2.1. Konsep Perencanaan Bidang Cipta Karya
Sesuai arahan Dirjen Cipta Karya, Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi
panglima bagi pemerintah di semua tingkat dalam membangun infrastruktur
permukiman pada nasional, regional, kabupaten/kota, kawasan, hingga yang paling
kecil, lingkungan/komunitas. Sudah saatnya pembangunan infrastruktur
permukiman melalui keterpaduan dengan pendekatan berbasis kawasan dan entitas
yang mengacu pada tata ruang.
Saat ini di tahun 2014, Cipta Karya akan memprioritaskan
program/kegiatannya pada kabupaten/kota strategis nasional. Kabupaten/kota
tersebut yang tercakup dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat-Pusat Kegiatan
Strategis Nasional (PKSN) di dalam KSN dan kabupaten/kota di dalam kawasan
metropolitan, serta kawasan strategis lainnya (KEK, MP3EI). Kabupaten/kota
tersebut juga telah memiliki Perda RTRW dan tergabung dalam Program Kota Hijau,
Kota Pusaka, dan Perdesaan Lestari dan telah memiliki pedoman rencana dan
program yang berkualitas di bidang Cipta Karya berupa Rencana Program Investasi
Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten/Kota. Direktorat Jenderal Cipta Karya juga
mendukung kabupaten/kota dalam pemenuhan Standart Pelayanan Minimal (SPM)
bagi kabupaten kota yang telah memiliki pedoman rencana dan program yang
berkualitas, memiliki komitmen tinggi dan responsif program serta usulan-usulan
daerah yang bersifat inovasi baru (creative program) bagi kab/kota yang berprestasi.
Selain prioritas program / kegiatan yang direncanakan pada tahun 2014,
1. Mempercepat akses pelayanan air minum 100%, pengurangan kawasan kumuh
hingga 0%, dan akses pelayanan sanitasi hingga 100%;
2. Mewujudkan struktur dan pola ruang nasional;
3. Melaksanakan pendekatan keterpaduan dalam proses perencanaan; dan
4. Memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) di kabupaten/kota.
Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan
berkelanjutan, konsep perencanaan pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya
disusun dengan berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan dan amanat
perencanaan pembangunan. Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan
permukiman, Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota perlu memahami
arahan kebijakan tersebut, sebagai dasar perencanaan, pemrograman, dan
pembiayaan pembangunan Bidang Cipta Karya.
Gambar 2.1 memaparkan konsep perencanaan pembangunan infrastruktur
Bidang Cipta Karya, yang membagi amanat pembangunan infrastruktur Bidang Cipta
Karya dalam 4 (empat) bagian, yaitu amanat penataan ruang/spasial, amanat
pembangunan nasional dan direktif presiden, amanat pembangunan Bidang
Pekerjaan Umum, serta amanat internasional.
Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya
dihadapkan pada beberapa isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan
iklim, kemiskinan, reformasi birokrasi, kepadatan penduduk perkotaan,
pengarusutamaan gender, serta green economy. Disamping isu umum, terdapat juga
permasalahan dan potensi pada masing-masing daerah, sehingga dukungan seluruh
stakeholders pada penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya sangat diperlukan.
2.2. Amanat Pembangunan Nasional Terkait Bidang Cipta Karya
Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan
nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,
mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab
itu, Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat kebijakan
pembangunan nasional.
2.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007,
merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan
prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap
dalam jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal sebagai berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:
a. Dalam mewujudkan Indonesia yang berdaya saing maka pembangunan dan
penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk mewujudkan terpenuhinya
kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan sektor-sektor terkait lainnya,
seperti industri, perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan
melalui pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach) dan
pendekatan terpadu dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup,
sumber daya air, serta kesehatan.
b. Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan maka
diarahkan pada : (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management)
dalam penyediaan air minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal
air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan
air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4) penyediaan
sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi
bagi masyarakat miskin.
c. Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan
berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat untuk
mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Peran pemerintah akan lebih
difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana,
sementara peran swasta dalam penyediaan sarana dan prasarana akan makin
ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.
d. Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap
tahapan RPJMN, yaitu:
RPJMN ke 2 (2010-2014): Daya saing perekonomian ditingkatkan melalui
percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan
kerjasama antara pemerintah dan dunia usaha dalam pengembangan
perumahan dan permukiman.
RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi seluruh
masyarakat terus meningkat karena didukung oleh sistem pembiayaan
perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel.
Kondisi itu semakin mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman
kumuh.
RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga terwujud kota tanpa
permukiman kumuh.
2.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014
RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun
pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang
berkeadilan dengan mendorong partisipasi masyarakat Dalam rangka pemenuhan
hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak sesuai dengan UUD 1945
Pasal 28H, pemerintah memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat
berpendapatan rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan
sarana dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan
drainase.
