• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Preferensi Kepinding Tanah Scotinophara coarctata Fabricius (Hemiptera: Pentatomidae) Terhadap Beberapa Varietas Dan Umur Tanaman Padi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Preferensi Kepinding Tanah Scotinophara coarctata Fabricius (Hemiptera: Pentatomidae) Terhadap Beberapa Varietas Dan Umur Tanaman Padi"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Kepinding Tanah Scotinophora coarctata, Fabricius (Hemiptera : Pentatomidae) Biologi

Secara umum terdapat dua spesies kepinding tanahpada ekosistem padi di

Asia, yaitu kepinding tanah Malaya atau Scotinophara (=Podops) coarctata dan

kepinding tanah Jepang Scotinophara (=Podops) lurida. Banyak spesies yang

mirip kedua kepinding tanah tersebut, tetapi keberadaannya jarang mencapai

jumlah yang melimpah.

Selain memiliki nama Rice Black Bug (RBB), kepinding tanah juga

memiliki nama lain yaitu Malaysian Black Bug, Japanese Black Bug dan

Node-Feeding Black Bug. Di Malaysia dikenal dengan nama kutu bruang, sedangkan di

Filipina disebut i tim na atangya. Hingga saat ini, telah dilaporkan terdapat 42

jenis RBB (Miyamoto et al. 1983 dalam Tores et al., 2010b). Di Filipina baru 24

spesies yang telah diklasifikasi dan selanjutnya dikelompokkan ke dalam 4 group

yaitu – tarsalis, serrata, lurida, dan coarctata. 19 jenis diantaranya adalah jenis

baru dan bersifat endemik di Filipina (Barrion et al., 2007 dalam Torres et al.,

2010c).

Telur S. coarctata berbentuk lonjong, berwarna merah jambu

kehijau-hijauan dengan ukuran 1 mm. Telur diletakkan berkelompok pada pangkal

rumpun padi dengan jumlah 40–60 butir per kelompok. Stadium telur 4-7 hari

(Deptan, 2007b). Menurut Kalshoven (1981), jumlah telur per kelompok adalah

30 butir dan akan menetas setelah 7 hari.

Nimfa berwarna coklat kekuningan, tidak bersayap, stadium nimfa 20-30

(2)

siang hari dan aktif pada malam hari. Seperti halnya dewasa, nimfa juga aktif

melakukan penghisapan pada pangkal batang padi (Suharto, 2007).

Gambar 1 : (a). S. coarctata dewasa, (b). S. coarctata dewasa melindungi telurnya, (c) serangga muda instar awal (d). serangga muda.

Imago berbentuk oval dengan ukuran 7-10 mm (Kalshoven, 1981),

berwarna coklat kehitaman dan apabila terganggu berbau khas yang menyengat

(Gambar 1a). Menurut Deptan (2013), S. coarctata dewasa akan bertelur 12-17

hari setelah kawin, selanjutnya serangga betina akan menjaga kelompok telurnya

(Gambar 1b). Nimfa yang baru menetas berukuran sangat kecil (1c). Nimfa aktif

menghisap tanaman dari pangkal batang padi yang terdekat (1d).

Siklus hidup S. coarctata bervariasi dan banyak yang belum diketahui

(Kalshoven, 1981). Umur imago 4-7 bulan hal ini tergantung umur tanaman

inang, makin tua tanaman, serangga makin berkembang dengan baik. Total siklus

hidup di laboratorium di Malaysia yaitu 33 – 41 hari, namun siklus hidup dapat

lebih panjang pada daerah yang kering (Kalshoven, 1981).

a b

(3)

S. coarctata dewasa mampu hidup dan berkembangbiak selama 2 musim.

Dalam satu musim tanam, S. coarctata dapat berkembang biak dalam beberapa

generasi (Kalshoven, 1981; Barion et al., 2007).

Perilaku

Pada siang hari S. coarctata dewasa tidak terlalu aktif dan menghindari

cahaya. Kepinding dewasa akan bergerombol di pangkal batang padi, persis di

batas genangan air (lebih menyukai keadaan basah dan lembab). Pada kondisi

sawah yang kering, pada siang hari kepinding tanah akan bersembunyi di retakan

tanah sawah (Kalshoven, 1981; Deptan 2007b).

