• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEDIA BARU PARTISIPASI POLITIK DAN KUALI (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEDIA BARU PARTISIPASI POLITIK DAN KUALI (1)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MEDIA BARU, PARTISIPASI POLITIK

DAN KUALITAS DEMOKRASI

1

Salim Alatas

Program Studi Digital Communication, Surya University Jl. Boulevard Scientia Blok U/7, Summarecon Serpong

e-mail: salim.alatas@surya.ac.id blog : salimalatas.wordpress.com

Perkembangan teknologi media baru menghasilkan perubahan besar dalam pengalaman politik masyarakat. Media baru yang dirancang untuk meningkatkan jangkauan, kecepatan dan efisiensi komunikasi manusia, memiliki potensi untuk memperkuat dan meningkatkan mutu demokrasi.

Dalam konteks Indonesia, media baru pernah memiliki peran besar dalam usaha para aktivis pro-demokrasi dan golongan kelas menengah untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Kini, seiring dengan kehadiran sosial media, seperti Facebook dan Twitter, partisipasi politik masyarakat khususnya kaum muda melalui internet meningkat pesat.

Sebagian ahli sampai pada kesimpulan bahwa media baru membawa dampak yang siginifikan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Asumsi nya adalah, para teoretisi demokrasi selama ini percaya bahwa demokrasi dapat terpelihara karena ada partisipasi politik warga negara yang aktif dan peduli terhadap masalah-masalah kewargaan

(civic affairs). Para Sarjana yang mempelajari partisipasi politik – bahkan – percaya bahwa partisipasi politik adalah inti demokrasi.

Makalah ini mencoba untuk melihat secara kritis fenomena partisipasi politik masyarakat melalui internet serta hubungannya dengan kualitas demokrasi. Apakah tingginya pastisipasi politik melalui internet telah berhasil meningkatkan kualitas demokrasi, atau sebaliknya, meskipun partisipasi politik meningkat namun tidak memiliki dampak terhadap kualitas demokrasi. Makalah ini juga akan melihat hubungan media baru dan demokrasi dari dua perspektif yang berbeda; baik optimis maupun pesimis dalam memandang hubungan keduanya.

Kata Kunci : Media Baru, cyberdemokrasi, partisipasi politik, demokrasi.

I. Pendahuluan

Perkembangan teknologi media baru (new media) menghasilkan perubahan besar

dalam pengalaman politik masyarakat. Media baru yang dirancang untuk meningkatkan

(2)

jangkauan, kecepatan dan efisiensi komunikasi manusia, memiliki potensi untuk

memperkuat dan meningkatkan mutu demokrasi. Bahkan menurut Alwi Dahlan2,

komunikasi adalah tulang punggung demokrasi; seluruh proses demokrasi dilangsungkan

dengan komunikasi. Kemajuan teknologi yang sangat cepat akhir-akhir ini telah mendorong

globalisasi informasi, yang pada gilirannya membawa tekanan yang intens terhadap negara

berkembang untuk reformasi ke arah demokrasi Barat. Teknologi media baru, menurut

Dahlan, makin banyak diterapkan dalam proses demokrasi di Asia – meskipun tidak selalu

berhasil baik dan kadang-kadang dapat juga menimbulkan akibat yang justru tidak

membantu pertumbuhan demokrasi.

Dalam pandangan para ahli yang memiliki perhatian terhadap hubungan media baru

dan demokrasi, internet atau media digital memiliki potensi untuk meningkatkan

komunikasi publik dan memperkaya (enrich) demokrasi3. Penelitian awal mengenai potensi

internet untuk membentuk kembali demokrasi, menurut Aeron Davis4, sangat dipengaruhi

oleh nilai-nilai normatif yang disajikan dalam karya langsung para pembela demokrasi dan

ruang publik seperti Habermas, Bohman, Dryzek, Putnam. Mereka berpendapat bahwa

Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) menawarkan perangkat untuk menerapkan teori

mengenai demokrasi dan ruang publik, khususnya mengenai partisipasi masyarakat yang

lebih inklusif dan pertukaran deliberatif antara warga negara biasa dan elit politik. Dengan

demikian, secara teorits, internet memiliki potensi untuk pembaharuan dan pengembangan

demokrasi.

Dalam konteks Indonesia, media baru pernah memiliki peran besar dalam usaha para

aktivis pro-demokrasi dan golongan kelas menengah untuk menjatuhkan rezim Soeharto.

Krisna Sen dan David Hill5 dalam bukunya Media, Culture and Politics in Indonesia

mengatakan bahwa sejak setidaknya dua tahun terakhir pemerintahan Soeharto, Internet6

digunakan secara luas oleh kelompok oposisi dari golongan kelas menengah untuk

menyiasati sensor media oleh rezim Soeharto. Pada saat itu, mahasiswa menggunakan

Internet untuk merencanakan pergerakan dan mengukur dukungan internasional dalam

2 Dahlan, 1999 : 3 3

Lihat Coleman dan Blumler, 2009; Gibson dkk, 2004

4 Davis, 2010 : 746

5 Lihat Sen dan Hill (2000 : 194) 6 Media Baru

(new media) dalam makalah ini merupakan istilah yang bisa dipertukarkan dan memiliki makna

yang sama dengan kata “internet”, “media digital”, maupun “media online”. Media baru, seringkali juga

dipertukarkan dengan istilah-istilah yang lebih teknis dan spesifik seperti “Information and Communication

(3)

membangun demonstrasi secara nasional yang akhirnya menyebabkan runtuhnya rezim

Soeharto. Dalam konteks ini, Internet di tangan sekelompok kecil aktivis yang memiliki

komitmen terhadap demokratisasi telah dijadikan sebuah media komunikasi yang relatif

aman dari sensor, untuk mereka berkomunikasi dengan kelompok mereka ataupun dengan

kelompok-kelompok lain, baik didalam maupun diluar negeri.

