• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Persepsi Guru Berdasarkan Jenj

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perbedaan Persepsi Guru Berdasarkan Jenj"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Perbedaan Persepsi Guru Berdasarkan Jenjang Dan Jenis Sekolah Terhadap Pelaksanaan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Di Kabupaten Jember

Asrorul Mais, ST., S.Pd., M.Pd. 1 Lailil Aflahkul Yaum, S.Pd., M.Pd.2

Prodi. Pendidikan Luar Biasa (PLB), FIP, IKIP PGRI Jember

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi guru berdasarkan jenjang dan jenis sekolahdan pengaruh perbedaan jenis serta jenjang sekolah terhadap persepsi guru tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode non eksperimental. Statistik yang digunakan adalah statistik inferensial uji mean satu populasi dan ANOVA dua faktor dua jalur. Data hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa persepsi guru baik berdasarkan jenjang maupun jenis sekolah (SDLB, SD Inklusi, SMPLB, dan SMP Inklusi) terhadap pendidikan inklusif memiliki skor yang sama 0≤ µ <20 yaitu pada kriteria sangat negatif. Data hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara persepsi guru pendidikan dasar baik berdasarkan jenjang maupun jenis sekolah terhadap pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa persepsi guru pendidikan dasar berdasarkan jenjang dan jenis sekolah berada pada kriteria yang sama yaitu sangat negatif. Jenjang sekolah dan jenis sekolah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap persepsi guru tentang penyelenggraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember.

Kata Kunci: persepsi, guru, jenjang sekolah, jenis sekolah, pendidikan inklusif

1

Staf Pengajar Prodi. PLB, FIP, IKIP PGRI Jember

2

(5)

Pendahuluan

Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk mewujudkan pendidikan yang menghargai keberagaman dan tidak diskriminatif adalah dengan meratifikasi kesepakatan Salamanca 1994 tentang pendidikan inklusif sejak tahun 1997. Melalui pendidikan inklusif diharapkan semua anak berkebutuhan khusus yang tersebar di seluruh kecamatan dan desa terutama dengan kondisi ekonomi orang tuanya menengah ke bawah dapat menjangkau pendidikan dalam rangka menuntaskan Program Wajib Belajar 9 Tahun.

Meskipun penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut telah memiliki legalitas dan mendapat dukungan sepenuhnya dari pemerintah khususnya Pemerintah Propinsi Jawa Timur dengan telah dikeluarkannya Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Provinsi Jawa Timur, namun masih terdapat keragaman pesrsepsi yang menunjukkan pandangan negatif terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Adanya beragam persepsi negatif yang muncul di kalangan guru baik guru umum, guru inklusif, guru SLB, guru kelas, maupun guru mata pelajaran dapat berpengaruh negatif pula pada sikap dan tingkah laku terutama dalam menjalankan profesinya sebagai guru. Menurut Sobur (2010:447), dari sudut pandang psikologi dikatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan fungsi dari cara orang tersebut memandang, oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang, harus dimulai dari mengubah persepsinya.

Keberagaman persepsi guru dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif dapat membawa dampak bagi pelayanan pendidikan terhadap ABK. Guru-guru di sekolah inklusif sering dihadapkan pada kebingungan dalam melaksanakan program pembelejaran individu dan penanganan anak berkebutuhan khusus yang beragam di kelas inklusif, hal ini senada dengan pendapat Whiting & Young, 1995 dalam Subban, et al (2006:43) yang menyatakan bahwa “Teachers view the inclusion of students with disabilities into mainstream settings as difficult and stressful”. Bahkan karena alasan-alasan tersebut, tidak jarang pula sekolah inklusif mengadakan seleksi bagi siswa berkebutuhan khusus terbatas hanya pada siswa yang mengalami kelainan ringan saja yang bisa diterima di sekolah inklusif tersebut.

Guru sebagai agen pembaharuan pandangan yang salah satunya meliputi pandangan tentang melihat manusia dalam suatu seting pendidikan yang menghargai perbedaan dan keanekaragaman, dan tidak diskriminatif khususnya kepada peserta didik yang memiliki kalainan fisik, sensorik, motorik, emosional, mental, sosial dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Webber (1994) dalam Smith (2012:53) menyatakan bahwa semua pendidik harus punya ‘rasa memiliki’ pada semua siswa termasuk yang menyandang hambatan. Untuk itu diperlukan pemahaman makna filosofi yang terkandung dalam pelaksanaan pendidikan inklusif bagi guru agar menghasilkan suatu persepsi yang positif dalam pengimplementasiannya serta menghasilkan hubungan yang sinergis dan dinamis antara guru, peserta didik, dan pembelajaran.

Persepsi guru terhadap pelaksanaan program inklusif di Kabupaten Jember merupakan hal yang menarik untuk diteliti mengingat pelaksanan program inklusif di Kabupaten Jember sudah dilaksanakan sejak tahun 2007 untuk jenjang sekolah dasar dan tahun 2005 untuk jenjang sekolah menengah pertama dan menurut data dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur tahun 2010, jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif se-Kabupaten Jember sebanyak 64 Sekolah Dasar (SD) Inklusif dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Inklusif. Jumlah ini menempati urutan kedua Kabupaten/Kota penyelenggara pendidikan inklusif se-Provinsi Jawa Timur setelah Kota Surabaya.

(6)

Apakah perbedaan jenis sekolah berpengaruh terhadap persepsi guru tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember? 6) Apakah perbedaan jenjang sekolah berpengaruh terhadap persepsi guru tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember?.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui perbedaan persepsi antara guru yang bekerja di sekolah inklusif dan luar biasa pada jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama terhadap pelaksanaan program inklusif di Kabupaten Jember.

