• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. besar maupun kecil. Gugusan ribuan pulau ini terbentang dari Sabang hingga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. besar maupun kecil. Gugusan ribuan pulau ini terbentang dari Sabang hingga"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terdiri atas ribuan pulau baik besar maupun kecil. Gugusan ribuan pulau ini terbentang dari Sabang hingga Merauke. Kondisi geografis yang begitu luas ini mengakibatkan Indonesia memiliki beragam suku bangsa. Hal itu secara langsung maupun tidak langsung membuat Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam pula. Kebudayaan antara satu daerah memiliki ciri khas tertentu sehingga membedakan dengan daerah lain.

Kebudayaan sendiri merupakan hasil dari proses budi daya yang dilakukan manusia bersumberkan pada cipta, rasa dan karsa untuk menciptakan tata kehidupan yang bermakna dan berkesinambungan. C.A. Van Peursen bahkan memberi keterangan bahwa kebudayaan adalah endapan dari kegiatan dan karya manusia.1 Kebudayaan tersebut memiliki beberapa unsur, salah satu dari unsur kebudayaan adalah kesenian. Di Indonesia terdapat berbagai bentuk-bentuk kesenian yang berkembang di setiap daerahnya. Salah satu bentuk dari kesenian rakyat adalah tarian jathilan.

Jathilan sendiri merupakan tarian yang sudah sangat lama berkembang di kepulauan Nusantara, terutama di pulau Jawa. Beberapa ahli telah mencoba mendefiniskan tentang makna dan arti tarian jathilan. Claire Holt menyebutkan

1

C.A. Peursen, Strategi Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius,1988), hlm. 9.

(2)

bahwa jathilan adalah pertunjukan rakyat yang dilakukan oleh penari laki-laki dengan menunggang kuda-kudaan pipih yang dibuat dari anyaman bambu.2 Sedangkan Fritz A Wagner juga mendefinisikan jathilan sebagai tarian rakyat yang dilakukan oleh dua orang penari dengan kuda-kudaan yang dianyam dari bambu dengan gerakan yang memberi kesan seolah mereka sedang menunggangi kuda.3 R.M. Soedarsono memberi keterangan tentang jathilan sebagai berikut :

“Jathilan adalah salah satu jenis tarian rakyat yang bila ditelusuri latar belakang sejarahnya termasuk tarian yang paling tua di Jawa. Tari yang selalu dilengkapi dengan prop tari berupa kuda kepang ini lazimnya dipertunjukan sampai klimaksnya yang berupa keadaan tak sadarkan diri dari penarinya. Penari jathilan dahulu hanya berjumlah dua orang, tetapi sekarang bisa dilakukan oleh jumlah yang lebih banyak dan dalam formasi yang berpasangan.”4

Jathilan sebagai sebuah wujud kesenian rakyat yang memiliki sejarah yang sangat panjang. Sebagai kesenian rakyat, jathilan tumbuh diluar tembok istana keraton sehingga lebih dekat dengan masyarakat pedesaan. Sejauh pengetahuan penulis belum ada tulisan sejarah yang mencatat asal mula kesenian jathilan. Jathilan sebagai sebuah kesenian rakyat diturunkan secara verbal dari generasi ke generasi. Salah satunya sebagai wujud apresiasi dan dukungan rakyat terhadap perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap penjajah Belanda seperti yang

2

Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, (Bandung: ArtiLine, 2000), hlm. 126-127.

3

Hildawati Sidartah , Indonesia Kesenian Suatu Daerah Kepulauan,

(Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1995), hlm. 199.

4

Soedarsono ed., Tari-Tarian Rakyat Yang Ada di Daerah Istimewa

(3)

dijelaskan dalam “Pameran Kesurupan Kuda Lumping” yang berlangsung pada 15-23 Januari 2013 di Bentara Budaya Yogyakarta. Selain itu kesenian jathilan juga menggambarkan perjuangan Raden Patah yang dibantu oleh Sunan Kalijaga dalam melawan Belanda. Versi lainnya juga menyebutkan bahwa jathilan menggambarkan latihan perang pasukan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I.

