• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUNIA PANDANG DAN PANDANGAN DUNIA Menela

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DUNIA PANDANG DAN PANDANGAN DUNIA Menela"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

DUNIA PANDANG

DAN PANDANGAN DUNIA

Menelaah Subkultur

Manga

dan

Otaku

Oleh: Hikmat Darmawan1

Seeing comes before words.

(John Berger, Ways of Seeing, 1972)

Ketika Obama mengumumkan pembunuhan Osama, dan

memutuskan tak akan menerbitkan foto-foto mayat musuh nomor wahid Amerika Serikat (AS) itu, terjadi perdebatan keras. Banyak sekali yang merasa, pengumuman itu tak absah, tak "benar", jika tiada gambar yang mendukungnya. Seperti kata Fred Ritchin, profesor fotografi New York University, "I don't think society tolerates the invisible anymore. Everything has to be imaged."2

Segalanya dalam dunia kiwari harus diimajikan, digambarkan,

dirupakan. Dan itu semakin jadi desakan, karena teknologi informasi memang semakin memfasilitasi budaya visual.

Pada 1996, saya bekerja di radio M97 FM (almarhum) dan mencicipi tahap awal internet di Indonesia, mencoba mengunduh versi digital kitab Leviathan karya Thomas Hobbes ke sebuah disket

berkapasitas 1,2 Megabyte (MB) di komputer kantor saya. Setelah semalam suntuk mengunduh, komputer itu hang (macet), dan disket saya rusak.

Pada 2010, di Tokyo, saya sering sekali mengunduh file komik

digital, musik, atau film, dengan kecepatan hingga 500 Kilobyte (KB) per detik. Dengan kecepatan itu, Kitab Leviathan versi digital yang saya coba unduh pada 1995 itu semestinya bisa diunduh dalam waktu sedikit lebih dari dua detik! Niscaya dengan demikian, tak perlu komputer saya sampai hang segala.

Ilustrasi kecepatan itu dapat menggambarkan sebuah lingkungan informasi yang semakin lama semakin padat berjejal. Kapasitas penampungan dan sirkulasi data serta informasi yang semakin besar dan cepat itu memungkinkan semakin sibuknya sirkulasi data

1 Penulis adalah redaktur Rumahfilm.org dan mendapatkan grant dari Asian Public Intelectuals Fellowship Program 2010-2011, Nippon Foundation, untuk meneliti selama setahun tentang Globalisasi Subkultur Manga dan Identitas Visual di Jepang dan Thailand.

(2)

yang tak lagi cukup hanya berupa teks: gambar, informasi visual, video, menjadi seperti keharusan, sebuah kehadiran yang lekat dalam peradaban kiwari, tersebar, saling bertukar, membentuk cara berpikir semakin banyak orang di muka bumi.

Gambaran Marshall McLuhan masihlah jitu tentang pergeseran budaya ini. Ia menggambarkan adanya pergeseran dari "jagat

Gutenberg" ke "desa Global". Gutenberg3, kita tahu, memungkinkan peradaban modern tumbuh dalam karakternya sebagai puncak capaian peradaban kata: ketika penyebaran modus berpikir abjadiah dan tekstual menjadi semakin cepat, semakin luas, semakin

menetap.

Dalam jagat Gutenberg, modus membaca yang semakin massal membentuk cara pikir sebagian besar manusia di dalamnya: runut berurut sesuai laju pembacaan aksara (dengan kata lain: linear), abstrak atau cenderung mengabstraksi, dan kategoris.

McLuhan menggambarkan bahwa jagat Gutenberg itu mulai buyar dengan kehadiran era (media) elektrik: telepon, radio, dan

terutama, televisi. Dan McLuhan meramalkan teknologi internet, yang akan membuyar lebih berai jagat Gutenberg4:

The next medium, whatever it is - it may be the extension of consciousness - will include television as its content, not as its environment, and will transform television into an art form. A computer as a research and communication instrument could enhance retrieval, obsolesce mass library organization, retrieve the individual's encyclopedic function and flip into a private line to speedily tailored data of a saleable kind.

Berainya jagat Gutenberg, mencipta sebuah keadaan yang disebut McLuhan sebagai "global village", sebuah keadaan yang ia yakini terdiri dari memanjangnya kesadaran manusia (melalui sesuatu yang kemudian kita kenal sebagai internet itu), luruhnya (atau setidaknya, merelatifnya) jarak fisik antarmanusia, dan menguatnya desakan agar setiap kelompok, negara, manusia, saling terkait dan terlibat.

Dalam keadaan pasca-Jagat Gutenberg itu, yang mencuat kembali menepis kuasa peradaban Kata, adalah kelisanan dan budaya visual. Kelisanan (orality), walau juga memikul Kata seperti dalam peradaban Aksara, memiliki sifat non-linear, non-kategoris, tak ajeg, berlawanan dengan sifat-sifat keberaksaraan. Percakapan lisan

3 Johannes Gutenberg, menciptakan mesin cetak modern pada abad ke-15, dengan alat press dari kayu dan penataan letak huruf dengan tangan. Istilah "jagat Gutenberg" dipakai Marshall McLuhan, khususnya dalam bukunya, The Gutenberg Galaxy: The Making of Typographic Man (1963), untuk

menggambarkan peradaban modern selama 500 tahun sebelum Era Elektronik di abad ke-20, yang ditengarai bercirikan "tipografikal" dan "mekanikal".

(3)

terbaik, obrolan paling mengasyikkan, biasanya adalah sebuah olah-kekacauan yang menggairahkan: cenderung tak runut, tak lengkap, berkelok-kelok tak terduga.

Seiring dengan keberlisanan itu, mencuat juga yang visual. Baik keberlisanan maupun yang visual, disebut "mencuat kembali", karena sebermula keduanya adalah hal yang dominan sebelum era keberaksaraan yang mengukuh dalam era Jagat Gutenberg.

Sebermula adalah pandang

Sebermula bukanlah Kata, tapi Pandang. Demikianlah kata John Berger dalam karya seminalnya, Ways of Seeing.

