• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI DINAMIKA STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI DINAMIKA STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,

PROVINSI JAWA BARAT

SILFIA SYAKILA

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2009

Silfia Syakila C24050923

(3)

iii

Silfia Syakila. C24050923. Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh Nurlisa A. Butet dan M. Mukhlis Kamal.

Ikan tembang (Sardinella fimbriata) merupakan salah satu sumberdaya ikan ekonomis penting yang terdapat di perairan Teluk Palabuhanratu. Nilai ekonomisnya yang tinggi disertai permintaannya yang terus meningkat menjadikan ikan ini sebagai salah satu target utama penangkapan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika stok ikan tembang yang mencakup pertumbuhan dan mortalitas serta menduga kondisi sumberdaya melalui nilai potensi maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield), upaya atau

effort optimum dalam kegiatan penangkapan dan kondisi aktual tingkat

pemanfaatan sumberdaya ikan tembang di perairan Teluk Palabuhanratu. Selain itu juga bertujuan untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau TAC (Total Allowable catch) sumberdaya ikan tembang di perairan Teluk Palabuhanratu.

Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang total dan bobot basah ikan contoh berlangsung mulai bulan 14 Januari sampai 25 Maret 2009 dengan interval waktu pengambilan dua minggu. Pengumpulan data sekunder dilaksanakan pada Oktober 2008 sampai Maret 2009 meliputi data produksi hasil tangkapan ikan tembang yang di daratkan di TPI Palabuhanratu dan upaya penangkapan (perahu motor tempel) selama empat tahun (2003-2006) serta keadaan umum dan kondisi perikanan tembang di daerah Teluk Palabuhanratu. Aspek pertumbuhan dan mortalitas dianalisis berdasarkan frekuensi panjang. Kelompok ukuran ikan dipisahkan dengan metode Bhattacharya, koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (L∞) diduga dengan metode plot Ford Walford, dan umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol (t0) serta laju mortalitas alami (M) diduga dengan rumus empiris Pauly. Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang sedangkan laju mortalitas penangkapan diduga dengan rumus F=Z-M dan laju eksploitasi diduga dengan rumus E=F/Z. Untuk pendugaan potensi sumberdaya ikan tembang dilakukan dengan cara analisis hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan

(effort) menggunakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer

dan Fox.

Sebaran ukuran panjang ikan tembang berada pada selang 112-115 mm sampai 163-166 mm. Koefisien pertumbuhan (K) ikan tembang sebesar 1,48 per tahun dengan panjang asimtotik (L∞) sebesar 170,23 mm dan umur teoritis (t0) sebesar -0,40 tahun sehingga diperoleh persamaan pertumbuhan von Bertalanffy untuk ikan tembang adalah Lt = 170,23 (1-e[-1,48(t+0,40)]). Pola pertumbuhan ikan tembang isometrik (p<0,05) dengan persamaan pertumbuhan W= 9x10-6 L2,99. Laju mortalitas total (Z) ikan tembang 8,522 per tahun dengan laju mortalitas alami (M) 1,146 per tahun dan laju mortalitas penangkapan 7,376 per tahun sehingga diperoleh laju eksploitasi 0,866. Nilai laju eksploitasi ini telah melebihi nilai eksploitasi optimum 0,5 (overexploited).

(4)

iv

per tahun dengan jumlah tangkapan maksimum lestari (MSY) sebesar 89,2448 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) sebesar 71,3958 ton per tahun. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh diketahui bahwa stok ikan tembang di Teluk Palabuhanratu telah mengalami penurunan dan terjadi kondisi upaya tangkap lebih yang diduga lebih lanjut termasuk kondisi growth

(5)

PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,

PROVINSI JAWA BARAT

SILFIA SYAKILA C24050923

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

Nama : Silfia Syakila

N I M : C24050923

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc

NIP. 19651208 199011 2 001 NIP. 132 084 932

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

Tanggal Ujian : 25 Agustus 2009 Tanggal Lulus :

(7)

vii

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat dengan baik. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis selama tiga bulan pada Januari hingga Maret 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan, masukan dan arahan sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap dengan tersusunnya skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Agustus 2009

(8)

viii

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ir. Nurlisa A. Butet, M.Sc selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing II sekaligus Pembimbing Akademik yang banyak memberikan bimbingan serta masukan dan arahan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 3. Ir. Zairion, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS

selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis.

4. Keluarga tercinta; Ayah, Bunda, dan adik-adik ku tersayang (Neily, Fakhtar dan Widiya) atas doa, pengorbanan, keikhlasan serta dukungan semangatnya.

5. Para staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widar, Bagian Manajemen

Sumberdaya Perikanan (MSPi) (terutama Mba Ami) serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

6. Ibu Imas dari PPN Palabuhanratu dan Mas Agus atas segala bantuan dan kerjasamanya.

7. Adnan Sharif selaku partner penelitian, Farah Amanda, rekan-rekan seperjuangan dari MSP 41 (terutama Supriyadi), MSP 42 (Gita, Ega, Rahmah, Muning, Fina, Ikhsan, Awan, Guse, Uni, Ebith, Ariev, Qq, Aa, Wati, Avie, Lenny, Endah), MSP 43 (terutama Gafar selaku ade asuh) dan Ika (ITK 42) atas doa, bantuan, dukungan, kesabaran, kerjasama dan semangatnya kepada penulis selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

