• Tidak ada hasil yang ditemukan

Welcome to ePrints Sriwijaya University - UNSRI Online Institutional Repository Makalah A. salim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Welcome to ePrints Sriwijaya University - UNSRI Online Institutional Repository Makalah A. salim"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

PENURUNAN KUALITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN,Beauveria bassiana

(BALS.) VUILL. AKIBAT SUBKULTUR TERHADAP NIMFA WALANG SANGIT

Abdullah Salim2, Robby Septiadi1, Effendy TA2, Siti Herlinda2, Rosdah Thalib2 1)

Alumni Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan

2)

Dosen Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Jl. Palembang-Prabumulih Km. 32 Indralaya Ogan Ilir 30662

Telp/fax. 0711-580663 & 0711-580276 Email:hpt_fp@unsri.ac.id

ABSTRACT

Beauveria bassiana is an entomopathogenic fungi potential as biological control agents. The decrease of density, viability of spores, and virulence of B. bassiana due to sub-culture would be an obstacle in selection and development of the fungi as a biological control agents. This laboratory research was conducted to determine density and viability of spores ofB. bassianadue to sub-cultures, and to investigate the fungi virulence againts nymphs of rice bug (Leptocorisa oratorius). B. bassiana was grown in Glucose Yeast Agar(GYA) cultures enriched with 0,5% cricket powder. The third instar of the nymphs were inoculated by 106 spores/ml topical application of fungi sub-culture isolates. The results showed that the B. bassiana spore density and viability grown in sub-culture didn't decrease from the zero to the ninth sub-culture. Mortality of the nymphs caused by all sub-cultures of the fungi ranged between 80 to 100%. However, the LT50 of the

sub-cultures ofB. bassianadecreased consistently.

Keywords:Sub-cultures,Beauveria bassiana, Leptocorisa oratorius

PENDAHULUAN

Walang sangit, Leptocorisa oratorius (Fabr.) (Hemiptera: Alydidae) merupakan hama utama dari kelompok kepik yang merusak tanaman padi di Indonesia. Hama ini merusak dengan cara mengisap bulir padi sehingga bulir menjadi hampa. Serangan berat dapat menurunkan produksi hingga tidak dapat panen (Kalshoven 1981). Untuk mengatasi permasalahan walang sangit ini perlu alternatif pengendalian yang relatif lebih aman baik bagi musuh alami, petani, produk yang dihasilkan, serta lingkungan sekitarnya. Pengendalian hayati dengan memanfaatkan jamur yang patogenik bagi serangga hama (entomopatogen) berpotensi untuk dikembangkan.

(2)

Penurunan kualitas spora dan virulensi B. bassiana dapat terjadi selama proses subkultur in vitro. Subkultur lebih dari lima generasi secara nyata dapat menurunkan kerapatan spora jamur entomopatogenik, sepertiMetarhizium anisopliae (Taborsky 1997). Viabilitas spora dapat menurun apabila selama subkultur terjadi penurunan sumber karbon, seperti glukosa, glukosamin, khitin, pati, nitrogen untuk hifa tumbuh (Tanada & Kaya 1993). Selain itu, kurangnya asupan protein dari media biakan dapat menurunkan kemampuan spora berkecambah (Rosalind 2000). Dengan demikian, subkultur berulang dan nutrisi media biakan dapat menurunkan kualitas spora dan virulensi jamur entomopatogenik. Selama ini belum pernah dilaporkan pengaruh subkultur terhadap kualitas spora dan virulensi B. bassiana. Oleh karena itu, tulisan ini melaporkan tentang pengaruh subkultur isolat B. bassiana terhadap kerapatan, viabilitas, dan virulensinya pada walang sangit.

BAHAN DAN METODE

Kerapatan dan Viabilitas. Kualitas jamur akibat subkultur ini diamati berdasarkan kerapatan dan viabilitas spora jamur. Spora subkultur (generasi keturunan) 0 yang berasal dari ulat hongkong. Generasi subkultur I diperoleh dengan cara membiakkan spora jamur dari ulat hongkong ke media GYA. Pada media GYA ini sebelumnya telah ditambah dengan tepung jangkrik konsentrasi 0.5% (b/v) untuk memperkaya nutrisi media. Untuk mendapatkan generasi subkultur II dengan cara menginfestasikan kembali spora isolat hasil dari subkultur I pada media GYA dengan cara kerja yang sama seperti cara kerja pembuatan subkultur I, begitu juga dengan subkultur berikutnya.

