• Tidak ada hasil yang ditemukan

this PDF file RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL | Dektisa Hagijanto | Nirmana DKV04060106

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "this PDF file RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL | Dektisa Hagijanto | Nirmana DKV04060106"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

RETRO SEBAGAI WACANA

DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

Andrian Dektisa Hagijanto

Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni dan Desain - Universitas Kristen Petra

ABSTRAK

Bagi sebagian orang, masa lalu menarik untuk dikenang dan ditampilkan kembali. Fenomena mengulang trend yang lalu atau disebut retro menjadi bagian aplikasi desain komunikasi visual. Dalam hal ini, retro yang merupakan produk masa lalu diasimilasikan dengan kebaruan yang merupakan produk kontemporer, tidak hanya mengusung semangat eklektik, revival, historisisme, rekonstruksi, dan duplikasi namun juga menciptakan sinergi unik untuk menarik perhatian.

Tulisan ini menyoroti tentang retro atau pengulangan, yang beragam definisinya baik sebagai bagian dari masa lalu maupun sebagai gejolak kreatif dan katarsis di era pasca modernitas, karena merupakan media bagi apresiasi, penghargaan, sindiran, dan lelucon teks dalam diskursus postmodern.

Kata kunci: retro, revival, eklektikisme, posmodernisme.

ABSTRACT

For some people, it is interesting to reminisce and expose the past. This phenomenon of reviving past trends, or called retro, becomes part of visual communication design applications. Retro is a past product that is assimilated to something new, that of a contemporary product; not only uplifting eclectic spirit, revival, historicism, reconstruction, and duplication, but also creating unique synergy to attract attention.

This paper focuses on retro or recurrence that varies in definitions as a part of the past or even as a creative vitality and catharsis of the postmodern era, because it is a medium for appreciation, awarding, insults, and humor in the postmodern discourse.

Keywords: retro, revival, eclecticism, postmodernism.

PENDAHULUAN

Dalam berbagai penampilan komunikasi visual di Indonesia belakangan ini muncul

beragam gaya seni/desain, gaya visualisasi, dan aplikasi kreatifitas visual yang

mengingatkan pada fenomena masa lalu antara lain seperti psychedelic,punk, dada, art

nouveau, art and craft, art deco, indische mooi, bauhaus, new wave, dan sebagainya.

(2)

visualisasi, unsur-unsur desain seperti jenis tipografi, warna, susunan hirarki visual,

ataupun makna pesan-pesan itu sendiri. Aplikasinyapun tampak dalam sampul kaset,

poster, iklan pada media cetak, iklan televisi. Bahkan, group-group musik masa kini

menggunakan pendekatan gaya masa lalu untuk penampilannya. Salah satunya adalah

Naif yang mempopulerkan kembali gaya psychadelic pada busana, asesoris seperti

kacamata, ikat pinggang, gaya rambut sampai kepada skuter yang dipakainya.

Lagu-lagunya mengingatkan orang pada era tahun 60-an. Salah satu iklan suplemen kesehatan

menggunakan gaya Mesir kuno dengan visualisasi figur Cleopatra. Iklan kartu kredit

menggunakan legenda ‘si Midas’. MTV-pun memakai gaya art nouveau dalam salah satu

tampilan spot-nya.

Semangat menghadirkan/menampilkan/memvisualkan kembali nuansa/gaya-gaya

lama disebut sebagai retro, yang menjadi istilah populer untuk

mendefinisikan/menyebutkan model pengulangan-pengulangan yang disebut sebagai

revival, alchimia, eklektik, historisisme, rekonstruksi, dan duplikasi. Menurut Longman

Dictionary Of Contemporary English, pengertian ‘retro’ adalah deliberately using styles

of fashion or design from the recent past. Pengertian ini ada hubungannya dengan definisi

retrospective yakni

1. concerned with or thinking about the past; dan

2. a show of the work of an artist, that includes all the kinds of work they have done1

Retro menjadi bagian dari trend, dan teks baru untuk menyebutkan sesuatu yang

pernah muncul dan muncul kembali. Retro dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi

unsur lama dengan kebaruan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi

visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas menjadi satu

kesatuan. Contohnya seperti pada iklan-iklan yang disebutkan di atas tadi. Semuanya

menampilkan produk baru, vigur model iklan masa kini (Inul, Marshanda, Agnes Monica,

dll), dengan menggunakan teknologi tercanggih untuk produksinya. Iklan –sebagai

wacana teks- menjadi berbeda dari ‘semangat’ teks rujukan. Retro hanya dipakai sebagai

pendekatan untuk menampilkan suasana sebagai pembentuk kesan saja.

