• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan Lignin Terhadap Nilai Kalor Produk Torefaksi Sampah Kota + deutsches Abstrakt

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan Lignin Terhadap Nilai Kalor Produk Torefaksi Sampah Kota + deutsches Abstrakt"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PENGARUH DEKOMPOSISI SELULOSA DAN

STUDI PENGARUH DEKOMPOSISI SELULOSA DAN

LIGNIN TERHADAP NILAI KALOR PRODUK

LIGNIN TERHADAP NILAI KALOR PRODUK

TOREFAKSI SAMPAH KOTA

TOREFAKSI SAMPAH KOTA

TUGAS SARJANA

TUGAS SARJANA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik

Oleh:

Oleh:

Rafiandy Dwi Putra

Rafiandy Dwi Putra

13111023

13111023

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA

FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2016

2016

(2)
(3)

Lembar Pengesahan

Lembar Pengesahan

Tugas Sarjana

Tugas Sarjana

Studi Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan Lignin Terhadap

Studi Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan Lignin Terhadap

 Nilai Kalor Pro

 Nilai Kalor Produk Torefaksi Sampah Ko

duk Torefaksi Sampah Kota

ta

Oleh Oleh

Rafiandy Dwi Putra

Rafiandy Dwi Putra

13111023

13111023

Program Studi Teknik Mesin Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara

Institut Teknologi Bandung Institut Teknologi Bandung

Disetujui pada Tanggal: 11 Maret 2016 Disetujui pada Tanggal: 11 Maret 2016

Pembimbing Pembimbing

Dr. Ir. Toto Hardianto Dr. Ir. Toto Hardianto  NIP 19600607

(4)

Tugas Sarjana Tugas Sarjana

Judul Judul

Studi Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan Studi Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan

Lignin Terhadap Nilai Kalor Produk Lignin Terhadap Nilai Kalor Produk

Torefaksi Sampah Kota Torefaksi Sampah Kota

Rafiandy Dwi Rafiandy Dwi

Putra Putra Program

Program Studi Studi Teknik Teknik Mesin Mesin 1311102313111023 Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara

Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung Institut Teknologi Bandung

Abstrak Abstrak

Torefaksi sampah kota pada rentang temperatur 200

Torefaksi sampah kota pada rentang temperatur 200˚˚C sampai 300C sampai 300˚˚C sudahC sudah  pernah

 pernah dilakukan. dilakukan. Torefaksi Torefaksi tersebut tersebut hanya hanya mendekomposisi mendekomposisi hemiselulosa hemiselulosa secarasecara sempurna, sedangkan terdapat dua komponen dominan yang lain pada sampah sempurna, sedangkan terdapat dua komponen dominan yang lain pada sampah kota, yaitu selulosa dan lignin. Oleh karena itu, penelitian tentang pengaruh kota, yaitu selulosa dan lignin. Oleh karena itu, penelitian tentang pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin pada proses torefaksi perlu dilakukan.

dekomposisi selulosa dan lignin pada proses torefaksi perlu dilakukan.

Penelitian ini menggunakan. daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, dan Penelitian ini menggunakan. daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, dan nasi sebagai sampel penelitian. Pengujian penurunan massa dengan nasi sebagai sampel penelitian. Pengujian penurunan massa dengan thermogravimetry

thermogravimetry dilakukan untuk melihat karakteristik tiap komponen sampahdilakukan untuk melihat karakteristik tiap komponen sampah saat proses torefaksi. Eksperimen torefaksi dan pengujian nilai kalor dilakukan saat proses torefaksi. Eksperimen torefaksi dan pengujian nilai kalor dilakukan untuk melihat secara

untuk melihat secara langsung pengaruh langsung pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin dekomposisi selulosa dan lignin terhadapterhadap nilai kalor.

nilai kalor.

Hasil pengujian nilai kalor tiap komponen penyusun sampah kota Hasil pengujian nilai kalor tiap komponen penyusun sampah kota menunjukkan nilai kalor kulit pisang, ranting, dan nasi akan cenderung meningkat menunjukkan nilai kalor kulit pisang, ranting, dan nasi akan cenderung meningkat seiring meningkatnya temperatur torefaksi, nilai kalor jeruk cenderung stagnan, seiring meningkatnya temperatur torefaksi, nilai kalor jeruk cenderung stagnan, dan nilai kalor daun akan mengalami penurunan. Penurunan pada nilai kalor daun dan nilai kalor daun akan mengalami penurunan. Penurunan pada nilai kalor daun disebabkan adanya reaksi pembakaran terbatas saat proses torefaksi daun. Pada disebabkan adanya reaksi pembakaran terbatas saat proses torefaksi daun. Pada  penurunan nilai kalor daun disiny

 penurunan nilai kalor daun disinyalir terdapat 5.9 %dbalir terdapat 5.9 %db fixed carbon fixed carbon yang terbakar.yang terbakar. Hasil pengujian nilai kalor tiap komponen penyusun sampah kota dijadikan Hasil pengujian nilai kalor tiap komponen penyusun sampah kota dijadikan acuan dalam perumusan torefaksi campuran sampah kota. Temperatur optimum acuan dalam perumusan torefaksi campuran sampah kota. Temperatur optimum torefaksi pada penelitian ini adalah 360

torefaksi pada penelitian ini adalah 360˚˚C. Nilai kalor yang dihasilkan adalahC. Nilai kalor yang dihasilkan adalah sebesar 5545 kkal/kg yang mana setara dengan batubara subbituminus B. Terjadi sebesar 5545 kkal/kg yang mana setara dengan batubara subbituminus B. Terjadi  penurunan nilai kalor apabila dibanding

 penurunan nilai kalor apabila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.kan dengan penelitian sebelumnya. Kata kunci: selulosa, lignin, torefaksi, sampah kota, nilai kalor

(5)

Final Project

Title

Study of The Influence of Cellulose and Lignin Decomposition upon Municipal Solid

Waste Torrefaction Product Calorific Value

Rafiandy Dwi Putra

Major Mechanical Engineering 13111023

Faculty of Mechanical and Aerospace Engineering Institut Teknologi Bandung

Abstract

Municipal solid waste (MSW) torrefaction between 200˚C till 300˚C has been  perfomed before. That torrefaction only decomposes hemicellulose perfectly, meanwhile there are two more dominant components, like cellulose and lignin. Therefore, research about the influence of cellulose and lignin in torrefaction process must be performed.

This research uses leaf, branch, banana peel, orange peel, and rice as the research’s objects. Mass degradation characteristic test is perfomed with thermogravimetry to observe those MSW components characteristic while torrefaction process. The torrefaction experiment and calorific value test are  performed to explain about the inluence of cellulose and lignin to calorific value.

MSW components calorific test results shows that banana peel, branch, and rice tend to be increasing while the temperature increase, orange peel tend to be stagnan and leave is decreasing. The decrease in leaf calorific value caused by limited combustion reaction while torrefaction is happening. Because of this phenomena, 5.9%db fixed carbon is allegedly burned.

MSW components experiment results are used as reference in MSW simultaneous toreffaction. The optimum torrefaction temperature in this research is 360˚C. The maximum calorific value is 5545 kkal/kg, which is equal with subbituminous B coal. The calorific value of this research torrefaction product is lower that the previous research product..

(6)

Das Abschlussarbeit

Title

Die Untersuchung des Einflusses von Cellulose- und Lignin-Zersetzung auf das

Heizwert des Torrefizierenden Stadtmüll

Rafiandy Dwi Putra

Major Maschinenbau 13111023

Die Fakultät für Maschinenbau und Raumfahrttechnik Institut Teknologi Bandung

Abstrakt

Die Torrefizierung des Stadtmüll zwischen 200˚C bis 300˚C hat bereits früher ausgeführt. Diese Torrefizierung zersetzt nur perfekt Hemicellulose. Mitterweile gibt es zwei mehr Komponenten in dem Stadtmüll, sowie Cellulose und Lignin. Deshalb musst diese Forschung ausgeführt werden, um das Einfluss der Cellulose- und Lignin-Zersetzung zu untersuchen.

Diese Forschung benutzt Blatt, Zweig, Bananenschale, Orangenschale, und Reis als das Objekt diese Forschung. Der Massdegradationeigenschaft-Test mit der thermogravimetrischen Analyse (TGA) werde ausgeführt, um die Eigenschaft der Stadtmüllskomponenten zu beobachten. Das Torrefizierungsexperiment und der Heizwert-Test werden auch ausgeführt, um während der Torrefizierung das Einfluss der Stadtmüllkomponenten auf das Heizwert zu untersuchen.

Das Heizwert-Test von die Stadtmüllskomponenten zeigt, dass das Heizwert von der Bananenschlange, dem Zweig, und dem Reis steigen während der steigenden Temperature der Torrefizierung. Die Orangenschale stagniert und das Blatt sinkt. Das Blatt-Heizwert sinkt, weil während der Torrefizierung die begrenzte Vebrennung auftretten. Wegen dieser Phänomen,werden angeblich 5.9%db fester Kohlenstoffe verbrannt.

Die Ergebnisse des Stadtmüllkomponentenexperiments werden in der gleichzeitigen Torrefizierung als die Referenz benutzt. Die optimale Temperature der gleichzeitigen Torrefizierung in diese Forschung ist 360˚C. Das maximale Heizwert dieses Forschungprodukts ist 5545 kkal-kg. Das Heizwert dieses Forschungsprodukts ist gleich mit die Subbituminous Köhle und niedriger als frühere Forschung .

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjat atas nikmat dan karunia Allah SWT sehingga  penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Studi Pengaruh

Dekomposisi Selulosa dan Lignin Terhadap Nilai Kalor Produk Torefaksi Sampah kota” ini dengan baik.

