• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kencenderungan Putusan-Putusan Hakim Pengadilan Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kencenderungan Putusan-Putusan Hakim Pengadilan Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Sengketa terkait pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku telah menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Secara yuridis perbuatan yang mencantumkan klausula eksonerasi di dalam suatu perjanjian merupakan perbuatan yang dilarang.1

Eksonerasi atau exoneration (Inggris) diartikan sebagai perbuatan yang membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab hukum. Secara sederhana, klausula eksonerasi berarti suatu klausula pengecualian kewajiban atau tanggung jawab di dalam perjanjian.

Namun di dalam praktik perbuatan itu sering kali terjadi yang berarti adalah suatu bentuk pelanggaran. Sebahagian kalangan praktisi terutama bagi kalangan para pelaku usaha yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat cenderung mencantumkan klausula eksonerasi tersebut di dalam format (formulir) perjanjian.

2

Klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan di dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.

3

1

Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UUPK).

2

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi, diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh Diana Kusumasari, berjudul “Klausula Eksonerasi” dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 April 2011.

3

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), hal. 47.

(2)

membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak, padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.

Memperhatikan pengertiannya saja sudah jelas-jelas secara hukum tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak memenuhi asas proporsionalitas (asas keseimbangan) serta bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak, padahal menurut Pasal 1338 KUH Perdata. Hukum di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak, bukan justru dibuat pembatasan-pembatasan tanggung jawab oleh salah satu pihak yang seharusnya dilaksanakan oleh pihak tersebut.

Asas keseimbangan merupakan asas yang menyatakan suatu kondisi dalam keadaan “seimbang” (evenwicht) yang menunjuk pada makna suatu keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Keadaan hening atau keselarasan dari berbagai hak dan kewajiban tidak satupun mendominasi yang lainnya, atau tidak satupun elemen yang menguasai elemen lainnya.4

4

Van Dale dalam Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2006), hal. 304.

Berarti kondisi yang tidak seimbang dalam pembagian hak dan kewajiban para pihak di dalam suatu perjanjian merupakan larangan dan bertentangan dengan asas ini.

(3)

Klausula baku mengandung syarat-syarat baku sekaligus merupakan aturan bagi para pihak yang terikat didalamnya dan telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan pihak yang lain.5 Tujuan larangan pencantuman klausula baku di dalam Pasal 18 UUPK tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.6

Tujuan larangan pencantuman klausula baku karena klausula baku berupaya untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lain dalam hal yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian.

7

Ketidakseimbangan yang ditunjukkan dengan pencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian bertentangan pula dengan asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak sangat ideal jika para pihak yang terikat dalam suatu Sehingga bila klausula baku ditemukan, maka posisi kedudukan konsumen tidak lagi setara dengan pelaku usaha, padahal berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, para pihak harus bebas menentukan klausula dalam perjanjian, pihak yang satu tidak boleh membuat penekanan terhadap pihak lainnya, tetapi harus sama-sama merasa puas dengan perjanjian yang dibuat.

5

Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum, (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 320.

6

Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK.

7

(4)

perjanjian/kontrak berada dalam posisi tawar yang masing-masing seimbang antara satu sama lain.8

Pihak yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang dikehendakinya dalam perjanjian apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang. Pihak yang memiliki posisi tawar yang kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula yang baku bahkan di dalam klausula baku itu dicantumkan pula klausula eksonerasi. Seharusnya perjanjian itu dirancang oleh para pihak secara bersama-sama, namun pihak yang kuat tersebut umumnya telah mempersiapkan format perjanjian oleh pihak yang posisi tawarnya lebih kuat.

Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak bahwa setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian (Pasal 1338 KUH Perdata) sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).

9

Pencantuman klausula eksonerasi dalam praktik masih mendominasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Bukan saja terjadi bagi para pihak yang melakukan perjanjian, namun dalam kehidupan sehari-hari yakni dalam kegiatan perdagangan, perjanjian baku sering mengandung klausula eksonerasi itu dicantumkan misalnya di dalam form perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada masyarakat, seperti dalam penjualan tiket-tiket pesawat angkutan penumpang udara,

8

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 39.

9

(5)

perusahaan pengangkutan laut maupun transportasi darat, perusahaan lising (leasing corporate), perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, kegiatan pinjam-meminjam uang, dan lain-lain, semua kesepakatan dicantumkan dalam bentuk klausula baku, ada yang sudah terlebih dahulu dibuat dalam bentuk formulir dan adapula yang dibuat dengan cara bernegosiasi langsung di antara para pihak.

Secara hukum walaupun klausula eksonerasi dilarang, namun dalam praktik perdagangan dalam perjanjian/kontrak baku tidak jarang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi yang bersifat baku yang ujung-ujungnya untuk menguntungkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat di dalam perjanjian/kontrak.

Penyelesaian masalah ketidakseimbangan dalam perjanjian, hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu perjanjian jika diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu perjanjian/kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat.10

Prinsip kebebasan berkontrak pada masa kini dapat diterima dalam situasi bilamana para pihak memiliki persamaan atau keseimbangan dalam posisi tawar (equality in bargaining power). Sebelum abad ke-19 model perjanjian/kontrak masih bersifat klasik di mana perjanjian/kontrak semua bersifat individual, namun

Hal ini dimaksudkan jika klausula-klausula di dalam perjanjian/kontrak tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai ketertiban umum, maka harus dibatalkan.

10

(6)

setelah abad ke-19 dan di awal abad ke-20 prinsip individual telah ditinggalkan menuju prinsip kolektif.11

Akibat desakan paham etis dan sosialis, pada akhir abad XIX, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang memiliki posisi tawar lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Kehendak bebas tidak lagi diberikan secara mutlak, tetapi diberi secara relatif yang selalu dikaitkan dengan kepentingan umum/negara.