1

(3)

Di dalam komunikasi visual, iklan merupakan salah satu media pembentuk kesan.

Dengan pendekatan visualisasi tertentu impresi yang timbul sengaja dihadirkan untuk

mengingatkan khalayak pada fenomena masa lalu. Namun, sesungguhnya impresi

nostalgik tersebut lahir karena cuplikan gaya ilustrasi/visualisasi/ikon yang didefinisi

ulang dan tidak berhubungan dengan produk yang diiklankannya. Bahkan, seringkali

antara produk dengan impresi nuansa retro tidak berhubungan; kedua unsur tersebut

bersatu dan berbaur untuk menghasilkan sesuatu yang baru, aplikatif, dan menjadi bagian

dari kebudayaan kontemporer.

Tulisan ini menyoroti tentang semangat kembali ke masa lalu, mengambil bentuk

bagian masa lalu, sebagai pendekatan berkomunikasi visual.

KRITIK MODERNISME

Kebudayaan massa yang menjadi bagian tak terpisahkan dari modernisme

menciptakan homogenitas dalam heterogenitas. Sebuah komunitas ‘dipaksa’ menerima

universalisme dengan paradigma globalitas, sehingga unsur-unsur individualisme

ditepikan. Dalam hal ini, isu sentral modernisme adalah dapat diterima/berfungsi

guna/dibutuhkan pada semua lapisan masyarakat melalui pendekatan produksi massal.

Kebudayaan massa modernisme menimbulkan permasalahan baru bagi umat

manusia; salah satunya adalah limbah industri dan berkembangnya pemikiran-pemikiran

berbasis gejolak sosial menentang arus mainstream dari negara-negara adidaya/Barat. Di

Amerika timbul berbagai gejolak akibat menentang perang Vietnam. Perang antara

paham liberal dengan komunis, yang berkembang dan menciptakan kesadaran baru

bahwa hegemoni pemenang perang dunia kedua tak mampu mengalahkan semangat dan

militansi rakyat Vietnam yang merubah perang ideologi menjadi konflik patriotik

mengusir imperialisme.

Keberadaan negara dunia ketiga mulai dilirik oleh komunitas negara maju. Isu-isu

seperti persamaan hak, anti-perang, anti-nuklir, cinta damai, menjadi wacana baru.

Selanjutnya merebak tuntutan pengakuan terhadap hak-hak individu yang mengalami

disorientasi akibat modernisme. Timbul pemikiran-pemikiran yang bersifat alternatif,

bersifat anti; anti kemapanan, anti gaya hidup serupa generasi sebelumnya, termasuk

(4)

berkantor secara tetap dan mapan, keharusan berpakaian sesuai aturan/norma. Konsepsi

baru tersebut memunculkan istilah-istilah yang menjadi bagian budaya kontemporer

seperti: indie, retro, pemikiran kiri, semangat neo, idealisme sosialis, bahasa slank, dan

perilaku-perilaku yang identik dengan semangat jiwa bebas, tanpa beban, dan

memberontak. Mereka mengklaim diri sebagai Generasi X.2

Revolusi sikap yang melanda kaum muda dunia tersebut bagai sebuah virus yang

berkembang dengan percepatan yang luar biasa akibat majunya teknologi informasi dan

peradaban. Sikap hidup demikian memunculkan komunitas-komunitas eksklusif

menentang arus mainstream melalui aplikasi-aplikasi dalam ruang ekspresi sosial mereka

seperti musik rock, film-film underground, media indie, anti westernisasi/globalisasi,

pemakaian obat-obat psikotropika (madat), gaya berdandan model punk, dan

aplikasi-aplikasi pada desain komunikasi visual di medium komunikasi mereka. Reaksi ini juga

sebagai bagian dari tindakan represif sistem kekuasaan yang menciptakan marjin kaku,

dengan produk-produk kesewenang-wenangan seperti militerisme, sistem

perundang-undangan, eksklusivitas yang mengedepankan kelompok tertentu misalnya kelompok

cendekiawan, kelompok ahli, munculnya tribalisme dan mentalitas yang mengunggulkan

suku atau kelompoknya sendiri.