Dokumen RPJMN juga menetapkan sasaran pembangunan infrastruktur
permukiman pada periode 2010-2014, yaitu:
a. Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun 2014,
dengan perincian akses air minum perpipaan 32 persen dan akses air minum
non-perpipaan terlindungi 38 %.
b. Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga akhir
tahun 2014, yang ditandai dengan tersedianya akses terhadap sistem
pengelolaan air limbah terpusat (off - site) bagi 10% total penduduk, baik melalui
sistem pengelolaan air limbah terpusat skala kota sebesar 5% maupun sistem
pengelolaan air limbah terpusat skala komunal sebesar 5 % serta penyediaan
akses dan peningkatan kualitas sistem pengelolaan air limbah setempat (on -
site) yang layak bagi 90 % total penduduk.
c. Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80 % rumah tangga di
daerah perkotaan.
d. Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis
perkotaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan
untuk meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan
sanitasi yang memadai, melalui:
a. menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,
b. memastikan ketersediaan air baku air minum,
c. meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana permukiman,
d. meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum, penanganan air
e. meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan sanitasi,
f. meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman,
g. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS),
h. Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur,
i. meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta,
j. mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.
2.2.3. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI)
Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan
pertumbuhan ekonomi 7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang
ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun 2011. Dalam dokumen tersebut
pembangunan setiap koridor ekonomi dilakukan sesuai tema pembangunan
masing-masing dengan prioritas pada kawasan perhatian investasi (KPI-MP3EI).
Ditjen Cipta Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infastruktur
permukiman pada KPI Prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan
tersebut. Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah adalah satu
atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau terhubung
dengan satu atau lebih faktor konektivitas dan SDM IPTEK. Pendekatan KPI
dilakukan untuk mempermudah identifikasi, pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan
ekonomi atau sentra produksi yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM
IPTEK yang sama.
Sebagai dokumen kerja, MP3EI berisikan arahan pengembangan kegiatan
ekonomi utama yang sudah lebih spesifik, lengkap dengan kebutuhan infrastruktur
dan rekomendasi perubahan/revisi terhadap peraturan perundang-undangan yang
perlu dilakukan maupun pemberlakuan peraturan-perundangan baru yang diperlukan
untuk mendorong percepatan dan perluasan investasi. Selanjutnya MP3EI menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
MP3EI bukan dimaksudkan untuk mengganti dokumen perencanaan pembangunan
yang telah ada seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 –
Nasional, namun menjadi dokumen yang terintegrasi dan komplementer yang
penting serta khusus untuk melakukan percepatan dan perluasan pembangunan
ekonomi. MP3EI juga dirumuskan dengan memperhatikan Rencana Aksi Nasional
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) karena merupakan komitmen nasional yang berkenaan
dengan perubahan iklim global.
Gambar 2.2. MP3EI merupakan bagian Integral Perencanaan Pembangunan Nasional
Berdasarkan berbagai faktor di atas, maka kerangka desain dari MP3EI 2011 –
2025 dirumuskan sebagaimana pada Gambar 2.3 berikut ini.
Berdasarkan ketiga strategi yang telah ditetapkan, disusun rencana
pembangunan 6 koridor ekonomi yang multiplier-nya meliputi seluruh wilayah tanah
air. Pada masing-masing koridor ekonomi akan difokuskan pada pengembangan
sejumlah kegiatan ekonomi utama sesuai engan keunggulan masing-masing
wilayahnya. Sejumlah indikasi investasi sampai dengan 2014, termasuk infrastruktur
utama, diidentifikasi berdasarkan proses interaksi dengan seluruh pemangku
kepentingan. Dari rencana pembangunan 6 koridor ekonomi di Indonesia dimana
Koridor Ekonomi Sulawesi sebagai salah satunya mempunyai tema Pusat Produksi
dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, dan Pertambangan Nikel
Nasional. Koridor ini diharapkan menjadi garis depan ekonomi nasional terhadap
pasar Asia Timur, Australia, dan Amerika. Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki potensi
tinggi di bidang ekonomi dan sosial dengan kegiatan-kegiatan unggulannya.
Meskipun demikian, secara umum terdapat beberapa hal yang harus dibenahi di
Koridor Ekonomi Sulawesi :
• Rendahnya nilai PDRB per kapita di Sulawesi dibandingkan dengan pulau lain di
Indonesia;
• Kegiatan ekonomi utama pertanian, sebagai kontributor PDRB terbesar (30
persen), tumbuh dengan lambat padahal kegiatan ekonomi utama ini menyerap
sekitar 50 persen tenaga kerja;
• Investasi di Sulawesi berasal dari dalam dan luar negeri relatif tertinggal
dibandingkan daerah lain;
• Infrastruktur perekonomian dan sosial seperti jalan, listrik, air, dan kesehatan kurang
tersedia dan belum memadai.
Pembangunan Koridor Ekonomi Sulawesi berfokus pada kegiatan-kegiatan
ekonomi utama pertanian pangan, kakao, perikanan dan nikel. Selain itu, kegiatan
ekonomi utama minyak dan gas bumi dapat dikembangkan yang potensial untuk
menjadi mesin pertumbuhan ekonomi di koridor ini.
