• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efisiensi Pemupukan Fosfat Melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Sawi Pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efisiensi Pemupukan Fosfat Melalui Pemanfaatan Mikroba Pelarut Fosfat Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Sawi Pada Tanah Andisol Terdampak Erupsi Gunung Sinabung"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Andisol

Andisol adalah tanah yang umumnya terdapat di daerah dataran tinggi, yakni

di sekitar gunung berapi. Luas seluruhnya diperkirakan 5,39 juta ha atau sekitar

2,9% wilayah daratan Indonesia (Subagyo dkk, 2000). Andisol merupakan tanah

yang sangat berpotensi dalam pengembangan kegiatan budidaya pertanian. Selain

tanahnya yang subur, Andisol pada umumnya terdapat di dataran tinggi sehingga

cocok untuk budidaya tanaman hortikultura.

Bahan abu vulkan dari hasil erupsi gunung berapi yang menjadi bahan

pembentukan tanah Andisol mengandung material padat, cair, dan gas. Tampubolon

dkk (2014) menyatakan bahwa hasil erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo

menyumbang unsur hara bagi tanaman, seperti kalium sebesar 2,4 ton/ha atau setara

4,7 ton pupuk KCl, fosfor sebesar 240 kg/ha atau setara 1,5 ton pupuk SP-36, dan

sulfur sebesar 120 kg/ha atau setara 0,4 ton kiserit. Adanya abu vulkan ini dapat

meningkatkan ketersediaan hara pada tanah Andisol dan dapat memperbaiki sifat

kimia tanah.

Andisol memiliki fraksi koloidal yang didominasi oleh mineral orde rentang

pendek atau mineral amorf. Adanya kandungan mineral amorf ini memberikan sifat

khas pada Andisol, seperti kandungan bahan organik tinggi, kapasitas absorbsi air

(water holding capacity) tinggi, porous, bulk density rendah, dan retensi fosfat tinggi

(Mukhlis dkk, 2011).

Dengan karakteristik sifat kimia yang menguntungkan untuk pertumbuhan

tanaman, namun Andisol masih memiliki kendala dalam pengembangannya. Ciri

(2)

permasalahan bagi tanah ini dalam menyediakan unsur P bagi tanaman. Ritonga

(2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Andisol yang terdampak erupsi

Sinabung memiliki kandungan P-total tanah sebesar 3517,27 ppm, namun P-tersedia

(Bray II) sebesar 99,30 ppm. Sementara Djazuli (2011) melaporkan P-tersedia pada

tanah Andisol di sebesar 3,06 ppm yang tergolong sangat rendah.

Adanya retensi P mengakibatkan pemupukan P menjadi kurang efisien.

Pupuk P yang diaplikasikan ke tanah tidak seluruhnya dapat diserap tanaman karena

sebagian besar P terjerap di permukaan koloid. Penjerapan (adsorbsi) P disebabkan

oleh adanya bahan mineral amorf yang memiliki gugus OH terbuka. Jerapan

non-spesifik terjadi melalui ikatan elektrostatis antara muatan positif mineral liat dengan

anion fosfat. Sementara jerapan spesifik terjadi melalui pertukaran ligan O dan/atau

OH pada mineral liat dengan anion fosfat (Mukhlis, 2011). Hal ini dibuktikan dalam

penelitian Pasaribu (2008) yang melakukan fraksionasi fosfat, dimana kandungan

Al-P sebesar 330 ppm pada saat dilakukan pemupukan P pada tanah Andisol.

Mariam dan Hudaya (2002) menyatakan bahwa peningkatan dosis pupuk P

pada tanah Andisol tidak meningkatkan P-tersedia secara linier, dimana P-tersedia

pada perlakuan kontrol sebesar 10,81 ppm, pada dosis 90 kg P2O5 / ha sebesar 11,09

ppm, pada dosis 180 kg P2O5 / ha sebesar 3,45 ppm, dan pada dosis 270 kg P2O5 / ha

sebesar 9,12 ppm. Oleh karena itu efisiensi pupuk P perlu dilakukan untuk

pemanfaatannya yang lebih baik pada tanaman.

