• Tidak ada hasil yang ditemukan

this PDF file MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM KARYA VISUAL | Bima Wicandra | Nirmana DKV05070101

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "this PDF file MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM KARYA VISUAL | Bima Wicandra | Nirmana DKV05070101"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM

KARYA VISUAL

Obed Bima Wicandra

Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain-Universitas Kristen Petra

ABSTRAK

Estetika visual dalam seni rupa semakin dipertanyakan dalam konteks budaya global yang terbuka. Karya yang menjurus kekerasan, pornografi, kebohongan dan hal lain yang jauh dari moral dan etika diperhadapkan dengan identitas masyarakat yang mengikuti hasrat dalam memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Karya-karya visual yang semakin berkembang beserta dengan medianya merangsang kreator visual dalam menuangkan gagasan dan imajinasi. Bagi peradaban kehidupan manusia, karya-karya visual yang dibuat harus mendukung arah peradaban yang lebih baik. Di sini peran iman dalam hubungannya dengan Tuhan mendapat ruang berinteraksi, sehingga karya visual yang dihasilkan mencerminkan kode-kode maupun simbol dalam perputaran ideologi atau nilai-nilai budaya yang menjunjung tinggi hakikat keimanan.

Kata kunci: estetika visual, imperatif moralitas, iman.

ABSTRACT

Visual aesthetics in visual arts are more and more questioned in the context of open global culture. Works that lead to violence, pornography, lies, and other things far from morality and ethics, are faced with public's identity to follow their desire to fulfill their consumtive needs. The blossoming of visual works and their media stimulates the visual creators in expressing ideas and imagination. Created visual works must support a better cultural direction for human life. Faith in its relation to God plays a role in achieveing space for interaction, so that visual works can reflect codes or symbols in the cycle of ideology or cultural values that respect the essence of faith.

Keywords:visual aesthetics, moral imperative, faith.

PENDAHULUAN

Seniman atau seorang desainer berangkat dari pemahaman tentang konsep yang terbaca

dari pengalaman kedekatannya dengan lingkungan untuk menuangkan imajinasinya. Imajinasi

yang menurut Sartre (1972) merupakan alam kesadaran untuk membayangkan sebuah tempat

yang dihuni oleh kesamaan-kesamaan yang merupakan kumpulan imaji, telah mengalirkan

sejumlah gagasan untuk berkarya.

Gagasan dari seorang pencipta karya visual itulah yang kini dituntut untuk memiliki

(2)

namun mampu membuka ruang demi terciptanya kultur kehidupan yang lebih baik. Dalam hal

muatan sendiri, Kant memberikan penilaian atas karya tidak lepas dari cara pandang di mana

realitas tidaklah terletak pada dunia yang diartikan sebagai kumpulan objek-objek, namun realitas

terbentuk dalam benak manusia yang merekonstruksi semua gejala dalam relasi-relasi logis.1 Muatan-muatan yang ada dalam realitas manusia inilah yang diharapkan tergambar dalam

karya-karya visual.

Secara umum pemikiran dalam seni adalah untuk menghasilkan suatu karya yang

mengandung muatan adalah simbolik, metaforik, pengekspresian diri, memanipulasi suatu objek

serta mempunyai kesan dan pesan tertentu. Hal tersebut merupakan gambaran-gambaran tentang

realitas dan penerjemahan apa yang dilihat di dunia dalam bentuk karya visual. Hubungan antara

manusia dengan kehidupan dan lingkungannya serta keberadaan manusia itu sendirilah yang

diasosiasikan seni sebagai karya manusia yang bermuatan dunia.