1. Konektivitas (infrastruktur) Pengembangan kegiatan ekonomi utama pertanian
pangan memerlukan dukungan peningkatan konektivitas (infrastruktur) berupa :
• Perbaikan akses jalan untuk mengurangi ketergantungan kepada pihak
perantara dagang;
• Peningkatan fasilitas irigasi, dimana kemampuan produksi sangat rentan
terhadap perubahan cuaca jika terus bergantung pada irigasi sederhana yang
bergantung pada hujan;
• Revitalisasi dan peningkatan kapasitas gudang dan penyimpanan yang ada
(saat ini BULOG membeli 5 persen produksi beras nasional, tetapi fasilitas
penyimpanan yang dimiliki sudah tua dan memerlukan perbaikan) dapat
meningkatkan umur pangan dalam penyimpanan dan mengurangi kerugian
yang disebabkan oleh penyimpanan yang tidak baik (jumlah gudang BULOG di
Sulawesi berada pada posisi kedua paling banyak di Indonesia);
• Peningkatan akses jalan antara lahan pertanian dan pusat perdagangan, untuk
dapat memfasilitasi petani dalam melakukan penjualan dan mengurangi
ketergantungan pada perantara yang menaikkan harga jual hingga 30 persen
dari harga final (diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani);
• Pembangunan/perbaikan jaringan irigasi teknis usaha tani (JITUT), jaringan
irigasi desa (JIDES), dan tata air mikro (TAM), pembangunan/perbaikan pompa,
sumur, embung.
2. Konektivitas (infrastruktur) Pengembangan kegiatan ekonomi utama kakao
memerlukan dukungan peningkatan konektivitas (infrastruktur) berupa :
• Peningkatan kapasitas pelabuhan di Makassar, Mamuju dan Manado;
• Penambahan dan peningkatan kapasitas fasilitas penyimpanan di pusat-pusat
perdagangan dan pelabuhan;
• Peningkatan akses jalan yang lebih baik dari lokasi perkebunan menuju industri
• Peningkatan kapasitas infrastruktur (listrik, air, telekomunikasi) pada seluruh kawasan produksi dan industri pengolahan kakao.
3. Konektivitas (infrastruktur) Pengembangan kegiatan ekonomi utama perikanan
memerlukan dukungan peningkatan konektivitas (infrastruktur) berupa :
• Pembangunan balai benih ikan/hatchery untuk menghasilkan bibit unggul;
• Pembangunan dan pengembangan pelabuhan perikanan;
• Pengembangan Unit Pengolahan Ikan (UPI);
• Peningkatan kapasitas pelabuhan di Makassar dan Manado;
• Akses jalan yang lebih baik dari lokasi perikanan menuju pelabuhan dan pusat
perdagangan regional;
• Pembangunan fasilitas penyimpanan hasil laut , di tempat-tempat pelelangan
maupun di pusat-pusat perdagangan;
• Peningkatan kapasitas infrastruktur (listrik, air, telekomunikasi).
4. Konektivitas (infrastruktur) Pengembangan kegiatan ekonomi utama nikel
memerlukan dukungan peningkatan konektivitas (infrastruktur) berupa :
• Pembangkit listrik (ketersediaan energi) untuk memenuhi kebutuhan
pemrosesan;
• Akses jalan antara areal tambang dan fasilitas pemrosesan;
• Infrastruktur pelabuhan laut yang dapat melayani pengiriman peralatan dan
bahan baku dari daerah lain, misalnya dari Papua – Kepulauan Maluku.
5. Konektivitas (infrastruktur) Pengembangan kegiatan ekonomi utama Migas
memerlukan dukungan peningkatan konektivitas (infrastruktur) berupa :
• Peningkatan dan pengembangan infrastruktur minyak dan gas bumi untuk
meningkatkan akses masyarakat terhadap bahan bakar gas;
• Peningkatan dan pengembangan akses ke daerah-daerah eksplorasi dan
eksploitasi baru, baik di daratan maupun di lepas pantai;
• Pembangunan infrastruktur pengilangan migas;
Dalam program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia) untuk mewujudkan Indonesia sebagai salah satu negara
kekuatan ekonomi utama dunia di masa depan, maka Ditjen Cipta Karya melalui
program pengembangan Infrastruktur permukiman dengan fokus pada
kegiatan-kegiatan yang bersifat quick wins dan sekaligus mulai membuat landasan bagi
tahapan implementasinya dalam jangka menengah dan panjang. Implementasi
MP3EI akan menciptakan pusat pertumbuhan baik ekonomi maupun sosial dimana
manusia memerlukan permukiman sebagai tempat tinggal. Bahkan dimungkinkan
permukiman tersebut juga sekaligus tempat usaha jika kemudian industri yang
dikembangkan dalam MP3EI ini dapat menumbukan industri kecil atau rumahan.