Tapi, metafor Injili yang masyhur itu, bahwa "Sebermula adalah Kata"5, agaknya kadung melekat dalam benak manusia Jagat Gutenberg dan keturunan dekatnya. Metafor dari Perjanjian Lama, yang mengisahkan Asal Usul Alam Semesta itu, seakan

mengukuhkan sebuah imajinasi kolektif bahwa dunia Kata lebih tua –dan karenanya, lebih otoritatif dan sakral– dari dunia Pandang.

Padahal, jelas: dunia Pandang hadir lebih dulu dalam kronologi sejarah umat manusia, daripada dunia Kata. Lebih dari 30.000 tahun lalu, di jantung benua Eropa yang kini dikenal sebagai Prancis dan Spanyol, manusia mulai membuat benda-benda "tak berguna" seperti ornamen dan batu-batu serta tulang yang diberi hias. Serbahias sederhana itu pula mulai ditatahkan di dinding-dinding gua.

Antara tahun 35.000 – 8.000 SM, para pembuat kriya dari zaman Paleolithic membuat banyak gambar, lukisan, dan patung serta pahatan di dinding-dinding gua seperti di Lascaux, Prancis, dan Altamira di Spanyol, juga di gua-gua Afrika dan Asia. Makna-makna kriya-kriya itu telah hilang dalam waktu, jadi teka-teki bagi manusia modern. Tapi, cukuplah kita tahu bahwa pemaknaan-pemaknaan terhadap simbol-simbol visual itu pernah ada, dan itu jadi langkah besar menuju proses panjang penciptaan keberaksaraan.6

Di aras individual sendiri, memandang tetaplah lebih dulu ada

daripada Kata. Demikianlah proses berpikir manusia. Seperti ungkap John Berger7:

Seeing comes before words. The child looks and recognizes before it speaks.

5 Saya memakai ungkapan/terjemahan Sapardi Djoko Damono, untuk "In the beginning, there was the Word".

(4)

Seorang kanak mencerap yang terpandang olehnya, dan lama kemudian ia belajar menamainya, memahami dunia yang

terpandang olehnya dengan bantuan sistem tanda bernama bahasa. Dengan kata lain, seorang kanak, memandang dunia dan kemudian belajar kata-kata. Dan demikianlah pula yang selalu terjadi pada kita, rupanya.

Kita memandang dunia lebih dulu, agar kita paham tempat kita di dunia ini. Kita menjelaskan dunia dengan kata, tapi Kata tak pernah menggugurkan fakta bahwa kita dikelilingi dunia yang terpandang itu:

It is seeing which establishes our place in the surrounding world; we explain that world with words, but words can never undo the fact that we are surrounded by it.8

Dunia Pandang dapat dipengaruhi Dunia Kata. Dan sejak era filsafat Yunani Kuno yang kemudian dikukuhkan oleh tradisi tiga agama semit dan Renaissance, Dunia Kata berlagak superior terhadap Dunia Pandang.

Tapi, Dunia Kata tak pernah mampu menaklukkan sepenuhnya Dunia Pandang. Sejauh-jauhnya, Kata hanyalah memengaruhi Cara Pandang. Sedang Dunia Pandang sendiri selalu ada, tanpa

menunggu Kata. Seperti diungkai oleh Berger, setiap laku Memandang, selalu mengandung Cara Memandang (tak perlu menunggu Kata memberi Cara Pandang itu).9

We only see what we look at. To look is an act of choice. As a result of this act, what we see is brought within our reach –though not necessarily within arm's reach. To touch something is to situate oneself in relation to it. (Close your eyes, move round the room and notice how the faculty of touch is like a static, limited form of sight.) We never look at just one thing: we are always looking at the

relation between things and ourselves.

Kata membantu kita menafsir Dunia Pandang. Kita menafsir yang terpandang. Kita juga menafsir Cara Pandang yang terbit dari laku memandang. Ketika tafsir-tafsir itu dirangkum, disistematisasi, bisalah ia menjadi Pandangan Dunia.

Pandangan Dunia bisa menjadi alat bantu, bisa jadi pengganggu dalam kita memandang dunia. Karena merupakan akumulasi tafsir kita terhadap dunia yang kita pandang, Pandangan Dunia

memudahkan seseorang untuk untuk semakin memahami dunia dan berfungsi di dalamnya. Tapi, Pandangan Dunia juga bisa justru

(5)

mengaburkan, menghalangi kita mendapati Dunia Pandang secara apa adanya.10

Lalu bagaimana hubungan Pandangan Dunia dan Dunia Pandang di dalam dunia yang semakin visual kini? Kasus globalisasi budaya popular Jepang yang porsi besarnya adalah globalisasi subkultur manga, akan menampakkan gejala-gejala menarik mengenai hubungan tersebut.

Rayuan Jepang?

Globalisasi budaya popular Jepang, saya kira, lebih merupakan gejala semakin siapnya dunia menerima partikularitas budaya popular Jepang, ketimbang kehebatan intrinsik produk-produk budaya popular itu sendiri.

Ini bukan skeptisisme terhadap ke-Jepang-an produk-produk budaya pop itu, tapi skeptisisme terhadap anggapan bahwa muatan/isi/yang intrinsik dalam sebuah produk budaya punya kekuatan mutlak dan jadi satu-satunya faktor kejayaannya di dunia global. Dunia tak bekerja dengan cara begitu. Selalu ada yang intrinsik, dan yang ekstrinsik. Selalu ada yang suprastruktur, dan yang infrastruktur. Dan, lebih sering daripada tidak, yang ekstrinsik dan yang

infrastruktur lebih berpengaruh daripada yang intrinsik dan yang suprastruktur.

Dalam hal mengglobalnya J-Pop11, dinamika sosial-ekonomi Jepang pada zaman Showa tampak sangat menentukan. Sesudah

kekalahan Jepang dalam Perang Dunia ke-2 melawan Sekutu, Jepang mengadopsi ekonomi konsumsi model AS secara penuh. Seperti AS, industrialisasi Jepang terutama diarahkan untuk memproduksi

10 Sebetulnya, kalimat "apa adanya" di sini problematik. Kalimat tersebut mengesankan bahwa kita bisa memandang benda-benda tanpa "gangguan" apa pun: seakan benda-benda yang terpandang oleh kita dapat masuk ke dalam benak, sepenuhnya, begitu saja. Padahal, seperti kata Edmund Fieldman, "people see images, not things" dan image (imaji) adalah "…the result of endowing optical sensation with meaning." Tapi, yang saya maksud dengan "apa adanya" itu lebih berupa: tindakan memandang imaji dengan pemaknaan yang tak melekat pada Kata, tapi pada koherensi visual.

