• Tidak ada hasil yang ditemukan

laporan telur cacing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "laporan telur cacing"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk berkembangnya cacing dengan baik (Kadarsan,2005).

Hasil survey di beberapa tempat menunjukkan prevalensi antara 60%-90% pada anak usia sekolah dasar. Salah satu penyakit infeksi yang masih banyak terjadi pada penduduk di Indonesia adalah yang disebabkan golongan Soil-Transmitted Helminth, yaitu golongan nematode usus yang dalam penularannya atau dalam siklus hidupnya melalui media tanah. Cacing yang tergolong dalam Soil-Transmitted Helminth adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris

trichiura, Strongyloides stercoralis serta cacing tambang yaitu Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale (Siregar, 2006)

Dalam identifikasi infeksinya perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).

(2)

B. Tujuan Praktikum

Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pemeriksaan feses dengan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) serta metode modifikasi Harada Mori.

2. Mengetahui adanya telur dan larva cacing parasit dalam sempel feses.

(3)

BAB II METODE

A. Metode Pemeriksaan

Pada praktikum parasitologi ini, kelompok saya menggunakan sampel tinja dari siswa SDN 3 Grendeng, Purwokerto Utara. Mulanya, kelompok saya mendatangi siswa di sekolah untuk mencari pasien (siswa yang akan diperiksa fesesnya),kemudian kelompok saya mendatangi orangtua/ wali siswa untuk meminta izin. Kelompok saya memberikan wadah untuk menampung feses pasien dengan harapan feses yang di masukan ke wadah dalam kondidi masih segar. Pengambilan wadah dilakukan pagi hari sebelum praktikum. Pada saat praktikum kelompok saya memeriksa telur cacing dengan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) dan memeriksa larva cacing dengan metode modifikasi Harada Mori. Untuk mengidentifikasi telur dan larva cacing yang ditemukan digunakan pedoman praktikum parasitologi, kemudian dibaca hasilnya dan dicatat di laporan sementara untuk dianalisis.

Metode pemeriksaan yang kelompok saya lakukan pada praktikum, yaitu: 1. Metode Apung (Flotation method)

Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil. 2. Metode Harada Mori

(4)

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan metode apung dengan disentrifugasi, antara lain:

(5)

8. Spidol

C. Cara Kerja

1. Metode apung dengan sentrifugasi

a. 200 ml NaCl jenuh (33%) di masukan ke dalam beker glass.

b. 10 gram feses sampel diambil menggunakan lidi dan di masukan ke dalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di aduk sehingga larut.

c. Bila terdapat serat-serat selulosa disaring menggunakan penyaring teh. d. Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung sentrifugasi.

e. Di masukkan kedalam sentrifugator selama 5 menit.

f. Permukaan sampel pada tabung sentrifugasi diambil dengan menggunakan jarum ose dan di oleskan pada objek glass, kemudian di tutup dengan menggunakan cover glass.

g. Diamati di bawah mikroskop.

2. Metode apung tanpa sentrifugasi

a. 200 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan ke dalam beker glass.

b. 10 gram feses sampel diambil menggunakan lidi dan di masukan ke dalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian di aduk sehingga larut.

c. Bila terdapat serat-serat selulosa disaring menggunakan penyaring teh.

d. Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai cembung pada permukaan tabung reaksi.

e. Diamkan selama 5-10 menit kemudian ditutup dengan cover glass dan segera diangkat.

f. Cover glass diletakkan di atas objek glass dengan cairan berada diantara objek glass dan cover glass.

g. Diamati di bawah mikroskop.

3. Metode modifikasi Harada Mori

a. Tabung reaksi diisi akuades steril ±5 ml.

b. Dengan menggunakan lidi, feses dioleskan pada kertas saring sampai mengisi sepertiga bagian tengahnya.

(6)

d. Kertas saring di masukkan ke dalam plastik yang sudah berisi akuades ±1 ml.

e. Nama penderita, tanggal penamaan, dan kelompok pengamat ditulis kemudian ditempel di plastik.

f. Plastik digantung dan disimpan selama 7 hari.

g. Setelah 7 hari digantung, plastik dimiringkan dan digunting ujungnya kemudian air dalam plastik di tuang ke beaker glass.

h. Air dalam beaker glass diambil menggunakan pipet tetes kemudian 1-3 tetes air diteteskan ke atas objek glass.

i. Cover glass diletakkan di atas objek glass. j. Diamati di bawah mikroskop.

BAB III HASIL

A. Hasil 1

Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil sampel feses dari anak kelas 3 SD Negeri 3 Grendeng, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data tertera di bawah ini:

nama : Rizqi Pertama umur : 10 tahun

alamat : Jalan Bugenfil, Kel. Grendeng, Kec. Purwokerto Utara

Metode Hasil Pengamatan

Nama Cacing Telur (+/-)

Apung dengan sentrifugasi

Ascaris lumbricoides

-Trichuris trichiura

-Cacing tambang

-Strongyloides stercoralis

-Apung tanpa sentrifugasi

Ascaris lumbricoides

-Trichuris trichiura

-Cacing tambang

-Strongyloides stercoralis

(7)

B. Hasil 2

Pada pemeriksaan feses ini, sebelumnya telah diambil sampel feses dari anak kelas 3 SD Negeri 3 Grendeng, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data tertera di bawah ini:

nama : M. Irfan S. umur : 10 tahun

alamat : Jalan Bugenfil, Kel. Grendeng, Kec. Purwokerto Utara

Metode Hasil Pengamatan

Nama Cacing Telur (+/-)

Harada Mori

Trichuris trichiura

-Cacing tambang +

Strongyloides stercoralis

-Dari percobaan yang kelompok saya lakukan dengan menggunakan metode Harada Mori seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan menunjukkan hasil positif dengan ditemukanya larva pada pengamatan yang kami lakukan di bawah mikroskop, yang diduga sebagai larva cacing tambang.

BAB IV PEMBAHASAN

Dalam praktikum ini, kelompok saya menggunakan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) dan metode modifikasi Harada Mori.

Kelebihan dan kekurangan masing-masing metode yang digunakan dalam praktikum, yaitu:

1. Metode Apung Dengan Sentrifugasi a. Kelebihan

1) Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat.

2) Kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan adanya proses sentrifugasi sehingga feses dapat terlihat jelas.

b. Kekurangan

1) Membutuhkan waktu yang lama.

(8)

2. Metode Apung Tanpa Sentrifugasi a. Kelebihan

1) Dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat. 2) Telur dapat terlihat jelas.

b. Kekurangan

1) Menggunakan banyak feses. 2) Membutuhkan waktu yang lama.

3) Membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi. 3. Metode Modifikasi Harada Mori

a. Kelebihan: Lebih mudah dilakukan karena hanya umtuk mengidentifikasi larva infektif mengingat bentuk larva jauh lebih besar di bandingkan dengan telur.

b. Kekurangan

1) Dilakukan hanya untuk identifikasi infeksi cacing tambang. 2) Waktu yang dibutuhkan lama

3) Memerlukan peralatan yang banyak.