Dalam pengerjaan tugas akhir ini, penulis melalui jalan yang terjal. Tidak sedikit masalah dan kendala yang datang menghampiri selama penggerjaan tugas akhir ini. Kehadiran orang  –   orang terdekat menjadi bantuan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesa  –   besarnya kepada orang –  orang yang telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhi r ini, yakni:

1. Keluarga terdekat penulis, Bapak Deddy Ria Saputra, Ibu Rika  Nursanti, dan Kakak Rinaldy Andhika Putra yang selalu ada dari  penulis lahir hingga saat ini. Keluarga yang sangat sedia untuk membantu dikala penulis mengalami kesulitan dalam tugas akhir ini maupun dalam kehidupan.

2. Dr. Ir. Toto Hardianto selaku pembimbing penulis yang selalu mendidik penulis untuk mencari tahu lebih tentang rahasia alam yang belum teruak.

3. Dr. Eng. Pandji Prawisudha selaku dosen yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan terhadap Tugas Sarjana ini. 4. Dr. Ir. Arief Haryanto selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin

FTMD ITB dan seluruh staf pengajar di jurusan Teknik Mesin yang selalu membantu penulis selama menjalani perkuliahan di jurusan Teknik Mesin

5. Ir. Dwiwahju Sasongko, M.Sc, Ph.D dan teman  –   teman Lab. Metodologi Perancangan dan Pengendalian Proses Teknik Kimia

(8)

ITB yang sudah berbaik hati memberikan izin penulis untuk melakukan eksperimen di laboratorium tersebut.

6. Pihak tekMIRA yang sudah membantu penulis menguji nilai kalor dari produk torefaksi komponen sampah kota.

7. Teman  –   teman jurusan Teknik Mesin 2011 dan seluruh anggota HMM ITB yang menjadi keluarga penulis di Kota Bandung dan mengisi hari  –   hari penulis dengan canda, tawa dan pengalaman  berharga baru penulis temukan.

8. Teman  –   teman Lab. Termodinamika, khususnya Jeki, Iqbal, dan Adrian yang selalu ada dalam pengerjaan tugas akhir ini dan selalu siap memberikan masukan kepada penulis dalam pengerjaan tugas akhir ini.

9. Teman - teman Dago 508 yang bersedia kontrakannya penulis singgahi di waktu luang selama penulis tinggal di Kota Bandung. 10. Bu Tuti, Pak Adong, dan Pak aman selaku staff Lab. Termodinamika

yang membantu penulis mengurus anggaran dan membongkar alat eksperimen selama pengerjaan tugas akhir ini.

11. Pak Jupri, Pak Suryana, dan seluruh staff Fakultas Teknik mesin dan Dirgantara ITB yang membantu penulis dalam hal administrasi dari sejak penulis kuliah di ITB.

12. Pihak –  pihak yang telah membantu penulis dalam pengerjaan tugas akhir ini yang tidak bisa diucapkan satu per satu.

Bandung, Februari 2016

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

Bab 1 Pendahuluan ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Identifikasi Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 4 1.4 Manfaat Penelitian ... 4 1.5 Batasan Masalah ... 4 1.6 Metodologi ... 5 1.7 Sistematika Penulisan ... 6

Bab 2 Studi Pustaka ... 8

2.1 Bahan Bakar Padat ... 8

2.2 Sampah Kota ... 12

2.2.1 Definisi dan Penggolongan Sampah Kota ... 13

2.2.2 Permasalahan Sampah Kota di Indonesia ... 15

2.2.3 Komposisi dan Karakteristik Sampah Kota Bandung ... 16

2.3 Biomassa Lignoselulosa dan Amilum ... 22

2.3.1 Lignoselulosa ... 23

2.3.2 Amilum ... 25

2.4 Dasar Proses Torefaksi ... 26

(10)

2.4.2 Mekanisme Proses Torefaksi ... 28

2.5 Proses Torefaksi Temperatur Tinggi ... 31

2.5.1 Mekanisme Dekomposisi Komponen Lignoselulosa ... 31

2.5.2 Penelitian Terkait Torefaksi Temperatur Tinggi ... 38

Bab 3 Kajian Proses Torefaksi Sampah Kota pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin ... 40

3.1 Gambaran besar Penelitian ... 40

3.2 Kajian Penentuan Komponen Sampah Kota ... 43

3.3 Kajian Kandungan Lignoselulosa dan Amilum Pada Sampel Pengujian ... 46

3.4 Kajian Penentuan Parameter Torefaksi. ... 47

3.5 Peralatan – Peralatan Pengujian ... 49

3.5.1 Thermogravimetry ... 49

3.5.2 Reaktor Torefaksi ... 52

3.5.3 Kalorimeter Bom ... 54

Bab 4 Pengujian dan Analisis Torefaksi Komponen Penyusun Sampah Kota Pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin ... 55

4.1 Persiapan Sampel Pengujian ... 55

4.2 Pengujian Karakteristik Penurunan Massa Komponen Penyusun Sampah Kota ... 58

4.3 Pengujian Nilai Kalor Produk Torefaksi Komponen Penyusun Sampah Kota ... 63

4.4 Analisis Hasil Pengujian Komponen Penyusun Sampah Kota ... 69

4.4.1 Analisis Hasil Pengujian Karakteristik Penurunan Massa ... 69

4.4.2 Analisis Hasil Pengujian Nilai Kalor ... 70

Bab 5 Pemodelan Torefaksi Campuran Sampah Kota Pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin ... 73

(11)

5.1 Pembuatan Model Campuran Sampah Kota ... 73

5.2 Prediksi Temperatur Operasi Optimum dan Nilai Kalor Maksimal Produk Torefaksi Campuran Sampah Kota ... 78

5.3 Perbandingan Produk Torefaksi Sampah Kota ... 83

5.3.1 Perbandingan dengan Batubara ... 83

5.3.2 Perbandingan dengan Produk Torefaksi pada Penelitian Sebelumnya ... 84

Bab 6 Kesimpulan dan Saran ... 86

6.1 Kesimpulan ... 86

6.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kategori untuk menggambarkan kondisi batubara [9] ... 11

Gambar 2.2 Skema ANGKUT –  KUMPUL dan BUANG [10] ... 16

Gambar 2.3 Komposisi rerata timbulan sampah (%volume) (diadaptasi dari [1]) ... 17

Gambar 2.4 Komposisi rerata timbulan sampah (%massa) (diadaptasi dari [1]) . 17 Gambar 2.5 Komposisi sampah yang tidak diambil pemulung (%massa) (diadaptasi dari [1]) ... 18

Gambar 2.6 Komposisi fisik sampah kota Bandung berdasarkan uji proksimat [1] ... 20

Gambar 2.7 Komposisi kimia sampah kota Bandung berdasarkan uji ultimat [1] ... 21

Gambar 2.8 Potensi nilai kalor komponen sampah kota Bandung (adb) [1] ... 22

Gambar 2.9 Struktur hemiselulosa [12] ... 23

Gambar 2.10 Struktur molekul tunggal dari selulosa [12] ... 24

Gambar 2.11 Contoh struktur molekul lignin [12] ... 25

Gambar 2.12 Sturktur amilosa dan amilopektin [13] ... 26

Gambar 2.13 Contoh skema proses torefaksi ... 28

Gambar 2.14 Proses dekomposisi termal komponen –  komponen lignoselulosa  pada proses torefaksi [14] ... 29

Gambar 2.15 Contoh grafik thermogravimetry kayu [16] ... 30

Gambar 2.16 Contoh grafik DTG [17] ... 31

Gambar 2.17 Pirolisis komponen xylan (atas: analisis thermogravimetry ,bawah: reaksi utama selama perubahan struktur ikatan) [18] ... 33

Gambar 2.18 Pirolisis selulosa (atas: analisis thermogravimetry, bawah: reaksi utama selama perubahan struktur ikatan) [18] ... 35

Gambar 2.19 Pirolisis lignin (atas:analisis thermogravimetry, bawah: reaksi utama selama perubahan struktur ikatan) [18] ... 37

Gambar 2.20 Grafik pengaruh temperatur terhadap nilai kalor [19] ... 39

(13)

Gambar 3.2 Rangkaian instrumen thermogravimetry processor ... 51

Gambar 3.3 Reaktor torefaksi ... 53

Gambar 3.4 Skema umum kalorimeter bom ... 54

Gambar 4.1 Sampel pengujian karakteristik penurunan massa (kiri ke kanan: daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, nasi)... 56

Gambar 4.2 Sampel eksperimen torefaksi (kiri ke kanan: daun, ranting, kulit  pisang, kulit jeruk, nasi) ... 57

Gambar 4.3 Grafik penurunan massa komponen daun ... 59

Gambar 4.4 Grafik penurunan massa komponen ranting ... 60

Gambar 4.5 Grafik penurunan massa komponen kulit pisang ... 61

Gambar 4.6 Grafik penurunan massa komponen kulit jeruk ... 62

Gambar 4.7 Grafik penurunan massa komponen nasi ... 63

Gambar 4.8 Produk torefaksi komponen penyusun sampah kota (dari kiri ke kanan: daun, ranting, kulit pisang, kulit jeruk, nasi) ... 64

Gambar 4.9 Nilai kalor produk torefaksi daun ... 65

Gambar 4.10 Nilai kalor produk torefaksi ranting ... 66

Gambar 4.11 Nilai kalor produk torefaksi kulit pisang... 66

Gambar 4.12 Nilai kalor produk torefaksi kulit jeruk ... 67

Gambar 4.13 Nilai kalor produk torefaksi nasi ... 68

Gambar 4.14 Fraksi Massa sisa komponen a)kulit pisang dan b)daun ... 70

Gambar 5.1 Alur pengerjaan pembuatan model sampah kota Bandung ... 74

Gambar 5.2 Nilai kalor produk torefaksi model campuran sampah kota ... 82

Gambar 5.3 Tren nilai kalor produk model campuran sampah kota ... 82

Gambar 5.4 Perbandingan nilai kalor produk torefaksi sampah kota dengan  batubara ... 84