12

Ketidakseimbangan hak dalam perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dapat dicontohkan pada si A adalah perusahaan besar, katakanlah sebauh perusahaan yang fungsinya melakukan jual beli mobil (kendaraan) kepada para konsumennya. Tentu saja dalam kondisi ini posisi tawar yang kuat itu ada pada pihak perusahaan bukan pada konsumen, sehingga perusahaan dapat dengan Perkembangan ini menghendaki dalam perjanjian/kontrak harus diutamakan prinsip keseimbangan dan keadilan antara posisi tawar masing-masing pihak di dalam perjanjian/kontrak tersebut harus dipenuhi, bukan mementingkan kepentingan individual sebagaimana perjanjian-perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dipandang hanya mementingkan satu pihak saja, sementara di pihak lain tidak menimbulkan rasa keadilan.

11

Y. Yogar Simamora, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia, (Surabaya: Kantor Hukum WINS & Partners, 2013), hal. 31-32. Perjanjian yang bersifat individual adalah perjanjian yang mementingkan kepentingan individu salah satu pihak biasanya pihak ini memiliki posisi tawar yang kuat, sedangkan perjanjian yang bersifat kolektif adalah perjanjian yang menyeimbangkan kepentingan antara para pihak yang terikat dalam perjanjian jadi menurut prinsip ini tidak ada satu pihak menekan pihak lain.

12

(7)

mudah mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku untuk menghindari kerugian perusahaan dan agar perusahaan itu terhindar dari tanggung jawabnya.

Contoh lain misalnya di dalam hal pengerjaan proyek pelaksanaan pembangunan yang telah diperjanjikan antara pemodal dengan pelaksanaa proyek, juga kadang-kadang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak yang didominasi oleh pihak pemilik modal yang memiliki posisi tawar yang kuat di dalam perjanjian.

Kebutuhan akan suatu benda maupun suatu proyek bagi pihak konsumen maupun pelaksanaan proyek sudah merupakan hal yang lazim, tetapi yang membuat hubungan ini menjadi tidak lazim adalah karena tidak seimbang. Ketika ditemukannya suatu kalusula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak yang semata-mata hanya mementingkan kepentingan si pelaku usaha atau si pemilik modal yang posisi tawarnya kuat, maka perjanjian demikian adalah tidak seimbang. Memang sangat disadari suatu prinsip yang berkembang di kalangan para pelaku usaha yang dikenal dengan sebutan, “take it or leave it contract”13

13

Christopher M. Kaiser, “Take It Or Leave It: Monsanto V. Mcfarling, Bowers v. Baystate Technologies, And The Federal Circuit’s Formalistic Approach To Contracts Of Adhesion”, Journal Chicago-Kent Law Review, Issue 1 Symposium: Final Status for Kosovo: Untying the Gordian Knot, Volume 80, Article 19 April 2005, hal. 17.

Lihat juga: http://www.businessdictionary.com/definition/adhesion-contract.html, diakses tanggal 4 Mei 2014, Defenisi yang ditulis dan dipublikasikan oleh Admin BusinessDictionary.com.

(8)

Menolak perjanjian/kontrak atau tidak menyetujui perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dalam kondisi yang sangat dibutuhkan, sama artinya menyianyiakan kesempatan, pihak yang posisi tawarnya lemah itu akan kehilangan kesempatan dan keuntungan, namun sebaliknya jika diambil (disetujui), maka di samping pihak yang posisi tawar yang lemah beruntung dan terpenuhi kebutuhannya, namun sebenarnya ia masih memiliki unsur yang dirugikan secara materil.

Kerugian materil itu misalnya dalam hal perjanjian leasing, pada umumnya kepada konsumen tidak diberikan copy contract perjanjian oleh perusahaan leasing. Ketika hal ini dipertanyakan oleh konsumen, perusahaan leasing mendalihkan dengan alasan yang macam-macam hingga selesainya perjanjian itu baru kemudian copy contract tersebut diberikan kepada konsumen. Ternyata di dalam copy contract terdapat klausula yang menyatakan misalnya, “perusahaan pelaku usaha (kreditor) berhak menarik mobil dengan secara sepihak jika debitor macet dalam melakukan kewajibannya”. Andaikan saja hal ini terjadi selama kredit masih berjalan, tentu saja bisa merugikan pihak debitor karena semaunya kreditor menarik tanpa ada kesepakatan penarikan.

(9)

memberikan solusi berupa penjelasan secara lisan tentang bagaimana seharusnya yang dilakukan untuk klaim asuransi tersebut.

Soal siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang dialamai oleh konsumen terkait dengan pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian pada praktiknya, konsumen yang merugi mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Antara lain contoh dalam praktik dapat dijumpai misalnya dalam usaha kredit perbankan. Sebelum adanya UUPK, dalam memberikan kredit, bank mencantumkan syarat sepihak dicantumkannya klausula yang menyatakan bahwa bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh bank untuk merubah suku bunga kredit, yang telah diterima oleh debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung.14

Contoh bank dilarang untuk menyatakan dan menundukkan debitur kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh bank dalam masa perjanjian kredit.15

14

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d0894211ad0e/klausula-eksonerasi, diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh Diana Kusumasari, berjudul “Klausula Eksonerasi” dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 April 2011.

15

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2884, diakses tanggal 3 Mei 2014, Jawaban Bung Pokrol atas pertanyaan, “Bagaimanakah praktik perjanjian kredit dalam Perbankan di mana terdapat perjanjian baku dengan klausula eksonerasi didalamnya, dengan keluarnya UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ditentukan dalam Pasal 18 tentang perjanjian baku, apakah nasabah dapat benar-benar terlindungi, dan apakah hal tersebut dapat berpengaruh buruk bagi kinerja perbankan?”, Jawaban dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 28 Juli 2004.

(10)

pembatalan oleh debitur. Ketentuan ini sepenuhnya bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen (debitur) pengguna jasa perbankan.