Bidang Cipta Karya akan fokus pada penyiapan permukiman baik di kawasan
perkotaan maupun kawasan perdesaan yang merupakan kawasan terkait dengan
investasi dan kegiatan lainnya dalam MP3EI, melalui program atau kebijakan dalam
bidang permukiman kota maupun desa. Untuk perkotaan, Ditjen Cipta Karya telah
mempunyai strategi pengembangan permukiman di kawasan di kawasan prioritas
yang dikenal dengan SPPIP (Strategi Pembangunan Permukiman Infrastruktur
Perkotaan). Untuk kawasan perdesaan, sesuai dengan UU 17/2005, penanganan
permukiman perdesaan diarahkan untuk penyediaan pelayanan dasar di perdesaan
sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum (SPM) khususnya perdesaan
transmigrasi, tertinggal, perbatasan, pesisir, pulau kecil terluar, serta untuk
mendukung perdesaan yang menjadi pusat pertumbuhan melalui program PPIP yang
difokuskan bagi perdesaan, serta program agropolitan dan PISEW untuk mendukung
perdesaan yang berpotensi menjadi pusat pertumbuhan pengembangan pertanian
dan perikanan. Selain itu juga, Ditjen Cipta Karya melalui program Infrastruktur
penyediaan air mengembangkan kegiatan SPAM, dilakukan guna mendukung
kegiatan di pusat kegiatan ekonomi dan juga pemukiman di sekitarnya.
2.2.4. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan Indonesia
(MP3KI)
Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu
diimbangi dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk itu,
diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka kemiskinan dan memperluas
jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di semua kelompok
masyarakat. Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan pada tahun 2025,
MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama, yaitu:
a. Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh, terintegrasi,
dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan goncangan,
b. Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan sehingga
dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia di masa mendatang,
c. Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood)
masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di
tingkat lokal dan regional dengan memperhatikan aspek.
Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan
penting dalam pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program
pemberdayaan masyarakat (PNPM-Perkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas dsb)
serta Program Pro-Rakyat.
Seluruh program penanggulangan kemiskinan akan bertransformasi ke dalam
bentuk program yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dari seluruh
masyarakat secara merata termasuk menjamin terciptanya pemenuhan
pendapatan masyarakat (income generating) secara berkelanjutan, sinergi dari
seluruh kelompok program (klaster) penanggulangan kemiskinan dan
menjembatani transisi antar waktu, serta mewujudkan sistem jaminan sosial yang
menyeluruh.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka kerangka desain dari MP3KI 2013 –
Gambar 2.5. Kerangka Desain MP3KI
Dalam pelaksanaannya MP3KI dilaksanakan secara bertahap, dimana
pentahapan pelaksanaan diuraikan sebagai berikut :
1. Periode 2013-2014 :
• Percepatan pengurangan kemiskinan untuk mencapai target 8% - 10% pada
tahun 2014;
• Tidak ada program baru kemiskinan. Perbaikan pelaksanaan program
penanggulangan kemiskinan yang berjalan selama ini, melalui cara “KEROYOKAN”
• DI KANTONG2 KEMISKINAN, SINERGI LOKASI DAN WAKTU , SERTA
PERBAIKAN SASARAN (seperti : Program Gerbang Kampung di Menko Kesra);
• Sustainable livelihood penguatan kegiatan usaha masyarakat miskin,
termasuk membangun keterkaitan dengan MP3EI;
• Terbentuknya BPJS kesehatan pada tahun 2014 .
2. Periode 2015 –2019 :
• Peningkatan cakupan, terutama untuk Sistem Jaminan Sosial menuju
universal coverage;
• Terbentuknya BPJS Tenaga Kerja;
• Penguatan sustainable livelihood.
3. Periode 2020-2025 :
• Pemantapan sistem penanggulangan kemiskinan secara terpadu;
• Sistem jaminan sosial mencapai universal coverage.
Berdasarkan periode pentahapan pelaksanaan MP3KI di Indonesia, maka
implementasi pelaksanaannya bersinergi dengan konsep dan desain MP3EI dan
akan dikembangkan dalam MP3KI dengan klaster wilayah: Sumatera-Jawa, Bali,
NTT-NTB, Kalimantan, Sulawesi, Maluku-Papua-Papua Barat. Pengembangan wilayah
ini dengan menitikberatkan keterlibatan masyarakat miskin dan marjinal dalam
proses pembangunan wilayah maupun dalam pemanfaatan hasil pembangunannya.
Adapun tujuan strategi kawasan khusus dalam implementasi pelaksanaan MP3KI berdasarkan klaster wilayah adalah “Masyarakat di beberapa kawasan perlu
mendapat perhatian khusus karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi
menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan, dan mempunyai permasalahan yang
bersifat spesifik. Oleh karenanya, P3KI secara khusus mencanangkan strategi dan
kebijakan untuk percepatan dan perluasan pengurangan kemiskinan untuk
masyarakat di kawasan kumuh dan di permukiman illegal, di perbatasan, di dalam
hutan, di pesisir dan pulau-pulau terpencil, dan di masyarakat adat terpencil.”
2.2.5. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian
dan memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan
yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk
menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona ekonomi,
Cipta Karya dalam hal ini diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman
pada kawasan tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.
