1
OPTIMASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUKU
CADANG DAN KEBIJAKAN INSPEKSI
MENGGUNAKAN BAYESSIAN METHOD
SERTA PENDEKATAN AVAILABILITY ANALYSIS
DI PT. PRIMAJASA
Abstrak–dalam bisnis jasa, pelayanan terhadap pelanggan merupakan hal utama yang perlu diperhatikan. Kepuasan pelanggan merupakan prioritas utama. Untuk mendapatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan, perusahaan perlu memastikan segala fasilitas dengan baik. Pada PT. Primajasa, kepuasan pelanggan erat kaitannya dengan keadaan armada bus yang dimiliki perusahaan. Salah satu hal yang menjadi permasalahan pada PT. Primajasa adalah adanya downtime dan anggaran tak terduga yang disebabkan kurangnya persediaan sparepart. Dalam pengelolaan sparepart, PT. Primajasa hanya menggunakan data pengadaan sparepart periode sebelumnya dan tidak memperhatikan perubahan kebutuhan sparepart. Oleh karena itu perlu dilakukan manajemen persediaan sparepart menggunakan Bayessian method dan kebijakan inspeksi melalui pendekatan availability.
Kata kunci–manajemen perawatan, sparepart management, bayessian method, availability analysis
I. PENDAHULUAN
ransportasi merupakan penunjang yang cukup penting dalam memenuhi kebutuhan manusia. Mengingat kebutuhan manusia berpindah tempat untuk memenuhi kebutuhannya. PT. Primajasa Perdanaraya Utama atau yang sering kita kenal dengan nama Primajasa, merupakan salah satu perusahaan yang mengelola jasa transportasi massal sejak 1991. Perusahaan yang berpusat di Jakarta ini awalnya hanya mengelola beberapa armada dan hanya melayani beberapa rute tujuan. Namun seiring berjalannya waktu perusahaan ini terus mengembangkan usahanya sehingga saat ini PT. Primajasa telah memiliki lebih dari 100 jumlah armada.
Persaingan dunia transportasi darat di Indonesia saat ini sangatlah ketat. Semakin banyaknya competitor
mengharuskan PT. Primajasa untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik pada pelanggannya. Peningkatan pelayanan tersebut akan diwujudkan dengan kualitas armada atau kendaraan yang digunakan. Armada yang baik dan aman akan menarik
minat pelanggan untuk menggunakan jasa PT. Primajasa.
Gambar 1 Grafik Jumlah Kerusakan Armada Tahun 2012 - 2013
Dari Gambar 1 dapat diketahui bahwasannya bus PT. Primajasa masih mengalami kerusakan yang terjadi pada saat bus tersebut beroperasi (storing). Hal ini tentu sangat merugikan perusahaan karena kepercayaan pelanggan pasti akan berkurang yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pelanggan dikemudian hari. Dari sejumlah unit yang mengalami kerusakan tersebut juga terdapat beberapa unit yang mengalami downtime. Informasi mengenai jumlah unit yang mengalami
downtime tercantum dalam grafik berikut.
Gambar 2 Grafik Data Downtime Armada Primajasa Tahun
2012 – 2013
Salah satu hal yang menyebabkan adanya downtime
adalah kondisi persediaan spareparts yang terbatas. Hal ini didasari tidak adanya sistem persediaan spareparts
yang optimal. Perhitungan kebutuhan spareparts selama 0
Data Storing Primajasa (2012-2013)
Jumlah Gagas Yudha Wijaya1), Sutrisno2), Amelia Kurniawati3)
1), 2), 3)
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Rekayasa Industri, Telkom University
gagas.yudha@gmail.com1), sutrisno_mr@yahoo.com2), amelia.kurniawati@gmail.com3)
2 ini dilakukan berdasarkan data pembelian spareparts
pada periode sebelumnya. Sistem persediaan yang dilakukan PT. Primajasa tersebut mengakibatkan adanya armada yang mengalami downtime akibat kekurangan sparepart dan juga meningkatnya anggaran untuk memenuhi kebutuhan sparepart dalam jangka waktu yang singkat (emergency sparepart).
Gambar 3 Grafik Pemasukan dan Pengeluaran Sparepart Primajasa Tahun 2012 - 2013
Untuk mengurangi pengeluaran yang diakibatkan oleh pembelian emergency spareparts maka perlu dilakukan sparepart management dimana pada akhirnya akan didapatkan jumlah kebutuhan sparepart yang optimal. Perhitungan kebutuhan sparepart optimal akan dilakukan melalui pendekatan Bayessian Analysis
dimana pada bayessian analysis akan diperhitungkan data penggunaan sparepart historis dan kebutuhan
sparepart aktual.
Menurut Behzad Ghodrati (2005)[7] program pengendalian suku cadang adalah bagian penting dari keseluruhan manajemen suku cadang. Karena memastikan bahwa akan selalu ada pasokan yang cukup dari cadangan bagian persediaan ketika dibutuhkan. Namun, mempertahankan persediaan ini dapat juga mengakibatkan biaya tambahan yang signifikan untuk perusahaan operasi jika tidak dioptimalkan. Menurut Jakiul Hassan, (2012)[8] pengendalian sparepart
menggunakan Bayessian Method dapat mengoptimalkan manajemen suku cadang sebelumnya. Hal ini dikarenakan dalam theorema bayes informasi yang digunakan adalah posterior information yang berasal dari informasi dari pihak expert (prior
information) dan data histories (sample information).
