• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS DAN KEMAMPUAN DISPOSISI MATEMATIS SISWA SMK MELALUI

PEMBELAJARAN KONFLIK KOGNITIF

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat mana yang lebih baik peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis dan kemampuan disposisi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan mix method dengan strategi embedded konkuren, merupakan metode penelitian yang mengkombinasikan penggunaan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif secara simultan/ bersama-sama (atau sebaliknya), tetapi bobot metodenya berbeda. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas XI Multimedia SMK Pelita Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Instrumen yang digunakan meliputi soal tes kemampuan berpikir kritis matematis, skala angket kemampuan disposisi matematis siswa, observasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, 2) Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajarankonvensiona dilihat dari kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, dan rendah), 3) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan disposisi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, dan 4) Peningkatan kemampuan diposisi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional dilihat dari hasil skor angket.

Kata kunci : Berpikir kritis, Disposisi, Konflik Kognitif A. Latar Belakang Masalah

Menurut Slettenhaar (Komalasari, 2011), mengemukakan pembelajaran matematika kurang melibatkan siswa belajar aktif, kurang menekankan pada pemahaman siswa dan siswa hanya menerima penjelasan guru. Kegiatan belajar seperti ini membuat siswa cenderung rote learning atau menghafal dan tanpa memahami atau tanpa mengerti apa yang diajarkan oleh gurunya.

Sebagian besar siswa tampak mengikuti dengan baik setiap penjelasan atau informasi dari guru, siswa sangat jarang mengajukan pertanyaan kepada guru sehingga guru asyik sendiri menjelaskan apa yang telah disiapkannya, dan siswa hanya menerima saja yang disampaikan oleh guru. Padahal yang diinginkan adalah manusia Indonesia yang mandiri, mampu untuk memunculkan gagasan ide yang kreatif serta mau dan mampu menghadapi tantangan atau permasalahan yang dihadapinya.

(2)

mengingat bahwa matematika dapat mengembangkan daya nalar dan daya pikir yang merupakan bekal utama dalam mengembangkan potensi diri. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 dinyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.

Seperti diungkapkan di atas, bahwa salah satu kemampuan yang harus dimiliki siswa dalam mempelajari matematika adalah berpikir kritis. Hal ini sangat memungkinkan sebab antara belajar matematika dan keterampilan berpikir kritis merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, seperti yang diungkapkan Lambertus (2009), bahwa materi matematika dipahami melalui berpikir kritis, dan berpikir kritis dilatih melalui belajar matematika.

Kenyataan di lapangan, pembelajaran masih didominasi oleh keterampilan manipulatif dan sistem evaluasinya juga masih menekankan pada keterampilan berhitung sehingga siswa kurang menguasai konsep-konsep matematika dan mengalami kesulitan dalam penyelesaian soal-soal yang bersifat konseptual. Penguasaan konsep yang lemah inilah yang akan berdampak pada kurangnya berpikir kritis siswa. Ini sesuai dengan penelitian Tall dan Bakar (2000), bahwa siswa dan mahasiswa yang telah mempelajari konsep fungsi kurang kritis dan kreatif dalam menelaah masalah-masalah konjektur. Selanjutnya berdasarkan pengalaman penulis dalam mengajar matematika di kelas XI pada siswa SMK Pelita Jatibarang dari tahun 2010 kebanyakan siswa yang nilainya di atas KKM (Kriterian Ketuntasan Minimu) adalah siswa yang pemahaman konsepnya bagus dan mereka mampu mengkoneksikan materi-materi yang telah diajarkan secara baik. Berbeda halnya dengan siswa tersebut kurang memahami konsep dan siswa tidak mampu mengkoneksikan konsep dari materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya. Tidak memahami konsep dengan benar menyebabkan siswa mudah lupa dengan materi yang diajarkan sebelumnya.

