melaksanakan penuntutan. Bahkan dalam butir 2 ditegaskan kewajiban

(22)

negara peserta untuk mempertimbangkan kemungkinan mengurangi hukuman dalam kasus tertentu atau memberikan pembebasan dan penuntutan (butir 3) terhadap tersangka korupsi yang memberikan bantuan yang substansial kepada penyidik/penuntut umum. Dalam pembaruan UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 ketentuan ini memerlukan kajian yang serius dan mendalam. Wewenang Jaksa Agung untuk menghentikan penuntutuan demi kepentingan umum sesuai dengan UU Kejaksaan Rl, dan substansi ketentuan Pasal109 ayat (2) dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP16 belum dapat menjangkau ·

substansi ketentuan Pasal 37 UNCAC, 2003.

UNCAC, 2003 juga menegaskan bahwa, diperlukan peningkatan kerjasama intemasional ketika korupsi sudah bersifat transnasional terutama untuk tujuan pengembalian aset hasil korupsi (Bab V). Pasca ratifikasi Konvensi PBS tersebut, dalam hal implementasi kerja sama internasional, pemerintah telah menyiapkan Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, dan UU nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Ratifikasi Konvensi PBS 2003 berdampak nasional dan interna-sional. Dampak nasional adalah diperlukannya memperkuat jalur koordinasi lintas sektoral bidang penegakan hukum di bawah

supervise Central Authorithy yang ditunjuk pemerintah. Selain

koordinasi, diperlukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yang berlaku saat ini, dan peraturan perundang-undangan mengenai kelembagaan yang berkaitan dengannya.

2. Bentuk tindak pidana baru di dalam Konvensi PBS 2003 tersebut memerlukan kajian khusus disesuaikan dengan sistem hukum pidana Indonesia yang masih mempertahankan prinsip-prinsip kepastian hukum semata-mata dan pendekatan represif-recovery dengan menitikberatkan pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara akan tetapi telah tidak mempertimbangan kerugian pihak ketiga beritikad baik yang menderita kerugian karena tindak pidana korupsi (termasuk suap).

16 Pasal1 09 KUHAP: ayat (2); KUHAP "Dalam hal penyidik menghentikan penyidikin karen a tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada tersangka atau keluarganya". Pasal140 ayat (2) KUHAP:" Dalam hal penuntut menghentikan penyidikan karen a tidak terdapat cukup bukti a tau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penuntutan dihentikan demi hukum, rnaka penuntutumum memberitahukan kepada pengadilan."

(23)

3. Bagian.penting dari implementasi Konvensi PBB 2003 ke dalam sistem hukum pidana nasional adalah peninjauan kembali terhadap ketentuan hukum acara yang berlaku saat ini dalam penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana korupsi, yaitu KUHAP 1981 dilengkapi oleh beberapa ketentuan di dalam UU Nomor 31 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002.

4. Peningkatan kerjasama internasional (bilateral/multilateral) dengan negara-negara lain harus dilaksanakan melalui beberapa bentuk perjanjian internasional yang dibolehkan menurut Konvensi PBB 2003. Peningkatan kerjasama tersebut menuntut reformasi birokrasi seluruh instansi terkait dalam pemberantasan korupsi.

5. Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi yang telah disusun antar departemen dengan ratifikasi memerlukan kajian khusus terutama berkaitan dengan upaya meningkatkan kerjasama internasional dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi yang bersifat transnasional.

(24)

AMANDEMEN UUD 1945 DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP ARAH KEBIJAKAN

PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

*

0/eh : Prof. Dr: Ismail Suny, S.H., M.C.L.

**

Latar Belakang

Undang-undang Dasar Republik Indonesia telah mengalami penggantian-penggantian mendasar setelah mengalami tiga kali penggantian Undang-Undang Dasar, dari Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku pada 18 Agustus 1945 sampai 26 Desember 1949, Undang-Undang Dasar 1949 yang berlaku 27 Desember 1949 sampai 16 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar 1950 mulai berlaku pad a 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 menetapkan tidak berlakunya Undang-Undang Dasar 1950 dan berlakunya lagi Undang-Undang Dasar 1945.1

Undang-Undang Dasar 1945 yang telah didekritkan sejak 5 Juli 1959 itu setelah mengalami penggantian dengan Undang-Undang Dasar 1949 dan Undang-Undang Dasar 1950 berlaku lagi pada 5 Juli 1959. Sampai 10 Agustus 2002 Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami em pat kali amandemen, yaitu sejak amandemen pertama tahun 1999, amandemen kedua tahun 2000, amandemen ketiga tahun 2001 dan amandemen keempat tahun 20022.