Dilihat dari tabel hasil 1 di atas, pemeriksaan feses Rizqi menggunakan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) tidak ditemukan telur parasit dalam praktikum ini. Berarti, Rizqi tidak terinfeksi parasit. Padahal jika diamati dari keadaan tempat tinggal dan lingkungan sekitar, dapat dikatakan kurang sehat. Apalagi terdapat kadang kambing di samping tempat tinggalnya, yang biasanya kambing merupakan salah satu hospes perantara pada penularan parasit.

Hasil negatif pada metode apung yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh: 1. Sampel atau feses diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing parasit usus). 2. Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum.

3. Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit. 4. Praktikan belum terlalu mampu untuk menggunakan mikroskop.

5. Pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan telur pada feses. 6. Kesalahan saat awal pengambilan feses, apakah diambil pada tempat pembuangan/kloset atau

tidak langsung dari perianal, dan kemungkinan tercampur dengan urin.

Pada pengamatan feses ini, yang mungkin ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides,

telur Trichiuris trichiura, telur cacing tambang, dan larva rhabditiform Strongyloides stercoralis.

Ascaris lumbricoides mempunyai 2 jenis telur, yaitu: telur yang sudah dibuahi (telur fertil)

(9)

berdinding tebal, berwarna kekuning-kuningan diliputi lapisan albuminoid yang tidak rata, isinya embrio yang belum masak. Sedangkan telur yang belum dibuahi memiliki cirri-ciri: lonjong, lebih panjang, dinding biasanya lebih tipis berisi granula(Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit Ascaris lumbricoides.

Telur Trichuris trichiura berukuran 50x25 µ, berbentuk mirip tempayan kayu atau biji melon, berwarna cokelat, dan memiliki 2 kutub jernih yang menonjol (Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit Trichuris trichiura.

Morfologi telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur cacing tambang berbentuk lonjong, dengan ukuran sekitar 64x40 µ. Telur tidak berwarna dan berdinding tipis yang tembus sinar. (Soedarto 2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit cacing tambang.

Telur cacing Strongyloides stercoralis berukuran 55 x 30 µ, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform, sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja. Larva rhabditiform mempunyai ukuran 200 – 250µ, memiliki esophagus dan bulbus esophagus yang mengisi ¼ bagian anterior (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Rizqi, sehingga Rizqi dinyatakan tidak terinfeksi parasit

Strongyloides stercoralis

Dilihat dari tabel hasil 2 di atas, pemeriksaan feses Irfan menggunakan metode Harada Mori ditemukan larva parasit dalam praktikum ini. Berarti, Irfan diduga terinfeksi parasit cacing tambang.

Menurut Shahid, dkk (2010), Harada Mori merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi cacing tambang. Terbukti bahwa metode Harada Mori memiliki ketelitian lebih dibandingkan dengan metode pemeriksaan tinja yang lain dalam mendeteksi cacing tambang. Jika dilakukan dengan benar, metode ini sensitif, sederhana, ekonomis dan mudah dilakukan.

(10)

sedangkan Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 µ. Telur ini keluar bersama feses penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah mengalami pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform (Shahid dkk, 2010).

Larva filariform cacaing tambang adalah larva infektif untuk manusia. Larva ini berukuran 500 – 700 µ, tidak mempunyai rongga mulut dan bulbus esophagus (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas terdapat pada pengamatan feses Irfan dengan metode harada mori sehingga Irfan diduga terinfeksi parasit cacing tambang.

Hasil positif pada metode Harada Mori yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh:

1. Faktor pendidikan: tingkat pendidikan pasien yang masih rendah, sehingga pengertian terhadap kebersian dan kesehatan pribadi serta lingkungan sangatlah rendah, misalnya kebiasaan buang besar di sembarang tempat (di tanah), tidak menggunakan alas kaki dalam kegiatan sehari-hari di luar rumah dan sering sekali tidak mencuci tangan sebelum makan.

2. Faktor sosio-ekonomi: keluarga pasien berpenghasilan rendah, sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk menyediakan sanitasi perorangan maupun lingkungan.

(Hairani dan Annida, 2012)

Gejala infeksi cacing tambang dapat disebabkan oleh larva maupun cacing dewasa. Pada saat larva menembus kulit terbentuk maculopapula dan erithema yang sering disertai rasa gatal (ground itch). Migrasi larva ke paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis. Cacing dewasa yang melekat dan melukai mukosa usus akan menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual dan diare. Seekor cacing dewasa mengisap darah 0,2 – 0,3 ml/hari, sehinnga dapat menimbulkan anemia progresif, hypokromik, mikrositer, type efisiensi besi. Biasanya gejala klinik timbul setelah tampak adanya anemi, pada infeksi berat, haemoglobin dapat turun hingga 2 gr %, sesak nafas, lemah dan pusing kepala. Kelemahan jantung dapat terjadi karena perubahan pada jantung yang berupa hypertropi, bising katub serta nadi cepat. Infeksi pada anak dapat menimbulkan keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari pada infeksi oleh Necator americanus (Shahid dkk, 2010).

(11)

merupakan sebagian dari usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing. Memasyarakatkan cara-cara hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana usia ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalakan kebiasaan-kebiasaan baru yaitu kebiasaan-kebiasaan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala seperti: 1. Membudayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga untuk mencuci tangan

sebelum makan.

2. Memakai alas kaki jika menginjak tanah.

3. Menggunting dan membersihkan kuku secara teratur.

4. Tidak buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh. 5. Bercocok tanam atau berkebun dengan baik.

6. Peduli dengan lingkungan.

7. Mencucilah sayur dengan baik sebelum diolah.

8. Berhati-hati saat makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah yang sanitasinya buruk.

9. Membuang kotoran hewan peliharaan kesayangan pada tempat pembuangan khusus.

10. Melakukan pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama bagi yang risiko tinggi terkena infestasi cacing, seperti petani, anak-anak yang sering bermain pasir, pekerja kebun, dan pekerja tambang (orang-orang yang terlalu sering berhubungan dengan tanah.

11. Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit sebaiknya dilakukan pengobatan dengan cara penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan obat-obatan merupakan pilihan yang dianjurkan. Obat anti cacing golongan pirantel pamoat (combantrin dan lain-lain) merupakan anti cacing yang efektif untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan parasit cacing. Intervensi berupa pemberian obat cacing (obat pirantel pamoat 10 mg/ kg BB dan albendazole 10 mg/kg BB) dosis tunggal diberikan tiap 6 bulan pada anak untuk mengurangi angka kejadian infeksi ini pada suatu daerah. Paduan yang serasi antara upaya prevensi dan terapi akan memberikan tingkat keberhasilan yang memuaskan, sehingga infeksi cacing secara perlahan dapat diatasi secara maksimal, tuntas dan paripurna.

(Athiroh, 2005)

(12)

BAB IV KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat saya simpulkan sebagai berikut: 1. Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) adalah

negatif, yang artinya bahwa tidak ditemukan telur dalam feses yang telah di periksa sehingga diduga pasien tidak terinfeksi cacing.

2. Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode Harada mori adalah positif, yang artinya bahwa ditemukan larva dalam tinja yang telah di periksa sehingga pasien diduga terinfeksi cacing tambang.

3. Bentuk telur, larva, atau cacing parasit berbeda-beda, masing-masing memiliki morfologi yang khas yang membedakan cacing yang satu dengan yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Athiroh, N. 2005. Petunjuk Praktikum Parasitologi. Malang: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Islam Malang.

Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Jakarta.

Hairani, Budi dan Annida. 2012. “Insidensi Parasit Pencernaan pada Anak Sekolah Dasar di Perkotaan dan Pedesaan di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Jurnal Epidemiologi dan

Penyakit Bersumber Binatang, Volume 4(2): 102-108.

Kadarsan,S. 2005. Binatang Parasit. Bogor:Lembaga Biologi Nasional-LIPI.

Palgunadi, Bagus Uda. 2010. “Faktor-Faktor Yang Mempengruhi Kejadian Kecacingan Yang Disebabkan Oleh Soil-Transmitted Helminth Di Indonesia”, Jurnal, Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

Shahid, dkk. 2010. ”Identicifation of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture”,

(13)

Siregar, Charles D. 2006. “Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar”. Sari Pediatri, Volume 8(2): 112-117

Soedarto, 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto.

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Tujuan Praktikum

Mengetahui telur dan larva dari sebagian cacing yang diamati. 1.2 Manfaat Praktikum

1. Mahasiswa dapat mengamati telur dan larva dari sebagian cacing yang diamati.

2. Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis telur dan cacing berdasarkan hasil pengamatan. 3. Mahasiswa dapat mengamati bentuk telur dan larva cacing berdasarkan hasil

pengamatan.

4. Mahasiswa dapat mengetahui agen penyakit dari telur dan larva cacing. 5. Mahasiswa dapat mengetahui ukuran telur dan larva cacing.

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Clonorchis sinensis

Gambar 2.1 Clonorchis sinensis.

(14)

Keluarga : Opisthorchiidae Genus : Clonorchis

Spesies : Clonorchis sinensis

(Gandasuda dan Srisasi, 2006).

1. a. Morfologi

Telur

Gambar 2.2 Telur Clonorchis sinensis.

Telur berbentuk oval seperti kendi operkulum besar, bagian posteriornya menebal dan biasanya ada tonjolan kecil.Telur berisi mirasidium, ukuran telur 25-35 X 12-19 mikron,dan warna telur kuning (Wang et al, 2011).

Larva

Gambar 2.3 Cacing Clonorchis sinensis dewasa.

Dalam siklus hidupnya setelah keluar dari telur cacing Clonorchis sinensis berkembang berturut-turut menjadi beberapa bentuk larva mirasidium berenang di air, sporokista, redia, serkaria dalam tubuh tubuh bekicot, metaserkaria dalam tubuh ikan dan hospes definitif (Wang et al, 2011). Mirasidium

Berbentuk oval dan memiliki silia (Wang et al, 2011). Sprokokista

Berbentuk kantong dan mengandung sel-sel germinal. Sel-sel germinal membentuk sporokista generasi kedua atau redia (Wang et al, 2011).

Redia

Berbentuk kantong, memiliki faring yang nyata dan usus rudimenter. Mengandung sel germinal yang akan berkembang menjadi redia generasi kedua atau serkaria (Wang et al, 2011).

Serkaria

Berwarna coklat, berekor, memiliki dorsal dan ventral sirip untuk bergerak, bintik mata yang berfungsi sebagai alat sensori, dan kutikula dengan duri-duri kecil (Wang et al, 2011).

(15)

Metaserkaria merupakan stadium larva berbentuk kista berkembang. Kista memiliki dinding yang sangat tebal organ larva seperti bintik mata, ekor dan stiletnya telah hilang (Wang et al, 2011).

Cacing dewasa

Cacing pipih berbentuk daun. Bagian posteriornya membulat dan pada integumenya tidak ditemukan duri. Ukuran cacing dewasa 10-25 X 3-5mm. Batil isap kepala lebih besar dari pada batil isap perut. Testis berlobus dalam tersusun membentuk tandem dan terletak dibagian posterior tubuh. Ovarioum terletak dibagian anterior testis pada bagian tengah tubuh. Filtelaria membentuk folikel-folikel lembut dan terletak di lateral tubuh (Wang et al, 2011).

1. Siklus Hidup

Telur akan menetas dan mengeluarkan mirasidium bila termakan hospes perantara I keong air. Dalam keong air akan berturut-turut berkembang menjadi sporokista redia I, redia II, dan serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara II (famili Cyprinidae). Serkaria menembus hospes perantara dua dan melepaskan ekornya. Dalam tubuh hospes perantara II serkaria membuntuk kista yang disebut metaserkaria(bentuk infektif). Dalam duodenum metaserkaria pecah kemudian mengeluarkan larva dan kemudian masuk kedalam saluran empedu.Setelah satu bulan didalm saluran empedu,larva berkembang menjadi dewasa (Makimian, 1996).

1. Hospes

Hospes

Perantara

Pertama

Siput air tawar (Parafossarulus manchouricus) berfungsi sebagai hospes perantara pertama untuk Clonorchis sinensis di Cina, Jepang, Korea dan Rusia. Begitu berada di dalam tubuh siput, mirasidium yang menetas dari telur dan tumbuh secara parasit dalam siput. Mirasidium ini berkembang menjadi sebuah sporosit, yang pada gilirannya memondokkan reproduksi aseksual dari redia, tahap berikutnya. Sistem reproduksi aseksual memungkinkan untuk persilangan eksponensial individu serkaria dari satu mirasidium. Ini membantu Clonorchis sinensis dalam reproduksi, karena memungkinkan mirasidium untuk memanfaatkan satu kesempatan pasif untuk dimakan oleh siput sebelum telur mati. Setelah redia dewasa, yang tumbuh di dalam tubuh bekicot sampai saat ini, mereka secara aktif menanggung keluar dari tubuh siput ke lingkungan air tawar (Safar, 2009).

Hospes

(16)

Kedua

Bosan dengan cara mereka masuk ke dalam tubuh ikan, mereka kembali menjadi parasit hospes baru mereka. Setelah masuk dari otot ikan, serkaria yang membuat kista metaserkaria pelindung yang dapat digunakan untuk mengenkapsulasi tubuh mereka. Kista pelindung ini terbukti bermanfaat ketika otot ikan dikonsumsi oleh manusia (Safar, 2009).

Hospes

Definitif

Kista tahan asam memungkinkan metaserkaria untuk menghindari dicerna oleh asam lambung manusia, dan memungkinkan metaserkaria untuk mencapai usus kecil terluka. Mencapai usus kecil, metaserkaria yang menavigasi ke hati manusia, yang menjadi habitat akhir. Pakan

Clonorchis pada empedu manusia diciptakan oleh hati. Dalam hati manusia, Clonorchis

mencapai tahap yang matang dari reproduksi seksual . Orang-orang dewasa hermafroditik menghasilkan telur setiap 1-30 detik, sehingga perbanyakan cepat penduduk di hati (Safar, 2009).

1. Distribusi Geografik

Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di Indonesia bukan infeksi autotokton (Makimian, 1996).