Seiring dengan kehadiran sosial media, seperti Facebook, Twitter, YouTube serta

Blog, partisipasi politik masyarakat khususnya kaum muda melalui internet meningkat

pesat. Partisipasi politik melalui sosial media di Indonesia merupakan satu hal yang sempat

menjadi fenomena beberapa saat lalu, ketika warga melancarkan desakkan politik dan

memobilisasi opini publik secara online. Meskipun gerakan politik tersebut tidak selalu

berhasil dalam mengusung isu-isu politik tertentu untuk menekan pemerintah, namun tidak

jarang gerakan melalui sosial media berhasil mendesak pemerintah untuk mengubah

kebijakan-kebijakan yang kontroversial tersebut. Seperti misalkan dalam kasus, KPK VS

POLRI, kasus Primata Mulyasari, dan skandal Bank Century yang cukup lama menyita

perhatian publik. Dala kasus KPK s POL‘I atau ya g le ih dike al de ga i ak s

uaya isalka , e jadi kasus ya g sangat aktual dan fenomenal karena mampu

melibatkan lebih dari sejuta facebooker dalam waktu yang relatif singkat (kurang dari

sebulan)7. Dalam konteks ini, sebagaimana dikatakan oleh Idy Subandi Ibrahim8, peristiwa

tersebut merupakan sebuah bentuk dari cyberdemocracy, cyberpolitic, atau cyberprotest di

Indonesia.

Sebagian ahli sampai pada kesimpulan bahwa media baru membawa dampak yang

siginifikan terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Asumsi nya adalah, para

teoretisi demokrasi selama ini percaya bahwa demokrasi dapat terpelihara karena ada

partisipasi politik warga negara yang aktif dan peduli terhadap masalah-masalah kewargaan

(civic affairs). Disamping itu, dalam pandangan Terri L. Towner9 penggunaan media massa

merupakan prediktor positif (a positive predictor) dari partisipasi politik, dan sebagaimana

lanskap media telah berubah, Internet telah memainkan peran yang semakin besar dalam

politik. Sebagian pengamat membesarkan peran internet sebagai alat yang dapat

membantu proses demokrasi dengan memberikan ekspos warga terhadap informasi politik

7

Dalam kasus POLRI vs KPK (cicak vs buaya) menjadi kasus yang sangat fenomenal karena mampuMengenai kasus KPK vs POLRI, lihat Idy Subandy Ibrahim, (2011 : 97-120)

(4)

dan menyediakan alat untuk partisipasi. Namun demikian, dalam pandangan Towner,

hubungan antara penggunaan Internet dan tingkat partisipasi masih menjadi perdebatan

dikalangan para ahli. Beberapa ahli berpendapat bahwa penggunaan internet memiliki

pengaruh positif terhadap partisipasi politik, dan pengetahuan dan keterlibatan warga

(knowledge and civic engagement) melalui modal sosial, sementara sebagian lain

berpendapat bahwa penggunaan internet memiliki pengaruh yang kecil dan tidak signifikan

pada partisipasi politik10

Perdebatan tersebut mungkin merupakan hal yang wajar, mengingat bahwa

demokrasi adalah sebuah istilah yang kompleks. Sebagaimana dikatakan oleh Henry Jenkins

dan David Thorburn11, kita harus mengakui bahwa "demokrasi" sendiri adalah istilah yang

sering diperdebatkan. Apakah demokrasi merupakan struktur tertentu dari pemerintahan

atau demokrasi merupakan budaya kewarganegaraan atau merupakan gabungan yang

kompleks dari keduanya? Berapa banyak kekuasaan harus bergeser kepada para pemilih

untuk membenarkan argumen bahwa masyarakat menjadi lebih demokratis? Berapa banyak

pemahaman kita tentang demokrasi berhubungan erat dengan konsep "informed citizen"?

Dalam era komputasi jaringan, kita mulai melihat perubahan tidak hanya dalam bagaimana

politik dilakukan, tetapi dalam apa yang dianggap sebagai politik. Akibatnya, mungkin

diperlukan beberapa waktu untuk melihat pengaruh penuh dari Internet pada kualitas

demokrasi.

Mempertimbangkan hal-hal diatas, Makalah ini mencoba untuk melihat secara kritis

fenomena partisipasi politik masyarakat melalui internet serta hubungannya dengan

kualitas demokrasi. Apakah tingginya pastisipasi politik melalui internet telah berhasil

meningkatkan kualitas demokrasi, atau sebaliknya, meskipun partisipasi politik meningkat

namun tidak memiliki dampak terhadap kualitas demokrasi.

Untuk melihat hubungan antara partisipasi politik dan demokrasi dalam media baru,

makalah ini mengambil posisi teoritis dengan menghubungkan kajian ini dengan nilai-nilai

normatif ruang publik (public sphere) dari seorang pemikir Jerman, Jurgen Habermas. Hal

yang cukup penting untuk melihat peran ruang publik secara normatif dalam pembentukan

demokrasi melalui media baru, sebagaimana dikatakan oleh F. Budi Hardiman12, diskursus

mengenai ruang publik dalam politik banyak memasuki wilayah normatif. Ruang publik yang

10

Ibid, 528

(5)

utuh dan otonom dari imperatif-imperatif pasar dan negara dianggap syarat terpenting bagi

demokrasi. Dan demokrasi, sebagaimana dikatakan Hardiman, selalu mengandaikan

kebebasan untuk berpikir, berbicara, dan berkomunikasi tanpa diskriminasi, manipulasi dan

represi. Disamping itu, Makalah ini juga akan melihat hubungan media baru dan demokrasi

dari dua perspektif yang berbeda; baik optimis maupun pesimis dalam memandang

hubungan keduanya.

II. Cyberdemokrasi: Mencari Hubungan Media Baru dan Demokrasi

Cyberdemokrasi13 adalah sebuah konsep yang melihat Internet sebagai teknologi

yang memiliki pengaruh sosial transformatif dan memperluas partisipasi demokrasi.

Menurut John Hartley14, Cyberdemokrasi adalah sebuah konsep optimis yang muncul sejak

awal-awal kehadiran internet. Asal mula konsep ini berkaitan dengan konsep awal dari

ele tro i de o ra . Pada tahun 1970 Robert Paul Wolf menegaskan bahwa hambatan

untuk demokrasi langsung dapat diatasi melalui elektronik demokrasi, yang mana mesin

pemungutan suara dapat dibentuk secara elektronik disetiap rumah dan melekat pada

televisi.

