• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implikasi Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana (Kajian Terhadap Putusan: Nomor 1 Puu-Viii 2010) Chapter III IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implikasi Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Dalam Proses Penanganan Anak Pelaku Tindak Pidana (Kajian Terhadap Putusan: Nomor 1 Puu-Viii 2010) Chapter III IV"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

IMPLIKASI UJI MATERIL MENGENAI BATAS USIA ANAK DALAM PROSES PENANGANAN ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

(PUTUSAN MK NOMOR 1/PUU-VIII/2010)

A. Uji Materil Terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Anak sebagai generasi penerus bangsa masih belum mendapat perhatian

yang memadai dari masyarakat. Padahal, sebagaimana diutarakan dalam Deklarasi

Hak-hak Anak, “The child, by reasons of his physical and mental immaturity, needs special safeguards and care, including appropriate legal protection, before as well as after birth...” Begitu juga dengan Deklarasi Wina, tahun 1993 yang dihasilkan oleh Konfrensi Dunia Tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM),

kembali menemukan prinsip “First Call for Children,” yang menekankan pentingnya upaya-upaya nasional dan internasional untuk memajukan hak-hak

anak atas “Survival protection, development and participation.”

Bentuk kepedulian negara terhadap generasi penerus bangsa, sampai saat

ini pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres

Nomor 36 Tahun 1990. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 5

tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan

Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak manusiawi atau

merendahkan martabat Manusia. Kemudian, pemerintah juga mengeluarkan

(2)

Selanjutnya, ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Apabila dikaji

dasar pertimbangan sosiologis maupun filosofis dibentuknya Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, antar lain karena disadari bahwa

anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai

sumber daya insani bagi pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak

diperlukan pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi

sosialnya, serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan

mereka dan bangsa di masa depan.

Secara psikologis, “anak” bukan “orang dewasa dalam ukuran mini”

melainkan “anak” merupakan subyek yang masih rawan dalam tahap

perkembangan kapasitas (evolving capacities), yang sangat erat kaitannya dengan kausalitas antara pemenuhan dan perlindungan atas hak hidup dan hak

kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh berkembang anak serta hak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sehingga dalam pemahaman juridis

konstitusional, hak-hak anak tersebut tidak terpisah-pisahkan antara satu dengan

lainnya, yakni antara hak hidup dan hak kelangsungan hidupnya, hak atas tumbuh

dan berkembang anak serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

Pada keadaan kongkret, misalnya gangguan tumbuh berkembang anak

yang terpenjara akibat putusan pidana, maka terjadilah kerugian konstitusional

anak untuk kelangungan hidup dan hak tumbuh dan berkembang anak, walaupun

(3)

tidak dapat dilepaskan dengan hak kelangsungan hidup (right to survival), dan hak tumbuh dan berkembang, di mana (rights to development). Apalagi terhadap anak yang masih dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, di mana setiap

pencinderaan, perusakan, atau pengurangan atas kelangsungan hidup anak akan

berakibat serius dan fatal bagi hak hidup anak.

Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hak Anak [United Nations Conventions on the Rights of the Child (CRC)/Konvensi Hak Anak (KHA)], secara konseptual tidak memisahkan antara hak hidup dengan hak kelangsungan

hidup anak dan hak tumbuh berkembang anak yang dirumuskan dalam satu pasal

dan ayat yang bersamaan. Bahkan, pengakuan atas hak hidup anak tersebut

dipertegas dengan pengakuan hak atas kelangsungan hidup (rights to survival) dan hak tumbuh kembang (right to development). Lebih dari itu, terhadap integrasi antara hak hidup anak, hak kelangsungan hidup anak dan hak tumbuh dan

kembang anak tersebut, negara menjamin (shall insure) dengan segala upaya maksimal yang mungkin dilakukan negara (the maximum extent possible the survival and development), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) CRC yang berbunyi sebagai berikut:

1. State Parties recognize that every child has the inherent right to life.

2. State Parties shall ensure to the maximum extent posibble the survival and development.

Berdasarkan ketentuan diatas maka hak hidup anak, hak kelangsungan

(4)

warga dunia dan hak konstitusional anak sebagai warga negara Indonesia yang

dijamin Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

Angka kejahatan seperti pencurian yang dilakukan oleh anak di Indonesia

setiap tahun berjumlah dari 4.000 anak. Sembilan dari sepuluh anak-anak ini

akhirnya menginap di penjara atau rumah tahanan karena pada umumnya

anak-anak ini tidak mendapat dukungan dari pengacara maupun pemerintah, dalam hal

ini dinas sosial. Berbagai bentuk kekerasan yang dialami anak, seperti halnya

kasus peradilan 10 anak-anak yang dituduh bermain judi dikawasan Bandar Udara

Soekarno-Hatta, yang justru sempat di tahan selama 29 hari (masa yang panjang).

Padahal sebagaian dari 10 anak tersebut belum berusia di atas 12 tahun yang

menurut Undang-Undang Pengadilan Anak tidak dapat dijatuhi pidana. Namun,

begitu lah logika hukumnya yang terjadi.97

Penormaan dalam Undang-Undang Pengadilan Anak tidak membuat

Pengadilan Anak. Dalam konsiderans ataupun dalam Penjelasan Umum

Undang-Undang Pengadilan Anak tidak ditemukan landasan filosofis, yuridis, dan gagasan

membentuk pengadilan anak. Pada bagian konsideran “Menimbang”, huruf b dari

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 hanya disebutkan “...penyelenggaraan pengadilan naka perlu dilakukan secra khusus”. Undang-Undang Pengadilan Anak hanya menentukan bahwa Pengadilan Anak berada dibawah lingkungan

peradilan umum (Pasal 2). “Pengadilan Anadik adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum”. Namun Undang-Undang Pengadilan Anak saja (Pasal 3 Undang-Undang-Undang-Undang Pengadilan Anak), yang

97

(5)

1/PUU-berwenang memeriksa, memutuskan menyelesaikan perkara dalam

Undang-Undang Pengadilan Anak.

Sidang Anak hanyalah bermaksud membedakan Sidang Anak dengan

sidang orang dewasa dengan berbagai kekhususan, misalnya, kekhususan dalam

petugas penegak hukumnya, adanya alternatif pidana dan tindakan, masa tahanan

yang lebih rendah, hukuman pidana yang dijatuhkan diturunkan menjadi

maksimum hanya ½ (seperdua) saja ancaman pelaku dewasa, hukum acara pidana

sama dengan KUHAP dengan berbagai pengecualian. Dengan demikian, hukum

acara dalam sidang anak hanya turunan dari hukum acara dan sistem peradilan

bagi orang dewasa. “Implikasinya, secara institusional perkembangan dan kemajuan Sidang Anak tidak berjalan efektif dan cenderung terabaikan. Secara faktual banyak pengadilan tidak memiliki hakim anak, demikianlah pula jaksa penuntut umum, dan penyidik anak, sehingga di lapangan kerap terjadi Sidang Anak masih dilakukan dengan memakai toga, seragam jaksa, tanpa disediakan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK) BAPAS, dan tak jarang anak-anak dikenakan upaya paksa berupa penahanan.