Dapat dipersoalkan, apakah masih tepat menamakan perubahan--perubahan dari sejak amandemen pertama sampai amandemen keempat itu dengan penamaan Amandemen. bukan Penggantian Undang-Undang Dasar. Amandemen UUD 1945 mencakup sejumlah materi, sehingga hampir 3 kali lipat jumlah materi muatan naskah UUD

• Makalah disampaikan pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen diselenggarakan oleh BPHN Depatemen Hukum dan HAMR Rl, Jakarta 29-31 Mei

2006.

** Guru Besar Emiritus Hukum Tata Negara Yang Pertama Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sa-Indonesia.

1 Lihat Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Suatu Penyelldikan Dalam Hukum Tata

Negara. Jakarta: Aksara Baru, 1986. Cet. Ke 6.

2 Ismail Suny, KajianAtas Perubahan UUD 1945 dalam Jurnalllmu Pemerintahan, Edisi 17 Tahun

(25)

1945. Jika naskah asli UUD 1945 sebelumnya hanya memuat 71 butir ketentuan, maka setelah em pat kali perubahan, saat itu jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun nama yang dipakai masih tetap UUD 1945, tetapi dari materi muatannya UUD 1945 pasca amandemen keempat tahun 2002, sa at ini boleh dikatakan merupakan konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi "Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945."

Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan ketentuan-ketentuan yang sangat penting yang telah kita lakukan dengan amandemen-amandemen itu. lni bukan berarti telah tercapai kesem-purnaan dalam amandemen-amandemen itu. Oleh karena di waktu amandemen-amandemen itu dilakukan bunyi Pasal 37 naskah asli UUD 1945 adalah masih sangat rigids3, seperti berikut:

1. Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/ 3 daripada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir.

2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yang hadir.

Bayangkanlah kesulitan mencari kesatuan pend a pat di antara 700 anggota MPR dengan 12 fraksi-fraksinya itu.4

1. PEMBUKAAN

Sekurang-kurangnya 2 masalah yang dapat dikatakan "too hot to

touch"sangat panas untuk disentuh dalam pembicaraan-pembicaraan

amandemen UUD 1945, yaitu pembukaan (preambule) UUD 1945 dan bentuk Negara Kesatuan Indonesia ialah negara kesatuan. Mengenai pembukaan semua fraksi dapat menyetujui tetap sebagai bunyi pembukaan naskah asli UUD 1945.

Dalam alinea pertama pembukaan, ditekankan peri-kemanusiaan yang merupakan inti hak asasi manusia dan diuraikan lebih lanjut dalam sepuluh ketentuan hak asasi manusia dalam Bab XA. Dalam alinea pertama ditekankan pula peri-keadilan yang menjadi inti dari negara hukum yang diundangkan dalam Bab I, pasal1 ayat (3) negara

3 KC. Whearae, Modem Constitution, London: Oxford University Press. 1951. 4 Lihat Ismail Suny. Kajian Atas Perubahan UUD 1945, op.cit.

(26)

Indonesia adalah negara hukum. Pasal 24 UUD 1945 menguraikan lebih lanjut dalam ayat (1 ): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam alinea kedua, pembukaan mengundangkan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemedekaan negara Indonesia, yang mereka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dalam alinea ketiga pembukaan dihubungkan dengan hal yang bersifat religius. Atas berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bangsa yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerde-kaannya.

Alinea keempat pembukaan mengundangkan tujuan nasional dan tujuan internasional pemerintah negara Indonesia dengan kata-kata bersayap: Untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan keseiahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan. perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Alinea keempat itu selain memuat Tujuan Nasional dan Tujuan lnternasional pembentukan negara Indonesia dan mengundangkan bentuk negara dalam suatu susunan negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat (demokrasi), juga mengundangkan dasar negara Pancasila, yaitu : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Kemanusaiaan Yang Adil Dan Beradab. 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan serta 5. Dengan Mewujudkan Suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. ·

(27)

II. BENTUK DAN KEDAULATAN

Bentuk: Negara Kesatuan

Dari sekian ban yak penggolongan bentuk negara dalam teori-teori ketatanegaraan, Prof. Hans Kalsen berpendapat jika bagaimana tata hukum, legal order diciptakan yang dijadikan kriterium, maka lebih tepatlah untuk membedakan bentuk negara : Demokrasi atau Otokrasis. Dan ia memberi definisi masing-masing sebagai berikut: Suatu negera disebut suatu negara demokrasi bila prinsip-prinsip demokratis yang paling menentukan dalam organisasi-organisasinya dan suatu negara dinamakan suatu negara otokratis bila prinsip-prinsip otokratis yang paling menentukan.