(9)

ix

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Oktober 1986 sebagai putri pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sutan Andi Mulia Lubis dan Ibu Ruwaida Idris. Pendidikan formal yang pernah jalani oleh penulis berawal dari TK Nurul Islam (1993), SD Muhammadiyah 12 Pamulang (1999), SLTPN 1 Pamulang (2002), dan SMAN 1 Ciputat (2005). Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama selama 1 tahun, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dengan minor Gizi Masyarakat, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi Asisten Luar Biasa Mata Kuliah Metode Statistika (2007/2008 dan 2008/2009), Asisten Praktikum Mata Kuliah Planktonologi (2008/2009), Asisten Praktikum Mata Kuliah Ekologi Perairan Pesisir (2008/2009) dan Asisten Luar Biasa Mata Kuliah Pengkajian Stok Ikan (2008/2009). Penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan sebagai Bendahara I HIMASPER (Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan) periode 2007/2008 dan sebagai conductor/dirigen Paduan Suara Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (Endeavour) serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. Selain itu, pada tahun 2007 proposal penulis (kelompok) juga didanai oleh DIKTI untuk kategori Program Kreativitas Mahasiswa-Kewirausahaan dengan judul “Pembuatan

Preparat Permanen Sebagai Perangkat Pembelajaran Pada Materi Pokok Mikroorganisme Di Sekolah Dasar Dan Menengah (Sebagai Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan-KTSP)”.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat”.

(10)

x

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan ... 5

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) ... 6

2.1.1. Klasifikasi dan morfologi ... 6

2.1.2. Distribusi dan makanan ... 8

2.2. Alat Tangkap Ikan Tembang ... 9

2.3. Analisis Frekuensi Panjang ... 10

2.4. Pertumbuhan ... 11

2.5. Hubungan Panjang Berat ... 11

2.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ... 12

2.7. Pengkajian Stok Ikan ... 13

2.8. Model Surplus Produksi ... 14

2.9. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan ... 17

2.10. Kondisi Lingkungan Perairan ... 18

2.11. Pengelolaan Perikanan ... 18

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu ... 20

3.2. Pengumpulan Data ... 21

3.2.1. Pengumpulan data primer ... 21

3.2.2. Pengumpulan data sekunder ... 22

3.3. Distribusi Frekuensi Panjang ... 22

3.4. Identifikasi Kelompok Ukuran ... 23

3.5. Pertumbuhan ... 23

3.5.1. Plot Ford-Walford (L∞, K) dan t0 ... 23

3.5.2. Analisis hubungan panjang berat ... 25

3.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi ... 26

3.7. Model Surplus Produksi ... 27

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Palabuhanratu ... 30

4.2. Kondisi Perikanan Tembang di Palabuhanratu ... 31

4.3. Sebaran Ukuran Panjang ... 32

4.4. Parameter Pertumbuhan ... 34

(11)

xi

4.8. Rencana Pengelolaan Stok Ikan Tembang ... 46

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 48

5.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(12)

xii

Halaman 1. Data upaya penangkapan ikan tembang di Teluk Palabuhanratu

tahun 2003-2006 (unit) (Ditjen Tangkap-DKP 2007) ... 3 2. Hasil tangkapan (ton) ikan tembang di Palabuhanratu

(Ditjen Tangkap-DKP 2004, 2005, 2006, 2007) ... 4 3. Sebaran kelompok ukuran ikan tembang di Palabuhanratu ... 35 4. Parameter pertumbuhan berdasarkan model von Bertalanffy

(K, L∞, t0) ikan tembang di Palabuhanratu (Januari - Maret 2009) ... 36 5. Parameter pertumbuhan ikan tembang (Sardinella fimbriata)

dari beberapa hasil penelitian ... 36 6. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang... 40 7. Laju mortalitas alami (M) dan laju mortalitas penangkapan (F) ikan

tembang di Palabuhanratu pada waktu penelitian yang berbeda ... 41 8. Data upaya penangkapan ikan tembang di Teluk Palabuhanratu

tahun 2003-2006 (unit) (Ditjen Tangkap-DKP 2007) ... 42 9. Hasil tangkapan (ton) dan upaya penangkapan (unit) ikan tembang di

(13)

xiii

Halaman

1. Diagram dinamika dari suatu stok yang dieksploitasi ... 2

2. Ikan tembang (Sardinella fimbriata) ... 6

3. Tahapan dan tingkat kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan ... 19

4. Peta lokasi penangkapan ikan tembang (Sardinella fimbriata) ... 20

5. Sebaran ukuran panjang ikan tembang (Sardinella fimbriata) pada tiap bulan yang di daratkan di Palabuhanratu ... 32

6. Kelompok ukuran panjang ikan tembang ... 34

7. Kurva pertumbuhan ikan tembang ... 37

8. Hubungan panjang berat ikan tembang ... 38

9. Kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang ... 39

10. Grafik hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Schaefer (1954) ... 43

11. Grafik hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Fox (1970) ... 44

(14)

xiv

Halaman

1. Alat yang digunakan ... 54

2. Metode pengukuran panjang total dan bobot basah ikan contoh ... 55

3. Kuesioner nelayan tembang ... 56

4. Data panjang dan berat ikan contoh tiap bulan selama penelitian ... 57

5. Sebaran frekuensi panjang ikan tembang ... 67

6. Pemisahan kelompok ukuran dengan metode Bhattacharya ... 68

7. Perhitungan pendugaan parameter pertumbuhan (L∞, K) dan t0 ... 71

8. Uji t nilai b hubungan panjang berat ... 72

9. Perhitungan pendugaan mortalitas total (Z), alami (M), penangkapan (F) dan laju eksploitasi (E) ... 73

10. Perhitungan potensi lestari dengan model surplus produksi ... 74

(15)

