• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. undang Dasar 1945 merupakan cita-cita dari masyarakat Indonesia. Pengaruh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. undang Dasar 1945 merupakan cita-cita dari masyarakat Indonesia. Pengaruh"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembangunan nasional Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang- undang Dasar 1945 merupakan cita-cita dari masyarakat Indonesia. Pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap

pembangunan. Sejalan dengan kemajuan pembangunan tersebut, maka

penyelenggaraan jasa telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa.

Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara, yang dalam penyelenggaraannya harus melindungi kepentingan dan keamanan negara, mengantisipasi perkembangan teknologi dan tuntutan global, dilakukan secara profesional dan dapat dipertanggung jawabkan serta perlu

peran serta masyarakat.1

Telepon secara konvensional adalah untuk komunikasi suara, namun demikian telah banyak telepon yang difungsikan untuk komunikasi data. Pembahasan berikut ini akan ditekankan pada penggunaan telepon sebagai komunikasi suara. Pada

1 Ketentuan Umum Pasal 1 huruf (d) Undang-undang No. 36 Tahun 1999 tentang

(2)

dasarnya pesawat telepon terdiri dari alat pengirim suara (mikropon) dan alat

penerima suara (speaker). Pesawat ini dihubungkan dengan sentral telepon

menggunakan sepasang kabel tembaga yang dikenal sebagai 2 kawat.

Pengaturan mengenai telekomunikasi telah diatur tersendiri di dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Dalam hal ini yang akan dibahas dalam tesis ini adalah telepon kabel. Telepon kabel (wireline) adalah layanan jasa telekomunikasi suara berbasis akses kabel dengan jaringan yang berawal dari sentral telepon menuju rangka pembagi utama (RPU) dilanjutkan ke rumah kabel (RK) disalurkan ke titik pembagi (TP) berakhir pada roset pesawat telepon.

Pelaksanaan jasa telekomunikasi di Indonesia tersebut dikelola oleh PT. Telkom dan yang mana terus berupaya untuk selalu meningkatkan kualitas pelayanannya kepada seluruh masyarakat. Telepon merupakan suara dari jarak jauh, merupakan salah satu fasilitas yang disediakan oleh PT. Telkom yang perkembangan

pada saat ini telah mencapai ke seluruh pelosok Indonesia.2 Telepon sangat berarti

didalam masyarakat karena sifat penggunaannya sangat mudah, praktis dan cepat dalam melakukan aktifitas komunikasi jarak jauh dan dapat menghemat biaya, tenaga dan waktu.

Dalam rangka pelaksanaan pelayanan jasa telekomunikasi tersebut, maka akan terjadi suatu hubungan hukum antara calon pelanggan atau pelanggan dengan PT.

2 Gouzali Saydam, Sistem Telekomunikasi Di Indonesia Edisi Revisi, Bandung, Alfabeta,

(3)

Telkom. Oleh karena itu perlu diadakan suatu perjanjian yang disebut dengan “Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi” yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pihak PT. Telkom dan calon pelanggan. Perjanjian ini termasuk dalam kontrak baku yaitu suatu kontrak/perjanjian yang bentuk dan isinya

ditentukan oleh salah satu pihak dan pihak yang membuat adalah PT. Telkom,3

Sedangkan pelanggan adalah para pengguna jasa Telekomunikasi yang telah menanda tangani surat perjanjian khusus dengan pengelola jasa telekomunikasi, untuk berlangganan sambungan telekomunikasi yang mana formulir kontrak baku tersebut

telah dibuat oleh pihak PT. Telkom.4 Hal ini dimaksudkan untuk membantu

kelancaran dalam pelayanan kepada calon pelanggan baru.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman mengatakan bahwa kontrak baku adalah

perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.5 Setiap

bentuk perjanjian harus terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak dan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat perjanjian seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata yang bunyinya “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat

syarat:6

1. Kesepakatan dari para pihak. Akibatnya, pihak yang tidak sepakat dengan suatu

kontrak dan (karenanya) tidak menanda tanganinya, tidak terikat oleh kontrak

3

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2007, hal 39.