Istilah jathilan begitu populer digunakan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di daerah lain, misalnya di Jawa Barat kesenian rakyat ini disebut dengan istilah kuda lumping , sedangkan di Jawa timur jathilan lebih identik atau menjadi bagian dalam komposisi tarian kesenian rakyat yang bernama reog .5 Yogyakarta sebagai sebuah wilayah baik secara kultural maupun administratif menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya kesenian jathilan merupakan wilayah yang memiliki kerajaan yang masih eksis. Kasultanan Yogyakarta6 sebagai kerajaan yang masih eksis merupakan pusat perkembangan budaya di wilayah sekitarnya. Dalam konsep awal kerajaan Mataram Kuno pendahulu kerajaan Mataram Islam, Keraton merupakan pusat atau centrum dari wilayah yang mewakili jagat raya di muka bumi (mikro kosmos). Hal itu kemudian diadopsi

5

Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, ( Jakarta : Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1988), hlm. 127.

6

Kasultanan Yogyakarta terbentuk melalui perjanjian giyanti atau yang biasa disebut palihan nagari pada tahun 1755, yaitu proses terpecahnya kerajaan Mataram Islam menjadi dua wilayah yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Dalam perjalanannya Kasultanan Yogyakarta juga mengalami perpecahan dengan lahirnya Pakualaman.

(4)

oleh Mataram Islam seperti pernyataan dari R.M. Soedarsono yang berbunyi sebagai berikut :

’’ Satu hal yang perlu diperhatikan apabila sebelum kemerdekaan, istana-istana merupakan sentra perkembangan seni pertunjukan, sejak saat itu boleh dikatakan seni pertunjukan istana kehilangan pelindung. Memang sejak masa pergerakan nasional telah terjadi upaya untuk mengeluarkan seni istana dari tembok istana agar bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.”7

Selain itu, Yogyakarta merupakan wilayah yang memiliki persentuhan dengan dunia pendidikan di bidang kebudayaan dan kesenian yang sangat kuat. Hal itu terlihat dengan adanya sekolah tinggi maupun universitas yang bergerak di bidang kebudayaan dan kesenian seperti ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), Universitas Gadjah Mada8 dan ASTI ( Akademi Seni Tari Indonesia) . Dalam perkembangannya , ASTI yang berdiri pada akhir periode 1980an kemudian bergabung menjadi satu kesatuan terpadu dengan ISI Yogyakarta yang terletak di Kecamatan Sewon.9 Dalam perjalannya sejarahnya terutama pada periode 1950an, Yogyakarta mengalami masa yang menakjubkan dalam hal perkembangan kesenian. Claire Holt dalam bukunya mengungkapkan bahwa :

”....aktivitas-aktivitas yang ditujukan kepada seni, telah mencapai satu intensitas yang mentakjubkan pada tahun 1955. Didalam sebuah kota yang berpenduduk secara kasar 270.000 jiwa serta sekitar 8.000 mahasiswa perguruan tinggi, 74 organisasi seni terdaftar resmi.10

7

R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan di Indonesia di Era Globalisasi.

(Jakarta: Dirjen Dikti Dekdibud,1999), hlm. 42.

8

Claire Holt, op.cit., hlm. 325.

9

Felicia Hughes, Komunitas Yang Mewujud, (Yogyakarta: UGM Press, 2009)

10

(5)

Berangkat dari pernyataan yang terurai di atas, menulis mengenai sejarah perkembangan jathilan menjadi sebuah hal yang menarik untuk diteliti. Maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai perkembangan suatu paguyuban jathilan. Sartono Kartodirdjo -Sejarawan UGM- dalam bukunya mengatakan bahwa “sejarah sosial adalah setiap gejala sejarah yang memanifestaikan kehidupan sosial suatu komunitas”11 . Selanjutnya Kuntowijoyo menyebutkan bahwa sejarah sosial mempunyai bahan garapan yang luas. Sejarah sosial juga dapat dikaitkan dengan banyak aspek seperti, sosial politik, sosial ekonomi, maupun sosial budaya. Perkembangan sejarah sosial sendiri telah berlangsung sangat lama. Dimulai dari Herodotus, bapak sejarah, menulis sejarah Perang Parasi. Didalam tulisannya mencakup segala aspek kehidupan masyarakat Athena.12

Alasan penulis selain yang terurai diatas, juga berdasarkan bahwa tulisan sejarah tidak harus melulu meneliti hal-hal yang “besar”, melainkan dapat meneliti aspek-aspek yang bersifat mikro. Maka dari itu penulis memilih untuk meneliti tentang perkembangan paguyuban kesenian jathilan Kudho Mataram yang berada di Kecamatan Sewon. Kecamatan Sewon sendiri merupakan bagian dari Provinsi Yogyakarta. Tepatnya di wilayah Kabupaten Bantul.