1.1.Latar Belakang

Secara geografis, perairan Teluk Palabuhanratu terletak pada 06057’-07007’ Lintang Selatan dan 106022’-106033’ Bujur Timur dengan luas wilayah ± 27.210.130 Ha. Teluk Palabuhanratu berhubungan langsung dengan Samudera Hindia dan merupakan teluk terbesar sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Di Palabuhanratu terdapat Pelabuhan Perikanan Nusantara yang berada di Kabupaten Sukabumi dan menjadi basis perikanan tangkap terbesar di Jawa Barat (Handriana 2007). Perikanan tangkap Palabuhanratu memiliki potensi sumberdaya ikan yang cukup besar dan secara umum mengalami volume produksi yang terus meningkat (Ditjen Tangkap-DKP 2007).

Salah satu sumberdaya ikan ekonomis penting yang terdapat di perairan Teluk Palabuhanratu adalah ikan tembang (Sardinella fimbriata). Nilai ekonomisnya yang tinggi disertai permintaannya yang terus meningkat menjadikan ikan ini salah satu target utama penangkapan, selain berbagai jenis ikan seperti cakalang, tongkol lisong, tongkol abu-abu, eteman/koto, layur, tuna albakora, tuna yellow fin dan layang. Permintaan ikan tembang semakin meningkat dari tahun ke tahun baik dalam bentuk segar maupun yang telah diolah (Ditjen Tangkap-DKP 2007).

Mencermati pentingnya sumberdaya ikan bagi kebutuhan manusia baik untuk pemenuhan gizi maupun kegiatan perekonomian, mendorong manusia untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan sebanyak-banyaknya, termasuk ikan tembang. Ikan tembang di Palabuhanratu cukup potensial dan pertumbuhan produksinya mengalami perkembangan yang berarti baik dari segi hasil tangkapan maupun alat tangkap yang dipergunakan. Dengan demikian, kegiatan penangkapan ikan ini dapat mempengaruhi dan mengubah status stok sumberdaya ikan tembang terutama di perairan Teluk Palabuhanratu. Hal inilah yang mendorong perlunya pengkajian dinamika stok dan upaya pengelolaan terhadap sumberdaya ikan tembang di perairan Teluk Palabuhanratu. Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan yang terus meningkat (intensif), dengan sedikit upaya pengelolaan telah menyebabkan

(16)

terjadinya kehilangan yang cukup besar keanekaragaman sumberdaya ikan dan habitatnya (Dulvy et al. 2003 in Widodo & Suadi 2006). Melihat hal tersebut maka usaha perikanan harus dilakukan secara rasional, hati-hati dan bertanggung jawab, yaitu tidak melebihi potensi lestari, tidak merusak lingkungan, serta sanggup memperbaiki kembali lingkungan yang rusak akibat dari usaha penangkapan yang dilakukan sehingga diperoleh usaha perikanan ikan tembang yang berkelanjutan.

Pada dasarnya kemajuan yang dicapai dalam kegiatan usaha penangkapan di suatu daerah memerlukan adanya pengkajian secara meyeluruh, baik aspek biologi yaitu sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan, aspek sumberdaya yang mendukung keberhasilan operasi penangkapan, aspek teknis seperti alat tangkap, aspek sosial yaitu yang berkaitan dengan tenaga kerja, maupun aspek ekonomi. Adapun aspek biologi yang dikaji dapat berupa perubahan (dinamika) yang terjadi pada stok sumberdaya yang dieksploitasi yang dipengaruhi oleh pertumbuhan, rekrutmen, mortalitas alami dan penangkapan oleh usaha perikanan seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram dinamika dari suatu stok yang dieksploitasi

Pertimbangan kemampuan sumberdaya (aspek biologi) maupun aspek ekonomi ikan tembang dapat dijadikan sebagai dasar kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan tembang secara berkelanjutan sedangkan untuk mencapai manfaat maksimum jangka panjang dapat dilakukan apabila sumberdaya perikanan dapat dialokasikan secara optimal. Russel (1931) in Haddon (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya aspek dinamika stok adalah stok dapat mengalami pertumbuhan biomassa yang dipengaruhi oleh rekrutmen dan pertumbuhan dan mengalami pengurangan biomassa yang dipengaruhi oleh kematian alami dan penangkapan. Sejauh ini informasi mengenai aspek biologi

Stok ikan yang dieksploitasi Mortalitas alami Mortalitas penangkapan Rekrutmen Pertumbuha n