Mengenai Batas Usia Anak, bahwa usia anak yang dapat diajukan ke

sidang anak sebagaimana terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak

adalah terlalu rendah. Hal ini dikarenakan batas usia pidana anak di Indonesia

dianggap lebih rendah dibandingkan batas usia pidana anak di negara-negara lain.

Batas usia terlalu rendah ini akan dapat menghambat sifat progresif pemenuhan

(6)

Adapun pada realitanya, proses peradilan yang berlaku di Indonesia masih

merupakan proses peradilan orang dewasa yang jauh dari perlindungan hak-hak

anak. Begitu juga mengenai penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1)

UU Pengadilan Anak juga dianggap terlalu rendah dengan alasan bahwa anak

yang berkonflik cenderung mendapatkan kekerasan di dalam masa penyidikan

tersebut. Hal ini didasarkan pada realitas dan praktik di mana pada proses

pemeriksaan, anak kerap mendapatkan kekerasan, seperti terjadi penahanan

bersama orang dewasa, permasalahan lingkungan yang disebabkan “over capacity” penjara di Indonesia hingga ragam masalah penahanan dan pembinaan lainnya.

Disinilah urgensi Permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) ini untuk mencari

memperoleh perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil bagi anak-anak

yang masih menjadi sasaran “mesin peradilan pidana” guna menghentikan

kriminalisasi anak.

1. Pemohon dan Dasar Permohonan

Permohonan Pengujian Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak terhadap Undang-Udang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

yang diajukan oleh :

1. Komisi Perlindungan Anak Indonesia, berkedudukan di Jalan Teuku Umar

(7)

Nama : Drs. Hadi Supeno, M.Si

Pekerjaan : Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia;

Disebut sebagai : ...Pemohon I

2. Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, berkedudukan di Jalan

Abdul Hakim Nomor 5A, Pasar Satu Setia Budi, Kelurahan Tanjung Sari,

Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, yang diwakili oleh :

Nama : Ahmad Sopian, S.H., M.A

Pekerjaan : Ketua Yayasan Pusat Kajian dan perlindungan Anak Medan;

Disebut sebagai : ...Pemohon II

Dasar Permohonan atau Pokok Permohonan adalah :

Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU

Perlindungan Anak, sepanjang frasa, “sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun” bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat UUD 1945 karena

batas umur Anak tersebut terlalu rendah, bukan saja tidak memenuhi rasa

keadilan, akan tetapi melanggar hak konstitusional anak yang dijamin dalam Pasal

28B ayat UUD 1945. Hak tumbuh kembang anak terlanggar, karena pemidanaan

anak akan membawa anak Sidang Anak merupakan bentuk perampasan

kemerdekaan dan tumbuh kembang anak, karena:

a. Batas usia tanggung jawab pidana anak terlalu rendah dibandingkan usia

boleh bekerja.

b. Batas usia tanggung jawab pidana anak melanggar hak konstitusional anak

(8)

c. Usia tanggung jawab pidana anak dalam UU Pengadilan Anak jauh lebih

rendah dibandingkan berbagai negara.

d. Sistem Peradilan Pidana Anak, masih merupakan turunan dari sistem

peradilan orang dewasa.

e. Anak bukan pelaku tindak pidana otentik, namun terkait situasi lingkungan

sosialnya.

Bahwa secara konstitusionalnya tidak ditemukan rujukannya memberikan

batas usia tanggung jawab pidana kepad anak sekurang-kurangnya 8 tahun,

sehingga rujukannya semestinya ditelaah berdasarkan sejarah hukum, peraturan

perundang-undangan, maupun instrumen internasional. Menurut para pemohon

ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak sepanjang frasa, “belum

mencapai umur 8 (delapan) tahun” dianggap bertentangan dengan Pasal 28B ayat

(2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena terlalu rendah dalam menentukan

batas usia tersebut guna dilakukan proses hukum oleh Penyidik, dimana UU

Pengadilan Anak tetap mempersamakan perlakuan proses penyidikan seperti

halnya penyidikan oleh “pro justisia” yang diajukan ke Sidang Anak.

Menurut para Pemohon juga ketentuan Pasal 22 UU Pengadilan Anak

bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan

karenanya berlaku secara inskonstitusional bersyarat, karena tidak memperhatikan

tindakan sebagai prioritas bukan pemidanaan, karena terdapat situasi buruk dalam

(9)

a. Kekerasan;

b. Kecenderungan penahanan;

c. Kecenderungan penjatuhan pidana daripada tindakan;

d. Proses “pro justisia” dan pidana bukan the last resort; e. Penahanan atau pemenjaraan bersama orang dewasa;

f. Over capacity;

g. Ragam permasalaha pembinaan.

Untuk lebih jelasnya, para Pemohon mendalilkan pasal-pasal dalam UU

Pengadilan Anak yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945

atau setidaknya konstitusional bersyarat, yakni;

1. Pasal 1 angka 2 huruf b seoanjang frasa “... maupun menurut peraturan

hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan.”

2. Pasal 4 ayat (1) sepanjang frasa “...sekurang-kurangnya 8 (delapan)

tahun...”

3. Pasal 5 ayat (1) sepanjang frasa “...belum mencapai umur 8 (delapan)

tahun...”