Kajian Literatur Persepsi

Dalam konteks sosial, Baron (2003:38) mendefinisikan persepsi adalah suatu rangkaian proses yang digunakan untuk mencoba memahami orang lain. Sedangkan dalam konteks interpersonal, Thalib (2010:174) mendefinisikan persepsi adalah situasi interaksi yang menyangkut interdependensi dua orang atau lebih yang terjadi karena adanya kesamaan sinyal berdasar pengalaman bersama sehinggga dalam mempersepsi, individu akan menyadari keadaan di sekitarnya dan keadaan diri sendiri.

Menurut Sobur (2010:447), terdapat tiga komponen utama dalam proses persepsi yaitu sebagai beikut: a). Seleksi adalah proses penyaringan oleh indra terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau sedikit b) Interpretasi, yaitu proses mengorganisasikan informasi sehingga mempunyai arti bagi seseorang. Interpretasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman masa lalu, sistem nilai yang dianut, motivasi, kepribadian, dan kecerdasan. Interpretasi juga bergantung pada kemampuan seseorang untuk mengadakan pengategorian informasi yang diterimanya, yaitu proses mereduksi informasi yang kompleks menjadi sederhana.c). Interpretasi dan persepsi kemudian diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi (Depdikbud, 1985, dalam Soelaeman, 1987).

Thalib (2010:182) menyatakan bahwa dalam persepsi interpersonal terdapat dua faktor yang mempengaruhi yaitu: (1) faktor intern yang terdiri dari kondisi fisik (rasa lelah, sakit, mengantuk), kondisi sosial psikologis (motif, minat, pengalaman, kemampuan, sosiabilitas, sikap yang berhubungan dengan norma-norma sosial, serta ciri-ciri pribadi lainnya), dan (2) faktor ekstern seperti penampilan atau daya

tarik fisik, kedekatan, kemiripan, situasi sosial, hasil kebudayaan, dan stimulus luar lainnya.

Guru

Menurut Bernadib dalam Suwardi (2007:15), pendidik diartikan setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Pendidik diartikan seorang yang memberi atau melaksanakan tugas mendidik dengan sadar bertanggung jawab dalam dalam membimbing anak untuk mencapai kedewasaan. (Achmadi dalam Suwardi, 2007:16).

Mulyasa (2011:36) menyatakan bahwa guru harus berpacu dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Hasil kajian dari Puliias dan Young (1998), Manan (1990), serta Yelon dan Weinstein (1997) dalam Mulyasa (2011:37) dapat diidentifikasikan 19 peran guru yaitu sebagai berikut: 1) guru sebagai pendidik, 2) guru sebagai pengajar, 3) guru sebagai pembimbing, 4) guru sebagai pelatih, 5) guru sebagai penasihat, 6) guru sebagai pembahari (inovator), 7) guru sebagai model dan teladan, 8) guru sebagai pribadi, 9) guru sebagai peneliti 10) guru sebagai pendorong kreativitas, 11) guru sebagai pembangkit pandangan, 12) guru sebagai pekerja rutin, 13) guru sebagai “pemindah kemah”, 14) guru sebagai pembawa cerita, 15) guru sebagai aktor, 16) guru sebagai emansipator, 17) guru sebagai evaluator, 18) guru sebagai pengawet, dan 19) guru sebagai kulminator. Saondi dan Suherman (2010:57) menyatakan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru yaitu: a). kompetensi pedagogik, b). kompetensi kepribadian, c). kompetensi profesional, dan d). kompetensi sosial.

Pendidikan Inklusif

Sailor dan Skrtic dalam Loreman, dkk. (2011:3) menyatkan bahwa ada beberapa elemen yang merupakan definisi terbaru dari inklusif yaitu: 1) inclusion of all children with diverse abilities in schools they would attend if they had no disability 2) representation of children with diverse abilities in schools and classrooms in natural proportion to their incidence in the district at large 3) zero rejection and heterogeneous grouping 4) age- and grade appropiate placements of children with diverse abilities 5) site-based coordination and mangement of instruction and resource 5)

(7)

Budiyanto, dkk. (2009:10) menyatakan bahwa terdapat lima prinsip penyelenggaraan pendidikan inklusif yaitu sebagai berikut: 1) Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu. 2) Prinsip kebutuhan individual 3) Prinsip kebermaknaan 4) Prinsip keberlanjutan 5) Prinsip keterlibatan

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Tahun 2007 menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif memiliki komponen-komponen sebagai berikut: 1) Peserta Didik 2) Kurikulum 3) Tenaga Pendidik 4) Kegiatan Pembelajaran 5) Penilaian dan Sertifikasi 6) Sarana dan Prasarana Pendidikan 7) Manajemen Sekolah 8) Pemberdayaan Masyarakat

Sebagai inovasi baru dalam bidang pendidikan, pendidikan inklusif masih diterima oleh masyarakat dengan beragam persepsi, pro dan kontra terjadi dengan alasan masing-masing. (Direktorat PSLB, 2007) Adapun alasan pro pendidikan inklusif antara lain: 1) Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus. 2) Biaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular. 3) Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau. 4) SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari

kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak dengan kehidupan nyata. 5) Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai. 6) Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB. 7) Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya perbedaan. Sedangkan alasan kontra pendidikan inklusif antara lain: 1) Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus. 2) Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. 3) Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler. 4) Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas. 5) Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.