Informasi-informasi tersebut akan menghasilkan hasil analisis yang lebih akurat dan optimal. Sedangkan untuk mengoptimalkan proses penelitian, perlu dilakukan pemilihan system kritis.
Syarifa Furaida (2013)[5] menyebutkan bahwa metode yang dapat digunakan untuk menentukan system kritis adalah Failure Mode and Effect Analysis
(FMEA) dan Risk Priority Number (RPN). FMEA adalah sebuah teknik yang digunakan untuk menetapkan, mengidentifikasi, dan eliminasi masalah-masalah/error yang potensial berasal dari system, desain, proses, dan service sebelum mencapai customer
(Mohammed Ben-Daya, 2009[1]). FMEA dilakukan dengan menjabarkan setiap sparepart dari masing-masing sub system berdasarkan fungsinya, kegagalan yang mungkin akan terjadi, penyebab yang memungkinkan terjadinya kegagalan, serta efek yang akan ditimbulkan dari kegagalan tersebut. Sedangkan RPN adalah sebuah teknik untuk menganalisa risiko
yang berkaitan dengan masalah-masalah yang potensial yang telah diidentifikasikan dalam FMEA. Dalam RPN, masing-masing sparepart diberikan penilaian secara kuantitatif terhadap aspek severity, occurance, serta
detection. Skala penilaian untuk ketiga asoek tersebut
tercantum dalam tabel berikut serta penjabaran criteria berdasarkan kondisi lapangan.
Tabel 1 Tabel Kriteria Severity
Rank General Criteria Specific Criteria
1 No Effect Kerusakan tidak
berdampak pada performa kendaraan 2 Negligible effect on
product performance
Kerusakan hanya berdampak pada tampilan luar dan dalam kendaraan
User not affected
3 Slight effect on product performance
Akibat dari kerusakan tidak dirasakan langsung oleh pengguna kendaraan
Non-vital faults will be noticed most of time
4 Minor effect on product performance
Kerusakan
menyebabkan suara atau kebisingan pada kendaraan
User sightly dissatisfied
5 Reduced performance with gradual performance
Kerusakan
menyebabkan getaran atau goncangan pada kendaraan
User dissatisfied
6 Product operable and safe, but performance degraded
7 Product performance severely affected
Kerusakan
menyebabkan mesin sulit dinyalakan
User very dissatisfied
8 Product inoperable, but save
Kerusakan
menyebabkan mesin tidak bisa menyala
User very dissatisfied
9 Product failure resulting in hazardous effect highly probable
Kerusakan
menyebabkan mesin mati mendadak dan memungkinkan
10 Product failure resulting in hazardous effect almost certain
Kerusakan
Tabel 2 Tabel Kriteria Occurance
Rank General Criteria Specific Criteria
1 Failure highly unlikely
Jumlah kerusakan > 1 kali dalam 7 tahun operasi 2 Rare number of
failures likely
Jumlah kerusakan 1 kali dalam 5 tahun operasi 3 Very few failures
likely
Jumlah kerusakan 1 kali dalam 3 tahun operasi 4 Few failures
likely
Jumlah kerusakan 1 kali dalam 2 tahun operasi
3
5 Occasional failures likely
Jumlah kerusakan 1 kali dalam 1 tahun operasi 6 Medium number
if failure likely
Jumlah kerusakan 1 kali dalam 6 bulan operasi 7 Moderate high
number of failure likely
Jumlah kerusakan 1 kali dalam 3 bulan operasi
8 High number of failure likely
Jumlah kerusakan 1 kali dalam 1 bulan operasi 9 Very high
number of failures likely
Jumlah kerusakan 1 kali dalam 2 minggu operasi
10 Failure almost certain
Jumlah kerusakan < 1 kali dalam 2 minggu operasi
Tabel 3 Tabel Kriteria Detection
Rank General Criteria Specific Criteria
1 Can be corected prior to engineering prototype
Gejala kerusakan dapat terlihat dari luar armada 2 Can be detected and
corrected prior to engineering design release
Gejala kerusakan dapat terdengar saat armada beroperasi
3 Has high effectiveness Gejala kerusakan dapat dirasakan hanya oleh pengemudi (sopir) armada
4 Has moderately high effectiveness dapat terlihat di bagian bawah armada 6 Has moderately low
effectiveness
Gejala kerusakan dapat diketahui setelah dilakukan
pembongkaran kecil bagian armada 7 Has low effectiveness Gejala kerusakan dapat
diketahui setelah dilakukan
pembongkaran besar bagian armada 8 Has lowest
effectiveness in each applicable category
Gejala kerusakan dapat diketahui saat
pengujian /
pemeriksaan berkala 9 Is unproven, unreliable,
or unknown
Gejala kerusakan dapat diketahui setelah dilakukan pengujian khusus
10 No design technique available or known, and for none is planed
Gejala kerusakan tidaka dapat diketahui sebelum sparepart
tersebut mengalami kerusakan
Kebijakan pelaksanaan kegiatan inspeksi juga dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat downtime dan
kerusakan armada saat beroperasi. Inspeksi yang dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu akan membantu manajemen perawatan dalam memprediksi kerusakan dan pergantian sparepart armada. Waktu interval optimal untuk melakukan inspeksi didapatkan melalui analisis availability masing – masing sparepart. PT. Primajasa tidak melakukan kegiatan inspeksi dalam manajemen perawatan sebelumnya sehingga kerusakan
spareapart hanya dapat diketahui pada saat jadwal
perawatan berkala dan ketika armada mengalami kerusakan. Selain meningkatkan tingkat downtime, hal tersebut juga berpotensi meningkatkan biaya perawatan armada bus PT. Primajasa.