Pola hubungan yang dekat, permainan rasa, intuisi dan eksekusi visual menempatkan

karya seni mempunyai keragaman daya-daya dan kapasitas serta kemungkinan-kemungkinan

yang dimiliki manusia untuk mengungkapkannya secara simbolik. Seni dikatakan sebagai

ungkapan yang bersifat simbolik, karena gejala dan unsur kehadirannya mempunyai petunjuk

pada konsep-konsep yang dihidupi oleh komunitas maupun masyarakat tertentu. Hal

demikianlah yang membuat sebuah karya seni berpijak pada kekuatan konsep dari simbolisasi

secara fenomenologis dan mengakibatkan sebuah karya seni harus mampu mengantarkan orang

atau penikmat ke suatu kumpulan makna.

Karya seni lukis, seni patung, seni grafis hingga yang bersifat reproduktif massal seperti

film dan iklan adalah karya visual yang terbentuk dari muatan-muatan. Muatan yang biasanya

bernilai pada kebenaran, kejujuran, adi luhung, dan seterusnya dianggap memberikan nilai batas

pada karya visual. Nilai kesadaran yang seolah-olah ada kekuatan yang mengatasi (transendental)

menggerakkan muatan-muatan memiliki benang merah dari semua aktivitas berkaryanya, yaitu

hasrat atau keinginan manusia. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa setiap manusia

mempunyai pijakan pada hasrat dengan syarat. Dengan demikian, maka setiap karya visual

menjadi alat untuk mengatasnamakan seni demi mengejar hasrat manusia. Karya-karya yang

1

Wiryomartono, Bagoes P. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai

(3)

condong pada kekerasan, pornografi dan segala hal manipulasi pada akhirnya harus

berhadap-hadapan dengan muatan yang menuntut kebenaran, keadilan, pencerahan dan sebagainya.

Segala macam ‘keharusan’ atau ketetapan yang sering muncul pada tuntutan karya visual

menimbulkan representasi pada karakteristik visual. Hal inilah yang disebut Derrida sebagai

keterbatasan dalam berkarya seni.2 Derrida melihat ‘batas’ akhirnya direduksi menjadi pertanyaan yang bersifat dikotomis sehingga melahirkan pertanyaan baik atau burukkah? Aku

atau kamu? Hari ini atau kemarin? Padahal ‘batas’ dapat direpresentasikan sebagai ‘akhir yang

memulai sesuatu’ atau sebaliknya sebagai totalitas. Dengan pengenalan batas pula, maka

sebenarnya kita senantiasa berada pada fenomena yang tak terputuskan dan tak menentu dimana

terjadi banyak ruang yang bisa diapresiasikan dalam karya visual. Bentuk dan isi yang

dipersoalkan tidak menjadi yang lebih penting, karena semua mempunyai kesempatan penafsiran

yang sama sesuai dengan sifat menginterpretasi yang sarat dengan ribuan makna.

Tulisan ini bertujuan untuk menggali secara ilmiah, bahwa karya seni adalah sebuah

kemungkinan-kemungkinan tentang representasi makna. Seni yang dilahirkan dari situasi estetik

tidak serta merta menjadi sebuah tuduhan negatif ketika karya tersebut menyinggung atau masuk

kepada norma-norma tertentu dalam masyarakat tanpa ada penggalian makna dari kaidah-kaidah

seni juga.

FILSAFAT ESTETIKA

Dalam melakukan analisis mengenai estetika visual serta aspek-aspek yang mendasari

penciptaan karya yang dibuat secara eforia sehingga tidak mengindahkan nilai-nilai dalam

moralitas yang bermuatan kebenaran, keadilan dan kesucian, maka pendekatan lebih diarahkan

kepada nilai dan sifat keindahan itu sendiri sesuai pola dalam filsafat estetika. Filsafat

berhubungan dengan spekulasi dan analisis, filsafat juga bersifat selalu bertanya, analitis, kritis

dan evaluatif. Cara pandang ini menunjukkan bahwa filsafat adalah kegiatan yang bersifat

integratif atau kegiatan yang mengarah pada sintesis berbagai macam unsur ke dalam

keseluruhan yang bersifat koheren dan terpadu.3

Dengan pendekatan filosofis dapat diusahakan untuk mengerti pendirian suatu pendapat

dan norma-norma yang dipakai seorang pengamat dalam menilai karya seni. Pendekatan filosofis

juga tidak selalu memberikan jawaban tunggal tetapi bisa bersifat multiinterpretatif. Kemudian

2

Wiryomartono, Ibid. .h 97.