Pada malam hari, S. coarctata akan naik ke batang padi dan mengisap

cairan dari dalam jaringan tanaman. Dalam kondisi cuaca baik terutama saat

terang bulan, dewasa terbang ke pertanaman lain dalam jumlah besar. Migrasinya

kepinding tanah ke tempat yang sangat jauh pada malam hari dapat disebabkan

karena tertarik pada lampu (Kalshoven, 1981; Barion et al., 2007).

S. coarctata menyukai tanaman yang dipupuk nitrogen dosis tinggi

(Gallagher et al., 2002 dalam Kartohardjono et al., 2009). Selain tanaman padi,

inang lain S. coarctata yaitu Panicum sp., jagung, Scleria sp., Scirpus dan padi

liar. Menurut Suharto (2007), inang alternatif yang lain adalah Hibiscus esculenta,

Colocasia esculenta, Vigna unguilata.

Saat setelah panen, S. coarctata mampu bertahan pada sisa pertanaman

yang terdapat di sawah ataupun pada berbagai jenis gulma sawah. Bila lingkungan

dan makanan tidak menguntungkan, kepinding tanah akan mengalami fase

dorman. Selanjutnya akan aktif kembali setelah mendapatkan tanaman inang baru.

(4)

Matteson (2000 dalam Kartohardjono et al., 2009), mengemukakan bahwa

pola iklim yang tidak normal menyebabkan terjadinya migrasi hama S. coarctata

sehingga menyebabkan ledakan hama.

Penyebaran

Sebaran S. coartata meliputi negara-negara Asia seperti Banglades,

Myanmar, India, Indonesia, Jepang, Kamboja, Malaysia, Nepal, Pakistan,

Filipina, Srilangka, Thailand dan Vietnam. Menurut Magsino (2009), S. coarctata

pertama kali ditemukan di Indonesia tahun 1903 kemudian menyebar ke Malaysia

tahun 1918, Thailand tahun 1933, Vietnam tahun 1975, India tahun 1977.

Selanjutnya menyebar ke Filipina tahun 1979 dan ke Sinegal tahun 1980.

Kerusakan

Nimfa dan imago menghisap cairan tanaman pada batang sehingga

mengakibatkan tanaman menjadi kerdil dengan daun-daun berubah warna menjadi

coklat kemerahan atau kuning (Suharto, 2007). Buku (ruas) pada batang padi

merupakan tempat hisapan yang disukai S. coarctata karena menyimpan banyak

cairan (Deptan, 2007b).

Gambar 2 : (a). Gejala kerusakan ringan (b). Gejala kerusakan berat, tanaman mengalami bugburn.

Menurut Pathak dan Khan (1994), serangan yang berat oleh S. coarctata

(5)

kematian anakan muda. Selanjutnya tanaman padi menunjukkan gejala kerdil,

menguning, klorotik, dengan anakan yang sedikit (Gambar 2a). Serangan

kepinding tanah yang terjadi setelah fase bunting tanaman, akan mengakibatkan

tanaman menghasilkan malai yang kerdil, eksersi malai yang tidak lengkap, dan

gabah hampa. Dalam kondisi populasi kepinding tinggi, tanaman yang dihisap

dapat mati atau mengalami bugburn (Gambar 2b), seperti hopperburn oleh

wereng coklat (Pathak dan Khan, 1994; Deptan, 2007b).

Penerapan PHT untuk Pengendalian S. coarctata

S. coarctata merupakan hama yang sulit dikendalikan secara partial hanya

dengan satu metode saja. Menurut Cuaterno (2011) bahwa mengeradikasi S.

coarctata di lapangan sangat sulit dilakukan, sebab S. coarctata merupakan

serangga yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap berbagai

kondisi lingkungan, memiliki kemampuan hidup dan bertahan dalam jangka

waktu yang panjang pada kondisi tidak tersedia makanan, serta memiliki inang

alternatif yang cukup banyak. Oleh karena itu, satu-satunya alternatif

pengendalian S. coarctata adalah dengan penerapan Pengendalian Hama Terpadu

(PHT).