4 Gouzali Saydam, Op.cit, hal 84.

5 Mariam Darus Badrulzaman dalam Tan Kamelo, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar

Fakultas Hukum USU 1979 – 2001, Butir-Butir Pemikiran Hukum Guru Besar Dari Masa Ke Masa,

Medan, Pustaka Bangsa Press, 2003, hal 14.

6 Budiono Kusumohamidjojo, Panduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta, PT. Gramedia

(4)

tersebut. Karena itu, pihak tersebut juga tidak mengemban suatu kewajiban yang ditetapkan oleh kontrak itu.

2. Kecakapan dari masing-masing pihak. Jadi, suatu pihak dapat terikat oleh suatu

kontrak hanya jika dia cakap untuk mengikatkan dirinya.

3. Suatu hal tertentu. Dalam hal suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan

ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa.

4. Suatu sebab yang halal. Dalam hal ini isi kontrak tersebut tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan.

Jika unsur-unsur tersebut dipenuhi, para pihak yang membuat kontrak kemudian juga akan tunduk pada pasal 1338 KUHPerdata yang bunyinya: “Semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”.7

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Dengan demikian orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih jenis perjanjian yang akan dipakai untuk perjanjian itu dan inilah yang disebut dengan asas kebebasan berkontrak. Azas tersebut tetap ada rambu-rambunya yaitu tidak bertentangan dengan Undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum.8

7Ibid, hal. 17

(5)

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang merupakan tiangnya hukum perdata

berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak, yaitu:9

1. Bebas membuat jenis perjanjian apa pun;

2. Bebas mengatur isinya;

3. Bebas mengatur bentuknya.

Seperti telah diuraikan, isi kontrak baku telah dibuat oleh satu pihak, sebagai pihak lainnya tidak dapat mengemukakan kehendak secara bebas. Singkatnya tidak terjadi tawar menawar mengenai isi perjanjian sebagaimana menurut asas kebebasan

berkontrak. Dengan demikian, dalam perjanjian baku berlaku adagium, “take it or

leave it contract”. Maksudnya apabila setuju silakan ambil, dan bila tidak tinggalkan saja, artinya perjanjian tidak dilakukan.

Memperhatikan keadaan demikian, banyak isi kontrak baku yang memberatkan atau merugikan konsumen sebagaimana diketahui lazimnya

syarat-syarat dalam kontrak baku adalah mengenai:10

1. Cara mengakhiri perjanjian;

2. Cara memperpanjang berlakunya perjanjian;

3. Cara penyelesaian sengketa;

4. Klausula eksonerasi.

9

Sihar Roni Sirait, Klausula Baku dalam Kontrak Baku,

http://www.goldencontract.blogspot.com/2008/01/klausula-baku-dalam-kontrak-baku.html, diakses pada tanggal 16 Februari 2010, pukul 22.50 Waktu Indonesia Bagian Barat.

10

(6)

Sehubungan dengan perlindungan terhadap konsumen, yang perlu mendapat

perhatian utama dalam kontrak baku adalah mengenai klausula eksonerasi (exoneratie

klausule exemption clausule) yaitu klausula yang berisi pembebasan atau pembatasan pertanggungjawaban dari pihak pelaku usaha yang lazimnya terdapat dalam jenis perjanjian tersebut.

Perlindungan Hukum bagi konsumen telah diatur dalam Perundang-undangan di Indonesia, Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Undang-undang Perlindungan Konsumen menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk

hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.11 Sebelum muncul UUPK

(Undang-undang Perlindungan Konsumen) yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000 praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (ketetapan MPR No. II/MPR/1993) disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan. Di antara ketentuan normatif itu terdapat Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat (diberlakukan 5 Maret 2000, 1(satu) tahun setelah diundangkan). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan itu mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh Undang-undang perlindungan konsumen.

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai , pemakai produksi

terakhir dari benda dan jasa; (uiteindelijke gebruiker van goederen en diesten).12

11 Shidarta, (Edisi revisi) Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT Gramedia

Widiasarana Indonesia, 2004, hal. 1.

12 Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (standar), dalam BPHN, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Binacipta, 1986, hal. 57.

(7)

Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen pemakai terakhir.