Klausula baku ini juga dapat dijumpai dalam tiket pesawat angkutan udara maupun karcis parkir, dan lain-lain. Pengadilan telah menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat maupun karcis parkir adalah batal demi hukum. Beberapa putusan pengadilan antara lain misalnya dalam perkara hilangnya mobil milik Anny R. Gultom saat parkir di parkiran Plaza Cempaka Mas diajukan kasasi ke MA ditolak oleh MA yang tetap mempertahankan putusan pengadilan tinggi yang memenangkan pemilik mobil yang hilang Anny R. Gultom. MA menyatakan putusan ini menjadi yurisprudensi bagi perkara yang serupa.16

Kemudian dalam kasus gugatan yang diajukan oleh konsumen bernama David M.L. Tobing menggugat atas penundaan keberangkatan (delay) pesawat angkutan udara milik PT. Lion Mentari Airlines (PT. Lion Air). MA memenangkan David M.L. Tobing dengan menjatuhkan putusan ganti rugi yang harus dibayar oleh PT. Lion Air kepada David M.L. Tobing sebesar Rp.1.852.000,- (satu juta delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah) yang terdiri dari uang ganti rugi sebesar Rp.718.500,- (tujuh ratus delapan belas ribu lima ratus rupiah) dan biaya perkara Rp.1.134.000,- (satu juta seratus tiga puluh empat ribu rupiah). Biaya perkara itu mencakup seluruh biaya mulai dari proses di

16

(11)

pengadilan tingkat pertama hingga Pengadilan Tinggi, dan biaya teguran (aanmaning).17

Klausula eksonerasi yang bersifat baku di dalam tiket pesawat PT. Lion Air itu menyatakan berikut: “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi”. Dari klausula demikian jelas-jelas PT. Lion Air ingin membebaskan kewajiban yang semestinya menjadi bertanggung jawabnya, tetapi justru dilepaskannya melalui pencantuman klausula eksonerasi ini. Majelis hakim MA menyatakan klausula baku dalam tiket PT. Lion Air adalah batal demi hukum.

18

Kemudian pengadilan juga menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat milik PT. Indonesia Air Asia (PT. Air Asia) adalah batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam perkara ini, konsumen yang bernama Hastjarjo Boedi Wibowo mengajukan gugatan atas perbuatan melawan hukum kepada PT. Air Asia di Pengadilan Negeri Tangerang. Pengadilan memenangkan gugatan konsumen tersebut dengan menjatuhkan putusan ganti rugi sebesar Rp.806.000,- (delapan ratus enam ribu rupiah) dan

17

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21311/putusan-idelayi-pesawat-lion-air-dieksekusi, diakses tanggal 2 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh MON (nama inisial), berjudul, “Putusan Delay Pesawat Lion Air Dieksekusi”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 27 Februari 2009.

18

(12)

ganti rugi immaterial sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang harus dibayar PT. Air Asia kepada Hastjarjo Boedi Wibowo.19

Alasan pembatalan keberangkatan pesawat angkutan udara milik PT. Air Asia ini adalah terjadinya kerusakan pesawat sehingga menjadi suatu keadaan memaksa (overmacht). Pesawat baru bisa digunakan pada tanggal 13 Desember 2008 sementara jadwal penerbangan Hastjarjo Boedi Wibowo adalah tanggal 12 Desember 2008. Pertimbangan majelis hakim menilai PT. Air Asia tidak dapat membuktikan secara jelas apakah pesawat yang rusak itu adalah pesawat yang mengangkut Boedi dari Jakarta ke Yogyakarta. PT. Air Asia dinilai tidak bisa membuktikan pesawat yang rusak dalam kondisi perbaikan selama sidang pengadilan.20

Pencantuman klausula eksonerasi menentukan pengalihan tanggung jawab dalam tiket pesawat PT. Air Asia jelas sangat bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK. Dalam tiket pesawat PT. Air Asia tercantum klausula eksonerasi yaitu: “Indonesia Air Asia akan mengangkut penumpang, tetapi tidak menjamin ketepatan sepenuhnya, Indonesia Air Asia dapat melakukan perubahan tanpa pemberitahuan sebelumnya”.21

19

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b6c031c4fc99/air-asia-kalah-lawan-konsumen, diakses tanggal 3 Mei 2014, Artikel yang ditulis oleh MON (nama inisial), berjudul, “Air Asia Kalah Lawan Konsumen”, dipublikasikan di website hukumonline pada tanggal 5 Februari 2010.

20

Ibid.

21

Ibid.

(13)

kecuali pengangkut dapat membuktikan keterlambatan disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Sehubungan dengan persoalan-persoalan yang telah dideskripsikan di atas, masih banyak lagi contoh-contoh kasus yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Berdasarkan penelusuran pada Direktori Mahkamah Agung Republik Indonesia ada ditemukan 7 (tujuh) contoh kasus yang mengandung klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak digugat di pengadilan. Kesemua contah kasus ini akan dibahas dan dianalisis mengenai aspek hukumnya, dan pertimbangan majelis hakimnya.

Persoalan pencantuman klausula eksonerasi dalam 7 (tujuh) contoh kasus tersebut lebih jauh ditelaah bagaimana seharusnya menurut teori-teori, doktrin-doktrin, asas-asas dan prinsip-prinsip perjanjian/kontrak, apakah hakim-hakim pengadilan dengan serta-merta mengabulkan gugatan penggugat terhadap perjanjian/kontrak yang mengandung kalusula eksonerasi atau hakim-hakim pengadilan memiliki pertimbangan lain dan berbeda satu sama lainnya dalam memberikan argumentasi hukumnya.

(14)

umumnya setuju atau mungkin ada yang tidak sependapat dengan pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak. Inilah yang menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini.