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data ekivalen sampah kota di beberapa kota besar di Indonesia ... 2

Tabel 2.1 Klasifikasi batubara berdasarkan peringkat menurut ASTM D388 [9] ... 12

Tabel 2.2 Proporsi pelayanan sampah di Indonesia [10] ... 15

Tabel 2.3 Komponen sampah yang dapat dimanfaatkan [1] ... 18

Tabel 2.4 Fraksi massa produk kayu (dry wood basis) yang dihasilkan dari  berbagai metode torefaksi kayu [14] ... 27

Tabel 3.1 Rata –  rata konsumsi buah –  buahan perkapita tahun 2010 – 2014 [20]. 44 Tabel 3.2 Fraksi massa sampah lima buah yang paling banyak dikonsumsi ... 45

Tabel 3.3 Massa total sampah lima buah yang paling banyak dikonsumsi ... 45

Tabel 3.4 Hasil Pengujian Kandungan Lignoselulosa [7] ... 47

Tabel 3.5 Spesifikasi thermogravimetry processor ... 50

Tabel 3.6 Spesifikasi reaktor torefaksi tube furnace 2100 Thermolyne ... 52

Tabel 4.1 Sumber sampel pengujian ... 55

Tabel 4.2 Kadar air sampel pengujian penurunan massa ... 57

Tabel 4.3 Kadar air sampel eksperimen proses torefaksi komponen penyusun sampah kota ... 58

Tabel 4.4 Karakteristik torefaksi tiap komponen sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin... 68

Tabel 5.1 Sumber timbulan sampah Kota Bandung [15] ... 74

Tabel 5.2 Persentase Massa Komponen Organik ... 75

Tabel 5.3 Persentase massa sampah makanan dan pepohonan pada tiap sumber sampah... 76

Tabel 5.4 Persentase massa jenis sampah makanan dan sampah pepohonan  pada model campuran sampah kota ... 76

Tabel 5.5 Potensi produksi sampah makanan ... 77

Tabel 5.6 Komposisi sampah pepohonan pada tiap sumber sampah ... 77

Tabel 5.7 Komposisi komponen penyusun model campuran sampah kota ... 78

(15)

Tabel 5.9 Nilai kalor komponen penyusun sampah kota pada temperatur 392 ˚C . 80 Tabel 5.10 Nilai kalor produk torefaksi campuran sampah kota pada penelitian sebelumnya [2] ... 85

(16)

Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Sampah kota merupakan masalah yang saat ini sering dihadapi oleh kota  –  kota besar di Indonesia, contohnya Kota Bandung. Peningkatan produksi sampah yang tidak diimbangi metode pengolahan sampah yang tepat merupakan sumber  permasalahan sampah di Kota Bandung. Sampai saat ini Penimbunan sampah di

TPA merupakan metode pengolahan sampah yang sering digunakan.

Penimbunan sampah di TPA bukanlah metode yang tepat untuk mengelola sampah di Kota Bandung. Penimbunan sampah di TPA dapat menimbulkan bau dan juga dapat berpotensi menjadi sarang penyakit.. Pada tahun 2005,  penimbunan sampah di TPA Leuwigajah bahkan menyebabkan longsor yang

mengubur perumahan warga dibawah TPA Leuwigajah. Kuantitas sampah dan lokasi TPA Leuwigajah yang berada di tebing ditengarai sebagai penyebab longsor tersebut..

Pengolahan sampah dengan cara penimbunan ternyata sudah tidak lagi menjadi andalan pengolahan sampah di negara  –  negara maju, seperti Jepang dan Singapura. Negara  –   negara tersebut menjadikan sampah sebagai bahan bakar alternatif pembangkit listrik. Pengolahan sampah dengan menjadikan sampah sebagai bahan bakar pembangkit listrik dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan menimbun sampah di TPA.

Sampah yang sudah tidak berguna ternyata dapat menghasilkan listrik yang cukup besar melalui proses pembakaran. Berdasarkan penelitian mengenai sampah kota Bandung yang telah dilakukan sebelumnya, sampah kota berpotensi menjadi bahan bakar alternatif pengganti batubara [1]. Tabel 1.1 menunjukkan

(17)

daya listrik yang dapat dihasilkan dari sampah di Kota Bandung dan beberapa kota besar di Indonesia

Tabel 1.1 Data ekivalen sampah kota di beberapa kota besar di Indonesia

Kota

Produksi Sampah Daya Panas Ekivalen (MW) Daya Listrik Ekivalen (MWe**) (m3/hari) (ton/hari) Jakarta [2] 29.212 6.513 788 236,5 Surabaya [3] 8.700 1.940 235 70,5 Bandung [4] 7.172 1.600 193 58.1 Bogor [5] 6230 1565 189 56.7 Semarang [6] 1.207 302 36 11

*anggapan nilai kalor terendah (sekitara 2500 kkal/kg) ** anggapan efisiensi pembangkit 30%

Dibalik potensi sampah kota sebagai bahan bakar alternatif pembangkit listrik, ditemui pula permasalahan sampah kota sebagai bahan bakar. . Kandungan air yang melimpah dan nilai kalor yang rendah, merupakan kendala –  kendala yang dapat membuat sampah kota tidak layak untuk dijadikan bahan  bakar pembangkit listrik. Untuk menanggulangi kendala tersebut, sampah kota  perlu diproses terlebih dahulu supaya kendala tersebut dapat diminimalisasi. Torefaksi merupakan salah satu proses yang dapat digunakan untuk meminimalisasi kendala –  kendala tersebut.

Torefaksi merupakan suatu proses perlakuan panas yang dapat menguragi kadar air dan menyederhanakan senyawa kompleks, seperti lignoselulosa, yang  banyak ditemukan pada sampah kota. Penelitian tentang torefaksi sudah banyak

dilakukan pada biomassa, seperti kayu, jerami, gambut, sekam padi, dan biomassa lainnya. Penelitian  –   penelitian tersebut membuktikan bahwa torefaksi dapat menurunkan kadar air dan menaikan nilai kalor biomassa. Dengan kemiripan karakteritik biomassa dan sampah kota, diharapkan torefaksi sampah kota dapat menanggulangi permasalahan sampah kota sebagai bahan bakar

(18)

Penelitian tentang torefaksi sudah pernah dilakukan oleh Tim Peneliti Laboratorium Termodinamika ITB. Tim tersebut meneliti tentang pengaruh torefaksi terhadap sampah kota di Kota Bandung dalam rangka penggunaan sampah kota sebagai bahan bakar. Dari penelitian yang sudah dilakukan, tim  peneliti Laboratorium Termodinamika ITB berhasil menghasilkan sampah kota

yang nilai kalornya setara batubara subbituminus B , yaitu sekitar 5400 kkal/kg [7].

Pada penelitian tersebut temperatur torefaksi diatur agar berkisar antara 200  –  300 °C. Pada temperatur ini hanya komponen hemiselulosa pada sampah kota

yang terdekomposisi sempurna, sedangkan komponen selulosa maupun lignin  belum terdekomposisi sempurna. Temperatur operasi yang lebih tinggi dari 300

°C dapat membuat selulosa dan lignin terdekomposisi lebih sempurna. Dekomposisi selulosa dan lignin yang lebih sempurna diharapkan dapat menghasilkan produk torefaksi sampah kota dengan nilai kalor yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Berdasarkan data kandungan lignoselulosa pada sampah kota, kompnen selulosa merupakan komponen yang paling dominan. Atas dasar itu, penelitian tentang penggunaan temperatur torefaksi untuk mendekomposisi selulosa dan lignin patut untuk dilkukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi  pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin terhadap nilai kalor produk torefaksi

sampah kota

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penjelasan pada subbab 1.1, dapat diperoleh beberapa masalah yang harus dihadapi utuk mencapai harapan yang ada, yaitu :

1. Bagaimana menentukan sampel penelitian untuk mewakili sampah kota Bandung?

2. Bagaimana mencari model sampah kota yang dapat mewakilkan sampah kota Bandung?

(19)

3. Bagaimana pengaruh torefaksi pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin terhadap nilai kalor sampah kota?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin terhadap nilai kalor produk torefaksi sampah kota. Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut, ditentukan dua tujuan khusus, yaitu:

1. Menentukan proses optimum torefaksi sampah kota dan nilai kalor maksimal yang dapat dicapai pada torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin

2. Membandingkan nilai kalor produk torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi selulosa dan lignin dengan produk torefaksi sampah kota pada daerah dekomposisi hemiselulosa

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tugas sarjana i ni adalah: 1. Membantu menyelesaikan masalah sampah kota di Kota Bandung 2. Meningkatkan nilai ekonomi dari sampah kota

3. Memberi wawasan tentang potensi maksimal sampah kota sebagai sumber energi alternatif dalam aspek nilai kalor

1.5 Batasan Masalah

Dalam mengerjakan penelitian ini, ada beberapa masalah yang dibatasi, yaitu:

1. Sampah kota yang menjadi objek penelitian hanya sampah organik di TPA Kota Bandung

2. Perumusan torefaksi campuran sampah kota dilakukan dengan metode analitik terbatas

(20)

1.6 Metodologi

Dalam pengerjaan penelitian ini, dilakukan beberapa metode untuk mecapai tujuan penelitian ini, metode –  metode yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Studi literatur

Pada tahap ini penulis menambah wawasan tentang perkembangan  bahan bakar padat di Indonesia, penanganan sampah kota, dan potensi sampah kota sebagai calon bahan bakar padat alternatif pengganti  batubara. Penulis membaca buku  –   buku yang berkaitan dan juga  penelitian –  penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan hal tersebut. Keluaran akhir dari metode ini adalah munculnya topik penelitian  beserta rencana penelitian

2. Kajian

Penulis melakukan kajian  –   kajian terkait untuk memantapkan topik  penelitian. Kajian yang dilakukan meliputi kajian penentuan komponen sampah kota yang digunakan pada penelitian ini dan juga kajian dalam menentukan metode eksperimen dan pengujian, serta penentuan  parameter –  parameter terkait dalam eksperimen.

