• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE BERDASARKAN EKOLOGI: STRATEGI DAN IMPLEMENTASI 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGENDALIAN HAMA Helopeltis spp. PADA JAMBU METE BERDASARKAN EKOLOGI: STRATEGI DAN IMPLEMENTASI 1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENGENDALIAN HAMA Helopeltis spp. PADA

JAMBU METE BERDASARKAN EKOLOGI:

STRATEGI DAN IMPLEMENTASI

1)

Elna Karmawati

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jalan Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111

Telp. (0251) 8313083, Faks. (0251) 8336194, E-mail: [email protected]

1)Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor

Riset yang disampaikan pada tanggal 19 De-sember 2007 di Bogor.

PENDAHULUAN

Jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan komoditas ekspor yang memi-liki nilai jual cukup tinggi dan relatif stabil dibanding komoditas ekspor Indonesia lainnya. Walaupun nilai ekspor gelondong mete pernah mengalami penurunan pada tahun 2000 dan 2001, nilai ini melonjak kembali pada tahun 2002 dan 2003, dan pada akhir 2006 nilainya mencapai US$ 409.081.000 dengan volume 494.471 M ton (BPEN 2007). Harga jual dalam negeri pun cukup tinggi, berkisar antara Rp37.500-Rp47.000/kg (Direktorat Jenderal Perke-bunan 2006a).

Kondisi gelondong mete Indonesia da-lam perdagangan mete internasional masih jauh di bawah negara produsen gelondong lainnya seperti Tanzania, yaitu hanya sekitar 10,1%. Negara tujuan ekspor utama gelondong mete Indonesia adalah India dan hanya memenuhi 45% dari kebutuhan untuk pengolahan mete (Direktorat Jen-deral Perkebunan 2006b), serta India memiliki kebijakan melarang impor kacang mete agar industrinya berjalan sepanjang

tahun (Indrawanto et al. 2001). Tujuan ekspor kacang mete India terkonsentrasi ke Amerika Serikat (48%) dan Eropa (28%). Kekuatan monopoli India dan posisi tawar Amerika Serikat yang cukup kuat dalam perdagangan mete membuat Indonesia sulit menembus pasar dunia dan harus memiliki daya saing yang tinggi melalui kesatuan kinerja dari lima subsistem agribisnis (Indrawanto et al. 2003).

Permasalahan utama pada usaha tani jambu mete Indonesia adalah produktivitas dan mutu kacang mete yang masih rendah sehingga harganya pun lebih rendah dibandingkan kacang mete dari negara lain (Ferry et al. 2001). Areal pengembangan jambu mete cukup luas dengan penghasil utama saat ini adalah Nusa Tenggara Timur dengan luas areal 147.093 ha, diikuti oleh Sulawesi Tenggara dengan luas 121.135 ha, Sulawesi Selatan 80.130 ha, Jawa Timur 57.733 ha, Nusa Tenggara Barat 55.698 ha, dan Jawa Tengah 30.423 ha, dengan luas keseluruhan mencapai 595.111 ha (Direk-torat Jenderal Perkebunan 2006a).

Organisme pengganggu tumbuhan yang utama pada tanaman jambu mete adalah hama. Serangan hama menyebab-kan kematian tanaman serta produktivitas dan mutu biji rendah. Jenis dan luas se-rangan hama utama bervariasi pada tiap sentra jambu mete. Di lima sentra produksi

(2)

utama, serangan Helopeltis spp. mencapai luas paling tinggi saat ini. Hama penting kedua pada jambu mete berbeda di masing-masing provinsi, yaitu Sanurus indecora di Nusa Tenggara Barat, Thrips sp. di Nusa Tenggara Timur, rayap di Sulawesi Selatan, dan Cricula sp. di Yogyakarta (Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan 2006). Berbeda dengan hama-hama jambu mete lainnya yang muncul di setiap sentra pro-duksi walaupun hanya sedikit, S. indecora merupakan hama baru dan hanya dite-mukan di Lombok.

Berdasarkan fenomena yang ditemu-kan di alam, diketahui bahwa kelimpahan populasi serangga beserta sebarannya berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya atau dari satu waktu ke waktu berikutnya. Artinya, kelimpahan populasi serangga tersebut tidak akan punah atau terus menurun sampai populasi menghilang. Banyak faktor yang memengaruhi kese-imbangan populasi hama di alam serta sangat kompleks dan setiap ahli memiliki pendapat yang berbeda (Karmawati 1983). Namun secara umum, faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor biotik dan abiotik (Krebs 1978).

Mempelajari kelimpahan hama dan sebarannya berarti mempelajari satu unit ekologi. Transley (1935) dan Rowe (1961) menyatakan bahwa unit dasar dari ekologi adalah ekosistem, komunitas biotik, dan lingkungan abiotik. Apabila kelimpahan populasi hama terus meningkat, berarti ada indikasi satu atau beberapa faktor tidak berfungsi untuk mengendalikan hama, atau ada input dari luar yang menekan bekerjanya salah satu faktor tersebut. Oleh karena itu, memerhatikan faktor-faktor dalam ekosistem merupakan keharusan.

Hubungan antarfaktor dalam ekosistem telah banyak dipelajari dan diaplikasikan pada tanaman perkebunan. Ternyata ada

lebih dari satu faktor yang memengaruhi fluktuasi populasi hama, seperti pada lada (Karmawati et al. 1990), jahe (Karmawati

et al. 1992; Karmawati dan Kristina 1993),

dan jambu mete (Karmawati 1998; Kar-mawati et al. 1999a; KarKar-mawati 2006).

Dalam perencanaan perlindungan ta-naman melalui studi ekologi sering diper-lukan pendugaan populasi hama dengan ketepatan dan ketelitian yang tinggi. Metode pendugaan populasi melalui pena-rikan contoh sangat berkaitan dengan sebaran populasi hama pada suatu perta-naman. Hal ini telah dibuktikan pada kedelai, kapas, lada, dan jambu mete (Kar-mawati dan Tengkano 1986; Kar(Kar-mawati 1988a; Karmawati et al. 1988b; Karmawati

et al.1998). Hasil yang dicapai pada

tanaman perkebunan mengenai atribut-atribut ekologi ini memberikan peluang dalam mengembangkan pengendalian hama Helopeltis spp. pada jambu mete ber-dasarkan ekologi, mengingat luas serangan hama tersebut di sentra produksi makin meningkat.

DINAMIKA PERKEMBANGAN DAN EKONOMI HAMA JAMBU METE

Perkembangan Hama Jambu Mete

Hama merupakan salah satu kendala pro-duksi pada tanaman jambu mete di Indo-nesia. Serangan hama terjadi sejak tanaman di pembibitan sampai berproduksi, bahkan di gudang penyimpanan hasil. Sebaran dan kerusakan yang ditimbulkan oleh hama jambu mete belum tercatat dengan baik karena semula tanaman tersebut hanya untuk konservasi, tanaman pekarangan atau tanaman sela. Namun dalam 15 tahun terakhir, karena jambu mete mulai ditanam

(3)

secara monokultur pada areal yang luas, masalah hama menjadi penting untuk di-perhatikan.

Hama utama pada jambu mete meng-alami perubahan dalam 10 tahun terakhir akibat perubahan ekosistem atau ling-kungan dan perilaku manusia (Rauf 2004). Hasil pengamatan di delapan provinsi pe-ngembangan menunjukkan, minimal ada delapan jenis hama yang ditemukan, namun hanya dua jenis yang merusak dan merugikan, yaitu Cricula trifenestrata (Saturniidae: Lepidotera) dan Helopeltis

antonii Sign (Heteroptera: Miridae)

(Wi-kardi et al. 1996). Beberapa tahun setelah itu, C. trifenestrata tidak lagi menjadi hama utama karena petani melaksanakan pe-ngendalian secara mekanis dengan memu-ngut setiap kepompong hama tersebut pada tanaman jambu mete. Petani mendapat imbalan sesuai dengan jumlah kepompong yang diperoleh. Kepompong dimanfaatkan sebagai campuran dalam pembuatan kain sutera.