Data Nilai Ulangan Harian Siswa Kelas XI Siswa SMK Pelita Jatibarang Tahun

Pelajaran KKM Rata-rata NUHKelas XI MM KKM Rata-rata NUH Kelas XI PM

2012 / 2013 73 72 73 71

2013 / 2014 75 74 75 74

(3)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (tinggi, sedang dan rendah)?

2. Bagaimana kualitas kemampuan berpikir kritis matematis siswa berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (tinggi, sedang dan rendah)? 3. Apakah peningkatan kemampuan disposisi matematis siswa yang belajar

dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (tinggi, sedang dan rendah)?

4. Bagaimana kualitas kemampuan disposisi matematis siswa berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (tinggi, sedang dan rendah)?

5. Bagaimana aktivitas siswa pada pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran konflik kognitif?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (tinggi, sedang dan rendah).

2. Untuk memperoleh deskripsi kualitas kemampuan berpikir kritis matematis siswa berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (tinggi, sedang dan rendah).

3. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan disposisi matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (tinggi, sedang dan rendah).

4. Untuk memperoleh deskripsi kualitas kemampuan disposisi matematis siswa berdasarkan kemampuan prasyarat siswa (tinggi, sedang dan rendah).

5. Untuk memperoleh deskripsi aktivitas pembelajaran kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang belajar dengan pembelajaran konflik kognitif dengan pembelajaran konvensional.

D. Kajian Pustaka

1. Disposisi Matematis

(4)

dalam kegiatan matematik (doing math). Sedangkan menurut Mulyana (2008), disposisi terhadap matematika adalah perubahan kecenderungan siswa dalam memandang dan bersikap terhadap matematika, serta bertindak ketika belajar matematika. Misalnya, ketika siswa dapat menyelesaikan permasalahan non rutin, sikap dan keyakinannya sebagai seorang pelajar menjadi lebih positif. Makin banyak konsep matematika dipahami makin yakinlah bahwa matematika itu dapat dikuasainya. Menurut Sumarmo (2010), disposisi matematis adalah keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika. Menurut Maxwell (2001), disposisi terdiri dari (a) inclination (kecenderungan), yaitu bagaimana sikap siswa terhadap tugas-tugas; (b) sensitivity (kepekaan), yaitu bagaimana kesiapan siswa dalam menghadapi tugas; (c) ability (kemampuan), yaitu bagaimana siswa fokus untuk menyelesaikan tugas secara lengkap; dan (d) enjoyment (kesenangan), yaitu bagaimana tingkahlaku siswa dalam menyelesaikan tugas.

Disposisi matematis siswa dikatakan baik jika siswa tersebut menyukai masalah-masalah yang merupakan tantangan serta melibatkan dirinya secara langsung dalam menemukan atau menyelesaikan masalah. Selain itu, siswa merasakan dirinya mengalami proses belajar saat menyelesaikan tantangan tersebut. Dalam prosesnya siswa merasakan munculnya kepercayaan diri, pengharapan dan kesadaran untuk melihat kembali hasil berpikirnya.

Untuk mengukur disposisi matematis siswa diperlukan beberapa indikator. Adapun beberapa indikator yang dinyatakan oleh NCTM (1989) adalah:

a) Kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah matematika, mengkomunikasikan ide-ide dan memberi alasan

b) Fleksibilitas dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba berbagai metode alternatif untuk memecahkan masalah

c) Bertekad kuat untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika

d) Ketertarikan, keingintahuan, dan kemampuan untuk menemukan dalam mengerjakan matematika

e) Kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi proses berpikir dan kinerja diri sendiri

f) Menilai aplikasi matematika dalam bidang lain dan dalam kehidupan sehari-hari

g) Penghargaan peran matematika dalam budaya dan nilanya, baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa

Sedangkan menurut Syaban (2008) menyatakan, untuk mengukur disposisi matematis siswa indikator yang digunakan adalah sebagai berikut :