Rumusan-rumusan seperti yang disimpulkan oleh Hondius, menunjukan sangat beragamnya pengertian tentang konsumen. Untuk itu, dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Sejumlah cacatan dapat diberikan terhadap unsur-unsur definisi konsumen.13

Konsumen adalah:

1. Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan

keraguan, apakah hanya, orang individual yang lazim disebut natuurlijke person

atau termasuk juga badan hukum (recht persoon). Hal ini berbeda dengan

pengertian yang diberikan yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen yang secara eksplisit

membedakan kedua pengertian person di atas, dengan menyebutkan kata-kata:

”orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi

pengertian konsumen itu sebatas pada orang perorangan.14 Namun, konsumen

harus mencakup juga badan usaha, dengan makna lebih luas daripada badan hukum.

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kata “orang” tidak digunakan. Dalam Undang-undang itu hanya ditemukan kata “pemakai” yang dapat di interpretasikan baik sebagai orang perseorangan maupun badan usaha.

13 Shidarta, Op.Cit, hal. 5-10.

14 Az. Nasution, salah seorang penyusun draf RUU Perlindungan Konsumen, menyatakan

bahwa konsumen yang dilindungi UUPK adalah manusia atau makhluk lain yang menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan atau jasa untuk kepentingan sendiri dan rumah tangga, tidak untuk tujuan komersial. Dari penjelasannya ini tetap masih tidak jelas, apakah “badan usaha” sengaja dikecualikan oleh penyusun UUPK. Lihat: Az. Nasution, “Profil Undang-undang Perlindungan Konsumen,” Warta Konsumen , Nomor 6 (Juni 1999): 7.

(8)

UUPK (Undang-undang Perlindungan Konsumen) tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan.

2. Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai”

menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah

“pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari traksaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara

konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privitiy of

contract).

Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper), tetapi semua

orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/atau barang.

Jadi, yang paling terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer transaction)

berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang

mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan

produsen atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana.

3. Barang dan/atau jasa.

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang dan/atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.

Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen dalam hal ini adalah PT. Telkom. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya,

(9)

pihak yang ditawarkan harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.

4. Yang tersedia dalam masyarakat.

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) huruf (e) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dalam perdagangan yang makin komplek dewasa ini; syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain.

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk, makhluk hidup lain.

6. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataan, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.

Apabila dalam suatu perjanjian, kedudukan para pihak tidak seimbang, pihak lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang di inginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian, pihak yang memiliki kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausul-klausul tertentu dalam kontrak baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam kontrak baku karena format dan isi kontrak

dirancang oleh pihak yang kedudukan lebih kuat.15

Karena yang merancang format dan isi kontrak adalah pihak yang memiliki kedudukan lebih kuat dalam hal ini adalah PT. Telkom, dapat dipastikan bahwa kontrak tersebut memuat klausul-klausul yang menguntungkan baginya, atau

(10)

meringankan atau menghapuskan beban-beban atau kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi bebannya yang biasa dikenal dengan klausula eksonerasi.

Menurut Rijken mengatakan bahwa klausula eksonerasi adalah klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang

terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.16

Dengan adanya kontrak berstandar itu dengan sendirinya pihak PT. Telkom dapat mencantumkan syarat-syarat sesuai dengan kemauannya. Syarat-syarat ini sering memberatkan pihak pelanggan dalam arti kewajiban yang dipikul oleh pelanggan lebih berat, jika dibandingkan dengan haknya. Biasanya pihak pelanggan langsung saja menerima syarat-syarat yang diajukan PT. Telkom sebab mereka sangat memerlukan jasa telkom tersebut sekalipun terpaksa dan tidak adanya keseimbangan hak dan kewajiban. Hal seperti inilah yang sering menimbulkan adanya perselisihan dikemudian hari, baik yang bersifat teknik (kerusakan) maupun non teknis (pulsa tinggi) bagi pengguna jasa tetap yang telah terikat kontrak baku dengan PT. Telkom. Sebelum pelanggan mendapatkan saluran pemasangan baru dari PT. Telkom biasanya pelanggan diberikan beban untuk pemasangan maupun pembelian tiang, hal inilah yang sering muncul pada masyarakat sehingga mereka agak keberatan dengan beban tersebut. Selain itu timbul perselisihan karena pihak PT. Telkom tidak segera melakukan pemasangan sambungan sampai batas waktunya 14 (empat belas) hari disamping itu PT. Telkom tidak segera memperbaiki pesawat telepon setelah adanya