Salah satu prinsip dasar PHT adalah pemantauan lahan secara berkala

(Untung, 2000). Menurut Suharto (2007), bahwa pemantauan hama S. coarctata

dilakukan awal masa tanam sampai akhir masa pembungaan dengan interval

pengamatan satu minggu. Metode pemantauan dilakukan dengan cara

pengambilan sampel tanaman secara acak melintang (diagonal). Pada satu petak

pengamatan seluas + 400 m2 atau tergantung dengan luasan petak alami sawah,

(6)

Kepadatan populasi S. coarctata sangat berpengaruh terhadap besarnya

serangan hama tersebut pada tanaman padi. Infestasi awal S. coarctata pada

tanaman yang lebih muda menimbulkan kerusakan tinggi. Semakin awal infestasi

semakin berkurang produksi yang dihasilkan (Suharto, 1985 dalam Kartohardjono

et al., 2009). Penurunan hasil padi pada infestasi stadia anakan (30 hst) pada

kepadatan 25–75 ekor/rumpun produksi akan berkurang antara 51–71%.

Sedangkan infestasi pada stadia tanaman generatif dengan kepadatan 25–75

ekor/rumpun, produksi berkurang antara 37–48%. Pada serangan berat dapat

menurunkan produksi 60-80%. Deptan (2013), menyebutkan terdapatnya populasi

10 ekor imago per rumpun dapat mengakibatkan kehilangan hasil mencapai 35%.

Perkembangan populasi S. coarctata pada tanaman padi sawah diawali

dengan munculnya serangga dewasa pada saat tanaman umur 2–3 minggu setelah

tanam. Populasi tinggi pada musim hujan yang merupakan populasi migrasi yang

berasal dari rerumputan atau gulma yang tumbuh di daerah basah atau lembab

atau dari tanaman padi yang sudah dipanen apabila pola tanamnya tidak

serempak. Populasi meningkat sejalan dengan perkembangan tanaman padi,

sehingga puncak populasi S. coarctata pada tanaman padi akan dicapai pada saat

menjelang panen (Kartohardjono et al., 2009)

Penerapan PHT untuk pengendalian hama S. coarctata pada tanaman padi,

dengan menerapkan cara-cara sebagaimana berikut ini, baik secara tunggal

maupun secara kombinasi yang saling kompatibel.

Pengendalian Kultur Teknis

Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan dengan pengelolaan

(7)

dan serangga dewasa yang tinggal pada pangkal tanaman padi. Pengeringan lahan

dapat menghambat perkembangan S. coarctata. Upaya lain adalah dengan

melakukan pemupukan pada tanaman yang terserang ringan agar tanaman mampu

mengkompensasi serangan (Deptan, 2007b). Menurut Barrion et al. (2007) upaya

pengendalian S. coarctata dapat dilakukan juga dengan menanam varietas padi

berumur genjah, untuk menghambat peningkatan populasi S. coarctata.

Menurut Magsino (2007), pengendalian yang paling efektif terhadap hama

S. coarctata adalah dengan menanam tanaman yang bukan inangnya, atau paling

minimal melakukan rotasi tanaman. Rotasi tanaman untuk daerah yang tidak

endemik bisa dilakukan dengan rotasi antar varietas. Namun di daerah yang

endemik untuk memutus siklus hidup S. coarctata dilakukan rotasi antar tanaman

misalnya dengan sayuran ataupun merotasi tanaman padi dengan

kacang-kacangan.

Pengaturan air juga sangat penting hubungannya untuk mengendalikan

populasi S. coarctata. Menurut Magsino (2007), untuk pengendalian S. coarctata

disarankan pengairan dilakukan secara berselang (intermiten).