(5)

d) Menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah

e) Menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi

f) Menunjukkan kemampuan untuk berbagi dengan orang lain

Berdasarkan indikator-indikator disposisi matematis yang dikemukakan di atas, indikator disposisi matematis dapat disimpulkan sebagai berikut :

a) Kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah matematika, mengkomunikasikan ide-ide dan memberi alasan

b) Fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba berbagai metode untuk memecahkan masalah

c) Bertekad kuat untuk menyelesaikan tugas-tugas matematika

d) Ketertarikan dan keingintahuan untuk menemukan sesuatu yang baru dalam mengerjakan matematika

e) Kecenderungan untuk memonitor dan merefleksi proses berpikir dan kinerja

f) Mengaplikasikan matematika dalam bidang lain dan dalam kehidupan sehari-hari

g) Penghargaan peran matematika dalam kultur dan nilai, baik matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa.

2. Kemampuan Berpikir Kritis

Kemampuan berpikir kritis mempunyai berbagai macam, salah satunya adalah berpikir kritis. Kata kritis berasal dari bahasa Yunani, yaitu kritikos dan kriterion (Ennis dalam Komalasari, 2011). Kritikos bermakna mempertimbangkan, sedangkan kriterion bermakna standar atau ukuran baku. Sehingga secara etimologis kritis bermakna pertimbangan yang didasarkan pada suatu standar. Bila dikaitkan dengan kata berpikir, maka kata berpikir kritis secara etimologi, bermakna berpikir yang ditujukan untuk memberi pertimbangan dengan menggunakan standar tertentu.

Banyak pendapat atau definisi tentang berpikir kritis yang dijelaskan oleh para ahli. Menurut Ennis, berpikir kritis adalah berpikir rasional dan reflektif yang difokuskan pada apa yang diyakini dan dikerjakan. Rasional berarti memiliki keyakinan dan pandangan yang didukung oleh bukti yang tepat, aktual, cukup, dan relevan. Sedangakan reflektif berarti mempertimbangkan secara aktif, tekun dan hati-hati segala alternatif sebelum mengambil keputusan.

Menurut Halpern (Syukur, 2004), berpikir kritis merupakan penggunaan strategi kognitif. Oleh karena itu, beberapa definisi berpikir kritis menyebutkan aspek kognitif yang digunakan dalam berpikir kritis. Paul dan Scriven (Haussobah, 2004), menjelaskan aspek-aspek kognitif yang digunakan dalam berpikir kritis, yaitu komponen aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi, sebagaimana dikemukakannya bahwa :

(6)

experience, reflection, reasoning, or communication, as guide to belief and action.

Glazer (Komalasari, 2011), menyatakan bahwa berpikir kritis dalam matematika adalah keterampilan kognitif dan disposisi untuk menggabungkan pengetahuan, penalaran, serta strategi kognitif dalam membuat generalisasi, membuktikan, dan mengevaluasi situasi matematik yang tidak dikenali dengan cara reflektif.

Menurut Glaser, indikator-indikator berpikir kritis adalah sebagai berikut :

a. Mengenal masalah

b. Menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu

c. Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan d. Mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan e. Memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas f. Menganalisa data

g. Menilai fakta dan mengevaluasi pertanyaan-pertanyaan

h. Mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah

i. Menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan

j. Menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil

k. Menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas.

l. Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari

Menurut Ennis, indikator kemampuan berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis siswa meliputi :

a. Mencari pertanyaan yang jelas dari pertanyaan b. Mencari alasan

c. Berusaha mengetahui informasi dengan baik

d. Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya e. Memerhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan

f. Berusaha tetap relevan dengan ide utama g. Meningat kepentingan yang asli dan mendasar h. Mencari alternatif

i. Bersikap dan berpikir terbuka

j. Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu

k. Mencari penjelasaan sebanyak mungkin

(7)