3

(4)

pengintegrasian dilakukan dengan mendekatkan keimanan kepada Tuhan sebagai dasar

pemikiran, bahwa semua imajinasi dan ide yang bertujuan baik dan mulia adalah ciptaanNya,

maka perlu diupayakan dalam setiap proses berkarya nilai kebenaran, keadilan dan kesucian

patut dijunjung tinggi dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik.

MORALITAS DALAM BERKARYA

Keprihatinan moral dan persoalan-persoalan moral menjadi mengemuka dalam

perkembangan budaya global yang menampikkan nilai kemanusiaan. Di sini digunakan kata

‘moral’ dalam pengertian filsafat kewajiban. ‘Moral’ digunakan untuk merujuk hal yang benar

atau salah serta bagaimana kita bertindak dan berpikir sesuai dengan prinsip betul dan salah.

Immanuel Kant,4 yang terkenal dengan teori kewajiban (imperative) menyatakan karya seni yang memenuhi unsur ‘kehendak baik’ adalah karya seni yang baik menurut dirinya tanpa pamrih dan

tanpa syarat. Dalam dunia manusia melawan nafsu-nafsu dirinya, maka kehendak bisa dilakukan

dengan maksud-maksud tertentu yang tidak baik pada dirinya. Kant kemudian membedakan

antara ‘tindakan yang sesuai dengan kewajiban’ dan ‘tindakan yang dilakukan demi kewajiban’.

Yang pertama, menurutnya tidak berharga secara moral dan disebut hanya memenuhi “legalitas”,

sedang yang kedua bernilai moral dan disebut moralitas. Pandangan inilah yang kemudian

disebut sebagai imperatif moralitas.

Pandangannya tersebut mulai dikritik karena memunculkan “rigorisme moral” (rigor =

keras, kaku, ketat), karena Kant menolak dorongan hati (belas kasih, setia kawan, dsb) sebagai

tindakan moral. Kemudian untuk menjelaskan hal itu, Kant sebenarnya ingin mengatakan bahwa

dalam moralitas yang penting adalah pelaksanaan kewajiban meski kadang tidak mengenakkan

hati. Dorongan hati macam itu bisa saja baik, tapi moralitas tidak terletak padanya.5

Karya visual tercipta dari beberapa proses yang tidak terlalu mengikat dan sesuai dengan

bakat kepribadian masing-masing seniman atau desainer. Proses penciptaan karya yang lazim

dipakai tersebut adalah teori milik Graham Wallas dalam buku The Art of Thought .6 Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

4

Wiryomartono, op. cit, h. 32.

5

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, h.

146.

6

Djelantik, A.A.M. Estetika Sebuah Pengantar. Cetakan Kedua. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia,

(5)

Preparation Incubation Inspiration Elaboration

Gambar 1. Alur penciptaan karya model Graham Wallas

Dalam proses demikian, keadaan dalam menciptakan karya seni tidak selalu tergantung

pada urutan di atas. Proses berjalan dan kerap yang terjadi adalah kreator visual telah

melangsungkan tahap elaborasi (perluasan) saat tiba-tiba pada tahap inspiration (ilham) muncul

ilham baru. Maka bisa ditebak eksekusi karya pun berubah tanpa benar-benar melalui pemikiran

yang mendalam.