11J-Pop adalah istilah yang bisa dipakai untuk menyebut berbagai produk budaya pop Jepang secara umum, khususnya yang berkenaan dengan manga (komik Jepang), anime (animasi Jepang), musik, siaran televisi, film, dan

(6)

benda-benda konsumtif, yang disangga oleh sistem keuangan yang melayani kebutuhan-kebutuhan konsumtif tersebut.

Dalam ekonomi konsumsi tersebut, life style (gaya hidup) menjadi salah satu penggerak utama gerak-gerik ekonomi-sosial sebuah negara.12 Dan di Jepang, lebih dari kebanyakan negara lain di dunia, ekonomi-konsumsi itu mengambil bentuk yang sangat visual. Gaya hidup konsumtif Jepang terutama sejak zaman Showa berkembang meluas dalam samudera citra, imaji, visualisasi.

Bagi banyak pengamat, Jepang, lebih dari kebanyakan negara yang ada, memang bisa dijelaskan dari budaya visualnya. Roland Barthes dengan jitu menyebut Jepang sebagai "Empire of signs". Donald Richie menyebut Jepang dari segi ekonomi-konsumsi-nya sebagai "The Image Factory". Fokus Richie, dalam bukunya yang berjudul demikian, adalah pembacaan terhadap "fad & fashions in Japan".

Dengan fokus itu, Richie menunjukkan salah satu variabel penting dalam terbentuknya corak Jepang pada model ekonomi-konsumsi yang mereka adopsi13:

…(I)n a place so status conscious as Japan, self-image is important and new image indicators are in demand.

Kebutuhan besar akan indikator-indikator citra baru membuat kata Imeji Cheinji (dari "image change") jadi popular di kalangan muda Jepang.

Kebutuhan akan pencitraan itu sendiri, sebetulnya, amatlah besar di Jepang: itulah kenapa banyak sekali aparatus pencintraan pribadi (seperti jas dan dasi ala Barat bagi para salary man, atau kimono pada saat-saat tertentu) yang tampak menjadi semacam gaya nasional, dipakai kaum tua dan muda. Tapi, kalangan muda adalah salah satu kelompok pembelanja (konsumen) terpenting di Jepang, di samping kaum perempuan dan ibu rumah tangga.

Hal ini, tentu saja dapat kita temui di negeri-negeri lain. Apalagi, pada masyarakat-masyarakat yang mengadopsi model ekonomi-konsumsi. Tapi, kata Richie:

12 Penggerak utama lainnya, jika kasusnya adalah AS, sebetulnya, adalah

militerisme. Ditilik dari segi ini, maka kita bisa mempertanyakan, apakah ekonomi AS sepenuhnya menggunakan model ekonomi konsumsi jika ternyata perang menjadi penggerak ekonomi yang jauh lebih besar? Tapi, saya menganggap bahwa model ekonomi-konsumsi, dengan life style sebagai penggeraknya,

tetaplah utama, karena model ekonomi tersebut menciptakan penyangga berupa sistem keuangan macam perbankan dan sistem kartu kredit, yang galibnya adalah untuk meladeni konsumsi masyarakat. Dalam kasus Jepang, perang bahkan terhenti setelah Perang Dunia II, menyebabkan model ekonomi-konsumsinya betul-betul dominan.

(7)

…Japanese society includes conformism as a major ingredient and everyone wanting to do everything at the same time creates a need which the fad fashion factories fill.

Saya tak sepakat dengan asumsi Richie bahwa yang suprastruktur ("nilai konformisme" dan "kesadaran status") melahirkan model ekonomi-konsumsi yang dijalani Jepang sejak zaman Showa hingga kini. Kekalahan militer Jepang dari AS adalah alasan utama orientasi ekonomi Jepang yang sebelumnya digerakkan oleh dan mengarah untuk meladeni militerisme.

Tapi, Richie berhasil menunjukkan relasi antara model ekonomi-konsumsi Jepang dengan budaya visual negeri itu. Dengan memahami relasi itu, mudahlah kita melihat bagaimana di saat dunia mengalami globalisasi yang bercirikan dominasi budaya visual, maka produk-produk ekonomi-konsumsi Jepang berbalik menjadi Rayuan tak tertahankan bagi dunia:

The successful and self-perpetuating factory which is Japan's image enterprise has operated for centuries but it is only now, in this age of instant communication, that it reveals itself as a major industry.

Bagi Richie, malah Jepang itu sendiri bisa dipandang sebagai sebuah "pabrik imaji". Jalinan ekonomi-sosial-budaya Jepang tampak bagi Richie sebagai sebuah kumpulan pabrik imaji, penghasil budaya visualisasi yang paling terkomersialkan dalam masyarakat modern.

Richie membahas fashion & fad di Jepang, sembari meluaskan makna fashion yang ia pakai: mencakup pakaian, gadgets, sikap/lagak, dan kepercayaan.

Though most countries now have highly evolved image cultures, Japan's seem more noticeable, perhaps because it is more commercialized than many. Its use of image in fashion, graphics, packaging, advertisement and all forms of entertainment is indeed something startling. Perhaps consequently, though the reliance of image rather than thought is everywhere a definition of modern culture, it sometimes seems as though no other place has carried this reliance to further extremes than Japan.

Dan salah satu ekstrem yang sangat terasa dalam budaya visual Jepang adalah: kehadiran yang sangat kuat dari subkultur manga (komik Jepang) yang, di sini, saya artikan mencakup juga subkultur anime, games, toys, dan cosplay (dari "costume playing" atau permainan kostum).

(8)

lembaga-lembaga pemerintahan, pada petunjuk-petunjuk di stasiun dan halte, toko, serta menu restoran, dan banyak lagi: selalu ada karakter-karakter komik, atau bercorak komik, yang khas Jepang; atau informasi-informasi berbentuk gambar-gambar tersusun secara sekuensial.

Terasa bahwa manga lebih dari sekadar bacaan hiburan bagi anak di Jepang: subkultur ini turut mendefinisikan budaya visual Jepang.