(11)

pengaduan pelanggan sampai batas waktunya yaitu 17 (tujuh belas) hari, sehingga kerusakan sambungan telepon atau gangguan telepon yang dapat terjadi mulai dari penyambungan saluran sampai pada pesawatnya. Adapun penyebabnya ialah karena kerusakan kabel, pemasangan alat tambahan, pencurian kabel bahkan pulsa tinggi padahal jarang dipakai. Hal inilah yang seringkali menyebabkan rasa jengkel dan mengeluh dari pelanggan kepada PT. Telkom.

Sementara dipihak PT. Telkom apabila pelanggan terlambat melakukan pembayaran, dalam hal ini PT. Telkom melakukan pencabutan secara sepihak tanpa menunggu keputusan dari hakim. Di lain pihak yaitu PT. Telkom sendiri juga menghadapi masalah mengenai pemakaian pulsa telepon yang relatif kecil yang akan mengakibatkan menurunnya pendapatan. Oleh sebab itu, akan diuraikan upaya yang dilakukan oleh PT. Telkom dalam mengantisipasi serta jalan penyelesaiannya.

Perselisihan antara pelanggan dengan PT. Telkom sehubungan dengan perjanjian berlangganan telepon itulah yang membuat penulis tertarik sekali untuk mengetahui, mempelajari, memahami, dan mengupasnya dalam bentuk tesis dengan

judul: “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PELANGGAN PT. TELKOM

DALAM KONTRAK BAKU”.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan rumusan permasalahan sebagai berikut :

(12)

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak pelanggan dalam pelaksanaan perjanjian dengan PT. Telkom?

3. Bagaimana Penyelesaian Sengketa Antara Pelanggan dengan PT. Telkom?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui klausula-klausula yang memberatkan dalam perjanjian dengan

PT. Telkom.

b. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pelanggan dalam sengketa yang

berkenaan dengan klausula baku.

c. Untuk mempermudah konsumen dalam memperoleh hak-haknya apabila haknya

(13)

D. Manfaat Penelitian :

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain:

1. Secara Teoritis :

hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan hukum perlindungan konsumen pada khususnya, terutama mengenai masalah hak-hak konsumen pengguna jasa dengan adanya klausul baku dalam perjanjian telekomunikasi telepon kabel.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para penegak hukum dan instansi terkait terutama dalam hal pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pelanggan atau konsumen. Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan pemikiran tentang hal-hal yang harus diperhatikan para pihak dalam menyelesaikan kasus antara pelanggan dengan yang dalam hal ini adalah perseroan terbatas PT. Telkom.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk meneliti tentang Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan PT.Telkom Dalam Kontrak Baku. Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan, khususnya di Universitas Sumatera Utara. Penelitian mengenai “Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan PT.Telkom Dalam Kontrak Baku”, belum pernah dilakukan oleh peneliti lain, oleh karena itu penelitian

(14)

ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis. Adapun penelitian yang pernah dilakukan adalah :

1. Analisis Hukum Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil (Sharing Profile) PT. TELKOM

Dengan Pelaku Usaha Warnet Dan Wartel (Studi Pada Kota Medan), Oleh : Ali Imran, NIM : 067011110, Tahun : 2006, Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Transaksi Cross Ownership Antara PT. Indosat, Tbk Dan PT. TELKOM, Tbk

Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal, Oleh : Anton Deven Varma, NIM : 047005049, Tahun : 2004, Mahasiswa Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,17 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.18 Kerangka teori

adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu

17

J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, Hal. 27. Menyebutkan, bahwa teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun menyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

(15)

kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.19

Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah perlindungan oleh mekanisme

pasar tanpa intervensi (unregulated-market place) dan perlindungan konsumen

dengan intervensi pemerintah terhadap pasar (government regulated place).20 Hukum

berkembang sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat. Perubahan masyarakat di bidang hukum perlindungan konsumen harus berjalan dengan teratur dan diikuti dengan pembentukan norma-norma sehingga dapat berlangsung secara

harmonis.21

Teori perlindungan konsumen yang menjadi pedoman dalam penulisan ini adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen.22 Segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum adalah benteng untuk menghalangi kesewenang-wenangan. Kesewenang-wenangan akan mengakibatkan ketidak pastian hukum.