UUD negara Republik Indonesia tahun 1945 telah menyatakan bahwa bentuk negaranya adalah Kerakyatan atau Demokrasi. Amat sedikit pemimpin-pemimpin politik yang secara terus terang berani menyatakan bahwa mereka tidak menerima demokrasi. Hampir setiap negara, bagaimanapun sistem politiknya, mengklaim bahwa bentuknya adalah demokratis, tetapi kata benda "demokrasi" itu dikualifisir dengan ekspresi-ekspresi seperti "basic", "giuded", "paternal", "tradisional" atau

'people" sehingga kualitasnya "tyrannical" dan "authoritarian'16

Pas a I 1 ayat (1) mengundangkan negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Lawan dari negara kesatuan adalah negara federasi.

Dalam buku saya Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, saya menjelas-kan karakteristik suatu negara Federal dengan mengambil kriteria Prof. K.C. Wheare yang mengatakan: "asas federal adalah keseimbangan. kekuasaan-kekuasaan sedemikian rupa hingga baik pemerintah pusat, maupun pemerintah bagian-bagian, dalam suasana tertentu satu sama lain berderajat sam a serta bebas terhadap satu sam a lain."

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal1 ayat (1) menetapkan: "Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik" dan berdasarkan Pasal 18, Pasal 18 ayat (1) UUD Rl Tahun 1945, negara kesatuan itu dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,

5 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, h. 284, Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi

Pancasila, Jakarta: Aksara Baru, 1984, cet. Ke-5.

6 Dell Gillete Hitchner and Carol Levine, Comparative Government and Polities, h. 25, Ismail Suny

(28)

yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota ini mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

Selanjutnya Pasal18 ayat (2) menyebutkan: Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (desentralisasi). Dalam ayat (3) disebutkan: Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan dalam ayat (4) dinyatakan: Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemilihan secara demokratis itu telah diperinci dalam pasal 56 ayat 1: "Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil".

Pembagian urusan pemerintahan daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal10 ayat (1), pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerin-tahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah (pusat). Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan-pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

Urusan pemerintahan (pusat) yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana yang dimaksud pad a ayat (1) meliputi:

a. Politik luar negeri. b. Pertahanan. c. Keamanan. d. Yustisi.

e. Moneter dan fiskal nasional, dan f. Agama.

Selanjutnya ayat (4) menyatakan: dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah menyelenggarakan sendiri dan dapat melimpahkan sebagian urusan

(29)

kepada perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada urusan pemerintahan daerah dan atau pemerintah.desa. Sedangkan dalam ayat (5) disebutkan: dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemerintah dapat: a. Menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan.

b. Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku wakil pemerintah, atau

c. Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/ atau pemerintahan desa berdasarkan atas tugas pembantuan Dengan pasal5 di atas, dim ana urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah pusat dapat menyerahkannya kepada gubernur selaku wakil pemerintah dan menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintah desa berda-sarkan atas tugas pembantuan. ltu berarti "kekuasaan yang selebihnya"

(residuary power) diserahkan kepada pemerintah pusat, bukan pada

pemerintah daerah. Dengan demikian ini berarti bahwa dalam pembagian kekuasaan menuju kearah unitarisme bukan kearah federalisme.

Mutatis mutandis pasal 37 UU No. 32 tahun 2004 yang menetapkan pad a ayat (1) yang menetapkan gubernur yang karen a jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi yang bersangkutan. (2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ), gubernur bertanggungjawab kepada presiden. Di sini lagi-lagi terbukti bahwa bukan kepada rakyatnya di daerahnya saja gubemur juga bertanggungjawab kepada presiden, sekurang-kurangnya dalam kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah7

.