Luas serangan Helopeltis spp. mening-kat secara signifikan di beberapa sentra produksi dalam 5 tahun terakhir. Pada akhir tahun 2006, luas serangan Helopeltis di Nusa Tenggara Barat mencapai 5.847,29 ha, Nusa Tenggara Timur 3.837,97 ha, Sula-wesi Selatan 1.045,25 ha, dan DI Yogya-karta 84,75 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan 2006).

Lonjakan populasi Helopeltis spp. tidak akan terjadi jika musuh alaminya bekerja dengan baik. Hal ini karena hasil penga-matan menunjukkan bahwa bila serangga yang ditemukan dikelompokkan berdasar-kan peran utamanya dalam ekosistem, proporsi yang diperoleh adalah 33% hama utama dan potensial, 52% musuh alami, dan 15 % serangga penyerbuk (Supriadi et al. 2002; Siswanto et al. 2003b). Dengan de-mikian, jenis serangga berguna lebih

ba-nyak dibandingkan dengan serangga yang merugikan. Serangga parasitoid, predator, dan penyerbuk umumnya berasal dari ordo Diptera dan Hymenoptera.

Berdasarkan jenis dan rentang tanaman inangnya, ditemukan sembilan spesies ha-ma yang menyerang tanaha-man perkebunan, seperti kopi, kakao, dan teh (Wiratno et al. 2001). Namun, hanya tiga spesies yang me-nyerang jambu mete, yaitu H. antonii, H.

theivora, H. bradyi (Supriadi et al. 2002),

dan yang paling banyak adalah H. antonii dan H. theivora.

Ekonomi Hama Jambu Mete

Helopeltis spp. dikenal sebagai kepik

pengisap (cashew sucker) karena nimfa dan imago mengisap cairan tumbuhan pada pucuk muda, tunas, bunga, gelon-dong, dan buah muda. Setelah cairan isap, air liurnya yang sangat beracun di-keluarkan dan tempat yang terkena akan melepuh dan berwarna coklat tua. Se-rangan pada pucuk dan daun muda meng-akibatkan bagian tanaman tersebut me-ngering dan mati pucuk. Bunga yang terserang menjadi hitam dan mati, kadang bekas tusukan serangga ditandai dengan keluarnya gum. Buah muda yang terserang berbercak hitam, bila diserang beserta gelondongnya maka seluruhnya akan menjadi hitam. Jika yang diserang buah tua, titik-titik hitam akan terlihat pada buah semunya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyaknya bekas tusukan me-mengaruhi persentase kematian pucuk. Bekas tusukan sebanyak 42 bercak meng-akibatkan 20% kematian pucuk pada minggu pertama dan menjadi 46% pada minggu keenam (Siswanto et al. 2007).

Dengan melihat gejala yang terjadi di lapangan, dapat disimpulkan bahwa makin

(4)

dini tanaman diserang, kerugian yang ditimbulkan makin besar karena satu pucuk atau satu karangan bunga sehat berpe-luang untuk menghasilkan beberapa buah. Serangan Helopeltis anacardii di bebe-rapa negara Asia Selatan, India, dan Afrika Timur menyebabkan kerusakan pucuk hingga 80% tiap pohon (Rickson dan Rickson 1998). Sementara itu, Mandall (2000) menyebutkan bahwa serangan

He-lopeltis spp. pada tanaman jambu mete

menyebabkan kerusakan sebesar 25% pada pucuk, 35% pada karangan bunga, dan 15 % pada buah muda.

Di Indonesia, luas serangan Helopeltis spp. di sentra produksi jambu mete sangat bervariasi dan meningkat dengan cepat tiap tahun, namun laju peningkatannya ber-beda antarprovinsi. Di Nusa Tenggara Barat, luas serangan Helopeltis spp. pada tahun 2004 hanya 1.051 ha, tetapi pada akhir 2005 mencapai 5.847 ha. Di Sulawesi Selatan, luas serangan Helopeltis spp. naik dari 638 ha pada tahun 2004 menjadi 1.045 ha pada tahun 2005, sedangkan di DI Yogyakarta luas serangannya justru menu-run dari 129 ha menjadi 85 ha pada tahun 2005 (Direktorat Perlindungan Tanaman Perkebunan 2006).

Kerugian hasil yang disebabkan oleh

Helopeltis spp. belum diketahui secara

pasti karena masing-masing provinsi mem-berikan penaksiran yang berbeda. Pada tahun 2004, taksasi kehilangan hasil karena serangan Helopeltis spp. mencapai Rp1,23 miliar (Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat 2005). Di Nusa Tenggara Timur, kerugian akibat serangan Helopeltis spp. pada akhir tahun 2006 mencapai Rp10 miliar, dan 90% dari serangan ini berada di Flores Timur. Di DI Yogyakarta, kerugian akibat serangan Helopeltis spp. hanya mencapai Rp2,5 miliar (Direktorat Perlin-dungan Tanaman Perkebunan 2006).

Dinamika Populasi

Helopeltis spp.

Kelimpahan populasi Helopeltis spp., se-perti serangga hama lainnya, berfluktuasi dan berbeda dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Populasi ada yang berkembang cukup baik di satu lokasi, tetapi tidak pada lokasi lainnya. Banyak faktor yang me-mengaruhi keseimbangan populasi

Helo-peltis spp. di alam. Fluktuasi populasi, pola

sebaran, dan lingkungan efektif yang

me-mengaruhinya disebut dengan “dinamika

populasi”.

Para pakar memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai dinamika popu-lasi. Howard dan Fiske (1911) mengajukan pendapat bahwa harus ada faktor yang menghambat perkembangbiakan populasi jika populasi serangga tersebut naik. Pen-dapat ini didukung oleh Nicholson (1953) yang menyatakan bahwa faktor yang mengendalikan populasi hanyalah faktor yang bersifat bersaing. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh iklim atau cuaca. Andre-wartha dan Birch (1954) menentang pen-dapat Nicholson beberapa tahun kemu-dian. Dinyatakan bahwa ada empat kom-ponen yang memengaruhi kelimpahan populasi suatu hama, yaitu cuaca, makan-an, serangga lainnya, dan tempat hidup. Teori lain diajukan oleh Milne (1957), Chitty (1960), dan Wellington (1960), bahwa sebe-narnya populasi serangga bisa mengatur kelimpahan populasinya sendiri. Faktor yang langsung memengaruhi populasi adalah kompetisi dalam spesies itu sendiri. Pimentel (1961) menambahkan bahwa kelimpahan populasi di alam dapat berubah karena perubahan genetik. Populasi mengatur diri sendiri dengan mengadakan seleksi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dike-tahui bahwa faktor yang memengaruhi

(5)

keseimbangan populasi sangat kompleks. Namun demikian, pendekatan terhadap dinamika populasi Helopeltis spp. telah dilakukan secara empiris selama beberapa tahun di dua lokasi sentra produksi jambu mete. Di Kabupaten Wonogiri, Jawa Te-ngah, populasi Helopeltis spp. sangat ditentukan oleh keberadaan pucuk, dan munculnya pucuk tanaman setiap tahun bergantung pada kelembapan dan curah hujan. Pada akhir musim hujan, yaitu pada bulan Mei, pucuk mulai bermunculan. Sejalan dengan bertambahnya jumlah pucuk, populasi nimfa dan imago pun meningkat dan mencapai puncaknya pada bulan Juli, kemudian menurun kembali setelah bulan Juli. Faktor yang berperan dalam menurunkan populasi Helopeltis spp. adalah predator Coccinella, semut hitam, dan semut rangrang (Karmawati et

al. 1999b). Tumpang sari jambu mete

de-ngan tanaman sela juga dapat menurunkan populasi awal karena tanaman sela me-ngurangi peluang tumbuhnya gulma yang menjadi inang alternatif bagi Helopeltis spp. (Karmawati et al. 2001).