(17)

dan kondisi stok ikan tembang masih minim. Penelitian tentang ikan tembang yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai kebiasaan makan (Robiyanto 2006), distribusi dan makanan (Asriyana 2004) serta kelimpahan (Monintja et al. 1994). Oleh karena itu perlu kiranya dilakukan suatu studi dinamika stok ikan tembang khususnya di Perairan Teluk Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi untuk mengetahui kondisi aktual sumberdaya tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Sifat dasar dari sumberdaya ikan adalah milik bersama (common property), yang pemanfaatannya dapat digunakan pada waktu yang bersamaan oleh lebih dari satu individu atau satuan ekonomi (open acces). Sifat dasar inilah yang memudahkan keluar masuknya individu atau pelaku usaha dalam upaya pemanfaatan sumberdaya ikan. Mengingat sumberdaya ikan memiliki sifat yang terbatas dan dapat rusak maka perlu dikelola untuk menjamin bahwa sumberdaya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Kegiatan penangkapan ikan tembang (S.fimbriata) di daerah Palabuhanratu mengalami fluktuasi sepanjang tahun. Sejak tahun 2003 hingga saat ini, ikan tembang (S.fimbriata) menjadi salah satu ikan dominan yang tertangkap di daerah perairan Teluk Palabuhanratu. Pelaku usaha perikanan tembang terus meningkatkan upayanya dalam pemanfaatan sumberdaya ini demi mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Berdasarkan data statistik perikanan PPN Palabuhanratu tahun 2003-2006, diketahui bahwa alat tangkap yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan tembang secara umum meningkat jumlahnya seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Data upaya penangkapan ikan tembang di Teluk Palabuhanratu tahun 2003-2006 (unit)

Tahun Effort (unit)

2003 253

2004 266

2005 428

2006 511

(18)

Data di atas dapat mengindikasikan bahwa tekanan penangkapan terhadap sumberdaya ini terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini tentu saja mempengaruhi hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan dari perairan Teluk Palabuhanratu. Secara umum, total produksi ikan di sana terus mengalami peningkatan seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil tangkapan (ton) ikan tembang di Palabuhanratu

Tahun Produksi (Ton)

2003 92,702

2004 83,097

2005 32,933

2006 96,954

Sumber : Ditjen Tangkap-DKP (2004, 2005, 2006, 2007)

Kondisi tekanan penangkapan yang tinggi, volume produksi yang terus meningkat dan belum adanya kegiatan budidaya dapat mengakibatkan penipisan stok ikan atau menurunnya jumlah populasi ikan tembang di perairan Teluk Palabuhanratu serta terjadinya upaya tangkap lebih (overfishing). Untuk mengetahui kondisi aktual sumberdaya ini perlu dilakukan suatu studi dinamika stok. Hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya terhadap ikan tembang di Palabuhanratu oleh Monintja et al. (1994) dapat dijadikan pembanding untuk menduga kondisi stok ikan tembang di Palabuhanratu saat ini.

Oleh karena itu maka dilakukan suatu studi dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan, dimana dalam penelitian ini difokuskan pada dinamika stok sumberdaya ikan tembang dengan batasan daerah penangkapan perairan Teluk Palabuhanratu. Studi yang dilakukan diharapkan dapat menjawab beberapa permasalahan seperti bagaimana pola pertumbuhan dan tingkat mortalitas sumberdaya ikan tembang di perairan Teluk Palabuhanratu. Selain itu studi ini juga diharapkan dapat menduga model tujuan pengelolaan perikanan tembang yang tepat berdasarkan nilai potensi lestari (MSY) dan upaya atau effort optimum dalam kegiatan penangkapan sumberdaya ikan tembang di

(19)

perairan Teluk Palabuhanratu sehingga dapat ditentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan.

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika stok ikan tembang yang mencakup pertumbuhan dan mortalitas serta menduga kondisi sumberdaya melalui nilai potensi maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield), upaya atau effort optimum (fmsy) dalam kegiatan penangkapan. Selain itu juga bertujuan untuk menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau TAC

(Total Allowable catch) sumberdaya ikan tembang di perairan Teluk

(20)

2.1. IkanTembang (Sardinella fimbriata) 2.1.1. Klasifikasi dan morfologi

Ikan tembang terkenal sebagai ikan pelagis kecil yang hidup bergerombol, dikenal juga dengan kelompok ikan sardine.Morfologi ikan tembang dapat dilihat pada Gambar 2.

Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 2. Ikan tembang (Sardinella fimbriata)

Menurut Cuvier and Valenciennes (1847) in www.fishbase.org (2008), klasifikasi ikan tembang adalah sebagai berikut :

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Ordo : Clupeiformes Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella

Spesies : Sardinella fimbriata

Sinonim : Clupea (Harengula) fimbriata (C.V) Nama Umum : Fringe-scale sardinella

(21)

Nama Lokal : Tembang (Jakarta), Mangida (Bali), Tembang lakara (Bugis), Sintring (Madura), Jurung (Pekanbaru), Matasa (Seram), Masa-masa (Buton) (Peristiwady 2006)

Ikan tembang (Sardinella fimbriata) memiliki bentuk badan yang memanjang dan pipih. Lengkung kepala bagian atas sampai di atas mata agak hampir lurus, dari setelah mata sampai awal dasar sirip punggung agak cembung. Tinggi badan lebih besar daripada panjang kepala. Mata tertutup oleh kelopak mata. Awal dasar sirip punggung sebelum pertengahan badan. Dasar sirip dubur sama panjang dengan dasar sirip punggung. Kepala dan badan bagian atas hijau kebiruan, sedangkan bagian bawah putih keperakan. Sirip-sirip berwarna keputihan. Sirip punggung (dorsal) mempunyai 18 jari-jari lemah, sirip dada (pectoral) mempunyai 15 jari-jari lemah, sirip dubur (anal) memiliki 18 jari-jari lemah dan sirip perut (ventral) memiliki 8 jari-jari lemah. Dapat mencapai ukuran 17 cm (Peristiwady 2006).