Subkultur manga dan Pandangan Dunia

Kehadiran yang kuat dari subkultur manga tersebut, bagi banyak pengamat, dianggap terkait dengan akar budaya visual di Jepang yang tertanam kuat di keberaksaraan mereka: fakta bahwa mereka adalah kebudayaan yang disangga oleh huruf-huruf Kanji.

Huruf-huruf Kanji yang diimpor dari Cina, adalah ideografi yang pada dasarnya merupakan imaji –atau, boleh juga disebut,

gambar-simbolik. Setiap karakter Kanji melambangkan sebuah (atau lebih) ide. Seperti kata Frederick Schodt14:

The Japanese are predisposed to more visual forms of

communication owing to their writing system. Calligraphy… might be said to fuse drawing and writing. The individual ideograph… is a simple picture that represents a tangible object or an abstraction concept, emotion, or action… in fact, a form of cartooning.

Tapi, kita juga perlu memerhatikan faktor pertumbuhan infrastruktur penerbitan komik Jepang antara 1945 hingga 1980-an, persis

berbarengan dan melekat pada zaman Showa. Dalam periode itu, lembaga-lembaga dan pakem-pakem industrial maupun bahasa visual manga diciptakan, dijelajahi, dieksploitasi, dikukuhkan.

Periode ini amatlah penting, sehingga dari sejarah 1000-an tahun manga di Jepang, produksi manga pada periode 1945 hingga 1980-an itulah y1980-ang di1980-anggap sebagai definisi m1980-anga oleh b1980-anyak or1980-ang di luar Jepang. Pengertian ini disebut oleh Natsu Onoda Power15, sebagai pengertian "manga" yang dituliskan dalam aksara Latin dan dipahami secara umum di Barat: komik Jepang modern yang lahir sesudah Perang Dunia II yang dipelopori oleh Osamu Tezuka.

Power mencatat ada empat pengertian manga berdasarkan aksara yang digunakan untuk menuliskan kata itu. Pengertian Barat/dunia akan manga itu, dikategorikan Power sebagai makna "manga" yang dituliskan dalam aksara Latin. Sementara di Jepang sendiri, sesuai sistem penulisan yang berlaku di Jepang, "manga" bisa dituliskan

14 Frederick L. Schodt, Manga! Manga! The World of Japanese Comics, Kondansha, Tokyo, 1983.

(9)

dalam aksara Kanji, Hiragana, atau Katakana, dan ketiganya mengandung makna berbeda:

Manga yang ditulis dalam aksara Kanji (di baris pertama), menurut catatan yang dirangkum Power, terdiri dari dua karakter, Man dan Ga.

Karakter Man berarti: (1) menyebar, atau mencakup permukaan besar, (2) lama dan berkelanjutan, (3) ceracau, longgar, iseng, atau tak ada pekerjaan, atau santai, (4) kelayapan, atau melakukan sesuatu tanpa kesadaran.

Sedangkan karakter Ga melambangkan petak sawah, garis

pembatas, pembagian, atau menciptakan sebuah perbatasan, atau membagi suatu area menjadi beberapa area lebih kecil. Dari

pengertian ini, maka karakter Ga juga menjadi aksara untuk kata bermakna "gambar", "lukisan", "seni garis", dan "film", sekaligus juga melambangkan kegiatan "menggambar" atau "melukis".

Gabungan dua karakter itu menjadi kata "Manga" adalah ciptaan di Jepang yang terutama dipopularkan oleh Hokusai, seniman ukiyo-e masyhur dari abad ke-18. Maknanya, kurang lebih: "gambar-gambar urakan".

Sejarawan Shimizu Isao mencatat bahwa "Manga" dalam tulisan Kanji lebih mengacu pada bentuk-bentuk komik Jepang dari masa sebelum abad ke-20, dimulai oleh sketsa-sketsa spontan Hokusai yang berkembang jadi seni gambar-gambar satire hingga akhir abad ke-19 di Jepang. Dengan fokus pemaknaan ini, Isao mengartikan "Manga" sebagai "gambar-gambar yang dibuat dalam semangat satire dan bermain-main".16

(10)

Power lanjut mencatat bahwa "Manga" dalam tulisan Hiragana lebih menekankan makna humornya, ketimbang berbau politik macam dalam satire. Sementara "Manga" dalam Katakana, lebih

menekankan periode sejarahnya: seni komik dan kartun yang berkembang pada masyarakat modern Jepang –yang mencakup periode sejak awal kehadiran media modern di Jepang setelah Restorasi Meiji.

Dalam pemakaian sehari-hari, apalagi di luar Jepang, kata "Manga" kini lebih mengacu pada gaya visual tertentu –tepatnya, gaya visual yang jadi pakem di genre paling popular manga: shonen manga (komik Jepang untuk ABG lelaki) dan shoujo (komik Jepang untuk ABG perempuan). Maka demikianlah, salah kaprah yang cukup umum itu: bahwa manga bermakna komik dengan gaya gambar orang-orang yang distilisasi dan berciri menonjol mata bulat besar, serta cenderung memuat adegan saru (bermuatan seksual) yang biasa disebut "hentai".

Jika kita toh mau menekankan perhatian pada gaya visual manga, saya menawarkan bagan ciri visual sebagai berikut sebagai

"identitas" manga (dan untuk memudahkan, saya mencoba

mengontraskannya dengan gaya visual yang umum di komik-komik Eropa dan AS):

GARIS/BENTUK 1. Warisan

Tradisi Rupa

(11)

tradisi alam/

1. Latar Cerita  ruang dalam

WAKTU 1. Tekanan pada

momen (Zen

Sebagai catatan: pencirian gaya visual komik-komik Jepang, Eropa (Barat), dan AS di atas tentu saja merupakan pemampatan gaya visual umum di ketiga domain utama komik dunia tersebut. Juga, perlu ditekankan di sini, bahwa perkembangan belakangan komik dunia, dengan globalisasi manga yang menguat sejak pertengahan 1990-an, telah menyebabkan pembauran gaya-gaya tersebut dalam karya-karya kontemporer komik di Jepang, Eropa, AS, maupun

(12)

Contoh menarik adalah pernyataan Taiyo Matsumoto17, semacam kredonya dalam mencari gaya pribadi bagi komik-komiknya.