Penentuan waktu interval pelaksanaan inspeksi berdasarkan pendekatan availability. Menurut Moubray (1991)[10], availability didefinisikan sebagai suatu ukuran waktu yang dibutuhkan bagi suatu sisem untuk benar-benar beroperasi. Sedangkan Ebeling (1997)[4] menyebutkan bahwa availability dapat didefinisikan sebagai probabilitas suatu sistem yang beroperasi sesuai fungsinya dalam jangka waktu tertentu dalam kondisi operasi yang telah ditetapkan. Semakin tinggi nilai
availability sebuah sparepart maka semakin baik
kondisi pula sparepart tersebut. Inspeksi perlu dilakukan saat sparepart berada pada tingkat
availability paling tinggi karena nilai availability
sparepart akan menurun setelah nilai tertinggi tersebut.
Hal ini yang peru diperhatikan agar kerusakan saat beroperasi tidak terjadi kembali.
II. APLIKASI PERENCANAAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SPAREPART DAN PENENTUAN
INTERVAL WAKTU INSPEKSI
Data yang diperlukan dalam penelitan diantaranya adalah data pendapatan perusahaan, data kerusakan, data waktu operasi, data biaya sparepart, serta data biaya perawatan lain. Data-data yang telah diperoleh tersebut selanjutnya dilakukan pengolahan lebih lanjut. Langkah-langkah sistematis pengolahan data dapat dilihat pada sistematika penyelesaian masalah berikut berikut.
Perumusan Masalah
Penetuan Tujuan
Penentuan Sub Sistem Kritis TAHAP INISIALISASI
Maintenance and Logistic Departement at PT. Primajasa
Pengumpulan Data
1. Kebijakan Perawatan 2. Data Pendapatan
3. Data Waktu antar kegagalan, operasi, perbaikan, dan waktu inspeksi 4. Data Biaya , tenaga kerja, dan biaya
5. Data Jumlah dan jumlah kegagalan Studi Pustaka dan Literatur
1. Maintenance Management 2. Failure Mode Analysis 3. Spareparts Management
4
Pendapatan, Biaya , Biaya , Biaya Tenaga Kerja, Waktu Operasi Penentuan parameter
distribusi Gamma
Alpha = shape parameter Beta = rate parameter
Perhitungan Risiko
Biaya Risiko Bayesian Analysis
Probability of adequacy of spares
Laju Kerusakan, Waktu Perbaikan, dan Waktu
Inspeksi
Uji Availability
1. Availability terbesar 2. Interval waktu inspeksi optimal
Jumlah kebutuhan spare part optimal
Biaya Risiko dengan / tanpa inspeksi
Analisis
Kesimpulan TAHAP
ANALISIS DAN KESIMPULAN
Spareparts Downtime A
Gambar 5 Sistematika Penyelesaian Masalah (lanjutan)
A. Tahap Inisialisasi
Tahapan pertama yang dilakukan adalah perumusan masalah dan penetapan tujuan. Hal ini dilakukan agar penelitian tetap terpusat pada permasalahan yang terjadi di perusahaan. Selain itu juga dilakukan studi literartur untuk meluaskan informasi mengenai teori-teori yang akan digunakan dalam penelitian ini.
B. Tahap Pengumpulan Data
Tahapan selanjutnya yang dilakukan adalah pengumpulan data. Data-data yang dibutuhkan untuk penelitian akan dihimpun dari manajemen perawatan, logistic, maupun sumber lain. Semakin detail data yang didapatkan akan menghasilkan kesimpulan yang lebih akurat. Data mengenai biaya dan nilai-nilai lain yang tidak dapat diketahui akan menggunakan asumsi sesuai rekomendasi perusahaan.
C. Tahap Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, yang dilakukan pertama kali adalah pemilihan sub sistem kritis menggunakan metode FMEA dan RPN. Hasil dari langkah ini adalah 5 buah sub sistem dengan nilai RPN tertinggi yang
selanjutnya akan dianalisis berdasarkan distribusi
gamma untuk mendapatkan parameter gamma yaitu
parameter alpha (α) dan beta (β). Kedua parameter
tersebut akan digunakan untuk perhitungan kebutuhan
sparepart bersama dengan data-data lain yang telah
dihimpun sebelumnya menggunakan metode bayes. Dalam penentuan jumlah kebutuhan sparepart
dibutuhkan faktor lain yaitu risiko.
Biaya risiko didapatkan dari perhungan tersendiri berdasarkan data-data pendapatan, biaya sparepart, biaya downtime, dan biaya lain yang mungkin muncul ketika perusahaan mengalami kekurangan stok
sparepart. Selain menentukan jumlah kebutuhan
sparepart optimal, biaya risiko juga digunakan sebagai
pertimbangan dalam penentuan keputusan kebijakan inspeksi untuk sparepart sub sistem kritis.
Hasil dari perhitungan jumlah kebutuhan sparepart
dan biaya risiko kemudian digunakan untuk menghitung interval waktu inspeksi yang akan dilakukan. Perhitungan tersebut juga menggunakan data penunjang lain yaitu : data laju kerusakan, data waktu perbaikan, dan waktu inspeksi. Interval waktu inspeksi masing-masing sparepart ditentukan berdasarkan hasil perhitungan nilai availability terbesar.