Oleh karena itu agar segala upaya memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, baik dalam bidang hukum

19 M. Solly Lubis, Op.Cit, hal. 80.

20 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, cet I, Jakarta : Program PascaSarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal 26.

21 Tan Kamelo, Hukum Jaminan fidusia, Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni,

Bandung, 2006, hal 18.

(16)

privat (perdata), maupun hukum publik (hukum pidana dan hukum administrasi

negara).23

Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupakan

landasan, di atas mana dibangun tertib hukum.24 Berdasarkan teori sistem ini, dapat

dirumuskan bahwa sistem hukum perlindungan konsumen adalah kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan, tempat berpijak di atas mana tertib hukum perlindungan konsumen itu dibangun. Jadi dengan adanya ikatan asas-asas hukum

tersebut, berarti hukum perlindungan konsumen merupakan suatu sistem hukum.25

Asas-asas hukum perlindungan konsumen harus bersumber dari Pancasila, sebagai asas idiil (filosofis), UUD 1945 sebagai asas konstitusional (struktural), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai asas konsepsional (politis) dan Undang-undang sebagai asas operasional (teknis). Asas-asas tersebut mempunyai

tingkat-tingkat dilihat dari gradasi sifatnya yang abstrak.26

Dalam Pancasila, Hukum perlindungan konsumen memperoleh landasan idiil (filosifis) hukumnya pada sila kelima yaitu : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalamnya

terkandung suatu “Hak” seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama (equality)

di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum.

23 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, PT.

RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 1-2.

24 Lihat lebih lanjut Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,

Bandung, Alumni, 1986, hal. 14-18.

25 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986, hal. 89. 26 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hal. 19.

(17)

Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka pemilik hak memiliki kekuatan

untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.27

Apabila pihak lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan

hukum dari sipemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum.28

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen terbagi menjadi dua kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha disatu sisi dan keadilan sebagai konsumen disisi lain.

Hukum perlindungan konsumen juga memperoleh landasan konstitusional (struktural) dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pada alinea keempat (setelah empat kali amandemen), yang menyatakan sebagai berikut :

“….Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …….”

Dari kutipan di atas, ada dua kata yang menjadi landasan konstitusional bagi lahirnya hukum perlindungan konsumen, yaitu, kata “segenap bangsa” dan kata “melindungi”. Dalam dua kata ini terkandung asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa kecuali. Baik laki-laki atau perempuan, orang kaya atau miskin, orang kota atau desa, orang Indonesia asli atau keturunan, pelaku usaha atau

27 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Terjemahan

Raisul Muttaqien, Bandung, Nusamedia & Nuansa Bandung, 2006, hal.152.

(18)

konsumen, semuanya tanpa kecuali wajib memperoleh perlindungan hukum dari negara.29

Penjabaran hukum perlindungan konsumen dituangkan pula melalui ketetapan majelis permusyawaratan rakyat (TAP MPR) nomor II/MPR1993, pada BAB IV, huruf F butir 4a, sebagai asas konsepsional (politis) yaitu :

“…Pembangunan perdagangan ditujukan untuk memperlancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian

rakyat dan pedagang, melindungi kepentingan konsumen…..” . (kursif dari

penulis).

Dengan susunan kalimat demikian, terlihat lebih jelas arahan MPR tentang kekhususan kepentingan produsen (dan semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen. Sifat kepentingan khas produsen (lebih tepat disebut dengan istilah pelaku usaha sesuai UUPK) telah ditunjukkan oleh MPR.

Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan memproduksi atau berdagang, menggunakan produk atau jasa sebagai bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, atau bahan pelengkap. Kepentingan mereka dalam menggunakan produk atau jasa adalah untuk kegiatan usaha memproduksi dan atau berdagang itu, adalah untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan mereka (tujuan komersial).

Bagi konsumen sebagai pribadi, penggunaan produk dan/atau jasa itu, adalah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (kepentingan non komersial), dimana penggunaan produk tersebut harus bermanfaat bagi

29 Az Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media,

(19)

kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan), dan juga membantu mempermudah aktifitas kehidupan konsumen sehari-hari.