1. Patologi dan Gejala Klinis

Perubahan patologi terutama terjadi pada sel epitel saluran empedu. Pengaruhnya terutama bergantung pada jumlah cacing dan lamanya menginfeksi, untungnya jumlah cacing yang menginfeksi biasanya sedikit. Pada daerah endemik jumlah cacing yang pernah ditemukan sekitar 20-200 ekor cacing. Infeksi kronis pada saluran empedu menyebabkan terjadinya

penebalan epitel empedu sehingga dapat menyumbat saluran empedu. Pembentukan kantong-kantong pada saluran empedu dalam hati dan jaringan parnenkim hati dapat merusak sel

sekitarnya. Adanya infiltrasi telur cacing yang kemudian dikelilingi jaringan ikat menyebabkan penurunan fungsi hati (Safar, 2009).

Gejala asites sering ditemukan pada kasus yang berat, tetapi apakah ada hubungannya antara infeksi C. sinensis dengan asites ini masih belum dapat dipastikan. Gejala joundice (penyakit kuning) dapat terjadi, tetapi persentasinya masih rendah, hal ini mungkin disebabkan oleh obstruksi saluran empedu oleh telur cacing. Kejadian kanker hati sering dilaporkan di Jepang, hal ini perlu penelitioan lebih jauh apakah ada hubungannya dengan penyakit Clonorchiasis (Safar, 2009).

Cacing ini menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran dan

(17)

1. Stadium ringan tidak ada gejala.

2. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, diare, edema, dan pembesaran hati.

3. Stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal terdiri dari pembesaran hati, edema, dan kadang-kadang menimbulkan keganasan dalam hati, dapat menyebabkan kematian.

f.

Diagnosa

Diagnosa didasarkan pada isolasi feses telur Clonorchis sinensis bersama dengan adanya tanda-tanda pankreatitis atau primary. Beberapa kucing mungkin menunjukkan penyakit kuning dalam kasus-kasus lanjutan dengan parasit beban berat. Sejumlah cacing hati lain yang mempengaruhi kucing, seperti Viverrini opisthorchis, dan Felineus opisthorchis, dapat dibedakan dengan pemeriksaan miscoscopic atau yang lebih baru tes PCR. Konfirmasi biasanya dibuat pada laparotomi eksplorasi dan visualisasi cacing dalam pohon bilier atau kandung empedu dari kucing yang terkena dampak (Safar, 2009).

2.2 Fasciola hepatica

Gambar 2.4 Fasciola hepatica.

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes Klas : Trematoda Ordo : Echinostomida Genus : Fasciola

Spesies : Fasciola Hepatica

(Gandasuda dan Srisasi, 2006). 1. Morfologi

(18)

Gambar 2.5 Telur Fasciola hepatica.

Telur cacing berbentuk bulat lonjong dengan dinding tipis yang mengandung massa moruler yang dibentuk dari sel yang mengelilingi zigot. Telur cacing mempunyai operculum pada salah satu ujung telur, warna kekuningan dan mempunyai ukuran 130-150 x 80µm (Suriptiastuti,

2006).

Cacing dewasa

Gambar 2.6 Cacing Fasciola hepatica dewasa.

Fasciola hepatica atau disebut juga Cacing hati merupakan anggota dari Trematoda

(Platyhelminthes). Cacing hati mempunyai ukuran panjang 2,5 – 3 cm dan lebar 1 – 1,5 cm. Pada bagian depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, dan ada sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang mulut, juga terdapat alat kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan membantu saat bergerak (Brooks, 1996).

2. Daur hidup

Cacing ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api. Cacing ini bersifat hemaprodit, berkembang biak dengan cara pembuahan sendiri atau silang, jumlah telur yang dihasilkan sekitar 500.000 butir. Hati seekor domba dapat mengandung 200 ekor cacing atau lebih. Karena jumlah telurnya sangat banyak, maka akan keluar dari tubuh ternak melalui saluran empedu atau usus bercampur kotoran. Jika ternak tersebut mengeluarkan kotoran, maka telurnya juga akan keluar, jika berada di tempat yang basah, maka akan menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Larva tersebut akan berenang, apabila bertemu dengan siputLymnea auricularis akan menempel pada mantel siput. Di dalam tubuh siput, silia sudah tidak berguna lagi dan berubah menjadi sporokista. Sporokista dapat menghasilkan larva lain secara

partenogenesis yang disebut redia yang juga mengalami partenogenesis membentuk serkaria. Setelah terbentuk serkaria, maka akan meninggalkan tubuh siput dan akan berenang sehingga dapat menempel pada rumput sekitar kolam atau sawah. Apabila keadaan lingkungan tidak baik, misalnya kering maka kulitnya akan menebal dan akan berubah menjadi metaserkaria. Pada saat ternak makan rumput yang mengandung metaserkaria, maka sista akan menetas di usus ternak dan akan menerobos ke dalam hati ternak dan berkembang menjadi cacing muda, demikian seterusnya (Brooks, 1996).

3. Hospes

Hospes cacing ini adalah kambing dan sapi, dan kadang-kadang parasit ini ditemukan pada manusia (Brooks, 1996).

4. Distribusi Geografik

(19)

1. Patologi dan Gejala Klinis

Migrasi cacing Fasciola hepatica ke saluran empedu menimbulkan kerusakan pada parenkim hati. Saluran empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga menimbulkan Sirosis Periportal (Noble,1989).

2.3 Hymenolepis nana

Gambar 2.7 Hymenolepis nana.

Klasifikasi Ilmiah

Kingdom : Animalia

Phylum : Platyhelminthes Class : Cestoda

Ordo : Cyclophyllidea Family : Hymenolepididae Genus : Hymenolepis Species : Hymenolepis nana

(Gandasuda dan Srisasi, 2006). 1. Morfologi

Telur

Gambar 2.8 Telur Hymenolepis nana.

Telur berbentuk bulat atau oval dengan diameter 30-45 mikron. Dinding telur terdiri dari 2 lapis yaitu membran luar dan dalam (Makimian, 1996).

Cacing Dewasa

Gambar 2.9 Hymenolepis nana.

Hymenolepis nana berbentuk seperti benang dengan ukuran 15 – 40 mm x 0,5 – 1 mm dan

jumlah proglotid mencapai yang 200. Hymenolepis nana memiliki skoleks dan rostellum pendek yang retraktil. Bagian lehernya panjang dan ramping. Hymenolepis nana memiliki 3 testis yang berada pada bagian posterior dari setiap proglotid. Segmen gravid Hymenolepis nana

(20)

b. Daur Hidup

Telur-telur dikeluarkan bersama tinja dengan cara disintegrasi pelan-pelan dari segmen gravid.

Hymenolepis nana merupakan satu-satunya cacing pita manusia yang tidak membutuhkan

hospes perantara. Segmen gravid biasanya pecah di kolon sehingga telur dapat dengan mudah ditemukan di feses. Telur Hymenolepisnana segera menjadi infektif ketika dikeluarkan bersama tinja dan tidak dapat bertahan lebih dari 10 hari pada lingkungan luar. Ketika telur infektif tersebut ditelan oleh orang lain, onkosfer yang terkandung di dalam telur dilepaskan di usus kecil kemudian mempenetrasi vilus dan berkembang menjadi larva sistiserkosis. Setelah villus ruptur, sistiserkosis kembali ke lumen usus, lalu mengeluarkan skoleks mereka, kemudian menempel ke mukosa usus dan berkembang menjadi dewasa lalu tinggal di ileus (Maegraith B, 1995).