Sanitasi lahan dan lingkungan dari tumbuhan inang lainnya seperti

rumput-rumputan, dapat menghambat perkembangan S. coarctata. Menurut

Barrion et al. (2007), membersihkan lahan dari berbagai gulma bertujuan agar

sinar matahari dapat mencapai dasar kanopi tanaman padi, sehingga kelembaban

dapat berkurang dan suhu pada dasar kanopi padi meningkat. Kondisi ini tidak

disukai oleh S. coarctata.

Selain metode pengendalian di atas, hal yang penting dalam pengelolaan

(8)

Pengelolaan agroekosistem yang baik, direncanakan sesuai dengan stadia tumbuh

tanaman padi. Menurut Deptan (2007b), pengelolaan agroekosistem untuk

pengendalian hama S. coarctata adalah sebagai berikut :

- Pratanam dan pengolahan tanah

Pengelolaan ekosistem dilakukan dengan cara pembersihan lahan dan

pengolahan tanah segera setelah panen. Pengolahan tanah segera, bertujuan

untuk mematikan telur, nimfa dan dewasa yang berada pada pangkal batang

padi.

- Persemaian

Upaya yang dapat dilakukan pada saat persemaian adalah dengan pemantauan

menggunakan lampu perangkap. Diharapkan dengan adanya lampu perangkap,

dapat mengurangi populasi awal S. coarctata sehingga tidak meletakkan telur

pada semai. Sehingga pada akhirnya, diharapkan populasi S. coarctata tidak

berkembang pada pertanaman.

- Tanaman muda (tanam hingga anakan maksimum)

Pada saat tanaman muda, pengurangan populasi S. coarctata di lapangan dapat

dilakukan dengan menggembalakan itik ke lahan sawah, atau dapat juga

dilakukan dengan memelihara ikan pada lahan sawah.

- Tanaman tua hingga pematangan bulir

Keberadaan S. coarctata pada tanaman tua, tidak menyebabkan kerusakan

pada tanaman padi. Namun demikian, pemantauan rutin pada daerah endemik

atau daerah-daerah drainase yang kurang baik tetap perlu dilakukan.

(9)

Beberapa jenis musuh alami hama S. coarctata yaitu parasitoid telur dari

famili Scelionidae (Deptan, 2007b). Cuarterno (2011), menyarankan untuk

menggunakan parasitoid Telenomus triptus. Parasitoid ini sangat agresif

memarasit telur S. coarctata, dan keberadaannya di lapangan sering berlimpah.

Hanya saja, parasitoid ini sangat rentan terhadap insektisida kimia, sehingga

penggunaan parasitoid Telenomus tidak kompatibel dengan bahan kimia.

Di alam, predator bagi kepinding tanah yaitu kumbang Carabidae

(pemangsa telur, nimfa dan dewasa), serta katak dan kadal yang dapat berperan

sebagai pemangsa nimfa dan dewasa (Deptan, 2007b). Pengendalian juga dapat

memanfaatkan bebek sebagai predator imago S. coarctata dengan cara

melepaskan bebek pada lahan persawahan.

Pemanfaatan entomopatogen yang dianjurkan adalah Beauveria bassiana

dan Metarrhizium anisoplae (Deptan, 2007b). Penggunaan M. anisoplae sebagai

agen hayati di lapangan cukup efektif, mengingat M. anisoplae merupakan salah

satu cendawan entomopathogen yang biasanya sudah terdapat di lapangan secara

alami (Cuaterno, 2011). Penggunaannya dapat dilakukan dengan cara

mengekstraksi S. coarctata yang terpapar Metharrizium kemudian dilarutkan ke

dalam air dan disemprotkan pada pertanaman yang terserang S. coarctata.

Pengendalian Secara Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi, dengan menggunakan insektisida dalam

PHT merupakan alternatif terakhir (Untung, 2000). Penggunaan insektisida

dilakukan apabila populasi hama telah mencapai ambang ekonomi. Ambang

ekonomi S. coarctata adalah apabila telah mencapai kerusakan 5%, bahkan di

(10)

(2007b), ambang ekonomi S. coarctata adalah 30 ekor/rumpun pada tanaman

berumur < 30 hari setelah tanam. Ambang ekonomi S. coartata di Indonesia ini

kemudian dikoreksi oleh Deptan (2013) menjadi 5 ekor nimfa atau imago/rumpun

pada tananaman muda sampai dengan anakan maksimum.