Perbedaan prisipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan produk/jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen, dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda pula.

Bagi konsumen kepentingan tidak komersial mereka yang harus diperhatikan adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan pelaku usaha terhadap keselamatan jiwa, tubuh atau kerugian harta benda mereka dalam keadaan bagaimanapun, dengan tetap harus menjaga keselarasan, keserasian dan keseimbangan diantara keduanya. Pendekatan sistem terhadap pemecahan masalah perlindungan konsumen akan lebih sempurna apabila ditambahkan unsur lain dari

sistem hukum yaitu budaya hukum.30

Menurut Lawrence M. Friedmann, suatu sistem hukum terdiri dari tiga unsur

yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum (legal culture).

Pada prinsipnya pengaturan perlindungan konsumen secara umum dalam hukum positif di Indonesia sebelum lahirnya UUPK, terbagi dalam tiga bidang hukum, yaitu bidang hukum perdata, pidana, dan administrasi negara. Perlindungan di bidang

30 Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal.67, menerjemahkan legal culture, dengan istilah kultur

hukum. Yang dimaksud dengan kultur hukum adalah ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum.

(20)

keperdataan diadakan bertitik tolak dari tarik-menarik kepentingan antar sesama anggota masyarakat.

Pasal 1233 KUHPerdata mengatakan, perikatan itu dapat muncul dari perjanjian atau karena Undang-undang. Dua pengertian ini sangat mempengaruhi perlindungan dan penyelesaian sengketa hukum yang melibatkan kepentingan

konsumen di dalamnya.31

Jika seseorang sebagai konsumen mempunyai hubungan hukum berupa perjanjian dengan pihak lain, dan pihak lain itu melanggar perjanjian yang disepakati bersama, maka konsumen berhak menggugat lawannya berdasarkan dalih melakukan wanprestasi (cidera/ingkar janji). Jika sebelumnya tidak ada perjanjian, konsumen tetap saja memiliki hak untuk menuntut secara perdata, yakni melalui ketentuan

perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Dalam konsepsi perbuatan

melawan hukum, seseorang diberi kesempatan untuk menggugat, sepanjang dipenuhi tiga unsur, yaitu, adanya unsur kesalahan (dilakukan pihak lain/tergugat), ada kerugian (diderita si penggugat), dan ada hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu.32

Pasal 1365 juncto Pasal 1366 jo Pasal 1367 KUHPerdata, intisarinya menyatakan bahwa, tiap perbuatan melanggar hukum, kelalaian atau kurang hati-hatinya seseorang atau orang lain yang menjadi tanggungannya, yang membawa kerugian bagi orang lain, mewajibkan orang tersebut yang karena salahnya atau

31 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1987, hal. 1. 32 Shidarta, Op.Cit, hal. 59.

(21)

kesalahan orang yang menjadi tanggungannya tersebut menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Seseorang juga diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah

pengawasannya.33

2. Konsepsional

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang

disebut dengan operational definition.34Pentingnya definisi operasional adalah untuk

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu

istilah.35

Konsepsi merupakan unsur pokok dalam usaha penelitian atau untuk membuat karya ilmiah. Sebenarnya yang dimaksud dengan konsepsi adalah suatu pengertian mengenai sesuatu fakta atau dapat berbentuk batasan atau definisi tentang sesuatu yang akan dikerjakan. Jadi, jika teori berhadapan dengan sesuatu hasil kerja yang telah selesai, sedangkan konsepsi masih merupakan permulaan dari sesuatu

karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.36

Kegunaan dari adanya konsepsi agar supaya ada pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian memudahkan bagi orang lain

33 Inti sari yang dirangkum oleh penulis dari pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata. 34 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1993, hal. 10.

35 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, Hal. 35.

(22)

untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-pengertian yang dikemukakan. Dalam hal ini seolah-olah konsepsi tidak berbeda dari suatu teori, tetapi perbedaannya terletak pada latar belakangnya. Suatu teori pada umumnya merupakan gambaran dari apa yang sudah pernah dilakukan penelitian atau diuraikan, sedangkan suatu konsepsi lebih bersifat subjeksif dari konseptornya untuk sesuatu penelitian

atau penguraian yang akan dirampungkan.37 Oleh karena itu, untuk dapat menjawab

permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi atas judul tersebut adalah:

1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.