Sebagai sebuah konsep yang merupakan perpaduan dari erspa e dan

de o ra y , yberdemokrasi mengandalkan sebagian besar pada prinsip-prinsip akses dan

pertukaran informasi yang bebas. Media baru, dengan karakteristiknya yang mudah diakses

dan partisipatif, menjadikannya sebuah ruang demokrasi yang ideal di mana orang dapat

berkomunikasi secara bebas dan berpartisipasi dalam forum yang dibangun untuk

pengambilan keputusan kolektif. Cyberdemokrasi juga mendorong adopsi teknologi Internet

dan mendorong terjadinya etos pertukaran bebas informasi, yang akan memudahkan orang

untuk mengakses informasi, dan mendorong terjadinya demokratisasi. Sebagaimana

Nicholas Negroponte15, ya g pada tahu 1995 e yataka ah a akses, o ilitas da

kemampuan untuk melakukan perubahan adalah apa yang akan membuat masa depan

berbeda dengan saat ini, dan bahwa informasi digital akan menjadi e po eri g for e –

diluar harapan banyak orang.

13Istilah “cyberdemokrasi” dikelompokkan kedalam litreratur dibawah payung “demokrasi elektronik”,

“teledemocracy” dan “digital demokrasi”. Lihat Hague dan Loader (ed). 1999

(6)

Para pendukung cyberdemokrasi melihat Internet sebagai sarana untuk

menyediakan kontrol konstituen yang lebih besar atas wakil-wakil mereka16. Menurut Barry

Hague dan Brian Loader, ada dua hal yang menjadi justifikasi utama untuk meninjau kembali

praktek demokrasi di era informasi (information age): pertama, menyangkut persepsi yang

berkembang bahwa lembaga-lembaga politik saat ini, aktor maupun praktek demokrasi

liberal yang sudah maju berada dalam kondisi lemah dan diselenggarakan dengan cara yang

buruk. Kedua, berkaitan dengan keyakinan bahwa periode perubahan sosial, ekonomi dan

politik yang cepat, yang menandakan kemunculan abad informasi, memberikan kesempatan

kesempatan sampai untuk memikirkan kembali dan, jika perlu, secara radikal merombak

atau mengganti lembaga-lembaga tersebut; baik aktor maupun praktek demokrasi17.

Dalam konteks inilah kita melihat bawa gagasan mengenai cyberdemokrasi

menjadi suatu yang penting dan menjadi kajian yang menarik saat ini. Model demokrasi

representatif yang menjadi ciri masyarakat abad kedua puluh, telah mulai kehilangan

pesonanya. Antony Giddens, seorang sosiolog Inggris yang terkenal dengan teori strukturasi,

dalam bukunya Runway World, menyebut femonena seperti ini sebagai fenomena

paradoks de okrasi . Dala uku kecil yang awalnya disiapkan untuk BBC Reith Lecturers

tahun 1999 tersebut, Giddens menyebutkan bahwa paradoks demokrasi adalah situasi

ketika sebuah negara telah mengalami proses demokratisasi, yang demokrasinya telah

mapan, muncul kekecewaan dan ketidak puasan terhadap demokrasi. Paradoks demokrasi

ini, dalam pandangan Giddens, ditandai dengan semakin merosotnya kepercayaan kepada

partai politik dan para elit-elitnya. Sebagian besar warga masyarakat memandang sinis

terhadap demokrasi, dan menganggap politik sebagai sesuatu hal yang korup dimana

pemimpin politik lebih mementingkan dirinya sendiri ketimbang benar-benar

mementingkan kepentingan warganya.

Alasan lain mengapa fokus pada cyberdemokrasi adalah sebuah pandangan bahwa

masyarakat sedang mengalami perubahan paradigma. Dalam masyarakat yang sedang

berubah itu peran potensi teknologi komunikasi dan informasi (ICT) terhadap musyawarah

(deliberation) dalam pembentukan lembaga politik dan praktik demokrasi menjadi sangat

penting18. Menurut Barry Hague dan Brian Loader19, ada beberapa fitur kunci dari media

16

Ferber, dkk. 2008 : 391

17

Hague dan Loader (ed). 1999 : 4

(7)

interaktif yang diklaim menawarkan potensi untuk pengembangan varietas baru demokrasi,

yaitu : interactivity, global network, free speech, free Aassociation, Construction and

dissemination of information, Challenge to professional and official perspectives, Breakdown

of nation-state identity.

Cyberdemokrasi dengan segala macam utopianya bukanlah tanpa kritik. Paul Virilio,

seorang teoritikus budaya dari Prancis, adalah yang salah satu yang melihat cyberdemokrasi

de ga ara pa da g ya g ertolak elaka g, dia ahka e ilai ereka para pe ela

cyberdemokrasi sebagai orang yang terlalu optimis.

Dalam Pandangan Virilio20 ide mengenai kemungkinan menggunakan teknologi

untuk meningkatkan demokrasi adalah hal yang keliru. Teknologi media baru, yang memiliki

karakteristik interaktif dan kecepatan arus informasi, dalam pandangan Virilio memiliki

sejumlah konsekuensi : Pertama, kecepatan menghancurkan pemikiran dan kemungkinan

musyawarah demokratis. Kecepatan teknologi menghasilkan budaya di mana komunikasi

digunakan untuk mengkondisikan tanggapan dari masyarakat. Kedua, penyebaran global

teknologi komunikasi dan informasi menciptakan terbentuknya ter i al itize . Dengan

menghancurkan hubungan temporal antara dekat dan jauh, manusia menjadi lebih peduli

dengan realitas layar daripada realitas fisik. Ketiga, paradoks masyarakat informasi adalah

bahwa peningkatan mobilitas virtual disatu sisi, namun menyebabkan kelemahan fisik disisi

lain. ter i al itize tidak perlu bergerak, sehingga tidak begitu banyak kemungkinan aksi

publik, tapi yang terjadi adalah i te si e ess of se satio s . Keempat, mempercepat

realitas se ara real time memiliki dampak individualistis dimana informasi menjadi

se aki erfokus pada diri. Proses i i, dita ah de ga pe gga tia realitas real e jadi

irtual , e uat a usia kura g e perhatika li gku ga yata ya g e duku g

semua bentuk kehidupan.