Awalnya universalisme mampu mengatasi sikap tribalisme tersebut, namun ketika

modernisme diredefinisi, segala aplikasi modernisme terkena imbasnya pula, lalu sikap

primordialisme ini dipakai sebagai alasan pertikaian setelah perang ideologi.

FORM-FOLLOW-FUNCTION-FOLLOWS-FUN

Metode eklektikisme3 menjadi telaah dalam posmodern karena menghasilkan gaya baru dari cukilan/mosaik/kombinasi masa lampau. Pengkombinasian tersebut oleh Swatch

2

Paul Fussel dan Douglas Coupland dalam Kompas, 11 September 2000 menyebut istilah ini menjadi fenomena anak muda yang menolak kemapanan, menolak apa yang ditetapkan oleh generasi orang tua mereka -Generasi Baby Boomers, yang berhasil hidup sukses dengan ngotot bekerja, punya rumah serta mobil mewah sebagai indikator keberhasilan kehidupan-. Sebaliknya, Generasi X ini dicitrakan di Australia sebagai kelompok komunitas anak muda anak orang kaya yang bermalas-malasan, menolak kerja dan tanggung jawab, punya rumah dekat pantai agar dapat mandi sinar matahari, dan bersenang-senang. Penolakan tuduhan bagi Generasi X ini dengan menyebutkan bahwa mereka tetap punya tujuan hidup, melewatkan sebagian waktu untuk bekerja dari rumah dengan memanfaatkan teknologi, lalu keluar rumah untuk surfing atau sekedar bergolekan di hangatnya pasir pantai.

3

(5)

Catalogue seperti yang dikutip Pilliang (2003)4 disebut sebagai form-follow-function-follows-fun. Pendekatan style dalam retro adalah memperlakukan gaya sebagai suatu

bentuk komunikasi yang di dalamnya bukan lagi makna-makna dari pesan (function),

melainkan eforia permainan bebas tanda-tanda dan kode-kode yang didalamnya terdapat

plesetan, humor, kritik, yang diaplikasikan pada produk-produk konsumer.

Esensi retro sebagai wacana reaksi tampak pada gerakan Art & Craft yang timbul

karena kritik terhadap industri modern yang mengubah desain kriya menjadi apa yang

disebut International Style yang adalah sesuatu bersifat massal, dan tidak berjiwa. Art &

Craft sebagai movement oleh seniman-seniman alumni Bauhaus pada 1950-an adalah

retro yang menciptakan kembali ‘roh’ dan merekonstruksi makna alamiah pada desain

kriya5. Retro dalam Gerakan Art & Craft justru ‘menyelamatkan esensi, dan makna desain’ menjadi lebih berjiwa, dan eksklusif, karena subjektivitas kreator kembali

diakomodir dalam desain yang diciptakan.

Retro menjadi wacana mencari kembali makna (meaning) untuk meredefinisi

semangat dalam menciptakan suatu desain; hal ini seperti yang dikatakan Lyotard sebagai

pramodern dalam mendefinisikan postmodern6. Definisi ini mencerminkan ambiguitas pemaknaan era ‘setelah modern’ apakah menjadi bentuk baru ataukah kembali ke wacana

lama, mengingat pada era pasca modern timbul suatu pemikiran yang merujuk kembali

era klasik yang tampak pada gerakan mencari kembali makna agung, ruh, atau konsep

pada karya desain yang merujuk pada seni masterpiece.

Retro sebagai gugatan pada modernitas dengan mencari kembali makna atas

eksklusivitas desain, penghargaan setinggi-tingginya atas talenta seniman/desainer, dan

semangat kembali ke alam yang seolah-olah mengkritisi modernitas dengan pemaknaan

kembali sesuai dengan wacana berfikir era form-follow-meaning. Retro pada hakikatnya

mengambil bagian dari masa lalu dan menjadi bagian dari pastiche, kitsch, parodi, dan

camp hanya makna konseptual dan ekspresinya saja yang berbeda7.