Di Kabupaten Lombok Barat, NTB, faktor yang memengaruhi fluktuasi popu-lasi Helopeltis spp. hampir sama dengan di Jawa Tengah. Namun, di NTB terjadi dua puncak fase pembungaan, walaupun po-pulasi bunga hermafrodit pada puncak pembungaan kedua jauh lebih sedikit dibanding bunga jantan (Karmawati et al. 2007b). Faktor yang berperan adalah curah hujan, kelembapan, semut rangrang (Oechophylla smaragdina), semut hitam (Dolichoderus sp.), kompetisi dengan hama lain, inang alternatif, serta interaksi antara Helopeltis spp., S. indecora, dan semut predator (Karmawati et al. 2004; Karmawati 2006). S. indecora hanya dite-mukan di Lombok dan populasinya ber-limpah pada musim kemarau. Helopeltis

spp. baru muncul pada akhir musim hujan.

S. indecora mengeluarkan cairan semacam

nektar yang dapat menarik semut untuk datang mengendalikan Helopeltis spp.

PENGENDALIAN HAMA JAMBU METE BERBASIS EKOLOGI Kelestarian Ekologi Merupakan

Pre-requisite

Sejak pengendalian hama terpadu (PHT) dikembangkan di Indonesia pada tahun 1989 dan diimplementasikan melalui prog-ram nasional pada padi, palawija, dan sayuran, disadari bahwa masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dan di-sempurnakan. Masih ada isu yang berkem-bang di tingkat petani bahwa insektisida sukar didapat di daerah dan harganya ma-hal. Hal ini menandakan bahwa petani masih bergantung pada insektisida kimi-awi karena teknologi pengendalian hama yang efektif, ekonomis, dan ramah ling-kungan belum tersedia. Padahal dampak negatif penggunaan insektisida kimiawi telah ditemukan di tengah kehidupan saat ini (Kardinan 1999), seperti keracunan (lebih dari 400.000 kasus per tahun), polusi lingkungan (kontaminasi air tanah dan udara), serangga menjadi resisten, re-surgen ataupun toleran terhadap pestisida, serta munculnya hama sekunder.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ledakan hama tidak terjadi secara spontan tetapi karena adanya perubahan atau pergeseran beberapa faktor dalam ling-kungan efektifnya. Clark et al. (1967) menyatakan bahwa kelimpahan populasi dipengaruhi oleh faktor genetik dari indi-vidu spesies dan lingkungan efektifnya, yang kemudian mengalami evolusi. Mun-culnya hama sekunder menjadi hama utama

(6)

pada jambu mete menunjukkan adanya perubahan dalam ekosistem. Salah satu penyebabnya adalah musuh alaminya tidak dapat lagi mempertahankan populasi hama agar tetap berada dalam jumlah yang tidak merugikan. Tanpa disadari, sebenarnya para petani bergantung pada kekuatan musuh alami yang tersedia di lahannya masing-masing. Proporsi musuh alami hama utama pada jambu mete terbukti lebih banyak dibanding serangga hama dan serangga penyerbuk. Keseimbangan po-pulasi serangga dan musuh alaminya di alam harus dilestarikan agar pengelolaan serangga dalam sistem pertanian berkelan-jutan.

Pengendalian Hama Terpadu Ramah Lingkungan

PHT merupakan bagian dari budi daya tanaman dan telah mendapat perhatian dari pemerintah dengan dikeluarkannya UU No.12 tahun 1992 tentang Budidaya Ta-naman dan PP No. 6 tahun 1995. Disebut-kan bahwa pelaksanaan PHT menjadi tanggung jawab petani dan dibantu oleh pemerintah. Konsep PHT sebenarnya telah dicetuskan sejak lama dan terus diperbaiki sesuai dengan kebutuhan. NAS (1969) menyatakan bahwa PHT adalah pemanfa-atan semua teknik yang kompatibel untuk mempertahankan populasi hama di bawah tingkat kerusakan ekonomi, atau mema-dukan semua sistem pengendalian ke dalam suatu sistem yang harmonis untuk mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang merugikan. Smith (1978) memperbaiki definisi tersebut bahwa PHT adalah pendekatan pengelolaan populasi secara ekologi dan multidisiplin dengan memanfaatkan semua teknik secara kom-patibel. Sistem pengendalian yang bersifat

alami harus didahulukan. Kedua konsep tersebut menunjukkan bahwa pengenda-lian hama harus memadukan berbagai komponen dengan tetap memerhatikan kelestarian ekologi dan sedikit mungkin input dari luar.

Pengendalian yang berbasis ekologi bersifat spesifik lokasi karena keragaman ekologi di lapangan sangat tinggi. Pada komoditas yang sama dengan lingkungan yang berbeda akan diperlukan sistem pengelolaan serangga yang berbeda. Di sentra produksi jambu mete, ada dua lokasi yang ekosistemnya hampir sama tetapi hama utamanya berbeda, yaitu Desa Sambik Jengkel dan Desa Tanah Sebang Kabupaten Lombok Barat. Di Sambik Jengkel, populasi Helopeltis spp. selalu lebih tinggi dibanding S. indecora, se-dangkan di Tanah Sebang populasi S.

indecora selalu lebih tinggi daripada Helopeltis spp. (Karmawati 2006).

Ter-nyata penampilan populasi kedua hama tersebut merupakan resultan dari faktor-faktor pendukungnya di masing-masing ekosistem.

Manfaat Musuh Alami dalam Pengendalian Hama Jambu Mete PHT lebih menekankan pada pemanfaatan musuh alami dibanding penggunaan insektisida. Ini berarti bahwa penggunaan insektisida akan berkurang dalam input produksi petani. Pengurangan penggu-naan insektisida akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar, walaupun hasil yang diperoleh tetap.

Keuntungan lain dengan menggu-nakan musuh alami adalah tidak adanya residu pestisida pada produk perkebunan. Adanya residu pestisida dalam produk perkebunan akan mengurangi daya saing

(7)

produk Indonesia di pasar internasional, terutama di negara-negara yang konsu-mennya telah memiliki kesadaran yang tinggi terhadap lingkungan, seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang.

Musuh alami yang berperan penting dalam menekan populasi hama jambu mete cukup banyak dan dapat menjaga kese-imbangan ekosistem. Musuh alami ini da-pat berupa parasit, predator atau da-patogen. Peran masing-masing musuh alami dalam menekan populasi hama terlihat dalam je-jaring makanan jambu mete (Benigno 2002). Parasitoid yang dapat menekan populasi

H. antonii, H. theivora dan H. bradyi

ada-lah Apanteles sp., Euphorus helopeltidis Ferr., Erythmelus helopeltidis Gah, dan

Telenomus. Untuk predatornya adalah O. smaragdina, Dolichoderus bitubercula-tus Mayr, cocopet, dan Chrysopa busalis.

Patogen yang banyak digunakan saat ini adalah Beauveria bassiana. Penggunaan patogen ini sama efektifnya dengan semut predator untuk mengendalikan Helopeltis spp. (Karmawati et al. 2007a). Musuh alami yang ada di alam perlu dijaga kelestarian-nya dan ditingkatkan perankelestarian-nya bila fung-sinya menurun.

Insektisida Nabati:

Bahan Kendali Ramah Lingkungan Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa petani sampai saat ini belum dapat mele-paskan diri dari pestisida, walaupun har-ganya relatif mahal, karena mudah digu-nakan dan hasilnya dapat dilihat langsung setelah perlakuan. Dalam menghadapi tantangan yang demikian, perlu dipilih alternatif pengendalian yang cara kerjanya mirip dengan insektisida tetapi tidak mem-berikan efek negatif bagi lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian hama yang

murah, praktis, dan relatif aman bagi ke-lestarian lingkungan adalah insektisida yang bahan bakunya berasal dari tumbuh-an. Insektisida tersebut dapat dibuat de-ngan teknologi yang sederhana, dan mu-dah terurai di alam sehingga tidak men-cemari lingkungan sekitar, termasuk ma-nusia dan hewan.