Didirikannya Kawasan Ekonomi Khusus antara lain bertujuan untuk:
1. Meningkatkan investasi,
2. Menyerap tenaga kerja,
3. Menerima devisa sebagai hasil peningkatan ekspor,
4. Meningkatkan kualitas produk ekspor sehingga dapat berkompetisi dengan
produk asing,
5. Meningkatkan sumber daya lokal, pelayanan, serta modal guna meningkatkan
ekspor, dan
6. Meningkatkan kualitas SDM Indonesia melalui alih teknologi.
Salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Provinsi Sulsel yakni KEK Emas
Barru yang berbatasan dengan Kota Parepare. Kota Parepare sebagai pusat Kapet
Parepare dan kota jasa dan perniagaan diharapkan mampu menangkap peluang
ekonomi dengan penetapan KEK ini. Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 9 Tahun 2009, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009-2013, Kabupaten Barru ditetapkan sebagai
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Emas. Penetapan Kabupaten Barru sebagai KEK,
merupakan peluang bagi investor untuk menanamkan modalnya di Kabupaten Barru
karena dalam pengembangannya didukung penuh oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan dan Pemerintah. Kabupaten Barru merupakan daerah yang potensi untuk
pengembangan KEK, karena memiliki Kolam Pelabuhan Alam yang terdalam (15-25
meter) sepanjang koridor Pesisir Barat Sulawesi Selatan dengan memiliki potensi
pengembangan kepelabuhan yang paling luas dimana kapasitas tonase kapal yang
paling besar dan kawasan teraman dari tsunami.
Kabupaten Barru terletak di titik tengah, di titik keseimbangan dengan jarak
100 km dari kota Makassar dengan jarak tempuh 2 jam ke Bandara Udara
Internasional Sultan Hasanuddin dan Pelabuhan Soekarno Hatta. Kabupaten Barru
potensial dalam hal ketersediaan lahan untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang
Kawasnn Konservasi (Karst Maros dan Pangkep) dimana dukungan infrastruktur
yang sudah memenuhi persyaratan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)
Adapun kesiapan syarat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah :
1. Dekat dengan Pelabuhan dan Bandara. Berjarak tempuh dari Bandara
Internasional Sultan Hasanuddin dan Pelabuhan Internasional Soekarno Hatta
serta berjarak kurang dari 2 jam dari pelabuhan Biringkassi Pangkep, Pelabuhan
Awerangnge Barru, Pelabuhan Parepare merupakan wujud akumulasi dan sinergi
yang sangat kuat bagi perwujudan KEK.
2. Dekat dari Kawasan Produksi dan dekat dengan Pasar. Letak Kabupaten Barru
menjadi "Pusat Titik Tangkap" terhadap semua komoditi di Sulawesi Selatan
menyebabkan terciptanya kemudahan pencapaian terhadap arus komoditi.
Posisi Barru yang terletak di daerah strategis Selat Makassar yang dekat dengan
Pulau Kalimantan (12 jam lewat ferry), Malaysia Timur dan Kawasan BIMP EAGA
serta lintasan penting di kawasan Asia Pasifik menyebabkan lemparan produk
dari posisi Barru menjadi lebih mudah.
3. Tidak Mengganggu Daerah Konservasi Alam. Berjarak 50 km dari Karst Maros
dan Karst pangkep yang termasuk kawasan konservasi menyebabkan KEK Barru
tidak memiliki resistensi yang besar terhadap kawasan konservasi.
4. Memiliki batas yang jelas dari Masterplan yang telah dibuat terlihat batas
kawasan pusat KEK Barru dibatasi oleh jalan kawasan dengan
pembagian-pembagian zona dan sub zona yang juga dibatasi dengan batas jalan yang
sangat jelas.
5. Ketersediaan lahan industri. Pemerintah Kabupaten Barru telah menyiapkan
areal "Kawasan Emas" di Kelurahan SepeE, Kelurahan Mangempang dan Desa
Siawung seluas 500 Ha yang dapat dikembangkan hingga lebih kurang 4.000
Ha.
2.2.6. Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh
Kementerian, Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program
pembangunan berkeadilan yang meliputi Program pro rakyat, Keadilan untuk semua,
pelaksanaan Program Pro Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan
program peningkatan kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam
pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses pelayanan
air minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan permukiman kumuh.
Direktif presiden merupakan respon terhadap permasalahan yang muncul.
Adapun 10 direktif presiden yang dimaksud adalah :
1. Ekonomi harus tumbuh lebih tinggi;
2. Pengangguran harus menurun dengan menciptakan lapangan kerja yang lebih
baik;