Metode

Jenis dan Rancangan Penelitian

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode non eksperimental. Statistik yang digunakan adalah statistik inferensial uji mean satu populasi dan ANOVA dua faktor dua jalur. Adapun rancangan yang digunakan pada penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 1. Rancangan Penelitian Jenis Sekolah (x)

Jenjang Sekolah (y)

Sekolah Luar Biasa (x1)

Sekolah Inklusif (x2)

Sekolah Dasar (y1)

Sekolah Menengah Pertama (y2)

Sumber: Fraenkel (2012:256)

Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah persepsi guru pendidikan dasar terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember dilihat dari delapan komponen dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif menurut Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Tahun 2007. sedangkan variabel bebas Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah 1) jenis sekolah (x) yang terbagi atas Sekolah Luar Biasa (x1) dan Sekolah Inklusif

(x2), dan 2) jenjang sekolah (y) yang terbagi atas

Seolah Dasar (y1) dan Sekolah Menengah

Pertama (y2).

Populasi dan Sampel

(8)

adalah Disproportionate Startified Random Sampling. Terdapat 60 responden dengan sebaran 15 responden dari SDLB, 15 responden dari SD Inklusif, 15 responden dari SMPLB dan 15 responden dari SMP Inklusif.

Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan angket tertutup. Angket dibuat dalam bentuk instrumen berupa kuesioner yang terdiri dari beberapa bagian, yaitu: 1) Kuesioner bagian A berbentuk daftar pertanyaan dengan beberapa pilihan jawaban, dususun sebagai data penunjang untuk mengetahui lebih mendalam tentang karakteristik guru atau responden 2) Kuesioner bagian B berupa skla sikap untuk mengukur persepsi guru terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Instrumen disusun dalam bentuk skala sikap dari Likert dengan empat pilihan jawaban yaitu: 1) Sangat

Setuju, 2) Setuju, 3) Tidak Setuju, dan 4) Sangat Tidak Setuju. Ke-empat pilihan jawaban tersebut dibuat agar responden menunjukkan ketegasan sikapnya dalam menjawab setiap item pernyataan berdasarkan kondisi yang sebenarnya dengan membuang pilihan ragu-ragu/Netral.

Hasil

Dalam penelitian ini terdapat masing-masing 15 sampel untuk 4 kelompok guru. Dilakukan perhitungan untuk setiap kelompok guru dari skor total ke-15 sampel pada interval 0 s.d. 100

yang meliputi nilai rata-rata sampel (

x

), varian sampel (s2), dan simpangan baku sampel (s). Adapun hasil perhitungan dari keempat kelompok guru secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Perhitungan Nilai Mean, Varian dan Simpangan Baku Sampel untuk Masing-Masing Kelompok Guru

No. Kelompok Guru (

x

) (s2) (s)

1 SDLB 12,14 19,22 4,38

2 SD Inklusif 10,83 14,03 3,75

3 SMPLB 13,37 14,47 3,80

4 SMP Inklusif 12,14 15,88 3,99

Hasil yang tertera pada Tabel 2 tersebut masih merupakan hasil dari sampel dan masih berlaku pula pada sampel. Agar hasil dari perhitungan pada tabel tersebut dapat berlaku pada populasi, maka dilakukan uji mean satu populasi untuk

setiap kelompok dari empat kelompok guru yang ada. Adapun hasil pengujian untuk setiap kelompok guru dapat dilihat pada Tabel 3,4 dan 5 berikut:

Tabel 3. Hasil Perhitungan Uji Mean Satu Populasi Persepsi Guru Berdasarkan Jenis Dan Jenjang Sekolah

No. Kelompok Guru Rentang Skor Kriteria Persepsi

1 SDLB 0 ≤ µ < 20 Sangat Negatif

2 SD Inklusif 0 ≤ µ < 20 Sangat Negatif

3 SMPLB 0 ≤ µ < 20 Sangat Negatif

4 SMP Inklusif 0 ≤ µ < 20 Sangat Negatif

Tabel 4. Tabel Perbandingan Skor Persepsi Guru Terhadap Penyelenggraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Jember Berdasarkan Sub Variabel

Jenis Sekolah (x) Jenjang Sekolah (y)

SDLB SD Inklusi SMPLB SMP Inklusi

Skor Skor Skor Skor

No Sub Variabel

0-100 0-100 0-100 0-100

1 Peserta Didik 8.89 10.28 15.56 13.06

2 Kurikulum 9.63 6.30 10.00 8.52

3 Tenaga Pendidik 11.11 12.59 11.48 8.89

4 Kegiatan Pembelajaran 18.33 14.44 18.33 18.33

5 Penilaian & Sertifikasi 14.07 11.48 13.33 11.85

(9)

7 Manajamen Sekolah 6.25 1.81 6.67 6.53

8 Pemberdayaan Masyarakat 14.44 15.93 11.85 12.22

Tabel 5. Hasil Perhitungan ANOVA Dependent Variable:Skor

Source Type III Sum of

Squares Df Mean Square F Sig.

Corrected Model 136.600a 3 45.533 1.015 .393

Intercept 349912.067 1 349912.067 7796.449 .000

JENJANG_SEKOLAH 68.267 1 68.267 1.521 .223

JENIS_SEKOLAH 68.267 1 68.267 1.521 .223

JENJANG_SEKOLAH * JENIS_SEKOLAH

.067 1 .067 .001 .969

Error 2513.333 56 44.881

Total 352562.000 60

Corrected Total 2649.933 59

a. R Squared = .052 (Adjusted R Squared = .001)

Dari hasil interpretasi tabel tersebut, dapat diketahui bahwa: 1) Persepsi guru pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember berada pada tingkat yang sama yaitu pada katagori sangat negatif. 2) Persepsi guru pada jenis Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Inklusif terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember berada pada tingkat yang sama yaitu pada katagori sangat negatif. 3) Tidak ada interaksi antara persepsi guru SDLB, SD Inklusif, SMPLB, dan SMP Inklusif terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember

Pembahasan

Persepsi Guru SDLB terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Jember

Sunardi dalam Marentek (2007:126) mendefinisikan inklusif atau mainstreaming

sebagai integrasi sosial, instruksional, dan temporal anak berkebutuhan khusus dengan teman-teman reguler lainnya berdasarkan pada kebutuhan pendidikan yang diukur secara individual, serta memerlukan klasifikasi dan tanggung jawab koordinasi dalam penyusunan program oleh tim dari berbagai profesi dan disiplin ilmu. Hal inilah yang menyebabkan adanya persepsi sangat negatif guru SDLB terhadap penyelenggraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember. Sekolah inklusif yang ada dianggap masih belum memiliki sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola

pendidikan inklusif dengan optimal baik dari segi manajemen maupun kurikulum.

Guru SDLB yang mayoritas memiliki latar belakang pendidikan luar biasa seharusnya lebih mampu memahami peserta didik mereka yang mengalami hambatan, hal ini sesuai dengan pendapat Marsidi (2007:59) yang menyatakan bahwa guru PLB adalah figur seorang pemimpin dan sosok arsitektur yang diharapkan dapat membentuk jiwa dan watak anak berkebutuhan khusus untuk membangun dirinya, bangsa dan negaranya.

(10)

Persepsi Guru SD Inklusif terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Jember

Marentek (2007:128) menyatakan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran inklusif memerlukan perubahan atas sistem yang ada. Pendidikan inklusif menghendaki adanya lingkungan sekolah yang lebih fleksibel, menerima dan mempertimangkan keanekaragaman anak dengan mengindividualisasikan berbagai program pengajaran. Hal ini dirasakan cukup berat oleh guru SD inklusif yang sebagian besar adalah guru reguler. Dengan kulaifikasi pendidikan mereka yang pada umumnya adalah bukan guru pendidikan luar biasa, hal ini berdampak pada kurang memilikinya perasaan mampu dalam menangani tantangan yang ada, dan perasaan inilah yang dapat mempengaruhi mereka dalam mempersepsi penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Guru SD Inklusif di Kabupaten Jember memiliki persepsi sangat negatif terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif, salah satu faktor pembentuk persepsi negatif tersebut adalah persepsi negatif terhadap siswa berkebutuhan khusus yang bersekolah di SD Inklusif. Persepsi negatif tersebut timbul karena adanya kesan negatif terhadap penampilan fisik ABK yang cenderung tidak menarik perhatian ditambah lagi dengan sifat dan karakteristiknya yang terkadang tampak tidak wajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Thalib (2010:177) yang menyatakan bahwa ada dua faktor penting yang mempengaruhi persepsi interpersonal yaitu faktor fisik serta psikologis dan latar belakang kepribadian yang ada di balik penampilan fisik seseorang.

Marentek (2007:127) menyatakan bahwa guru merupakan bagian dari proses pelaksanaan pendidikan inklusif yang memerlukan modifikasi pembelajaran anatara lain pembelajaran yang lebih individual, kerja sama anatar berbagai profesi, perubahan kondisi fisik sekolah, lingkunag sekolah yang lebih fleksibel dan media pembelajaran khusus. Proses inilah yang dirasakan sulit dan semakin menambah beban pekerjaan mereka, serta mereka pada umumnya tidak memiliki cukup pengetahuan dan wawasan dalam menghadapi siswa berkebutuhan khusus. Sejalan dengan hal ini, Smith (2012:426) menyatakan bahwa guru kelas, terutama yang mendapatkan pelatihan atau pengelaman sedikit dalam menangani siswa berkebutuhan khusus seringkali resisten terhadap ide mengenai keberadaan siswa

berkebutuhan khusus di kelas mereka, selain itu, mereka juga mempertanyakan tentang keuntungan pendidikan inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus, hal ini bertentangan dengan pendapat Arum (138: 2005) yang meyatakan bahwa guru reguler dan guru PLB harus memiliki dasar kemampuan yang sama untuk memberikan layanan pendidikan bagi siswa pada umumnya maupun siswa yang membutuhkan layanan khusus.

Persepsi Guru SMPLB terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Jember

Pendidikan inlusif berarti melakukan perubahan sistem baik manajemen maupun kurikulum yang ramah bagi anak berkebutuhan khusus. Namun banyak guru yang menolak kehadiran siswa berkebutuhan khusus di sekolah reguler (Jamieson dalam Arum, 2005:115). Fakta tentang banyaknya guru yang resisten terhadap anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah reguler inilah yang merupakan salah satu penyebab adanya persepsi negatif guru SMPLB terhadap penyelenggraan pendidikan inklusif.

Guru SMPLB masih memiliki anggapan bahwa diperlukan persiapan yang matang bagi anak berkebutuan khusus untuk dapat bersekolah di sekolah inklusif, sehingga tidak semua anak berkebutuhan khusus dapat melanjutkan di sekolah inklusif pada jenjang yang lebih tinggi. Hal ini senada dengan pendapat Marentek (2007:128) menyatakan bahwa anak luar biasa yang akan diinklusikan perlu dipersiapkan agar mereka dapat beradaptasi dan dapat diterima oleh guru dan teman sebaya mereka di sekolah inklusif.