3. Pengujian

Pengujian  –   pengujian dilakukan untuk membuktikan hipotesis awal  pada penelitian kali ini. Pengujian dimulai dari pemilihan sampel,  pengumpulan sampel, persiapan alat  –   alat pengujian. Hasil dari  pengujian ini akan digunakan untuk perumusan.

4. Perumusan temperatur optimum dan nilai kalor maksimal

Hasil pengujian tiap komponen penyusun sampah kota dijadikan dasar  penerapan pada perumusan ini. Temperatur optimum yang dapat menghasilkan nilai kalor maksimal produk torefaksi campuran sampah kota akan dirumuskan dengan metode ini. Hasil perumusan akan dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

(21)

Penulis bersama pembimbing melakukan analisis dan kajian lanjutan dari hasil pengujian yang telah diperolah. Diskusi mengenai hal  –   hal untuk menlengkapi penelitian ini juga dilakukan. Penarikan kesimpulan dan pemberian saran untuk penelitian selanjutnya merupakan keluaran akhir dari metode ini.

1.7 Sistematika Penulisan 1. Bab 1 Pendahuluan

Bab ini berisikan apa yang mendasari pembuatan tugas akhir ini. Selain itu, bab ini berisikan gambaran umum tentang tugas akhir ini sehingga diharapkan pada akhir bab ini, pembaca dapat memahami tentang urgensi dari tugas akhir ini

2. Bab 2 Studi Pustaka

Bab ini berisikan teori  –   teori yang membantu dalam penelitian pada tugas akhir ini. Dengan adanya bab ini, diharapkan pembaca mendapatkan pemahaman tentang bahan bakar padat, sampah kota dan  bagaimana mengubahnya menjadi bahan bakar alternatif yang baik. Selain itu, pembaca diharapkan dapat mengerti istilah  –   istilah yang digunakan pada bab –  bab selanjutnya.

3. Bab 3 Kajian Pengaruh Dekomposisi Selulosa dan Lignin pada Proses Torefaksi Sampah Kota

Bab ini berisikan kajian –  kajian tentang pengaruh dekomposisi selulosa dan lignin pada proses sampah kota. Dengan penulisan bab ini, diharapkan pembaca dapat mengertahui keseluruhan dari rencana  penelitian dengan lebih mendalam.

4. Bab 4 Pengujian dan Analisis Torefaksi Komponen Penyusun Sampah Kota Pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin

Bab ini berisikan perencanaan proses pengujian komponen sampah kota yang dilakukan pada penelitian ini, serta Hasil dari pengujian  –   pengujian komponen sampah kota. Setelah mendapatkan hasil dari  pengujian –  pengujian komponen sampah kota, hasil tersebut dianalisis

(22)

dari berbagai macam aspek. Hasil pengujian yang didapat akan menjadi dasar perumusan pada bab 5.

5. Bab 5 Pemodelan Torefaksi Campuran Sampah Kota Pada Daerah Dekomposisi Selulosa dan Lignin

Bab ini diawali oleh pemodelan campuran sampah kota, setelah itu dilakukan perumusan temperatur optimum dan nilai kalor maksimal  pada tiap model campuran sampah kota berdasarkan hasil dari bab 4. Pada akhir bab ini, produk dari torefaksi campuran sampah kota akan dibandingkan dengan batubara dan hasil penelitian torefaksi sampah kota sebelumnya.

6. Bab 6 Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisikan penarikan kesimpulan yang diharapkan dapat menjawab tujuan dari penilitian ini serta saran  –   saran agar penelitian yang dilakukan selanjutnya dapat lebih baik.

(23)

Bab 2

Studi Pustaka

2.1 Bahan Bakar Padat

Berdasarkan wujudnya, bahan bakar dibagi menjadi tiga, yaitu bahan bakar  padat, cair, dan gas [8]. Sampai saat ini, penggunaan bahan bakar padat untuk

kebutuhan energi di industri  –  industri di Indonesia. Batubara merupakan bahan  bakar padat yang saat ini masih paling banyak digunakan di industri  –   industri

Indonesia. Hal ini disebabkan karena nilai kalor batubara lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar padat lainnya. Dikarenakan frekuensi  pemakaian batubara yang masih tinggi, standar kualitas dari bahan bakar pada

disetarakan dengan standar kualitas batubara.

Batubara terdiri dari beberapa zat penyusun. Untuk mengetahui penyusun  batubara, dilakukan analisis ultimat dan analisis proksimat. Analisis ultimat

merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui kandungan karbon, oksigen, nitrogen, sulfur, dan unsur  –  unsur penyusun lainnya. Analisis proksimat  bertujuan untuk mengetahui karakteristik pembakaran dari batubara. Analisis  prokismat dapat membantu untuk mengetahui kandungan  fixed carbon, volatile matter, moisture content, dan ash. Adapun pengertian dari unsur tersebut adalah sebagai berikut [9] :

  Fixed carbon

Komponen  fixed carbon merupakan ikatan rantai karbon yang  berkontribusi paling besar pada pembakaran dibandingkan unsur  – 

unsur lainnya.

 Volatile matter

Komponen ini berupa hidrokarbon yang dapat terlepas dari padatan  batubara baik berupa gas maupu berupa cair. Volatile matter  juga

(24)

merupakan komponen yang ikut berkontribusi dalam pembakaran walaupun panas yang dihasilkan tidak sebesar  fixed carbon. Volatile matter akan terbakar terlebih dahulu dibandingkan  fixed carbon.

 Kadar air

Komponen ini merupakan kandungan air yang terdapat pada bahan  bakar padat. Kandungan air ini tidak berkontribusi pada  pembakaran, bahkan dapat menyerap panas yang dihasilkan oleh  bahan bakar tersebut. Pada bahan bakar padat terdapat dua jenis kadar air, yaitu  surface moisture dan inherent mositure. Surface moisture merupakan kandungan air yang terdapat pada permukaan  bahan bakar padat.  Inherent moisture merupakan kandungan air

yang terikat di dalam bahan bakar padat.

 Ash

 Ash atau abu adalah sisa inorganik dari proses pembakaran bahan  bakar padat setelah bahan bakar padat tersebut sudah terbakar sempurna [8]. Banyaknya kandungan abu pada bahan bakar padat dapat memicu beberapa masalah, seperti  fouling, slagging, dan akan memperburuk emisi gas buang dari proses pembakaran bahan  bakar padat karena dapat membentuk partikulat yang berbahaya  bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

Salah satu parameter penting untuk menentukan kualitas batubara adalah nilai kalor. Dalam mendefinisikan nilai kalor dari batubara, terdapat istilah -istilah yang biasa digunakan.  Low heating value (LHV) merupakan nilai kalor  pembakaran batubara apabila kondisi air hasil pembakaran batubara berfasa gas,  High heating value (HHV) merupakan nilai kalor pembakaran batubara apabila kondisi air hasil pembakaran batubara berfasa cair [9]. Fasa cair ini yang memberikan kalor laten dari pengembunan air hasil pembakaran sehingga HHV merupakan ukuran tertinggi dari nilai kalor suatu batubara. Pada penelitian ini nilai kalor yang dimaksud merupakan HHV.

(25)

Selain nilai kalor batubara, karakteristik batubara digambarkan oleh  beberapa kategori - kategori untuk menstandarkan pengertian tentang karakteristik  batubara dimanapun. Kategori ini dibuat berdasarkan kondisi dari batubara.

Kategori - kategori tersebut adalah sebagai berikut [9] :

 As received (ar)

Kategori ini menggambarkan kandungan batubara lengkap dengan seluruh kandungan air. Kategori ini terkadang dikenal dengan as- fired dan banyak digunakan untuk melakukan perhitungan karena

kategori ini menggambarkan keseluruhan kandungan batubara;

 Air dried basis (adb)

Kategori ini menggambarkan karakteristik batubara saat batubara telah dikeringkan dan keseluruhan kandungan air di permukaan  padatan batubara telah hilang;

 Dry (d)

Kategori ini menggambarkan karakteristik batubara saat keseluruhan kandungan air, baik di permukaan maupun yang terikat, telah terpisah dari padatan batubara;

 Dry, ash free (daf)

Kategori ini menggambarkan karakteristik batubara saat seluruh kandungan airnya dan juga abu yang terdapat pada batubara telah dipisahkan dari padatan batubara;

 Dry, mineral –  matter free (dmmf)

Kategori ini menggambarkan karakteristik batubara saat batubara diasumsikan sudah terbebas dari seluruh kandungan air dan mineral. Hanya bagian organik dari batubara yang diukur pada kategori ini;

(26)

Gambar 2.1 Kategori untuk menggambarkan kondisi batubara [9]

Kualitas dan karakteristik batubara ditentukan oleh keadaan lingkungan serta lamanya pembentukan batubara. Batubara tua atau yang sudah lama terbentuk memiliki nilai kalor yang lebih besar dibanding batubara yang lebih muda. Keberagaman batubara inilah yang memicu dibuatnya peringkat batubara. Acuan peringkat batubara yang sering dijadikan acuan adalah peringkat batubara menurut ASTM. Peringkat batubara secara garis besar terbagi atas 4 peringkat, yaitu antrachite, bituminous, subbituminous, dan lignite. Batubara antrachite merupakan gambaran peringkat batubara dengan kualitas yang paling baik, sedangkan lignite merupakan batubara dengan kualitas yang paling buruk. Peringkat batubara yang lebih detail di jelaskan pada tabel 2.1.