Meskipun memiliki keterbatasan, namun analisis Virlo mengenai hubungan media

baru dan demokrasi dapat digunakan untuk melakukan analisis mengenai dampak

perkembangan demokrasi melalui internet. Analisisnya mengenai media komunikasi massa

telah menambah suara skeptis dalam hal inovasi teknologi, dan untuk memusatkan

perhatian kita pada dimensi temporal sistem komunikasi.

(8)

III. Partisipasi Politik dan Digital citizenship .

Para sarjana yang mempelajari pasrtisipasi politik percaya bahwa partisipasi politik

adalah inti demokrasi. Dalam pandangan George Moyser21, partisipasi warga negara adalah

jantungnya demokrasi, karena tanpa suara mereka tidak ada demokrasi yang sesungguhnya.

Demokrasi, dengan kata lain, secara substansial adalah keterlibatan (engagement) aktif

warga negara dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah yang mempengaruhi

kehidupan mereka.

Partisipasi politik mungkin tampak terlihat sederhana, yaitu bagaimana warga negara

mengambil bagian dalam proses perumusan dan penerapan kebijakan publik. Pandangan

tersebut berguna untuk menunjukkan menunjukkan persyaratan bahwa partisipasi politik

harus melibatkan beberapa derajat efektivitas dan intensionalitas minimal dalam

memberikan kontribusi bagi pembuatan kebijakan publik. Namun demikian, dalam

pandangan Moyser22, aktivitas politik yang dimobilisasi oleh elit politik, seperti yang dapat

terjadi dengan aksi politik dan demonstrasi, tidak dapat dianggap sebagai partisipasi politik.

Peran warga negara dalam partisipasi politik sebenarnya telah menjadi perdebatan, apakah

ya g se e ar ya dise ut se agai partisipasi politik ? agai a a seseora g individu telah

dianggap ikut terlibat dalam partisipasi politik?

Sebagai contoh, misalkan apakah partisipasi politik merupakan keterlibatan individu

atau kelompok? Apakah mengungkapkan kepentingan politik, atau bahkan diskusi politik di

kalangan keluarga atau teman, merupakan bagian dari partisipasi politik? Apakah

mengungkapkan dukungan atau penolakan secara verbal terhadap kebijakan pemerintah

merupakan partisipasi politik? Serta pertanyaan mengenai bagaimana dengan tindakan yang

tampaknya melanggar prinsip-prinsip demokrasi, seperti kekerasan politik, atau aksi diam,

atau ahka jahit ulut ? apakah aktifitas-atifitas tersebut menjadi bagian dari apa yang

kita sebut sebagai partisipasi politik?

Tidak ada jawaban yang mudah untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ahli

yang berbeda memiliki kesimpulan yang berbeda-beda mengenai apa yang disebut sebagai

partisipasi politik, di Amerika partisipasi bahkan dikaitkan dengan peningkatan tingkat

pengetahuan politik. Namun demikian mengikuti padangan George Moyser23, untuk

21

Moyser. 2003 : 174

(9)

menjawab persoalan mengenai apakah yang dapat digolongkan sebagai partisipasi politik

dapat dijawab pada dua tingkatan (level) : pertama, apa yang disebut partisipasi politik

selalu melibatkan informasi yang baik yang digunakan oleh warga negara yang bertanggung

jawab dan dan terbuka untuk kepentingan bersama. Dalam konteks ini, partisipasi politik

hanya – dan hanya – terjadi jika dilakukan secara bertanggung jawab untuk menghasilkan

informasi yang baik. Dengan demikian, partisipasi berkaitan dengan upaya untuk

meningkatkan pengetahuan politik (polical knowledge). Kedua, berkaitan dengan dampak

yang muncul dari partisipasi politik terhadap pengambilan kebijakan publik. Mungkin agak

sulit untuk mengukur dampak yang muncul dari partisipasi poliitk, mengingat kita menganut

sistem demokrasi perwakilan. Namun demikian, setidaknya kita dapat membuat semacam

batasan minimal, bahwa partisipasi politik harus memiliki dampak, setidaknya untuk

meningkatkan kesadaran politik dan serta memberikan pengetahuan kepada publik.

Media baru, dengan sifatnya yang terbuka dan interaktif, merupakan bentuk baru

dari partisipasi politik. Internet bahkan memiliki potensi untuk meningkatkan partisipasi

yang lebih besar dalam mayarakat demokratis. Teknologi informasi (ICT) memiliki banyak

aspek yang disebut se agai positi e e ter alities , yaitu manfaat sosial sa pi ga ya g

yang didapat oleh individu yang menggunakan teknologi. Dan ini dapat mendorong

terjadinya partisipasi politik jika informasi yang tersedia secara online membantu warga

mendapatkan lebih banyak informasi tentang politik dan lebih cenderung untuk

berpartisipasi, dan masyarakat mendapatkan keuntungan dari partisipasi deliberatif yang

lebih luas dalam proses demokrasi24.

Partisipasi di dunia maya inilah yang kemudian menciptakan terciptanya arga

digital (digital citizenship), yang oleh Karen Mossberger25 dkk, didefinisikan sebagai

kemampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat online. Secara lebih luas dapat juga

dikatakan bahwa warga digital mereka yang sering menggunakan teknologi, yang

menggunakan teknologi untuk informasi politik untuk memenuhi kewajiban mereka sebagai

warga negara, dan yang menggunakan teknologi di tempat kerja untuk keuntungan

ekonomi. Dengan demikian apa yang disebut partisipasi politik online mencakup diskusi

politik melalui email grup, dan posting komentar di Blog. Sementar itu, bentuk-bentuk sosial

media lain, seperti facebook ataupun twitter dinilai juga menjadi sara partisipasi politik

(10)

online, ketika media ini digunakan untuk memberikan informasi politik, atau setidaknya

mengandung informasi politik26.