3. Pembelajaran Konflik Kognitif

Piaget (Meika, 2013), menyatakan bahwa perkembangan manusia dikendalikan oleh dua fungsi biologis utama yaitu organization dan adption. Piaget (Meika, 2013), mendefinisikan organization sebagai usaha mengelompokkan perilaku yang terpisah-pisah ke dalam urutan yang teratur, ke dalam sistem fungsi kognitif, dimana organization membentuk struktur kognitif yang disebut skema. Sedangkan adaption menurut Piaget (Meika, 2013), merupakan sebuah fungsi untuk menyesuaikan individu terhadap lingkungan dimana individu itu tinggal dan didalamnya meliputi dua proses yang tak terpisahkan yaitu asimilasi dan akomodasi. Piaget berpendapat bahwa ketika seorang siswa menyadari adanya konflik kognitif (disequilibrium) maka kesadarannya itu akan mendorong siswa untuk menyelesaikan konflik tersebut. Proses penyelesaian konflik tersebut sebagai proses equilibrasi yang terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi.

Piaget (Meika, 2013), mendefinisikan asimilasi sebagai sebuah proses yang menggabungkan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang dimiliki individu yang sudah ada. Sementara akomodasi diartikan sebagai usaha untuk menyelesaikan skema yang sudah ada atau menciptakan skema yang baru untuk menyesuaikan pengalaman atau informasi yang baru. Piaget (Meika, 2013), berpendapat bahwa ada gerakan yang kuat antara keadaan ekuilibrium kognitif dan disekuilibrium saat asimilasi dan akomodasi bekerjasama dalam menghasilkan perubahan kognitif.

Mischel (Ismaimuza, 2010), mendefinisikan konflik kognitif adalah suatu situasi dimana kesadaran seorang individu mengalami ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan terjadi karena adanya informasi yang bertentangan dengan informasi yang telah dimilikinya dan tersimpan dalam struktur kognitifnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat didefinisikan bahwa pembelajaran konflik kognitif merupakan pembelajaran yang memanfaatkan konflik pada kognitif siswa untuk menuju ekuilibrium baru melalui proses asimilasi dan akomodasi. Adapun langkah-langkah pembelajaran konflik kognitif adalah sebagai berikut :

a. Orientasi

Pada tahap ini, guru membuka pelajaran dengan memberikan uraian singkat mengenai materi dan tujuan pembelajaran.

b. Pemunculan gagasan

Pada tahap ini, siswa mengekploitasi mengenai konsep tentanng materi. Gagasan ini merupakan konsepsi awal siswa.

c. Penyusunan gagasan

Pada tahap ini, guru memunculkan situasi konflik dengan mengajukan pertanyaan yang multi representasi.

d. Penyusunan ulang gagasan

(8)

kuan kual

belajarnya, jika belum menemukan hasil maka guru membantu mengarahkan pada konsep yang benar.

e. Penerapan gagasan

Pada tahap ini, siswa menerapkan konsep untuk menyelesaikan masalah-masalah rutin dan non-rutin yang terkait dengan konsep yang diperoleh pada langkah keempat.

E. Metode Penelitian

1. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penelitian mix-method dengan strategi embedded konkuren. Mix-method adalah perpaduan antara metode kualitatif dan kuantitatif. Mix-method dengan strategi embedded konkuren adalah mix-method yang menggunakan prosedur-prosedur dalam penelitiannya mempertemukan atau menyatukan data kualitatif dan kuantitatif untuk memperoleh analisis komprehensip dari masalah penelitian. Dalam strategi ini, pengumpulan data dalam satu waktu, kemudian menggabungkannya menjadi satu informasi dalam interprestasi hasil keseluruhan.

Dalam penelitian ini, peneliti memilih metode kualitatif sebagai metode sekunder yang ditancapkan (embedded) ke dalam metode kuantitatif sebagai metode yang lebih domain. Untuk lebih jelasnya berikut diberikan model visual dari strategi metode penelitian embedded konkuren pada gambar 2 berikut (Sugiono, 2012) :

Analisis penemuan

Gambar 2. Strategi Embedded Konkuren

Adapun desain penelitian disajikan pada tabel berikut :

Tabel 1. Desain Penelitian Randomized Control Group Pretest-Postest

Kelompok Pretest Treatment Postest

Eksperimen O X O

Kontrol O - O

Sumber: Ruseffendi, 1998

2. Variabel Penelitian

(9)

pembelajaran konvensional, sedangkan variabel terikat adalah kemampuan disposisi matematis dan berpikir kritis matematik.