(27)

Tabel 2.1 Klasifikasi batubara

Tabel 2.1 Klasifikasi batubara berdasarkan peringkat menurut ASberdasarkan peringkat menurut ASTM D388 TM D388 [9][9]

Kelas Batubara

Kelas Batubara Fixed CarbonFixed Carbon (%) (%) Volatile Matter Volatile Matter (%) (%)  Nilai Kalor  Nilai Kalor (kkal/kg) (kkal/kg) Antrachitic Antrachitic Meta-antrachi Meta-antrachite te > > 98 98 < < 22 Antrachite 92 Antrachite 92 –  – 98 98 22 –  –  8 8 Semi

Semi antrachitantrachite e 8686 –  – 92 92 88 –  –  14 14 Bituminous

Bituminous Low

Low Volatile Volatile 7878 –  – 86 86 14 – 14 –  22 22 Medium

Medium Volatile Volatile 6969 –  – 78 78 22 – 22 –  31 31 High

High Volatile Volatile A A < < 69 69 > > 31 31 > > 7.786,387.786,38 High

High Volatile Volatile B B 7.213,157.213,15 –  –  7.786,38 7.786,38 High

High Volatile Volatile C C 6.377,196.377,19 –  –  7.213,15 7.213,15 Subbituminous Subbituminous Subbituminous Subbituminous A A 5.827,845.827,84 –  –  6377,19 6377,19 Subbituminous Subbituminous B B 5.278,495.278,49 –  –  5.827,84 5.827,84 Subbituminous Subbituminous C C 4.609,734.609,73 –  –  5.278,49 5.278,49 Lignitic Lignitic Lignite Lignite A A 3.511,043.511,04 –  –  4.609,73 4.609,73 Lignite Lignite B B < < 3511,043511,04

Pada tabel 2.1 dapat dilihat bahwa batubara dengan kualitas yang lebih baik Pada tabel 2.1 dapat dilihat bahwa batubara dengan kualitas yang lebih baik dari

dari  Hiigh  Hiigh Volatile Volatile A A BituminousBituminous tidak dituliskan besar nilai kalor dari batubaratidak dituliskan besar nilai kalor dari batubara tersebut. Hal ini disebabkan karena batubara tingkat tinggi tidak digunakan tersebut. Hal ini disebabkan karena batubara tingkat tinggi tidak digunakan sebagai bahan bakar, sedangkan batubara lainnya biasanya digunakan pada proses sebagai bahan bakar, sedangkan batubara lainnya biasanya digunakan pada proses  pembakaran sehingga nilai kalor menjadi parameter yang yang paling

 pembakaran sehingga nilai kalor menjadi parameter yang yang paling penting.penting. Pada subbab ini telah dibahas karakteristik dari bahan bakar padat yang Pada subbab ini telah dibahas karakteristik dari bahan bakar padat yang lebih dikhususkan pada batubara. Walaupun batubara merupakan bahan bakar lebih dikhususkan pada batubara. Walaupun batubara merupakan bahan bakar  padat yang paling sering

 padat yang paling sering digunakan di dunia saat digunakan di dunia saat ini, tidak menutup kemungkinanini, tidak menutup kemungkinan munculnya jenis bahan bakar padat lainnya. Bahan bakar padat yang sekarang munculnya jenis bahan bakar padat lainnya. Bahan bakar padat yang sekarang cukup berpotensi adalah sampah kota.

cukup berpotensi adalah sampah kota.

2.2

2.2 Sampah KotaSampah Kota

Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai sampah kota. Penjelasan ini akan Pada subbab ini akan dijelaskan mengenai sampah kota. Penjelasan ini akan meliputi definisi sampah kota, permasala

meliputi definisi sampah kota, permasalahan sampah kota, komposisi sampah kotahan sampah kota, komposisi sampah kota Bandung dan karakteristik sampah kota Bandung sebagai bahan bakar. Bandung dan karakteristik sampah kota Bandung sebagai bahan bakar.

(28)

Pembahasan sampah kota akan lebih dikhusukan pada sampah kota Bandung Pembahasan sampah kota akan lebih dikhusukan pada sampah kota Bandung karena penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan sampah di karena penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan sampah di Kota Bandung dan penelitian ini sebagai tindak lanjut dari penelitian sampah kota Kota Bandung dan penelitian ini sebagai tindak lanjut dari penelitian sampah kota Bandung

Bandung sebelumnya. sebelumnya. ..

2.2.1

2.2.1 Definisi dan Penggolongan Sampah KotaDefinisi dan Penggolongan Sampah Kota

Berdasarkan UU 18 tahun 2008, sampah dapat diartikan sebagai sisa Berdasarkan UU 18 tahun 2008, sampah dapat diartikan sebagai sisa kegiatan sehari

kegiatan sehari  –  –   hari manusia dan / atau proses alam yang berbentuk padat.  hari manusia dan / atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah kota dapat diartikan sampah yang berasal dari daerah perkotaan. Sampah Sampah kota dapat diartikan sampah yang berasal dari daerah perkotaan. Sampah merupaka suatu zat yang heterogen, yang artinya sampah terdiri dari beberapa merupaka suatu zat yang heterogen, yang artinya sampah terdiri dari beberapa komponen penyusunnya. Hal ini yang membuat keberagaman jenis sampah di komponen penyusunnya. Hal ini yang membuat keberagaman jenis sampah di dunia.

dunia. Komponen sampah Komponen sampah kota sangat kota sangat tergantung dari tergantung dari lingkungan, lingkungan, iklim, daniklim, dan  perilaku dari masyarakat pada kota tersebut.

 perilaku dari masyarakat pada kota tersebut.

Sampah kota biasanya digolongkan berdasarkan sumber sampah tersebut. Sampah kota biasanya digolongkan berdasarkan sumber sampah tersebut. Penggolongan sampah menurut sumbernya adalah sebagai berikut

Penggolongan sampah menurut sumbernya adalah sebagai berikut [10]:[10]:

 Pemukiman : Sampah golongan ini berasal dari tempatPemukiman : Sampah golongan ini berasal dari tempat  –  –   tempat  tempat

 pemukiman

 pemukiman masyarakat, masyarakat, seperti seperti perumahan perumahan ataupun ataupun apartemen.apartemen. Sampah pemu

Sampah pemukiman ini kiman ini biasanya terdiri biasanya terdiri dari sisa mdari sisa makanan, karduakanan, kardus,s, kertas, plastik, kulit, tekstil sampah kebun, kayu, kaca, logam, kertas, plastik, kulit, tekstil sampah kebun, kayu, kaca, logam,  barang bekas, dan limbah berbahay

 barang bekas, dan limbah berbahayaa

 Daerah komersial : Sampah golongan ini berasal dari pertokoan,Daerah komersial : Sampah golongan ini berasal dari pertokoan,

rumah makan, pasar, perkantoran, dan semua tempat usaha lainnya. rumah makan, pasar, perkantoran, dan semua tempat usaha lainnya. Sampah daerah komersial ini terdiri dari kertas, kardus, pastik, kayu, Sampah daerah komersial ini terdiri dari kertas, kardus, pastik, kayu, sisa makanan, kaca, logam, limbah berbahaya.

sisa makanan, kaca, logam, limbah berbahaya.

 Institusi : Sampah golongan ini berasal dari institusiInstitusi : Sampah golongan ini berasal dari institusi  –  –   institusi  institusi

seperti sekolah, rumah sakit, penjara, pusat pemerintahan, dan lain seperti sekolah, rumah sakit, penjara, pusat pemerintahan, dan lain –  –  lain. Jenis sampah institusi kurang lebih sama dengan sampah lain. Jenis sampah institusi kurang lebih sama dengan sampah komersial.

komersial.

 Konstruksi dan pembongkaran bangunan: Sampah golongan iniKonstruksi dan pembongkaran bangunan: Sampah golongan ini

 berasal dari

(29)

 – 

 –   lain. Sampah ini terdiri dari kayu, baja, beton, pasir, debu dan  lain. Sampah ini terdiri dari kayu, baja, beton, pasir, debu dan sebagainya.

sebagainya.

 Fasilitas umum : Sampah golongan ini berasal dari tamanFasilitas umum : Sampah golongan ini berasal dari taman  –  –   taman,  taman,

 jalanan,

 jalanan, tempat tempat rekreasi rekreasi dan dan fasilitasfasilitas  –  –   fasilitas umum lainnya.  fasilitas umum lainnya. Sampah ini terdiri dari sampah kebun, daun, rumput, dan lain

Sampah ini terdiri dari sampah kebun, daun, rumput, dan lain –  –  lain. lain.

 Kawasan industri : Sampah golongan ini berasal dari sektor bisnisKawasan industri : Sampah golongan ini berasal dari sektor bisnis

seperti pabrik

seperti pabrik  –  –   pabrik. Sampah ini terdiri dari lumpur, debu ,dan  pabrik. Sampah ini terdiri dari lumpur, debu ,dan hasil pengolahan

hasil pengolahan

 Pertanian : Sampah golongan ini berasal dari sisaPertanian : Sampah golongan ini berasal dari sisa  –  –   sisa hasil  sisa hasil

 pertanian, seperti sisa panen dan sampah makanan.  pertanian, seperti sisa panen dan sampah makanan.