Menurut Saanin (1984), ikan tembang (S. fimbriata) memiliki rangka terdiri dari tulang benar, bertutup insang. Kepala simetris, badan tidak seperti ular. Tidak seluruh sisik terbungkus dalam kelopak tebal. Bagian ekor tidak bercincin-cincin. Hidung tidak memanjang ke depan dan tidak membentuk rostrum. Pipi atau kepala tidak berkelopak keras dan tidak berduri. Sirip punggung terdiri dari jari-jari lemah yang berbuku-buku atau berbelah. Bersisik, tidak bersungut dan tidak berjari-jari keras pada punggung. Tidak bersirip punggung tambahan yang seperti kulit, tidak berbercak-bercak yang bercahaya, bertulang dahi belakang, sirip dada senantiasa sempurna. Perut sangat pipih. Perut bersisik tebal yang bersiku. Sirip perut sempurna, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain tidak melekat, bentuk mulut terminal (posisi mulut terletak di bagian depan ujung hidung), tajam serta bergerigi. Gigi lengkap pada langit-langit, sambungan tulang rahang dan lidah.

Bentuk badan fusiform, pipih dengan sisik duri di bagian bawah badan, awal sirip punggung sebelum pertengahan badan dan berjari-jari lemah 17-20, dasar sirip dubur pendek dan jauh di belakang dasar sirip dorsal serta berjari-jari lemah 16-19, tapisan insang halus, berjumlah 60-80 pada busur insang pertama bagian bawah, pemakan plankton. Beberapa dari jenis sardinella ada yang hampir

(22)

menyerupai satu sama lainnya, tapi ada yang mempunyai beberapa perbedaan morfologis, yang menandakan bahwa ikan itu berbeda spesiesnya (Dwiponggo 1982). Perbedaan morfologis ini dapat berupa perbedaan warna tubuh seperti yang terlihat pada Sardinella fimbriata (Valenciennes) dengan warna hijau kebiruan pada bagian badan atas, sedangkan warna biru gelap di bagian yang sama pada

Sardinella lemuru Bleeker (Peristiwady 2006).

2.1.2. Distribusi dan makanan

Ikan tembang (S. fimbriata) adalah ikan permukaan dan hidup di perairan pantai serta suka bergerombol pada area yang luas sehingga sering tertangkap bersama ikan lemuru sampai pada kedalaman sekitar 200 m. Telur dan larva ikan tembang ditemukan di sekitar perairan mangrove atau bakau. Saat juvenil, ikan ini masih ada yang hidup di mangrove dan mulai memasuki daerah yang memiliki kadar garam sedang. Ketika dewasa spesies ini hidup bergerombol bersama ikan lemuru dan banyak ditemukan di dekat pantai sampai ke arah laut (www. fishbase.org). Radakov (Gunarso 1985 in Monintja et al. 1994), menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ikan membentuk kelompok, antara lain sebagai perlindungan dari pemangsa, mencari dan menangkap mangsa, untuk tujuan pemijahan, bertahan pada musim dingin, untuk melalukan ruaya dan pergerakan serta terdapatnya suatu pengaruh dari faktor-faktor yang ada sekelilingnya.

Menurut Peristiwady (2006), ikan tembang termasuk ikan pelagis kecil yang hidup di lautan terbuka, lepas dari dasar perairan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran suatu jenis ikan di perairan diantaranya adalah kompetisi antar spesies dan intra spesies, heterogenitas lingkungan fisik, reproduksi, ketersediaan makanan, arus air dan angin (Hanson in Pratiwi 1991). Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, dimana pada malam hari gerombolan ikan cenderung berenang ke permukaan dan berada pada permukaan sampai matahari sudah akan terbit dan pada waktu malam terang bulan gerombolan ikan tersebut agak berpencar atau berada tetap di bawah permukaan air (Dwiponggo 1978 in Monintja et al. 1994).

Menurut Radhakrisnan (Hutomo et al. 1975 in Monintja et al. 1994), pada saat akan memijah Sardinella fimbriata beruaya dari perairan pesisir ke perairan

(23)

lepas pantai. Ikan ini penyebarannya meliputi perairan Indonesia menyebar ke utara sampai Taiwan, ke selatan sampai ujung utara Australia dan ke barat sampai Laut Merah. Daerah penyebaran di Indonesia terutama berkumpul di daerah perairan Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Sulawesi Selatan, Selat Malaka dan Laut Arafura (www.dkp.go.id).

Ikan tembang (S. fimbriata) seperti ikan clupeid lainnya memanfaatkan plankton sebagai makanannya (Pradini 1998). Menurut Day et al. (1989) in Asriyana (2004), pada umumnya makanan ikan ini memangsa crustacea ukuran kecil seperti copepoda, amphipoda dan udang stadia mysis serta larva-larva ikan. Selanjutnya diduga ada kemungkinan bahwa komposisi makanan akan berubah sesuai dengan musim serta jenis dan ketersediaan makanan di perairan. Dari jenis makanannya, ikan tembang tergolong omnivora cenderung ke herbivora.

2.2. Alat Tangkap Ikan Tembang

Ikan tembang (S. fimbriata) termasuk ke dalam jenis ikan pelagis kecil yang ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap seperti gillnet, payang, pukat cincin, bagan dan jaring insang hanyut. Menurut Aziz (1989) in Monintja et al. (1994), alat penangkap ikan yang termasuk selektif adalah gillnet, ukuran ikan yang tertangkap akan memiliki nilai maksimum pada beberapa ukuran ikan optimum dan menurun untuk ukuran yang lebih besar maupun lebih kecil dari ukuran tersebut. Selektivitas gillnet dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu yang pertama adalah dengan cara membandingkan hasil tangkapannya terhadap alat penangkapan lain yang tidak selektif (trawl) yang sudah diketahui selektivitasnya. Cara kedua adalah dengan membandingkan hasil tangkapan dari dua atau lebih gillnet dengan ukuran mata jaring yang berbeda.