11

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi

Sejarah. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 50.

12

(6)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Pada subbab ini menguraikan permasalahan yang muncul dari latar belakang di atas, sekaligus menguraikan ruang lingkup penelitian. Pokok Permasalahan yang ditekankan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah perkembangan paguyuban jathilan Kudho Mataram yang berada di Kecamatan Sewon. Berangkat dari pokok permasalahan yang terurai jelas diatas dapat dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan penelitian yang akan membingkai penelitian sejarah ini. Antara lain, mengapa Paguyuban Kesenian Jathilan Kudho Mataram muncul di wilayah kecamatan Sewon? Kemudian yang kedua adalah peran sosial dan kultural apakah yang pernah di emban atau dimainkan oleh Paguyuban Kesenian Jathilan Kudho Mataram? Kemudian yang ketiga adalah bagaimana proses regenerasi kelompok Kesenian Jathilan Kudho Mataram sehingga mampu eksis dalam jangka waktu yang cukup lama?

Di dalam melakukan penelitian ini agar pembahasan tidak melebar ke dalam konteks yang lebih luas maka akan dilakukan pembatasan cakupan temporal dan spasial. Cakupan temporal yang begitu panjang ditujukan untuk melihat perubahan ataupun dinamika yang terjadi dalam perkembangan jathilan. Adapun cakupan temporal sebagai batasan periode penelitian ini akan dimulai dari tahun 1957. Adapun batasan temporal akan diakhiri pada periode ini adalah tahun 2010. Pemilihan tahun 1957 sebagai cakupan temporal awal didasarkan pada digunakannya nama paguyuban jathilan Kudho Mataram yang sebelumnya

(7)

menggunakan nama jathilan Monggang.13 Pemilihan cakupan akhir dibatasi pada tahun 2010. Pemilihan 2010 ini didasarkan hadirnya generasi terbaru Paguyuban Kesenian Jathilan Kudho Mataram dan pergantian nama menjadi jathilan Turonggo Mudo Mataram. Generasi tersebut adalah generasi yang melanjutkan “estafet” pelestarian paguyuban kesenian jathilan Kudho Mataram. Tujuan pembatasan lingkup temporal ini untuk melihat gejala perubahan budaya dalam jangka waktu tersebut. Maka dari itu penulis menekankan penelitian pada gejala yang terjadi selama periode tersebut. Penulis sengaja memilih rentang waktu yang cukup panjang didasarkan karena ingin melihat perubahan yang terjadi selama periode tersebut.

Cakupan spasial penelitian ini berada di wilayah Kecamatan Sewon. Pemilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Sewon merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya kesenian jathilan Kudho Mataram. Selain itu, Kecamatan Sewon juga merupakan bagian dari wilayah Yogyakarta yang memiliki Kerajaan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kasultanan Yogyakarta sendiri menjadi salah satu kerajaan yang masih eksis di Indonesia

13

Wawancara dengan Widi Utomo ( Usia 70 tahun) , Monggang, pada 21 Juni 2012 pukul 18:00 WIB

(8)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan yakni, menjelaskan ataupun memaparkan perkembangan Paguyuban Kesenian Jathilan Kudho Mataram di Kecamatan Sewon pada periode 1957-2010. Sementara itu, dalam tataran historiografi penelitian ini juga bertujuan untuk memperkaya khasanah referensi tentang sejarah sosial. Disamping itu, latar belakang penulis sebagai mahasiswa sejarah, mendorong penulis untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama belajar di Jurusan Ilmu Sejarah FIB UGM, maka penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan mata kuliah sejarah lisan dalam proses pengumpulan data.

D. Tinjauan Pustaka

Kajian-kajian yang ada relevansinya dengan tema yang akan digarap telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Guna mempermudah pemahaman, penulis akan mengklasifikasikan beberapa penelitian atau kajian terdahulu yang terkait dengan tema yang akan diangkat ke dalam beberapa kategori.