Penggolongan sampah berdasarkan sumber sampah tersebut merupakan Penggolongan sampah berdasarkan sumber sampah tersebut merupakan salah satu cara penggolongan sampah. Selain digolongokan berdasarkan sumber salah satu cara penggolongan sampah. Selain digolongokan berdasarkan sumber sampah tersebut, sampah juga dapat digolongkan berdasarkan cara penanganan sampah tersebut, sampah juga dapat digolongkan berdasarkan cara penanganan dan pengolahannya. Penggolongan sampah berdasarkan cara penanganan dan dan pengolahannya. Penggolongan sampah berdasarkan cara penanganan dan  pengolahannya adalah sebagai berikut [10]:

 pengolahannya adalah sebagai berikut [10]:

 Komponen mudah membusuk : sampah Komponen mudah membusuk : sampah rumah tangga, sayuran, buahrumah tangga, sayuran, buah

 – 

 –  buahan, kotoran binatang, dan lain buahan, kotoran binatang, dan lain  –  –  lain lain

 Komponen bervolume besar dan mudah terbakar : kayu, kertas, kain,Komponen bervolume besar dan mudah terbakar : kayu, kertas, kain,

 palstik,

 palstik, karet, kulit, dan lainkaret, kulit, dan lain –  –  lain lain

 Komponen bervolume besar dan sulit terbakar : logam, mineral, danKomponen bervolume besar dan sulit terbakar : logam, mineral, dan

lain

lain –  –  lain lain

 Komponen bervolume kecil dan mudah terbakarKomponen bervolume kecil dan mudah terbakar 

 Komponen bervolume kecil dan sulit terbakarKomponen bervolume kecil dan sulit terbakar 

 Wadah bekas : botol, drum, dan lainWadah bekas : botol, drum, dan lain –  –  lain lain 

 Tabung bertekanan / gasTabung bertekanan / gas 

 Serbuk dan abu : organik, logam metalik, non metalik, bahanSerbuk dan abu : organik, logam metalik, non metalik, bahan

amunisi amunisi

 LumpurLumpur 

 Puing bangunanPuing bangunan 

 Kendaraan tak terpakaiKendaraan tak terpakai 

(30)

2.2.2 Permasalahan Sampah Kota di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Terpusatnya jumlah pendudut di kota  –  kota besar di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung menyebabkan permasalahan bagi pemerintah setempat. Sampah merupakan salah satu permasalahan dari kota  –   kota tersebut karena jumlah sampah yang dihasilkan umumnya sebanding dengan banyaknya orang pada kota tersebut.

Banyaknya jumlah sampah yang dihasilkan tidak diimbangi oleh fasilitas  pelayanannya. Diperkirakan hanya sekitar 60% sampah di kota  –  kota besar yang terangkut ke TPA [10]. Tabel 2.2 memperlihatkan proporsi penduduk yang difasilitasi oleh Dinas Kebersihan setempat.

Tabel 2.2 Proporsi pelayanan sampah di Indonesia [10]

Pulau Penduduk (juta-jiwa) Penduduk dilayani (juta-jiwa) Penduduk dilayani (%) Sumatera 49,3 23,5 48 Jawa 137,2 80,8 59

Bali dan Nusa Tenggara 12,6 6,0 47

Kalimantan 12,9 6,0 46

Sulawesi, Maluku, dan

Papua 20,8 14,2 68

Total 232,7 130,3 56

Buruknya pelayanan sampah bagi penduduk Indonesia diperparah dengan masih berkembangnya paradigma pengolahan sampah: KUMPUL  –   ANGKUT dan BUANG. Paradigma ini membuat metode pengolahan sampah dengan landfilling di TPA menjadi cara pengolahan yang paling sering dipakai. Cara tersebut tidak diimbangi dengan perhatian yang serius dari pemerintah setempat dan bukan tidak jarang penimbunan sampah di TPA ini dapat mengganggu kelangsungan hidup dari penduduk sekitar.

(31)

Gambar 2.2 Skema ANGKUT –  KUMPUL dan BUANG [10]

2.2.3 Komposisi dan Karakteristik Sampah Kota Bandung

Sampah yang akan digunakan pada penelitian kali ini merupakan sampah yang berasal dari Kota Bandung. Sampah merupakan komponen heterogen yang terdiri dari beberapa komponen  –   komponen. Oleh karena itu, perlu dilakukan  penelitian untuk menentukan komposisi samapah kota di Kota Bandung. Penelitian untuk mengetahui komposisi sampah kota di Kota Bandung pernah dilakukan pada tahun 2007. Pada penelitian tersebut, para peneliti melakukan suvei pada 23 TPS yang tersebar di Kota Bandung [1]. Data dari survei tersebut diharapkan dapat mewakili komposisi sampah di Kota Bandung. Berikut data fraksi volume dan fraksi massa komponen  –  komponen penyusun sampah kota di Kota Bandung.

(32)

Gambar 2.3 Komposisi rerata timbulan sampah (%volume) (diadaptasi dari [1])

Gambar 2.4 Komposisi rerata timbulan sampah (%massa) (diadaptasi dari [1]) Komponen  –   komponen sampah yang terlihat pada gambar 2.3 dan 2.4 ternyata tidak semuanya dapat dimanfaatkan untuk menjadi bahan bakar alternatif. Sampah  –   sampah tersebut merupakan sampah yang diambil oleh pemulung sehingga tidak tersedia lagi di TPA sehingga sampah yang tersisa di TPA sebesar

44.36 11.32 11.58 3.24 13.06 12.94 2.34 1.83 1.13 1.71 1.28 5.31 Organik Sisa Makanan Kertas Gelas/Botol kaca/Kaca Plastik daur ulang

Plastik bukan daur ulang Logam/Kaleng Tekstil Karet Styrofoam Sisa elektronik Lain - lain 43.91 26.96 13.76 4.97 7.47 9.01 5.95 4.74 2.69 0.65 2.23 13.95 Organik Sisa makanan Kertas Gelas/Botol kaca/Kaca Plastik daur ulang

Plastik bukan daur ulang Logam/Kaleng Tekstil Karet Styrofoam Sisa elektronik Lain-lain

(33)

75% dari tota sampah kota yang dihasilkan. Komponen sampah kota yang diambil oleh pemulung, antara lain gelas, logam, dan plastik daur ulang. Komponen sampah yang dapat dimanfaatkan dapat dilihat pada tabel 2.3 dan fraksi massa dari komponen –  komponen tersebut dapat dilihat pada gambar 2.5.

Tabel 2.3 Komponen sampah yang dapat dimanfaatkan [ 1]

 No Komponen

1 Organik

Daun Ranting Sisa Makanan 2 Plastik bukan daur ulang Plastik kemasan

3 Tekstil Tekstil

4 Karet Styrofoam

Karet sandal

5 Lain - lain Lain - lain

Gambar 2.5 Komposisi sampah yang tidak diambil pemulung (%massa) (diadaptasi dari [1])

Komponen organik yang terdiri atas daun, ranting, dan sisa makanan ini mendominasi berat dari sampah di Kota Bandung. Komponen organik inilah yang nantinya akan dijadikan bahan bakar alternatif pada penelitian ini. Setelah kita mengetahui komposisi dari sampah kota di Kota Bandung, kita juga harus

69 9 5 3 14 Organik

Plastik bukan daur ulang Tekstil

Karet Lain - lain

(34)

mengetahui karakteristik dari sampah di Kota Bandung sebagai bahan bakar, seperti komposisi fisik, komposisi kimia.

Karakteristik sampah ditentukan dari komponen  –  komponen penyusunnya. Oleh karena itu, karakteristik dari sampah di tiap kota berbeda  –   beda. Karakteristik. Karakteristik sampah dapat dikelompokan menjadi komposisi fisik, komposisi kimia, dan nilai kalor. [1].

Karakteristik fisik meliputi kandungan 4 unsur penyusun, yaitu kandungan  fixed carbon, kandungan air, kandungan volatile matter, dan kandungan abu pada

sampah. Selain itu, nilai kalor juga termasuk dalam komposisi fisik dari sampah karena sampah yang dimaksud akan digunakan sebagai bahan bakar. Unsur  –  unsur penyusun tersebut kurang lebih sama dengan batubara, namun kandungan unsur  –   unsur penyusun tersebut yang menyebaban adanya perbedaan antara  batubara dan sampah. Unsur  –   unsur penyusun sampah dapat diketahui dengan

melakukan uji proksimat, sedangkan nilai kalor dapat diketahui dengan pengujian nilai kalor dengan kalorimeter bom.

Komposisi kimia terdiri dari beberapa unsur, seperti karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, klorin, sulfur. Komposisi kimia ini yang sebenarnya menggambarkan unsur yang menyusun sampah. Komposisi kimia dari suatu sampah dapat diketahui dari uji ultimat.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, para peneliti telah melakukan uji proksimat, uji ultimat, dan juga pengujian nilai kalor dari sampah di Kota Bandung yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif. Gambar 2.6 meggambarkan komposisi fisik dari sampah.