Partisipasi melalui memang berbeda dalam banyak hal dengan partisipasi yang

dilakukan melalu media-media tradisional. Salah satunya adalah melalui internet Individu

dapat membangun hubungan yang lebih aktif dan signifikan terhadap lembaga-lembaga

resmi, dan pada akhirnya mereka merasa diberdayakan untuk mengekspresikan pendapat

mereka secara lebih terbuka dan bebas. Pada saat yang sama, sebagaimana dikatakan

Homero Gil de Zúñiga, dkk27, internet juga dapat membawa elit politik dan masyarakat lebih

dekat bersama-sama, sehingga lebih mudah untuk mengekspresikan pandangan kepada

para pejabat terpilih maupun kepada jurnalis.

kemudahan komunikasi di Internet yang paling penting adalah menurunkan biaya

partisipasi online. Dengan kemudahan-kemudahan tersebut setiap warga bisa dengan

mudah untuk terlibat aktif dalam partisipasi online, mengirim e-mail ke seorang politikus

ataupun menandatangani petisi online, dengan harapan bahwa pesan-pesan politik mereka

akan sampai untuk bisa merubah keputusan-keputusan yang terkait dengan kebijakan

publik. Dengan kemudahan ini juga setiap orang dapat membuat pesan politik dan

mempostingnya ke YouTube, kadang-kadang menghasilkan penonton hingga jutaan. Hal-hal

inilah yang tidak bisa dilakukan ketika orang hendak melakukan partisipasi politik melalui

media tradisional, seperti televisi, radio, ataupun media cetak.

IV. Ruang Publik, Media barudan Demokrasi.

Istilah rua g pu lik iasa ya erujuk kepada dua arti : pertama, istilah ini

mengacu pada suatu ruang yang dapat diakses semua orang, maka juga membatasi dirinya

secara spasial dari adanya ruang lain, yaitu ruang privat. Kedua, istilah ruang publik memiliki

arti normatif, yakni mengacu pada peranan masyarakat warga dalam demokrasi. Ruang

publik dalam arti normatif itu –ya g dise ut juga rua g pu lik politis – adalah suatu ruang

komunikasi para warga negara untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan28.

Dari istilah itu sendiri orang sudah dapat mengenali ciri informalnya dan inklusifnya,

kare a istilah rua g pu lik atau offentlichkeit, dala ahasa Jer a erarti keadaa

26

Lihat Towner, 2013 : 529

(11)

dapat diakses se ua ora g da e ga u pada iri ter uka da i klusif rua g i i29

. Ruang

publik, dalam pandangan Alan McKee30, bukanlah sebuah ruang fisik (sphere), istilah ini

hanya metafora untuk menggambarkan ruang virtual di mana orang dapat berinteraksi

Sepanjang tahun 1990-an dan awal 2000-an, kepentingan akademik terhadap isu

mengenai ruang publik mulai tumbuh. Hal ini, menurut Veronika Koller dan Ruth Wodak31,

seecara signifikan didorong oleh terjemahan bahasa Inggris pertama buku buku Jürgen

Ha er as berjudul “tru tural Tra sfor atio of the Pu li “phere penelitian tentang

ruang publik telah memberikan berbagai pendekatan teoritis yang baik mengenai kematian

segera ruang publik dalam akhir demokrasi modern. Dalam bukunya tersebut, Habermas

menggambarkan kehancuran transformasi dan virtual sepanjang abad kesembilan belas dan

kedua puluh dari cita-cita sebuah ruang publik yang rasional yang tumbuh dari lembaga

kebudayaan abad kedelapan belas borjuis di Inggris, Perancis, dan Jerman. Sebagai asisten

Adorno sepanjang tahun 1950, Habermas bersimpati dengan diagnosis karakter paradoks

proses modernisasi yang rasional teknis kemajuan ternyata memberikan ketidakbebasan

dan dominasi32.

Isu mengenai ruang publik adalah jantung dari setiap rekonseptualisasi demokrasi33.

De okratisasi rua g-a tara pe iliha -pemilihan umum itu berarti bahwa warga negara

memiliki kemungkinan untuk mengungkapkan pendapat mereka sendiri secara publik dan

mempeersoalkan segala temayang relevan untuk masyarakat supaya suara-suara yang

sensitif terhadap masalah ini dikelola oleh sistem politik yang ada. Ruang demokratis seperti

itu, tempat warganegara dapat menyatakan opini, kepentingan dan kebutuhan mereka

secara diskursif adalah gagasan pokok ruang publik yang menjadi inti gagasan Habermas34.

Ruang publik dalam pandangan Habermas, memungkinkan warganegara untuk bebas

menyatakan sikap mereka, karena ruang publik itu menciptakan kondisi-kondisi yang

memungkinkan warganegara untuk menggunakan kekuatan argumen. Ruang publik politis

itu – sebagai kondisi-kondisi komunikasi – bukanlah istitusi dan juga bukan organisasi

dengan keanggotaan tertentu dan aturan-aturan yang mengikat35

29 Hardiman, 2011 : 17 30

McKee, 2005 : 4

31 Koller dan Wodak, 2008 : 1 32 Johnson, 2006 : 19 33

Mark Poster. CyberDemocracy: Internet and the Public Sphere.

http://acloudofdust.typepad.com/files/cyberdemocracy.doc . [diunduh pada 01 Februari 2014]

(12)

Akhir-akhir ini, seiring dengan peningkatan penggunaan internet, tema mengenai

Internet dan ruang publik memiliki tempat permanen pada agenda penelitian dan

penyelidikan intelektual, bahkan sudah memasuki arus utama studi komunikasi politik36.

Sebagaimana dikatakan oleh Peter Dahlgren37, bahwa selama sekitar satu dekade, banyak

peneliti dan pengamat telah mengajukan pertanyaan, apakah internet memiliki dampak

terhadap ruang publik? Pertanyaan seperti ini, dalam pandangan Dahlgren menjadi sangat

penting dalam konteks konsensus umum, sejak awal 1990-an, mengenai demokrasi yang

sedang mengalami masa-masa sulit. Disamping itu, setiap pengamat memiliki harapan

bahwa internet kemungkinana akan memiliki dampak positif pada demokrasi dan

membantu meringankan penyakitnya.

Pada masa sekarang kita memang melihat bahwa, politik dimediasikan oleh media

massa, pers, media elektronik dan komputer. Dalam pandangan, Sastrapredja, Media politik

i i telah e a a du ia pu lik ke dala layar ka a ahka layar se tuh . M.

Sastrapredja38 mendefinisikan ini sebagai do esti atio of pu li sphere . Terjadi

pergeseran ruang publik ke ruang privat. Media komunikasi, menurut Sastrapredja, telah

menjadi media dialog.