Rousenfell (1975) in Monintja et al. (1994), menyatakan gillnet tidak efektif dioperasikan apabila ikan dapat melihat jaring, sehingga sebagian besar gillnet dioperasikan pada malam hari, terutama jenis drift gillnet. Gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai ukuran mata jaring sama pada seluruh badan jaring, dimana lebar jaring lebih pendek dari panjangnya. Pemilihan ukuran mata jaring merupakan faktor yang penting dalam pengoperasian gillnet karena besarnya ukuran mata jaring akan mempengaruhi ukuran ikan yang tertangkap secara terjerat. Terdapat kecenderungan bahwa ukuran mata jaring

(24)

tertentu hanya menjerat ikan-ikan yang mempunyai kisaran ukuran fork length tertentu. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa ukuran mata jaring 1,75 ; 2,0 dan 2,25 panjang ikan tembang yang tertangkap adalah antara 9,0-14,0 cm.

2.3. Analisis Frekuensi Panjang

Semua metode pengkajian stok (stock assessment) pada intinya memerlukan masukan data komposisi umur. Beberapa metode numerik telah dikembangkan yang memungkinkan dilakukannya konversi atas data frekuensi panjang ke dalam komposisi umur. Oleh karena itu kompromi paling baik bagi pengkajian stok dari spesies tropis adalah suatu analisis sejumlah data frekuensi panjang. Analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk menentukan umur terhadap kelompok-kelompok panjang tertentu. Dengan kata lain tujuannya adalah untuk memisahkan suatu distribusi frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran (Sparre & Venema 1999).

Umur ikan bisa ditentukan dari distribusi frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu distribusi normal. Kelompok umur bisa diketahui dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut untuk mewakili panjang kelompok umur. Hasil identifikasi kelompok umur dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan atau laju pertumbuhan (Busacker et al. 1990).

Ketika suatu contoh dalam jumlah besar dan tidak bisa diambil dari suatu stok ikan atau invertebrata, panjang masing-masing individu bisa diukur dan digambarkan sebagai diagram frekuensi panjang. Jika pemijahan terjadi sebagai suatu peristiwa diskret, hal ini akan menghasilkan kelompok ukuran atau kelas yang berbeda yang dibuktikan dengan puncak atau modus pada distribusi frekuensi panjang (King 1995). Setelah komposisi umur diketahui melalui analisis frekuensi panjang, maka parameter pertumbuhan dapat ditentukan dengan metode-metode estimasi yang sesuai. Selain parameter pertumbuhan, mortalitas total juga dapat diduga dari hasil tangkapan yang dilinierkan dan metode ini merupakan metode berbasis panjang.

(25)

2.4. Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu (Effendie 1997). Selain itu juga bisa didefinisikan sebagai perubahan ukuran atau jumlah material tubuh baik perubahan positif maupun negatif, temporal maupun dalam jangka waktu yang lama (Busacker et al. 1990). Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi petumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 1997).

Dari sudut pandang perikanan, pertumbuhan sebagaimana rekrutmen mempengaruhi berat tangkapan berkelanjutan yang dapat diambil dari suatu stok ikan (King 1995). Studi mengenai pertumbuhan pada dasarnya adalah penentuan ukuran badan sebagai suatu fungsi umur. Dalam menganalisa suatu populasi diperlukan ekspresi matematik yang menggambarkan pertumbuhan. Melalui ekspresi matematik ini maka ukuran baik panjang maupun berat suatu individu ikan pada umur tertentu dapat diduga (Gulland 1969).

Beberapa model telah digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan dengan menggunakan persamaan matematika yang sederhana (Allen 1971 in King 1995). Selanjutnya King (1995) menyatakan bahwa salah satu diantaranya adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy yang umum digunakan dalam studi pertumbuhan. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy memberikan representasi pertumbuhan ikan yang memuaskan. Hal ini karena persamaan pertumbuhan von Bertalanffy berdasarkan konsep fisiologis sehingga bisa digunakan untuk mengetahui beberapa masalah seperti variasi pertumbuhan karena ketersediaan makanan (Beverton & Holt 1957).

2.5. Hubungan Panjang Berat

Analisa hubungan panjang berat dapat digunakan untuk mempelajari pertumbuhan. Ada dua faktor yang berpengaruh dalam studi pertumbuhan yaitu faktor dalam dan luar. Faktor dalam diantaranya faktor keturunan, jenis kelamin, penyakit, hormon dan kemampuan memanfaatkan makanan. Sedangkan faktor luar meliputi ketersediaan makanan, kompetisi dalam memanfaatkan ruang dan suhu perairan (Effendie 1979).

(26)

Persamaan hubungan panjang berat ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Berat dapat dianggap sebagai satu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dengan berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Dengan kata lain hubungan ini dapat dimanfaatkan untuk menduga berat melalui panjang (Effendie 1997).

Hasil analisis hubungan panjang berat akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan. Effendie (1997) menyebutkan bahwa pada ikan yang memiliki pola pertumbuhan isometrik (b=3), pertambahan panjangnya seimbang dengan pertambahan berat. Sebaliknya pada ikan dengan pola pertumbuhan allometrik (b≠3), pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan berat. Pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik positif bila b>3, yang menandakan bahwa pertambahan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan allometrik negatif apabila nilai b<3, ini menandakan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat (Ricker 1970 in Effendie 1997).

