PENGEMBANGAN MASYARAKAT: TINJAUAN MODEL-MODEL
ALTERNATIF BAGI PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
KONTEMPORER
“If you have come to help me you can go home again. But if you see my struggle as part of your own survival then perhaps we can work together“
(Australian Aborigine Woman).
This paper discusses issues and debates in community development today. It mainly focuses on two themes: (a) what has community development to offer as an approach to reflective social work practice?;; (b) what changes in social policy might be required to enhance community development practice? While this paper considers a number of the more negative features and some of the key dilemmas of the contemporary context, in terms of both policy and practice, the discussion also seeks to answer the following questions: What are the main perspectives of community development, and what are their varying implications for social work practice? At what levels, and in which types of practice setting, is community development most relevant and appropriate? What are the key areas of knowledge and skills which are required?
PENDAHULUAN
Konstelasi ekonomi dan kebijakan sosial dimana pekerjaan sosial dan pengembangan masyarakat (PM) beroperasi telah berubah secara signifikan sejak tahun 1970an. Menurut Mayo (1998), perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh proses globalisasi: sebuah ekspresi yang sangat populer sejak tahun 1980-an. Globalisasi menggantikan kata “internasionalisasi”, istilah yang oleh Dominelly dan Hoogvelts (1996:46) disebut sebagai “pengintensifan jaringan-jaringan hubungan sosial dan ekonomi yang luar biasa.” Dalam kajian Taylor-Gooby (1994), Dominelly dan Hoogvelts (1996), dan Penna dan O-Brien (1996), perubahan sosial dan ekonomi tersebut juga sejalan dengan munculnya sejumlah terma yang ditandai dengan awalan “post”, seperti “post-industrialism”, “post- fordism”, “post-structuralism” dan “post-modernism”. Dua istilah pertama menunjuk pada perdebatan dalam wacana ekonomi-politik, sedangkan dua istilah terakhir lebih merujuk pada perdebatan dalam aras budaya.
Meskipun konsep-konsep di atas memiliki perbedaan dalam makna dan kontekstualisasinya, secara garis besar kesemuanya memiliki kesamaan pandangan bahwa tatanan lama, yakni masyarakat industri “modern” sedang berada dalam masa perubahan atau transisi dalam skala global. Perubahan tersebut, yang menyentuh aspek ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan, memiliki implikasi penting terhadap sistem negara kesejahteraan (welfare state), khususnya terhadap konteks kebijakan sosial (social policy), pekerjaan sosial dan PM.
Terlepas dari adanya perbedaan-perbedaan dalam wilayah nasional dan lokal, perubahan-perubahan sosial berlangsung secara global dan universal. Secara ringkas, kecenderungan-kecenderungan yang tengah terjadi di berbagai belahan bumi menyangkut peningkatan ekonomi pasar bebas, privatisasi, fragmentasi pelayanan sosial, serta teknokratisasi pekerjaan sosial dalam budaya kontrak (Dominelli dan Hoogvelt, 1996). Pergeseran-pergeseran tersebut selain menimbulkan ancaman-ancaman serius, juga melahirkan kontradiksi-kontradiksi baru. Dalam konteks PM, misalnya, menguatnya sistem ekonomi-kesejahteraan campuran (the mixed economic welfare) melahirkan kesempatan-kesempatan dan tantangan-tantangan baru. Pertama, PM berjalan seiring dengan menurunnya sumber-sumber publik, termasuk berkurangnya peranan dan subsidi pemerintah dalam pembangunan sektor kemasyarakatan. Kedua, tumbuhnya kesadaran mengenai masyarakat madani (civil society), swadaya masyarakat, keberagaman, dan otonomi daerah memunculkan kesempatan-kesempatan dan pilihan-pilihan baru dalam beberapa bidang, namun menciptakan tantangan-tantangan baru dalam bidang-bidang lainnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Payne (1995:165-6), hal ini melahirkan paradoks dalam PM. Menurutnya:
controversial and problematic, having the capacity to draw attention to inequalities in service provision and in power which lie behind severe deprivation and so to become part of struggles between people in powerless positions against the powerful.