Secara evolusi, tumbuhan telah me-ngembangkan bahan kimia berupa meta-bolit sekunder yang digunakan oleh tum-buhan sebagai alat pertahanan alami ter-hadap serangan organisme pengganggu. Tumbuhan sebenarnya kaya akan bioaktif. Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida (Kardinan 1999). Oleh karena itu, apabila tumbuhan tersebut dapat diolah menjadi bahan pes-tisida maka petani akan sangat terbantu dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya.

Ada empat kelompok insektisida nabati yang telah lama dikenal (Oka 1993), yaitu: (1) golongan nikotin dan alkaloid lainnya, bekerja sebagai insektisida kontak, fu-migan atau racun perut, terbatas untuk serangga yang kecil dan bertubuh lunak; (2) piretrin, berasal dari Chrysanthemum

cinerarifolium, bekerja menyerang urat

syaraf pusat, dicampur dengan minyak wijen, talek atau tanah lempung, digunakan untuk lalat, nyamuk, kecoa, hama gudang, dan hama penyerang daun; (3) rotenon dan rotenoid, berasal dari tanaman Derris sp. dan bengkuang (Pachyrrhizus eroses), aktif sebagai racun kontak dan racun perut untuk berbagai serangga hama, tetapi bekerja sangat lambat; serta (4) azadi-rachtin, berasal dari tanaman mimba

(Aza-dirachta indica), bekerja sebagai anti-feedant dan selektif untuk serangga

pengisap sejenis wereng dan penggulung daun, baru terurai setelah satu minggu.

(8)

Beberapa bahan aktif tersebut berpeluang untuk dimanfaatkan dalam pengendalian

Helopeltis spp. Hasil penelitian dengan

menggunakan keempat jenis pestisida pada kutu daun Ferrisia. virgata menun-jukkan bahwa daun tembakau (golongan nikotin) lebih cepat mengurai di alam di-bandingkan dengan mimba (azadirachtin) dan rotenon (Karmawati dan Balfas 2007).

TANTANGAN DAN PELUANG PENGENDALIAN HAMA

JAMBU METE Kendala dan Tantangan Serangga akan berubah statusnya menjadi hama jika keseimbangan populasinya di alam terganggu, yaitu kelimpahan popu-lasinya di atas ambang yang merugikan tanaman. Ada beberapa faktor yang

me-mengaruhi keseimbangan populasi ini di

alam (Rauf 2004), yang sekaligus menjadi tantangan dalam pengelolaan serangga hama. Faktor-faktor tersebut di antaranya adalah perubahan iklim, peralihan tum-buhan inang, perubahan biologi tanaman inang, perubahan biologi hama, perubahan teknik bercocok tanam, dan invasi dari luar. Iklim merupakan salah satu faktor yang menentukan keseimbangan populasi. Iklim dikelompokkan menjadi iklim mikro dan iklim makro. Iklim makro menentukan distribusi dan kepadatan populasi, sedang-kan iklim mikro memengaruhi distribusi lokal atau pola pencaran/sebaran suatu spesies hama dalam zona tertentu dalam iklim makro yang sama (Sukowati 2004). Pada pertanaman jambu mete, iklim mikro ditentukan oleh percabangan yang makin banyak dan tumpang tindih sehingga ke-lembapan nisbi menjadi rendah. Tantang-an yTantang-ang dihadapi di sentra produksi adalah

petani enggan untuk melakukan pemang-kasan cabang yang tidak produktif.

Berdasarkan rantai makanannya, se-rangga dapat dikelompokkan menjadi monofag, oligofag, dan polifag. Monofag adalah spesies serangga yang makanan-nya hamakanan-nya terbatas pada satu jenis tanam-an, khususnya serangga dari ordo Homop-tera atau beberapa dari DipHomop-tera. Beberapa serangga hanya makan terbatas pada beberapa jenis tanaman dari satu famili (oligofag). Serangga polifag mempunyai tanaman inang yang rentangnya sangat lebar. Pemilihan tanaman inang ini di-tentukan oleh faktor fisik dan metabolit sekunder seperti glikosida, alkaloid, dan minyak atsiri (Chapman 1969).

Helopeltis spp. dan S. indecora

mem-punyai rentang tanaman inang yang sangat lebar (Kalshoven 1981; Siswanto

et al. 2003a). Kedua hama ini memiliki

wilayah serangan berat yang berbeda da-lam tiga tahun terakhir. S. indecora me-nyerang pertanaman jambu mete di Lom-bok Barat dan Helopeltis spp. banyak me-nyebabkan kerusakan pertanaman jambu mete di Dompu. Dengan banyaknya ta-naman inang alternatif, hama menjadi mudah untuk mempertahankan hidup dan memperbanyak diri. Sebelum pindah ke jambu mete, S. indecora hidup pada ta-naman mangga yang dikembangkan di Lombok. Untuk Helopeltis spp., selain ka-kao dan teh, tanaman inang alternatif lain-nya adalah berbagai jenis gulma terutama babadotan, ubi kayu, dan antanan. Tan-tangan yang dihadapi di lapangan adalah pertumbuhan gulma pada pertanaman jambu mete hampir mencapai kanopi dan petani enggan membersihkannya.

Kehadiran populasi hama pada tanam-an intanam-ang bergtanam-antung pada sumber maktanam-an- makan-an pada tmakan-anammakan-an tersebut. Pada tmakan-anammakan-an jambu mete, Helopeltis spp. terutama

(9)

ter-dapat pada pucuk dan karangan bunga. Pucuk muncul lebih dulu setelah adanya hujan, kemudian Helopeltis spp. mulai menyerang pucuk yang umurnya lebih pendek dibandingkan dengan karangan bunga. Pucuk yang diserang Helopeltis spp. akan mengering dan mati karena air liur hama tersebut mengandung racun. Apabila hujan terus-menerus turun, keter-sediaan pucuk akan berlimpah sehingga populasi hama meningkat dan waktu se-rangannya makin lama.

Secara alami, fluktuasi populasi se-rangga pada suatu tempat dipengaruhi oleh organisme lain seperti parasitoid, predator, serangga lain yang dapat ber-kompetisi, dan penyakit. Berbagai faktor pembatas termasuk campur tangan manusia dapat mengurangi keefektifan hasil kerja organisme tersebut karena ekosistemnya telah terganggu. Sebagai contoh, peng-gunaan insektisida kimia yang berlebihan dapat membunuh parasit dan predator suatu serangga hama sehingga pertum-buhan populasi hama tidak ada yang mem-batasi. Perubahan pertanaman dari poli-kultur menjadi monopoli-kultur umumnya akan mengurangi sumber makanan bagi parasit atau predator dewasa yang memerlukan nektar sebagai makanannya. Kendala yang dihadapi adalah kurangnya informasi bagi petani mengenai sumber makanan bagi parasit dan predator. Hasil penelitian menunjukan bahwa S. indecora menge-luarkan cairan untuk menarik predator pemangsa Helopeltis spp. (Karmawati et

al. 2004).

Banyak sekali contoh teknik bercocok tanam yang dapat mengubah iklim mikro (niche) dari suatu ekosistem serangga dan lingkungannya, yang paling mudah adalah perubahan dari vegetasi yang beragam menjadi monokultur. Kehidupan serangga inang, parasit, dan predator yang semula

seimbang akan terjadi lonjakan karena populasi parasit dan predator tidak dapat diandalkan. Contoh lain adalah pengaruh pemupukan dan pola tanam. Pola tanam jambu mete dengan kacang-kacangan di Wonogiri mengurangi tingkat kerusakan pucuk oleh Helopeltis spp. dibandingkan dengan jambu mete monokultur (Karmawati

et al. 2001).

Perpindahan tanaman dari suatu wi-layah ke wiwi-layah lain juga merupakan tan-tangan karena satu fase dari serangga hama akan terbawa oleh bagian tanaman tanpa musuh alaminya. Oleh karena itu, serangga yang di tempat semula bukan hama, di tempat yang baru dapat berubah menjadi hama. Berdasarkan kendala dan tantangan tersebut, semua komponen dalam agroekosistem harus diperhatikan dan berjalan secara harmonis.