4

Pilliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003, h.205

5

Arief Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi industri hingga Postmodern, Penerbit Untar, Jakarta 1999, hal. 102

6

Herlianto, Posmodern, artikel di www.in-christ.net/yba yang didownload 10 Juni 2001

7

(6)

Retro dalam makna pastiche8 adalah mengimitasi satu bentuk gaya atau objek

untuk tujuan kesenangan, melalui permainan bebas tanda, dan merayakan tanda

ketimbang makna. Secara prinsip retro sebagai revivalisme adalah bentuk dari pastiche

dengan genre yang sama seperti model rujukannya dan mempunyai penekanan pada

persamaannya9. Kebebasan merujuk gaya masa lalu menimbulkan tumpang tindih dan simpang siur kode-kode rujukan tersebut sehingga ungkapan bahasanya menjadi mati

karena tidak memiliki konotasi dan kehilangan makna kontekstualnya10. Dalam bahasa iklan parfum remaja dan album Naif, pendekatan gaya psychedelic yang dipakai menjadi

tumpang tindih dengan konsep bahasa dan tanda psychedelic yang merupakan penanda

dari budaya madat, penyalahgunaan obat psikotropika, yang dicabut begitu saja dan

didefinisikan kembali tanpa mengacu pada pemaknaan asal dan menjadi sebuah sekedar

bahasa estetika form-follow-fun.

Pada kitsch, ‘bahan baku’ konsumen –yang diambil dari masa lalu- direproduksi

menjadi ikonik seni. Kitsch mengimitasi satu bentuk gaya atau objek untuk tujuan dan

fungsi palsu. Misalnya reproduksi mulut figur dinosaurus dalam pintu masuk toko, atau

figur gorila raksasa dalam film Kingkong pada eksterior atap toko di Cihampelas. Retro

ada pada figur Kingkong beserta pesawat terbang remuk digenggaman tangannya;

aplikasi demikian didefinisikan sebagai kitsch karena lemahnya manifestasi kriteria

estetik.

Dalam aplikasi retro sebagai parodi, dikatakan oleh Bakhtin, dalam Pilliang (2003),

bahwa parodi mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, dan tidak nyaman

dengan menghadirkan oposisi/kontras terhadap teks, karya atau gaya satu dengan lainnya.

Situasional kontras dan oposisi sengaja dipilih dengan seleksi terhadap teks, karya, atau

gaya masa lalu. Karena tidak mungkin menghadirkan parodi tanpa pengalaman/referensi

masa lalu yang kemudian direkonstruksi imitasinya. Menurut Linda Hutcheon seperti

8

Menurut Susanto, Mikke dalam Diksi Rupa, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal. 84. Pastiche adalah penyusunan elemen-elemen yang dipinjam dari perbagai pengarang atau seniman masa lalu, yang miskin orisinalitas. Pastiche mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari kepingan sejarah, mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkan dalam konteks kekinian.

9

Hucheon dalam Pilliang (2003) mencontohkan misalnya bahasa arsitektur Romawi yang dihidupkan kembali dalam arsitektur postmodernisme, di mana imitasinya lebih bebas karena tidak terikat pada satu teks saja, melainkan terjadi pengkombinasian yang interstyle.

10

(7)

yang dikutip Pilliang (2003), parodi adalah suatu bentuk imitasi yang tidak murni karena

mencirikan kecenderungan ironik. Pengulangan pada parodi bertendensi kritik dan

menghasilkan efek kelucuan11.

Lebih jauh Hucheon mengatakan bahwa persamaan antara pastiche dan parodi

adalah kebergantungan pada teks, karya, atau gaya masa lalu yang dirujuknya.

Perbedaannya retro yang diprojeksikan sebagai duplikasi, revivalism atau rekonstruksi

pada diskursus pastiche merupakan bentuk ungkapan simpati, penghargaan, atau

apresiasi, sebaliknya parodi sebagai ungkapan ketidakpuasan, dengan sindiran, plesetan,

dan kelucuan12, dan bahasa/teks yang pertama mengontrol bahasa/teks kedua.

Menurut Susan Sontag, camp adalah memuja masa lalu13, meskipun masa lalu bukanlah satu-satunya inspirasi, hubungannya dengan masa lalu bersifat sentimentil.