3. PT. Telkom adalah perusahaan perseroan (persero) PT. Telekomunikasi

Indonesia, Tbk, pihak yang berinterkoneksi dengan mitra.

4. Telekomunikasi adalah setiap pemancar, pengiriman, dan atau penerimaan dari

setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

5. Telepon adalah suara dari jarak jauh, merupakan salah satu fasilitas yang

disediakan oleh PT. Telkom yang perkembangan pada saat ini telah mencapai ke seluruh pelosok Indonesia.

37Ibid, hal. 5.

(23)

6. Pelanggan adalah para pengguna jasa telekomunikasi yang telah menanda tangani surat perjanjian khusus dengan pengelola jasa telekomunikasi, untuk berlangganan sambungan telekomunikasi yang mana formulir kontrak baku tersebut telah dibuat oleh pihak PT. Telkom.

7. Kontrak baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah

dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

G. Metode penelitian 1. Spesifikasi penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis38, Karena metode yang digunakan

untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian menghubungkan dengan keadaan atau fenomena dalam praktek, yang memerlukan evaluasi terhadap substansi peraturan hukum tentang Perlindungan Hukum Bagi Pelanggan PT. Telkom Dalam Kontrak Baku.

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode

penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu

penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari

38 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hal. 8,

menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan pada saat tertentu.

(24)

premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis normatif dengan dilengkapi juga dengan penggunaan pendekatan yuridis empiris sebagai pendekatan masalah dengan melihat ketentuan yang ada, dan juga melihat ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi pelanggan PT. Telkom dalam kontrak baku dan bagaimana pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan tersebut dalam prakteknya.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang penulis gunakan adalah PT. Telkom cabang Kota Banda Aceh.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui

penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau

doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya

(25)

4. Sumber Data

Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari :

1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari :

a. Norma atau kaidah dasar.

b. Peraturan dasar.

c. Peraturan perundang-udangan yang terkait dengan perlindungan konsumen.

d. Kontrak atau perjanjian berlangganan jasa telepon kabel yang memuat

klausula baku.

2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,

hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang

memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian

lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan,

yang dapat berupa wawancara langsung dengan pimpinan dan staf PT. Telkom, yang dalam penelitian ini dipilih sebagai narasumber.

(26)

5. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti, untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini semua data primer dan data sekunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya kedua jenis data itu dikelompokkan sesuai dengan data yang sejenis, dan selanjutnya dilakukan penarikan secara kualitatif, yang didasarkan pada pokok permasalahan dalam penelitian ini.

Baru kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode syllogism

yang di dasarkan pada cara induktif yaitu dimana pengambilan kesimpulan dimulai dari pernyataan atau fakta khusus menuju kesimpulan bersifat umum.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Administrasi merupakan salah satu tolak ukur berkembangnya suatu organisasi dengan pesat. Administrasi berkaitan erat dengan pengolahan data yang saat ini sesuai

“Makalah Bahasa Indonesia Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir Semester Genap 2013”. THEODORA

Suatu popok sekali pakai yang mempunyai suatu arah longitudinal dan suatu arah lebar yang berpotongan dengan arah longitudinal, popok sekali pakai tersebut

Dengan matlamat yang besar ini, sememangnya telah menjadi harapan bahawa PPIS dapat menjuarai isu kebajikan wanita Islam di samping menyediakan wanita Islam yang

Part 1 , Pythonic Classes via Special Methods : This part looks more deeply at object- oriented programming techniques and how we can more tightly integrate the class definitions

Menilai hasil penelitian atau hasil pemikiran dosen yang diterbitkan pada Majalah llmiah Nasional dan lnternasional5. Menilai'hasil penelitian'atau hasil pemikiran berdasarkan

Selama proses seleksi sampai dengan pengangkatan sebagai Pejabat Pimpinan Tinggi Madya dan Pimpinan Tinggi Pratama , apabila diketahui peserta memberikan