Dikaitkan dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian/kontrak misalnya prinsip keseimbangan dan keadilan, menimbulkan pertanyaan apakah pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak dapat memenuhi rasa keadilan dan perlindungan terhadap masyarakat khususnya konsumen. Hal ini juga menjadi fokus kajian yang pada kesimpulannya akan memberikan dua opsi mengatakan perjanjian yang mencantumkan klausula eksonerasi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian/kontrak atau sebaliknya, perjanjian yang mencantumkan klausula eksonerasi sesuai dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian/kontrak.

R. Subekti, tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan siapapun tidak berwenang mencampuri urusan di dalam perjanjian/kontrak. Beliau menyebut hakim memiliki wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian.22 Suharnoko juga menegaskan hal yang sama bahwa jika pelaksanaan perjanjian tidak menimbulkan ketidakseimbangan atau melanggar rasa keadilan, maka hakim dapat mengadakan penyesuaian terhadap hak dan kewajiban yang tercantum dalam perjanjian/kontrak.23

Perkara-perkara terkait dengan pencantuman klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak berikut ini, ada gugatannya dikabulkan oleh majelis hakim dan ada pula yang ditolak oleh majelis

22

R. Subekti dalam Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 4.

23

(15)

hakim. Timbul keiinginan untuk mengetahui dan menganalisis perbedaan argumentasi hakim yang menolak atau mengabulkan gugatan atas pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak. Alasan-alasan inilah yang menjadi topik pembahasan di dalam penelitian ini, sehingga menarik untuk dikaji.

Berdasarkan putusan-putusan hakim pengadilan tersebut di atas, setidaknya telah tergambar adanya persoalan dalam menjatuhkan putusan tentang perjanjian/kontrak yang mengandung klausula eksonerasi digugat di pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan majelis hakim dalam putusan-putusan itu akan dianalisis apa yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim cenderung mengabulkan gugatan atau cenderung menolak gugatan pengugat. Dorongan untuk mengetahui persoalan ini sehubungan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK telah menentukan larangan yaitu melarang pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan yang akan menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini, dirumuskan yaitu:

1. Bagaimanakah ruang lingkup larangan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian yang diatur di dalam perundang-undangan? 2. Apakah pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak dapat

memenuhi rasa keadilan dan prinsip-prinsip perjanjian/kontrak?

(16)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami ruang lingkup larangan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian yang diatur di dalam perundang-undangan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian/kontrak dikaitkan dengan rasa keadilan dan prinsip-prinsip perjanjian/kontrak.

3. Untuk mengetahui kencenderungan putusan-putusan hakim pengadilan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:

(17)

2. Secara praktis, penelitian ini sangat urgen memberikan manfaat bagi para pihak (para pelaku usaha maupun masyarakat sebagai konsumen) agar tidak dirugikan oleh pihak lain, bermanfaat pula bagi para majelis hakim betapa pentingnya memperhatikan hak-hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian demi menyeimbangkan hak dan kewajiban antara para pihak (para pelaku usaha dan konsumen) dalam perjanjian.

E. Keaslian Penelitian

Sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU, tujuannya adalah untuk menghindari kaya ilmiah yang mengandung unsur plagiat terhadap karya ilmiah milik orang lain. Hasil penelusuran di perpustakaan USU ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini:

1. Tesis atas Nia Winata, NIM: 11701109, Alumni Mahasiswa Magister Kenotariatan USU, Tamat Tanggal 27 Januari 2014, Judul Tesis “Analisis Pencantuman Prinsip Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Penyerahan Anak (Penelitian Dipantiasuhan Anak Yatim Muhamadiyah Cabang Ganda Pura Kabupaten Bireun Aceh)”. Fokus kajian di dalam tesis ini adalah membahas tentang klausula eksonerasi di dalam perjanjian penyerahan anak yatim di Panti Asuhan Muhammadiyah Cabang Ganda Pura Kabupaten Bireun Aceh.

(18)

Penerbitan Kartu Kredit”. Fokus kajian di dalam tesis ini adalah tentang akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dari pencantuman klausula eksonerasi khususnya di dalam perjanjian penerbitan kartu kredit.

Sedangkan judul pada penelitian ini adalah “Kencenderungan Putusan-Putusan Hakim Pengadilan Terhadap Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian”. Permasalahan yang akan menjadi fokus kajian di dalam penelitian ini adalah tentang ruang lingkup larangan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian yang diatur di dalam perundang-undangan, kencenderungan putusan-putusan hakim pengadilan terhadap pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian dan kaitannya dengan pemenuhan rasa keadilan serta prinsip-prinsip perjanjian/kontrak.

(19)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Pencantuman klausula baku yang mengandung klausula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak bertentangan dengan prinsip keadilan, dan prinsip keseimbangan (proporsionalitas), bertentangan dengan prinsip-prinsip perjanjian/kontrak dan norma-norma di dalam undang-undang perlindungan konsumen. Oleh karena itu teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan ini adalah teori keadilan komutatif dan teori keseimbangan (proporsionalitas).

Teori Aristoteles membagi keadilan dalam tiga lingkup yaitu keadilan distributif, keadilan komutatif, dan keadilan hukum. Dari penjelasan teori tentang keadilan Aristoteles ini nantinya akan dapat disimpulkan teori mana yang relevan terhadap teori keseimbangan. Sehingga teori ini disepakati adalah teori keadilan proporsional yang diadopsi dari teori keadilam komutatif Aristoteles.

(20)

Aristoteles sebagai adalah seorang filsuf Yunani sekitar tahun 384-322 SM, telah mempersoalkan tentang keadilan (justice)24 dalam kehidupan manusia memiliki kesamaan dengan gurunya Plato yakni sama-sama mempersoalkan keadilan yang ekstrim, tetapi konsep yang digunakan keduanya sedikit berbeda. Di mana Plato memperoleh konsep keadilan dari ilham, sedangkan Aristoteles memperoleh keadilan berdasarkan konsep rasional.25

Ilham yang dirasakan Plato sehingga melahirkan postulatnya tentang keadilan adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi, itulah keadilan.