Fungsi ruang publik dipahami sebagai konstelasi ruang komunikatif dalam

masyarakat. Ruang ini, di mana internet sebagai media baru memainkan perannya, juga

berfungsi untuk memfasilitasi hubungan komunikatif antara warga dan pemegang

kekuasaan masyarakat39. Dalam konteks ini, internet dengan fitur interaktifnya menjadi

wadah bagi warganegara untuk berdialog, baik mengenai isu tentang kebijakan publik dan

isu-isu politik kontemporer. Inilah yang dapat kita sebut sebagai ruang publik didunia maya.

Dalam pandangan Habermas40, sekelompok orang menjadi suatu publik sesudah mereka

e ggu aka rasio ya da dialog se diri erupaka suatu proses e ggu aka rasio .

Peter Dahlgren41, menjelaskan bahwa ada tiga dimensi konstitutif yang dapat kita

gunakan untuk menganalisis ruang publik dalam media baru, dimensi tersebut adalah :

structures, representation, and interaction. Dimensi Strukturural berhubungan dengan fitur

kelembagaan formal. Dimensi struktural, mengarahkan perhatian kita seperti masalah

36

Untuk isu-isu mengenai peningkatan kajian internet dan ruang publik dalam ranah akademik, lihat Dahlgren, 2005 : 147

37 Dahlgren, 2005 : 148 38

Sastrapredja, 2010 : 271

39

Dahlgren, 2005 : 148

(13)

demokrasi klasik sebagai kebebasan berbicara, akses, dan dinamika inklusi / eksklusi. Di luar

organisasi media itu sendiri, dimensi struktural juga menunjukkan institusi politik

masyarakat, yang berfungsi sebagai semacam "ekologi politik" untuk media dan batas-batas

yang ditetapkan untuk sifat informasi maupun cara-cara berekspresi. Sebuah masyarakat di

mana kecenderungan demokrasi yang lemah tidak akan menimbulkan struktur kelembagaan

yang sehat untuk ruang publik, yang pada gilirannya berarti bahwa dimensi representasi

akan memadai.

Sementara itu dimensi representasi mengacu pada output dari media, media massa

serta "minimedia" yang menargetkan kelompok-kelompok kecil tertentu melalui, misalnya,

newsletter atau promosi bahan kampanye. Dan mengingat meningkatnya "massifikasi"

komunikasi di Internet, representasi menjadi sangat relevan untuk konteks online ranah

publik. Dimensi terakhir, interaksi, berkaitan dengan pendapat Ha er as ah a pu lik

haurs dikonseptualisasikan sebagai sesuatu yang berbeda dari sekadar edia audie s .

Dengan demikian dimensi interaksi mengingatkan kita aka pre is klasik ah a demokrasi

pada akhirnya berada pada warga yang terlibat dialog satu sama lai . De ga u ul ya

internet, interaksi warga dengan cara online dan karakter luas dari ruang publik semakin

ditekankan. Dengan demikian, ketiga dimensi struktural tersebut, dapat memberikan titik

awal analisis terhadap ruang publik dari suatu masyarakat tertentu atau untuk menganalisis

kontribusi yang diberikan oleh teknologi komunikasi42.

PEMBAHASAN

Dalam bagian ini akan dianalisis mengenai hubungan antara partisipasi melalui

media baru (new media) dan peningkatan kualitas demokrasi. Bagaimana bentuk

hubungannya, apakah negatif atau positif, serta – yang paling penting – bagaimana

kondisi-kondisi yang memungkinkan terciptanya demokratisasi melalui – dan didalam – media baru.

Partisipasi politik online di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan memang

meningkat pesat. Hal ini didorong dengan semakin meningkatnya penggunaan internet,

dengan biaya data serta perangkat yang terjangkau bagi masyarakat. Disamping itu,

penggunaan sosial media, seperti Facebook, twitter, YouTube dan Blog, juga ikut andil

dalam meningkatkan peran partisipasi melalui media baru. Contoh tindakan politik

(14)

partisipatif yang dilakukan melalui internet termasuk membuat sebuah kelompok (group)

politik secara online, menulis dan menyebarkan posting blog tentang isu politik,

memposting video yang barkaitan dengan isu politik melalui jejaring sosial, dan berdiskusi

atau mengisi petisi online.

Partisipasi politik melalui media baru di Indonesia merupakan satu hal yang sempat

menjadi fenomena beberapa saat lalu, ketika warga melancarkan desakkan politik dan

memobilisasi opini publik secara online. Seperti misalkan dalam kasus, KPK VS POLRI, kasus

Primata Mulyasari, dan skandal Bank Century. Setelah sebelumnya media baru memiliki

andil besar dalam usaha para aktivis pro-demokrasi dan golongan kelas menengah untuk

menjatuhkan rezim Soeharto. Pada saat itu internet digunakan secara luas oleh kelompok

oposisi dari golongan kelas menengah untuk menyiasati sensor media oleh rezim Soeharto,

serta untuk merencanakan pergerakan dan mengukur dukungan internasional dalam

membangun demonstrasi secara nasional yang akhirnya menyebabkan runtuhnya rezim

Soeharto.

Namun demikian, dalam pandangan Merlyna Lim43, meskipun sebagian pengamat

mengatakan bahwa sosial media ikut memajukan demokrasi dan kebebasan berbicara

(freedom of speech), serta memicu terjadinya perubahan sosial dan telah menjadi the Fifth

estate i I do esia s de o ra , namun pernyataan ini dalam pandangan Lim, hanya

benar dalam tingkatan tertentu. Pandangan-pandangan seperti ini hanya berlaku secara

sektoral dan peristiwa-peristiwa tertentu yang jarang terjadi – seperti gerakan online untuk

mendukung Prita dan Bibit-Chandra. Pertanyaan yang patut diajukan ketika siapa saja dapat

memposting informasi melalui twitter, blog ataupun Facebook dengan mudahnya; dan

menjadikan konten informasi kita menjadi sangat kaya dan berlimpah, pertanyaannya

adalah : when there are many voices, whom are heard?44

Mengikuti padangan George Moyser45, partisipasi politik dapat dijelaskan pada dua

tingkatan (level) : pertama, apa yang disebut partisipasi politik selalu melibatkan informasi

yang baik yang digunakan oleh warga negara yang bertanggung jawab dan dan terbuka

untuk kepentingan bersama. Dalam konteks ini, partisipasi politik hanya – dan hanya –

terjadi jika dilakukan secara bertanggung jawab untuk menghasilkan informasi yang baik.