Menurut Matsumoto, komik Jepang berciri "ringan hati", sementara komik Eropa berciri "intelektual", dan komik AS bersifat "cool" atau menekankan unsur "keren". Matsumoto sendiri, dalam

komik-komiknya, berhasrat meramu yang terbaik dari ketiga khasanah komik dunia itu.

Pernyataan Matsumoto tersebut bisa kita anggap sebuah petunjuk tentang cara pandang yang ada di dalam Manga. "Ringan hati" tak hanya merujuk pada rasa yang muncul dalam isi-cerita, dalam arti bermakna condong pada humor –walau, jelas dari sejarahnya, Manga memang lekat dengan humor. "Ringan hati" itu sebetulnya bisa kita rasakan dalam melihat sajian visual dalam Manga: gambar-gambar, juga tuturan-visual (visual storytelling), yang seolah

menjauh dari keserbaseriusan, dari beban-beban intelektualisasi, malah kadang juga dari beban-beban estetisasi seperti yang dikenal dalam tradisi gambar/rupa Barat (yang memang berciri intelektual itu), hanya menyarankan nikmat dalam kebermainan.

Memandang komik-komik Jepang, khususnya yang di arus

utamanya, kita biasa melihat keberlebih-lebihan, kelokan-kelokan adegan antarpanil yang tak terduga (gambar realis di satu panel, yang langsung menjadi sangat ngartun di panil lain –seperti yang sering kita lihat, misalnya, dalam serial City Hunter). Keberlebih-lebihan yang lazim dalam sebuah eskapisme.

Tapi, kita bisa curiga, ini eskapisme yang bukan sekadar ajakan lari sesaat dari kehidupan nyata yang penuh masalah di luar komik. Ini, agaknya, berkaitan dengan cara pandang para komikus dan

pembaca komik Jepang (malah, karena begitu lekatnya komik dengan masyarakat Jepang, bolehlah dibilang bahwa ini berkaitan dengan cara pandang orang Jepang umumnya) pada hidup, pada dunia.

Sifat "ringan hati" dalam gaya dan cerita Manga, mungkin bisa kita kaitkan dengan cara pandang yang terkait dengan sebuah asas estetika yang sangat masyhur di Jepang: Wabi Sabi.

Wabi: kesukaan pada yang sahaja dan yang sunyi. Sabi: pandangan yang menekankan kefanaan hidup.

(13)

Pastilah sukar memandang, misalnya, Hentai18 dan berpikir bahwa itu terkait dengan Wabi Sabi. Tapi, segala keberlebih-lebihan dan visualisasi gaduh di panil-panil Hentai (atau di panil-panil Shonen Manga) terbaca oleh saya sebagai sebuah pesta dalam kefanaan, pengakuan bahwa tak ada yang serius, yang perlu dimurungkan, yang harus direnung-renungkan terlalu dalam. Hidup hanya sementara, maka berpestalah!

Dalam karya-karya semacam ini, Sabi dieksploitasi menjadi semacam orgy kefanaan. Sabi mengalahkan Wabi –tapi tetaplah eksploitasi ini lahir dari rahim pandangan dunia yang sama:

kefanaan yang tak melahirkan intelektualisasi ala Peradaban Kata, tapi hanya melahirkan keberjarakan pada dunia. Keberjarakan yang memungkinkan permainan-permainan "gila", di samping

kebersyukuran yang tenang semacam taman Zen, yang seringkali tak terpahami oleh pandangan-pandangan dunia yang tumbuh di belahan bumi lain.

Fakta bahwa industri dan subkultur Manga lahir, tumbuh, dan meraksasa sesudah Perang Dunia II jelas berpengaruh terhadap cara pandang ini, di samping latar sejarahnya yang lebih panjang lagi itu. Sejarah senirupa Jepang dan sejarah Manga antik sejak Toba-e di kuil Nara, memang menyediakan bahan baku utama bagi kebesaran industri dan subkultur Manga di Jepang.

Sejarah yang merangkum tumbuhnya nilai-nilai, sikap, serta pandangan dunia yang lahir dan lekat pada (1) Situasi geografis yang serbakontras dan keadaan selalu hidup dengan bencana di Jepang, serta (2) hibridasi budaya, akibat kecenderungan Jepang mengadopsi secara sepenuh hati pengaruh-pengaruh luar sejak Tiongkok Kuno hingga Barat sejak Restorasi Meiji, dan (3)

kecenderungan Jepang pada "mentalitas Galapagos"19, atau pengucilan diri.

Tapi, sejarah khusus Manga modern yang lekat pada kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, dan pilihannya untuk mengadopsi penuh-penuh ekonomi-konsumsi model AS, melahirkan corak khusus subkultur manga, atau yang disebut Richie sebagai fashion & fad khas pabrik imaji Jepang.

18 Secara harfiah, berarti "penyimpangan (seksual)". Di luar Jepang, kata "hentai" adalah sebutan untuk komik, film animasi, dan video-video porno atau bermuatan seksual yang eksplisit. Di Jepang sendiri, karya-karya tersebut biasa disebut karya-karya untuk "Adult".

19 "Mentalitas Galapagos" adalah sebuah isu yang sempat hangat di media-media Jepang, dalam menyoroti kecenderungan warga dan negara Jepang untuk mengucilkan diri dari dunia. Bermula dari kritik terhadap teknologi handphone seperti yang dikembangkan oleh DoCoMo, yang dianggap bermental Galapagos (diambil dari nama pulau yang unik dan menarik perhatian Darwin, karena keterkucilan sekaligus hibridasi berbagai spesies di pulau itu, yang

(14)

Corak khusus itu mencakup motif-motif yang seringkali hadir dalam manga dan anime (animasi Jepang), juga game dan novel-novel pop mereka: (1) motif apokoliptik (bisa diduga, motif ini lahir dari

pengalaman bom atom di Hiroshima & Nagasaki, dan gempa-gempa besar serta tsunami di Jepang), (2) motif kawaii (bisa diduga ini terkait erat dengan semakin pentingnya perempuan sebagai kekuatan pasar ekonomi-konsumsi Jepang), (3) motif nostalgia, khususnya nostalgia pada periode Edo dan Jepang periode 1980-an, dan (4) tumbuhnya motif-motif Moe (sebuah kata yang sukar

diartikan, "Moe") yang terjalin erat dengan tumbuhnya subkultur Otaku.