3. Instrumen Penelitian a. Tes

Tes dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pretes dan postes. Uji coba instrument dilakukan terhadap kelas XI MM di sekolah yang dijadikan tempat penelitian dengan mempertimbangkan kemampuan siswa yang serupa dengan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

b. Analisis Data Uji Coba

Setelah hasil uji coba terkumpul, lalu dilakukan analisis atas data itu untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya pembeda, indeks kesukaran tiap butir soal (Ruseffendi, 1998).

c. Teknik Analisis Data Penelitian 1) Data kuantitatif

a) Tes

Data tes diperoleh dari hasil tes yang dilaksanakan diawal pembelajaran (pretest) dan tes diakhiri pembelajaran (postest), dari kedua hasil ini kemudian dilihat peningkatan aspek kognitif siswa. Analisis statistik atas data pretes dan postes adalah uji normalitas, uji homogenitas, dan ANOVA dua jalur. b) Pengolahan Data Korelasi

Hasil perhitungan berdasarkan data postes dan daya kreatif matematik, adapun alat untuk mengolahnya adalah melalui program SPSS 17 for windows.

c) Data Gain Normal

Untuk memberikan mutu peningkatan prestasi belajar, digunakan gain normal dengan menggunakan rumus (Hake, 1998):

Gain Normal(N−g)=s k∨postes−s k∨pretes s k∨ideal−s k∨pretes Tabel 2. Indikator Gain Normal

Skor Interprestasi

N−g ≤0,7 0,3≤ Ng<0,7

0,3<N−g

Tinggi Sedang Rendah Sumber: Hake (1998)

2) Data kualitatif

Data kualitatif diperoleh dari hasil wawancara dan observasi. Data dari wawancara dan observasi diolah dan dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a) Mengumpulkan dan mengorganisir informasi

b) Membaca secara keseluruhan informasi yang diperoleh

c) Membuat uraian terperinci dari informasi tersebut berdasarkan kasus dan konteknya

(10)

e) Peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural informasi tersebut baik untuk peneliti maupun penerapan pada kasus lain yang relevan dengan penelitian ini

f) Menyajikan data secara naratif

Hasil analisis data kuantitatif dan data kualitatif akan dihubungkan satu sama lain, sesuai dengan metode penelitian mix-method dengan strategi embedded.

F. Hasil Penelitian

Untuk melihat perbandingan kemampuan berpikir kritis matematis siswa berdasarkan kelas pembelajaran dan kemampuan awal matematika (KAM), terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat untuk menentukan uji mana yang digunakan parametrik atau non parametrik. Uji prasyarat yang dilaksanakan adalah uji normalitas dan homogenitas.

Uji normalitas yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas gain kemampuan berpikir kritis matematis untuk krlompok eksperimen tinggi, sedang, dan rendah serta kelompok kontrol tinggi, sedang, dan rendah dapat dilihat pada tabel 4.14 sebagai berikut:

Tabel 3

Uji Normalitas Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Kelas Pembelajaran dan KAM

Kelompok

Kolmogorov-Smirnova

Statistic df Sig.

Gain Eksperimen Tinggi .223 5 .200*

Eksperimen Sedang .078 28 .200*

Eksperimen Rendah .182 7 .200*

Kontrol Tinggi .133 6 .200*

Kontrol Sedang .189 26 .018

Kontrol Rendah .202 8 .200*

Dari tabel 3 terlihat bahwa nilai probabilitas (sig.) untuk setiap kelas pembelajaran pada setiap kelompok KAM lebih besar dari 0,05 ini berarti hipotesis nol diterima. Dengan demikian, data skor gain kemampuan berpikir kritis matematis berdasarkan kelas pembelajaran dan kelompok KAM berdistribusi normal.