26

Sedangkan Aristoteles melihat keadilan sebagai suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran apa yang hak, maka kecenderungannya adalah orang harus mengendalikan diri dari pleonexia, yaitu memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara merebut apa yang merupakan kepunyaan orang lain, atau menolak apa yang seharusnya diberikan kepada orang lain.27

Kemudian H.L.A. Hart melihat keadilan adalah nilai kebajikan yang paling legal (the most legal of virtues), atau dengan meminjam istilah Cicera menyebut keadilan adalah atribut pribadi (personal atribute). 28

24

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 21, hal. 24-27. Dari sisi pendekatan historis, teori tentang keadilan telah muncul sejak lama dari zaman Socrates (469-399 SM), ajaran keadilan Socrates kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Plato (427-347 SM), ajaran Plato tentang keadilan kemudian diteruskan oleh muridnya yaitu Aristoteles (384-322 SM).

25

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan; Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007), hal. 13.

26

Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), hal. 92.

27

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 163.

28

Munir Fuady, Loc. cit.

(21)

individual (individual virtue),29

Perbedaan pandangan dalam melihat keadilan selalu menyisakan kehidupan yang tidak pernah berhenti membicarakan keadilan. Oleh karena itu, sebagai manusia yang berada pada suatu negara hukum, apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif.

yang berarti pandangan ini tetap bersifat individual (subjektif).

30

Aristoteles melihat keadilan sebagai suatu kebijakan politik,

31

tetapi pemikirannya tentang keadilan sangat rasional. Pemikiran Aristoteles mendekati keadilan dari sisi persamaan, di sisi lain persamaan bisa pula dikecualikan. Pendekatan dari sisi kesamaan, Aristoteles menghendaki agar asas-asas persamaan diberikan kepada anggota-anggota masyarakat atau negara. Hukum hendaknya menjaga agar pembagian yang demikian senantiasa terjamin dan dilindungi dari perkosaan-perkosaan terhadapnya.32

Aristoteles membagi keadilan menjadi tiga yakni keadilan distributif, keadilan komutatif (keadilan korektif), dan keadilan hukum (legal justice). Pembagian ini bertujuan untuk menemukan kesamaan. Keadilan distributif menurutnya memberikan setiap orang apa yang patut didapatnya atau yang sesuai dengan prestasinya seperti jasa baik (merits) dan kecurangan/ketercelaan

(22)

(demerits), yang merupakan pekerjaan yang lebih banyak dilakukan oleh badan legislatif.33

Keadilan distributif berlaku dalam hukum publik, dan keadilan korektif yang kedua berlaku dalam hukum perdata dan pidana. Pembagian keadilan distributif dan korektif dilakukan atas dasar karena sama-sama rentan memaknai kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya saja. Hal yang penting dalam keadilan distributif adalah imbalan-imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata, sedangkan pada keadilan korektif yang menjadi persoalan adalah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh pelanggaran kesepakatan harus dikoreksi dan dihilangkan.34

Keadilan distributif berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan oleh anggota masyarakat, dengan mengesampingkan pembuktian matematis. Jelaslah apa yang ada di benak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di kalangan warga.35

Keadilan distributif mendistribusikan hak-hak setiap orang atau setiap warga negara sama rata tanpa membeda-bedakan statusnya. Misalnya, hak-hak politik masyarakat atau kedudukan di dalam parlemen, atau hak setiap mahasiswa dalam memperoleh pendidikan adalah sama. Dapat pula diartikan bentuk keadilan Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilai bagi masyarakat.

33

Munir Fuady, Dinamika...Op. cit., hal. 111.

34

Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nusa Media, 2010), hal. 25.

35

(23)

ini yaitu memberikan bagian masing-masing orang sama banyaknya, tidak perlu dibedakan apakah ia kaya atau miskin.

Pengertian keadilan komutatif menurut Aristoteles adalah memberikan kepada setiap orang haknya atau sedekat mungkin dengan haknya (to give each one his due) tidak sama rata. Mengusahakan keadilan komutatif ini merupakan pekerjaanya para hakim. Misalnya menjatuhkan hukuman sesuai dengan kesalahannya atau memberikan ganti rugi sesuai kerugian yang dideritanya, sehingga tidak ada orang yang mendapatkan keuntungan atas penderitaan orang lain, atau tidak ada orang yang menari-nari di atas duka lara orang lain.36

Keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberikan kompensasi yang memadai bagi para pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Jika ada pertengahan antara dua ekstrem yang mempersoalkan Bentuk keadilan komutatif inilah yang disebut-sebut sebagai keadilan korektif. Keadilan korektif berupaya mengoreksi keadilan distributif di pengadilan. Siapakah yang berperan penting dalam mengoreksi keadilan itu adalah para hakim pengadilan. Itu sebabnya sejalan dengan kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan kepada para hakim untuk menemukan hukum termasuk menemukan keadilan bagi para pencari keadilan.

36

(24)

ketidakadilan, maka keadilan korektif lah yang berupaya mengoreksi ketidakadilan itu.37

Hukum hanya meninjau pada perbedaan yang diciptakan oleh suatu pelanggaran, dan memperlakukan setiap manusia sebagai makhluk yang setara dari sananya, di mana yang satu menciptakan kerugian dan yang lain menderita kerugian, atau seseorang berbuat dan orang lain menerima akibat dari perbuatan orang tersebut. Nyatalah bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan yang tepat, sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya Pemerintah.

Bagaimanapun ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan atau meminjam ungkapan modern disebut dengan keseimbangan (proporsionalitas). Dari doktrin-doktrin keadilan Aristoteles ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa ketika orang menuntut suatu hak dalam perjanjian harus seimbang (proporsional), maka sesungguhnya ia sedang menuntut hak-haknya yang hilang melalui keadilan korektif (corrective justice).