4. Pasal 22 sepanjang frasa “... pidana atau...”

5. Pasal 23 ayat (2) huruf a sepanjang frasa “...pidana penjara...”

6. Pasal 31 ayat (1) sepanjang frasa “... di Lembaga Pemasyarakatan Anak...”

Pemohon mendalilkan bahwa tiga dari enam pasal yang dimohonkan oleh

para Pemohon adalah inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945,

(10)

para Pemohon untuk ditafsirkan inkostitusional bersyarat, jika proses penyidikan

anak sudah menjamin perlindungan hak-hak anak dengan memperhatikan hak-hak

anak memperoleh prioritas tindakan bukan pidana;

Adapun Pasal-pasal yang dimohonkan untuk dinyatakan inkostitusional

dan bertentangan dengan UUD 1945 adalah menyangkut isu hukuim berikut :

1. Defenisi Anak Nakal;

2. Pidana Penjara Bagi Anak Nakal;

3. Anak Nakal di Lembaga Pemasyarakatan Anak

4. Batas Usia Anak;

5. Pidana atau Tindakan.

2. Permohonan yang diajukan si Pemohon

Permohonan yang diajukan oleh si Pemohon adalah dimana para Pemohon

memohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi (“Mahkamah”) menerima

permohonan yang menetapkan persidangan yang memeriksa, mengadili dan

melakukan persidangan permohonan pengujian materil ketentuan Undang-Undang

Pengadilan Anak yakni:

1. Pasal 1 angka 2 huruf b sepanjang mengenai frasa “...maupun menurut

peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan”;

2. Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi, “Batas umur Anak Nakal yang dapat

(11)

tetapi belum mencapai umur 18 (delapan) belas tahun dan belum pernah

kawin”, yakni sepanjang frasa “sekurang-kurang 8 (delapan) tahun”,

3. Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “dalam hal anak belum mencapai umur

(delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka

terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik”, yakni

sepanjang frasa, “belum mencapai umur 8 (delapan) tahun”.

4. Pasal 22 yang berbunyi “terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan

pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini”,

sepanjang frasa “pidana atau”.;

5. Pasal 23 ayat (2) huruf a sepanjang frasa “pidana penjara”;

6. Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi, Anak Nakal yang oleh Hakim diputus

untuk diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan

Anak sebagai Anak Negara”, yakni sepanjang frasa “ di Lembaga

Pemasyarakatan Anak”.

7. Bahwa Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi,: “Setiap anak berhak

atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”;

8. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak

atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”;

9. Bahwa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “..., hak untuk diakui

(12)

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun”.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berwenang

untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengujian Undang-Undang

Pengadilan Anak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas, terhadap

Pasal 28B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 29I ayat (1) UUD 1945.

“Tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing ) Dan Kepentingan

Konstitusional Para Pemohon. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK

menyebutkan bahwa”:

Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya dirugikan oleh diberlakukannya undang-undang, yaitu:

a. Perorangan warga negara Indonesia;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkrmbangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang;

c. Badan hukum publik atau privat; atau

d. Lembaga negara;

Berdasarkan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK antara lain meyebutkan

bahwasanya yang dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang

(13)

3. Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK)

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi atas permohonan yang diajukan oleh para

Pemohon adalah bahwa Mahkamah berpendapat dan memandang batasan umur

telah menimbulkan pelbagai penafsiran dan kontroversi pemikiran sehingga perlu

ada batasan usia yang serasi dan selaras dalam pertanggungjawaban hukum bagi

anak yang terdapat dalam UU Pengadilan Anak dengan mendasarkan pada

pertimbangan hak-hak konstitusional anak. Mahkamah menemukan adanya

perbedaan antara batas usia minimal bagi anak yang dapat diajukan dalam proses

penyidikan, proses persidangan, dan pemidanaan. Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan

Anak menyatakan bahwa batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang

Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun. Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1)

UU Pengadilan Anak menyatakan dalam hal anak belum mencapai umur 8

(delapan) tahun dapat dilakukan penyidikan, sedangkan Pasal 26 ayat (3) dan ayat

(4) UU Pengadilan Anak menyatakan bahwa apabila anak nakal belum mencukupi

umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati

atau seumur hidup maka terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan tindakan

sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU Pengadilan Anak tidak dapat

dilakukan apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun. Dari pengaturan

hukum mengenai batas umur, baik dalam proses penyidikan, proses persidangan,

dan pemidanaan tersebut merupakan jenis dan materi muatan dari

pertanggungjawaban hukum (pidana) yang seharusnya ketiganya mengandung

(14)

dengan asas-asas hukum yang dituangkan dalam Pasal 5 huruf c Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Mahkamah berpendapat, batas umur 8 (delapan) tahun bagi anak untuk

diajukan ke sidang dan belum mencapai umur 8 (delapan) yahun dapat dilakukan

pemeriksaan oleh penyidik, secara faktual benar, umur a quo relatif rendah. Penjelasan Undang-Undang a quo mentukan batas umur 8 tahun secara sosiologis, psikologis, pedadogis anak dapat dinggap sudah mempunyai rasa tanggung jawab.

Meskipun dalam Undang-Undang Pengadilan Anak menerapkan pula asas

praduga tak berasalah, menurut Mahkmah, fakta hukum menunjukkan adanya

beberapa permasalahan dalam proses penyidikan, penahanan, dan persidangan,

sehingga menciderai hak konstitusional anak yang dijamin dalam UUD 1945.

Oleh karenanya, Mahkamah perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk

melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak

tumbuh dan berkembang, Mahkamah berpendapat bahwa konvensi internasional,

rekomendasi Hak-Hak Anak PBB, dan instrumen hukum internasional lainnya

batas umur 12 tahun dapat dijadikan perbandingan dalam menentukan batas usia

minimal bagi anak dalam pertanggungjawaban hukum, namun, Mahkamah

berpendapat bahwa instrumen hukum internasional dan rekomendasi PBB tidak

dapat dijadikan batu uji an sich dalam menilai konstitusionalitas batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak. Selain itu, Mahkamah juga

mepertimbangkan batas umur minimal 12 (dua belas) tahun lebih menjamin hak

anak untuk tumbuh dan berkembang sehingga mendpatkan perlindungan

(15)

4. Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi

Berdasarkan seluruh penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di

atas, Mahkamah berkesimpulan sebagai berikut:98

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

1. Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo;

2. Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak selaku pemohon dalam perkara a quo.

3. Dalil-dalil Pemohon dalam pokok permohonan terbukti menurut hukum untuk

sebagian.

Berdasarkan putusan di atas, maka Mahkamah mengadili dan memutuskan :

2. Menyatakan frasa, “ 8 (delapan) tahun...” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat

(1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668), beserta

penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa “... 8

(delapan) tahun...” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally uncinstitutional), artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai “... 12 (dua belas) tahun...”;

3. Menyatakan frasa, “... 8 (delapan) tahun...,” dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4

ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

(16)

Tambahan Lembaran Negara Indonesia Negara Indonesia Nomor 3668),

beserta penjelasan Undang-Undang tersebut khususnya terkait dengan frasa

“... 8 (delapan) tahun...” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara

bersyarat (conditionally uncinstitutional), artinya inkostitusional, kecuali dimaknai “... 12 (dua belas) tahun...”,

4. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan sebagainya;

5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia

sebagaimana mestinya.

Diakitkan dengan Putusan Mahkamah konstitusi tersebut Batas Umur

Anak Nakal yang dapat di ajukan ke Sidang Anak adalah sekurang-kurangnya 12

(dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum

pernah kawin.