(11)

Tabel 4

Uji Homogenitas Varians Populasi Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Kelas Pembelajaran dan KAM

Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Gain Based on Mean .952 5 74 .453

Based on Median .614 5 74 .690

Based on Median and with adjusted df

.614 5 59.825 .690

Based on trimmed mean .905 5 74 .483

Pada tabel 4 terlihat bahwa nilai probabilitas (sig.) lebih besar dari 0,05 ini berarti hipotesis nol diterima. Dengan demikian, varians populasi dari skor kemampuan berpikir kritis matematis berdasarkan kelas pembelajaran dan kelompok KAM variansinya homogen.

Dikarenakan data berdistribusi normal dan variansinya homogen, maka untuk mengetahui ada atau tidak adanya interaksi antara pembelajaran dengan kemampuan awal matematika (KAM), digunakan uji anova dua jalur disajikan pada tabel 5 sebagai berikut :

Tabel 5

ANOVA Skor Rerata Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Berdasarkan Kelas Pembelajaran dan KAM

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Gain

Source

Type III Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

Corrected Model 1.140a 5 .228 7.588 .000

Intercept 16.490 1 16.490 548.826 .000

KAM .246 2 .123 4.098 .021

Kelas_Pembelajaran .168 1 .168 5.576 .021

KAM * Kelas_Pembelajaran .200 2 .100 3.328 .041

Error 2.223 74 .030

Total 26.168 80

Corrected Total 3.363 79

a. R Squared = ,339 (Adjusted R Squared = ,294)

(12)

signifikan pada peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa berdasarkan kelas pembelajaran dan kemampuan awal matematika.

Sementara itu, interaksi antara kelas pembelajaran dan KAM memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis. Hal ini ditunjukkan pada nilai F = 3,328 dengan nilai probabilitas (sig.) = 0,041. Oleh karena itu nilai probabilitas (sig.) lebih kecil dari 0,05 berarti paling sedikit ada dua kelompok pembelajaran yang berinteraksi dengan kemampuan awal matematika dalam kemampuan berpikir kritis matematis. Dengan demikian secara signifikan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif lebih baik dari siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional dilihat dari kemampuan awal matematika (tinggi, sedang, dan rendah).

G. Pembahasan

1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa

Berdasarkan observasi dari hasil penelitian, beberapa faktor yang menyebabkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan pembelajaran konflik kognitif lebih baik adalah:

a. Adanya bahan ajar berupa Lembar Kerja Siswa (LKS) yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami mengenai konsep yang benar dalam penyelesaian masalah yang diberikan, munculnya konflik kognitif dalam pembelajaran sehingga konflik kognitif pada diri siswa yang direspon secara tepat atau positif dapat menyegarkan dan memberdayakan kemampuan kognitif yang dimiliki siswa.

b. Adanya diskusi kelompok. Temuan ini sesuai dengan pendapat Slavin (1995), bahwa pembelajaran kooperatif (berkelompok) dapat memacu perkembangan berpikir siswa dan kemampuan pemecahan masalah, serta dapat memenuhi kebutuhan sosial dan prestasi akademik siswa jauh lebih meningkat bila dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

2. Kemampuan Disposisi Matematis Siswa

Berdasarkan hasil yang didapat, bahwa kualitas kemampuan disposisi matematis dengan skor rata-rata di atas dua. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa matematika tidak dianggap sulit oleh sebagian besar siswa. Meskipun ada beberapa orang yang tidak menyatakan setuju terhadap pernyataan tersebut. Hasil ini dapat dimanfaatkan oleh guru, bagaimana matamatika yang dianggap oleh sebagian besar siswa tidak sulit, harus dipertahankan dengan menerapkan model pembelajaran yang aktif dan dapat membuat siswa nyaman, salah satunya adalah model pembelajaran konflik kognitif.

3. Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran

(13)

bersikap kreatif. Ruseffendi (1998), mengatakan hidupnya dikemudian hari lebih berhasil. Maksudnya ialah lebih dapat mengatasi persoalan di masyarakat.