D. Tahap Analisis dan Kesimpulan
Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah menganalisa hasil perhitungan sub sistem kritis, jumlah kebutuhan sparepart optimal, biaya risiko inspeksi, dan interval waktu inspeksi terhadap kondisi perusahaan. Perubahan nilai dan dampak yang dihasilkan dari perubahan nilai tersebut dijelaskan dalam proses analisa. Sedangkan hasil perhitungan dan rekomendasi kebijakan tercantum dalam bagian kesimpulan.
III. STUDI KASUS
Dari penelitian ini akan diambil contoh perhitungan untuk sparepart kabel kopling. Sedangkan untuk tahap penentuan sub sistem kritis akan digunakan sub sistem pendingin sebagai contoh dalam perhitungan metode FMEA dan RPN.
Tabel 4 Tabel Perhitungan FMEA dan RPN Sub Sitem Pendingin
Sub
Sistem Komponen Function Failure Mode failure cause failure effect Sev Occur Det RPN
RPN Max
Pendingin Radiator menghasilkan air pendingin menuju motor bakar
radiator bocor radiator mengalami korosi
air radiator berkurang
3 5 3 45
144
Slang Radiator
(set)
menyalurkan air pendingin
slang radiator mengembang
suhu panas pada mesin
mesin mengalami overheated
6 2 3 36
Kipas Waterpump
mendinginkan air dari radiator
kipas waterpump macet
tali kipas kendor
alliran pendingin tidak stabil
6 3 4 72
tali kipas aus mesin mengalami overheated
5
Tabel 4 Tabel Perhitungan FMEA dan RPN Sub Sitem Pendingin (lanjutan)
Sub
Sistem Komponen Function Failure Mode failure cause failure effect Sev Occur Det RPN
RPN Max
Thermostat mengatur katup saluran air radiator sesuai suhu mesin
Katup termostat macet
pegas thermostat lemah
air radiator tidak mengalir
6 1 6 36
mepertahankan temperatur kerja mesin
adanya kotoran yang menghambat pergerakan katup
mesin overheated
bahan bakar boros
Seal Valve Spring
mencegah oli pelumas masuk ke ruang bukan bakar
seal valve bocor
sealvalve terlumuri oli pelumas
oli masuk ke ruang bakar
6 4 6 144
sealvalve sobek
sealvalve terbakar
tenaga mesin mengecil
gas pembuangan kotor
A. Perhitungan Sub Sistem Kritis
Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam perhitungan FMEA dan RPN untuk mendapatkan sub sistem kritis yaitu :
1. Identifikasi fungsi sistem dan elemen sistem. Identifikasi dilakukan berdasarkan data–data teknis operasional serta petunjuk manual kendaraan. Setiap kompenen dalam kendaraan memungkinkan untuk memiliki lebih dari satu fungsi. Informasi mengenai fungsi sistem didapatkan dari pejelasan teknisi, pihak manajemen perawatan, dan sumber referensi lain.
2. Identifikasi mode kegagalan potensial.
Identifikasi mode kegagalan potensial bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan kegagalan yang mungkin terjadi pada sparepart. 3. Identifikasi penyebab kegagalan.
Identifikasi penyebab kegagalan berfungsi untuk mengetahui faktor–faktor yang dapat menimbulkan
sparepart mengalami kegagalan. Pada proses
FMEA diasumsikan bahwa komponen telah dirancang dengan baik, sehingga tidak akan muncul kegagalan yang diakibatkan kesalahan desain. 4. Identifikasi efek kegagalan
Identifikasi efek kegagalan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar dampak kegagalan potensial sebuah sparepart terhadap kinerja armada baik dalam sub sistem, sistem, maupun kinerja keseluruhan armada.
5. Menetukan tingkat keparahan (severity).
Menentukan tingkat keparahan bertujuan untuk mengetahui sub sistem yang memiliki tingkat keparahan tertinggi dan terendah. Skala tingkat keparahan menentukan sub sistem yang dipilih menjadi sub sistem kritis. Nilai skala severity
tercantum pada Tabel 1.
6. Menentukan tingkat kejadian (occurance).
Menentukan tingkat kejadian bertujuan untuk mengetahui manakah sparepart yang lebih sering mengalami kegagalan dan sparepart yang jarang sekali mengalami kegagalan. Hal ini juga bertujuan untuk memudahkan dalam penentuan sub-sistem kritis nantinya. Nilai skala occurance tercantum pada Tabel 2.
7. Menentukan tingkat deteksi (detection).
Menentukan tingkat deteksi bertujuan untuk mengetahui tanda–tanda penyebab kerusakan
sparepart yang sulit untuk dideteksi dan manakah
sparepart yang paling mudah dideteksi. Nilai skala
detection tercantum pada Tabel 3.
8. Menghitung nilai RPN.
RPN merupakan perkalian dari nilai tingkat keparahan dengan tingkat kejadian dan tingkat deteksi (Severity x Occurance x Detection). Nilai RPN yang digunakan sebagai batasan penelitian adalah 5 sub sistem dengan nilai RPN tertinggi. Batasan ini berdasarkan kesepakatan peneliti dengan departemen perawatan dan teknisi. Hasil perhitungan FMEA dan RPN untuk sub sistem pendingin tercantum pada
Tabel 4.
6
Tabel 5 Tabel Hasil FMEA dan RPN (Sub Sistem Kritis)
Sub Sistem RPN Terbesar
Sistem Bahan Bakar 120
Pelumas 90
Pendingin 144
Kopling 160
Transmisi 36
Poros Penggerak 128
Sumbu Belakang 32
Kemudi 210
Suspensi 192
Pengereman 180
Sistem Starter 64
Accu 80
Pengisian 24
Body 108
Interior 24
AC 168
Kursi 2
B. Penentuan Parameter Distribusi
Dengan menggunakan data–data historis armada bus Primajasa, maka dapat diketahui nilai TTF (Time To
Failure) dari masing–masing sparepart armada bus.