Autoinfeksi dapat terjadi pada infeksi Hymenolepis nana, dimana telur mampu mengeluarkan embrio heksakanmereka yang kemudian menembus villus dan meneruskan siklus infektif tanpa melalui lingkungan luar. Hal ini menyebabkan cacing dapat memperbanyak diri dalam tubuh hospes. Masa hidup cacing dewasa adalah 4-6 minggu, tetapi autoinfeksi internal memungkinkan infeksi bertahan selama bertahun-tahun.Cacing di dalam usus terdapat dalam jumlah 1.000 sampai 8.000 ekor. Jangka waktu hidupnya hanya 2 minggu (Maegraith B, 1995). c. Hospes

Hospes parasit ini adalah manusia dan tikus (Maegraith B, 1995). d. Distribusi Geografik

Hymenolepis nana tersebar secara kosmopolitan diseluruh dunia terutama di daerah sub tropis

maupun tropis serta lebih banyak terjadi didaerah panas daripada di daerah dingin (Maegraith B, 1995).

Daerah penyebaran Hymenolepis nana antara lain adalah Mesir, Sudan, Thailand, India, Jepang, Amerika Selatan yaitu Brazilia dan Argentina, Eropa Selatan yaitu Portugal, Spanyol dan Sicilia (Manson-Bahr PEC dan Bell DR, 1997).

Kejadian Hymenolepiasis nana sering terjadi pada para imigran yang berasal dari daerah kering dan biasanya infeksi pada penderitanya bersifat asymtomatis (Strickland GT, 1994).

Hymenolepis nana adalah cacing pita kerdil yang merupakan parasit paling sering dijumpai pada

manusia khususnya di Asia. Karena siklus hidupnya secara langsung, maka memungkinkan penularannya dari manusia ke manusia dengan cepat dapat terjadi. Parasit ini merupakan cacing pita terkecil serta satu-satunya cacing pita yang tidak memerlukan induk semang antara atau intermediate host (Duerden BI et al.,1997).

(21)

menderita akibat infeksi oleh cacing pita ini. Namun menurut Markell, gambaran prevalensinya saat ini belum diketahui secara pasti (Markell EK et al,1992).

Prevalensi infeksi cacing pita ini tinggi pada daerah dengan kondisi hygiene pribadi dan

lingkungan yang kurang baik. Infeksi lebih sering terjadi di dalam lingkungan keluarga ataupun di dalam suatu institusi dari pada di dalam populasi yang besar (Strickland GT, 1994).

Infeksi oleh cacing ini sering terjadi pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi dan status imunodefisiensi. Infeksi mungkin mulai terjadi pada awal tahun kehidupannya tetapi gejala klinisnya baru timbul setelah 5 tahun kemudian (Duerden BI et al., 1997).

Infeksi terjadi secara langsung melalui tangan ke mulut, atau infeksi dapat terjadi karena menelan telur cacing yang mengkontaminasi makanan atau minuman. Kebiasaan yang kurang sehat dari anak-anak menyebabkan prevalensi infeksinya cukup tinggi pada anak-anak (Chin J, 2006).

Manusia merupakan sumber infeksi yang paling penting bagi manusia lainnya, walaupun tikus dan mencit juga dapat menjadi sumber infeksi dari cacing pita ini. Penularan melalui ingesti feses rodent yang mengandung telur cacing pita ini lebih sering terjadi dari pada melalui ingesti kumbang yang terinfeksi. Autoinfeksi dapat terjadi akibat infestasi dari ratusan cacing pita ini pada host tunggal (Joklik WK, 1996).

Manusia merupakan reservoar alamiah dan penularan biasanya terjadi secara langsung dari manusia ke manusia lainnya dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun penularan melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai karena telur cacing pita ini mempunyai daya tahan yang rendah diluar hostnya. Larva dari flea dan kumbang dapat terinfeksi setelah ingesti telur cacing pita ini dan berkembang menjadi cisticercoid di dalam hemocoelenya (Strickland GT, 1984).

1. Patologi dan Gejala Klinis

Perubahan patologis akibat Hymenolepisnana tergantung pada intensitas infeksi, status imunologis hospes dan adanya penyakit-penyakit lain yang menyertainya. Akibat infeksi dari cacing ini biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi desquamasi sel epitel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa, sehingga dapat menimbulkan enteritis pada infeksi yang berat (Strickland GT, 1984).

(22)

Hymenolepiasis nana yang berat pada anak – anak dapat menimbulkan asthenia, penurunan berat badan, hilangnya nafsu makan, insomnia, nyeri perut disertai diare, muntah , pusing , gangguan saraf serta reaksi alergi pada anak yang sensitive. Anemia sekunder dan eosinofilia antara 4-16% kemungkinan dapat pula terjadi. Pada anak – anak juga sering terjadi autoinfeksi interna

sehingga dimungkinkan terjadi infeksi berat yaitu diare bercampur darah, sakit perut dan gangguan sistemik yang berat (Soedarto,2008).

6. Patogenesis

Cara penularan Hymenolepiasis nana dapat melalui fecal-oral. Sedikit atau nyaris tidak ada kejadian patologis dari perkembangan sistiserkosis di vili, namun bila jumlah cacing telah mencapai lebih dari 2000 dapat menyebabkan enteritis yang diduga akibat toksemia sistemik yang merupakan produk sisa Hymenolepiasis nana. Produk sisa ini dapat menyebabkan respon alergi. Eosinofilia hingga 15% dapat ditemukan pada 7% penderita yang terinfeksi. Selain itu, pada infeksi berat dapat terjadi erosif karena oleh skoleks yang dimiliki Hymenolepiasis nana

(Soedarto,2008). g. Diagnosis

Hymenolepiasis nana sering bersifat asimtomatik, namun pada infeksi yang berat dapat terjadi

gangguan pencernaan seperti nyeri abdomen, diare, muntah, pusing, dan anoreksia. Diagnosis dilakukan dengan menemukan telur Hymenolepiasis nana pada sediaan tinja (Soedarto,2008).

2.4 Oxyuris vermicularis

Gambar 2.10 Cacing Oxyuris vermicularis.

Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum : Nematoda Kelas : Secernentea Upakelas: Spiruria Ordo : Oxyurida Famili : Oxyuridae Genus : Enterobius

Species

Oxyuris vermicularis

(23)

1. Morfologi Telur

Gambar 2.11 Telur Oxyuris vermicularis.

Telur Oxyuris vermicularis atau Enterobius vermicularis berbentuk oval, tetapi

asimetris(membulat pada satu sisi dan mendatar pada sisi yang lain), dinding telur terdiri atas hialin, tidak berwarna dan transparan serta rata-rata panjangnya 47,83 x 29,64 mm (Brown, 1979).

Telur cacing ini berukuran 50μm – 60μm x 30μm, berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisinya (asimetris). Dinding telur bening dan agak tebal, didalamnya berisi massa bergranula berbentuk oval yang teratur, kecil, atau berisi embrio cacing, suatu larva kecil yang melingkar (Gandahusada et al., 2001).

Cacing Dewasa

Gambar 2.12 Oxyuris vermicularis Betina. Gambar 2.13 Oxyuris vermicularis Jantan.

Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,3-0,5 mm, dengan pelebaran kutikulum seperti sayap pada ujung anterior yang disebut alae. Bulbus oesofagus jelas sekali, dan ekor runcing. Pada cacing betina gravid, uterus melebar dan penuh telur (Gandahusada et al., 2001).

Cancing jantan lebih kecil sekitar 2-5 mm dan juga bersayap, tapi ekornya berbentuk seperti tanda tanya, spikulum jarang ditemukan. (Purnomo et al.,2003)

1. Siklus Hidup

Manusia merupakan satu-satunya host bagi Oxyuris vermicularis. Manusia terinfeksi bila

menelan telur infektif. Telur akan menetas di dalam usus dan berkembang menjadi dewasa dalam caecum, termasuk appendix (Mandell et al., 1990).

Cacing betina memerlukan waktu sekitar 1 bulan untuk menjadi matur dan mulai memproduksi telur (Garcia dan Bruckner, 1998). Cacing betina yang gravid mengandung sekitar 11.000-15.000 butir telur, berimigrasi ke perianal pada malam hari untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di tinja. Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira enam jam setelah dikeluarkan pada suhu badan. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari (Gandahusada et al., 2001). Kadang-kadang cacing betina berimigrasi ke vagina dan menyebabkan vaginitis (Mandell et al., 1990).

(24)

infektif sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal dan memerlukan waktu kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan (Gandahusada et al., 2001).

1. Hospes

Manusia adalah satu-satunya hospes dan penyakitnya disebut enterobiasis atau oksiuriasis (Gandahusada et al., 2001).

4. Distribusi geografik

Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah dingin daripada daerah panas. Hal ini mungkin disebabkan karena pada umumnya orang didaerah dingin jarang mandi dan

mengganti baju dalam. Penyebaran cacing ini juga ditunjang oleh eratnya hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya serta lingkungan yang sesuai (Gandahusada et al., 2001).

1. Patologi dan Gejala Klinis

Oxyuris vermicularis relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis

yang menonjol disebabkan iritasi disekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Oleh karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus. Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung,

esophagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tubafallopii sehingga menyebabkan radang di saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan apendisitis. Beberapa gejala karena infeksi cacing Oxyuris vermicularis dikemukakan oleh beberapa penyelidik yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, enuresis, cepat marah, gigi menggeretak, insomnia dan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Gandahusada et al., 2001).

6. Diagnosis

Infeksi cacing sering diduga pada anak yang menunjukan rasa gatal di sekitar anus pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan mudah dengan alat analswab yang ditempelkan disekitar anus pada waktu pagi hari sebelum anak buang air besar dan mencuci pantat(Gandahusada et al., 2001).

Anal swab adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada ujungnya

(25)

2.5 Cacing Tambang

Telur cacing tambang berukuran kurang lebih 55 x 35 mikron, bentuknya bulat oval dengan selapis dinding yang transparan dari bahan hialin. Sel telur yang belum berkembang tampak seperti kelopak bunga. Dalam perkembangan lebih lanjut dapat berisi larva yang siap untuk ditetaskan ( Gandahusada, 1988).

Cacing dewasa

Gambar 2.16 Cacing Tambang

Betina (sebelah kiri), dan Cacing Tambang Jantan (sebelah kanan).

Cacing betina berukuran panjang kurang lebih 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Bentuk badan Necator Americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale

menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. Necator Americanus

mempunyai benda kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai kopulatriks (Gandahusada, 1988).

b. Siklus Hidup

(26)

kedalam tubuh host melalui pembuluh darah balik atau pembulu darah limfe, maka larva akan sampai ke jantung kanan. Dari jantung kanan menuju ke paru – paru, kemudian alveoli ke broncus, ke trakea dan apabila manusisa tersedak maka telur akan masuk ke oesophagus lalu ke usus halus, siklus ini berlangsung kurang lebih dalam waktu dua minggu (Gandahusada, 1988).

1. Hospes

Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus (F.Ganong dan William, 2003).

1. Distribusi Geografik

Necator americanus adalah cacing tambang spesifik manusia yang paling umum di seluruh

dunia. Necator americanus ditemukan di Afrika, Asia dan Amerika (F.Ganong dan William, 2003).

1. Patologi dan Gejala Klinik

Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun dan anemia (anemia hipokrom micrositer). Disamping itu juga terdapat eosinofilia (F.Ganong dan William, 2003).

f. Diagnosa

Diagnosa pasti untuk infeksi cacing tambang dengan cara menemukan telur, larva atau cacing dewasa pada feses yang dapat diperiksa secara langsung maupun konsentrasi (F.Ganong dan William, 2003).

2.6 Necator americanus

Gambar 2.17 Cacing Necator americanus.

Klasifikasi Ilmiah Kingdom:Animalia Phylum : Nematoda Class : Secernentea Order : Strongylida Family : Ancylostomatidae Genus : Necator

Species : Necator americanus

(Gandasuda dan Srisasi, 2006). 1. Morfologi

(27)

Gambar 2.18 Telur Necator americanus.

Telur cacing tambang berbentuk oval, kedua kutubnya mendatar, dinding sel tipis dan bening, tersusun atas 4-8 sel, dengan ukuran yang berbeda tergantung dari jenisnya Necator americanus

memiliki ukuran telur sepanjang 64 –76 mm x 36–40 mm. Jumlah telur yang dihasilkan Necator

americanus adalah 10.000–20.000 setiap harinya dan telur cacing tambang dapat menetas dalam

rentang waktu 24-36 jam. Pada kondisi yang optimal daya tahan larva berada pada kelembapan sedang dengan suhu berkisar 23-300 C Gani (1998).

Cacing Dewasa

Gambar 2.19 Necator americanus dewasa.

Necator americanus memiliki bentuk tubuh slindris yang menyerupai huruf S, dimana ukuran

cacing betina lebih besar dari pada yang jantan, panjang cacing betina ± 1 cm, setiap cacing betina dapat bertelur 9000 ekor per hari. Sementara cacing jantan panjangnya ± 0,8 cm. Pada bagian mulut cacing tambang memiliki kapsula (rongga) bucca lis, akan tetapi kedua jenis ini terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, dimana mulut Necator americanus terdapat lempeng pemotong (benda kitin) di bagian anterior dari kapsul buccal (Noble, 1989). Pertumbuhan larva parasit ini kebanyakan berlangsung di dalam tanah, yang banyak

mengandung zat – zat organik. Selain itu, areal yang memiliki sirkulasi air yang tidak bagus, merupakan tempat yang paling disenangi oleh cacing tambang. Selain suhu, cacing tambang memerlukan nutrisi (makanan), yang berguna untuk berfungsinya esophagus secara normal dan juga diperlukan untuk pengumpulan glukosa yang diubah menjadi glikogen cacing (Noble, 1989).

Pada rongga badan cacing tambang ditemukan pseudoselom yang berisi hemolympha, yang diduga merupakan tempat penampungan hasil ekskresi. Hasil ekskresi tersebut meliputi nitrogen sebagai asam amonia, asam urat, ureum, yang akan dikeluarkan oleh tubuh melalui porus

excretorius (Radiopoetro, 1991).