Apabila Si Anak melakukan tindak pidana pada batas umur

sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas)

tahun dan ketika diajukan ke sidang pengadilan anak yang bersangkutan

melampaui batas 18 (delapan belas) tahun tetapi belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.

Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan atau

diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan

pemeriksaan oleh Penyidik. Dan apabila menurut hasil hasil pemeriksaan,

Penyidik berpendapat bahwa anak masih dapat dibina oleh orang tua, atau orang

tua asuhnya, penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial

(17)

intinya Anak yang belum berusia 12 (dua belas) yang melakukan tindak pidana

tidak diajukan ke sidang pengadilan anak;99

KUHPidana yang sekarang ini meskipun mengatur tentang alasan penghapus

pidana, akan tetapi KUHP sendiri tidak memberikan pengertian yang jelas tentang

makna dari alasan penghapus pidana tersebut. Pengertiaanya hanya dapat

ditelusuri melalui sejarah pembentukan KUHP (WvS Belanda). Menurut

sejarahnya yaitu melalui M.v.T. (Memorie van Toelicting) mengenai alasan penghapus pidana ini, mengemukakan apa yang disebut “alasan-alasan tidak dapat

B. Implikasi Uji Materil Tentang Batas Usia Anak Sebagai Dasar Penghapusan Pidana Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana.

1. Alasan Penghapusan Pidana dalam Hukum Pidana di Indonesia

Dalam hukum pidana ada beberapa alasan yang dapat diajdikan dasar bagi

hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada (para) pelaku atau

terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindakan

pidana.. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah

memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim

menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakah

telah terdapat keaadan khusus seperti dirumuskan dalam alasan penghapusan

pidana.

99

(18)

dipertanggungjawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya

seseorang”. Hal ini berdasarkan pada dua alasan, yaitu:100

1. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan seseorang yang terletak pada diri

orang tersebut, dan

2. Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar

dari diri seseorang tersebut

Dari kedua alasan yang ada dalam MvT tersebut, menimbulkan kesan bahwa

pembuat undang-undang dengan tegas merujuk pada penekanan tidak dapat

dipertanggungjawabkannya orang, tidak dapat dipidananya pelaku/pembuat,

bukan tidak dapat dipidananya tindakan/perbuatan. Namun dalam kenyataanya

banyak para ahli yang menerima bahwa hal alasan-alasan tersebut juga dapat

dipidananya tindakan, misalnya perbuatan yang dilakukan karena menjalankan

perintah Undang-Undang atau menjalankan perintah jabatan. Jadi dengan

demikian alasan penghapus pidana ini dapat digunakan untuk menghapuskan

piadana bagi pelaku/pembuat (orangnya sebagai subjek), dan juga dapat

digunakan untuk menghapuskan pidana dari suatu perbuatan/tindakan (sebagai

objeknya).

Alasan penghapus pidana di samping diatur didalam bagian umum Buku

Kesatu KUHP (yang berlaku secara umum) juga pengaturannya terdapat dalam

bagian khusus Buku Kedua KUHP (yang berlaku secara kusus bagi tindak pidana

tertentu sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal tersebut).

100

(19)

1. Pengecualian Hukuman yang terdapat di KUHP BAB III di antaranya adalah :

Pasal 44:

1) Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat

dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit

berubah akal tidak boleh dihukum

2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya

karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim

boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selama-lamanya satu

tahun untuk diperiksa.

3) Yang ditentukan dalam ayat yang diatas ini, hanya berlaku bagi Mahkamah

Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

Penjelasan mengenai pasal ini apabila dihubungkan dengan keadaan anak yang

melakukan tindak pidana kejahatan ialah: “ bahwa keadaan anak tersebut

dianggap kurang sempurna akalnya misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli dan bisu

mulai sejak ia lahir. Orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, akan tetapi

karena cacatnya mulai lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.

Dalam prakteknya jika Polisi menjumpai peristiwa semacam ini, ia tetap

diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses perbal. Hakimlah yang

berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan

(20)

(psychiater). Sehingga hakim dapat mempertimbangkan apakah anak ini dapat diminta pertanggungjawabannya atau tidak.101

Jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya

ketika umurnya belum 16 tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah

itu dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau pemeliharanya, dengan tidak

dikenakan sesuatu hukuman atau memerintahkan supaya sitersalah diserahkan

kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika

perbuatan itu masuk dalam bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang

diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 524, 417, 519, 526,

531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dialkukannya sebelum lalu 2 tahun

sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu

pelanggaran itu atau sesuatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu.

Pasal 45:

102

Pasal ini meminta dua syarat yang kedua-duanya harus dipenuhi.103 Jika kedua

syarat itu dipenuhi, maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga

kemungkinan.104

101

Pasal 44 ayat (1), (2), (3) berikut dengan penjelasannya

102

Pasal 45 KUHP

103

a. Orang itu waktu dituntut harus belum dewasa. Yang dimaksudkan belum dewasa (bagi orang Indonesia menurut L.N. 1931 No. 54, bagi orang Europa menurut pasal 330 B.W.) ialah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dewasa.

b. Tuntutan itu mengenai peristiwa pidana yang telah dilakukan orang tersebut pada waktu sebelum ia berumur 16 tahun. Lihat KUHP Pasal 45 butir 1 bagian a dan b.

104

Jika kedua syarat itu dipenuhi, maka hakim dapat memutuskan salah satu dari tiga kemungkinan:

a. anak itu dikembalikan pada orang tua atau walinya, dengan tidak dijatuhi hukuman suatu apa; b. anak itu dijadikan anak negara, maksudnya tidak dijatuhi hukuman, akan tetapi diserahkan

kepada Rumah Pendidikan Anak2 nakal untuk mendapat didikan dari Negara sampai anak itu

berumur 18 tahun.

(21)

Pasal 46:

1) Jika hakim memerintahkan, supaya si tersalah diserahkan kepada Pemerintah,

maka ia baik ditempatkan dalam rumah pendidikan negeri supaya disitu kemudian

dengan cara lain, ia mendapat pendidikan dari pihak Pemerintah, baik diserahkan

kepada seseorang yang ada di Negara Indonesia atau kepada Perserikatan yang

mempunyai hak badan hukum (rechts person) yang ada di negara Indonesia atau kepada balai derma yang ada di negara Indonesia supaya disitu mendapat

pendidikan dari mereka atau kemudian dengan cara lain dari Pemerintah, dalam

kedua itu selama-lamanya cukup 18 tahun.

2) Peraturan untuk menjalankan ayat pertama dari pasal ini ditetapkan dengan

ordonasi.105

Pasal 47:

1) Jika hakim menghukum si tersalah, maka maksimum hukuman utama yang

ditetapkan atas perbuatan yang dapat dihukum itu dikurangi dengan sepertiganya.