Bentuk Republik

"Bentuk negara baru", kata seorang ahli sejarah konstitusi bang sa lnggris6, "yang dibangun oleh kaum revolusioner yang berhasil, dengan

sendirinya semua berbentuk republik". Demikian pula pembentuk-pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 yang revolusioner itu telah

7 Lihat Ismail Suny, RUU tentang PemerintahanAceh, Masukan Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum, Pan sus RUU tentang PemerintahanAceh, Ruang Komisi II DPR-RI, 28 Februari 2006. 8 JohnAHawgood, Modern Constitutions Since 1987, New York: D van Nostrand Company, 1939,

(30)

menetapkan dalam pasal 1 ayat (1) "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik".

Kedaulatan Rakyat

Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menganut asas kedaulatan rakyat (volksouvereiniteit). Sendi negara itu tercantum dalam pasal1 ayat (2): Kedaulatan berada di tang an rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam naskah asli UUD 1945 pasal ini berbunyi : Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuh-nya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

UUD negara Republik Indonesia tahun 1945 mengundangkan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menu rut Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat 2). Ajaran kedaulatan yang qianut dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 adalah kedaulatan yang pada umumnya ditafsirkan sebagai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara9

Dalam UUD 1945 setelah amandemen terdapat beberapa pasal dalam hubungannya dengan kedaulatan rakyat ini. Pasai6A menetapkan presiden dan wakil presiden dipilih dalam pasangan secara langsung oleh rakyat. Pas a I 19 ayat ( 1) menetapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. Pasai22C ayat (1) menetapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum, pasal 22 E ayat (2) menetapkan pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Negara Hukum

Berbeda dengan naskah asli UUD 1945, yang tidak menempatkan negara hukum dalam pembukaan atau batang tubuh UUD 1945, tetapi dalam penjelasan UUD 1945. Demokrasi didasarkan atas jaminan rule of law, sebagai lawan rule by decree di bawah sistem otoriter. Bahwa UUD 1945 menetapkan Negara Indonesia adalah Negara Hukum dalam pasal 1 ayat (3), dapat pula dibuktikan dalam ketentuan-ketentuan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945.

9 Bagi llmu Hukum Indonesia, istilah kedaulatan juga diberi arti Kekuasaan Negara Tertinggi, lihat Penjelasan UUD 1945 dalam naskah asli UUD 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara, Ill.

(31)

A. Sewaktu membicarakan alinea pertama pembukaan dengan menunjuk kepada ketentuan"peri-keadilan" yang berhubungan dengan negara hukum, yang diundangkan dalam pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Seperti telah kita lihat, pasal 24 UUD 1945 menguraikan lebih lanjut dalam ayat (1): kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Begitupun Bab X A Hak Asasi Manusia, dalam pasal 28H ayat (2} menetapkan: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal 28 ayat ( 1) hak untuk hid up, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 I ayat (5) dinyatakan: Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi man usia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28J ayat (2) menyatakan: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

B. Satang tubuh UUD 1945 menyatakan bahwa "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 4 ayat (1), pasal 9 ayat (1): Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dangan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut : "Demi Allah saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.

(32)

KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA Presiden dan Wakil Presiden

a. Kedudukan

Sebagaimana halnya sebelum amandemen UUD 1945, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 menyatakan bahwa kekuasaan pemerintahan negara dipegang oleh Presiden Republik ·Indonesia. Dengan demikian Presiden Indonesia menjadi kepala eksekutif atau pimpinan yang sebenarnya dari eksekutif, seperti halnya Presiden Amerika Serikat.

b. Kekuasaan Presiden

Menu rut salah seorang ahli pengetahuan politik, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang mengenai pelaksaan undang-undang10

Dikatakan juga bahwa eksekutif menyelenggarakan kemauan negara. Dalam satu negara demokrasi, kemauan negara itu dinyatakan melalui badan pembentuk undang-undang. Tug as yang terutama dari eksekutif, tidak mempertimbangkan, tetapi melaksanakan undang-undang yang ditetapkan oleh badan legislatif. Tetapi dalam negara modern, urusan eksekutif adalah tidak semudah sebagai adanya pada masa-masa Aristoteles, oleh karena beraneka ragamnya tugas-tugas negara, diras;:1 pertu menyerahkan urusan pemerintahan dalam arti luas kepada tangan eksekutif dan tidak lagi dapat dikatakan, bahwa kekuasaan eksekutif hanya terdiri dari pelaksanaan undang-undang.

c. Pemilihan Presiden

Dalam pasal 7 _naskah asli UUD 1945 hanya ditetapkan: Bab Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Kemudian pasal 8 naskah asli itu menetapkan : Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia dig anti oleh Wakil Presiden sampai habis masa waktunya.