Sebagaimana diajukan oleh Mayo (1998:160), pertanyaannya adalah: “Why then, given its potentially controversial and problematic characteristics, has community work not merely survived from the 1970s, but taken on an apparently new lease of life in the 1990s? Berpijak pada argumentasi-argumentasi Mayo (1998:160-72) tersebut, artikel ini akan membahas beberapa isu kontemporer mengenai PM. Model PM yang bagaimana yang mampu memberikan pendekatan alternatif bagi praktek pekerjaan sosial dewasa ini? Perubahan-perubahan apa yang perlu dilakukan dalam kebijakan sosial untuk meningkatkan keandalan PM?
PENGEMBANGAN MASYARAKAT DAN PEKERJAAN SOSIAL
PM memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. PM seringkali diimplementasikan dalam bentuk proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui kampanye yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh pihak-pihak lain yang bertanggungjawab (Payne, 1995:165).
Istilah “masyarakat” dalam konsep PM dapat diringkas sebagai berikut (Mayo, 1998:162):
· Masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama”, yakni sebuah wilayah geografi yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.
· Masyarakat sebagai “kepentingan bersama”, yakni kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat phisik) atau bekas para pengguna pelayanan kesehatan mental.
Istilah masyarakat dalm PM biasanya diterapkan terhadap pelayanan-pelayanan sosial kemasyarakatan yang membedakannya dengan pelayanan-pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan manula yang diberikan di rumah mereka dan/atau di pusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu masyarakat merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan perawatan manula di sebuah rumahsakit khusus manula adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan. Istilah masyarakat juga sering dikontraskan dengan “negara”. Misalnya, istilah “sektor masyarakat” sering diasosiasikan dengan bentuk-bentuk pemberian pelayanan sosial yang kecil, informal dan bersifat bottom-up. Sedangkan lawannya, yakni “sektor publik” , kerap diartikan sebagai bentuk-bentuk pelayanan sosial yang relatif lebih besar, birokratis, dan top-down.
PM yang berbasis masyarakat seringkali diasosiasikan dengan pelayanan sosial gratis dan swadaya yang biasanya muncul sebagai respon terhadap melebarnya kesenjangan antara menurunnya jumlah pemberi pelayanan dengan meningkatnya jumlah orang yang membutuhkan pelayanan. PM juga umumnya diartikan sebagai pelayanan yang menggunakan pendekatan- pendekatan yang lebih bernuansa pemberdayaan yang memperhatikan keragaman pengguna dan pemberi pelayanan.
Dengan demikian, PM dapat didefinisikan sebagai metoda yang memungkinkan orang dapat meningkatkan kualitas hidupnya serta mampu memperbesar pengaruhnya terhadap proses-proses yang mempengaruhi kehidupannya (AMA, 1993). Menurut Twelvetrees (1991:1) PM adalah “the process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking collective actions.” Secara khusus PM berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik yang disebabkan oleh kemiskinan maupun oleh diskriminasi berdasarkan kelas sosial, suku, jender, jenis kelamin, usia, dan kecacatan.
Di Inggris, PM lahir dari proyek-proyek pemukiman pada akhir abad kesembilan. Proyek tersebut berawal dari Oxford House (didirikan tahun 1883) dan Toynbee Hall (dibentuk tahun 1885) yang berkaitan dengan pekerjaan sosial dan pendidikan masyarakat (Mayo, 1998). Lebih jauh Mayo (1998:163) menyatakan bahwa:
movements.
Dalam konteks kesejahteraan sosial, pada akhir tahun 1960-an Pemerintah Inggris menyelenggarakan Proyek Pengembangan Masyarakat sebagai bagian dari upayanya untuk memerangi kemiskinan dan ketelantaran melalui pendekatan-pendekatan yang lebih holistik dan preventif. Pendekatan ini tidak lagi terfokus kepada kejadian-kejadian parsial, melainkan lebih diarahkan terhadap kesejahteraan seluruh anggota masyarakat sebagai basis otoritas, sumber- sumber dan effektifitas kegiatannya. Menurut Bamford (1990), penekanan terhadap pentingnya peranan masyarakat serta tumbuhnya kerjasama antara departemen-departemen pelayanan sosial dan masyarakat-masyarakat lokal semakin menguat pada akhir tahun 1980-an seiring dengan menguatnya sistem ekonomi-kesejahteraan campuran.