Otaku sebagai Database Animal

Hiroki Azuma, filsuf Jepang kiwari yang mengaku secara terbuka sebagai seorang Otaku, menulis dalam karya seminalnya, Otaku, Japan's Database Animals:

I suppose that everyone has heard of "otaku." Simply put, it is a general term referring to those who indulge in forms of subculture strongly linked to anime, video games, computers, science fiction, special-effects, anime figurines, and so on. …(A)ny attempt to consider seriously the contemporary conditions of Japanese culture must include an investigation of otaku culture.20

Dalam analisisnya terhadap subkultur Otaku, Azuma berhasil menerapkan kerangka teori posmodernisme secara operasional. Istilah-istilah kunci yang biasanya hanya abstrak atau terlalu

spekulatif dari posmodernisme, seperti "hilangnya narasi besar" dan "simulakra", secara menarik tampak sangat cocok ketika dipakai untuk menerangkan hakikat dari subkultur ini. Sekaligus, telaahnya tentang para Otaku sebagai makhluk baru dari zaman Kapitalisme-Akhir ini menampakkan petunjuk tentang apa yang menjadi

konsekuensi pergeseran sosial-budaya-ekonomi di dunia saat ini.

Kita tahu, "posmodern" telah jadi sebuah kata yang lajak. Bahkan genit. Azuma, di sini, memperlakukan posmodern sebagai sebuah gambaran mengenai struktur sosial di dalam sebuah masyarakat yang telah tiba pada kondisi Kapitalisme Mutakhir (Late Capitalism). Atau, bisa juga dikatakan: "posmodern" di sini tak lebih dari sebuah modus konsumsi di dalam sebuah struktur sosial Late Capitalism, yang mengambil ekonomi-konsumsi model AS.

Dua sifat posmodern yang dianggap Azuma mencari sifat dari subkultur Otaku itu adalah: (1) merajalelanya simulakra, dalam

(15)

bentuk meluasnya pasar bagi karya-karya turunan (atau derivative works) di dalam subkultur Otaku.

I use the phrase "derivative works" as a general term for the largely eroticized rereading and reproduction of original manga, anime, and games sold in the form of fanzines, fan figures, and the like.

Di Jepang, lakon karya-karya turunan ini mewujud sangat kongkret, menjadi sebuah pasar berbentuk konvensi doujinshi (kurang lebih: fan fiction) yang masyhur dengan nama Comiket (Comic Market) yang dilaksanakan di Tokyo dua kali setahun, setiap Musim Panas dan Musim Dingin. Setiap dilaksanakan, Comiket mampu menyerap 500 ribu pengunjung dalam dua hari acara, dengan peserta 30 ribu "circle" atawa Studio/Komunitas. Di luar Comiket, ada banyak sekali konvensi, festival, pameran serupa di tingkat lokal di seluruh

Jepang.

Seperti dicatat Azuma, kaum Otaku21 melahap dengan rakus baik karya-karya asli mau pun karya-karya turunan itu. Bagi mereka, karya asli tak memberi intensitas keterlibatan emosional yang lebih tinggi daripada karya turunan. Yang tiruan, sama absahnya dengan yang asli. Bukan terutama karena penilaian (atau keterlibatan emosional khalayak) terhadap yang asli menurun, tapi lebih karena penilaian serta keterlibatan emosional terhadap yang tiruan/turunan meningkat.

…the high value otaku place on such products is extremely close to the future of the culture industry as envisioned by …Jean

Braudrillard. Braudrillard predicts that in postmodern society the distinction between original products and commodities and their copies weakens, while an interim form called the simulacrum, which is neither original nor copy, becomes dominant.

Untuk menekankan betapa jauhnya peningkatan nilai yang tiruan itu, Azuma mencatat bahwa belakangan, di Comiket, bahkan para produsen yang menghasilkan karya-karya "asli" seperti pencipta Sailor Moon atau perusahaan produsen Evangelion turut menjual karya-karya parodi dari produk-produk "asli" mereka. Obsesi terhadap keaslian menjadi tak relevan lagi.

Sifat posmodern subkultur Otaku, menurut Azuma, yang ke-(2) adalah: luruhnya Narasi Besar. Atau, dalam praktiknya di kalangan Otaku: pemaknaan keutamaan fiksi di atas pemaknaan lain.

Pengutamaan fiksi di atas modus pemaknaan lain tersebut menentukan pilihan-pilihan Otaku dalam hobi mereka, maupun dalam hubungan antarmanusia yang mereka jalankan. Dengan

(16)

mengutip ulasan Nakajima Azusa tentang kelahiran dan perilaku Otaku, Azuma mengungkap:

For the otaku, certainly the fictional is taken far more seriously than social reality.

Kaum Otaku mengidentifikasi diri tidak dengan melekatkan dirinya pada sebuah hubungan pribadi dengan orang lain, tapi lebih pada relasi mereka dengan benda-benda, dan wilayah-wilayah

kebendaan. Kenapa? Menurut Nakajima, "…because even after the paternal or national authority has been toppled, otaku must search for a group which they should belong."

Azuma buru-buru menekankan bahwa bukan berarti kaum Otaku tak punya kemampuan membedakan kenyataan dan fiksi (setidaknya, tak semua Otaku demikian).

Their preference for fiction over social reality not because they cannot distinguish between them but rather as a result of having considered which is the more effective for their human relations, the value standards of social reality or those of fiction. …And, to that extent, it is they who may be said to be socially engaged and

realistic in Japan today, by virtue of not choosing the "social reality". Otaku shut themselves into the hobby community not because they deny sociality but rather because, as social values and standards are already dysfunctional, they feel a pressing need to construct

alternative values and standards.

Lakon pencarian nilai-nilai dan standar alternatif tersebut terjadi karena kebutuhan manusia untuk mencari makna tak bisa

dibungkam begitu saja dengan luruhnya Narasi-narasi Besar.