Penentuan kerapatan spora dengan cara suspensi spora dari perlakuan perbanyakan isolat diambil sebanyak 1 ml kemudian dengan menggunakan hemasitometer yang telah ditetesi suspensi tersebut dihitung kerapatan sporanya di bawah mikroskop binokuler dengan perbesaran 400 x. Kerapatan spora dihitung dengan menggunakan rumus Gabriel dan Riyatno (1989) sebagai berikut:

C = t/(n.0,25) x 106

C : kerapatan spora per ml larutan

T : jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati N : jumlah kotak sampel (5 kotak besar x 16 kotak kecil)

0,25 : faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil pada hemasitometer

(3)

u : jumlah spora yang tidak berkecambah

Uji Virulensi. Virulensi spora pada masing-masing generasi subkultur diuji dengan cara meneteskan 10 μl suspensi (kerapatan 1x106 spora/ml) pada nimfa walang sangit instar ketiga yang baru ganti kulit. Setiap generasi subkultur spora diinokulasi pada 10 ekor nimfa uji. Kemudian nimfa tersebut dipelihara dalam silinder plastik (diameter 8,5 cm dan tinggi 15 cm) yang di dalamnya digantung setangkai bulir padi matang susu.

Setiap hari selama fase nimfa dicatat jumlah nimfa yang mati, sedangkan jumlah nimfa yang tersisa yang membentuk imago juga dicatat setiap hari hingga semua nimfa menjadi imago. Begitu juga dengan jumlah nimfa dan imago abnormal dihitung setiap hari.

Analisis Data. Data kerapatan spora, viabilitas spora jamur, mortalitas nimfa walang sangit antar perlakuan subkultur dianalisis secara deskriptif. Data mortalitas digunakan untuk menganalisis LT50 dengan menggunakan bantuan program SAS-STAT

pada SAS 6.12 (Fernandez 2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kerapatan dan Viabilitas SporaB. bassiana. Kerapatan dan viabilitas spora B.

(4)

Tabel 1. Kerapatan dan viabilitas sepuluh subkulturB. bassiana

Subkultur Kerapatan Spora (juta konidia/ml) Viabilitas Spora (%)

0 44,59 29,82

I 32,29 23,67

II 27,06 23,81

III 40,74 25,99

IV 39,40 29,08

V 40,61 24,64

VI 35,80 20,74

VII 40,79 23,29

IX 34,25 24,65

X 38,50 20,40

Virulensi B. bassiana. Subkultur kurang mempengaruhi persentase kematian nimfa walang sangit, walaupun subkultur telah dilakukan hingga 10 kali tetapi kematian masih tetap tinggi berkisar 80-100%. Akan tetapi waktu kematiannya semakin lama dengan semakin seringnya sublkutur dilakukan (Tabel 2). Awal subkultur dilakukan, rata-rata LT50 hanya 2,39 hari, setelah dua kali sublkutur mulai terjadi perpanjangan waktu

kematian dan waktu kematian terlama setelah 10 kali subkultur (5,46 hari) (Tabel 2).

Tabel 2. Mortalitas dan LT50nimfa walang sangit yang diaplikasikan sepuluh subkulturB. bassiana

Subkultur Mortalitas (%) LT50(hari)

Rata-rata Batas bawah Batas atas

0 100,00 2,39 1,55 3,04

I 96,67 3,31 2,36 4,05

II 100,00 4,11 3,76 4,46

III 100,00 3,68 3,39 3,97

IV 100,00 3,81 3,44 4,19

V 100,00 4,11 3,73 4,48

VI 100,00 3,79 3,43 4,15

VII 80,00 4,69 4,28 5,12

(5)

tepung jangkrik mengandung kutikula serangga yang mampu merangsang pembentukan protease. Vey dan Fargues (1977) melaporkan enzim protease yang tinggi dapat mempercepat degradasi kutikula serangga inang sehinggaB. bassiana lebih mudah masuk ke rongga tubuh serangga dan lebih cepat mematikan. Samsinakova et al. (1971) juga melaporkanB. bassianamampu menghasilkan enzim khitinase yang mampu mendegradasi khitin. Karena tepung jangkrik pada penelitian ini berasal dari jangrik yang masih hidup dan mengandung khitin dan protein yang berasal dari integumennya, maka khitinase akan lebih banyak diproduksi pada media diberi tepung jangkrik.

LT50paling singkat 2,30 hari dan terlama 5,46 hari. Hal ini menunjukkan jamur

butuh waktu lebih dari 48 jam untuk mematikan serangga inang. Cukup lamanya waktu bagi spora jamur untuk mematikan inangnya karena spora yang menempel pada integumen inang harus berkecambah terlebih dahulu. Prayogo et al. (2005) menyatakan hifa dari sporaMetarhiziumsp. lalu masuk ke rongga dalam tubuh inang karena bantuan enzim dan tekanan mekanik. Akhirnya seluruh tubuh serangga inang penuh dengan propagul dan bagian yang lunak dari tubuhnya akan ditembus keluar dan menampakan pertumbuhan hifa di luar tubuh serangga inang. Pertumbuhan hifa eksternal akan menghasilkan konidia yang bila telah masak akan disebarkan ke lingkungan dan menginfeksi serangga hama yang sehat.