Secara khusus, eratnya kerjasama antara pelayanan-pelayanan pemerintah Inggris dan masyarakat-masyarakat lokal juga tercermin dalam Griffiths Report mengenai perawatan masyarakat sebagai bagian dari sistem pluralisme kesejahteraan sosial yang baru (Mayo, 1998). Selain itu, sistem Kesehatan Nasional (NHS) dan Undang-Undang Perawatan Masyarakat (Community Care Act) pada tahun 1990 menunjukkan semakin pentingnya metode PM, setidaknya secara teoritis jika bukan secara praktis, sejalan dengan menguatnya sistem ekonomi pasar basar. Perubahan-perubahan arah kebijakan sosial pada pemerintah lokal kemudian semakin memperkukuh bahwa metode dan sistem pemberian pelayanan sosial tidak dapat lagi sepenuhnya tergantung pada departemen-departemen pelayanan sosial pemerintah. Semua itu menunjukkan besarnya tantangan sekaligus kesempatan bagi pelaksanaan PM.
PM memiliki sejarah panjang dalam praktek pekerjaan sosial (Payne, 1995;; Suharto, 1997). Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, PM memungkinkan pemberi dan penerima pelayanan terlibat dalam proses perencanaan, pengawasan dan evaluasi. PM tidak hanya meliputi perawatan masyarakat, melainkan juga berbagai pelayanan sosial yang berbasis masyarakat mulai dari pelayanan preventif untuk anak-anak sampai pelayanan kuratif dan pengembangan untuk keluarga yang berpendapatan rendah.
Meskipun PM memiliki peran penting dalam pekerjaan sosial, PM belum sepenuhnya menjadi ciri khas praktek pekerjaan sosial. PM masih menjadi bagian dari kegiatan profesi lain, seperti perencana kota dan pengembang perumahan. PM juga masih sering dilakukan oleh para voluntir dan aktivis pembangunan yang tidak dibayar. Telah terjadi perdebatan panjang mengenai apakah PM dapat dan harus didefinisikan sebagai kegiatan profesional. Yang jelas, PM memiliki tempat khusus dalam khazanah pendekatan pekerjaan sosial, meskipun belum dapat dikategorikan secara tegas sebagai satu-satunya metode milik pekerjaan sosial (Mayo, 1998).
MODEL ALTERNATIF DAN IMPLIKASINYA BAGI PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL
Secara teoretis, PM dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pekerjaan sosial yang dikembangkan dari dua perspektif yang berlawanan, yakni aliran kiri (sosialis-Marxis) dan kanan (kapitalis-demokratis) dalam spektrum politik. Dewasa ini, terutama dalam konteks meningkatnya “swastanisasi” kesejahteraan sosial, PM semakin menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan informal dalam mendukung strategi penanganan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam memfasilitasi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Secara garis besar, Twelvetrees (1991) membagi perspektif PM ke dalam dua bingkai, yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan “radikal”. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan analisis anti-rasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Payne (1995:166), “This is the type of approach which supports minority ethnic communities, for example, in drawing attention to inequalities in service provision and in power which lie behind severe deprivation.” Seperti digambarkan oleh Tabel 1, dua pendekatan tersebut dapat dipecah lagi kedalam beberapa perspektif sesuai dengan beragam jenis dan tingkat praktek PM. Sebagai contoh, pendekatan profesional dapat diberi label sebagai perspektif (yang) tradisional, netral dan teknikal. Sedangkan pendekatan radikal dapat diberi label sebagai perspektif transformasional (Dominelli, 1990;; Mayo, 1998).
Berdasarkan perspektif di atas, PM dapat dikelasifikasikan kedalam enam model sesuai dengan gugus profesional dan radikal (Dominelli, 1990: Mayo, 1998). Keenam model tersebut meliputi: Perawatan Masyarakat, Pengorganisasian Masyarakat dan Pembangunan Masyarakat pada gugus profesional;; dan Aksi Masyarakat Berdasarkan Kelas Sosial, Aksi Masyarakat Berdasarkan Jender dan Aksi Masyarakat Berdasarkan Ras (Warna Kulit) pada gugus radikal (Tabel 2).
1. Perawatan Masyarakat merupakan kegiatan volunter yang biasanya dilakukan oleh warga kelas menengah yang tidak dibayar. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kesenjangan legalitas pemberian pelayanan.