"Makna" atau "pemaknaan", adalah sebuah upaya menjelaskan diri dan dunia dalam relasi dengan sebuah Narasi Besar, sebuah

Pandangan Dunia. Dalam situasi tak ada lagi Narasi Besar yang bisa diyakini, bagaimana kita bisa tetap meraih kebermaknaan? Dengan mencipta Narasi Besar baru? Atau mengisi lubang hitam ketiadaan Narasi Besar itu dengan sesuatu yang lain?

Di sinilah, Fiksi dalam pengertian yang telah disebut-sebut tadi, difungsikan sebagai sesuatu seolah-olah Narasi Besar. Dan, sekaligus, produk-produk yang dikonsumsi kaum Otaku itu

difungsikan sebagai narasi-narasi kecil, yang difungsikan sebagai keping-keping yang akan membentuk Narasi Besar pengganti itu.

(17)

Kita, para warga masyarakat ekonomi-konsumtif yang (mau tak mau, saat ini) mengambil model AS sebagaimana Jepang sejak zaman Showa, mencoba membangun kebermaknaan dari Narasi-narasi kecil itu: benda-benda yang kita pulung atau kita beli dari samudera benda yang kadang mewujud dalam mal, pasar, atau online market macam Amazon atau e-Bay.

Namun, dalam model ini, Fiksi pengganti Narasi Besar itu kewalahan untuk menepis penempatannya sebagai bukan pengganti, tapi sebuah Tiruan (dari Narasi Besar). Generasi lanjutan dari Otaku22, yang hidup dalam situasi pasar dan kapitalisme mutakhir yang lebih rumit dari masa 1980-an, tumbuh dengan lakon baru: ketiadaan kebutuhan akan pemaknaan.

Azuma menyebut generasi baru, atau model baru konsumen, Otaku ini sebagai "animal" –sebuah penyebutan bukan untuk menghina, tapi berdasarkan sebuah analisis dari filsuf Rusia, Alexandre Kojeve, yang memerikan proses perubahan sistem ekonomi pasca-Perang Dunia II di AS sebagai proses animalization: perilaku konsumsi yang menggerus kebermaknaan yang menjadi hasrat manusia

sebagaimana yang didefinisikan oleh Renaissance.

Azuma memandang bahwa pandangan Kojeve terhadap AS itu terlalu sederhana, dan berdasarkan prasangka-prasangka setengah matang. Tapi, ia melihat bahwa asumsi dasar Kojeve itu mampu menjelaskan perilaku Otaku generasi mutakhir.

Sebagaimana dikutip Azuma, Kojéve membedakan "manusia" dan "hewan" dari pembedaan antara "hasrat" (desire) dan "kebutuhan" (need): Manusia punya hasrat, dan hewan hanya punya kebutuhan.

Different from need, desire does not disappear when the object of desire is obtained and the lack is satisfied. For Kojéve and French thinkers influenced by him, a favorite example of this variety of craving is the male's sexual desire for the female. The male desire for the female does not end even when the male obtains a partner's body, but rather swells more and more…. This is because sexual desire is not a simple thing satisfied with a sense of physiological climax; rather it has a complex structure, wherein the desire of the other is itself desired. …Humans differ from animals in their self-consciousness; the reason they can build social relations is because they have intersubjective desire. Animal needs can be satisfied without the other, but for human desires the other is essentially necessary.

Namun, berbeda dengan Kojéve, Azuma tak memberi pemaknaan negatif proses animalisasi yang terjadi pada generasi baru Otaku

(18)

itu. Bagi Azuma, menjadi "hewan" dalam pengertian Kojéve itu tak lebih dari sebuah konsekuensi logis ketika para konsumen yang telah kehilangan Narasi Besar, menjalani "takdir" mereka tanpa kepura-puraaan lagi, tanpa keseolah-olahan bahwa kita bisa mengisi kekosongan Narasi Besar itu dengan Narasi Pengganti atau Tiruan.

Di sumur tanpa dasar kekosongan Narasi Besar, kini hadir sesuatu yang lebih realistik (setidaknya, jika kita mengikuti analisis Azuma): sebuah database yang terus meluas dan merumit tentang unsur-unsur konsumsi yang dipilih sebuah kelompok konsumen.

Kebutuhan-kebutuhan akan makna kini diisi oleh tindakan-tindakan mengolah, membongkar-pasang, data-data. Sisa keseolah-olahan itu tinggal pada ranah emosi: kebutuhan psikologis untuk merasa

senang, sedih, dan semacamnya, bisa dipenuhi secara artifisial lewat pemilihan dan pemunculan jalinan data-data tertentu.

Contoh yang diberikan Azuma adalah bagaimana penggunaan unsur-unsur Moe dalam game, anime, atau manga. "Moe" kurang lebih adalah sebuah relasi artifisial dalam konsumsi subkultur Otaku terhadap sebuah atau sekumpulan tanda-tanda visual dalam

produk-produk yang mereka nikmati. Misalnya, telinga kucing

memunculkan Moe rasa sayang terhadap yang imut. Atau pose-pose dan percakapan tertentu akan menerbitkan Moe seolah-olah rasa haru atau sedih.

Dengan kata lain, Moe adalah sebuah proses decoding yang terjadi saat seseorang mengonsumsi sekumpulan tanda dalam teks budaya popular yang mereka nikmati, sebagai pengganti kebermaknaan yang tak mungkin lagi ada karena disfungsi menyeluruh Narasi Besar maupun penggantinya. (Tentu saja, kata "Moe", sejauh ini, adalah sebuah kata eksklusif yang digunakan bagi konsumsi budaya Pop Jepang, khususnya dalam subkultur Otaku.)

Sekali lagi, saya ajak Anda untuk meluaskan lakon ini ke wilayah budaya Pop selain J-Pop: apakah Anda telah terbiasa memunculkan emosi-emosi artifisial saat menikmati lagu-lagu tertentu, misalnya, dan menemukan kode-kode kapan kita harus "sedih", kapan kita harus "bahagia", kapan kita harus merasa sedang "memberontak"?

(19)

Tiga Pertanyaan

Baiklah, jika memang dalam dunia yang semakin visual kini ternyata ciri-ciri Otaku sebagai lakon ekonomi-konsumsi mutakhir merambah dan jadi masa depan kemanusiaan kita, ada tiga pertanyaan yang segera membersit di kepala saya.