Kondisi demikian menyebabkan terjadinya banyak ‘lubang’ sehingga karya visual belum

benar-benar terseleksi dengan baik. Komunikasi yang diharapkan antara pembuat dengan

pengamat pun tidak berjalan dengan baik melalui karyanya. Selain itu tidak adanya kontrol

terhadap karya yang memungkinkan memunculkan pola kekerasan, percabulan dan nilai-nilai

yang keluar dari moral tidak bisa diminimalisasikan dalam proses berkarya tersebut. Pada proses

inkubasi seharusnya bisa saja diminimalisasi dengan melakukan proses seleksi ide, namun hal

tersebut jarang dilakukan karena pada tahap memperoleh ide (inspiration), hal tersebut bisa

tergeser oleh ide lain yang seharusnya diikutkan serentak pada tahap inkubasi.

Untuk meminimalisasikan karya yang cenderung tidak sesuai dengan konsep moralitas

yang tidak memunculkan nilai kebenaran, keadilan dan kesucian ada proses penciptaan karya

yang penulis tawarkan, yaitu:

Gejala yang

ditangkap, kepekaan Ide Bahasa Seleksi Eksekusi lingkungan, inkubasi Visual Visual

Gambar 2. Alur penciptaan karya terseleksi

Bagan di atas menjelaskan alur penciptaan karya berdasarkan kematangan ide serta

kematangan dalam mengeksekusi secara visual. Penggambaran visual yang tidak cerdas

(kekerasan digambarkan secara vulgar, percabulan yang secara vulgar ditawarkan) bisa ditangkal

(6)

membangun bisa benar-benar dieksekusi secara visual. ‘Nyeni’ tidak harus keluar dari nilai moral

atau asal beda, namun karya seni yang bagus dan mempunyai nilai estetika yang tinggi adalah

karya yang mampu menimbulkan impact di masyarakat, yaitu tetap menawarkan kepada

masyarakat ekspresi diri, kepekaan lingkungan dan tetap dapat menghibur dalam bahasa

moralitas hubungan manusia dengan Tuhan. Ingat massa adalah bagian yang juga terpenting

dalam proses penciptaan karya seni.

FENOMENOLOGI RELIGI DALAM KARYA VISUAL

Persenyawaan antara realitas dunia dengan imaji menghasilkan gagasan yang memulai

adanya sikap teologia dalam beberapa karya visual. Konsep teologi Kristen dalam beberapa

karya visual terbentuk dalam penggambaran Yesus yang mampu menembus batas wilayah dan

ras. Hal tersebut misalnya penggambaran Yesus sebagai orang Jawa, Yesus orang Afrika, Yesus

dari Cina dan sebagainya beserta assesoris yang menunjukkan dimana Dia berasal. Sifat

penggambaran demikian membuktikan kepemilikan figur Yesus yang bahkan juga terdapat

dalam poster propaganda Kuba yang berjudul Guerilla Christ. Poster ini menggambarkan Yesus

memanggul senjata api laras panjang dan ikut menjadi seorang gerilyawan. Poster propaganda

tersebut ingin memperlihatkan, bahwa Yesus adalah seorang penolong bagi mereka yang

tertindas.7

Gambar 3. “Guerilla Christ” (1969).8

7

Wicandra, Obed Bima. 2004. Relasi paradigmatik ikon kristiani dalam poster propaganda Kuba. Jurnal Nirmana.

Volume 6 Nomor 1. Januari, h.13.

8

Poster ini dibuat oleh Rostgaard (desainer grafis asal Kuba) diangkat dari ucapan seorang gerilyawan Kolombia yang

(7)

Fenomena penggambaran karakteristik religius dalam Kristiani jelas tergambarkan seperti

di atas karena memang audience yang menikmati adalah kalangan Kristiani sendiri. Namun

bagaimana menyiratkan kebenaran, keadilan, kejujuran dan bukannya pornografi, kekerasan dan

sebagainya dalam karya visual yang akan dinikmati banyak orang dan bersifat universal?