Camp adalah satu model ‘fenomena estetisme’, di mana estetik bukan dalam pengertian

keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian kesemuan dan ‘penggayaan’

yang dicirikan oleh upaya-upaya melakukan sesuatu yang luar biasa, berlebihan, glamour,

dan menjanjikan kesemuan sebagai model estetika. Menurut Pilliang (2003) camp

menyanjung tinggi kevulgaran, tidak begitu tertarik pada sesuatu yang otentik atau

orisinil, namun lebih kepada duplikasi dari apa-apa yang telah ditemukan untuk tujuan

dan kepentingannya sendiri. Camp adalah satu bentuk yang mempunyai pengertian

‘menghasilkan sesuatu dari apa-apa yang sudah tersedia14. Sebagai satu bentuk seni, camp

menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya, dengan mengorbankan isi.

Camp bersifat anti alamiah. Objek-objek alam, manusia, dan binatang kerap digunakan

namun secara ekstrim dideformasi; dibuat lebih kurus,ramping, jangkung atau secara

ekstrim dibuat lebih gendut, besar atau lebar. Salah satu contoh keartifisialan tentang hal

ini dapat ditemui pada beberapa karya Art Nouveau dengan bentuk-bentuk tubuh yang

panjang, yang bak melambai pada cetakan dan lukisan Beardsley, atau bentuk-bentuk

dekoratif dan asimetri pada karya Guimard, Gaudi, dan Tiffani.

11

ibid. Hal 214

12

ibid, hal 215

13

Susanto, Mikke, Diksi Rupa, Kumpulan Istilah Seni Rupa, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,2002, hal.25

14

(8)

Perkembangan konsep estetisme tidak dapat dipisahkan dari perkembangan

masyarakat industri, yang kemajuannya sangat bergantung pada komoditi. Apa yang

ditawarkan camp adalah antitesis dari konsep kemajuan itu sendiri. Di dalam masyarakat

justru reproduksi yang dijunjung tinggi, yang menghasilkan sebuah dunia barang-barang

konsumer dan menawarkan rangkaian variasi selera dan gaya tanpa batas. Camp lebih

tertarik pada bagaimana makna diproduksi atau direproduksi, juga lebih tertarik pada

gaya yakni bagaimana makna diproduksi ketimbang makna itu sendiri; camp selalu

melibatkan unsur duplikasi.

Sontag menyimpulkan, dalam Pilliang (2003), bahwa ada keterkaitan antara camp

dengan homoseksualitas. Di Amerika, komunitas Gerakan Kebebasan Gay menggunakan

camp secara intensif sebagai senjata politik. Aksi-aksi Front Pembebasan Gay dilakukan

sekelompok pria menggunakan pakaian wanita. Namun, subversivitas camp hanya dalam

batas-batas kebudayaan dan ideologi, bukan pada politik praktis kelompok gay tersebut.

Menurut Kaplan15 kecenderungan camp postmodern adalah kecenderungan mengangkat kembali ideal-ideal camp masa lalu seperti Art Nouveau, Art Deco, ornamen

androgyne16, dan bentuk artifisial.

PEMAKNAAN RETRO DALAM APLIKASI DESAIN

Perubahan desain seiring dengan dinamika pola pikir masyarakat, trend, mode, dan

kebudayaan. Makna revisibilitas pada desain serupa dengan ilmu-ilmu empirik.

Mengingat fleksibilitas dan relativitas pada desain yang lebih ‘bebas’ di banding ilmu

pasti, maka revisibilitasnyapun lebih tinggi.

Dalam aplikasi desain, banyak ditemui model perancangan memakai pengulangan

sesuatu yang pernah ada. Semenjak semangat renaissance -yang mengembalikan

15

Pilliang, ibid, hal.227

16

(9)

kejayaan Romawi17-, manusia mendefinisikan ulang konsep-konsep retro menjadi beragam aplikasi, dengan motif tertentu yang bersifat transformatif. Klasisisme menjadi

salah satu aplikasi retro yang cukup penting, menjadikannya model dan menciptakan

semangat18.