SIMPULAN

Kerapatan dan viabilitas spora B. bassiana tidak mengalami penurunan selama subkultur dilakukan. Subkultur kurang mempengaruhi persentase kematian nimfa walang sangit, walaupun subkultur telah dilakukan hingga 10 kali tetapi kematian masih tetap tinggi berkisar 80-100%. Akan tetapi waktu kematiannya semakin lama dengan semakin seringnya sublkutur dilakukan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini didanai oleh DP2M, Ditjen, Dikti, Depdiknas dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Fundamental Nomor : 088/H9.2.1/PL/2008 tanggal 7 April 2008 a.n. Abdullah Salim.

DAFTAR PUSTAKA

Alberts B, Bray D, Julian L, Raff M, Roberts K, Watson JD. 1994. Biologi Molekuler Sel. Edisi ke-2. Alih Bahasa: A.T. Kantjono W. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Fernandez GCJ. 2000. Design and analysis statistical methods using SAS macros. Http: //www.ag.unr.edu/gf.

(6)

Herlinda S, Utama MD, Pujiastuti Y, Suwandi. 2006. Kerapatan dan viabilitas spora

Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. akibat subkultur dan pengayaan media, serta virulensinya terhadap larvaPlutella xylostella(Linn.). J HPTT. 6:70-78.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Culuurgewassen in Indonesie.

Prayogo Y, Tengkano W, Marwoto. 2005. Prospek cendawan entomopatogen

Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura pada kedelai. J Lit Pert24:19-26.

Rosalind R. 2000. The Effect of Certain Nutrients on Conidial Germination of Beauveria bassiana and Paecilomyces jumosoroseus. USDA: Agricultural Research Service, Tektran.

Samsinakova A, Misikova S, Leopold J. 1971. Action of enzymatic system ofBeauveria bassianaon cuticle of the greater wax moth larvae (Galleria mellonella). J. Invert. Pathol.18:322-330.

Soetopo D. 2004. Efficacy of selected Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. isolates in combination with a resistant cotton variety (PSB-Ct 9) againts the cotton bollworm,

Helicoverpa armigera (Hübner) (Lepidoptera: Noctuidae). [Disertasi]. Philippines: University of The Philippines Los Banos.

Suharto EB, Trisusilowati, Purnomo H. 1998. Kajian aspek fisiologik Beauveria bassiana dan virulensinya terhadap Helicoverpa armigera. J. Perlin. Tan. Indonesia.4:112-119.

Taborsky V. 1997. Small Scale Processing of Microbial Pesticides. Prague, Czechoslovakia: University of Agriculture.

Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. New York: Academic Press.

Utomo CD, Pardede D, Salam A. 1998. Beauveria sp. parasit pada larva penggerek batang kakaoZeuzera coffeaeNient.Buletin Perkebunan19:137-142.

Gambar

Tabel 1. Kerapatan dan viabilitas sepuluh subkultur B. bassiana

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang telah dibahas, secara umum dapat disimpulkan bahwa: 1) hasil belajar peserta didik baik di kelas XI.IPA-1 meningkatkan dengan baik saat

Usulan Teknis dinyatakan memenuhi syarat (lulus) apabila mendapat nilai minimal 70 (tujuh puluh), peserta yang dinyatakan lulus akan dilanjutkan pada proses

Bahwa salah satu untuk mendapatkan mahasiswa yang berkualitas maka perlu diadakan penyaringan penerimaan mahasiswa baru dengan cara ujian masuk (testing) berupa

- Pelatihan Ketrampilan dan Bantuan Sarana Usaha bagi Keluarga Miskin :. Manik-manik

Pejabat Pengadaan pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin Tahun Anggaran 2014, telah melaksanakan Proses Evaluasi Kualifikasi

1. Yang dimaksud dengan budaya organisasi adalah suatu nilai, anggapan, asumsi, sikap, dan norma perilaku yang telah melembaga kemudian mewujud dalam penampilan, sikap,

Pada tahap ini kalimat yang sudah memiliki bobot berdasarkan model graph di rangking menggunakan algoritma pagerank dengan tujuan untuk menemukan kalimat mana yang

The appl ication of cooper ative l ear ning thr ough the use of Students Team Achievement Division (STAD) method as a one of teaching str ategy in English speaking per