Adanya perbedaan ambang ekonomi antar peneliti ataupun antar lokasi

adalah suatu hal yang wajar, karena ambang ekonomi bersifat dinamis. Menurut

Untung (2000), banyak faktor yang mempengaruhi ambang ekonomi hama, antara

lain harga saprodi, upah tenaga kerja disuatu wilayah dan nilai jual produk.

Penggunaan insektisida jenis larutan dengan aplikasi penyemprotan lebih

efektif daripada penggunaan insektisida jenis granular (Suharto, 2007).

Penyemprotan diarahkan langsung ke bagian pangkal tanaman. Menurut Deptan

(2007b) insektisida yang dapat digunakan untuk pengendalian S. coarctata secara

kimia adalah insektisida yang berbahan aktif BPMC dan MICP.

Mekanisme Ketahanan Tanaman

Ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit merupakan salah satu

karakter unggul dari suatu varietas tanaman. Usaha untuk mendapatkan varietas

tanaman dengan karakter tahan terhadap hama terus dilakukan sebagai solusi

untuk pengendalian hama terpadu yang ramah lingkungan. Pada dasarnya

pengendalian hama menggunakan varietas unggul tahan hama tidak mencemari

lingkungan. Perakitan tanaman yang resisten terhadap hama tertentu dapat

mengurangi secara signifikan penggunaan pestisida dan biaya perawatan

(Carpenter dan Gianessi, 2001 dalam Goenadi dan Isroi, 2003).

Penggunaan varietas tahan untuk pengendalian hama telah menunjukkan

(11)

pengendalian wereng coklat pada padi, jagung Bt dan kapas Bt, yaitu tanaman

yang telah memiliki gen Cry IA yang mematikan jenis hama tertentu. Namun,

tidak semua hama mempunyai varietas tahannya, dan jika pun ada, jumlah plasma

nutfah yang mengandung gen tahan sangat terbatas (Amirhusin, 2004).

Menurut Liu et al. (2000) dan Witcombe dan Hash (2000), beberapa

keuntungan menggunakan varietas resisten dalam pengendalian hama antara lain:

(1) mengendalikan populasi hama tetap di bawah ambang kerusakan dalam jangka

panjang, (2) tidak berdampak negatif pada lingkungan, (3) tidak membutuhkan

alat dan teknik aplikasi tertentu, dan (4) tidak membutuhkan biaya tambahan lain

(Wiryadiputra, 1996). Namun demikian, penggunaan varietas resisten tidak

selamanya efektif, terutama apabila menggunakan varietas dengan ketahanan

tunggal (ketahanan vertikal) secara terus menerus.

Kerusakan tanaman oleh hama dapat mencapai lebih dari 50%, tetapi

belum pernah ada dalam sejarah bahwa suatu spesies tanaman musnah dari alam,

disebabkan oleh hama. Hal ini menggambarkan bahwa secara alamiah tanaman

mempunyai sistem perlindungan terhadap hama sehingga menjadi tahan. Suatu

varietas disebut tahan apabila :

(1) Memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu menghindar, atau pulih

kembali dari serangan hama pada keadaan yang akan mengakibatkan kerusakan

pada varietas lain yang tidak tahan,

(2) Memiliki sifat-sifat genetik yang dapat mengurangi tingkat kerusakan yang

disebabkan oleh serangan hama,

(3) Memiliki sekumpulan sifat yang dapat diwariskan, yang dapat mengurangi

(12)

(4) Mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan

dengan varietas lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sosromarsono,

1990).

Evaluasi ketahanan atau toleransi terhadap hama dilakukan untuk

mempermudah pemanfaatannya. Karakterisasi dan evaluasi dilakukan berdasarkan

standar internasional dengan sistem yang sudah baku seperti yang dilakukan Bank

Gen padi IRRI (International Rice Gene Bank Collection Information Institute =

IRGCIS). Evaluasi ketahanan telah dilakukan terhadap hama wereng coklat,

wereng punggung putih, penggerek batang dan ganjur (Endrizal, 2004).