(35)

Gambar 2.6 Komposisi fisik sampah kota Bandung berdasarkan uji proksimat [1] Berdasarkan hasil uji proksimat komponen sampah yang dapat dijadikan  bahan bakar, kandungan volatile matter  pada sampah tersebut merupakan yang  paling dominan. Volatile matter merupakan zat  –   zat yang mudah menguap dan  bekontribusi dalam pembakaran. Kandungan air pada sampah kota ini terbilang kecil, maksimal hanya sekitar 10%. Kandungan air ini hanya kandungan inherent mositure karena komponen sampah pada pengujian ini dalam kondisi adb sehingga kandungan  surface moisture sudah hilang dari sampah. Kandungan air tidak berkontribusi dalam pembakaran. Kandungan air bahkan menyerap kalor yang dihasilkan bahan bakar. Kandungan  fixed carbon  kurang dari 20%.  Fixed carbon  merupakan unsur yang paling berkontribusi dalam pembakaran sehingga  fixed carbon  sangat diinginkan di dalam bahan bakar. Kandungan abu pada sampah rata  –   rata kurang dari 10%. Namun, komponen karet memiliki kandungan abu yang cukup tinggi, yaitu lebih dari 20%. Kandungan abu yang  besar menyebabkan buruknya emisi yang dihasilkan sampah tersebut.

Hasil uji ultimat, yang menggambarkan komposisi kimia dari sampah kota Bandung, tersaji pada gambar 2.7

(36)

Gambar 2.7 Komposisi kimia sampah kota Bandung berdasarkan uji ultimat [1] Karbon dan oksigen merupakan dua unsur yang paling dominan pada sampah kota Bandung. Karbon merupakan unsur penyusun  fixed carbon  dan volatile matter . Oksigen dan hidrogen merupakan penyusun volatile matter dan  juga kandungan air. Sulfur merupakan unsur yang paling sedikit pada sampah kota Bandung. Sulfur berperan dalam pembentukan emisi SOX. SOX  berperan

dalam pembentukan hujan asam apabila terlepas ke udara. Oleh karena itu, kandungan sulfur yang sedikit pada sampah kota menambah keunggulan sampah kota sebagai bahan bakar. Selain mempunyai keunggulan dalam masalah emisi, ternyata sampah kota juga memiliki kekurangan. Kandungan klorin pada sampah kota terbilang cukup besar apabila dibandingkan dengan batubara. Kandungan klorin terbesar terkandung pada komponen sisa makanan. Klorin ini dapat memicu terbentuknya zat beracun, dioksin, apabila pembakaran sampah terjadi pada temperatur rendah (<600 ˚C). Kandungan nitrogen pada sampah kota berkisar sekitar 5%.

Setelah mengetahui komposisi fisik dan komposisi kimia dari sampah kota Bandung, kita perlu mengetahui potensi nilai kalor dari sampah kota Bandung agar melengkapi karakteristik sampah kota sebagai bahan bakar alternatif.

(37)

Gambar 2.9 menunjukkan potensi nilai kalor yang dimiliki komponen  –  komponen sampah kota Bandung.

Gambar 2.8 Potensi nilai kalor komponen sampah kota Bandung (adb) [1]  Nilai kalor dari komponen –  komponen sampah ini cukup beragam. Plastik  bukan daur ulang merupakan komponen sampah dengan nilai kalor yang paling tinggi diantara komponen  –  komponen sampah lainnya. Sampah yag diuji dalam kondisi adb sehingga nilai kalor yang dimiliki pada pengujian ini terbilang besar. Bila sampah pada kondisi yang sebenarnya atau as recieved , nilai kalor yang dihasilkan oleh sampah pasti lebih kecil dibandingkan pada pengujian tersebut.

2.3 Biomassa Lignoselulosa dan Amilum

Pada subbab ini akan dibahas mengenai lignoselulosa dan amilum. Lignoselulosa merupakan zat yang paling banyak ditemui pada biomassa. Lignoselulosa juga diharapkan merupakan zat yang paling banyak ditemui di sampah kota karena komponen organik, yang merupakan biomassa, merupakan komponen terbanyak pada sampah kota. Selain lignoselulosa, amilum juga banyak ditemui di komponen sisa makanan, lebih tepatnya pada nasi. Oleh karena itu,

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 Sampah Pepohonan Sampah Makanan Plastik Bukan Daur Ulang

Karet Tekstil Lain-Lain

   N    i     l   a   i     k   a     l   o   r    a     d     b     (     k     k   a     l     /     k   g     )

(38)

diperlukan pemahamam lebih mendalam tentang peran dan juga karakteristik dari lignoselulosa dan amilum.

2.3.1 Lignoselulosa

Lignoselulosa merupakan komponen yang paling banyak ditemukan pada tanaman hijau. Biomassa Lignoselulosa merupakan biomassa terbarukan yang  paling banyak di dunia dengan produksi sebesar 1 X 1010 di seluruh dunia [12]. Lignoselulosa adalah komponen berserat yang menyusur dinding sel tumbuhan. Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen utama, yaitu hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Hemiselulosa dan selulosa merupakan gula polimer sehingga kedua komponen ini sangan potensial untuk dijadikan gula fermentasi. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai ketiga komponen utama dari lignoselulosa.

1) Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan komponen penyusun dinding sel tanaman. Hemiselulosa mempunyai struktur yang acak, dan amorf dengan ikatan yang lemah. Hemiselulosa adalah kelompok karbohidrat dengan struktur rantai yang bercabang dan derajat polimerisasi yang rendah (DP<100-200) [11]. Molekul yang paling dominan pada hemiselulosa adalah xylan. Gambar 2.9 Menggambarkan struktur xylan

(39)

2) Selulosa

Selulosa merupakan komponen lainnya yang menyusun dinding sel tanaman. Tidak seperti hemiselulosa, selulosa mempunyai struktur kristalin yang kokoh. Struktur ini terbentuk dari banyak molekul glukosa. Selulosa adalah rantai polimer panjang [6]. Selulosa merupakan komponen yang dominan dari biomassa kayu. Kandungan selulosa pada biomassa kayu berkisar antara 40  –  44 %  berat kering dari kayu. Gambar 2.10 menunjukkan struktur dari

selulosa

Gambar 2.10 Struktur molekul tunggal dari selulosa [12] 3) Lignin

Lignin merupakan komponen yang palig kompleks pada komponen  penyusun lignoselulosa. Mengisi tempat diantara hemiselulosa dan

selulosa pada struktur lignoselulosa. Pada kayu lignin berfungsi meningkatkan ketahanan dan perkembangan sel. Kandungan lignin mempengaruhi transportasi air, nutrisi dan mempunyai ketahanan terhadap impak [11]. Pada penelitian sebelumnya, lignin telah terbukti dapat berfungsi sebagai pengikat pada biomassa. Gambar 2.11 menunjukkan struktur lignin.

(40)

Gambar 2.11 Contoh struktur molekul lignin [12]

2.3.2 Amilum

Amilum merupakan komponen yang paling banyak ditemukan pada nasi. Amilum merupakan polimer senyawa glukosa yang terdiri dari dua komponen tama, yaitu amilosa dan amilopektin [13]. Amilosa merupakan polimer berlantai lurus yang memberikan sifat keras pada nasi. Amilopektin merupakan polimer  bercabang yang memberikan sifat lengket nasi. Gambar 2.12 menggambarkan

(41)

Gambar 2.12 Sturktur amilosa dan amilopektin [13]

2.4 Dasar Proses Torefaksi

Pada subbab sebelumnya dijelaskan sampah kota yang tersedia untuk dijadikan bahan bakar alternatif ternyata masih membutuhkan penanganan lebih sebelum dapat menjadi bahan bakar padat yang dapat setara dengan batubara. Tingginya kandungan air dan kandungan senyawa organik yang kompleks merupakan masalah yang harus ditanggulangi agar kelak sampah kota dapat menggantikan batubara sebagai sumber energi.

2.4.1 Definisi Proses Torefaksi

Peningkatan densitas energi menjadi cara untuk meningkatkan kualitas sampah kota agar setara dengan batubara. Menghilangkan kandungan air dan menyederhanakan senyawa organik kompleks pada sampah kota dapat meningkatkan densitas energi sampah kota agar dapat setara dengan batubara. Pirolisis merupakan suatu metode untuk meningkatkan densitas energi dari bahan  bakar.

Pirolisis adalah proses peningkatan densitas energi material lignoselulosa melalui perlakuan panas pada kondisi inert dan pada tekanan atmosfer [14]. Pirolisis akan menghasilkan 3 macam produk berupa padatan, cairan, dan gas. Kuantitas dari ketiga produk ini akan berbeda  –   beda tergantung dari jenis

(42)

 pirolisis yang dilakukan. Pada tabel 2.4 dapat dilihat jenis  –   jenis pirolisis  berdasarkan temperatur operasi, waktu tinggal, dan laju kenaikan temperatur.

Tabel 2.4 Fraksi massa produk kayu (dry wood basis) yang dihasilkan dari  berbagai metode torefaksi kayu [14]

Metode Kondisi Padat

(%)

Cair (%)

Gas (%) Fast ±500°C, short hot vapor residence

time 1 second 12 75 13

Intermediate ±500°C, short vapor residence time,

10-30 seconds 25 50 25

Slow-torrefaction

±290°C, solid residence time 30

minutes 82 - 18

Slow-carbonization

±400°C, long vapor residence time

hours-days 35 30 35

Gasification ±800°C 10 5 85

Dari tabel diatas dapat dilihat beragam jenis pirolisis. Pada penelitian kali ini hanya torefaksi yang akan dibahas lebih lanjut karena torefaksi merupakan metode yang digunakan pada penelitian kali ini. Torefaksi merupakan jenis dari  proses pirolisis dengan temperatur operasi berkisar sekitar 200°C-300°C. Torefaksi

menghasilkan padatan sebagai produk utama. Laju pemanasan yang lambat membuat  padatan menjadi produk yang paling dominan. Gambar 2.13 menunjukkan contoh skema  proses torefaksi.