Ketiadaan larangan maksimum masa jabatan ini menyebabkan Presiden Soekarno menjadi Presiden dari tahun 1945-1967 dan Presiden Soeharto menjadi Presiden dari tahun 1967-1998. Ada usaha-usaha untuk membatasi masa jabatan Presiden itu, antara lain dalam

10 Stephen Leacock, Elements of Plotocal Sciense, Boston, Houghton Mufflin Company 1921, h.

(33)

buku saya "Mencari Keadilan" ditulis sebagai berikut: dengan sub judul Mempermasalahkan Pemilihan Presiden RP1

.

Surat kabar Kompas, Salemba 5 Juli 1977 mempermasalahkan Pemilihan Presiden Republik Indonesia, antara lain "Salemba" Menulis: Sebelum Pemilihan Umum 1977 berlangsung, Mintareja, S.H. sudah mencalonkan kembali Soeharto sebagai calon Presiden Rl mendatang. Calon Mintareja ini kemuqian dicanangkannya dan ditopang pula oleh Ali Murtopo serta Amir Murtono. Kemudian seusai Pemilu 1977; muncul petisi Dipo-Bambang, yang mencalonkan Ali Sadikin menjadi Presiden Rl.

Salahkah itu? Tanya "Salemba" kepada Prof. Dr. Ismail Suny, S.H., M.C.L "Tidak" jawab Profesor Hukum Tata Negara FH-UI itu dengan tegas, dikatakannya "seorang warga negara boleh saja menyatakan pilihannya, dan itu memang dijamin oleh UUD 1945.

Mengapa sampai Mintareja, S.H., Ali Murtopo, Amir Murtono, Dipo dan Bambang mencalonkan presidennya di luar forum MPR, Prof. Ismail Suny mensinyalir, kedaulatan MPR itu hanya berada di tangan masing-masing ketua fraksi saja. Sedangkan para anggota MPR tidak berani berpendapat apalagi untuk coba-coba mencalonkan Presiden menu rut seleranya sendiri. Padahal setiap anggota MPR berhak untuk mengajukan calon Presiden, jadi jangan sampai calon Presiden kita terbatas pada itu-itu saja ujar Kepala Pusat Studi Hukum Tata Negara FH-UI ini. Sehubungan dengan hal tersebut, Hariman Siregar, bekas ketua DM-UI dan bekas tahanan Malari (kini sudah dokter) sependapat dengan Prof. Suny. Sewaktu menjadi anggota MPR tahun 1967 lalu, Prof. Suny pernah mengusulkan agar MPR membuat suatu Ketetapan mengenai pemilihan presiden ketika itu12, "dengan tidak ditentukannya

sampai berapa kali seseorang Presiden dapat dipilih kembali secara langsung atau tidak, telah memupuk kekuasaan yang tidak terbatas. Dan hal ini membuka kesempatan berulangnya jabatan-jabatan Presiden seumur hidup", katanya.

Barulah setelah amandemen UUD 1945, pasal 6 A diundangkan: (1 ). Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan

11 Ismail Suny, Mencari Keadilan, Sebuah Otobiografi; Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. 12 LihatPidato lsmil Suny, Pilihan Kita, Satu dari Dua: Otokrasi atau Demokrasi, dalam MPRS, Sidang

(34)

Umum Presiden dan Wakil Presiden telah diundangkan dan dilaksanakan pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004.

Pasal 7 UUD 1945 menetapkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kern bali dalam jabatan yang sa rna hanya untuk satu kali rna sa jabatan.

Kementerian Negara

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 satu-satunya amandemen dalam pasal17 adalah ayat (4) yang menetapkan "pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang". Akibat adanya perubahan yang diadakan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan meniadakan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dalam kabinet Republik Indonesia, dirasa perlu adanya undang-undang mengenai Kementerian Negara. Pada waktu tulisan ini disiapkan sedang bertugas Panitia Khusus DPR mempersiapkan RUU tentang Kementerian Negara.