2) Jika kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau hukuman penjara

seumur hidup, maka dihukum penjara selama-lamanya 15 tahun.

3) Hukuman tambahan yang tersebut dalam pasal 10 huruf b (1e) dan 3e tidak

dijatuhkan.106

Dari ketiga pasal tersebut antara lain ditentukan bahwa kepada hakim yang

mengadili seorang anak yang belum mencapai umur 16 tahun diberikan

kemungkinan mengambil salah satu dari 3 sikap yaitu:

1. Mengembalikan si anak kepada orang tuanya.

105

(22)

2. Menyerahkan anak kepada lembaga pendidikan anak-anak nakal

3. Menjatuhkan hukuman dengan ketentuan hukuman yang dijatuhkan adalah

hukuman pokok dikurangi dengan 1/3nya.

Hakim akan mengembalikan si anak kepada orang tuanya atas pertimbangan

orang tuanya atas pertimbangan, orang tua si anak tersebut masih mampu untuk

mendidik anaknya tersebut. akan tetapi kalau hakim berpendapat bahwa orang

tuanya dianggap tidak sanggup lagi untuk mendidik anaknya tersebut maka anak

tersebut akan diserahkan kepada lembaga pendidikan anak-anak nakal kepunyaan

negara untuk di didik. di tempat ini si anak akan di didik sampai umur 18 tahun. ia

akan diberikan pendidikan latihan pekerjaan-pekerjaan yang akan berguna apabila

ia kelak kembali kemasyarakat.

Apabila hakim berpendapat 2 kemungkinan terdahulu tidak akan dapat

memperbaiki si anak maka dalam hal ini hakim dapat mengambil sikap yang

ketiga yaitu menghukum sia anak tersebut.107

Daya paksa (overmacht) tercantum dalam Pasal 48 KUHP. Undang-Undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan

karena dorongan keadaan yang memaksa.

Pasal 48:

108

“Barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang

tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum”.

Di mana isi dari Pasal 48 berbunyi:

109

107

Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Medan : Penertbit Universitas

Sumatera Utara (USU PRESS), 1998, hlm. 56.

108

(23)

Kata terpaksa harus diartikan, baik paksaan bathin, maupun lahir, rohani,

maupun jasmani. Dalam literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu di bagi

dua yang pertama daya paksa absolut atau mutlak, biasanya di sebut vis absoluta.

Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, karena disini

pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi tidak mempunyai

pilihan lain sama sekali. Misalnya, seseorang yang diangkat oleh orang pengulat

yang kuat lalu dilemparkan ke orang lain sehingga orang lain itu tertindas dan

cedera. Orang yang dilemparkan itu sendiri sebenarnya menjadi korban juga

sehingga sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan

menindas orang lain.

Orang yang dilemparkan ini tidak dapat berbuat lain. Daya paksa absolut ini

seperti tersebut di muka bersifat fisik, tetapi dapat juga bersifat psikis, misalnya

orang yang hipnotis, sehingga melakukan delik. Di sini pun orang tersebut tidak

dapat berbuat lain.

Pasal 49:

Pembelaan terpaksa ada pula pada setiap hukum pidana dan sama usianya dengan

hukum pidana itu sendiri. Istilah yang dipakai oleh Belanda ialah noodweer tidak terdapat dalam rumusan undang-undang.

Pasal 49 (1) KUHP (terjemahan) mengatakan:

“Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terpaksa

untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda

sendiri atau orang lain, karena serangan sekejab itu atau ancaman serangan

(24)

Dari rumusan tersebut dapat ditarik unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa

(noodweer) tersebut:

1. Pembelaan itu bersifat terpaksa.

2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta

benda sendiri atau orang lain.

3. Ada serangan sekejab atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.

4. Serangan itu melawan hukum

Pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak

boleh melampaui batas keperluan dan keharusan.

Pasal 49 ayat (2) menyatakan:

“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh

keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu tidak

dipidana.” Akan tetapi pembelaan diri di sini dilakukan sudah melampaui

batas-batas wajar. Menurut pasal 49 ayat (2) ini, apa yang dilakukan tersebut

sebenarnya sudah melampaui batas dari pembelaan diri. Akan tetapi hal ini terjadi

akibat keadaan jiwa/perasaan pelaku yang sangat tergoncang atas terjadinya

serangan yang meruupakan perbuatan melawan hukum pada saat itu terjadi.

Ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang dibela juga sama, yaitu tubuh,

kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.

(25)

1. Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer) dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum yang hebat, oleh karena

itu,

2. Maka perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum,

hanya orangnya tidak dipidana karena keguncangan jiwa yang hebat.

3. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar

pemaaf. Sedangkan pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar pembenar, karena melawan hukumnya tidak ada.

Pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, batas pembelaan yang perlu

dilampaui, jadi tidak proposional.110

Pasal ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan suatu perbuatan

meskipun itu merupakan tindak pidana, akan tetapi karena dilakukan

berdasarkan perintah undang-undang maka si pelaku tidak boleh dihukum.

Asalkan perbuatannya itu memang dilakukan untuk kepentingan umum,

bukan untuk kepentingan pribadi pelaku. Dengan demikian dalam hal ini

pelaku melakukan suatu perbuatan demi kepentingan umum. Jadi ada suatu

kepentingan yang lebih besar yang harus diutamakan oleh pelaku. Jika

dihubungkan dengan teori (theory of lesser evils), maka dalam hal ini pelaku tidak dipidana karena melakukan suatu perbuatan untuk kepentingan yang

lebih besar, lebih baik. Kepentingan yang lebih besar, yang lebih baik

Pasal 50 :

110

(26)

merupakan alasan pembenar baginya untuk melakukan perbuatan tersebut,

meskipun perbuatan pidana.

Masalahanya adalah apakah perbuatan yang dimaksud dengan

undang-undang tersebut, dan apakah juga termasuk peraturan undang-

perundanganyang sebenarnya tidak sah karena bertentangan dengan

undang-udang yang atasnya (secara hirearkis).111

Pasal 51 ayat (1) :

Dalam hal ini yang dimaksud adalah

semua peraturan perundang-undangan yang tidak sah asalkan hal itu

dialakukan dengan itikad tidak baik. Dengan kata lain, Undang-Undang yang

tidak sah itu dijalankannya dengan anggapan bahwa Undang-Undang itu

adalah sah. Apabila hal itu terjadi, maka bukan lagi sifat melawan hikum

perbuatannya yang hapus, akan tetapi kesalahan pelaku yang hapus, ia tidak

mempunyai kesalahan, dan oleh karena itu ia tidak boleh dipidana.