Sedangkan, reproduksi cacing tambang terjadi di dalam usus manusia yang bersifat

gonochoristis, dimana testis menghasilkan sperma sedangkan ovarium menghasilkan ovum. Sperma umumnya bersifat amoeboid dengan saluran kelami n jantan bermuara di usus sedangkan saluran kelamin betina mempunyai lubang muara keluar sendiri dan fertilisasi berlangsung secara internal (Radiopoetro, 1991).

Proses fertilisasi diawali dengan keluarnya pheromon dari cacing betina yang digunakan untuk menarik cacing jantan. Kemudian lubang genital betina dibuka oleh cacing jantan dengan menggunakan spikula, kemudian dilanjutkan dengan pemindahan sperma. Telur yang dihasilkan dari fertilisasi tersebut ± 10.000 per hari (Barnes, 1987).

(28)

Cacing ini dimulai sebagai sebuah telur unembryonated dalam tanah. Setelah 24-48 jam di bawah kondisi yang menguntungkan, telur berembrio dan menetas menjadi. Tahap pertama remaja 1 dikenal sebagai rhabditiform. Larva rhabditiform tumbuh dan ganti kulit dalam tanah, berubah menjadi tahap remaja 2. Tahap remaja 2 molts sekali lagi sampai mencapai tahap 3 remaja, yang juga disebut filariform, ini juga merupakan bentuk infektif. Transformasi dari rhabditiform ke filariform biasanya memakan waktu lima sampai 10 hari. Bentuk larva mampu menembus kulit manusia, perjalanan melalui pembuluh darah dan jantung, dan mencapai paru-paru. Sesampai di sana, mereka bersembunyi melalui alveoli paru dan melakukan perjalanan ke trakea, di mana mereka tertelan dan dibawa ke usus kecil, di mana mereka tumbuh menjadi dewasa dan bereproduksi dengan melampirkan sendiri ke dinding usus, menyebabkan

peningkatan kehilangan darah oleh tuan rumah. Telur berakhir di tanah setelah meninggalkan tubuh melalui feses. Rata-rata, cacing yang paling dewasa dieliminasi dalam satu sampai dua tahun (Jeffry HC dan Leach RM, 1983).

Migrans cutaneous larva, infeksi zoonosis, terjadi ketika manusia menjadi host disengaja. Tuan rumah definitif untuk spesies ini kucing dan anjing. Siklus di host definitif mirip dengan yang ada pada manusia, perbedaan adalah ketika larva filariform liang melalui kulit manusia. Karena filariform dapat mereproduksi dan dewasa hanya di host definitif, ia mengembara ke seluruh lapisan epidermis, di mana ia tidak bisa menembus dalam ke kulit manusia. Jejak dari penetrasi filariform terlihat di kulit, karena hanya bisa bersembunyi melalui lapisan luarnya (Jeffry HC dan Leach RM, 1983).

Telur yang lulus dalam tinja, dan di bawah kondisi yang menguntungkan (kelembaban, kehangatan, warna), larva menetas dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform dirilis tumbuh dalam tinja dan atau tanah, dan setelah 5 sampai 10 hari (dan dua molts) mereka menjadi filariform (ketiga tahap) larva yang infektif. Larva infektif bisa bertahan 3 sampai 4 minggu dalam kondisi lingkungan yang menguntungkan. Pada kontak dengan inang manusia, larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah ke jantung dan kemudian ke paru-paru. Cacing ini menembus ke dalam alveoli paru, naik pohon bronkial ke faring, dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, di mana mereka tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa tinggal di lumen usus kecil, di mana mereka menempel pada dinding usus dengan kehilangan darah yang dihasilkan oleh tuan rumah. Cacing yang paling dewasa dieliminasi dalam 1 sampai 2 tahun, tetapi catatan panjang umur bisa mencapai beberapa tahun (Jeffry HC dan Leach RM, 1983).

1. Hospes

Tuan rumah definitif untuk spesies ini kucing dan anjing (Jeffry HC dan Leach RM, 1983). 1. Distribusi Geografik

Necator americanus pertama kali ditemukan di Brazil dan kemudian ditemukan di Texas.

(29)

Serikat adalah N. americanus. Parasit ini ditemukan pada manusia, tetapi juga dapat ditemukan pada babi dan anjing (Jeffry HC dan Leach RM, 1983).

1. Patologi dan Gejala Klinis

Cacing dewasa menempel pada vili dari usus kecil, mereka mengisap darah host, yang dapat menyebabkan sakit perut, diare, kram, dan penurunan berat badan yang dapat menyebabkan anoreksia. Infeksi berat dapat mengarah pada pengembangan dari kekurangan zat besi dan anemia hipokromik mikrositik. Ini bentuk anemia pada anak dapat menimbulkan

keterbelakangan fisik dan mental. Infeksi yang disebabkan oleh larva migrans kulit, penyakit kulit pada manusia, ditandai dengan pecah kulit dan gatal-gatal yang parah (Jeffry HC dan Leach RM, 1983).

1. Diagnosa

Teknik yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis infeksi cacing tambang adalah untuk mengambil sampel tinja, memperbaikinya dalam formalin 10%, berkonsentrasi menggunakan teknik formalin-etil asetat sedimentasi, dan kemudian membuat preparat basah dari sedimen untuk melihat di bawah mikroskop. Larva tidak dapat ditemukan pada spesimen tinja kecuali spesimen dibiarkan pada suhu ambien untuk satu hari atau lebih (Jeffry HC dan Leach RM, 1983).

2.6 Strongyloides stercoralis

Gambar 2.20 Strongyloides stercoralis.

Klasifikasi Ilmiah Sub kingdom : Metazoa

Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda

Sub Kelas : Phasmidia Ordo : Rhabditida Super famili : Strongyloidea Genus : Strongyloides

Species : Strongyloides stercoralis

(30)

1. Morfologi Telur

Gambar 2.21 Telur Strongyloides stercoralis.

Telur dari bentuk parasitik, sebesar 54 x 32 mikron berbentuk bulat oval dengan selapis dinding yang transparan. Bentuknya mirip dengan telur cacing tambang, biasanya diletakkan dalam mukosa usus, telur itu menetas menjadi larva rabditiform yang menembus sel epitel kelenjar dan masuk kedalam lumen usus serta keluar bersama tinja. Telur jarang ditemukan di dalam tinja kecuali sesudah diberi pencahar yang kuat (Tony Hart, 1997).

Cacing dewasa

Gambar 2.22 Strongyloides stercoralis dewasa.

Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah seekor

nematoda filariform yang kecil, tidak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus. Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang hidup sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari pada yang betina dan mempunyai ekor melingkar (Tony Hart, 1997).

2. Hospes

Manusia merupakan hospes utama cacing parasit ini (Tony Hart, 1997). 3. Distribusi Geografik

Cacing ini terdapat di daerah tropik dan subtropik, sedangkan didaerah yang beriklim dingin jarang ditemukan (Tony Hart, 1997).

4. Patologi dan Gejala Klinis

Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa

menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda. Infeksi ringan dengan Strongyloides stercoralis

(31)

darah mungkin ditemukan eosinofilia atau hiperesinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah sel eosinofil normal(Srisasi Gandahusada dan Ilahude, 2006).