Potensi dan Peluang Produk jambu mete mempunyai peluang untuk memasuki pasar global, namun akan mendapat persaingan dari negara lain. Pasar di negara-negara industri dikuasai oleh konsumen yang menghendaki produk perkebunan yang aman, berkualitas tinggi, dan memiliki risiko minimal bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Untuk menghasil-kan produk perkebunan yang memenuhi standar konsumen, tidak hanya kualitas produk yang harus diperhatikan, tetapi juga proses produksi, pengemasan, dan distribusinya sampai ke tangan konsumen. Karena itu, agar stabilitas produksi ter-capai dan kesehatan dan lingkungan terja-ga, prinsip dasar PHT harus dilaksanakan, yaitu pengusahaan tanaman yang sehat dan kuat serta pengelolaan agroekosistem. Dalam pertanaman jambu mete, eko-sistem merupakan infrastruktur ekologi

(10)

yang seimbang dan telah dilengkapi sumber-sumber energi yang diperlukan, seperti rantai makanan (cashew web). Kom-ponen-komponen dalam jejaring tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan. Kemajuan PHT di beberapa negara maju merupakan kontribusi ilmuwan dalam pe-nyediaan teknologi, seperti teknologi se-rangga, ekologi umum, ekologi sese-rangga, fisiologi serangga, fisiologi tanaman, ma-tematika, ekonomi, sosial, dan biologi mo-lekuler. Sebagian dari teknologi tersebut telah tersedia, seperti teknik perbanyakan dan konservasi musuh alami (Karmawati

et al. 1999a; Laba et al. 1999; Karmawati et al. 2001; Siswanto et al. 2003a; Karmawati et al. 2004; Karmawati 2006; Mardiningsing et al. 2006), pemanfaatan pestisida nabati

untuk Helopeltis spp., dan faktor-faktor lain yang dapat dimanfaatkan (Supriadi et al. 2002).

Teknologi pengendalian hama berda-sarkan ekologi mempunyai peluang besar untuk dikembangkan dengan adanya kebi-jakan pemerintah yaitu UU No. 4 tahun 1982 yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup agar pembangunan yang dilaksanakan tidak merusak dan mencemari lingkungan. Bebe-rapa tahun kemudian, Inpres No. 3 tahun 1986 dikeluarkan untuk mengatur jumlah dan jenis pestisida yang beredar agar ter-cipta keharmonisan rantai makanan. Pe-ngaturan pengelolaan lingkungan diper-tegas lagi dengan UU No.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bah-wa PHT merupakan satu-satunya sistem yang digunakan dalam pengelolaan hama. Sistem tersebut menginginkan adanya peningkatan efisiensi produksi, terutama dalam penggunaan pestisida, serta pe-ningkatan kualitas dan kuantitas hasil. Wujud nyata dari undang-undang dan

inpres tersebut adalah ditetapkannya PHT menjadi program nasional.

Program nasional PHT dilanjutkan pada tahun 2001 pada jambu mete. Pe-laksana PHT adalah petani pekebun. Visi PHT perkebunan adalah pemberdayaan atau kemandirian petani dalam pengam-bilan keputusan pengelolaan kebun. Mengubah kebiasaan petani dari posisi sebagai pengambil keputusan pasif men-jadi aktif tidaklah mudah. Namun, peluang untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan petani makin terbuka dengan diciptakannya wahana pengembangan sumber daya manusia, terutama petani dan petugas. Metode yang digunakan adalah pendekatan partisipatif dalam proses be-kerja dan mengajar, yang dikemas dalam Sekolah Lapang Pengendalian Hama Ter-padu (SLPHT).

Metode sekolah lapang mendobrak metode sebelumnya yang menjadi acuan kegiatan penyuluhan. Pada pola partisi-patif ini, peserta SLPHT datang dengan pengalamannya masing-masing yang kemudian terjadi proses pertukaran penga-laman. Dengan demikian, masing-masing peserta menjadi fasilitator dan lebih ber-fungsi sebagai mitra bagi para pemandu.

ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PHT

JAMBU METE Arah Pengendalian

Visi pembangunan pertanian saat ini dan masa yang akan datang adalah

sustain-able growth with zero emission and waste

(Manuwoto 1999). Misinya adalah: (1) meningkatkan efisiensi faktor produksi input pertanian; (2) melakukan daur ulang; (3) melakukan proses produksi dan

(11)

meng-hasilkan produk yang aman; (4) mening-katkan nilai tambah produk untuk kepen-tingan produsen dan konsumen; serta (5) meminimumkan dampak pada lingkungan. Beberapa konsep pertanian masa kini dan masa depan telah diterapkan, seperti pertanian organik dan precision

agri-culture. Oleh karena itu, arah pengendalian

hama jambu mete harus selaras dengan konsep pertanian masa kini dan masa de-pan, yang melakukan analisis lingkungan terhadap setiap jengkal agroekosistem se-hingga aplikasi teknologi dilakukan secara tepat. Arah pengendalian hama adalah menciptakan infrastruktur ekologi yang se-imbang dalam agroekosistem dengan melengkapi sumber energi yang diperlu-kan, seperti makanan bagi musuh alami, mangsa atau inang alternatif bagi musuh alami, dan perlindungan dari cuaca yang merugikan. Hal demikian sudah lama di-tinggalkan karena petani lebih memilih pe-ngendalian yang cepat memberi hasil tetapi tidak berkelanjutan. Dengan pendekatan tersebut, sistem pembangunan pertanian tidak lagi back to nature tetapi back to

basic.

Berdasarkan cashew web, banyak kom-ponen yang memengaruhi keseimbangan

Helopeltis spp., yaitu: (a) parasitoid telur

(Apanteles sp., E. helopeltidis, E.

helo-peltidis, dan Telenomus); (b) predator telur

dan nimfa (cocopet dan C. busalis); (c) predator nimfa dan imago (O. smaragdina,

D. bituberculatus); (d) inang alternatif

(jambu, mangga); (e) interaksi dengan hama lain (S. indecora); (f) inang alternatif

S. indecora (dadap, kapuk, lamtoro, jambu

biji, rambutan, dan anona); (g) parasitoid telur Phanomerus sp.; (h) patogen

(Synne-matium sp. dan B. bassiana); (i)

hiperpara-sitoid Apanteles, dan (j) teknologi tanaman. Selain faktor biotik, faktor abiotik juga memengaruhi keseimbangan populasi,

seperti curah hujan, kelembapan, dan ra-diasi matahari.

Musuh alami berupa parasitoid dan predator telur belum banyak dipelajari, te-tapi populasinya banyak di alam. Peman-faatannya dapat dilakukan dengan membe-rikan lingkungan yang sesuai bagi per-kembangan parasit dan predator, misalnya dengan menanam tanaman sela kacang-kacangan atau membuat tumpukan serasah di kebun sebagai tempat makan parasit (Soebandrijo 2003).

Peran predator Oecophylla dan

Doli-choderus telah banyak dipelajari pada

agroekosistem kelapa, kopi, kakao (Way dan Khoo 1992), dan jambu mete (Karma-wati et al. 2004). Pemanfaatannya sangat mudah, yaitu dengan menggantungkan daun kelapa atau daun kakao kering yang telah diikat pada beberapa tanaman. Para-sitoid Aphanomerus sp. (Purnayasa 2003), patogen Synnematium sp. (Mardiningsih

et al. 2006) dan B. bassiana (Karmawati et al. 2001) telah dapat diperbanyak di

labo-ratorium dan dimanfaatkan dengan teknik inokulatif atau inundatif.

Manipulasi ekologi juga dapat dila-kukan dengan memberikan lingkungan yang tidak nyaman bagi perkembangan

Helopeltis spp., yaitu memangkas tajuk

tanaman inang agar cahaya matahari ma-suk ke kanopi serta membersihkan gulma yang menjadi inang alternatif karena se-rangga hama tersebut sangat sensitif ter-hadap radiasi matahari. Inang alternatif bagi hama utama sebaiknya tidak diha-dirkan bersama dalam satu kebun dengan inang yang dibudidayakan.