Berdasarkan efek yang dapat dilihat, mengelompokkan sistem ketahanan

tanaman terhadap serangga herbivora menjadi tiga, yaitu antixenosis, antibiosis,

dan toleran. Antixenosis merupakan proses penolakan tanaman terhadap serangga

ketika proses pemilihan inang karena terhalang oleh adanya struktur morfologi

tanaman seperti trikoma pada batang, daun, dan kulit yang tebal dan keras yang

bertindak sebagai barier mekanis bagi serangga hama (Smith, 2005 dan

Suharsono, 2006).

Menurut Painter (1951), ada 4 strategi dasar yang digunakan tanaman

sebagai mekanisme pertahanan dirinya untuk mengurangi kerusakan akibat

serangan serangga herbivor yaitu :

1. Escape atau menghindar serangan serangga berdasarkan waktu atau tempat,

misalnya tumbuh pada tempat yang tidak mudah diakses oleh herbivor atau

menghasilkan bahan kimia penolak herbivor.

2. Tanaman toleran terhadap herbivor dengan cara mengalihkan herbivor untuk

(13)

kemampuan untuk melakukan penyembuhan dari kerusakan akibat serangan

herbivor.

3. Tanaman menarik datangnya musuh alami bagi herbivor yang dapat

melindungi tanaman tersebut dari serangan herbivor.

4. Tanaman melindungi dirinya sendiri secara konfrontasi menggunakan

mekanisme pertahan kimia atau mekanik seperti menghasilkan toksin yang

dapat membunuh herbivor atau dapat mengurangi kemampuan herbivor untuk

mencerna tanaman itu yang sering disebut dengan antibiosis.

Resistensi merupakan salah satu karakter genetik pada tanaman yang dapat

diwariskan. Karakter ini berperan penting dalam menekan gangguan yang dapat

disebabkan oleh jasad pengganggu. Resistensi suatu tanaman dapat dikategorikan

tinggi, intermediat, ataupun rendah. Istilah lain yang masih berkaitan dengan

ketahanan tanaman adalah imunitas. Istilah imunitas ditujukan pada tanaman yang

resisten secara sempurna terhadap serangan suatu patogen. Imunitas bersifat

absolut dan patogen sama sekali tidak dapat menimbulkan gangguan pada

tanaman, bagaimanapun kondisi lingkungannya. Akan tetapi, di alam peristiwa

tersebut merupakan hal yang sangat langka. Toleran, juga merupakan istilah yang

seringkali digunakan dalam bahasan ketahanan tanaman. Tanaman yang toleran

walaupun dapat diserang oleh jasad pengganggu, namun tidak menunjukkan

kehilangan hasil yang signifikan (Endrizal, 2004). Menurut Painter (1951),

terdapat tiga mekanisme yang ditunjukkan tanaman dalam menghambat serangan

hama, yaitu:

1. Antibiosis, yaitu mekanisme yang mempengaruhi atau menghancurkan siklus

(14)

2. Nonpreference (sekarang disebut antixenosis), menghindarkan tanaman dari

serangan hama dalam pencarian makan, peletakan telur, atau tempat tinggal

serangga. Namun, bila hama tak menemukan alternatif tanaman lain,

kerusakan parah pada tanaman tetap dapat terjadi.

3. Toleran, menunjukkan daya tahan tanaman terhadap serangan hama, misalnya

dengan tetap memberikan hasil tanaman yang baik. Tidak seperti halnya pada

antibiosis dan antixenosis yang berpengaruh terhadap populasi hama, toleran

tidak berpengaruh terhadap populasi hama.