5. Diagnosa

Diagnosis klinis tidak pasti, karena strongiloidiasis tidak memberikan gejala klinis yang nyata. Diagnosis pasti yaitu apabila menemukan larva rabditiform dalam tinja segar dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum. Biakan tinja selama sekurang-kurangnya 2 x 24 jam menghasilkan larva rabditiform dan cacing dewasa Strongyloides stercoralis yang hidup bebas (Srisasi Gandahusada dan Ilahude, 2006).

BAB III

METODE PRAKTIKUM 3.1 Alat dan Bahan

a. Alat :

1. Mikroskop.

2. Kertas gambar ukuran A4. 3. Pensil warna.

4. Bahan:

1. Preparat awetan telur Clonorchis sinensis.

2. Preparat awetan telur Fasciola hepatica dewasa. 3. Preparat awetan telur Hymenolepis nana.

4. Preparat awetan cacing Oxyuris vermicularis betina. 5. Preparat awetan telur cacing tambang.

6. Preparat awetan cacing tambang cacing Necator americanus dewasa. 7. Preparat awetan cacing Strongyloides stercoralis dewasa.

1. 2 Skema Kerja

(32)

Mengamati bentuk telur Clonorchis sinensis pada mikroskop

Menggambar penampang Clonorchis sinensis pada buku gambar

Mewarnai penampang Clonorchis sinensis dengan pensil warna

Mengulangi skema kerja pertama sampai ke tiga pada pengamatan telur dan larva untuk bahan praktikum lainnya

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Telur Clonorchis sinensis.

Telur Clonorchis sinensis

Ukuran : ± 29 x 16 mikron Bentuk : Seperti kendi Berisi : Mirasidium

Tabel 4.2 Hasil Pengamatan Telur Fasciola hepatica Dewasa.

Telur Fasciola hepatica

Ukuran : ± 140 x 80 mikron Bentuk : Operkulum kecil Berisi : Morula

Tabel 4.3 Hasil Pengamatan Telur Hymenolepis nana.

Telur Hymenolepis nana

Ukuran : ± 47 x 37 mikron Bentuk : Bulan atau bujur Berisi : Embrio heksakan

Tabel 4.4 Hasil Pengamatan Oxyuris vermicularis Betina.

(33)

Dx. Penyakit : Oksiurasis atau enterobiasis

Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Telur Cacing Tambang.

Telur Cacing Tambang

Ukuran : ± 70 x 15 mikron Bentuk : Bulat lonjong Berdinding tipis

Berisi : Beberapa sel

Tabel 4.6 Hasil Pengamatan Cacing Tambang Cacing Necator americanus Dewasa.

Cacing Necator americanus Dewasa

Dx. Penyakit : ankilostomiasis dan nekatoriasis

Tabel 4.7 Hasil Pengamatan Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa.

Cacing Strongyloides stercoralis

Bentuk : Parasiter

Dx. Penyakit : Strongiloidiasis

4.2 Pembahasan

4.2.1 Telur Clonorchis sinensis

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa telur Clonorchis

sinensis berbentuk seperti kendi berwarna kuning berisi mirasidium dengan ukuran ±29×16

mikron.

4.2.2 Telur Fasciola hepatica dewasa

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa telur Fasciola

hepatica dewasa berbentuk operculum kecil berwarna hijau kekuningan berisi morula. Ukuran

telur Fasciola hepatica ±140×80 mikron. 4.2.3 Telur Hymenolepis nana

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa telur Hymenolepis

nana berbentuk bulan atau bujur berwarna kuning keemasan berisi embrio heksakan. Ukuran

(34)

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa cacing Oxyuris

vermicularis berbentuk pipih berwarna coklat krem. Cacing Oxyuris vermicularis menyebabkan

penyakit oksiurasis atau enterobiasis. 4.2.5 Telur Cacing Tambang

Berdasarkan pengamatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa telur cacing tambang berbentuk bulat lonjong berwarna krem pink berdinding tipis berisi beberapa sel. Telur cacing tambang ini berukuran ±70×15 mikron.

4.2.6 Cacing Tambang Cacing Necator americanus dewasa

Berdasarkan pengamatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa cacing Necator

americanus dewasa berbentuk pipih dan berwarna krem pink. Cacing Necator americanus dapat

menyebabkan penyakit ankilostomiasis dan nekatoriasis. 4.2.7 Cacing Strongyloides stercoralis dewasa

Berdasarkan pengamatan yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa cacing Strongyloides

stercoralis berbentuk pipih berwarna krem kekukingan. Cacing Strongyloides stercoralis dapat

menyebabkan penyakit strongiloidiasis. BAB V

PENUTUP 5.1 Kesimpulan

1. Telur Clonorchis sinensis berbentuk seperti kendi berwarna kuning berisi mirasidium dengan ukuran ±29×16 mikron.

2. Telur Fasciola hepatica dewasa berbentuk operculum kecil berwarna hijau kekuningan berisi morula. Ukuran telur Fasciola hepatica ±140×80 mikron.

3. Telur Hymenolepis nana berbentuk bulan atau bujur berwarna kuning keemasan berisi embrio heksakan. Ukuran telur Hymenolepis nana ±47×37 mikron.

4. Cacing Oxyuris vermicularis berbentuk pipih berwarna coklat krem. Cacing Oxyuris

vermicularis menyebabkan penyakit oksiurasis atau enterobiasis.

5. Telur cacing tambang berbentuk bulat lonjong berwarna krem pink berdinding tipis berisi beberapa sel. Telur cacing tambang ini berukuran ±70×15 mikron.

(35)

5.2 Saran

Penulis menyarankan agar pengamatan selanjutnya dilaksanakan dengan lebih teliti dan cermat sehingga hasil pengamatan bisa lebih terukur dan valid. Pemberian waktu yang cukup dalam masing-masing pengamatan serta kondisi mikroskop yang baik akan sangat mempengaruhi hasil pengamatan selanjutnya.

LAMPIRAN

Gambar

Tabel 4.5 Hasil Pengamatan Telur Cacing Tambang.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

bi dari infeksi.. Parasit cacing Stephanurus dentatus penyebarannya lu- as di daerah-daerah tropis dan subtropis. Babi merupakan in<iuk semang definitif. Ciri khas

Hasil identifikasi telur cacing yang ditemukan dalam sampel feses menunjukkan rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 147 sampel feses sapi di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, dimana 141 ekor sapi Pesisir positif terinfestasi parasit Cacing

sampel babi landrace yang diduga terserang hog cholera dan terinfeksi cacing tersaji pada Gambar 14 sampai dengan Gambar 22 berikut... Histopatologi otak babi yang

Diagnosis infeksi Ancylostoma duodenale dan Necator americanus dapat dilakukan dengan menemukan telur dan larva dalam feses menggunakan pembiakan Harada-Mori (Muslim,

Hasil identifikasi telur cacing yang ditemukan dalam sampel feses menunjukkan rusa totol di Kawasan Wisata Alam Kampung Batu Malakasari Kabupaten Bandung

Endoparasit Jenis Ayam Parasit yang teridentifikasi Jumlah ayam terinfeksi endoparasit Persentase frekuensi kehadiran Fase diagnostik berupa telur dan cacing Ayam

An cylostoma duodenal e dan Nector amer ican us (hookworm, cacing tambang) Larva infektif menembus kulit yang utuh, masuk sirkulasi, dan terbawa ke  paru; setelah matang, larva di