Dalam kaitan menghadirkan romantisme kejayaan masa lalu, PSSI menggunakan

kembali desain kostum kesebelasan nasional era tahun 50 sampai 60-an di mana kejayaan

sepakbola masih menjadi milik Indonesia. Namun ironisnya, para pemain sekarang yang

rata-rata berusia muda (kelahiran tahun 1980-an), kurang menjiwai semangat kejayaan

tersebut sehingga unsur retro sebagai ikon menghadirkan romantisme kejayaan

persepakbolaan Indonesia menjadi kurang efektif. Pada retro, unsur-unsur lama menjadi

referensi (menciptakan berdasarkan model terdahulu), atau re-evaluasi (memberi nilai

baru), atau restorasi (mengembalikan/pemulihan), atau retrofleksi (keadaan membengkok

ke arah belakang) atau berkembang menjadi retrogesif (bersifat mundur;bertambah

buruk), atau bahkan deformasi. Retro menjadi semacam gerakan romantik dan menjadi

katarsis dalam proses menghasilkan suatu karya desain.

Dalam kaitan gerakan revival, retro menjadi semangat untuk mengembalikan

makna agar desain memperoleh kembali ekslusivitasnya. Hal ini nampak dalam gerakan

Art & Craft dan Art Nouveau, yang menempatkan retro sebagai katarsis emosi kreatif

seniman. Dalam gerakan Bauhaus, retro dipakai sebagai reinterpretasi seni

ekspresionisme namun ditransformasikan kedalam pendekatan rasional.19 Pendekatan yang seolah kontradiktif tersebut, karena wacana seni ekspresionisme yang mempunyai

subyektivitas tinggi, dipakai sebagai ‘standard of excellence’ nilai estetika dan

fungsionalis yang abadi dan universal. Proses yang kontradiktif ini mungkin saja terjadi

karena adanya asimilasi kebutuhan antara desainer dengan penikmat/pengguna desain.

Pada Futurism dan Construktivism (dua gerakan romantik yang menjadi garda

depan desain di Italia dan Rusia) digunakan Kubisme sebagai pendekatan retro-nya.

17

Dalam gerakan renaissance, terdapat istilah ‘gaya gothic’ yang artinya ‘gaya orang barbar’ dan merupakan sindiran kaum renaissance terhadap gaya arsitektur Suger yang menentang arus mainstream retro Yunani dan Romawi kuno tersebut.

18

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal 507, Klasisisme adalah peniruan langgam seni (kebudayaan, sastra) Yunani dan Romawi kuno, yang ditandai dengan pengutamaan bentuk, kesederhanaan, dan penguasaan emosi, seperti yang terjadi pada abad ke 18.

19

(10)

Ironisnya, awal munculnya gerakan Kubisme adalah sebagai pemutusan hubungan masa

lalu dan penolakan tradisi. Namun pada Futurism dan Construktivism, Kubisme

mengalami re-evaluasi nilai-nilai intrinsiknya sehingga mengakomodir nilai-nilai masa

lalu dan tradisi.

Ketika Picasso melukis ‘Les Demoiselles d’Avignon’ pada tahun 1907 ia

mengambil (baca: me-retro) unsur-unsur primitif Iberia dan bentuk topeng kuno Afrika.

Menurut para kritikus seni, lukisan itu sebagai visualisasi konflik pemikirannya tentang

seks20. Menurut para kritikus seni, metode retro pada lukisan Picasso tersebut dipakai sebagai visualisasi pertentangan pemikirannya antara faham kuno Iberia dan Afrika

dengan revaluasi deformatif pada definisi seks, dari konsep ‘tugas alam’ menjadi

reproduksi, kesenangan, maupun eforia, sebuah konsep seksual yang ambigu. Inikah

model pendekatan camp ataukah mendefinisikan konsep seks kuno sesuai pola fikir

masyarakat tahun 1907 melalui media lukisan.

Retro dalam konsep menambah gaya/menggayakan muncul dalam Art Deco, yang

merupakan gerakan era akhir modern yang memvisualkan simbol-simbol kemajuan jaman

dengan ornamen dekoratif yang digayakan. Art Deco menggunakan retro gaya Cubism,

Fauvism, Gaya Mesir dan Indian Aztec. Estetika Art Deco adalah modernistik yaitu

perpaduan antara bentuk baru yang disederhanakan dengan kecenderungan dekoratif

lama21. Art Deco dikritik sebagai gerakan tanpa ideologi, berisi kebebasan, anarkis, dan suasana karnaval. Kritikan tersebut terjadi mengingat gaya ini timbul pada masa modern

akhir, dimana terjadi pendekonstruksian teks dan konsep makna penanda. Pemaknaan

retro model begini dianggap merupakan retrogresif (bersifat kemunduran) karena kriteria

yang dipakai untuk mengkritisi memakai konsep form follow meaning. Apabila

menggunakan konsep berorientasi pada konsumen tentu berbeda, sebab Art Deco adalah

memenuhi fantasi futuristik konsumen.