Kehadiran parasitoid, predator, dan serangga penyerbuk tampaknya berkaitan erat dengan tanaman inang utama, inang alternatif, dan bahan organik, yang semua-nya merupakan satu kesatuan agroeko-sistem. Satu dengan lainnya terikat dalam

(12)

rantai atau jejaring kehidupan/makanan; bila salah satu simpulnya terputus maka keseimbangan alam akan terganggu. Oleh karena itu, Sosromarsono dan Untung (2000) menyatakan bahwa ekosistem sangat tepat sebagai dasar PHT.

Strategi Pengembangan Pengendalian Hama Terpadu Teknologi budi daya termasuk PHT jambu mete sebagian besar telah ditemukan dan sebagian merupakan teknologi tepat guna, namun pengembangannya di tingkat petani tidaklah mudah. Pengendalian hama di-rasakan menjadi salah satu input yang memberatkan petani. Apabila teknologi yang diterapkan belum mampu menekan biaya produksi dan meningkatkan penda-patan serta sulit dilaksanakan maka tekno-logi tersebut belum sesuai dengan kondisi petani kecil di Indonesia. Teknologi yang diperlukan adalah yang efektif, efisien, aman, murah, dan mudah diterapkan. Oleh karena itu, strategi yang prospektif dalam mengembangkan PHT yang berbasis eko-logi adalah: (1) pemanfaatan dan pereka-yasaan lingkungan pertanaman jambu mete (kembali ke prinsip dasar PHT) dan (2) pengkajian skala luas di beberapa agro-ekologi sekaligus melanjutkan pembinaan pemandu dan petani dalam wadah SLPHT. Pemanfaatan lingkungan pertanaman sangat erat hubungannya dengan SLPHT karena kegiatan pokok SLPHT adalah analisis agroekosistem dan pengambilan keputusan. Seluruh peserta sekolah lapang berpartisipasi aktif dalam pengumpulan data aktual lapangan, pengkajian data, dan pengambilan keputusan manajemen lahan. Kegiatan analisis agroekosistem ini ber-manfaat dalam penajaman pandangan petani dan petugas terhadap ekologi lokal

serta memudahkan proses pengelolaan ekologi lokal.

Sebagai gambaran, teknologi yang mu-rah, mudah dilakukan, dan berada di sekitar pertanaman adalah:

a. Nomor harapan jambu mete yang toleran terhadap Helopeltis spp. (Amir

et al. 2004).

b. Serasah yang berupa bahan organik dari ranting yang telah mati dan hasil pangkasan atau gulma hasil penyi-angan. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 100 spesies parasitoid dan predator muncul dari serasah selama proses dekomposisi (Soebandrijo et al. 2000).

c. Pembersihan gulma berdaun lebar karena merupakan inang alternatif bagi

Helopeltis spp. Berbeda pada tanaman

kapas, gulma berguna bagi parasitoid dan serangga penyerbuk (Kromp dan Steinberger 1992).

d. Pemangkasan tajuk yang tumpang tin-dih untuk meningkatkan jumlah radiasi matahari yang masuk ke pertanaman karena Helopeltis spp. peka terhadap radiasi matahari (Kalshoven 1981). e. Peningkatan populasi semut predator

di pertanaman (Karmawati et al. 2004). f. Penggunaan pestisida nabati biji mimba yang tanamannya banyak ditemukan di sentra jambu mete (Karmawati et al. 2007a).

Salah satu kegiatan pokok dalam ana-lisis agroekosistem adalah pengamatan secara berkala (pemantauan) oleh petani untuk memperoleh gambaran tentang agroekosistem pada lahannya. Ledakan hama tidak terjadi secara spontan, tetapi secara perlahan karena kombinasi faktor di lingkungannya. Dalam hal ini, metode penarikan contoh berperan penting se-hingga petani perlu dibekali cara penarikan contoh yang sederhana atau beruntun

(13)

(Karmawati 1988b). Frekuensi pemantauan dilakukan lebih sering pada masa tanaman peka terhadap Helopeltis spp. Ukuran contoh optimum untuk hama jambu mete umumnya adalah 3-4 tanaman tiap 0,5 ha (Benigno 2002). Teknik pemantauan ter-sebut telah diaplikasikan pada kedelai, kapas, dan lada (Karmawati dan Tengkano 1986; Karmawati 1988c; Karmawati et

al.1998).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

1. Seiring dengan perkembangan jambu mete di sentra produksi, penanaman jambu mete secara monokultur menim-bulkan masalah hama dan penyakit. Namun dari beberapa jenis serangga yang telah diidentifikasi, Helopeltis spp. merupakan hama penting dan menyebabkan kerugian yang bervariasi antardaerah menurut luas serangannya. 2. Kelimpahan populasi Helopeltis spp. berbeda antardaerah yang terserang karena faktor kunci yang berbeda pada agroekosistem. Namun, umumnya populasi Helopeltis spp. akan muncul pada pertanaman jambu mete seiring dengan tersedianya makanan pada akhir musim hujan, yaitu tunas atau pucuk. Curah hujan berkorelasi positif dengan ketersediaan makanan, begitu pula antara ketersediaan makanan dan populasi Helopeltis spp.

3. Keragaman ekologi pertanaman di sentra-sentra produksi jambu mete sangat tinggi karena setiap wilayah mempunyai ekosistem yang khas. Oleh karena itu, pendekatan pengendalian populasi Helopeltis spp. adalah PHT

berbasis ekologi dengan menciptakan infrastruktur ekologi yang seimbang dalam agroekosistem.

4. Peluang untuk memanfaatkan faktor yang berada di sekitar lingkungan per-tanaman jambu mete untuk mengen-dalikan populasi Helopeltis spp. cukup besar karena beberapa hal berikut: (a) tersedianya informasi mengenai jejaring makanan jambu mete (cashew web) dengan komponen-komponen tekno-logi pendukungnya; (b) adanya kebi-jakan pemerintah yang mengatur pe-ngelolaan lingkungan hidup, pemba-tasan izin pestisida kimiawi yang dike-luarkan dan pengaturan sistem budi daya tanaman; serta (c) pasar di negara maju yang menginginkan produk perkebunan yang aman dan memiliki risiko minimal bagi kesehatan dan lingkungan hidup.

5. Strategi pengembangan yang disaran-kan adalah pemanfaatan dan pereka-yasaan lingkungan pertanaman jambu mete yang didahului dengan analisis agroekosistem, serta menata kembali pembinaan pemandu dan petani dalam wadah SLPHT.

Implikasi Kebijakan

1. Produk jambu mete mempunyai pe-luang yang besar untuk memasuki pasar domestik maupun global. Oleh karena itu, pemerintah baik pusat mau-pun daerah perlu merencanakan untuk memperluas pertanaman jambu mete, terutama pada wilayah yang berpotensi untuk meningkatkan produktivitas nasional dan bukan di daerah serangan hama yang berat. Tumpang sari jambu mete dengan inang alternatif bagi hama perlu dihindarkan.

(14)

2. Keberhasilan pelaksanaan PHT ber-basis ekologi memerlukan intervensi pemerintah daerah, terutama dalam penyelenggaraan SLPHT. Bantuan PL1 dan PL2 masih terus diharapkan. Kebi-jakan pengendalian tidak lagi diuta-makan pada penggunaan bahan kimia, tetapi beralih ke varietas toleran, penja-rangan, pemeliharaan, dan komponen ekologi lainnya. Pemasyarakatan PHT perlu ditingkatkan dan penyamaan persepsi mengenai konsep PHT antara ilmuwan, praktisi, dan pengambil kebi-jakan perlu dilakukan.

3. Sebagian besar penelitian jambu mete bersifat parsial dan mengacu pada kegi-atan monokultur. Langkah yang perlu dilakukan untuk menjembatani masalah di lapangan dan penelitian pendukung adalah melakukan analisis dinamika ekosistem jambu mete serta penelitian toksikologi, stabilitas mutu, dan sosial ekonomi secara integratif dan kompre-hensif oleh tim peneliti lintas disiplin.