38

Pengertian keadilan hukum (legal justice) menurut Aristoteles membicarakan keadilan yang telah dirumuskan oleh hukum (hak dan kewajiban) dalam undang-undang, di mana pelanggaran terhadap keadilan hukum ini akan ditegakkan melalui proses hukum, umumnya di pengadilan.

39

37

Carl Joachim Friedrich diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Op. cit., hal. 26.

38

Munir Fuady, Dinamika...Loc. cit.

39

Ibid.

(25)

Sebagaimana Aristoteles melihat keadilan dengan dasar yang rasional (penalaran), John Rawls juga mendasarkan pada rasionalitas untuk melihat keadilan. Sesuatu itu adil atau tidak adil menurut John Rawls harus didukung dengan penilaian-penilaian yang rasional atau penalaran. Rasionalitas merupakan dasar keadilan korektif. Setiap orang memiliki hasrat untuk bertindak sesuai dengan penilaian-penilaian dan mengharapkan hasrat sesuai dengan yang ada pada orang lain. Bahkan beliau katakan bahwa kapasitas moral sangat jelas dan kompleks.40

John Rawls mengembangkan keadilan yang dibagi-bagi oleh Aristoteles tersebut khususnya keadilan yang mesti dikembalikan oleh hukum (keadilan korektif). Menurutnya, keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing (justice fairnes).

41

Dua prinsip keadilan menurut John Rawls yang dirinci pertama, terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar (aqual liberties). Kedua, perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu (a) terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap orang yang lemah (maximum minimorium), dan (b) terciptanya kesempatan bagi semua orang.42

40

John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts: Harvard University Press Cambridge, 1999), hal. 41.

41

John Rawls diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 73.

42

Munir Fuady, Dinamika...Op. cit., hal. 94. Lihat juga: John Rawls, Op. cit., hal. 53. Lihat juga: John Rawls diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op. cit., hal. 72.

(26)

Itulah sebabnya, ketika orang bersengketa atau berperkara, para pencari keadilan yang telah hilang menjadikan hakim sebagai tempat perlindungan dari ketidakadilan. Seseorang datang kepada hakim berarti datang kepada keadilan karena sifat alamiah dari hakim berfungsi menghidupkan atau mengoreksi kembali keadilan formulatif dalam undang-undang dan menemukan keadilan yang telah hilang tersebut untuk dikoreksi. Dalam hal ini lembaga kehakiman harus berfungsi sebagai lembaga untuk mengoreksi dan dikoreksi, sehingga pantas lembaga itu bersifat independen.43

Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa dipahami tentang kesamaan dan dimaksudkan ketika mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum (equality before the law). Dipandang adil menurut asas ini menghendaki setiap orang diperlakukan sama dengan memberikan hak yang sama, tidak boleh dibeda-bedakan satu sama lainnya.44 Mirip dengan kesamaan proporsional yang memberi setiap orang yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya, walaupun pembedaan Aristoteles ini menghadirkan kontroversi seputar keadilan.45

Sedikitnya dapat dipahami gambaran tentang keadilan walaupun hanya dijelaskan dengan menggunakan teori-teori keadilan versi Aristoteles tersebut di atas, namun pandangan tentang keadilan menurut pakar yang lain seperti Socrates,

43

Aristoteles, The Nicomachean Ethics…Op.cit.,hal. 87.

44

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebagai Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2009), hal. 10.

45

(27)

Plato, Curzon, Eugene C. Gerhart, Bruce Nash, Allan Zullo, John Rawls, Jeremy Bentham, Cicero, Benjamin N. Cardozo, memiliki teori tentang keadilan dengan mengakhiri teorinya pada tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan semata-mata.46

Teori apapun yang memberikan postulatnya tentang keadilan selalu berbeda-beda tetapi pada akhirnya selalu dikaitkan dengan tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan. Ada yang mengaitkan keadilan dengan politik hukum negara, sehingga ukuran tentang apa yang menjadi hak atau bukan, senantiasa didasarkan pada ukuran yang telah ditentukan oleh negara. Ada juga yang memandang keadilan dalam wujud kemauan yang sifatnya tetap dan terus-menerus, untuk memberikan apa yang menjadi hak bagi setiap orang. Ada juga yang memiliki teori tentang keadilan dengan melihat keadilan sebagai pembenaran dari pelaksanaan hukum yang diperlawankan dengan kesewenang-wenangan. Ada pula yang berpendapat tentang keadilan sebagai sesuatu yang harus disucikan bukan saja diperoleh dari persidangan di pengadilan tetapi di manapun dapat diperoleh di luar pengadilan.47

Menariknya dalam teori Benjamin N. Cardozo mencetuskan keadilan dengan melalui humornya seolah memperlakukan keadilan terhadap seorang wanita yang butuh tenaga dan waktu untuk dirayu. Menurutnya proses menemukan keadilan merupakan suatu proses yang tidak pernah “terselesaikan” tetapi merupakan proses yang senantiasa melakukan reproduksi dirinya sendiri

46

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legispridence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 217-221.

47

(28)

sesuai dengan perkembangan zaman, dari generasi ke generasi dan terus-menerus mengalami perubahan, yang merupakan panggilan yang berani dan terbaik.48

Ada pula yang mengatakan keadilan yang sempurna itu tidak pernah ada, yang ada, hanyalah sekedar pencapaian keadilan dalam kadar tertentu. Maka dapat dikatakan bahwa sesuatu itu adil (rechtvaardig) lebih bergantung pada kesesuaian dengan hukum (rechtmatigheid) dari pandangan pribadi seorang penilai. Sudikno Mertokusumo mengatakan, “Hukum tidaklah identik dengan keadilan”.49

48

Ibid., hal. 222.

49

Ibid.