Data TTF tersebut kemudian dilakukan pengujian berdasarkan distribusi Gamma menggunakan aplikasi Reliasoft Weibull++ untuk mendapatkan parameter µ dan K. Parameter µ dan K kemudian dikonversi menjadi parameter α dan β yang akan digunakan dalam perhitungan Bayes. Berikut contoh hasil pengujian distribusi Gamma untuk sparepart kabel kopling.
Gambar 6 Hasil Perhitungan Distribusi Gamma untuk Sparepart Kabel Kopling
C. Penentuan Nilai Probability of Adequacy of Spares
Nilai probabilitas ini didapatkan dari akumulasi nilai probabilias dari perhitungan Bayessian Method
menggunakan nilai updated posterior parameter. Perhitungan akan berhenti jika telah didapatkan nilai 99% dalam hasil akhir akumulasi probabilitas. Sebagai contoh, berikut perhitungan nilai probability of
adequacy of spares untuk sparepart kabel kopling :
1. Parameter hasil uji distribusi Gamma menggunakan aplikasi Reliasoft Weibull++
µ = 5.996229 hr K = 2.733834
2. Konvesi menjadi posterior parameter (α’ dan β’)
α = K = 2.733834
=1
θ=
1 µ=
1
5.996229 = 0.002488117198
′ = + = 2.733834 + 3 = 5.733834
′ = + = 0.002488117198 + 5760
= 5760.002488117198 = jumlah kerusakan selama 1 tahun = waktu operasi selama 1 tahun(jam)
3. Perhitungan Bayessian Method
( � ) − �
!
∞
0
−1
=0
� −1 −�
�( ) � ≥
1.�. 5760 −1.�.5760
!
0.002482.733834�2.733834−1 −�.0.00248
�(2.733834) �
∞
0
Masukkan nilai k mulai dari 0 hingga nilai akumulasi hasil integral menghasilkan nilai 99%. Tabel berikut menunjukkan hasil perhitungan integral dan akumulasinya hingga mencapai nilai 99%.
Tabel 6 Tabel Akumulasi Probabilitas Sparepart Kabel Kopling
K P Akumulasi
0 0.018790767 0.018790767
1 0.053871558 0.072662326
2 0.090690513 0.163352839
3 0.116897538 0.280250377
4 0.127620433 0.40787081
5 0.124223585 0.532094395
6 0.111116254 0.643210649
7 0.093129957 0.736340605
8 0.074118822 0.810459428
9 0.056551966 0.867011393
10 0.041661355 0.908672748
11 0.029795123 0.93846787
12 0.020774439 0.959242309
13 0.01416963 0.973411939
14 0.009480408 0.982892347
15 0.006236159 0.989128506
16 0.004040608 0.993169113
17 0.002582879 0.995751992
18 0.001631076 0.997383068
19 0.001018728 0.998401796
20 0.000629926 0.999031722
D. Perhitungan Risiko Downtime
Contoh perhitungan biaya risiko downtime sparepart
kabel kopling melalui beberapa tahapan perhitungan sebagai berikut :
1. Perhitungan pendapatan bersih perhari
=
2 =
4 0,6 1,2 2 43400 = 2.749.824
= 2
= 1,2 2 100 5.500 = 1.320.000
= 2 =
44.000 2 1,2 = 105.600
= −
− 15% =
2.749.824−1.320.000−105.600 15% =
7
=
− −
− =
2.749.824 – 1.320.000 – 105.600 – 198.633 = 1.125.590
2. Perhitungan biaya downtime
=
+
= 3 + 0,125 = 3,125
=
= 1.125.590 3,125 = 3.517.470
E. Acceptable Risk
Ketetapan alokasi biaya risiko ini berlaku untuk seluruh sparepart. Acceptable risk dapat dihitung sebagai berikut :
= 1
=
= 1.145.760
F. Penentuan Jumlah Kebutuhan Sparepart Optimal Untuk menentukan jumlah kebutuhan sparepart
optimal, perlu dilakukan beberapa perhitungan sebagai berikut :
1. Penentuan nilai probability of adequacy of spares
Nilai probability of adequacy of spares telah ditentukan sebelumnya. Pada langkah ini hanya memerukan beberapa nilai dari yang terbesar. Sebagai contoh, untuk sparepart kabel kopling dipilih nilai
probability of adequacy of spares yang mendekati nilai
99%, 97%, 95%, 93%, 91%, 89%, 87%, 85%, 83%, 81%, 79%, 77%, dan 75%.
2. Penentuan pilihan jumlah sparepart
nilai variable k dalam perhitungan probability of
adequacy of spares menunjukkan jumlah sparepart
yang dibutuhkan. Dalam tahapan ini, jumlah sparepart
yang dicantumkan sesuai dengan nilai probability of
adequacy of spares terpilih sebelumnya.