43 Lim, 2012 : 10

44

Lim, 2012 : 10

(15)

Kedua, berkaitan dengan dampak yang muncul dari partisipasi politik terhadap pengambilan

kebijakan publik. Mungkin agak sulit untuk mengukur dampak yang muncul dari partisipasi

poliitk, mengingat kita menganut sistem demokrasi perwakilan. Namun demikian,

setidaknya kita dapat membuat semacam batasan minimal, bahwa partisipasi politik harus

memiliki dampak, setidaknya untuk meningkatkan kesadaran politik dan serta memberikan

pengetahuan kepada publik. Pandangan Moyser ini dapat digunakan untuk menganalisis

apakah peningkatan partisipasi melalui internet di Indonesia dapat digolongkan sebagai

partisipasi politik ?

Dalam penelitian yang dilakukan Merlyna Lim mengenai sosial media di Indonesia,

distribusi weblinks dan lalu lintas (traffic) blogosphere di Indonesia tidak imbang, dalam

artian hanya sedikit blogger yang mendapatkan perhatian yang cukup besar. Meskipun ada

lebih dari 5 juta blogger Indonesia, posting sekitar 1,2 juta item baru setiap hari, namun

demikian tidak ada pengaruh politik, sebagaimana diukur melalui traffic atau hyperlink.

Disamping itu, penggunaan media sosial di Indonesia masih sangat banyak dilakukan oleh

perusahaan. Sebagian besar isi juga lebih mewakili pendapat, ekspresi, gaya hidup serta

budaya kelas menengah perkotaan. Di antara 539 group dalam Facebook yang cukup

dikenal, 193 group berisikan merek/produk/jasa/perusahaan; ada 188 group yang minatnya

pada media/hiburan/selebriti; sementara itu, hanya 66 group di yang berminat pada

kampanye/gerakan/aktivitas/informasi publik, yang mencerminkan preferensi dan pilihan

kelas menengah perkotaan.

Dengan data diatas kita sepertinya agak ragu dengan peningkatan kualitas demokrasi

yang mungkin muncul dalam penggunaan internet di Indonesia. Karena dengan mengikuti

pandangan yang diajukan oleh Moyser, hal ini tidak sama sekali berkaitan dengan partisipasi

politik maupun peningkatan kualitas demokrasi, baik dari segi jenis informasi maupun

dampak serta pengaruh politik yang muncul.

Pandangan para pengamat yang skeptis dan sinis, juga turut memperkuat argumetasi

bahwa media baru belum secara signifikan berkaitan dengan kualitas demokrasi di

Indonesia. Mengikuti pandangan Paul Virilio, ide mengenai kemungkinan menggunakan

teknologi untuk meningkatkan demokrasi adalah hal yang keliru. Karakteristik media baru,

seperti kecepatan dan interaktif, yang oleh sebagian pengamat yang optimis dipandang

sebagai sebuah kekuatan, oleh Virlo justru dipandang sebagai kelemahan, yang jika

(16)

musyawarah de okratis; a usia le ih peduli de ga realitas layar daripada fisik , da

de ga erga ti ya realitas real e jadi irtual , e uat a usia kura g

memerhatikan lingkungan nyata.

Pandangan Virilio diatas mungkin sebagian benar, bahwa dengan kemudahan orang

untuk sekadar memposting informasi ataupun membagikan (share) pesan-pesan politik

elalui sosial edia, e uat a usia le ih peduli de ga realitas layar dari pada fisik . “e agai a a dikatakan oleh Karlina Supelli46, setiap ora g dega udah ele par

opini dan berkomentar tentang macam-macam perkara, tetapi tak ada seorangpun bersedia

terli at la gsu g dala geraka atau akitifitas politik real , da tak ada juga ya g pu ya kei gi a ikut ta ggu g ja a . Konsekuensi ini juga senada dengan pandangan Tod May47,

yang menyatakan kondisi sebagai politi al passi it , yaitu ketika warga negara memiliki

harapan-harapan terhadap pemerintah namun demikian, lebih suka untuk tidak terlibat

dalam aksi politik, sebagian warganegara, bahkan, mengambil bagian dalam politik seperti

yang dilakukan dalam olahraga atau musik, menjadi fans daripada peserta.

Dalam konteks ini, bisa saja publik terjebak kedalam pemberdayaan semu. Dalam

pemberdayaan semu, setiap orang mengira opini yang ia lontarkan dan sebarkan

seluas-luasnya memiliki dampak bagi kebaikan bersama, padahal cuma mengambang di ruang

maya. Ia merasa sudah sangat produktif, padahal yang dikerjakan hanya mengumpulkan

informasi, mengomentarinya dan meneruskannya ke orang-orang lain48.

Hal-hal tersebut diatas, berimplikasi pada ter e ar ya rua g pu lik. “yarat

terpenting bagi demokrasi adalah terciptanya ruang publik yang utuh dan otonom dari

imperatif-imperatif pasar dan negara. Dan demokrasi, selalu mengandaikan kebebasan

untuk berpikir, berbicara, dan berkomunikasi tanpa diskriminasi, manipulasi dan represi49.

Ketika konten media baru lebih banyak berkaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan

produk, brand, serta berbagai macam artefak-artefak perusahaan akan membuat ruang

pu lik terdistorsi oleh kepe ti ga -kepentingan market. Sehingga, nilai-nilai normatif

ruang publik akan sulit tercapai. Sebagaimana pertanyaan kritis yang diajukan Graeme

46 Supelli, 2010 : 343

47 May, 2008 : 1 48

(17)

Burton50, there is an issue as to whether the Internet offers us a new democracy or a new

marketplace? .

Tercemarnya ruang publik akan membuat fungsi ruang publik, sebagai konstelasi

ruang komunikatif, sulit tercapai. Hal ini terjadi karena dialog yang terjadi dalam media

baru, lebih mencerminkan realitas arket di a di g realitas pu lik . Dalam konteks ini,

publik seakan terjebak kedalam percakapan semu, dimana orang hanya meneruskan

kata-kata asal bisa menjadi bagian dari publik51. Disini, tentu saja tidak ada dialog, ataupun adu

argumentasi yang menggunakan rasio. Padahal, dalam pandangan Habermas, sekelompok

orang hanya – dan hanya – menjadi suatu publik sesudah mereka menggunakan rasionya.