Berdasarkan teori-teori keadilan tersebut di atas mengarahkan pemikiran pada analisis hukum dengan fokus persoalan pencantumkan klausula eksonerasi di dalam perjanjian. Bahwa sangat dinilai tidak adil jika klausula eksonerasi (kalusula pelepasan tanggung jawab secara sepihak) dicantumkan dalam perjanjian bila dipandang dari teori keadilan distributif, hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen tidak harus sama rata atau fifty-fifty (50:50).

(29)

Kata “seimbang” (evenwicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagian beban pada kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Keseimbangan dimaksud adalah keadaan hening atau keselarasan karena berbagai gaya yang bekerja tidak satu pun mendominasi yang lainnya atau karena tidak satu elemen menguasai elemen lainnya.50

Tim Naskah Akademis BPHN merumuskan keseimbangan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan suatu perjanjian, dimana kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

Dari pengertian seimbang ini bukan berarti hak dan kewajiban dalam perjanjian bagi para pihak harus sama rata atau fifty-fifty (50:50).

51

50

Herlien Budiono, Op. cit, hal. 303-304.

51

Tim Naskah Akademis BPHN, Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985), hal. 9.

Perumusan makna keseimbangan ini adalah sepihak, tidak disebutkan hak dan kewajiban sebaliknya bagi debitur, inilah yang tidak adil dan tidak sesuai konsep keadilan komutatif.

(30)

Pembagian hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian tentu tidak mungkin harus mengikuti keadilan distributif, melainkan harus mengikuti keadilan komutatif. Namun ketika para pihak merasa tidak adil, khususnya dalam pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian, maka pihak yang merasa tidak adil itu boleh menuntut haknya melalui pengadilan, inilah makna keadilan korektif.

Tidak akan pernah ada suatu perjanjian apapun jenisnya yang mengatur hak dan kewajiban antara pihak pertama dan pihak kedua harus sama rata atau fifty-fifty (50:50). Disinlah diperlukan pembedaan keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut di atas. Tidak mungkin pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian itu harus memenuhi keadilan distributif (baca: Aristoteles).

Teori keadilan keseimbangan digunakan dalam penelitian ini lebih diarahkan pada teori keadilan komutatif untuk menganalisis pencantuman klausula eksonerasi, apakah pencantuman klausula eksonerasi tersebut adil atau tidak. Perlu diketahui bahwa seimbang (proporsional) bukan berarti harus sama rata atau fifty-fifty (50:50) sebagaimana dalam teori keadilan distributif, tetapi tidak sama rata pun (misalnya 70:30) juga adil bila dipandang dari keadilan komutatif.

(31)

teori keadilan distributif berlaku asas persamaan di depan hukum (equality before the law) tetapi kalau dalam teori keadilan komutatif tidak berlaku asas ini, artinya ada pengecualian terhadap berlakunya asas equality before the law.

Keseimbangan menurut Van Dale harus diperhatikan dalam membuat perjanjian/kontrak. Menurutnya keadaan “seimbang” (evenwicht) harus menunjukkan keselarasan antara hak dan kewajiban dari berbagai pihak yang terikat dan tidak satupun mendominasi yang lainnya, atau tidak satupun elemen yang menguasai elemen lainnya.52

Menurut Herlien Budiono keseimbangan dalam perjanjian merupakan konstruksi dari kesusilaan, itikad baik, kepantasan dan kepatutan.

53

Tujuan perjanian/kontrak menurut Atiyah menegaskan syarat pencampuran nilai-nilai masyarakat (community values), yakni keadilan (rechtvaardigheid) dengan kepatutan (betamelijkheid)54

Agus Yudha Hernoko menghendaki proporsionalitas memberikan porsi masing-masing pihak harus seimbang, tetapi tidak pula harus dilihat dari konteks keseimbangan-matematis (equilibrium), melainkan pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair,

, sehingga ketika membahas masalah pencantuman klausula eksonerasi adalah membicarakan tentang asas patut atau pantas.

55

Agus Yudha Hernoko, “Azas Proporsionalitas Sebagai Jalan Keluar Terhadap Diskursus Keseimbangan Versus Keadilan Dalam Kontrak”, Artikel Media Online Gagasan Hukum, Edisi Kamis Tanggal 8 Juli 2010, hal. 5.

(32)

2. Landasan Konsepsional

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah yang digunakan, maka di dalam penelitian ini digunakan landasan konsepsional yaitu:

a. Kecenderungan adalah kebanyakan atau dominasi arah kebijaksanaan hakim-hakim (para hakim) memutus perkara yang mengandung klausula eksonerasi di dalam perjanjian dengan dasar pertimbangan hukum yang jelas dan dapat diterima akan sehat.

b. Putusan-putusan adalah putusan-putusan majelis hakim yang pada umumnya terkait dengan persoalan pencantuman klausula eksonerasi. c. Hakim pengadilan adalah hakim-hakim atau para hakim pada peradilan

umum yang memutus perkara terkait klausula eksonerasi.

d. Pencantuman adalah membuat, menaruh, menempatkan klausula di dalam perjanjian yang mengandung eksonerasi dengan tujuan untuk melepaskan atau membebaskan pihak yang mencantumkan klausula eksonerasi tersebut dari tanggung jawab hukum.

e. Klausula baku adalah klausula yang ditetapkan secara sepihak yaitu pihak yang memiliki posisi tawar yang dalam suatu perjanjian.

f. Klausula eksonerasi adalah klausula baku yang substansinya berisi ketentuan pelepasan atau pembebasan tanggung jawab secara sepihak atas suatu peristiwa kerugian yang mungkin dan atau akan timbul di dalam perjanjian.