Faktor yang mempengaruhi peka dan tahannya suatu tanaman terhadap

suatu hama dan penyakit dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu :

a. Faktor genetis

Ketahanan genetik tanaman terhadap hama dapat diwariskan sebagai sifat

monogenik sederhana dengan gen-gen penentunya mungkin dominan sebagian

atau sempurna ataupun resesif. Kultivar padi unggul seperti PB 26, PB 28, PB 30,

PB 34, dan Asahan merupakan contoh-contoh kultivar padi yang tahan terhadap

wereng coklat dengan gen ketahanan dominan Bph1. Gen ketahanan tersebut

diperoleh dari tetua Mudgo yang diwariskan secara sederhana. Sedangkan varietas

lain seperti Cisadane, tahan terhadap wereng coklat oleh adanya gen resesif bph2

yang diperoleh dari tetua CR94-13 (Endrizal, 2004).

Berdasarkan susunan dan sifat gen, menurut Metcalf dan Luckmann

(1994) ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi : (1) Monogenik, sifat tahan

diatur oleh satu gen mayor atau dominan, (2) Oligenonik, sifat tahan diatur oleh

beberapa gen yang saling menguatkan satu sama lain, (3) Polygenik, sifat tahan

diatur oleh banyak gen yang memberikan reaksi yang berbeda-beda sehingga

(15)

Faktor genetis meliputi :

a.1. Morfologi tanaman

Serangan hama dipengaruhi oleh faktor morfologis tanaman,

misalnya trikom, rambut pada daun dan batang, lapisan berlignin pada

organ tanaman, tipe dan ukuran kaliks, berbuah kecil-kecil dan bertandan,

warna dan bentuk daun, jaringan periderm (pada ubi jalar), lapisan lilin

pada permukaan daun, daun yang mengkilat (Sudhir et al., 2005).

Morfologi dan anatomi sebagai dasar ketahanan secara umum varietas

yang tinggi dengan luas daun dan batang yang besar lebih peka. Beberapa

faktor morfologi tanaman yang peka antara lain : tinggi tanaman, diameter

batang besar dan lebar dan daun bendera sehingga dengan mudah serangga

meletakan telur. Varietas yang memiliki lapisan jaringan berupa sel silicia

juga diindikasikan sebagai bentuk respon ketahanan tanaman. Menurut

Smith (2005), ketahanan tanaman terhadap serangga menurut morfologi

tanaman salah satu diantaranya yaitu trikom (bulu daun) dan ketebalan

jaringan pembuluh dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini :

(16)

Bentuk trikom (bulu-bulu daun), menurut Smith (2005), pada

tanaman juga dapat menyebabkan reaksi pertahanan tanaman terhadap

adanya infestasi serangga. Beberapa tipe-tipe bulu daun yang dapat

menghambat serangan hama, menurut Smith (2005), diantaranya adalah

sebagai seperti Gambar 4 berikut ini.

Gambar 4 : Beberapa tipe struktur trikhoma yang khas pada tanaman : (a) tipe trikoma yang dapat mengganggu peletakan telur serangga, (b) tipe tipe trikoma yang dapat mengganggu durasi serangga menghisap jaringan tanaman. (Sumber : Smith, 2005).

a.2. Biokimia

Beberapa kandungan senyawa kimia tanaman telah diidentifikasi

berpengaruh terhadap serangan hama, misalnya glikoalkaloid, phenol,

cucurbitacin, sinigrin, glukosinolat dan isochlorogenic acid (Smith, 2005).

b. Faktor luar

Faktor luar (Faktor ketahanan tanaman yang berfluktuasi berdasarkan

lingkungan, ruang dan waktu), dibedakan menjadi :

b.1. Kepekaan adalah ketidakmampuan tanaman kualitas kebakaan (bawaan)

yang membawa sifat tahan.

b.2. Pseudoresistance mungkin bisa terjadi pada tanaman yang secara normal

karena beberapa sebab yaitu :

(17)

b. Ketahanan yang dimasukan oleh karena dorongan lingkungan yang

bersifat sementara seperti suhu panjang hari kimia tanah kandungan

tanah atau metabolisme internal tanaman.