Maka, Di Manakah Kesadaran Kritis?

Penerimaan Azuma yang sangat positif terhadap animalisasi dalam konsumsi budaya pop Jepang di kalangan Otaku itu cukup

mengganggu saya. Bahwa penerimaan itu realistik, adalah satu hal. Tapi, yang segera terasa bagi saya adalah betapa proses animalisasi itu maupun penerimaan padanya menyisakan sebuah blind spot yang tipikal: di manakah kesadaran kritis yang selalu muncul saat kita memperhitungkan keadaan struktural kelas-kelas sosial dalam masyarakat modern, late-modern, atau apa lah namanya?

Kesadaran kritis, atau kebutuhan akan kesadaran kritis itu, mau tak mau harus diperhitungkan begitu kita ngeh bahwa masalah

kesenjangan kelas akibat ketakadilan sistemik dalam masyarakat modern (dan ketika masyarakat ini kini mengglobal, maka

ketakadilan itu pun semakin bersifat global) tak pernah benar-benar tuntas diselesaikan. Kesenjangan kelas adalah keadaan struktural yang akan selalu menghantui model ekonomi-konsumsi secanggih apa pun.

Apakah Gempa Tohoku Memberi Pelajaran Baru Tentang Realitas?

Setelah gempa Tohoku terjadi pada 11 Maret 2011, berkekuatan 9 Skala Richter disusul tsunami dan krisis nuklir Fukushima yang berlarut-larut, sebuah krisis terburuk Jepang sejak Perang Dunia II, lampu-lampu dan lautan signage digital di Tokyo padam untuk sekian lama. Sempat hilang lautan neon sebagaimana tampak memikat dan ajaib di dalam Lost in Translation, sebuah film yang memandang Jepang dalam ketakjuban dan rasa tersesat. Suasana muram dan lebih gelap itu membuat saya bertanya-tanya: telah tibakah akhir dari ekonomi sureal di megapolitan Tokyo? Inikah sebuah kenyataan baru? Inikah sebuah pelajaran baru tentang kenyataan? Sebab, kelompok database animal sebagaimana diungkap secara antusias oleh Azuma, seakan ia sebuah masa depan budaya manusia, saya lihat tak punya kemampuan untuk menerima kenyataan Jepang seusai bencana agung itu: para Otaku itu tak terlihat aktif dalam protes antinuklir terbesar dalam

(20)

besar krisis Jepang tersebut? Bencana macam Gempa Tohoku lebih besar, ternyata, dari database raksasa mereka.

Dunia Pandang Sebagai De Facto: Munculnya Tolok Ukur Baru "Ketertinggalan"?

Di sisi lain, ulasan tentang Otaku dan globalisasi subkultur Manga juga menampakkan sebuah kenyataan ini: dominasi Dunia Pandang dalam dunia masa kini adalah de facto, kenyataan yang tak bisa ditampik. Dunia telah semakin visual: kita sedang kembali ke situasi sebelum Peradaban Kata, dalam versi yang canggih. Narasi Besar memang telah runtuh, dan pertempuran permaknaan semakin terasa rumit di ranah narasi-narasi kecil yang jadi samudera penuh gejolak di dalam hidup keseharian kita. Maka, tampaklah

kesenjangan-kesenjangan baru. Misalnya, kesenjangan yang muncul akibat pergeseran dari ekonomi model industri klasik yang muncul di masa Revolusi Industri abad 19 hingga pertengahan abad ke-20, menuju ekonomi berbasis pengetahuan yang disangga oleh teknologi informasi. Dalam situasi ini, budaya dan peradaban visual menjadi sesuatu yang esensial: ideologi lawas tak lagi bermakna di hadapan televisi dan Youtube; kebermaknaan tak bisa lagi

mengandalkan pada moralitas linear ala Jagat Gutenberg.

Ketakmampuan beradaptasi dalam situasi ini menghasilkan posisi-posisi wagu dan kontraproduktif. Contoh paling nyata adalah respon-respon banyak kelompok Islam terhadap Dunia Rupa di Indonesia: isu-isu seperti pembongkaran patung Tiga Mojang di Bekasi atau patung Budha di Tanjung Balai; penghakiman moral berlebihan terhadap kasus video Ariel; penolakan menghormati bendera; kegigihan Tiffatul Sembiring untuk memandang internet dari

potensinya menjadi media pornografi; pengutukan dan kemarahan terhadap kasus kartun Nabi di Eropa; dan banyak lagi. Seakan-akan, sebagian umat Islam Indonesia (dan dunia) sedang melakukan "perjuangan melawan rupa". Tapi, "perjuangan" macam ini patut dikritisi dengan kuat: apakah itu tak akan membawa umat Islam, yang dalam doktrinnya memang cenderung menampik budaya visual, akan semakin tertinggal dalam Dunia Pandang yang semakin dominan kini? Tidakkah terhadap soal ini, umat Islam perlu

melakukan sebuah reposisi?

Referensi

Dokumen terkait

Secara teoritis, penelitian ini memberikan kontribusi dalam ilmu h}adi>s\ yaitu dengan memperkaya metode dan pendekatan dalam memahami ḥadīṡ khususnya yang berkaitan

bahwa untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat ata pelayanan perizinan dan non perizinan yang dilaksanakan oleh Dinas Penanaman Modal dan

Berdasarkan tahapan proses penyusunan peraturan daerah yang terdapat dalam Undang-Undang No 10 tahun dan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bandung

Regina Endang Wijiati Semarang, √ SLTA √ Kantor Jateng Kendal Weleri Anggota

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, peneliti berpendapat bahwa pembelajar bahasa Jepang perlu memahami tentang enkyoku hyougen

Hasil analisis diagram stiff menunjukkan bahwa keseluruhan sampel airtanah memiliki tipe fasies hidrokimia airtanah di Pulau Koral Panggang adalah MgCl

Jumlah 5 suku pertama dari suatu deret geometri adalah 93 dan rasio deret itu 2... Sebuah garis l 1 mempunyai kemiringan -2 dan melalui

1) McNichols dan Dravid (1994) menyatakan bahwa pemecaha n saham merupakan upaya manajemen untuk menata kembali harga saham pada rentang harga tertentu, diharapkan semakin banyak