Untuk kategori yang pertama penelitian yang ada kaitannya dengan jathilan.14 Buku yang pertama adalah terbitan dari KITLV, karya Victoria M. Clara van Groenendel.15 Buku ini mengkaji tentang kesenian rakyat yang bernama

jaranan di Jawa Timur dari aspek atau sudut pandang antropologis. Fokus

14

Selain yang dilampirkan diatas, tinjauan pustaka lain yang memiliki kategori yang sama adalah skripsi Eko Budi Prasetyo “Perubahan Budaya dan Tradisi Masyarakat : Perkembangan Kesenian Jaran Kepang di Desa Tegalrejo Gunung Kidul (1980-2004) ”, Skripsi , Jurusan Sejarah FIB UGM, 2011

15

Victoria Clara, Jaranan : The Horse Dance and Trance in East Java,

(9)

penelitian ini tertuju pada kelompok kesenian yang bernama Samboyo Putro . Di dalam buku ini menjelaskan mengenai pertunjukan jaranan secara kompleks, dari proses latihan hingga tampil dalam suatu pementasan, Selain itu dari ritual awal hingga proses trance atau kesurupan juga dijelaskan secara detail. Selain buku karya Victoria M. Clara van Groenendel, buku lain yang masuk dalam kategori kesenian rakyat yang kajiannya hampir mirip adalah Reog Ponorogo, Menari

Diantara Dominasi dan Keragaman.16 Buku Karya Muhammad Zamzam

Fauzanafi, alumni S 1 jurusan Antroplogi Fakultas Ilmu Budaya UGM ini berisi mengenai perkembangan Reog Ponorogo dalam sudut pandang Antropologis. Di dalam buku ini dipaparkan sejarah ringkas perkembangan Reog Ponorogo yang hadir melalui mitos- mitos yang berkembang dalam masyarakat setempat maupun versi-versi dari reog itu sendiri. Selain itu buku ini juga menyinggung mengenai kedaan reog pada tahun 1960an, dijelaskan bahwa kelompok-kelompok reog sebagian besar bergabung dengan organisasi yang berbau politik. Organisasi reog mayoritas bergabung dengan Barisan Reog Ponorogo yang merupakan organisasi bentukan PKI.17 Buku yang ketiga yang masuk kategori kesenian adalah Seni Pertunjukan Tradisional , Nilai Fungsi dan Tantangannya. Buku ini membahas mengenai perkembangan seni pertunjukan di Surakarta yang merupakan salah satu daerah pusat kebudayaan Jawa selain Yogyakarta. Pembahasan dalam buku ini lebih terfokus pada kesenian Wayang Wong dan Ketoprak. Di dalam bagian awal buku ini juga menjelaskan mengenai sejarah perkembangan seni

16

Muhammad Zamzam, op.cit., hlm. 203.

17

(10)

pertunjukan.Kesenian kuda gepang yang berkembang di Kalimantan Selatan juga merupakan bentuk kesenian rakyat yang mirip dengan jathilan.18 Dalam pementasannya kuda gepang juga menggunakan properti dari anyaman bambu. Hasil penelitian selanjutnya yang masuk dalam kategori ini adalah mengenai jathilan di Kalasan karya H. Caminada S.J.19 yang memuat mengenai seluk beluk pementasan jathilan. Alat-alat yang digunakan dalam pementasan seperti kuda kepang, gamelan dan topeng merupakan unsur penting dalam setiap pementasannya. Sosok Penthul dan tembem menjadi penari yang memiliki peran penting dalam setiap pementasan selain para penari yang memakai properti kuda kepang. Alat musik yang khas dalam pementasan di Kalasan adalah kendang dan

angklung. Selain itu dalam tulisan Caminada, pementasan jathilan dijelaskan

penari yang memakai topeng seram yang disebut dengan sitilah barongan. Selain itu adalah tentang Jathilan Turonggo Mudho di dusun Dayu Sinduarjo Ngaglik Sleman.20 Sebagai sebuah seni, Jathilan tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat desa. Tarian ini biasanya dipentaskan oleh para penari putra maupun putri. Koreografer dalam tarian jathilan Turonggo Mudho ini menggambarkan pertarungan antara Panji Asmarabangun melawan harimau dan kera.