Dengan tercemarnya ruang publik, terciptanya masyarakat komunikatif sebagaimana

diharapkan oleh Habermas sebagai syarat terciptanya demokrasi akan sulit tercapai.

Persoalan lain, yang sering menjadi pertanyaan dalam kaitan dengan media baru dan

ruang publik, adalah seberapa jauh seseorang memiliki akses yang pertukaran informasi

yang bebas dalam debat publik yang rasional. Media massa, dalam pandangan Burton, telah

gagal dalam kaitan menjadi forum dan dialog publik yang terbuka. Apakah Internet, sebagai

antitesis dari edia tradisio al, telah e erika kebebasan sejati , atau malah kini

terdistorsi oleh kepentingan kekuasaan dan tertatih-tatih oleh kurangnya akses publik

secara keseluruhan, merupakan bagian dari perdebatan yang masih berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Burton, Graeme (2005). Media and Society: Critical Perspectives. New York : MCGraw Hill

Coleman, Stephen dan Jay G. Blumler. (2009). The Internet and Democratic Citizenship; Theory, Practice and Policy. New York : Cambridge University Press

Dahlan, Alwi. (1999). Teknologi Informasi dan Demokrasi. Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vo. IV/Oktober 1999

Dahlgren, Peter (2005). The Internet, Public Spheres, and Political Communication: Dispersion and Deliberation. Political CommunicationVol. 22, No. 2, 2005

Davis, Aeron (2010). New Media and Fat Democracy: The Paradox of Online Participation. Vol. 12, No. 5, 2010

50

(18)

Ferber, Paul, dkk. (2007). Cyberdemocracy and Online Politics: A New Model of Interactivity. Bulletin of Science, Technology & Society Vol. 27, No. 5, October 2007

Hague, Barry N. Dan Brian D.Loader (1999). Digital Democracy; Discourse and Decision Making in the Information Age. London : Routledge

Hardiman, F. Budi (2010). Komersialisasi Ruang Publik menurut Hanna Arendt dan Jurgen Habermas. Dalam F. Budi Hardiman (ed). Ruang Publik; Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta : Kanisius

Hardiman, F. Budi. (2011). Ruang Publik dan Demokrasi Deliberatif : Etika Politik Jurgen Habermas. Dalam F. Budi Hardiman, dkk. Empat Esai Etika Politik. Jakarta : Srimulyani.net bekerjasama dengan Komunitas Salihara

Hartley, John (2002). Communication, Cultural and Media Studies: The Key Concepts. London : Routledge

Ibrahim, Idi Subandi (2011). Kritik Budaya Komunikasi; Budaya, Media dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta : Jalasutra

Jenkins, Henry dan David Thorburn. (2003). The Digital Revolution, the Informed Citizen, and the Culture of Democracy. Dalam Henry Jenkins dan David Thorburn (ed). Democracy and New Media. London : The MIT Press

Johnson, Pauline (2006). Habermas: Rescuing the Public Sphere. New York : Routledge

Koller, Veronika dan Ruth Wodak (2008). Shifting boundaries and emergent public spheres. Dalam Ruth Wodak and Veronika Koll (ed). Handbook of Communication in the Public Sphere. Mouton de Gruyter

Lim, Merlyna. (2012). The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia. Participatory Media Lab Arizona State University Tempe & The Ford Foundation.

May, Todd. (2008) .The Political Thought of Jacques Rancière: Creating Equality. Edinburgh University Press.

McKee, Alan. (2005). The Public Sphere: An Introduction. New York : Cambridge University Press

Mossberger Karen, dkk (2008). Digital Citizenship: The Internet, Society, and Participation. London : The MIT Press

Moyser, George (2003). Political Participation. Dalam Roland Axtmann (ed). Understanding Democratic Politics: An Introduction. London : Routledge

Poster, Mark. CyberDemocracy: Internet and the Public Sphere. http:// acloudofdust.typepad.com/files/cyberdemocracy.doc. diunduh pada 01 Februari 2014

Rachel K. Gibson,dkk. (2004) Electronic Democracy Mobilisation, organisation and parti ipatio ia e ICT s. London : Routledge

Sastrapredja, M. (2010). Ruang Publik dan Ruang Privat dalam Tinjauan Kebudayaan. Dalam F. Budi Hardiman (ed). Ruang Publik; Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta : Kanisius

Sen, Krisna dan David Hill (2007). Media, Culture and Politics ind Indonesia. Jakarta Equinox Publishing Indonesia

(19)

Supelli, Karlina. (2010). Ruang Publik Dunia Maya. Dalam F. Budi Hardiman (ed). Ruang Publik; Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta : Kanisius

Towner, Terri L. (2013). All Political Participation Is Socially Networked? New Media and the 2012 Election. Social Science Computer Review, 31(5) 527-541.

Referensi

Dokumen terkait

front office sangatlah menentukan dalam memberikan kesan yang baik maupun buruk pada tamu yang mendatangi hotel, sebelum para tamu tersebut menentukan akan menginap

menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ Studi Pelayanan Pusat Perbelanjaan Pasar Sentral Sengkang Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo5. Tak lupa pula salawat dan salam

Walaupun demikian, didapati bahawa peratusan adalah rendah untuk item 1, 2 dan 3 iaitu dari segi penilaian dan penghargaan yang diberikan oleh organisasi terhadap pekerja

6 Suatu produk juga dinilai termasuk kualifikasi dumping jika barang tersebut diperdagangkan di dalam pasar negara lain dengan harga lebih rendah dari nilai normalnya ( its

Dalam konteks narasi besar sufistik, syair Hamzah dan dangding Mustapa mewakili ekspresi tafsir sufistik yang diungkapkan dengan rasa bahasa dan sastra Nusantara. Sebagaimana

Profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang menggunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern

“Upa ya yang dilakukan dengan jalan bekerja sama dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan

Jika dilihat dari tingkat efisiensi ekonomis yang telah dicapai oleh petani menunjukkan bahwa usahatani petani padi anorganik Kecamatan Rakit Kulim memberikan