Retro pada Pop Art mengambil unsur-unsur tradisional Amerika dan unsur-unsur

yang berasal dari idiom dalam media massa koran ataupun komik, seperti teknik

pewarnaan datar/blok, pemakaian outline pada gambar dan photo montage. Unsur sisi

20

ibid, hal. 37

21

(11)

tradisional pada Pop Art, menurut Adityawarman (1999),22 adalah tipe huruf, ornamen-ornamen etnik, dan semangat mengangkat kembali gaya Art Deco, Art Nouveau.

Desain-desain Pop Art ini dipakai sebagai media ekspresi dari gerakan-gerakan protes sosial

seperti lingkungan hidup, anti perang Vietnam, persamaan gender, anti kemapanan, dan

musik rock (alternatif). Salah satu gaya yang terkenal dari Pop Art adalah psychadelic art,

yang menurut Meggs (1992) gaya ini dikaitkan dengan persepsi kecanduan obat-obatan

psikotropika. Kebanyakan para pedesain komunikasi visual memakai gaya ini karena

tuntutan klien grup musik rock dan promotor pertunjukan panggung23. Esensi visualisasinya adalah taburan kilau warna-warni cahaya pada stage beserta penyanyi dan

penari latarnya.

Secara visual ciri psychadelic art adalah penggunaan warna terang, cerah dan

kombinasi warna komplementer (misalnya hijau dan merah, atau oranye dan ungu),

memakai garis dan bentuk yang lentur sehingga gambar menjadi tidak realis, atau kurang

jelas, tipografi kehilangan legibilitasnya karena bentuk yang melengkung berirama. Foto

ditampilkan dengan kontras tinggi, hitam putih atau mengikuti warna komplementer yang

dipakai24. Awal retro pada psychedelic art adalah dengan meretrospeksi Art Deco and Art Nouveau menjadi bentuk yang retrogesif atau bersifat mundur, karena pemaknaan pada

desain yang merujuk pada budaya madat. Namun pada gaya desain kontemporer yang

dipakai saat ini, justeru retro gaya psychedelic dipakai untuk merujuk atmosfir era 60-an

tanpa mengkaitkan dengan asumsi madat, musik rock, budaya anti, dan konotasi negatif

lainnya. Ini sekaligus menjadi ‘kenangan kembali’ yang merevaluasi/mereformasi nilai

psychedelic menjadi lebih ‘beradab’. Tetapi sebagai diskursus penanda, gaya retro

psychedelic kontemporer menjadi sekedar mengungkapkan kembali kenangan ‘pandang

balik’ belaka tanpa makna transenden, serta menjadi bagian dari konsep ‘suka-suka’

belaka. Akhirnya, retro pada era kontemporer sangat mungkin tidak sekedar menjadi

alternatif rujukan bagi penciptaan gagasan baru, namun menjadi sebuah konsep yang

transformatif -yang berubah-ubah bentuknya-; retro menjadi sesuatu yang sifatnya

sementara, tak sempurna, dan dapat dikaji ulang, diperbaiki, bahkan ‘dirusak’ lagi makna

filosofisnya.

22

Adityawarman, ibid, hal 101

23

(12)

Retro yang dipakai sebagai fenomena, media, bahkan wacana dalam diskursus

posmodern menjadi model-model aplikasi yang bersifat eksperimental, fleksibel, subtil,

tanpa makna dan subjektif, namun menjadi trend, mode, bahkan disukai masyarakat,

sama seperti konsep Studio Alchimia yang menerapkan hal tersebut sebagai wujud

revivalism dalam desainnya25. Dalam hal ini, Victor Papanek mengkomentari Studio Alchimia sebagai ‘stylistic protest movements-primarily in the field of furniture-that tried

to expose the visual poverty of the late Modern Movement through promoting

non-functioning devices26

SIMPULAN

Retro memberikan fenomena alternatif dalam pendekatan desain komunikasi

visual. Sebagai gaya romantik, retro tidak hanya sekedar mengambil masa lalu untuk

menghadirkan kembali kenangan, namun dapat didefinisikan menjadi beragam makna,

memberi definisi baru, menunjukkan nilai baru dengan memperbaiki, memulihkan,

bahkan bersifat mundur, ‘merusak’ dan membengkok dari konsep semula.