PENUTUP

Upaya para pakar dan pemerintah pusat dalam mengembangkan dan meng-implementasikan PHT melalui program nasional telah dilakukan dengan berbagai cara. Dunia internasional menilai Indonesia sukses dan menjadi pelopor dalam pe-ngembangan dan penerapan PHT. Namun di balik itu, kita sadari masih banyak yang perlu diperbaiki, terutama di tingkat petani. Masih ada anggapan tanpa pestisida sulit mengendalikan hama dan penyakit, dan tanaman perkebunan menempati prioritas paling belakang. Komitmen antara pe-ngambil kebijakan dan pelaksana sering ti-dak tercapai sehingga manajemen pengen-dalian tidak berkelanjutan. Pengembangan

PHT di Indonesia memerlukan banyak pakar seiring dengan luasnya wilayah, beragamnya jenis tanaman, dan kompleks-nya masalah hama dan pekompleks-nyakit. Peluang untuk melakukan penelitian dasar cukup terbuka untuk menunjang keberhasilan pengembangan PHT.

Dengan mengambil unsur ketiga dari “Tri Hita Karana” yang sangat relevan de-ngan isu yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu harmoni antara manusia dan ling-kungannya, kita perlu memberi peringatan bagi para pelaku dan pegiat pembangunan pertanian. Marilah kita renungkan tiga hal berikut:

a. Manusia tidak mengendalikan alam, tetapi menyesuaikan diri dengan alam. b. Tidak semua serangga berbahaya. Tan-pa kehadiran serangga yang berman-faat, kehidupan akan menjadi lebih buruk. Tingkat toleransi terhadap hama perlu diterapkan berdasarkan prinsip ekologi dan ekonomi.

c. Mengurangi kebergantungan pada insektisida kimiawi atau tidak sama sekali, dengan mengembangkan pe-ngendalian alternatif sederhana dan justifikasi ilmiah yang kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A.M., E. Karmawati, dan Hadad E.A. 2004. Evaluasi ketahanan beberapa aksesi jambu mete (Anacardium

occi-dentale L.) terhadap hama Helopeltis antonii Sign. Jurnal Penelitian

Tanam-an Industri 10(4): 149-153.

Andrewartha, H.G. and L.C. Birch. 1954. The Distribution and Abundance of Animals. University of Chicago Press, Chicago. 782 pp.

Benigno, E.A. 2002. ETL Calendar. Cashew ETL. Xls/Helopeltis.

(15)

BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional). 2007. Indonesian Export of Cashew Nut in Shell by Country of Destination. BPEN, Jakarta. 6 hlm. Chitty, D. 1960. Population processes in

the role and their relevance to general theory. Can. J. Zool 38: 99-113. Chapman, R.F. 1969. The Insects: Structure

and function. Elsevier, New York. 819 pp.

Clark, L.R., P.W. Geier, R.D. Hughes, and R.F. Morris. 1967. The Ecology Insect Populations in Theory and Practice. Halsted Press Book, London.

Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2005. Laporan Tahunan Sub-Dinas Bina Produksi dan Perlindungan Tanaman. Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Mataram. hlm. 46.

Direktorat Perlindungan Tanaman Perke-bunan. 2006. Data Lepas. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006a.

Statistik Perkebunan Indonesia 2004-2005. Jambu Mete. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 33 hlm.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2006b. Roadmap Komoditas Jambu Mete. Di-rektorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. 9 hlm.

Ferry, Y., J.T. Yuhono, dan C. Indrawanto. 2001. Strategi Pengembangan Industri Mete Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 8-9.

Howard, L.D. and W.F. Fiske. 1911. The importation into the United States of the parasites of the gipsy moth and the brown-tail moth. Bull. Bur. Ent. US Dept. Agric. 91: 1-312.

Indrawanto, C., E. Mulyono, R. Zaubin, dan I. Sriwulan. 2001. Perspektif

perkem-bangan pemasaran dan pascapanen jambu mete. Warta Penelitian dan Pe-ngembangan Tanaman Industri 7 (4): 12-14.

Indrawanto, C., S. Wulandari, dan A. Wah-yudi. 2003. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani jambu mete di Sulawesi Tenggara. Jur-nal Penelitian dan Pengembangan Ta-naman Industri 9(4): 141-147.

Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. p. 119.

Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati: Ra-muan dan aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta. 88 hlm.

Karmawati, E. 1983. Dinamika populasi serangga. Makalah Pendukung Eko-logi Serangga. Institut Pertanian Bogor. 62 hlm.

Karmawati, E. dan W. Tengkano. 1986. Pola sebaran dan metode penarikan contoh pengisap polong kedelai. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Balittan Bogor,17-18 Desember 1986. hlm. 189-197.

Karmawati, E. 1988a. Metode pendugaan populasi pengisap buah lada secara beruntun di Kabupaten Bogor. Pem-beritaan Penelitian Tanaman Industri XIII(3): 69-76.

Karmawati, E. 1988b. Metode peramalan serangga hama. Balai Penelitian Ta-naman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 13-20.

Karmawati, E. 1988c. Within plant distri-bution of Heliothis armigera Hubner eggs on cotton at Asembagus, East Ja-va. Indust. Crops Res. J. 1(1): 1-6. Karmawati, E., Deciyanto, dan Z. Asnawi.

1990. Dinamika populasi hama utama lada di Bangka. Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan

(16)

Tanaman Industri. Seri No. 9. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanam-an Industri, Bogor. 6 hlm.

Karmawati, E., M. Iskandar, dan T.E. Wah-yono. 1992. Penelitian penanggulangan lalat rimpang jahe di Kebun Percobaan Cimanggu, Bogor. Buletin Penelitian Tanaman Industri (4): 35-36.

Karmawati, E. dan N.N. Kristina. 1993. Pe-ngaruh tumpang sari terhadap populasi hama rimpang jahe. Media Komunikasi Penelitian dan Pengembangan Tanam-an Industri 11: 102-104.

Karmawati, E. 1998. Peningkatan produk-tivitas tanaman jambu mete melalui pengendalian hama terpadu. Bahan Ra-ker Penyusunan Prioritas dan Desain Program Penelitian Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. 14 hlm. Karmawati, E., T.H. Savitri, T.E. Wahyono

dan I W. Laba. 1998. Pola sebaran dan metode penarikan contoh Helopeltis

antonii pada jambu mente. Bahan Raker

Penyusunan Prioritas dan Desain Prog-ram Penelitian Tanaman Industri. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanam-an Industri, Bogor.11 hlm.

Karmawati, E., T.H. Savitri, T.E. Wahyono, dan I W. Laba. 1999a. Dinamika popu-lasi Helopeltis antonii Sign. pada jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman In-dustri 4(6): 163-167.

Karmawati, E., T.E. Wahyono, dan T.H. Sa-vitri. 1999b. Potensi predator dalam pe-nanggulangan Helopeltis antonii Sign. pada jambu mete. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Ling-kungan dan Ekonomi, Buku 2. hlm. 733-737.

Karmawati, E., T.H. Savitri, W.R. Atmadja, dan T.E. Wahyono. 2001. Pengendalian hama terpadu Helopeltis antonii pada

tanaman jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 7(1): 1-5.

Karmawati, E., Siswanto, dan E.A. Wikardi. 2004. Peranan semut (Oecophylla

smaragdina dan Dolichoderus sp.)

dalam pengendalian Helopeltis spp. dan Sanurus indecora pada jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman In-dustri 10(1): 1-7.

Karmawati, E. 2006. Peranan faktor ling-kungan terhadap populasi Helopeltis spp. dan Sanurus indecora pada jambu mete. Jurnal Penelitian Tanaman In-dustri 12(4): 129-134.

Karmawati, E. dan R. Balfas. 2007. Peman-faatan pestisida nabati dan jamur

Beauveria bassiana untuk

pengen-dalian kutu daun F. virgata. Prosiding Lokakarya III Jarak Pagar. Pusat Pe-nelitian dan Pengembangan Perke-bunan, Bogor.