Pengukuran Resistensi pada Tanaman

Menurut Smith (2005), berbagai cara dapat dilakukan untuk mengukur

tingkat ketahanan pada tanaman. Namun secara umum, pengukuran tersebut dapat

dikategorikan dalam 2 aspek, yaitu pengukuran tanaman dan pengukuran

perkembangan serangga. Pengukuran tanaman misalnya dilakukan secara visual

dengan menghitung skala kerusakan jaringan pada tanaman, mengukur tingkat

fotosintesis dengan alat tertentu pada hama yang merusak daun, mengukur indeks

kehilangan hasil yaitu dengan membandingkan hasil tanaman yang diinfestasi

serangga dengan tanaman yang tidak diinfestasi.

Pengukuran perkembangan tanaman dapat dilakukan dengan mempelajari

perilaku arthorpoda dengan tanggap penciuman menggunakan olfactommeter atau

menggunakan uji pilihan, serta mengukur perkembangan populasi serangga hama

dan perilakunya juga dapat memberikan info penting untuk melihat resistensi pada

tanaman.

Beberapa parameter pada tanaman padi yang dapat menjadi ukuran dalam

resistensi adalah kelangsungan hidup bibit, jumlah daun, jumlah anakan, panjang

akar, tinggi tanaman, berat akar, berat tanaman dan bobot biji (Tseng et al. 1987

dalam Smith, 2005). Membedakan antara resistensi dengan mekanisme

antixenosis dan resistensi dengan mekanisme antibiosis pada suatu tanaman tidak

(18)

Untuk melakukan pengukuran toleransi suatu tanaman terhadap kerusakan

akibat serangan serangga hama secara kuantitatif dapat dihitung dengan

menghitung proporsi berat kering tanaman yang hilang dengan membandingkan

produksi berat kering tanaman yang diinfestasi oleh serangga terhadap berat

kering tanaman yang tidak diinfestasikan serangga dengan persamaan yang

disusun oleh Reese et al. (1994 dalam Smith, 2005) dengan formula sebagai

berikut :

Proporsi Berat Kering yang hilang = Wc−Wi

Wc x 100

Keterangan :

Gambar

Gambar 1  :  (a). S. coarctata dewasa,  (b). S. coarctata dewasa melindungi telurnya, (c) serangga muda instar awal (d)
Gambar 3 :  Morfologi ketebalan batang pada tanaman padi yang rentan (kiri)  dan tanaman yang tahan (kanan), dimana pada varietas tahan terdapat penebalan kandungan lignin (lig)
Gambar 4 :  Beberapa tipe struktur trikhoma yang khas pada tanaman : (a) tipe trikoma yang dapat mengganggu peletakan telur serangga, (b) tipe tipe trikoma yang dapat mengganggu durasi serangga menghisap

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, praktik sosial nyethe pengunjung warkop dapat dilihat dari tindakan- tindakan atau aktivitas mereka selama nyethe di warkop dan hal-hal yang berhubungan

7. yanq dimal,:.sttd dengan apresiasi ialah suatr'i silr.ap '/ang timtrr,rl dari diri seseorang terhadap ge=.ltatlt yang si{atnya positir. Yang dimah,sud dengan

Luas Areal/ Area (Ha) Produksi Produc Ɵ on (Ton) Produk Ɵ vitas/ Produc Ɵ vity (Kg/Ha) Jumlah Tenaga Kerja/ Farmers (TK) TBM/ Immature TM/ Mature TTM/TR/ Damaged Jumlah/ Total

Dalam tulisan ini , kami akan mengajukan suatu metode yang dapat mengklasifikasian citra porno dengan algoritma C 4.5 dan shape descriptor berbasis model warna

(b) In accordance with the plaintiff ’s financing procedure and the syariah principles of Al-Bai Bithaman Ajil, the plaintiff (at the request of the defendant) became a party to the

Pemilihan serat pinang sebagai bahan penguat komposit didasarkan pada adanya ketersediaan bahan baku serat pinang di NTT, dimana dari beberapa kabupaten dan kota

Dalam VB 6.0 untuk pembuatan aplikasi, sarana pengembangannya yang bersifat visual memudahkan pemakainya untuk mengembangkan program aplikasi berbasis windows serta penggunaannya