18

Ria Wahyu Febtiana , “Fungsi Tari Kuda Gepang Dalam Upacara Ba’usung Pengantin di Desa Parigi Kabupaten Tapin Kalimantan Selatan”, Skripsi S-1, Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, 2004.

19

H Caminada , “Djatilan”, Claverbond ( Nijmegen : Centrale Drukkerij ), 1927. ; Holthuizen, “Djatilan” Claverbond, ( Nijmegen : Centrale Drukkerij ) 1941.

20

Riyanti, “ Jathilan Turonggo Mudo di Dayu Sinduarjo Ngaglik Sleman Ditinjau dari bentuk penyajian”, Skripsi S-1, Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, 2001.

(11)

Selain itu buku Mengenal Tari – Tarian di Daerah Istimewa Yogyakarta karya Soedarsana.21 Buku ini berisi inventarisasi tarian - tarian yang berada di Yogyakarta. tarian yang dibahas adalah pada khususnya tarian rakyat. Tari-tarian itu antara lain Jathilan, Reog, Trebangan, dan Doger. Namun dalam buku karya Soedarsana ini belum memuat mengenai Jathilan Monggang maupun Jathilan Kudho Mataram.

Untuk kategori yang kedua adalah pengelompokan berdasarkan lingkup spasial dalam hal ini adalah Sewon. Skripsi yang pertama adalah tentang perubahan sosial di wilayah Kecamatan Sewon.22 Skripsi ini menceritakan tentang modernisasi di wilayah Sewon. Modernisasi tersebut dittopang oleh adanya pembangunan jalan raya, institusi pendidikan, dan pendirian pabrik-pabrik di wilayah Kecamatan Sewon. Ketiga unsur itu menjadi bagian penting untuk melihat perubahan yang terjadi di wilayah Kecamatan Sewon.

Untuk pengelompokan berdasarkan lingkup spasial adalah tulisan mengenai seni Trebangan di Dusun Kali Putih.23 Hal ini masuk dalam tinjauan pustaka klasifikasi wilayah Kecamatan Sewon karena dusun Kali Putih merupakan bagian dari Kecamatan Sewon. Skripsi ini menjelaskan mengenai pertunjukan kesenian Trebangan yang dalam pementasannya menggunakan

21

Soedarsana, Mengenal Tari – Tarian di Daerah Istimewa Yogyakarta,

(Yogyakarta ; Akademi Seni Tari Yogyakarta, 1976)

22

Eko Apri Anggoro, “ Modernisasi Masyarakat Sewon 1970 – 2000 ”,

Skripsi, Jurusan Sejarah FIB UGM, 2003

23

Sunardi, “ Kesenian Trebangan Dusun Kali Putih Pendowoharjo Sewon Bantul Ditinjau Dari Penyajiannya ”, Skripsi, Jurusan Seni Tari Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, 2003

(12)

rebana. Biasanya kesenian ini disajikan dalam acara-acara pengajian yang dilakukan di Kali Putih

Selain itu, dua tinjauan pustaka lainnya yang dapat digolongkan dalam lingkup Kecamatan Sewon adalah yang pertama tulisan mengenai Percobaan pengujian Insektisida Pada Kedele di Sewon.24 Tulisan yang kedua adalah Sistem Informasi Manajemen Sentra Mekanisasi Pertanian Desa Pendowoharjo Sewon Bantul.25 Kedua tulisan tersebut membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pertanian di wilayah Kecamatan Sewon.

E. Metode dan Sumber Penelitian

Penulis mengambil tema mengenai perkembangan kelompok paguyuban kesenian jathilan Kudo Mataram di kecamatan Sewon pada periode 1957 – 2010. Maka penulisan akan menggunakan metode sejarah. Metode sejarah meliputi empat tahap antara lain heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Heuristik adalah tahap mengumpulkan sumber sejarah secara sistematis dan efektif dengan proses seleksi sesuai dengan relevansi. Tahap kritik adalah menilai sumber-sumber yang diperoleh secara kritis, kritik sumber diperlukan untuk menjamin keabsahan data. Tahap selanjutnya adalah intepretasi yaitu pemberian makan dan tafsir pada sumber yang dikritik, selanjutnya historiografi adalah tahap

24

Santo Widjono, “Percobaan pengujian Insektisida Pada Kedele di Sewon”, Skripsi , Fakultas Pertanian UGM , 1988

25

Rudiati Evi Masithoh, “Sistem Informasi Manajemen Sentra Mekanisasi Pertanian Desa Pendowoharjo Sewon Bantul” , Skripsi, Fakultas Pertanian UGM,2001

(13)

terakhir penulisan sejarah yakni menyajikan fakta-fakta dalam bentuk tulisan utuh.