(11)

Persepsi Guru SMP Inklusif terhadap Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Jember

Marentek (2007:141) menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang menerima semua siswa berkebutuhan khusus di kelas reguler di sekolah yang berlokasi di daerah mereka dan mendapatkan berbagai pelayanan pendukung dan pendidikan berdasarkan kebutuhan mereka. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang mudah, dibutuhkan kemampuan khusus dalam mengelola sekolah yang bersifat inklusif tersebut. Pengelolaan yang baik dalam segi manajemen sekolah, kurikulum dan ketersediaan tenaga pendidik inilah yang menjadi faktor yang lebih dominan bagi para guru SMP inklusif dalam mempersepsi penyelenggraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember. Ke-tiga faktor tersebut sangat erat kaitannya dengan predikat yang disandang oleh siswa berkebutuhan khusus yang tentunya membutuhkan pelayanan dan penanganan yang bersifat khusus pula.

Adanya persepsi yang sangat negatif guru terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi dapat disebabkan oleh kesalahan guru dalam mempersepsi siswa berkebutuhan khusus. Thalib (2010:179) menyatakan bahwa terdapat dua masalah yang sering dihubungkan dengan kesalahan persepsi interpersonal yaitu stereotip dan dampak gema. Contoh pandangan stereotip seorang guru terhadap anak berkebutuhan khusus yang dipandang memiliki ciri-ciri pada umumnya antara lain memiliki kemampuan di bawah rata-rata, bergantung pada orang lain, lamban dalam beraktifitas dan memiliki perasaan rendah diri. Tentunya tidak semua anak berkebutuhan khusus memiliki ciri-ciri tersebut. Sedangkan contoh dampak gema adalah anggapan bahwa seorang siswa berkebutuhan khusus yang menagalami kesulitan belajar dalam bidang berhitung belum tentu dia mengalami kesulitan belajar juga dalam bidang lainnya, bahkan mungkin saja dia memiliki kelebihan dalam bidang-bidang yang lain. Jadi tidak dapat disimpulkan bahwa adanya kelambanan dalam satu hal pasti memiliki kelambanan juga dalam hal-hal yang lain.

Saroni (2011:71) menyatakan bahwa pengabdian merupakan bentuk loyalitas dan dedikasi seorang guru terhadap profesinya, untuk itu guru dengan hati lapang dapat menerima anak didik dalam keadaan apaun untuk belajar bersamanya. Adanya persepsi yang sangat negatif terhadap prinsip inklusif,

tidak objektif dan diskriminatif tentunya dapat merusak nilai-nilai pengabdian seorang guru. Hal ini senada dengan pendapat Arifin (2011:160) yang menyatakan bahwa mental inklusif harus ditagaksuburkan pada diri seorang pendidik selama proses interaksi dengan siswa, sesama guru, karyawan sekolah, orang tua/wali murid dan masyarakat lainnya.

Pengaruh Perbedaan Jenis Sekolah terhadap Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Jember

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenis sekolah tempat guru mengajar tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap persepsi guru tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif. Proses pertama dari persepsi adalah menerima rangsangan dari luar untuk kemudian diseleksi. Sobur (2003:452) menyatakan bahwa ada dua faktor yang menentukan seleksi rangsangan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dalam hal ini, faktor internal guru yang meliputi kebutuhan psikologis, pengalaman, kepribadian, sikap serta kepercayaan umum dan penerimaan diri lebih dominan dari pada faktor eksternal yaitu intensitas, ukuran, kotras, gerakan, ulangan, keakraban, dan sesuatu yang baru.

Guru PLB yang secara khusus dibekali dengan wawasan keilmuan dan pengetahuan di bidang anak berkebutuhan khusus dibandingkan dengan guru umum seharusnya lebih memiliki persepsi positif dari pada guru umum terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dengan adanya persepsi positif itulah guru PLB seharusnya memiliki keinginan agar suatu saat siswa-siswinya yang berkebutuhan khusus mampu bersekolah dan berinteraksi dengan teman sebayanya di sekolah inklusif.

Sedangkan guru umum yang meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan luar biasa harus tetap berpijak pada prinsip individualitas yaitu kesadaran bahwa setiap siswa memiliki perbedaan dalam mempelajari atau menyerap materi yang telah diberikan oleh guru. Usman (2010:30) menyatakan bahwa jarang sekali guru menjelaskan bahwa ketidak mampuan murid dalam belajar itu merupakan akibat kelemahan guru dalam mengajar. Sejalan dengan pendapat tersebut, Mulyasa (2011:26) menyatakan bahwa salah satu kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran adalah mengabaikan perbedaan individu peserta didik dan bersikap diskriminatif.

(12)

pemerintah atau lembaga terkait dan para akademisi terutama dalam hal teknis untuk menghadapi anak berkebutuhan khusus. Hal ini senada dengan penelitian Sarı, et al., (2009) yang menunjukkan bahwa kecendurang persepsi guru sangat erat kaitannya dengan perasaan mampu (self-efficacy) dalam menangani siswa berkebutuhan khusus di sekolah mereka.

Fakta dan data tentang sangat negatifnya persepsi guru terhadap penyelenggraan pendidikan inklusif ini tentunya juga tidak dapat lepas dari peran LPTK yang menurut Semiawan dan Natawidjaja dalam Musfah (2011:8) menyatakan bahwa LPTK seharusnya menghasilkan para guru yang memiliki kompetensi pedagogis, profeional, sosial, dan kepribadian.