KEKUASAAN LEGISLATIF Dewan Perwakilan Rakyat a. Susunan dan Keanggotaan

Pad a 1 0 Agustus 2002 Majelis Permusyawaratan Rakyat Rl telah menetapkan perubahan keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Khususnya mengenai pasal 2 yang berbunyi : Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. ltulah satu-satunya pasal dari perubahan keempat UUD 1945, bahkan dari semua perubahan pertama UUD 1945, kedua dan ketiga UUD 1945 yang mengalami perubahan dengan pemungutan suara. Hasil pemungutan suaranya itu adalah sebagai berikut:13

Nama Fraksi Tidak setuju Setuju Abstain

Fraksi PDIP 64 80 2

Fraksi P. Golkar 1 126

-Fraksi Utusan Golongan 55 1

(35)

Fraksi P3

-

58

-Fraksi Utusan Daerah 2 52

-Fraksi Kebangkitan Bangsa

-

44

-Fraksi Reformasi

-

44

-Fraksi TNI/Polri

-

37

-Fraksi PBB

-

12

-Fraksi KKI

-

9 1 Fraksi PDU

-

8

-Fraksi PDKB

-

4

-JUMLAH 122 475 3

Menurut pasal 19 (2) UUD 1945, Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang. Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, pasal 16 mengundangkan : DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum.

Pasal 17:

(1) Anggota DPR berjumlah lima ratus lima puluh orang.

(2) Keanggotaan DPR diresmikan dengan Keputusan Presiden. (3) Anggota DPR berdomisili di lbu Kota Negara Republik Indonesia Pasal 18:

(1) Masa jabatan ~nggota DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.

b. Kedudukan dan fungsi

Pasal24 menetapkan: DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Pasal 25 menetapkan fungsi DPR adalah : a. Legislasi.

b. Anggaran, dan c. Pengawasan.

(36)

Selain itu mempunyai hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pend a pat (Pasal20 A ayat 2). Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul atau pendapat serta hak imunitas (pasal 20 A ayat (3)), dan anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan undang-undang (pasal 21).

Dewan Perwakilan Daerah

Dalam masa pra amandemen, Utusan Daerah dalam MPR tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi diangkat oleh presiden. Dan dalam masa awal reformasi berdasarkan UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, utusan daerah ditetapkan 135 orang yaitu 5 orang dari setiap daerah tingkat I juga dipilih langsung oleh rakyat, tetapi cara pemilihannya diatur dalam peraturan tata tertib DPRD I.

a

Susunan dan Keanggotaan

Menurut pasal 32 UU tentang Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat: DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.

Pasal 33:

(1) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 orang. (2) Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota

DPR.

(3) Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden. (4) Anggota DPb berdomisili di daerah pemilihannya dan selama bersidang bertempat tinggal di lbukota negara Republik Indo-nesia.

Pasal 34:

(1) Masa jabatan anggota DPD adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji.

b. Kedudukan dan Fungsi

Pasal 40 menetapkan DPD merupakan perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara.

Referensi

Dokumen terkait

Ada beberapa ciri yang menonjol dalam teori pragmatisme, yaitu yang pertama, teori ini berangkat dari satu asumsi bahwa kebenaran tafsir bukanlah suatu hal yang

Setelah melakukan proses penelitian ini, menunjukan bahwa gaya kepemimpinan konduktor baik ketika memimpin maupun dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan sari markisa memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar vitamin C, total asam, total padatan terlarut, pH, kadar

Deskripsi Hasil Pengolahan Data Pengunaan Strategi Active Learning Tipe Quiz Team untuk Menumbuhkan Karakter Rasa Ingin Tahu Siswa Dalam Pembelajaran Sejarah ………

Perancangan Sistem Informasi Monitoring Pengunaan Ruangan Rawat Inap di Rumah Sakit Singaparna Medika Citrautama (SMC) memiliki tujuan yaitu dihasilkannya sebuah rancangan

Kelompok kontrol didapatkan nilai signifikan p = 0,642 maka tidak ada perbedaan status fungsi kognitif (memori) lansia yang bermakna antara sebelum dan sesudah pemberian

Penilaian keterampilan dilakukan guru dengan melihat kemampuan peserta didik dalam mengkomunikasikan hasil analisis sistem pemerintahan demokrasi berdasarkan

Skripsi dengan judul "Pembiasaan Shalat Dhuha Dalam Pembinaan Akhlakul Karimah Peserta Didik di MI Hidayatul Mubtadiin Pakel Ngantru Tulungagung" yang ditulis oleh