Edmund Husserl pada tahun 1900 melalui Logische Untersuchungen menerapkan fenomenologi

sebagai bagian penting cara melihat serta bersikap. Dalam fenomenologis ini seorang pencipta

karya visual haruslah menarik diri atau surut dan bukannya melepaskan diri dari dunia.9 Kreator visual yang sudah terlanjur mempunyai gaya surrealis tidak harus serta merta menggantinya dan

beralih kepada karya yang bersifat religius. Begitu pula kreator visual tidak harus selalu

mengikutsertakan figur maupun simbol Yesus atau merpati yang dekat dengan simbol Kristiani

dalam setiap karyanya ‘hanya’ untuk menimbulkan muatan kebenaran.

Kekerasan, pornografi maupun ketidakadilan adalah realitas. Namun dalam fenomenologi

ini, hal-hal tersebut dilihat sebagai “yang ada”. Penanda-penanda visual lah yang akan

menerjemahkan hal-hal yang bermakna kebenaran sebagai kesamaan fenomenologis bahwa

setiap “yang ada” dapat diingat dan mengambil tempat di dunia sebagai konsep-konsep. “Yang

ada” identik tidak dalam artian harfiah sebagaimana kesamaan wujud dan rupa, sama disini

terkait dengan suatu simpul yang lahir karena proses rekoleksi. Semua objek terkumpul sebagai

suatu ‘dunia’ yang memiliki daya makna berlapis-lapis dalam arti mikro dan makrokosmik yang

berkesinambungan.

Jadi, ketika kita menuntut bahwa karya visual jangan menggambarkan kekerasan,

pornografi atau hal-hal yang melenceng dari moralitas, maka hal tersebut menjadi ketidak

niscayaan. Bukan terpatok pada kekerasan atau pornografinya, namun semua masih bersikap

terbuka dalam penginterpretasian. Mengapa demikian? Karena sejak lahir manusia sudah

berdunia dan dunia memiliki “yang ada”. Hal inilah yang mencoba direkam oleh seniman untuk

menuangkannya ke dalam karya seni sesuai dengan realita yang ada. Yang dibutuhkan agar

karya visual tampil dalam kebenaran adalah penanda visualnya harus mampu menerjemahkan

“yang ada” tersebut ke dalam kode-kode maupun simbol-simbol.

9

Wiryomartono, Bagoes P. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai

(8)

SENI: IDENTITAS, MORAL DAN BUDAYA

Seni sebagai integral dari kebudayaan selalu bersifat hybrid. Identitas budaya tidak ada

yang tetap dan tegas serta tidak ada yang murni dan monolitik. Oleh karena itu, seni dianggap

sebagai perwujudan media berekspresi yang sangat rentan dan dalam dirinya tidak ditemukan

kemapanan karena adanya potensi yang senantiasa dan terus berubah. Perubahan budaya pada

umumnya berada dalam daya tarik budaya maju yang selalu siap menggeser atau bahkan

menghegemoni budaya lainnya.

Saat Desember Kelabu yang melahirkan Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979) dan

diantaranya dimotori oleh Hardi dan FX Harsono, muncullah definisi seni rupa yang

terkungkung oleh seni patung, seni lukis dan seni grafis serta anti elitisme. Hal ini tampak pada

karya-karya mereka yang mengusung wacana seni instalasi yang merupakan akar dari

perkembangan seni post-modernisme. “Pemberontakan” perupa muda inilah yang menjadi

tonggak sejarah dalam menggeser identifikasi seni rupa konvensional.

Perkembangan lain dalam budaya adalah pergeseran media baru yang memperkenalkan

konsep gaya hidup. Media baru seperti MTV merangsang para perupa, desainer, animator dan

musisi gerakan bawah tanah (underground) untuk membuat karya visual yang bersifat

kontemporer dan hal ini didukung oleh MTV yang visualnya tidak akan ditemui di stasiun

televisi lain. Hal ini berkaitan dengan ditampungnya gaya desain dari wacana post-modernisme

yang dianggap kalangan modern sebagai sampah.