3. Kemiskinan harus makin menurun;
4. Pendapatan per kapita harus makin meningkat;
5. Stabilitas ekonomi terjaga;
6. Pembiayaan (financing) dalam negeri makin kuat & meningkat
7. Ketahanan pangan dan air meningkat;
8. Ketahanan energi meningkat;
9. Daya saing ekonomi nasional menguat dan meningkat;
10. Kita perkuat “green economy” (ekonomi ramah lingkungan).
Arah dan Konsentrasi Pembahasan Terhadap 10 Direktif Presiden :
1. Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi (Growth)
a. Sasaran : 7 % tahun 2014
b. Pertumbuhan yang merata (inklusif), termasuk pertumbuhan di provinsi –
provinsi
c. Investasi dan ekspor harus terus tumbuh (Y = C + G + I + NX)
d. Sumberdaya manusia & inovasi teknologi harus meningkat (Y = f(K,L,T))
2. Pengurangan pengangguran & peningkatan lapangan kerja
a. Sasaran : 5 – 6 % (pada akhir 2014)
b. Revitalisasi industri manufaktur
c. Pembangunan infrastruktur (termasuk PNPM)
d. Pengembangan UKM
e. Peningkatan tenaga kerja trampil diluar negeri
a. Sasaran : 8 – 10 % (pada akhir tahun 2014)
b. Bantuan pemerintah dan pemberdayaan (program-program pro rakyat)
c. Bantuan pendidikan & kesehatan untuk kelompok tidak mampu
d. Pengembangan UMKM (peningkatan pendapatan, termasuk pemberian KUR)
e. Program CSR swasta untuk pemberdayaan
4. Peningkatan Pendapatan per Kapita
a. Sasaran : lebih dari $4500 tahun 2014
b. Tingkat kesenjangan yang “acceptable”
c. Perhatian kepada kaum marginal (nelayan, buruh kecil, daerah tertinggal
5. Stabilitas ekonomi
a. Inflasi tidak tinggi
b. Harga bahan pokok “stabil” dan “terjangkau”
c. Sisi hulu : keseimbangan “Supply –Demand”
d. Nilai tukar tidak sangat berfluktuasi
e. Tidak terjadi “Capital Flight” yang tidak normal
6. Pembiayaan (Financing) dalam negeri
a. Ratio hutang terhadap GDP makin baik
b. Komponen hutang LN makin kecil
c. Penerimaan pajak meningkat
d. Penerimaan migas tetap baik
e. Penerimaan sektor pariwisata meningkat
f. Tabungan masyarakat (saving) meningkat, dan dapat diinvestasikan
7. Ketahanan Pangan dan Air
a. Swasembada beras dipertahankan
b. Komoditas pangan strategis makin cukup
c. Penyediaan dan distribusi air minum makin baik
d. Daerah rawan pangan teratasi
8. Ketahanan Energi
a. Listrik dapat memenuhi kebutuhan jangka menengah (jangka pendek
pemadaman listrik dapat diatasi)
b. BBM cukup, distribusi baik
c. Mencapai sasaran “energy mix 2015”
9. Daya Saing Ekonomi
a. Peningkatan infrastruktur ekonomi diseluruh tanah air
b. Pembangunan “connectivity” (Fisik dan ICT)
c. Inovasi Teknologi besar-besaran
d. Iklim investasi yang makin baik
e. Produktivitas nasional
10. Pembangunan Ramah Lingkungan (Green Economy)
a. Pengelolaan hutan yang baik
b. Kerjasama, kemitraan & bantuan internasional
c. “Energy efficiency”
d. Kampanye gaya hidup hemat & ramah lingkungan
e. Kampanye nasional tanam & pelihara pohon
f. Pengawasan pada usaha pertambangan, kehutanan dan pertanian
Sejalan dengan kondisi tersebut dalam Rencana Kerja Pemerintah 2014,
direktif presiden berupa hal-hal yang sudah disampaikan pada tahun anggaran 2012
tetapi diperkirakan belum selesai tahun 2013, dan juga dapat berupa arahan baru.
Arahan tersebut selanjutnya dikelompokkan atas tiga bagian yaitu arahan dalam
rangka: (1) pemantapan perekonomian nasional; (2) peningkatan kesejahteraan
rakyat; dan (3) pemeliharaan stabilitas politik.
1. Pemantapan Perekonomian nasional
a. Pencapaian surplus beras 10 juta ton dan peningkatan produksi jagung,
kedelai dan gula, yang akan dicapai antara lain melalui: (b) peningkatan
dan rehabilitasi jaringan irigasi primer, sekunder, tersier dan di tingkat usaha
tani; (d) peningkatan kesesuaian lokasi sawah dan perbaikan jaringan irigasi;
(p) penyelesaian Perda RTRW Daerah dan penetapan LP2B yang merupakan
bagian dari RTRW; dan (q) penyelesaian draft Peraturan tentang tentang
pengendalian alih fungsi lahan sawah.
b. Konektivitas yang menjamin tumbuhnya pusat-pusat perdagangan dan
industri dengan melaksanakan : (a) peningkatan kapasitas jalan tol melalui
pengembangan sumber pendanaan baru, revisi PP No. 15 tahun 2005
tentang Jalan Tol untuk memberikan peluang bagi pemerintah menugaskan
keterlibatan pemerintah daerah (pembebasan lahan dan sebagian
konstruksi); (b) pembentukan unit khusus pengadaan lahan untuk
kepentingan publik; (c) peningkatan dan pembangunan Jalan non tol pada
lintas-lintas utama; (d) peningkatan dan pengektifan alokasi DAK prasarana
Jalan; (e) mendorong terobosan baru sumber pembiayaan dari pusat untuk
membiayai jalan provinsi/kabupaten; (f) penanganan dan intervensi
pemerintah pada ruas-ruas jalan strategis Daerah (Inpres Penanganan Jalan
Strategis Daerah).
c. Percepatan Pembangunan Infrastruktur di Provinsi Papua dan Papua Barat
melalui : (e) strategi pembangunan jalan strategis papua sepanjang 3.488
km (80 ruas jalan) untuk membuka keterisolasian.
2. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
a. Peningkatan akses air minum dan sanitasi layak melalui: (a) peningkatan
pengawasan sarana air minum; (b) mendorong Pemerintah Daerah untuk
menyediakan akses air minum di perkotaan; (c) pembangunan sarana
Teknologi Tepat Guna Air Minum di DTPK (Daerah Terpencil Perbatasan dan
Kepulauan); (d) merehabilitasi sarana air bersih bukan jaringan perpipaan;
(e) akselerasi STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) di desa/ kelurahan;
(f) peningkatan akses air minum dan sanitasi di Sekolah; (g) penyediaan air
minum dan sanitasi berbasis masyarakat di desa; (h) peningkatan kapasitas
Sanitarian di Puskesmas; serta (i) penguatan kerjasama lintas sektor dalam
penyediaan akses air bersih dan sanitasi yang berkualitas, a.l. dengan
pemanfaatan PNPM Mandiri Perdesaan & Perkotaan.
b. Kesiapan infrastruktur dan kelembagaan penanganan bencana-mitigasi
bencana melalui : (a) pembangunan shelter bencana alam (tempat evakuasi
sementara); (d) peningkatan koordinasi oleh BNPB dengan
kementerian/lembaga terkait; (e) pengendalian banjir di DKI Jakarta,
pengamanan pantai dan pengendali lahar; (f) pengelolaan DAS secara
terpadu pada DAS Prioritas; (g) percepatan proses alih status kawasan; dan
(h) penyelesaian RTRW Provinsi.
Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi
peraturan perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU No. 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung, UU No. 7 tahun 2008 tentang Sumber Daya Air, dan UU
No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.
2.3.1. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan & Permukiman
UU Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan kewenangan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai
tugas:
a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat
kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan
berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi.
b. Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c. Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap pelaksanaan
kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah, perumahan, permukiman,
lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.
d. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di bidang perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
e. Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.
f. Melaksanakan melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan
dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman pada
tingkat kabupaten/kota.
g. Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.
h. Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman berpedoman pada kebijakan nasional.
i. Melaksanakan pengelolaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan
j. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi di bidang
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
k. Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.
Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya
yaitu:
a. Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan permukiman
pada tingkat kabupaten/kota.
b. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
d. Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang-undangan serta
kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
pada tingkat kabupaten/kota.
e. Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan dan
permukiman bagi MBR.
f. Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi MBR pada
tingkat kabupaten/kota.
g. Memfasilitasi kerja sama pada tingkat kabupaten/kota antara pemerintah
kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman.
h. Menetapkan lokasi perumahan dan permukiman sebagai perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
i. Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
Di samping mengatur tugas dan wewenang, UU ini juga mengatur
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, pemeliharaan dan
perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh, penyediaan tanah pendanaan dan pembiayaan, hak kewajiban
UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak
layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang
tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi
syarat. Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan, terdiri dari pengawasan,
pengendalian, dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya peningkatan kualitas
permukiman, yaitu pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.
2.3.2. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-Undang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan
bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan
teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan
pembongkaran. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif
dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan
administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan
bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. Sedangkan persyaratan teknis
meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.
Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas
bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian
dampak lingkungan, yang ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan
Lingkungan (RTBL).
Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai
berikut:
a. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan
lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan
gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan
lingkungannya. Di samping itu, sistem penghawaan, pencahayaan, dan
pengkondisian udara dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip
penghematan energi dalam bangunan gedung (amanat green building).
b. Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak
mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.
c. Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.
2.3.3. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
UU Sumber Daya Air pada dasarnya mengatur pengelolaan sumber daya air,
termasuk didalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara
menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal
sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.
Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan
dengan pengembangan sistem penyediaan air minum dimana Badan usaha milik
negara dan/atau badan usaha milik daerah menjadi penyelenggaranya. Air minum
rumah tangga tersebut merupakan air dengan standar dapat langsung diminum
tanpa harus dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan sehat menurut hasil pengujian
mikrobiologi. Selain itu, diamanatkan pengembangan sistem penyediaan air minum
diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan sarana
sanitasi.
2.3.4. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan
UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta
menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah rumah tangga dan
sampah sejenis sampah rumah tangga dilakukan dengan pengurangan sampah, dan
penanganan sampah. Upaya pengurangan sampah dilakukan dengan pembatasan
timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah.
Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi:
a. pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai
b. pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber
sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah
terpadu,
c. pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari
tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah
terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir,
d. pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah
sampah,
e. pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu
hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Undang-undang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara terbuka di
tempat pemrosesan akhir. Oleh karena itu, Pemerintah daerah harus menutup
tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem pembuangan terbuka
dan mengembangkan TPA dengan sistem controlled landfill ataupun sanitary landfill.
2.3.5. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut serta
dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun
2011. Dalam undang-undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki
dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Peraturan ini juga
mengatur perihal pembinaan, perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan,
dan pemanfaatan, pengelolaan, peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan,
tugas dan wewenang, hak dan kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan
peran masyarakat.