112

Menurut Pasal ini seseorang yang melakukan tindak perintah untuk

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dari suatu jabatan atau

penguasa yang sah, meskipun perintah tersebut merupakan tindak pidana ia

tidak boleh dihukum. Yang dimaksud dengan perintah disini tidak haru dalam

bentuk tertulis saja, dan yang secara langsung disampaikan kepadanya, akan

111

Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2012 adalah:

1. Undang-undang Dasar 1945; 2. Undang-undang;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); 4. Peraturan Pemerintah;

5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan Daerah.

112

Pasal 51 ayat (1) KUHP berbunyi :

(27)

tetapi juga dalam bentuk instruksi lisan dengan menggunakan sarana

komunikasi. Akan tetapi harus diperhatikan antara yang memerintah dengan

yang diperintah harus ada hubungan jabatan dan dalam ruang lingkup

kewenangan/kekuasaan menurut hukum politik (meskipun tidak harus sebagi

pegawai negeri).

Pasal 51 ayat (2) :113

Hukum pidana formil atau hukum acara pidana yang berlaku sekarang ini

adalah berdsarkan Undang-undang yang disetujui pada tanggal 9 September

1981 dan disyahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September

1981. Selanjutnya disyahkan menjadi Undang-Undang oleh Presiden pada

tanggal 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (Undang-undang No. 8 Tahun 1981) Lembaran Negara Tahun Pasal ini menentukan bahwa melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah,

tetap merupakan perbuatan melawan hukum; dan oleh karenanya tidak dapat

dijadikan alasan untuk menghapuskan pidana (tidak membebaskan pelakunya

dari hukuman). Akan tetapi apabila perintah tersebut dilaksanakan oleh orang

yang menerima perintah dengan itikad baik karena memandang perintah

tersebut adalah perintah dari pejabat yang berwenang, dan pelaksanaan

perintah tersebut termasuk dalam ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia

lakukan, maka ia tidak dipidana.

2. Undang-Undang Nomor 8/1981 (KUHAP)

113

Pasal 51 ayat (2) KUHP berbunyi :

(28)

1981 Nomor 76. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8/1981 (KUHAP)

tersebut, maka kewenangan dalam memberikan/menjatuhkan putusan atau

vonis terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana adalah hakim

(majelis hakim). Demikian juga kewenangan untuk

mengecualikan/menghapuskan hukuman juga adalah hakim. Berdasarkan

KUHAP, maka jenis-jenis keputusan yang dapat dijatuhkan pengadilan

(majelis hakim) dalam suatu perkara pidana adalah :

1. Putusan pemidanaan/penghukuman (veroordeling)114 2. Putusan bebas/pembebasan (vrijspraak)115

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag).116

3. Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997

Undang-Undang Nomor 3/1997 ini adalah Undang-Undang tentang

Pengadilan Anak yang disyahkan berlaku mulai tanggal 3 Januari 1997.

Undang-undang ini ada hubungannya dengan alasan pengecualian hukuman, terutama

terhadapa anak yang melakukan perbuatan pidana. Pada mulanya dalam KUHP

kita diatur tentang anak yang berumur dibawah 16 tahun yang melakukan

perbuatan pidana tidak dikenakan hukuman, yang merupakan salah satu alternatif

dari putusan hakim, seperti yang diatur di dalam Pasal 45 KUHPidana.

114

Pasal 193 KUHAP berbunyi : “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan indak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

115

Pasal 191 ayat (1) KUHAP berbunyi : “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

116

(29)

Dengan demikian berdasarkan pasal 45 KUHP tersebut, maka faktor umur

yang msih muda, yaitu di bawah 16 tahun merupakan alasan penghapus pidana.

Akan tetapi, sejak keluarnya UU Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

maka Pasal 45 KUHP ini telah dicabut, sesuai dengan bunyi Pasal 67

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Oleh karena itu

berdasarkan UU tentang Pengadilan Anak sekatrang ini, amak batas umur pelaku

yang tidak dapat dipidana adalah dibawah 8 (delapan) tahun, sebagaimana yang

diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

Pasal 4 berbunyi :

“(1) Batas umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah

sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

(2) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak

yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai

umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak”.

Jadi apabila anak yang berumur 7 tahun misalnya melakukan suatu tindak

pidana pencurian, maka anak tersebut berdasarkan Pasal 4, tidak dapat dihukum

(merupakan alasan penghapus pidana). Meskipun terhadap anak yang berumur

dibawah delapan tahun tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik

(bukan diadili oleh hakim) guna mengetahui apakah tindak pidana yang dilakukan

anak tersebut seorang diri, atau ada orang lain yang berumur di atas delapan tahun

(30)

Pasal 5 ayat (1) Undng-Undang tentang Pengadilan Anak ini, beserta

Penjelasannya.

Pasal 5 ayat (1) berbunyi :

“Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (Delapan) tahun melakukan atau diduga

melakukan tindak pidana, maka anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh

Penyidik”.

Dalam Pasal 5 ayat (1) berbunyi :

“Dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap anak yang

melakukan tindak pidana sebelum mencapai umur 8 (delapan) tahun tetap

diterapkan asas praduga tak bersalah.

Penyidikan terhadap anak dilakukan untuk mengetahui apakah anak melakukan

tindak pidana seorang diri atau ada unsur pengikutsertaan (deelmening) dengan

anak yang berumur di atas 8 (delapan) tahun atau dengan orang dewasa”.

Dengan demikian berdasarkan Pasal 5 ini, maka jika tindak pidana tersebut

dilakukan oleh anak dibawah umur delapan tahun bersama-sama dengan orang

dewasa atau anak yang berumur di atas delapan tahun, maka anak yang berumur

dibawah delapan tahun tidak dipidana, sedangkan orang lain yag ikut serta dapat

diadili dan dijatuhi pidana (dapat dihukum). Dengan demikian di Negara kita,

dengan keluarnya UU tentang Pengadilan Anak ini telah membawa perubahan

dalam hal alasan penghapusan pidana dari sudut faktor umur pelaku.

Batas umur 8 (delapan) tahun bagi Anak Nakal untuk dapat diajukan ke

Sidang Anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedadogis,

(31)

mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hal ini dipertegas dalam Penjelasan

Pasal 4 ayat (1) UU No. 3/1997 (tentang Pengadilan Anak).