Dari hal-hal tersebut di atas, budaya sebagai identitas tidak bisa ditebak ke mana arahnya.

Industrialisasi kebudayaan dalam skala global telah menciptakan berbagai perubahan pandangan

mengenai budaya itu sendiri yang kini tidak dapat dilepaskan dari aktivitas-aktivitas ekonomi:

produksi, distribusi dan konsumsi. Industrialisasi kebudayaan ini pulalah yang menciptakan

paradigma budaya baru yang radikal, orientasi nilai budaya yang tak terbayangkan sebelumnya.

Makna-makna budaya ini tentunya sangat kontradiktif dengan tradisi kultur, adat dan agama.

Inilah peralihan budaya ke arah yang disebut sebagai “budaya konsumer”. Budaya konsumer

menggiring masyarakat global ke pola-pola budaya yang telah terdiferensiasi ke dalam sub-sub

budaya. Hal ini ditandai dengan cepatnya intensitas pergantian tanda, kode dan makna budaya

dan semakin mencairnya identitas akibat arus pergantian identitas yang semakin cepat.

Disebabkan permainan tanda, makna, citra dan identitas tersebut dikendalikan oleh hasrat

(9)

tempat bagi dekonstruksi nilai-nilai adat, moral dan agama. Kapitalisme tubuh dipertontonkan

oleh seni foto dengan model telanjangnya, darah sebagai inspirasi dalam video clip, ketidak

jujuran yang diterapkan dalam periklanan serta yang lainnya.

Kehidupan keimanan yang ditandai dengan moralitas keagamaan bersama ajaran, identitas

dan nilai-nilai yang dibawanya sebenarnya mulai menghadapi tantangan besar sejak adanya

gerakan anti kemapanan pada era ’70-an, seperti gerakan feminisme, gerakan anak muda dan

gerakan sub kultur.10 Gerakan subkultur (gerakan hippies, punk, skin-head, dan sebagainya) menjadi tantangan kehidupan keagamaan karena bersifat lebih sebagai gerakan budaya daripada

sebuah gerakan sosial politik. Seni yang lahir pada era setelah ’70-an tentunya mewarisi

sifat-sifat demikian tadi. Di sinilah iman ‘ditantang’ dalam lingkupnya yang terhimpit oleh gerakan

budaya kontemporer.

Dalam kajian estetik visual, fakta artistik dari alam dan tubuh manusia adalah satu hal,

sedangkan hal lainnya adalah ekspresi artistik dari manusia itu sendiri. Seperti ungkapan Sartre

(1972) yang menyatakan, bahwa seni juga adalah sebuah kesadaran, maka ekspresi manusia

mempunyai muatan kesadaran, bahkan manusia terlahir dari keseluruhan kesadarannya.

Sehingga dengan demikian ekspresi artistik tidak hanya memenuhi kebutuhan hasrat (lust)

artistik saja, namun juga harus memiliki tujuan atau berorientasi eksistensial sebagai manusia

yang penuh kesadaran sebagai makhluk Tuhan.

Sejalan dengan hal tersebut, maka keindahan adalah sesuatu yang mesti dan bukan

sebagai pilihan. Mengapa demikian? Karena bukankah Tuhan sendiri sudah berkesenian dengan

segala keindahannya? Mencintai keindahan itu terwujud dari ciptaanNya, yaitu manusia dan

alam semestanya. Dalam seni, keindahan adalah harmoni (cosmos) dan bukan kebalikannya

chaos (disharmony).