2.4. Amanat Internasional Bidang Cipta Karya
Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan
internasional yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan program
bidang Cipta Karya meliputi Agenda Habitat, Konferensi Rio+20, Millenium
Development Goals, serta Agenda Pembangunan Pasca 2015.
2.4.1. Agenda Habitat
Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan Konferensi Habitat II
sebagai kelanjutan dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi
tersebut menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen kesepakatan prinsip dan
sasaran pembangunan permukiman yang menjadi panduan bagi negara-negara
dunia dalam menciptakan permukiman yang layak dan berkelanjutan.
Salah satu pesan inti yang menjadi komitmen negara-negara dunia, termasuk
Indonesia, adalah penyediaan tempat hunian yang layak bagi seluruh masyarakat
tanpa terkecuali, serta meningkatkan akses air minum, sanitasi, dan pelayanan
dasar terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok rentan.
2.4.2. Konferensi Rio+20
Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT
Pembangunan Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Konferensi
tersebut menyepakati dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional.
Dokumen memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan
oleh dunia (common vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan
berkelanjutan dengan memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan
Johannesburg Plan of Implementation 2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi Hijau dalam konteks
pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, (ii) pengembangan
kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global, serta (iii)
kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kerangka
aksi tersebut termasuk penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs)
terinspirasi dari penerapan Millennium Development Goals (MDGs). Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana pembangunan
nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(2005-2025).
2.4.3. Millenium Development Goals (MDGs)
Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain menyepakati Deklarasi
Millenium sebagai bagian dari komitmen untuk memenuhi tujuan dan sasaran
pembangunan millennium (Millenium Development Goals). Konsisten dengan itu,
Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak
tahap perencanaan sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2010-2014 serta Rencana Kerja Tahunan berikut dokumen
penganggarannya. Sesuai tugas dan fungsinya, Ditjen Cipta Karya memiliki
kepentingan dalam pemenuhan target 7C yaitu menurunkan hingga setengahnya
proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak
dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015. Di bidang air minum, cakupan
pelayanan air minum saat ini (2013) adalah 61,83%, sedangkan target cakupan
pelayanan adalah 68,87% yang perlu dicapai pada tahun 2015. Di samping itu,
akses sanitasi yang layak saat ini baru mencapai 58,60%, masih kurang
dibandingkan target 2015 yaitu 62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta Karya juga turut
berperan serta dalam pemenuhan target 7D yaitu mencapai peningkatan yang
signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100
juta) pada tahun 2020. Pemerintah Indonesia menargetkan luas permukiman kumuh
6%, padahal data terakhir (2009) proporsi penduduk kumuh mencapai 12,57%.
ntuk memenuhi target MDGs di bidang permukiman, diperlukan perhatian
khusus dari seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota perlu melakukan optimalisasi kegiatan
penyediaan infrastruktur permukiman dalam rangka percepatan pencapaian target
2.4.4. Agenda Pembangunan Pasca 2015
Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi untuk
memberi masukan kerangka kerja agenda pembangunan global pasca 2015. Panel
ini diketuai bersama oleh Presiden Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono,
Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia, dan Perdana Menteri David Cameron dari
Inggris, dan beranggotakan 24 orang dari berbagai negara. Pada Mei 2013, panel
tersebut mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris Jenderal PBB berjudul “A
New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies Through
Sustainable Development”. Isinya adalah rekomendasi arahan kebijakan
pembangunan global pasca-2015 yang dirumuskan berdasarkan tantangan
pembangunan baru, sekaligus pelajaran yang diambil dari implementasi MDGs.
Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran indikatif pembangunan global
pasca 2015, sebagai berikut:
a. Mengakhiri kemiskinan;
b. Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan gender;
c. Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur hidup;
d. Menjamin kehidupan yang sehat;
e. Memastikanketahanan pangan dan gizi yang baik;
f. Mencapai akses universal ke Air Minum dan Sanitasi;
g. Menjamin energi yang berkelanjutan;
h. Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan
pertumbuhan berkeadilan;
i. Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan;
j. Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif;
k. Memastikan masyarakat yang stabil dan damai;
l. Menciptakan sebuah lingkungan pemungkin global dan mendorong;
m. pembiayaan jangka panjang.
Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta karya berkepentingan dalam
pencapaian sasaran 6 yaitu mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi.
a. Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di rumah, dan di
sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi,
b. Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses universal ke
sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan meningkatkan akses sanitasi di
rumah tangga sebanyak x%,
c. Menyesuaikan kuantitas air baku (freshwater withdrawals) dengan pasokan air
minum, serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian sebanyak x%, industri
sebanyak y% dan daerah-daerah perkotaan sebanyak z%,
d. Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah perkotaan dan
dari industri sebelum dilepaskan.
Selain memperhatikan sasaran dan target indikatif, dokumen laporan
tersebut juga menekankan pentingnya kemitraan baik secara global maupun lokal
antar pemangku kepentingan pembangunan. Kemitraan yang dimaksud memiliki
prinsip inklusif, terbuka, dan akuntabel dimana seluruh pihak duduk bersama-sama
untuk bekerja bukan tentang bantuan saja, melainkan juga mendiskusikan kerangka