2. Pengorganisasian Masyarakat memiliki fokus pada perbaikan koordinasi antara berbagai lembaga kesejahteraan sosial.
3. Pembangunan Masyarakat memiliki perhatian pada peningkatan keterampilan dan kemandirian masyarakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
4. Aksi Masyarakat Berdasarkan Kelas bertujuan untuk membangkitkan kelompok-kelompok lemah untuk secara bersama-sama meningkatkan kemampuan melalui strategi konflik, tindakan langsung dan konfrontasi.
5. Aksi Masyarakat Berdasarkan Jender bertujuan untuk mengubah relasi-relasi-relasi sosial kapitalis-patriakal antara laki-laki dan perempuan, perempuan dan negara, serta orang dewasa dan anak-anak.
6. Aksi Masyarakat Berdasarkan Ras (Warna Kulit) merupakan usaha untuk memperjuangkan kesamaan kesempatan dan menghilangkan diskriminasi rasial.
Seiring dengan menguatnya faham ekonomi kesejahteraan campuran, maka PM semakin dituntut mampu beroperasi dalam kondisi yang lebih kompleks, fragmentatif dan kompetitif. Sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 3, model-model PM dapat dikembangkan lebih jauh dengan memadukan secara sinergi pendekatan profesional dan radikal.
Sebagai contoh, Perawatan Masyarakat dapat dibangun berdasarkan kontinum perspektif yang berbeda, mulai dari perspektif profesional-teknikal yang lebih mendukung kegiatan keswadayaan sampai perspektif radikal-transformasional yang lebih terfokus pada pemberdayaan masyarakat, penghapusan diskriminasi dan penindasan. Pengorganisasian Masyarakat dapat dikembangkan melalui teknik-teknik yang berkaitan dengan negosiasi dan komunikasi yang dapat meningkatkan koordinasi berbagai lembaga seperti lembaga pemerintah dan swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta lembaga-lembaga nir laba lainnya. Pembangunan Masyarakat dapat dikembangkan melalui peningkatan kemandirian dan penghapusan ketelantaran serta melalui strategi-strategi perencanaan sosial pada tingkat lokal, regional dan nasional.
Poin penting yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa model-model PM perlu dibangun berdasarkan perspektif alternatif (baik profesional maupun radikal) yang secara kritis mampu memberikan landasan teoritis dan pragmatis bagi praktek pekerjaan sosial. Perspektif dan model tersebut haruslah didasari oleh perangkat pengetahuan, teknik dan keterampilan profesional yang saling melengkapi. Secara umum, beberapa bidang yang harus dikuasai adalah:
· Engagement (dengan beragam individu, kelompok, dan organisasi). · Assessment (termasuk assessment kebutuhan dan profile wilayah). · Penelitian (termasuk penelitian aksi-partisipatif dengan masyarakat).
· Groupwork (termasuk bekerja dengan kelompok pemecah masalah maupun kelompok-kelompok kepentingan).
· Negosiasi (termasuk bernegosiasi secara konstruktif dalam situasi-situasi konflik). · Komunikasi (dengan berbagai pihak dan lembaga).
· Konseling (termasuk bimbingan dan penyuluhan terhadap masyarakat dengan beragam latar kebudayaan)
· Manajemen sumber (termasuk manajemen waktu dan aplikasi-aplikasi untuk memperoleh bantuan).
· Pencatatan dan pelaporan. · Monitoring dan evaluasi.
PM juga perlu didukung oleh pengetahuan mengenai kebijakan sosial, sistem negara kesejahteraan (welfare state), dan hak-hak sosial masyarakat, termasuk pengetahuan-pengetahuan khusus dalam bidang-bidang dimana praktek pekerjaan sosial beroperasi, seperti: kebijakan kesejahteraan sosial dan kesehatan, praktek perawatan masyarakat, peraturan dan perundang-undangan perlindungan anak, serta perencanaan sosial termasuk perencanaan wilayah (perkotaan dan pedesaan) dan perumahan. Sebagai tambahan, seperti diungkapkan oleh Mayo (1994:74), PM perlu dilandasi oleh pengetahuan mengenai:
BEBERAPA ISU DAN DILEMA KONTEMPORER
Dewasa ini, PM sering dikritik sebagai bidang praktek yang “kurang jelas dan memiliki banyak bias” (Popple, 1995;; Suharto, 1997). PM semakin dituntut untuk memiliki sasaran perubahan dan indikator keberhasilan yang lebih jelas dan terukur. Sebagai respon terhadap tuntutan tersebut, di Inggris, manajemen krisis dalam bidang perlindungan anak cenderung mengubah strategi pendekatannya menjadi lebih bersifat “community-based approaches” melalui pelibatan pusat-pusat keluarga berbasis masyarakat, lembaga-lembaga perlindungan anak dan lembaga-lembaga kredit lokal.