Fosfor

Fosfor (P) merupakan unsur hara utama kedua yang dibutuhkan tanaman

setelah unsur hara nitrogen. Unsur ini merupakan bagian penting dari nukleoprotein

(3)

untuk deoxyribonucleic acid (DNA) yang membawa sifat – sifat keturunan

organisme hidup. Di dalam banyak hal senyawa fosfor mempunyai peranan dalam

pembelahan sel, merangsang pertumbuhan awal pada akar, pemasakan tanaman,

transport energi dalam sel, pembentukan buah dan produksi biji (Yulipriyanto,

2010).

Tanda atau gejala pertama tanaman kekurangan P adalah tanaman menjadi

kerdil. Bentuk daun tidak normal dan apabila defisiensi akut ada bagian-bagian

daun, buah dan batang yang mati. Warna ungu atau kemerah-merahan menunjukkan

adanya akumulasi gula yang sering ditunjukkan oleh tanaman jagung dan beberapa

tanaman lain yang kekurangan P, defisiensi P juga dapat menyebabkan penundaan

kemasakan (Winarso, 2005).

Fosfor di dalam tanah terdiri dari bentuk organik dan anorganik. P-organik

merupakan bentuk P yang lebih dominan 20 – 50 % di dalam tanah daripada bentuk

anorganik (Sanchez, 1992). Namun dalam hal ketersediaannya,

P-anorganik lebih mudah diserap oleh tanaman. Tanaman menyerap P dari tanah

dalam bentuk ion fosfat, seperti HPO42- dan H2PO4- yang merupakan bentuk

P-anorganik di dalam tanah yang akan lebih mobil dan dapat dengan mudah diserap

oleh tanaman.

Fosfor di dalam tanah seringkali menjadi permasalahan. Bentuknya yang

berupa anion akan dapat berikatan dengan senyawa lain sehingga menyebabkan P

menjadi tidak tersedia. Terdapat dua jenis reaksi fosfor di dalam tanah, yaitu (a)

penjerapan P oleh permukaan mineral tanah dan (b) pengikatan P oleh ion bebas

(4)

yang terbatas ini maka dibutuhkan penambahan P dengan pemberian pupuk fosfat

untuk meningkatkan produksi komoditi pertanian (Tilman et al., 2001).

Pada tanah – tanah masam, aktivitas besi dan aluminium meningkat dan Ca-P

yang dapat larut diubah menjadi Al-P dan Fe-P yang kurang dapat larut. Sementara

untuk tanah yang mengandung mineral amorf seperti Andisol, P akan terjerap di

permukaan koloid yang memiliki gugus OH yang terbuka sehingga menyebabkan P

tidak tersedia di larutan tanah (Mukhlis, 2011). Berdasarkan penelitian Tambunan

dkk (2014), efisiensi pemupukan P pada tanah Andisol yakni pada dosis 0,8 g

SP-36/tanaman dengan produksi 109,23 g/tanaman (7,28 ton/Ha) dan efisiensi serapan P

sebesar 11,55%.

Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroba pelarut fosfat (MPF) merupakan kelompok mikroorganisme tanah

yang berkemampuan melarutkan P yang terfiksasi dalam tanah dan mengubahnya

menjadi bentuk yang tersedia sehingga dapat diserap oleh tanaman. Mikroorganisme

pelarut fosfat ini dapat berupa bakteri (Pseudomonas, Bacillus), jamur (Aspergillus),

maupun aktinomisetes.

Adanya mikroba pelarut fosfat (MPF) diperkenalkan pertama kali oleh

Pikovskaya pada tahun 1948. Setelah dua dekade berjalan, pengetahuan mengenai

MPF ini semakin berkembang. Beberapa jenis mikroorganisme telah diisolasi dan

dibiakkan pada media kultur untuk mengetahui kemampuannya dalam melarutkan

fosfat. Dari kelompok bakteri, Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. telah diuji

kemampuannya, sementara dari kelompok jamur adalah Aspergillus sp. dan

(5)

Di dalam tanah, mikroba pelarut fosfat didominasi oleh bakteri hingga 50%

dan jamur 0,1 – 0,5 % dari total populasi. MPF diisolasi dari rizosfer maupun yang

bukan rizosfer, fillosfer, dan tanah yang banyak mengandung batuan P dengan

menggunakan metode yang diperkaya kultur teknis (Zaidi, et al., 2009). MPF

memanfaatkan garam ammonium ataupun yang sejenis sebagai sumber N untuk

siklus hidupnya. Oleh karena itu media biakan yang dikembangkan mengandung

senyawa – senyawa tersebut agar mikroba dapat hidup dan berkembang biak.