(33)

perjanjian dimaksud di sini termasuk semua perjanjian antara para pihak yang terikat didalamnya mengandung klausula eksonerasi.

h. Keadilan adalah keseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak di dalam perjanjian tanpa membeda-bedakan apakah posisi tawarnya kuat atau tidak kuat, yang penting walaupun klausula baku tidak bisa dihilangkan di dalam parktik, namun keadilan yang dimaksud di sini adalah menghilangkan klausula eksonerasi di dalam perjanjian dinilai lebih adil daripada dicantumkan di dalam perjanjian.

i. Para pihak adalah semua pihak yang terikat di dalam perjanjian yang dibicarakan di dalam penelitian ini dan sah secara hukum.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan di dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebutnya sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process.56

56

Ronald Dworkin dalam Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

(34)

Sifat penelitiannya adalah deskriptif analitis melalui pendekatan perundang-undangan (statute aproach).57 Sifat penelitian deskriptif analitis dipakai untuk untuk menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang berlangsung (kondisi persoalan dalam praktik yang cenderung mencantumkan klausula eksonerasi di dalam perjanjian) yang tujuannya agar dapat memberikan data mengenai objek penelitian sehingga dapat dianalisis berdasarkan teori-teori hukum atau peraturan perundang-undangan yang digunakan.58

2. Sumber Data

Alasan memilih metode ini adalah untuk mendapatkan data normatif guna menguraikan tentang asas-asas perjanjian/kontrak yang memenuhi rasa keadilan bagi para pihak, sehingga metode yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Dilakukan pula pendekatan kasus dengan mengambil 7 (tujuh) putusan hakim pengadilan yang berkaitan dengan pencantuman kalusula baku dan klausula eksonerasi dalam perjanjian.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder59

a. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang mengikat dengan permasalahan dan tujuan penelitian

, yang terdiri dari:

60

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

antara lain:

57

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal. 96.

58

Wiranto Surakhmad, Dasar-Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Transito, 1978), hal. 132.

59

Soejono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), hal. 23-24.

60

(35)

2) UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3) UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan).

4) UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

5) Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 08/Pdt.G/2011/PN.Tgl. 6) Putusan Negeri Kediri Nomor 15/Pdt.G/2013/PN.Kdr.

7) Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 65/Pdt.G/2011/PN.Smg. 8) Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 76/PDT/2009 /PT.Btn. 9) Putusan Kasasi MA Nomor 121 K/Pdt.Sus/2012.

10)Putusan Kasasi MA Nomor 294 K/Pdt.Sus/2011.

11)Putusan PN Jakarta Selatan Nomor 570/Pdt.G/2011/PN.Jk.Sel.

b. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer61

c. Bahan hukum tertier yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder

sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer yang terdiri dari: buku-buku, jurnal, majalah, dan artikel.

62

, seperti: kamus, berbagai masalah hukum yang berkaitan dengan dokumen elektronik dan hukum acara perdata.

61

Ibid.

62

(36)

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) dan studi dokumen terhadap putusan-putusan majelis hakim yang mengandung persoalan pencantuman klausula baku dan atau klausula eksonerasi di dalam perjanjian, dengan mengumpulkan berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel atau tulisan yang berkaitan dengan permasalahan dalam pencantuman klausula baku dan atau klausula eksonerasi di dalam perjanjian.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni menjelaskan dan menguraikan teori-teori, asas-asas, prinsip-prinsip, norma-norma, doktrin-doktrin, dan kaidah-kaidah hukum tentang perjanjian. Analisis data secara kualitatif menurut Johny Ibrahim adalah analisis yang didasarkan pada relevansi data terhadap permasalahan, bukan berdasarkan pada kuantitatif (banyaknya data),63 analisis kualitatif mendasarkan analisis pada doktrin-doktrin, asas-asas, norma-norma, prinsip-prinsip, konsep-konsep.64

Analisis data dalam penelitian ini dikaitkan dengan teori-teori tentang keadilan, asas keseimbangan (proporsionalitas), asas kebebasan berkontrak, dan lain-lain yang kemudian akan dihubungkan dengan permasalahan hukum yang tercantum larangannya di dalam perundang-undangan maupun permasalahan hukum di dalam praktik tentang pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku.

63

Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hal. 161.

64

(37)

Data yang dianalisis akan disimpulkan dengan memberikan argumentasi-argumentasi hukum di dalam penelitian ini, memberikan penilaian apa dan bagaimana yang semestinya menurut teori keadilan, asas, prinsip, norma-norma hukum, doktrin-doktrin, dan kaidah-kaidah hukum yang ada tentang larangan pencantuman klausula baku dan atau klausula eksonerasi di dalam perjanjian. Kemudian data dan analisis data akan dikemukakan secara deduktif (penalaran logika dari umum ke khusus)65 dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data sehingga permasalahan dapat dijawab.

65

Referensi

Dokumen terkait

PREFACE ... The Background of the Problem ... The Identification of the Problem ... The Limitation of the Problem ... The Question of the Research ... The Aims of the Research ...

Untuk memperlancar pengelolaan kas yang efektif, maka manajemen perusahaan perlu melakukan sistem pengendalian intern yang baik dengan cara memberikan unsur praktek-praktek yang

Pada BPR Syariah Artha Amanah Ummat pembiayaan multijasa menggunakan akad ijarah dan akad wakalah dimana lembaga keuangan syariah dapat memperoleh imbalan jasa

Untuk meningkatkan kemampuan Untuk meningkatkan kemampuan mentransfer pikiran ke dalam tulisan mentransfer pikiran ke dalam tulisan Meningkatkan kemampuan menulis,

Persamaan diferensial biasa yaitu suatu persamaan diferensial yang memuat turunan satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas suatu fungsi.. Persamaan

Sumber data primer yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer yaitu, kepala sekolah, dan guru

Faktor Yang Paling Dominan Dalam Menulis dan Mempresntasikan Karya Ilmiah Tiap Angkatan

Hasi penelitian ini menujukan bahwa: (1) Strategi komunikasi dalam melaksanakan pembagunan desa di Desa Sumari Kecamatan Duduksampeyan Kabupaten Gresik adalah