3. Penentuan biaya sparepart
Biaya sparepart didapatkan dari perhitungan antara jumlah sparepart dan harga dari sparepart tersebut. 4. Penentuan konsekuensi tidak tersedianya sparepart
Tidak tersedianya sparepart yang dibutuhkan akan menimbulkan biaya tambahan yang perlu diperhitungkan. Biaya tersebut dapat ditentukan melalui kalkulasi antara biaya sparepart dan biaya downtime. 5. Penentuan risiko keseluruhan
Nilai risiko yang perlu diperhitungkan didapatkan dari perkalian antara probability of inadequacy of
spares dan biaya konsekuensi tidak tersedianya
sparepart. Probability of inadequacy of spares (POIS)
adalah probabilitas dimana sparepart tidak dapat terpenuhi. Secara matematis, POIS dapat ditulis sebagai berikut :
� = 1−
Hasil perhitungan masing–masing langkah diatas kemudian dirangkum dalam bentuk tabel berdasarkan masing-masing kategori perhitungan dan nilai
probability of adequacy of spares seperti pada contoh
Tabel 7. Untuk mendapatkan jumlah sparepart yang dibutuhkan, dipilih tingkat risiko maksimal yang dapat diterima oleh perusahaan. Sebagai contoh pada perhitungan sparepart kabel kopling nilai risiko maksimal yang lebih kecil dari acceptable risk adalah 1.086.319 dimana nilai tersebut berada pada tingkat
probability of adequacy of spares 81% dan jumlah
sparepart yang dibutuhkan adalah 8 buah setiap
tahunnya.
Tabel 7 Tabel Hasil Perhitungan Kebutuhan Sparepart Kabel Kopling
Probability of adequancy of spares, P
Quantity of spares, S
Spares collection cost/unit, C1
Total cost of spares, C3 = S x C1
Probabiity of inadequancy spares, POIS = 1-P
Cost of downtime, C2
Concequences of
inadequancy, C = C2 + C3
Risk, R = POIS x C
0.75 8 Rp 275,000 Rp 2,200,000 0.25 Rp 3,517,470 Rp 5,717,470 Rp 1,429,368
0.77 8 Rp 275,000 Rp 2,200,000 0.23 Rp 3,517,470 Rp 5,717,470 Rp 1,315,018
0.79 8 Rp 275,000 Rp 2,200,000 0.21 Rp 3,517,470 Rp 5,717,470 Rp 1,200,669
0.81 8 Rp 275,000 Rp 2,200,000 0.19 Rp 3,517,470 Rp 5,717,470 Rp 1,086,319
0.83 9 Rp 275,000 Rp 2,475,000 0.17 Rp 3,517,470 Rp 5,992,470 Rp 1,018,720 0.85 9 Rp 275,000 Rp 2,475,000 0.15 Rp 3,517,470 Rp 5,992,470 Rp 898,871
0.87 10 Rp 275,000 Rp 2,750,000 0.13 Rp 3,517,470 Rp 6,267,470 Rp 814,771
0.89 10 Rp 275,000 Rp 2,750,000 0.11 Rp 3,517,470 Rp 6,267,470 Rp 689,422
0.91 11 Rp 275,000 Rp 3,025,000 0.09 Rp 3,517,470 Rp 6,542,470 Rp 588,822
0.93 11 Rp 275,000 Rp 3,025,000 0.07 Rp 3,517,470 Rp 6,542,470 Rp 457,973
0.95 12 Rp 275,000 Rp 3,300,000 0.05 Rp 3,517,470 Rp 6,817,470 Rp 340,874
0.97 13 Rp 275,000 Rp 3,575,000 0.03 Rp 3,517,470 Rp 7,092,470 Rp 212,774
8 G. Penentuan Biaya Risiko Inspeksi
Biaya risiko inspeksi dapat diketahui dengan persamaan berikut :
� � =
�
� � =
� ( +
)
=
+ +
Sebagai contoh, berikut adalah perhitungan biaya risiko inspeksi untuk sparepart kabel kopling :
� � = 0,48 3.517.470 +
550.000+0= 1.952.386
� � = 0,19 3.517.470 +
550.000+0+93.799= 790.641
Nilai–nilai risiko tersebut menjadi pertimbangan perusahaan dalam menentukan kebijakan inspeksi. H. Penentuan Interval Waktu Inspeksi Optimal
Waktu inspeksi optimal adalah waktu dimana nilai
availability sparepart tersebut adalah yang terbesar.
Sebagai contoh, berikut adalah perhitungan availability
dan penentuan interval waktu inspeksi optimum untuk
sparepart kabel kopling.
1. Perhitungan laju kerusakan (λ)
�=
�= 3
161 5760= 0.0000032349
2. Perhitungan Availability (A(T))
� = 1−
−�
�[ − 1− 2(1− −� )]
-1=
2=
� = 1−
−0.0000032349 .
0.0000032349. [ −2−3(1− −� )]
Nilai T (interval waktu) diisi dengan satuan jam hingga mencapai nilai T yang menghasilkan availability
(A(T)) terbesar.Hasil yang didapatkan untuk sparepart
kabel kopling tercantum dalam tabel berikut.
Tabel 8 Tabel Availability Sparepart Kabel Kopling
T A(T)
0 0
10 0.833313805
50 0.961451721
100 0.980224136
300 0.992886022
500 0.995201243
800 0.996206964
1000 0.996381828
1100 0.996401573
1200 0.996391211
1300 0.996357702
1400 0.996305977
1500 0.996239715
IV. DISKUSI DAN HASIL PEMBAHASAN Hasil yang didapatkan dari tahap pemilihan sub sistem kritis adalah terpilihnya 5 sub sistem kritis yaitu sub sistem kopling, kemudi, pengereman, AC, dan suspensi. Selain melalui hasil perhitungan FEMA dan RPN, 5 sub sistem tersebut layak untuk dijadikan sub sistem kritis karena 5 sub sistem tersebut penting dalam penentuan kualitas pelayanan dan kenyamanan armada yang menjadi perhatian utama PT. Primajasa.