Mekanisme pelarutan P oleh mikroba pelarut fosfat terdiri dari dua jenis

mekanisme, yakni secara kimiawi dan biologi. Mekanisme pelarutan fosfat secara

kimia merupakan mekanisme pelarutan fosfat utama yang dilakukan oleh

mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut mengekskresikan sejumlah asam organik

berbobot molekul rendah seperti oksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, α

-ketoglutarat, asetat, formiat, propionat, glikolat, glutamat, glioksilat, malat, fumarat.

Meningkatnya asam-asam organik tersebut diikuti dengan penurunan pH. Perubahan

pH berperanan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat. Selanjutnya asam-asam

organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau

Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan ion

fosfat terikat dan oleh karena itu dapat diserap oleh tanaman (Ginting dkk, 2009).

Sementara pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme

tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase dan enzim fitase. Fosfatase

merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah. Fosfatase

diekskresikan oleh akar tanaman dan mikroorganisme. Pada proses mineralisasi

bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik

(6)

memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa – senyawa organik menjadi bentuk

yang tersedia (Mullen, 1998).

Peningkatan ketersediaan P melalui pemanfaatan mikroba pelarut fosfat

dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi tanaman. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Sembiring et al (2015), interaksi jamur pelarut fosfat

Talaromyces pinophilus dengan pupuk SP-36 meningkatkan P-tersedia tanah

Andisol sebesar 71,65% pada dosis 10 ml jamur pelarut fosfat dan 75% dosis

rekomendasi pupuk P. Selain itu, produksi tanaman kentang juga mengalami

peningkatan sebesar 66,8% pada dosis 20 ml jamur pelarut fosfat dan 50% dosis

rekomendasi pupuk P.

Selain jamur, bakteri juga berperan dalam pelarutan fosfat di dalam tanah.

Burkholderia cepacia, yang sebelumnya dikenal dengan Pseudomonas cepacia,

merupakan bakteri gram negatif yang belakangan diketahui kemampuannya dalam

melarutkan fosfat di dalam tanah. Bakteri ini terdapat di dalam tanah di daerah

sekitar perakaran (rizosfer) dan dalam keadaan yang lembab. Bakteri ini mampu

menjadi agen biologis dalam pengendalian penyakit tanaman karena bersifat

patogenik bagi penyakit tular tanah (soil borne disease). Selain itu B. cepacia

mampu mendegradasi senyawa toksik dalam tanah akibat bahan kimia dari pestisida

(Holmes et al., 1998).

Menurut Tamad dkk (2013), Pseudomonas sp. dapat meningkatkan

P-terlarut dari 30 menjadi 150-195 ppm P, meningkatkan mineralisasi P dari 23.7

menjadi 63.6- 91.7 ppm P, dan menurunkan P-terjerap dari 95 menjadi 36-13%. BPF

juga menurunkan pH Andisol, meningkatkan kemasaman total, populasi BPF,

(7)

Tanaman Sawi

Sawi (Brassica juncea L.) merupakan jenis tanaman sayuran daun yang

memiliki nilai ekonomis tinggi setelah kubis dan brokoli. Selain itu, tanaman sawi

juga mengandung mineral, vitamin, protein dan kalori. Oleh karena itu, tanaman ini

menjadi komoditas sayuran yang cukup popular di Indonesia (Rukmana,

2007).

Sawi merupakan tanaman semusim yang berdaun lonjong, halus, tidak

berbulu, dan tidak berkrop. Sawi dapat di tanam di dataran tinggi maupun di dataran

rendah. Sawi termasuk tanaman sayuran yang tahan terhadap hujan. Sehingga ia

dapat ditanam di sepanjang tahun, asalkan pada saat musim kemarau disediakan air

yang cukup untuk penyiraman. Keadaan tanah yang dikehendaki adalah tanah

gembur, banyak mengandung humus, dan drainase baik dengan derajat keasaman

(pH) 6-7 (Kariada dan Sukadana, 2000).

Dosis anjuran pupuk yang diaplikasikan menurut BPTP (2011) untuk

tanaman sawi yaitu urea 150 kg / ha, SP36 100 kg / ha, dan KCl 75 kg / ha akan

memberikan hasil terhadap bobot segar sawi rata – rata sebesar 19,50 g dan tinggi

tanaman sawi rata – rata 19,50 cm (Sompotan, 2013). Menurut Pardosi dkk (2014),

pemberian pupuk organik dari limbah sayur dapat meningkatkan pertumbuhan

tanaman sawi, dimana pada dosis 500 mL pupuk organik cair dapat menghasilkan

rata – rata bobot segar 147,52 g dan 17 helai daun.