....Batas umur 8 (delapan) tahun bagi Anak Nakal untuk dapat diajukan ke

Sidang Anak didasrkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedadogis,

bahwa anak yang belum mencapai umur 8 (delapan) tahun dianggap belum dapat

mepertanggungjawabkan perbuatannya.117

Sedangkan dalam Task Force on Juvenile Deliquency Prevention,

menentukan bahwa seyogianya batas usia penentuan seseorang sebagai anak

dalam konteks pertanggungjawaban pidana ditetapkan usia terendah 10 tahun dan

batas antara 16-18 tahun. Resolusi PBB yang tertuang dalam Resoluisi 40/33 yaitu

tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice

(Beijing Rules) menetapkan batas anak, adalah seseorang yang berusia 7-18

tahun.118

Undang-undang Nomor 5 tahun 2010 ini adalah Undang-Undang tentang

Grasi yang baru, menggantikan UU yang lama No. 22 Tahun 2002.

Undang-undang ini lahir mengingat Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 tentang adanya hak

prerogatif Presiden untuk memberikan Grasi. Menurut Undang-undang ini yang

dimaksud dengan grasi adlah pengampunan berupa perubahan, peringanan, Jadi menurut Beijing Rules ini yang berusia dibawah 7 tahun merupakan

pengecualian hukuman, sedangkan di Negara kita, yaitu menurut Undang-Undang

Pengadilan Anak, adalah usia di bawah 8 tahun merupakan pengecualian

hukuman.

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010

117

(32)

pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang

diberikan oleh Presiden. Kedati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan,

mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan

pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukam merupakan

rehabilitasi terhadap terpidana.119 Dengan demikian berdasarkan Pasal 1 angka 1

Undang-undang ini, maka yang berhak atau yang berwenang memberikan grasi

tersebut adalah Presiden. Dalam hal ini kewenangan Presiden tersebut bukanlah

kewenangan sebagai lembaga penegak hukum (mencampuri kewenangan lembaga

yudikatif), melainkan kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan

sebagai salah Kepala Negara (bukan sebagai Kepala Pemerintahan atau Lembaga

eksekutif). Demikian pula, terpidana yang mendapatkan grasi bukan berarti ia

tidak mempunyai kesalahan, kesalahannya tidak dihapuskan/dihilangkan,

melainkan terpidana tersebut diampuni, diberikan pengampunan oleh Presiden.

Pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan terkait

dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan

persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap

putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam

bidang yudikatif, melainkan hak preogratif Presiden untuk memberikan

ampunan.120

119

Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-undag No. 22 Tahun 2002. Alinea ke-5 120

Ingat kembali adanya kekuasaan Presideen sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan (lemabag eksekutif) yang ada di negara kita. Lihat juga alinea Kelima Penjelasan Umum Undang-undang No. 22 Tahun 2002. (diambil dari Penelitian Dr. M. Hamdan, SH.MH dengan judul penelitian “Ketentuan Tentang Alasan Pengecualian Hukuman Dalam Peraturan Pemberian grasi yang dapat diberikan Presiden tersebut adalah

(33)

a. Peringanan atau perubahan jenis pidana;

b. Pengurangan jumlah pidana; atau

c. Penghapusan pelaksana pidana.121

Dengan demikian, meskipun seseorang telah dijatuhi pidana oleh hakim

(lembaga yudikatif) dan putusan pidananya tersebut sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap, pidananya itu dapat saja dikurangi, dirubah, diringankan atau bahkan

dapaty dihapuskan atau tidak dilaksanakan/dijalani oleh terpidana apabila

Presiden telah memberikan grasi kepadanya.

2. Implikasi Uji Materil Mengenai Batas Usia Anak Sebagai Alasan Penghapus

Pidana Anak Pelaku Tindak Pidana

Melihat fakta yang ada, tampaknya esensi dikeluarkannya Undang-undang

Pengadilan Anak sebagai wujud perlindungan terhadap anak bermasalah sangat

jauh dari apa yang diharapkan. Adanya Undang-undang (legal substance) yang baik belum tentu dapat memberi jaminan akan dapat menghasilkan hak yang baik,

tanpa ditunjang dengan aspek-aspek struktur hukum (legal structure), serta budaya hukum (legal culture) yang baik. Oleh karena itu, upaya pembaharuan hukum harus dilakukan secara menyeluruh, baik substansi, struktur, maupun

budaya. Namun demikian, satu hal yang perlu mendapatkan perhatian bahwa

walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber kepada KUHP

buatan Belanda (WvS), tetapi penegakan hukum harus berbeda dengan filosofi

(34)

lingkungan atau kerangka besar hukum nasional sebagai tempat

dioperasionalisasikannya sudah jauh berubah. Penegakan hukum pidana positif

harus berada dalam konteks ke Indonesia, bahkan dalam konteks Pembangunan

Nasional dan Pembangunan Hukum nasional. Dalam salah satu kesimpulan

Konvensi Hukum Nasional yang diselenggarakan pada bulan Maret 2008

menyatakan, bahwa; “Penegakan hukum dan sikap masyarakat terhadap hukum

tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu ditegakkan

atau diberlakukan”.122

Upaya meperbaiki nasib anak dalam peradilan pidana tidak cukup hanya

dengan merevisi atau mengganti UU Peradilan Anak, tapi perlu langkah yang

lebih mendasar yakni dengan membentuk Badan Peradilan Anak sejajar dengan

Badan-badan Peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha negara. Dengan

demikian aparat penegak hukum (Penyidik, Penuntut Umum, Hakim) direkrut

khusus untuk menangani perkara pidana anak, tidak seperti sekarang, Penyidik,

Penuntut Umum, dan Hakim terkontaminasi dengan cara-cara penanganan perkara

pidana orang dewasa.123

122

http: //respository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29981/3/Chapter%20II.pdf. diakses tgl. 13 Mei 2012. Jam . 13.00

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan

Anak berkaitan dengan Alasan alasan diadakannya penghapusan Pidana, dimana

pada awalnya seperti diketahui di dalam KUHP juga diatur tentang anak yang

berumur di bawah 16 tahun yang melakukan perbuatan pidana tidak dikenakan

hukuman, seperti yang diatur di dalam Pasal 45 KUHP. Namun, setelah UU

123

(35)

tentang Pengadilan Anak lahir, maka Pasal 45 di dalam KUHP ini pun kemudian

di cabut. Oleh karena itu, berdasarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak sekarang ini, telah menetapkan batas usia anak adalah

sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun sesuai dengan Pasal 4 ayat (1).

Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak menetapkan batas usia sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun sebagai batas

minimal pertanggungjawaban pidana juga dianggap masih terlalu rendah,

mengingat kenyataan emosional, mental dan anak/remaja. Tanggung jawab anak

dalam Undang-undang Pengadilan Anak jauh lebih rendah dibandingkan dengan

negara-negara lain, batas usia yang terlalu rendah ini akan menghambat sifat

progresif pemenuhan pendidikan anak di Indonesia, serta mengancam hak anak

untuk tumbuh dan berkembang. adapun pada realitanya, proses peradilan yang ada

atau berlaku di Indonesia saat ini masih merupakan proses peradilan orang dewasa

yang jauh dari perlindungan orang dewasa. Jika dibandingkan dengan negara lain

usia bertanggung jawab anak sebagai pelaku tindak pidana justru ada yang lebih

tinggi misalnya pada usia 12 tahun yang berlaku di negara belanda.124

124

Barda Nawawi, Op. Cit., hlm 11.

Batas usia

Anak untuk dapat dilakukan penyidikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5

ayat (1) UU Pengadilan Anak juga dianggap terlalu rendah dengan alasan bahwa

anak yang berkonflik cenderung mendapatkan kekerasan di masa Penyidikan

tersebut. Hal ini didasarkan pada realita dan praktik di mana pada proses

pemeriksaan, anak kerap mendapatkan kekerasan, seperti halnya penahanan

(36)

capaciti” penjara di Indonesia hingga ragam masalah Penahanan dan Pembinaan lainnya. Selain itu, mengenai Pidana dan Tindakan bahwa alternatif pemberian

hukuman bagi Anak Nakal sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 22 yakni

Tindaakn atau Pidana, harus diprioritaskan pada pemberian hukuman “Tindakan”.

Hal ini karena hukuman pidana akan memberikan pengaruh yang jauh lebih buruk

bagi anak dibandingkan dengan hukuman tindakan.. hal ini didasarkan pada

realitas bahwa penjara memiliki berbagai macam permasalahan yang sangat

kompleks, mulai dari penahanan bersama orang dewasa, kelebihan kapasitas,

sarana, dan prasarana yang tidak memadai sehingga secara keseluruhan akan

menghambat hak anak untuk dapat tumbuh kembang sesuai dengan usianya.

Penormaan di dalam Undang-Undang Pengadilan Anak penjelasan secara

umum tidak ditemukan alasan filosofis, yuridis dan gagasan membentuk

pengadilan anak. Di dalam Pasal 2 UU Pengadilan Anak hanya menentukan

bahwa Pengadilan Anak berada di bawah lingkungan Peradilan Umum. Namun,

Undang-undang ini diperlemah hanya sebatas Sidang Anak saja dn hanya

bermaksud membedakan sidang Anak dengan sidang orang dewasa dengan

berbagai kekhususan, misalnya kekhususan dalam petugas penegak hukumnya

dan masa tahanan yang lebih rendah, hukuman pidana dijatuhkan ditunkan

menjadi maksimum hanya ½ (seperdua) saja dari ancaman orang dewasa.

Implikasinya, secara institusional perkembangan dan kemajuan Sidang Anak tidak

berjalan efektif dan cenderung terabaikan.

Sehingga para pemohon merasa Undang-Undang Pengadilan Anak ini belum

(37)

pidana khususnya mengenai Batas Usia Anak dalam proses penanganan anak

pelaku tindak pidana. Inilah yang menjadi alasan Uji Materil tentang batas usia

Anak sebagai dasar Penghapusan Pidana bagi Anak pelaku tindak pidana.

Sehingga akan memberikan implikasi yang akan memberikan perlindungan

terhadap pertumbuhan dan perkembangan mental anak sebagai generasi penerus

(38)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari Pokok Pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa :

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak secara

keseluruhan dianggap belum mampu memberikan perlindungan sepenuhnya

kepada anak-anak yang melakukan tindak pidana.Menurut ketentuan Pasal 28B

ayat (2) UUD 1945, anak mempunyai hak konstitusional yang wajib dilindungi

serta dipenuhi. Sehingga, keberadaan anak bukan hanya sekedar subjek yang

merupakan urusan privat atau urusan domestik atau keluarga, akan tetapi

termasuk ke dalam urusan negara.

Batas Usia tanggung jawab Pidana Anak dianggap masi terlalu rendah.

Dimana menurut Undang-Undang Pengadilan Anak Pasal 4 ayat (1) berbunyi: “

Batas Umur Anak Nakal yang dapat diajukan ke Sidang Anak adalah

sekurang-kurang 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

dan belum pernah kawin”.

Oleh sebab itulah, diadakan Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 mengenai “Batas Usia Anak dalam Proses Penanganan

Anak Pelaku Tindak Pidana”.

Berdasarkan pandangan Hukum tersebut, maka batas umur minimal 12

(39)

mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28B ayat (2)

UUD 1945. Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam Pasal 4

ayat (1) UU Pengadilan Anak dan frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam

Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah inkonstitusional bersyarat, artinya

inkonstitusional kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 tahun sebagai

amabang batas minimum pertanggungjawaban pidana

Dengan perubahan batas usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi

anak adalah 12 tahun maka Mahkamah berpendapat hal tersebut membawa

“implikasi” hukum terhadap batas umur minimum bagi Anak Nakal sebagimana

ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum prnah kawin”.

B. Saran

Dalam memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana

seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan perlu diatur dalam

suatu peraturan perundang-undangan khusus, terkhusus mengenai batas usia

anak dalam pertanggungjawaban tindak pidana agar lebih jelas dan

terperinci. Perlu adanya pedoman bagi penegak hukum (kepolisian,

kejaksaan dan pengadilan tentang prosedur peradilan anak pelaku tindak

pidana serta adanya penunjukan Penyidik anak di kepolisian, jaksa penuntut

umuum khusus anak dan hakim khusu dalam penaganan anak pelaku tindak

Referensi

Dokumen terkait

The Russian Federation has the biggest number of casinos and slot machines in Eastern Europe. The best casinos for tourists are obviously the ones located in hotels. Casino Metropol

Analisis dan Desain Sistem Informasi.. 2002.Dasar Pemrograman WEB Dinamis

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pemanfaatan Dapodikdas diantaranya adalah, penggunaan Dapodikdas berkaitan dengan berbagai tugas yang berhubungan dengan

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kuat tekan, modulus elastisitas, kuat tarik belah dan serapan air dari benda uji beton yang menggunakan serbuk kaca sebagai

Penelitian ini mengembangkan dan menguji model adopsi wajib terhadap teknologi sistem ujian online dengan jaringan lokal sekolah menggunakan model UTAUT

Tanaman tomat diketahui memiliki kandungan kimia yang cukup tinggi antara lain alkaloid, arbutin, amigdalin, dan pektin Penelitian ini bertujuan untuk menguji

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri selulolitik asal ekosistem mangrove Tukak Sadai, Bangka Selatan dan mengevaluasi pengaruh kandidat bakteri