Sub sistem kopling dan kemudi perlu dipastikan dalam kondisi baik agar pergerakan armada dalam perjalanan tidak terhambat. Sub sistem suspensi dan AC juga diperlukan untuk memberikan rasa nyaman pada
customer dalam perjalanan. Suspensi yang kurang baik
akan mengakibatkan goncangan yang cukup keras saat bus berjalan pada jalanan yang tidak rata sedangkan AC diperlukan untuk menjaga suhu di dalam bus tetap nyaman dan tidak terpengaruh suhu udara di luar bus. Sedangkan sub sistem pengereman sangat diperlukan untuk memberikan rasa aman untuk pengemudi dan
customer. Dalam jasa transportasi, keamanan
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Dari 5 sub sistem kritis tersebut kemudian dilakukan perhitungan terhadap kebutuhan sparepart untuk setiap
sparepart yang terdapat di sub sistem kritis.
Tabel 9 Tabel Hasil Kebutuhan Sparepart
Sub System Part Name
Failure Rate/years
Spare Requirement
Kopling
Boster Kopling 10 25
Piston Kopling 9 13
Plat Kopling 24 40
Matahari 20 34
Kabel Kopling 3 8
Kemudi
Slang Power
Steering 5 9
JointSteer 33 42
Pengereman
CylinderMaster
Brake Dpn 14 21
CylinderMaster
Brake Blkg 7 13
Slang Angin Rem 6 12
Kampas Rem Dpn 129 143
kampas Rem Blkg 160 184
AC
FanBlower 9 26
RelayAC 8 23
FanBelt 3425 5 13
Suspensi
Anting Per 3 5
Shockabsorber
Depan 2 5
Shockabsorber
Belakang 4 9
Karet
Shockabsorber 5 12
Tabel 9 menunjukkan jumlah kebutuhan sparepart
berserta jumlah kerusakan dalam 1 tahun sebelumnya. Jumlah kebutuhan yang lebih besar dari jumlah kerusakan dimaksudkan agar kedepannya tidak ada
sparepart yang kekurangan stock. Selisih antara jumlah
9 besar diharapkan jumlah pengeluaran untuk pengadaan
sparepart tidak membengkak sehingga anggaran dapat
digunakan lebih efisien.
Kegiatan inspeksi merupakan hal baru yang belum pernah dilakukan oleh PT. Primajasa. Hal ini melandasi perlunya pertimbangan lain dalam penentuan kebijakan. Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah nilai risko yang dihasilkan antara adanya kegiatan inspeksi maupun tidak.
Tabel 10 Tabel Hasil Perhitungan Risiko Inspeksi
Sub System Part Name Risk with inspection
Risk without inspection
Kopling
Booster
Kopling Rp 245,563 Rp 722,621
Piston Kopling Rp 871,992 Rp 2,551,254 Plat Kopling Rp 225,563 Rp 662,621 Matahari Rp 220,563 Rp 647,621 Kabel Kopling Rp 790,641 Rp 1,952,386
Kemudi
Slang Power
Steering Rp 826,218 Rp 2,449,106
JointSteer Rp 668,843 Rp 1,710,487
Pengereman
Cylinder Master Brake
Dpn Rp 601,225 Rp 1,761,466
Cylinder Master Brake
Blkg Rp 506,899 Rp 1,489,742 Slang Angin
Rem Rp 512,399 Rp 1,506,242 Kampas Rem
Dpn Rp 619,866 Rp 1,583,723 Kampas Rem
Blkg Rp 404,819 Rp 1,198,980
AC
Fan Blower Rp 36,843 Rp 545,605
Relay AC Rp 38,952 Rp 114,041
Fan Belt 3425 Rp 108,938 Rp 322,593
Suspensi
Anting Per Rp 933,464 Rp 2,711,753
Shockabsorber
Depan Rp 856,552 Rp 2,118,897
Shockabsorber
Belakang Rp 475,567 Rp 1,401,375 Karet
Shockabsorber Rp1,137,752 Rp 3,326,024
Tabel 10 menunjukkan hasil perhitungan risiko inspeksi. Nilai risiko with inspection pada umumnya lebih kecil dari pada nilai risiko without inspection. Hal ini dikarenakan risiko yang diterima perusahaan jika tidak ada inspeksi lebih besar. Risiko tersebut dapat berupa downtime yang lebih lama, munculnya pengeluaran untuk emergency sparepart, hingga perbaikan khusus. Meskipun kebijakan inspeksi menimbulkan biaya tambahan untuk teknisi dan sistem baru untuk seluruh armada, namun risiko-risiko akibat tidak adanya kebijakan inspeksi dapat diminimalisir. Hal ini akan sangat mengefisiensikan anggaran dan proses perawatan armada PT. Primajasa.
Selain perhitungan risiko inspeksi, interval waktu pelaksanaan inspeksi juga perlu dilakukan. Penentuan interval waktu inspeksi ditentukan berdasarkan nilai
availability karena diharapkan pelaksanaan inspeksi
pada saat sparepart mendekati masa akhir optimalnya. Hal tersebut dapat diketahui melalui analisis tingkat
availability sparepart dimana saat dimana nilai
availability terbesar adalah saat dimana sparepart
tersebut telah mencapai titik paling optimal dalam melaksanakan fungsinya dengan baik. Setelah masa optimal tersebut sparepart mulai mengalami penurunan fungsi. Nilai interval yang berbeda–beda menunjukkan kekuatan masing–masing sparepart berbeda antara satu dan yang lainnya. Hal ini berkaitan dengan fungsi dari masing–masing sparepart. Tabel berikut merangkum hasil interval waktu inspeksi untuk sparepart yang terdapat pada sub sistem kritis.