Penelitian ini menggunakan sumber dari buku-buku, skripsi, arsip, maupun sumber lisan yang dapat diakses di sekitar Yogyakarta. Untuk sumber buku, penulis mencari di Perpustakaan Daerah Yogyakarta, perpustakaan kota Yogyakarta, Perpustakaan Ignatius, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan ISI Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, maupun Perpustakaan Jurusan Sejarah UGM. Ada sebagian buku yang di akses dari koleksi pribadi. Arsip, koran, dan jurnal di dapatkan dari kantor arsip Yogyakarta, Library Center,

Museum Sonobudoyo, Tembi Rumah Budaya, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan dokumen yang terdapat di Paguyuban Jathilan Kudho Mataram (contoh: surat undangan dan buku lagu yang digunakan selama pementasan) . Untuk sumber lisan didapatkan dari wawancara dengan orang-orang yang berkecimpung di kelompok Paguyuban Kesenian Jathilan Kudho Mataram selama kurun waktu 1957-2010.

F. Sistematika Penulisan

Agar hasil penelitian ini tersaji secara sitematis, kronologis, serta mampu menjawab pertanayaan permasalahan yang telah dijabarkan maka perlu dipaparkan mengenai sistematika penulisan. Pada bagian pertama berisi pendahuluan. Pendahuluan memuat latar belakang pemilihan tema yang akan diteliti, kemudian berisi permasalahan yang didalamnya juga memuat pemaparan pemilihan lingkup spasial dan temporal yang akan membatasi penelitian ini agar

(14)

tidak melebar kemana-mana. Tujuan penelitian dijabarkan setelah permasalahan dan ruang lingkup, kemudian tinjauan pustaka, metode dan sumber penelitian dipaparkan secara sistematis, dan yang terakhir adalah sistematika penulisan menjadi penutup pada bagian pertama.

Kondisi wilayah Kecamatan Sewon sebagai sebuah wilayah dipaparkan pada bagian kedua. Dibagian kedua ini nanti akan dijelaskan mengenai kondisi Kecamatan Sewon secara keseluruhan . Bagian ketiga penulis akan membahas mengenai perkembangan kelompok Paguyuban Kesenian Jathilan Kudho Mataram dari masa kepemimpinan Bondil, kemudian kepemimpinan Merdi Utomo, hingga yang terakhir kepemimpinan Widi Utomo.

Pada bagian keempat penulis memaparkan mengenai pergeseran fungsi jathilan Kudo Mataram seiring berjalannya waktu. Bagian terakhir, yaitu bagian kelima berisi mengenai kesimpulan. Kesimpulan berisi pembahasan dan jawaban atas pertanyaan penelitian yang ada dibagian pengantar.

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa definisi di atas, maka definisi Work From Home atau bekerja dari rumah dalam tugas akhir ini adalah sama dengan definisi dari Mungkasa, (2020)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut :.. 1) Bagaimanakah pengaruh

Kondisi lapangan: dahulu dan sekarang Penurunan Produksi Migas Cadangan Migas yang semakin menipis Fasilitas Operasi Produksi Yang Sudah Menua Reserves Replacement Ratio

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel niat untuk patuh berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan pajak, variabel modernisasi sistem administrasi

Melihat uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa adaptasi petani bandeng dalam mengantisipasi perubahan iklim untuk meningkatkan produktivitas pada Tambak Desa

dan pertimbangan-pertimbangan yang lain, disini saya hanya ingin berbagi sedikit Tips bagaimana memilih Perguruan Tinggi supaya adek-adek nantinya tidak salah pilih ketika

Gambar 16 terlihat bahwa pada penambahan arang aktif tipe powder, logam berat yang mampu di adsorpsi dengan sempurna yaitu logam berat Hg, sedangkan logam berat Ag dan Cr

Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) adalah alat manajemen untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus menerus,