Karmawati, E., W. Rumini, Emmyzar, dan C. Sukmana. 2007a. Pengendalian hama

Helopeltis antonii pada jambu mete.

Laporan Tengah Tahun 2007, Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, Pakuwon. 10 hlm. Karmawati, E., Siswanto, dan T.E.

Wah-yono. 2007b. Biologi pembungaan jambu mete. Laporan PHT Jambu Mete. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.

Krebs, C.J. 1978. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abun-dance. Harper and Row, New York. 678 pp.

Kromp, B. dan K.H. Steinberger. 1992. Grassy field margin and arthoprod diversity: A case study on ground and spiders in Eastern Australia. Agric. Ecol. Environ. 40: 71-93.

Laba, I W., E. Karmawati, dan D. Kilin. 1999. Bioekologi Helopeltis antonii Sign. (Hemiptera: Miridae) pada jambu

(17)

me-te. Prosiding Seminar Nasional. Buku III. hlm. 541-549.

Mandal, R.C. 2000. Cashew Production and Processing Technology. Agrobias, India. 195 pp.

Manuwoto, S. 1999. Pengendalian hama ramah lingkungan dan ekonomis. hlm. 1-12. Prosiding Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Harmonis, 16 Februari 1999. Perhimpunan Entomologi Indo-nesia Cabang Bogor.

Mardiningsih,T.L., E. Karmawati, dan T.E. Wahyono. 2006. Peranan Synnematium sp. dalam pengendalian Sanurus

inde-cora Jacobi (Homoptera: Flatidae).

Jurnal Penelitian Tanaman Industri 12 (3): 103-108.

Milne, A. 1957. The natural control of insect population. Ann. Entomol. 89: 193-213.

NAS. 1969. Insect-Pest Management and Control. Principles of Plant and Animal Pest Control, Vol 3. NAS Publ. Nicholson, A.J. 1953. The balance of animal

population. Anim. Ecol. 2: 132-178. Oka, I N. 1993. Penggunaan, permasalahan

serta prospek pestisida nabati dalam pengendalian hama terpadu. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor, 1-2 Desember 1993. hlm. 1-10.

Pimentel, D. 1961. Animal population regulation by the genetic feedback mechanism. Am. Net. 95: 65-79. Purnayasa, I. G.N.R. 2003. Parasitasi

Apha-nomerus sp. pada wereng pucuk jambu

mete Sanurus indecora Jacobi. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 9 (1): 1-3. Rauf, A. 2004. Entomologi dalam per-ubahan lingkungan dan sosial: Pers-pektif pertanian. Disampaikan pada Seminar Nasional IV Perhimpunan

Entomologi Indonesia Cabang Bogor, 5 Oktober 2004. 6 hlm.

Rickson, F.R. and M.M. Rickson. 1998. The cashew nut, Anacardium occidentale (Anacardiaceae), and its perennial as-sociation with ants: Extra floral nectary location and the potential for ant defense. Am. J. Bot. 95(6): 835-849. Rowe, J.S. 1961. The level of integration

concept and ecology. Ecology 42: 420-427.

Siswanto, E.A. Wikardi, Wiratno, dan E. Karmawati. 2003a. Identifikasi wereng pucuk jambu mete, Sanurus indecora dan beberapa aspek biologinya. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 9(4): 157-161.

Siswanto, Wiratno, E. Karmawati, E.A. Wikardi, C. Sukmana, T.E. Wahyono, dan Ahyar. 2003b. Studi Struktur dan Fungsi Komoditas Serangga pada Ekosistem Tanaman Jambu Mete. La-poran Hasil Penelitian PHT Perkebunan Rakyat 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. 45 hlm.

Siswanto, R. Muhamad, D. Omar, dan E. Karmawati. 2007. Ecology and Popu-lation Biology of Helopeltis antonii or Its Cashew Host Plant. Ph.D. Thesis, Universitas Putra Malaysia.

Smith, R.F. 1978. History and complexity of integrated pest management. p. 41-53. In E.H. Smith and D. Pimentel (Eds.). Pest Control Strategies. Academic Press, New York.

Soebandrijo, S., Hadiyani, S.A. Wahyuni, dan M. Soehardjan. 2000. Peranan se-rasah dan gulma dalam meningkatkan keanekaragaman hayati dan pengen-dalian serangga hama kapas di Indo-nesia. Prosiding Simposium Keaneka-ragaman Hayati Arthropoda pada

(18)

Sis-tem Produksi Pertanian. Perhimpunan Entomologi Indonesia, Jakarta. hlm. 277-284.

Soebandrijo. 2003. Pengendalian Hama Terpadu dan Prospeknya terhadap Pro-duksi dan Pendapatan Petani Kapas. Bahan Orasi Ahli Peneliti Utama. Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian, Jakarta. 69 hlm.

Sosromarsono, S. dan K. Untung. 2000. Keanekaragaman hayati arthopoda predator dan parasitoid di Indonesia serta pemanfaatannya. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthopoda pada Sistem Produksi Perta-nian. Perhimpunan Entomologi Indo-nesia, Jakarta. hlm. 33-46.

Sukowati, S. 2004. Dampak perubahan lingkungan terhadap penyakit tular nyamuk (vektor) di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional IV Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor, 5 Oktober 2004. 18 hlm. Supriadi, Siswanto, E. Karmawati, S. Rahayuningsih, D. Sitepu, E.M. Adhi, E.A. Wikardi, Wiratno, T.E. Wahyono dan C. Sukmana. 2002. Pengelolaan

Ekosistem Jambu Mete Berdasarkan Teknologi PHT. Laporan Hasil Pene-litian PHT Tahun 2001. Pusat PenePene-litian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. 50 hlm.

Transley, A.G. 1935. The use and abuse of vegetational concepts and terms. Eco-logy 16: 284-307.

Way, M.J. and K.C. Khoo. 1992. Role of ants in pest management. Ann. Rev. Entomol. 37: 479-503.

Wellington,W.G. 1960. Qualitative changes in natural population during change in abundance. Can. J. Zool. 38: 289-314. Wikardi, E.A., Wiratno, dan Siswanto.

1996. Beberapa hama utama tanaman jambu mete dan usaha pengendali-annya. Prosiding Forum Komunikasi Ilmiah Komoditas Jambu Mete. Bogor, 5-6 Maret 1996. hlm 124-132.

Wiratno, E.A. Wikardi, dan Siswanto. 2001. Keanekaragaman Helopeltis spp. di In-donesia. Prosiding Simposium Ke-anekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian, Cipayung, 16-18 Oktober 2000. hlm 387-390.

Referensi

Dokumen terkait

Berawal pada hari senin tanggal 9 Maret 2012, calon konsumen atau debitur mengajukan pembiayaan kepada Trihamas Finance Cabang Madiun untuk pembelian sebuah

Produk SIMPONI diluncurkankan oleh manajemen BMT Hudatama pada tanggal 2 Juni 2015, produk ini diluncurkan karena manajemen melihat dari kebutuhan konsumen dalam

Maka berdasarkan beberapa pertimbangan-pertimbangan tersebut majlis hakim dapat menyihmpulkan bahwa gugatan penggugat tentang terjadinya perbuatan melawan hukum oleh

Dari hasil penelitian, kondisi optimal pemisahan U dari Th dengan metode ekstraksi diperoleh pada pH umpan 1,5, perbandingan O/A = 5, dan waktu ekstraksi 5 menit, dimana

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah member rahmat dan hidayah- Nya sehingga penulis dengan lancar dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul

Dari penelitian yang telah dilakukan tentang karakteristik onggok aren (arenga pinnata) dengan penambahan serbuk kunyit dapat disimpulkan bahwa nilai kuat tarik dipengaruhi

Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian Alali dan Foote (2012) yang menunjukkan bahwa informasi akuntansi yang dihasilkan dalam periode setelah adopsi IFRS

pada pasien Bell’s palsy maka dapat diberikan terapi yang sesuai yaitu untuk penderita Bell’s palsy tingkat keparahan ringan hingga sedang terapi tunggal dengan