Pengaruh Perbedaan Jenjang Sekolah terhadap Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Jember

Burner dan Goodman dalam Sobur (2003:460) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kebutuhan sosial objek, semakin tinggi nilai operasi faktor penentu perilaku. Jenjang sekolah yang lebih tinggi berarti siswa yang bersekolah di sekolah itupun memiliki kompleksitas kebutuhan sosial dan perilaku yang lebih kompleks pula. Hal ini seharusnya juga mempengaruhi guru dalam mempersepsi siswa-siswinya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor personal yang meliputi pengalaman, motivasi dan kepribadian guru memiliki pengaruh yang sangat dominan dalam mempersepsi penyelenggaraan pendidikan inklusif. Sejalan dengan hal tersebut Leather dalam Sobur (2003:462) membuktikan bahwa pengalaman akan membantu seseorang dalam meningkatkan persepsi. Jadi adanya persepsi yang sangat negatif guru baik pada jenjang SD maupun SMP dapat juga disebabkan karena guru-guru tersebut kurang memiliki pengalaman dalam penyelenggraan pendidikan inklusif.

Sikap menghargai, toleran, simpati dan empati adalah salah satu wujud dari penanaman pendidikan kepribadian anak yang akan terbentuk dari persepsinya dalam menilai sesamanya. Seorang guru yang masih memiliki persepsi sangat negatif terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif sama halnya dengan memiliki persepsi sangat negatif terhadap perbedaan. Hal ini tentunya akan mempersulit guru dalam menanamkan dan

meneladani nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan terhadap siswanya, karena tidak mungkin seorang yang memiliki persepsi negatif akan mendidik orang lain untuk berpersepsi positif. Menurut Musfah (2011:9) yang menyatakan bahwa para guru sangat penting dalam pembentukan karakter dan sikap murid, karena murid membutuhkan contoh disamping pengetahuan tentang nilai baik-buruk, dan benar-salah.

Pada jenjang SMP seharusnya guru memiliki persepsi yang lebih positif dibandingkan dengan pada jenjang SD karena pada jenjang SMP seorang anak sudah memiliki perasaan ingin dihargai dan diperlakukan sama. Dorongan dan keinginan guru harus sangat kuat untuk memberikan motivasi kepada siswa baik yang berkebutuhan khusus mupun yang normal agar mampu bersosialisasi dan berinteraksi bersama teman sebayanya dengan penuh sikap toleran. Marsidi (2007:90) menyatakan bahwa dibutuhkan kecakapan mengarahkan motivasi dan berfikir dengan tidak lupa menggunakan pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau model. Pembentukan persepsi, sikap, mental, dan perilaku anak didik tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai, oleh karena itu guru bukanlah sekedar pengajar, melainkan betul-betul sebagai pendidik yang akan mentransfer nilai-nilai tersebut kepada anak didiknya.

Adanya kesamaan persepsi sangat negatif guru terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif berdasarkan jenjang sekolah ini dapat juga disebabkan oleh kekurangpahaman guru terhadap tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dalam penelitiannya, Gudjonsdottir (2006) dalam Marentek (2007:197) menyarankan dua hal yang harus dilakukan guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu: 1) memahami perkembangan anak dan perbedaan individual anak, dan 2) memiliki kemampuan untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan seluruh anak.

Simpulan dan Saran Simpulan

(13)

guru SD Inklusif se-Kabupaten Jember terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur berada pada kriteria sangat negatif. 3) Persepsi guru SMPLB se-Kabupaten Jember terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur berada pada kriteria sangat negatif. 4) Persepsi guru SMP Inklusif se-Kabupaten Jember terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur berada pada kriteria sangat negatif. 5) Jenis sekolah tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap persepsi guru pendidikan dasar tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur atau dengan kata lain bahwa persepsi guru pada jenis Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Inklusif terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember berada pada tingkat yang sama. 6) Jenjang sekolah tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap persepsi guru pendidikan dasar tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur atau dengan kata lain bahwa persepsi guru pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kabupaten Jember berada pada tingkat yang sama.

Meskipun persepsi guru terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif di kabuoaten jember berdasarkan jenis dan jenjang sekolah berada pada kriteria yang sama yaitu sangat negatif, namun peringkat skor sub variabel penyelenggraan pendidikan inklusi memiliki urutan yang berbeda antara guru SDLB, SD Inklusi, SMPLB, dan SMP Inklusi.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka ada beberapa pihak yang diharapkan dapat berperan bagi perubahan persepsi para guru baik dari jenis sekolah maupun jenjang sekolah terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif khususnya di Kabupaten Jember Provinsi Jawa Timur. Bagi Pemerintah Kabupaten Jember: 1) Melakukan sosialisasi yang lebih gencar lagi tentang program pendidikan inlusif. 2) Melaksanakan pelatihan secara terus menerus terkait dengan teknis menghadapi ABK pada seting pendidikan inklusif 3) Menjalin kerja sama dengan pihak-pihak yang berkompeten tentang penyelenggraan pendidikan inklusif (misalnya LPTK yang menyelenggarakan Program Studi Pendidikan Luar Biasa). 4)Mengembangkan SLB yang ada menjadi

resource center, sehingga guru-guru baik yang berasal dari sekolah segregasi maupun sekolah inklusif dapat saling bekerja sama guna penanganan ABK yang lebih optmal. Bagi LPTK sangat diharapkan untuk: 1) Memasukkan materi tentang ke-ABK-an atau layanan pendidikan inklusif sebagai mata kuliah pada semua FIP atau FKIP baik di universitas maupun institut ataupun sekolah tinggi. 2) Menumbuhkembangkan rasa simpati dan empati terhadap nilai-nilai kemanusiaan khususnya ABK baik pada mahasiswa program studi PLB maupun program studi non PLB. 3) Mengadakan seminar atau pelatihan pendidikan inklusif bagi para guru ataupun para calon guru sehingga diharapkan dapat memperbaiki persepsi mereka terhadap pendidikan inklusif. Dan bagi peneliti selanjutnya sangat diharapkan untuk meneliti lebih mendalam tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan adanya persepsi negatif guru pendidikan dasar terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif khususnya di Kabupaten Jember.