SIMPULAN

Hasrat religi dalam berkesenian merupakan dua hal yang bersumber pada dimensi

pengalaman terdalam manusia yang menceritakan ideologi manusia dengan segala sesuatu

termasuk Tuhan. Kejadian-kejadian yang bersifat realis itulah yang akan tergambarkan dalam

karya visual yang dibuat. Agama sebagai pangkal moralitas memang tidak harus mengkooptasi

seni sedemikian rupa seperti jaman di abad di mana agama melalui gereja menjadikan seni

sebagai alat dari agama untuk menyampaikan ajaran-ajaran dan dogma-dogmanya, sehingga

10

(10)

seniman diharuskan membuat karya-karya yang berkaitan dengan ajaran dan dogma Kristen

belaka. Pemahaman yang lebih radikal lagi adalah di luar karya gereja, maka karya tersebut

adalah sesat. Moralitas dalam berkesenian tidak seperti ini. Jangan sampai hanya karena

ketidaksetujuan atas simbol-simbol maupun tanda-tanda yang ada dalam karya visual kemudian

menganggapnya sebagai karya seni yang menyesatkan.

Yang harus dipahami adalah kesadaran bahwa karya visual yang dibuat merupakan agen

dalam perubahan apapun, termasuk agen budaya. Karya visual yang berangkat dari pemahaman

ini tentunya mempunyai konsepsi-konsepsi dalam melakukan ‘perburuan ide’ yang di dalamnya

mempunyai muatan-muatan tidak hanya berorientasi pada konsumtif semata tetapi juga

melakukan penyadaran pada masyarakat, misalnya seni yang membawa perdamaian dan

sebagainya. Dalam konteks seni modern seperti sekarang ini, nilai-nilai keimanan menjadi

sesuatu yang penting dalam menghadapi kultur yang sangat berkembang beserta dengan pola

pikir masyarakat yang semakin beragam. Seni yang multi-interpretasi sedapat mungkin tetap

meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan, ke-Tuhanan serta penafsiran personal tentang nilai dan

hubungan antara manusia dengan Tuhan.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil,

semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan

dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Flp.4:8).

KEPUSTAKAAN

Djelantik, A.A.M. Estetika Sebuah Pengantar. Cetakan Kedua. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Sartre, Jean Paul. Psikologi Imajinasi. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002.

Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Cetakan ke-5 (edisi revisi). Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Piliang, Yasraf Amir. Prolog: Seni, Nation-state, Identitas dan Tantangan Budaya Global dalam

Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia: Identitas dan Budaya Massa. Edisi I. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2002.

(11)

Verhaak, C. dan Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Wicandra, Obed Bima. Relasi paradigmatik ikon kristiani dalam poster propaganda Kuba. Jurnal Nirmana. Volume 6 Nomor 1. Januari, 2004.

Gambar

Gambar 2. Alur penciptaan karya terseleksi
Gambar 3. “Guerilla Christ” (1969).8

Referensi

Dokumen terkait

Disain Komunikasi Visual merupakan perkembangan yang makin maju dari seni sebagai aspek kebudayaan yang berkembang makin holistik dan punya daya pengaruh empat dimensional

Karya desain komunikasi visual mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa teks desain komunikasi visual dan penyajian visualnya juga mengandung

Karakter majalah adalah memiliki kedalaman isi yang jauh berbeda dengan surat kabar dan lebih terperinci, lebih mendetail karena tidak hanya menyajikan berita-berita saja seperti

Dalam membuat animasi dibutuhkan eksplorasi dan pengembangan pengetahuan yang berkaitan dengan ide cerita yang dibuat. Agar tokoh dan alur cerita

untuk mahasiswa desain komunikasi visual, yang cerdas secara visual-spatial, selayaknya. mendahulukan ways of knowing yang sesuai dengan karakteristik

Awal retro pada psychedelic art adalah dengan meretrospeksi Art Deco and Art Nouveau menjadi bentuk yang retrogesif atau bersifat mundur, karena pemaknaan pada. desain

Di sini jelas bahwa advertising yang sering digunakan perusahaan untuk mempromosikan suatu produk berbeda jauh dengan yang namanya pekerjaan seorang Public Relations,

Sebuah berita maupun hasil penelitian yang dipublikasikan melalui media massa cetak memerlu- kan infografis tidak hanya sebagai pemaparan berita, namun juga sebagai daya tarik