Efisiensi Pemupukan

Efisiensi pemupukan merupakan suatu manajemen kegiatan yang dilakukan

(8)

memicu para petani untuk menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Untuk itu petani

melakukan penambahan input lebih besar dari biasanya untuk meningkatkan

produksi, yakni dengan melakukan pemupukan. Namun karena kegiatan pemupukan

telah berlangsung selama bertahun – tahun, peneliti pun melakukan riset dan

menemukan bahwa perlu dilakukan manajemen dalam mengefisienkan input dengan

output. Fixen (2009) menyatakan bahwa dalam melakukan praktik manajemen

terbaik (Best Management Practices) dalam pemupukan terdapat empat hal yang

harus dipenuhi, yaitu sumber hara yang tepat, rasio yang tepat, tempat yang tepat,

dan waktu yang tepat.

Unsur hara yang diberikan pada tanaman dapat dikatakan efisien jika pupuk

yang diberikan dalam jumlah minimum namun mampu memberikan hasil produksi

yang optimum. Oleh karena itu perlu adanya keseimbangan antara efisiensi

penggunaan hara yang optimal dengan produktivitas tanaman yang optimal (Robert,

2008).

Menurut Fixen et al (2014), dalam pengukuran efisiensi pemupukan terdapat

beberapa komponen, antara lain :

1. Partial factor productivity (PFP), diperoleh dengan cara jumlah produksi per

jumlah hara yang diaplikasi. PFP dapat digunakan untuk tingkat daerah

karena data dapat diperoleh berdasarkan hasil yang telah dicapai.

2. Agronomic efficiency (AE), diperoleh dengan cara jumlah peningkatan hasil

per jumlah hara yang diaplikasi. Perhitungan AE ini membutuhkan perlakuan

tanaman tanpa aplikasi pupuk sehingga dapat dilihat perbandingan antara

(9)

3. Partial nutrient balance (PNB), diperoleh dengan membagikan hara yang

keluar dengan hara yang masuk.

4. Apparent recovery efficiency (RE), diperoleh dengan cara perbedaan serapan

hara oleh tajuk tanaman per jumlah hara yang diaplikasi. RE juga

membutuhkan tanaman yang tidak diberi pupuk untuk mengetahui perbedaan

serapan tanaman yang diberi pupuk dengan yang tidak.

5. Internal utilization efficiency (IE), diperoleh dengan mengetahui hasil

produksi terhadap total serapan hara. Tingginya nilai IE menandakan

defisiensi terhadap unsur hara. Sedangkan rendahnya nilai IE menandakan

rendahnya kemampuan tanaman untuk menyerap hara karena adanya tekanan

dari lingkungan luar, seperti kekeringan, panas, keracunan mineral, dsb.

6. Physiological efficiency (PE), diperoleh dengan mengetahui jumlah

peningkatan hasil terhadap serapan hara tanaman. Sama seperti AE dan RE,

Referensi

Dokumen terkait

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan MANULIFE SAHAM SYARIAH ASIA PASIFIK DOLLAR AS yang telah lengkap sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak

Keluaran Jumlah Verifikasi Dokumen Permintaan Bantuan Keuangan.

Experimental results show that various clusters not only discriminate building roofs from other image parts but also distinguish different roof types (e.g., pitched, flat)..

File Server memiliki sistem yang berfungsi untuk melayani dan mengelola sofware sistem operasi maupun sofware aplikasi yang dibutuhkan oleh komputer client, komputer client

As the conclusion, this research proved that Teaching vocabulary by using English comic as media could improve the ability in mastery vocabulary furthermore,

Mikrokontroler ini kompitabel dengan keluarga yang diproduksi oleh In- tel Inc USA. Untuk tipe 89C51 merupakan versi dengan EEP- ROM. Kode C menyatakan mikrokontroler dibuat

Setelah diberikan perlakuan atau pembelajaran IPA menggunakan strategi Problem Based Learning rata-rata nilai siswa naik menjadi 79,71 dengan standar deviasi sebesar

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa novel Menggapai Matahari karya Adnan Katino memiliki nilai pendidikan rohani berupa nilai pendidikan