Pustaka Acuan

Alahbabi, Alsaghira. (2009). K-12 Special And General Education Teachers’ Attitudes Toward The Inclusion Of Students With Special Needs In General Education Classes In The United Arab Emirates (UAE). Dalam International Journal Of Special Education. Vol. 24 No. 2 pp. 42-54. (online) dalam (http://www.internationaljournalofspecialeducation.com/issues.cfm) diakses 19 November 2011.

Ali. M.M., Mustapha, R., & Jelas, Z.M. 2006. An Empirical Study on Teacher’s Perception Toward Inclusive Education in Malaysia. International of Special Education. Vol. 21 No. 3 pp. 36-44. (online), dalam (http://www.internationaljournalofspecialeducation.com/issues.cfm) diakses 19 November 2011.

Al-Zyoudi, M. 2006. Teacher’s Attitudes Toward Inclusive Education In Jordanian Schools. International

of Special Education. Vol. 21 No. 2 pp. 55-62. (online), dalam

(http://www.internationaljournalofspecialeducation.com/issues.cfm) diakses 19 November 2011. Arifin. 2011. Kompetensi Guru dan Strategi Pengembangannya. Yogyakarja: Lilin

(14)

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Arum, W.S.A. 2005. Perspektif Pendidikan Luar Biasa dan Implikasinya bagi Penyiapan Tenaga

Kependidikan. Jakarta: Depdiknas

Baron Robert A. & Byrne Donn. 2004. Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh Jilid 1. Jakarta: Erlangga Bekti, Veralia Maya. 2010. “Persepsi Istri terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga”. Tesis Magister

Psikologi, Universitas Diponegoro.

Budiyanto dkk. 2009. Modul Training of Trainers Pendidikan Inklusif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Bunch, G., & Finnegan, K. 2000. Values Teacher’s Find in Inclusive Education. Makalah pada International Special Education Congress 2000 (ISEC 2000), University of Manchester, 24th-28th July 2000. (online) dalam (http://www.isec2000.org.uk/abstract/papers_b/bunch_1.htm) diakses 19 November 2011.

Choykhruea, Benjamaporn. 2011. Teachers and General Students’ Attitude towards Autistics enrolling in Inclusive Classroom, Primary School Level. ICER 2011: Learning Community for Sustainable Development: September 9-10, 2011, KKU, Thailand. pp 1292-1299

Cochran, H.K. 1998. Attitudes Toward Inclusive Education: Differences In Teacher’s Attotude Toward Inclusive Classroom (STATIC). Makalah pada The Annual Meeting of the Mid-Western Educational Research Association, Chicago, Illinois. October pp. 14-16 (online), dalam (http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_storage_01/0000019b/80/17/37/82.p df ) diakses 19 November 2011.

Delphie, Bandi. 2009. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi.

Sleman: Intan Sejati Klaten.

Direktorat PSLB Mandikdasmen. 2007. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Jakarta: Depdiknas

Djamarah, Saiful. B. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta

Emzir. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Fraenkel, Jack R. Wallen, Norman E. & Hyun, Helen H. 2012. How to Design and Evaluate Research in

Education 8th edtion. New York : The McGraw-Hill Companies.

Galis, S.A., & Tanner, C.K. (1995). Inclusion in Elementary Schools: A Survey and Policy Analysis.

Education Policy Analysis Archieves. Vol 3 No. 15 pp. 1-24, (online), dalam

(http://epaa.asu.edu/epaa/v3n15.html) diakses 19 November 2011.

Hamalik, Oemar. 2010. Psikologi Belajar & Mengajara. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Herlina. 2010. “Sikap Guru Sekolah Dasar terhadap Penyelenggaraan Sekolah Inklusif”. Tesis Magister Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.

Hsien, Michele L. W. 2007. Teacher Attitudes towards Preparation for Inclusion – In Support of a Unified Teacher Preparation Program. Post-Script: Postgraduate Journal of Education Research.

Vol. 8 No. 1 pp. 49-60, (online), dalam (http://www.edfac.unimelb.edu.au/research/resources/student_res/postscriptfiles/vol8/Michelle_Hsi

en.pdf) diakses 19 November 2011.

Hutagalung, Linda. 2010. “Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Terhadap Tunanetra Yang Mengikuti Pendidikan Inklusif : Studi Deskriptif Tentang Sikap Masyarakat Pendidikan Dasar Terhadap

Tunanetra yang Mengikuti Pendidikan Inklusif di 3 (tiga) Kecamatan di Kota Medan”. Tesis Magister Pendidikan, Universitas Pendidikan

Indonesia.

Isnawati, Nurlaela. 2010. Guru Positif Motivatif: Buku Pintar Para Guru Agar Bisa Menjadi Teladan yang Inspiratif dan Motivatif bagi Anak-anak Didiknya. Jogjakarta: Laksana

Kubyana, K.D. 2005. Attitudes of Specila School Teacher’s Toward Inclusion. University of

Johannesburg: Faculty of Education and Nursing. (online), dalam

(http://ujdigispace.uj.ac.za:8080/dspace/dspace/bitstream/10210/932/1/sec114.03.05.pdf) diakses 19 November 2011.

Kurniawan, Albert. 2011. SPSS: Serba-Serbi Analisis Statistika dengan Cepat dan Mudah. Jakarta: Jasakom

Leatherman, Jane M. 2007. “I Just See All Children as Children”: Teachers’ Perceptions About Inclusion.

The Qualitative Report . Vol. 12 No. 4 pp. 594-611, (online), dalam

(http://www.nova.edu/ssss/QR/QR12-4/leatherman.pdf) diakses 19 November 2011

Loreman, Tim., Deppeler, Joanne., & Harvey, David. 2011. Inclusive Education: Supporting Diversity in The Classroom. Australia: Allen&Unwin.