(43)

Gambar 2.13 Contoh skema proses torefaksi

2.4.2 Mekanisme Proses Torefaksi

Pada proses torefaksi, biomassa atau sampah kota dipapari aliran gas inert  panas. Oleh karena itu, biomassa akan mengalami 2 tahap penurunan massa, yaitu tahap pengeringan dan tahap devolatilisasi selama proses torefaksi [15]. Berikut adalah penjelasan dari kedua tahapan penurunan massa sampah kota pada saat  proses torefaksi.

 Tahap Pengeringan

Pada tahap ini, penurunan massa pada biomassa akan terjadi karena lepas kandungan air pada padatan. Kandungan air yang hilang berupa  surface moisture maupun inherent moisture.  Lepasnya kandungan air pada padatan disebabkan  perubahan fasa kandungan air dari fasa cair ke gas karena paparan panas dari

aliran gas pada proses torefaksi.

 Tahap Dekomposisi

. Pada tahap ini terjadi pelepasan volatile matter dari padatan. Tahap devolatisasi ini terjadi setelah tahap pengeringan berakhir pada biomassa yang terpulverisasi. Pada biomassa dengan ukuran yang lebih besar, tahap dekomposisi akan terjadi ketika tahap pengeringan telah selesai pada sebagian biomassa yang ditorefaksi.

(44)

Tahap dekomposisi dapat meningkatkan densitas energi pada biomassa. Dekomposisi komponen lignoselulosa pada biomassa menyebabkan penurunan massa pada biomassa yang akhirnya dapat meningkatkan densitas energi dari  produk torefaksi biomassa.. Proses dekomposisi dari ketiga jenis komponen

lignoselulosa terjadi secara berbeda. Perbedaan proses dekomposisi tersebut dipengaruhi oleh temperatur proses torefaksi. Gambar 2.14 menunjukkan proses dekomposisi dari tiap komponen lignoselulosa.

Gambar 2.14 Proses dekomposisi termal komponen  –   komponen lignoselulosa  pada proses torefaksi [14]

Pada proses dekomposisi diatas terlihat bahwa proses dekomposisi termal komponen lignoselulosa yang terjadi pada proses torefaksi. Hemiselulosa merupakan komponen lignoselulosa yang terdekomposisi paling maksimal pada temperatur operasi torefaksi, yang ditunjukan dengan daerah bewarna pekat pada rentang temperatur torefaksi. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur dekomposisi termal hemiselulosa berkisar antara 200 –  300 °C. Selulosa tidak terdekomposisi secara maksimal pada proses torefaksi karena temperatur dekomposisi selulosa

(45)

 berkisar antara 300  –   400 °C, sedangkan lignin terdekomposisi secara perlahan karena temperatur dekomposisi lignin berkisar antara 200 –  500 °C.

Proses dekomposisi termal dari komponen  –   komponen lignoselulosa juga dapat diamati dengan analisis thermogravimetry. Analisis termografimetri menunjukkan penurunan massa dari komponen  –   komponen lignoselulosa pada selang temperatur operasi tertentu. Berikut ini contoh grafik termografimetri dari  proses dekomposisi kayu

Gambar 2.15 Contoh grafik thermogravimetry kayu [16]

Selain dengan grafik thermogravimetry proses dekomposisi juga dapat diamati dengan melihat grafik penurunan grafik thermogravimetry. Grafik tersebut dinamakanan derivative thermogravimetry (DTG). DTG ditunjukan oleh

(46)

gambar dibawah ini.

Gambar 2.16 Contoh grafik DTG [17]

Pada grafik DTG diatas dapat dilihat bahwa dekomposisi termal hemiselulosa terjadi pada temperatur dibawah 300 °C. Dekomposisi selulosa terjadi secara maksimal pada temperatur 323 °C, sedangkan proses dekomposisi lignin mencapai puncak pada temperatur sekitar 500 ⁰C walaupun tidak sebesar

dekomposisi hemiselulosa dan selulosa. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen lignin merupakan komponen lignoselulosa yang paling sulit untuk terdekomposisi.

2.5 Proses Torefaksi Temperatur Tinggi

Pada subbab ini akan dibahas mengenai proses torefaksi pada temperatur tunggi (>300˚C). Pembahasan diawali dengan membahas mekanisme dekomposisi

komponen lignoselulosa dan akan diakhiri dengan pembahasan penelitian terkait torefaksi biomassa pada temperatur tinggi yang sudah pernah dilakukan sebelumnya.

2.5.1 Mekanisme Dekomposisi Komponen Lignoselulosa

Dekomposisi komponen  –   komponen lignoselulosa merupakan bahasan yang penting untuk dibahas, apabila kita ingin merancang suatu proses torefaksi

(47)

yang baik pada suatu biomassa. Hemiselulosa, selulosa, dan lignin akan mengalami mekanisme dekomposisi yang berbeda-beda pada suatu rentang temperatur tertentu. Pada uraian dibawah ini akan dibahas mengenai mekanisme dekomposisi hemiselulosa, selulosa, dan lignin.

 Mekanisme Dekomposisi Hemiselulosa

Hemiselulosa merupakan heteropolisakarida, yang komposisinya  bergantung pada jenis tumbuhan. Xylan merupakan komponen hemiselulosa yang  paling banyak pada tumbuhan angiospermae, sementara glucomannan merupakan komponen lignoselulosa yang paling banyak ditemukan pada tumbuhan  gymnospermae [18].

Walaupun merupakan komponen yang heterogen, dekomposisi hemiselulosa terjadi secara dominan pada rentang temperatur 200˚C-350˚C. Dekomposisi

 puncak terjadi pada temperatur sedikit di bawah 300˚C. Gambar 2.17

menggambarkan secara lebih detil mekanisme dekomposisi hemiselulosa pada  proses pirolisis melalui peninjauan dekomposisi komponen xylan.

(48)

Gambar 2.17 Pirolisis komponen xylan (atas: analisis thermogravimetry ,bawah: reaksi utama selama perubahan struktur ikatan) [18]

Pada gambar 2.17 atas terlihat bahwa pada dekomposisi xylan selama proses  pirolisis terjadi dua puncak yang menunjukkan dekomposisi maksimal. Puncak kecil terjadi pada sekitar temperatur 240˚C dan puncak besar terjadi pada

temperatur sekitar 300˚C. maksimal hemiselulsa tidak terjadi lagi setelah

temperatur 300˚C. Pada temperatur diatas 300˚C, sisa padatan menjadi lebih

aromatik dibanding sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dekomposisi hemiselulosa terjadi secara maksimal pada temperatur torefaksi (200˚C-300˚C).

Gambar 2.17 bawah menyajikan mekanisme dekomposisi xylan secara lebih detil. Dekomposisi xylan dimulai dari proses dehidrasi dan pelepasan ikatan  –  ikatan yang tidak stabil yang terjadi pada sekitar temperatur 200˚C. Selama proses

ini methanol terbentuk akibat pemecahan gugus metoksi pada padatan. Selain itu, asam format ikut terbentuk akibat pemecahan asam karboksilat pada padatan.

(49)

Proses dekomposisi selanjutnya adalah depolimerasisasi, yang terjadi pada rentang temperatur 240˚C-320˚C. Pada rentang temperatur tersebut ikaatan

glikosidik yang mengikat unit  –  unit monosakarida menjadi tidak stabil sehingga depolmerisasi cepat terjadi. Proses depolimerisasi ini mengakibatkan  pembentukan gula anhidro yang baru. Pada temperatur diatas 320˚C, reaksi yang

terjadi hanya proses charring  pada sisa padatan. Proses tersebut tidak menimbulkan dekomposisi yang besar pada xylan.

 Mekanisme Dekomposisi Selulosa

Selulosa merupakan komponen linear homopolisakarida. Selulosa berbeda dengan hemiselulosa yang mana merupakan komponen heteropolisakarida [18]. Dekomposisi selulosa pada proses pirolisis terjadi utamanya pada rentang temperatur 300˚C-390˚C. Gambar 2.18 menggambarkan secara lebih detil tentang

Gambar

Tabel 1.1 Data ekivalen sampah kota di beberapa kota besar di  Indonesia
Gambar 2.1 Kategori untuk menggambarkan kondisi batubara [9]
Gambar 2.3 Komposisi rerata timbulan sampah (%volume) (diadaptasi dari  [1])
Gambar  2.9  menunjukkan  potensi  nilai  kalor  yang  dimiliki  komponen  –  komponen sampah kota Bandung.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kota Bogor memiliki prospek yang baik untuk lnendirikan industri vertnikompos berbahan baku sampah kota.. Potensi pasar yang tersedia untuk penjualan

Berdasarkan kajian data timbulan, komposisi dan karakteristik sampah yang telah didapat, pengolahan sampah domestik yang efektif dilakukan di kota Bukittinggi adalah komposting

Pengaruh Effective Inoculant PROMI dan EM4 terhadap Laju Dekomposisi dan Kualitas Kimia Kompos dari Sampah Kota Ambon, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel

Pada penelitian ini dilakukan studi kelayakan pemanfaatan biogas dari sampah organik rumah makan di kota Pontianak dengan melakukan kajian terlebih dahulu mengenai potensi

Dengan metode studi kasus, maka fakta mengenai kemitraan Pemerintah dan swasta yang dilakukan dalam rangka pengelolaan sampah di Kota Pekanbaru akan digali dari berbagai sumber

Berdasarkan Gambar 4.1 persentase komposisi sampah di Kecamatan Medan Area untuk kategori HI yang paling tinggi adalah 72% sampah organik yang terdiri dari

Penelitian ini menggunakan alat bomb calorimeter dan metode WBT (Water Boiling Test) menggunakan kompor gasifikasi untuk proses pengujian briket sampah organik dan hasil nilai

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah terpadu di Kelurahan Pedurungan Kidul Kota Semarang melalui 3 proses yang harus dilakukan