Pendekatan PM kini juga cenderung lebih difokuskan pada kegiatan-kegiatan khusus dan jangka pendek, seperti proyek-proyek peningkatn partisipasi masyarakat dalam skema perencanaan perkotaan. Dengan struktur yang spesifik dan jangka pendek, indikator keberhasilan PM lebih mudah diukur (misalnya, dilihat dari jumlah peserta yang ikut kursus-kursus pelatihan).
Namun demikian, program-program jangka pendek secara potensial dapat menimbulkan konflik. Kelompok-kelompok masyarakat bersaing satu-sama lain memperebutkan sumber-sumber yang semakin terbatas. Dalam hal ini, pekerja sosial perlu menyadari secara kritis dampak negatif dan positif dari kecenderungan di atas. Dalam kajian Mayo (1998:171), kecenderungan tersebut merupakan satu aspek penting dalam kaitannya dengan isu dan dilema yang dihadapi PM:
This is a key point and one which relates to a long history of debates over how far community work, like other approaches to social work, can be controlling rather than caring and enabling. There are parallels here with debates around contemporary notions of communitarianism, including debates about how far this actually focuses upon responsibilities rather than rights, upon communities policing themselves and/or competing with neighbouring communities for limited resources, eked out via self-help, rather than working together to challenge the policies in question.
KESIMPULAN
Sejalan dengan menguatnya ekonomi kesejahteraan campuran dewasa ini, PM memiliki tantangan yang lebih besar daripada waktu-waktu sebelumnya. Pekerja sosial harus mampu memobilisasi masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya, dan kemudian berkerjasama untuk memenuhinya. Pekerja sosial juga perlu mampu mengurangi kesenjangan dalam pemberian pelayanan, penghapusan diskriminasi dan ketelantaran melalui strategi-strategi pemberdayaan masyarakat.
Fragmentasi dan konflik antar masyarakat yang cederung meningkat dewasa ini semakin menuntut pekerja sosial untuk lebih meningkatkan kemampuan profesionalnya, khususnya dalam bidang pendekatan-pendekatan kritis dan alternatif. Tanpa perubahan-perubahan dalam konteks yang lebih luas, seperti perubahan dalam kebijakan sosial dan sistem pemberian pelayanan sosial, PM akan menjadi metoda yang kurang effektif. PM hanya akan menjadi sebatas jargon, bukan sebagai pendekatan pekerjaan sosial. Model-model alternatif yang memadukan sisi-sisi positif pendekatan profesional dan radikal dapat dikembangkan sebagai strategi PM yang bersifat holistik, preventif, dan anti-diskriminatif yang dibingkai oleh semangat partisipatif dan pemberdayaan.
DAFTAR PUSTAKA
AMA (1993), Local Authorities and Community Development: A Strategic Opportunity for the 1990s, London: Association of Metropolitan Authorities
Bamford, T. (1990), The Future of Social Work, London: McMillan.
Dominelli, L. (1990), Women and Community Action, Birmingham: Venture Press.
Dominelly, L. dan A. Hoogvelts (1996), “Globalisation and The Technocratisation of Social Work”, dalam Critical Social Policy, 47, 16(2), hal.45-62.
Mayo, M. (1994), “Community Work”, dalam Hanvey and Philpot (eds), Practising Social Work, London: Routhledge.
--------, (1998), “Community Work”, dalam Adams, Dominelli dan Payne (eds), Social Work: Themes, Issues and Critical Debates, London: McMillan.
Payne, M. (1995), Social Work and Community Care, London: McMillan.
Penna, S. dan M. O-Brien (1996), “Postmodernism and Social Policy: A Small Step Forwards?, dalam Journal of Social Policy, 25(1), hal.39-61.
Popple, K. (1995), Analysing Community Work, Buckingham: Open University Press.
Taylor-Gooby, P. (1994), “Postmodernism and Sosial Work: A Great Leap Backwards?”, dalam Journal of Social Policy, 23(3), hal.385-405.
Twelvetrees, A. (1991), Community Work, London: McMillan