(15)

Marsidi, Agus. 2007. Profesi Keguruan Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Mulyana, Deddy. 2000. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyasa. 2011. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rodakaya.

Musfah, Jejen. 2011. Peningkatan Komepetensi Guru: Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar Teori dan Praktek. Jakarta: Kencana

Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Provinsi Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pendidikan Prov. JATIM

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, (online), (http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/Permen16-2007KompetensiGuru.pdf) diakses 19 November 2011

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2008 Tentang Standar kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Pendidikan Khusus.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Pesrta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Surabaya: Dinas Pendidikan Prov. JATIM

Peraturan Pemerintah Nomer 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (online), (http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/104.pdf) diakses 19 November 2011

Rakhmat, Jalaluddin. 2012. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Riduwan. 2006. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Bandung: Alfabeta

Riduwan. 2010. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta Saondi, Ondi. dan Suherman, Aris. 2010. Etika Profesi Keguruan. Bandung: Refika Aditama Saroni, Mohammad. 2011. Personal Branding Guru. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Sarı, Hakan et al. (2009). An Analysis Of Pre-School Teachers’ And Student Teachers’ Attitudes To Inclusion And Their Self Efficacy. International Journal Of Special Education. Vol. 24, No. 3 pp. 29-44. (online) dalam (http://www.internationaljournalofspecialeducation.com/issues.cfm) diakses 19 November 2011

Shaleh, Abdul Rahman. 2009. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Kencana Skj

φ

rten, M.D. 2002. Menuju Inklusi dan Pengayaan. Pendidikan-Pendidikan Kebutuhan Khsus.

(online), dalam (http://www.idp-europe.org/indonesia) diakses 19 November 2011. Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.

Smith, J. David. 2012. Sekolah Inklusif: Konsep dan Penerapan Pembelajaran (Sugiarmin. M, dan Baihaqi, MIF., Ed.). Bandung: Nuansa.

Sobur, Alex. 2010. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Stubbs, S. 2002. Inclusive Education Where There Are Few Resource (terjemahan oleh Susi Septaviana R). (online), dalam (http://www.eenet.org.uk/theory-practice/IE_few_resource_BAhsa.pdf.) diakses 19 November 2011.

Subban, P., & Sharma, U. 2006. Primary School Teachers’ Perception of Inclusive Education in Victoria, Australia. International Journal of Special Education. Vol. 21 No. 1 pp. 42-52, (online), dalam (http://www.internationaljournalofspecialeducation.com/articles.cfm?Y=2006&V=21&N=1) diakses 19 November 2011.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Suparno, Paul. 2005. Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta: Grasindo

Suwardi. 2007. Manajemen Pembelajaran: Mencipta Guru Kreatif dan Berkompetisi. Surabaya: Temprina Media Grafika.

Syah, Muhibbin. 2000. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Syamsuddin. 2006. Persepsi Guru tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Jurnal Kajian Teori dan

Praktik Kependidikan FIP Universitas Negeri Malang. Vol. 33 No. 1 pp. 67-73. Abstrak diperoleh dari Index Artikel UPT Perpustakaan UM, Label bendel : 370.105 ILM, (online), dalam (http://journal.um.ac.id/index.php/ilmu-pendidikan/article/view/1192) diakses 19 November 2011. Thalib, Syamsul B. 2010. Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta: Prenada

Media Group.

Undang-Undang Dasar 1945. (online) dalam (http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/uud_1945.pdf) dalam 19 November 2011

(16)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen, (online), (http://wrks.itb.ac.id/app/images/files_produk_hukum/uu_14_2005.pdf) diakses 19 November 2011 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

(online), (www.usu.ac.id/sisdiknas.pdf) diakses 19 November 2011

Usman, Uzer. 2010. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset. Uyanto, Stanislaus. S. 2009. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu. Walgito, Bimo.2002. Psikologi Sosial Suatu Pengantar: Edisi Ketiga. Yogyakarta: Andi.

Walpole, et all. 1983. Realibility and Statistic for Engineers and Scientist Fourth Edition. New York: Monemollan Publishing Company

Gambar

Tabel 2 Perhitungan Nilai Mean, Varian dan Simpangan Baku Sampel   untuk Masing-Masing Kelompok Guru

Referensi

Dokumen terkait

DESAIN PEMBELAJARAN YANG DIKEMBANGKAN DALAM BAHAN AJAR. DESAIN BAHAN AJAR YANG DIKEMBANGKAN MELALUI

PENGEMBANGAN ALAT UKUR HURDLE JUMP UNTUK DAYA TAHAN OTOT TUNGKAI BERBASIS SENSOR GERAK Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih, berkat, dan karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang

 Pada menu daftar artikel terdapat List artikel yang nantinya bisa dipilih per kategori atau dicari,  List artikel hanya menampilkan Judul artikel, jumlah view, jumlah

Di tengah tantangan yang cukup berat sepanjang 2009, walaupun perlambatan ekonomi turut menahan inflasi, upaya Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar tidak

Berdasarkan Kedekatan Kelompok Kabupaten dan Kota di Jawa Barat dengan variabel yang dianalisis, kelompok 1 yaitu kota Bandung , kota Bekasi, Kota Depok, kota Cimahi

Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah mikroorganisme pada sampel tanah dari lahan perkebunan kakao semi intensif lebih tinggi dibandingkan pada lahan

(3) Sekretariat Utama mempunyai tugas mengkoordinasikan perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi, dan sumber daya di lingkungan BKN.. (4)