Retro menjadi diskursus postmodern karena dianggap bagian dari kitsc, pastiche,

parodi, dan camp yang masing-masing mencari definisinya pada retro dengan berbagai

tinjauan konseptualnya karena fenomena retro makin menunjukkan sebagai wacana yang

tak berbentuk, dan tiada bermakna sebagaimana konsep posmodern ‘form follow fun’.

Pada diskursus era tersebut, function yang semula diusung oleh model atau petanda pada

era sebelumnya menjadi bernilai ambigu ketika mengalami retro. Dengan kondisi itu

pula, masing-masing subjek ataupun objek yang ‘berkomunikasi’ menggunakan retro,

menemukan katarsisnya tanpa merasa bertanggung jawab atas konsep nilai atau

kontribusi yang diusungnya sebagaimana contoh iklan pewangi pakaian yang mengangkat

retro gaya psychedelic. Ketika ‘konsep’ dan ‘telaah’ psychedelic dipakai sebagai acuan

untuk mengkritisi/menemukan ‘nilai’ dan ‘makna’ iklan tersebut, menjadi sebuah hal

24

Adityawarman, ibid, hal 104

25

Alessandro Mendini, salah seorang penganjur desain posmodern dari Italia yang mendirikan studio Alchimia menggunakan teknik ketrampilan tangan, warna, dan bentuk dekoratif ataupun simbol-simbol masa lalu (sebagai wujud revivalisme). Konsep Studio Alchimia ini adalah kenangan dan hal-hal yang tradisional adalah penting. Dan menggunakan model-model eksperimental dalam produksi desainnya

.

26

(13)

yang sulit, sebab nilai yang dipakai adalah kebaruan, dan semangat yang dipakai adalah

simulasi budaya konsumen, dan konsep komunikasinya mengacu pada trend dan model

yang tengah disukai tanpa perlu mencari makna filosofis bagi pendekatan retro tersebut.

Inilah yang terjadi pada retro di masa kontemporer.

KEPUSTAKAAN

Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi Industri hingga Posmodern, Penerbit Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1999.

Diah Marsidi, ''Baby Boomers'', Generasi X dan Gaya Hidup, Artikel pada Kompas, 11 September 2000.

Herlianto, Postmodern, artikel di www.in-christ.net/yba yang didownload 10 Juni 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.

Kaplan, J, Louise, Female Perversion, Penguin Books, New York, 1991.

Longman, Dictionary of Contemporary English, 3d Edition, Longman, 2001.

Megs, Phillip B, A History of Graphic Design, New York: Van Nostrand Reinhold, 1992.

Papanek, Victor, The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design and Architecture, Thames and Hudson, London, 1995.

Pilliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003.

Susanto, Mikke, Diksi Rupa, Kumpulan Istilah Seni Rupa, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,.2002.

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat tahap peralihan penulis menjelaskan kembali maksud serta tujuan diadakanya pelaksanaan konseling kelompok, penulis membangun raport (hubungan yang baik)

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “ Pengaruh Konsentrasi Pektin terhadap Sifat

Karakteristik utama kerangka kerja COBIT adalah fokus pada bisnis, orientasi pada proses, berbasis kontrol, dan dikendalikan oleh pengukuran, sedangkan prinsip yang

1) Modal usaha berasal dari modal sendiri dan grants (dana sumbangan) pemerintah. 2) Tingkat diskonto yang digunakan merupakan tingkat suku bunga deposito Bank

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan dividen, struktur

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlakuan suhu pengukusan memberikan pengaruh nyata pada sifat fisika kimia tepung ikan rucah.. Tepung ikan yang

Kromium dalam air akan menyerap pada endapan dan menjadi takbergerak.Hanya sebagian kecil dari kromium yang berakhir di air pada akhirnya akan larut.Kromium