Tabel 11 Tabel Hasil Interval Waktu Inspeksi
Sub System Part Name
Interval
Inspection(hours)
Kopling
Booster Kopling 800
Piston Kopling 600
Plat Kopling 400
Matahari 450
Kabel Kopling 1100
Kemudi Slang Power Steering 600
Joint Steer 250
Pengereman
Cylinder Master Brake
Dpn 500
Cylinder Master Brake
Blkg 750
Slang Angin Rem 800
Kampas Rem Dpn 100
Kampas Rem Blkg 110
AC
Fan Blower 450
Relay AC 700
Fan Belt 3425 600
Suspensi
Anting Per 1350
Shockabsorber Depan 1350
Shockabsorber Belakang 950
Karet Shockabsorber 850
V. PENUTUP A. Kesimpulan
1. Menggunakan metode FMEA dan RPN, didapatkan hasil bahwa sub sistem kritis armada bus Primajasa adalah sub sistem kopling, kemjudi, pengereman, suspensi, dan sub sistem AC.
2. Total jumlah sparepart yang dibutuhkan perusahaan untuk sub sistem kritis adalah 637 unit dengan rincian seperti pada Tabel 9. Pengadaan
sparepart terbesar terdapat pada sparepart kampas
rem. Hasil tersebut sesuai dengan tingkat kerusakan kampas rem yang juga cukup banyak.
10 menjadi pertimbangan perusahaan dalam menentukan kebijakan pelaksanaan inspeksi. 4. Berdasarkan perhitungan availability didapatkan
hasil interval waktu inspeksi tiap sparepart
berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh fungsi dan kondisi masing-masing sparepart. Interval waktu inspeksi tersingkat adalah sparepart kampas rem yaitu 100 dan 110 jam. Sedangkan interval waktu inspeksi terlama adalah sparepart anting per dan
shockabsorber depan.
B. Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya
1. Mendapatkan data biaya yang lebih akurat dan tepat agar dapat menggambarkan kondisi keuangan perusahaan.
2. Mendapatkan data historis dan kebijakan perawatan yang lebih terperinci agar dapat menggambarkan kondisi kebijakan perusahaan.
3. Mengikutsertakan sparepart repairable dan
sparepart sub sistem lain dalam penelitian
berikutnya. Saran untuk perusahaan
1. Saran untuk PT. Primajasa untuk melakukan pencatatan dan manajemen penyimpanan data riwayat armada agar lebih terperinci.
2. Pencatatan pengeluaran biaya yang berhubungan dengan perawatan armada lebih terperinci, untuk membedakan antara pengeluaran operasional dan pengadaan sparepart.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Ben-Daya, Mohammad dkk, 2009, Handbook of
Maintenance Management and Enggineering,
Springer.
[2] Blanchard, B. S., & Fabrycky, W. J., 1990, System
Engineering and Analysis, 2nd ed, Englewood
Cliffs: Prentice-Hall.
[3] Didik Djoko S, Joko Triyono, 2009, Penerapan Metode Mode Kegagalan dan Analisa Efek pada Proses Perakitan Produk Meja Operasi Manual,
Mekanika, Vol, 7 No. 2.
[4] Ebeling, E. Charles, 1997. An Introduction
Reliability and Maintainability Engineering, Mc
Graw-Hill, Singapore.
[5] Furaida, Syarifa, 2013, Perencanaan Pengadaan Suku Cadang Untuk Mesin Saf-Fro 50 Rs (Cnc Cutting) Menggunakan Pendekatan Reliability (Studi Kasus: PT Dok & Perkapalan Kodja
Bahari), Institut Teknologi Telkom, Bandung
[6] Guidelines for Failure Mode and Effects Analysis
for Automotive, Aerospace and General
Manufacturing Industries, 2003, CRC Press LCC,
Prancis.
[7] Ghodrati, Behzad, 2005, Reliability and Operating
Environment Based Spare Parts Planning, Luleå
University of Technology
[8] Jakiul Hassan, Faisal Khan, Mainul Hasan, 2012, A risk-based approach to manage non-repairable
spare parts inventory, Journal of Quality in
Maintenance Engineering, Vol. 18 Iss: 3 pp. 344 – 362.
[9] Kostas-Platon Aronis, Ioulia Magou, Romert Dekker, George Tagaras, 2004, Inventory Control of Spare Parts Using a Bayesian Approach : a
Case Study, Aristoteles University of Thessaloniki,
Eramus University Rotterdam.
[10] Moubray, John, 1991, Reliability-Centred
Maintenance, The University of Michigan
[11] Sodikin, Imam., 2010, Analisis Penentuan Waktu Pera watan dan Jumlah Persediaan Suku Cadang
Rantai Garu yang Optimal, Jurnal Teknologi,
Vol.3 No.1 pp. 44-52.
[12] Sutrisno, IR., MSAE., Handout Kuliah Manajemen Perawatan. IT Telkom. Bandung, 2012.
[13] Syamsuddin, M., Kerangka Pemikiran Analisis
Bayesian, Industrial and Financial Mathematics
FMIPA ITB.
[14] Zakkaha, Muhammad Arvin, 2014, Perencanaan Kebijakan Persediaan Obat Jenis Tablet Di Bagian Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum XYZ
Bandung Dengan Menggunakan Metode
Continuous Review (Model Q) dan Joint