H. Kesimpulan

1. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa (tinggi, sedang, rendah) yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Kualitas kemampuan berpikir kritis matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah) berjalan dengan baik dan siswa aktif dalam diskusi dan pembelajaran,

3. Peningkatan kemampuan diposisi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

4. Kualitas kemampuan disposisi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konflik kognitif lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2008). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Creswell, John W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,

dan Mixed. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.

Depdiknas Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). 2006. Tujuan Pendidikan Matematika. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Standar Isi. Jakarta: Permendiknas 22

tahun 2006.

Ennis, R.H. (1995). Critical Thinking. United States of America: University of Illinois.

Fisher, R. (1995). Thinking Children to Think. Cheltenham, United Kingdom: Stanley Thornes Ltd.

Hake, R. R. (1998). Analyzing Change/ Gain Scores. Dept of Physics, Indiana University.

Hassoubah, Z.I. (2004). Develoving Creative & Critical Thinking Skills (Cara Berpikir Kreatif dan Kritis). Bandung: Yayasan Nuansa Cendekia.

Ismaimuza, D. (2010). Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Strategi Konflik Kognitif. Desertasi pada PPS UPI: Tidak diterbitkan.

Komalasari, E. (2011). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Matematika Model CORE. Tesis pada SPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Kwon J, Lee. What do we know about students cognitive confict in science classroom: a theoritical model of cognitive conflict process. Diakses dari http://www.ed.psu.edu/C1/Journals/2001.

Lambertus, (2009). Pentingnya Melatih Keterampilan Berpikir Kritis Dalam Pembelajaran Matematika di SD. Tersedia: http://isjd.pdii.lipi.go.id/ admin/jurnal/28208136142_0215-9392.pdf

(15)

Mulyana, (2008). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematis Siswa SMA dengan Pendekatan Pembelajaran PASID dan PASIK. Tesis PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan

Ruseffendi, E. T. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.

Slavin, Robert R. (1997). Educational Psychology-Theory and Pracitice: Fifth Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon

Solihin. (2012). Pembelajaran Berbasis Masalah Untu Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Tesis pada FPS Unpas: tidak diterbitkan.

Sugiono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sugiono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta

Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: UPI.

Sumarmo, U. (2010). Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan Pada Peserta Didik. Makalah FMIPA UPI Bandung.

Sri Wardhani. (2008). Analisis SI dan SKL Matematika. Jogjakata: P4TK Matematika.

Tall, D dan Bakar, M (2000). Student’s Mental Prototype for Function and Graph. Tersedia: http://warwick.ac.uk/

Gambar

Tabel 3Uji Normalitas Skor Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Tabel 5ANOVA Skor Rerata Kemampuan Berpikir Kritis Matematis

Referensi

Dokumen terkait

Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, Bogor.. Integrasi Pasar Kentang di Indonesia: Analisis Korelasi dan

Secara umum karakter fisik buah kuini hampir sama dengan buah mangga pada umumnya, yaitu dari segi bentuk buah, warna kulit buah, warna daging buah, tekstur

Terjadi pasang surut penggunaan Asbuton di dalam negeri, sejak diketemukan pada tahun 1924 dan mulai diproduksi sejak tahun 1926 yang dalam penambangannya pernah mengalami

Jawa Tengah Sejahtera merupakan suatu kondisi masyarakat yang terpenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, perumahan, air bersih, kesehatan, pendidikan,

Salah satu upaya peningkatan produksi padi pada lahan rawa lebak adalah dengan mengintroduksikan paket teknologi dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya

Temuan ini mengisyaratkan, perusahaan adalah rumah bagi para karyawan di dalam menjalankan aktivitas pekerjaan, maka membangun hubungan baik antar karyawan dan antar

1) Mengembangkan aktivitas keagamaan di lingkungan sekolah, sehingga semua warga sekolah memiliki rasa keimanan dan ketaqwaan yang kuat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 2)