Menurut Robiyanto (2006), hubungan panjang berat ikan tembang jantan dan betina di perairan Ujung Pangkah pada bulan Juli sampai Desember diperoleh nilai b masing-masing 2,262 dan 2,759. Uji t terhadap nilai b menunjukkan pola pertumbuhan ikan tembang bersifat allometrik negatif, artinya pola pertumbuhan panjang lebih dominan.

2.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Banyak faktor yang berperan di suatu lingkungan perairan sehingga menyebabkan berkurangnya kesempatan hidup individu ikan dalam suatu populasi. Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) (King 1995).

Mortalitas alami adalah mortalitas yang terjadi karena berbagai sebab selain penangkapan seperti pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Beverton & Holt (1957) menduga bahwa predasi

(27)

merupakan faktor eksternal yang umum sebagai penyebab mortalitas alami. Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertalanffy K dan L∞. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai M tinggi dan sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan nilai L∞ karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil. Menurut Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) berdasarkan penelitiannya terhadap 175 stok ikan yang berbeda, faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum (L∞) dan laju pertumbuhan. Sedangkan mortalitas penangkapan adalah mortalitas yang terjadi akibat adanya aktivitas penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Laju eksploitasi (E) didefinisikan sebagai bagian suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup. Oleh karena itu laju eksploitasi juga dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alam maupun faktor penangkapan (Pauly 1984). Gulland (1971) in Pauly (1984) menduga bahwa dalam stok yang dieksploitasi optimal maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) atau laju eksploitasi (E) sama dengan 0,5. Penentuan laju eksploitasi merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui untuk menentukan kondisi sumberdaya perikanan dalam pengkajian stok ikan (King 1995).

2.7. Pengkajian Stok Ikan

Menurut Widodo et al. (1998) menyatakan bahwa pengkajian stok (stock

assessment) merupakan kegiatan aplikasi ilmu statistika dan matematika pada

sekelompok data untuk mengetahui status stok ikan secara kuantitatif demi kepentingan pendugaan stok ikan dan alternatif kebijakan ke depan. Pengkajian stok mencakup suatu estimasi tentang jumlah dan kelimpahan (abundance) dari sumberdaya. Selain itu, mencakup pula pendugaan terhadap laju penurunan sumberdaya yang diakibatkan oleh penangkapan serta sebab-sebab lainnya, dan mengenai berbagai tingkat laju penangkapan atau tingkat kelimpahan stok yang dapat menjaga dirinya dalam jangka panjang (Widodo & Suadi 2006). Di dalam melakukan pendugaan potensi sumberdaya ikan laut di Indonesia digunakan beberapa metode yaitu metode penghitungan langsung, metode penandaan

(28)

(tagging), metode produksi surplus (surplus production methode), metode semi-kuantitatif (Widodo et al. 1998).

Ukuran dari suatu stok ikan dalam suatu perairan dapat dinyatakan dalam jumlah atau berat total individu. Baik jumlah maupun berat (biomassa) suatu stok ikan di laut sulit diukur secara langsung. Oleh sebab itu dalam menduga ukuran stok ikan seringkali digunakan jumlah atau berat relatif yang dinyatakan sebagai densitas atau kelimpahan (abundance). Dengan densitas atau kelimpahan, umumnya diartikan sebagai jumlah atau berat individu per satuan area atau per satuan upaya penangkapan. Satuan yang sering digunakan ialah hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort/CPUE) dari suatu alat tangkap atau alat sampling tertentu (Widodo et al. 1998).

Perubahan ukuran stok dapat disebabkan oleh adanya berbagai perubahan dalam hal lingkungan, proses rekrutmen, pertumbuhan, kegiatan penangkapan, populasi organisme mangsa (prey), pemangsa (predator) atau pesaing (kompetitor). Selanjutnya perubahan ukuran stok, atau ukuran beberapa bagian tertentu dari stok dalam kurun waktu tertentu, dapat digunakan sebagai data statistik kasar untuk mengestimasi laju kematian atau laju kelangsungan hidup

(survival rate) dari stok yang bersangkutan. Menurut Widodo & Suadi (2006),

proses penipisan stok sering dibarengi dengan lima kombinasi yaitu penurunan produktivitas perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang didaratakan, penurunan berat rata-rata ikan, perubahan dalam struktur umur populasi ikan (ukuran, umur), dan perubahan komposisi spesies ikan (ekologi perikanan). Dalam menganalisis sumberdaya ikan, penentuan ukuran stok merupakan langkah penting dalam mempelajari berbagai stok terutama yang telah diusahakan. Hasil analisis akan sangat berguna bagi perencanaan pemanfaatan, pengembangan dan perumusan strategi pengelolaan (Widodo et al. 1998).

2.8. Model Surplus Produksi

Dalam Sparre & Venema (1999) pada umumnya hasil tangkapan (C) per unit upaya penangkapan (f) atau CPUE, dapat digunakan sebagai indeks kelimpahan relatif. Metode surplus produksi mendasarkan diri pada asumsi bahwa

(29)

CPUE merupakan fungsi dari f, baik bersifat linier seperti pada model Schaefer maupun bersifat eksponensial seperti pada model Fox.

Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut fmsy atau effort MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable yield/MSY) (Sparre & Venema 1999). Dari model ini dapat diperoleh estimasi besarnya kelimpahan (biomassa) dan estimsi potensi dari suatu jenis atau kelompok jenis (species

group) sumberdaya ikan (Widodo et al. 1998).

Model surplus produksi merupakan model yang sangat sederhana dan murah biayanya (Widodo et al. 1998). Model ini dikatakan sederhana karena data yang diperlukan sangat sedikit, sebagai contoh tidak perlu menentukan kelas umur sehingga dengan demikian tidak perlu penentuan umur dan hanya memerlukan data tentang hasil tangkapan atau produksi yang biasanya tersedia di setiap tempat pendaratan ikan, dan upaya penangkapan (Sparre & Venema 1999).

Selain itu, model ini dikatakan murah biayanya karena dalam penggunaan model ini biaya yang dikeluarkan lebih sedikit bila dibandingkan dengan model lain seperti dengan penggunaan trawl dan echosounder yang tergolong sangat mahal karena pelaksanaan kegiatan tersebut harus menggunakan kapal riset khusus, sehingga jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk mengkaji seluruh perairan sangat besar (Wiyono 2005). Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa model surplus produksi banyak digunakan di dalam estimasi stok ikan di perairan tropis.

Model surplus produksi dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999). Namun jumlah upaya penangkapan yang dapat menggambarkan upaya yang benar-benar efektif dan bukan sekedar nominal amat sulit ditentukan. Oleh sebab itu penggunaan model ini memerlukan kehati-hatian dan sedapat mungkin dibarengi dengan berbagai informasi tambahan dan validasi dengan

(30)

menggunakan beberapa metode lain. Model ini dapat dipergunakan dalam menganalisis sumberdaya pelagis besar, pelagis kecil, udang dan krustasea lainnya, serta moluska (Widodo et al. 1998).

Persyaratan untuk analisis model surplus produksi adalah sebagai berikut (Sparre & Venema 1999):

(1) Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap relatif

(2) Distribusi ikan menyebar merata

(3) Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan tangkap yang seragam

Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi menurut Sparre &Venema (1999) adalah :

(1) Asumsi dalam keadaan ekuilibrium

Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu) ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.

(2) Asumsi biologi

Alasan biologi yang mendukung model surplus produksi telah dirumuskan dengan lengkap oleh Ricker (1975) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut :

a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang, dan sering terjadi jumlah rekrut lebih sedikit daripada densitas yang lebih kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan meningkatkan rekrutmen

b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil. Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh makanan lebih sedikit; dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup, dan dalam fraksi yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan

(31)

c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok yang telah dieksploitasi

(3) Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap

Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.

2.9. Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan

Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin. Hal tersebut yang dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan dengan hal itu terdapat analisis Total Allowable Catch (jumlah tangkapan yang diperbolehkan)

dan Maximum Sustainable Yield (Jumlah Maksimum Tangkapan Lestari)

(Poernomo 2009).

Analisis surplus produksi juga dapat menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total allowable catch/TAC) dan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan (TP). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) suatu sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode (Boer & Aziz 1995). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB/TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (MSY) (FAO 1995).

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mengeluarkan daftar potensi sumberdaya ikan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC). Potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia sebesar 6,25 juta ton per tahun. Potensi tersebut terdiri dari 4,4 juta ton per tahun yang berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah serta 1,85 juta ton per tahun dari perairan ZEEI. Akan tetapi manajemen perikanan menganut azas kehati-hatian (Precautionary

approach), maka TAC ditetapkan sebesar 80% dari potensi tersebut (Atmaji

(32)

2.10. Kondisi Lingkungan Perairan

Informasi mengenai kondisi lingkungan perairan penting untuk diketahui karena dapat menjelaskan hubungan antara spesies target dan lingkungannya. Parameter yang diukur pada umumnya adalah parameter yang diperkirakan berpengaruh langsung terhadap biologi, distribusi dan kelimpahan ikan. Parameter yang diperlukan, relatif mudah dan murah untuk diukur adalah suhu perairan (King 1995). Pada perairan laut dan limbah industri, salinitas perlu diukur. Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd 1988).

Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu 100C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Effendi 2003). Menurut Brown (1987) in Effendi (2003), peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar (Effendi 2003).

2.11. Pengelolaan Perikanan

Menurut FAO (1997) in Widodo & Suadi (2006), pengelolaan perikanan adalah proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan (Widodo & Suadi 2006). Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan (resource conservation), terutama melalui berbagai tindakan pengaturan

(33)

(regulations) dan pengkayaan (enhancement) yang meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo 2002).

Model pengelolaan perikanan pertama kali disusun dengan berbasis pada data hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Model yang dibangun dari data tersebut dikenal sebagai model hasil tangkapan lestari atau yang lebih dikenal sebagai model maximum sustainable yield (MSY). Model MSY memusatkan perhatiannya pada keperluan untuk membatasi aktivitas penangkapan agar dapat meningkatkan hasil tangkapan jangka panjang yang mengarah kepada keadaan yang lestari, berlangsung terus-menerus dan rasional (Widodo & Suadi 2006).

Semua kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan harus ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut. Pada tahap awal, kebijakan harus ditujukan terutama untuk mendorong perkembangan perikanan. Kemudian setelah batas kemampuan (potensi, daya dukung) dari stok ikan telah tercapai, laju perkembangan harus mulai dikurangi. Selanjutnya, semua kebijakan akan lebih bersifat sebagai usaha pembatasan. Dalam bentuk model yang sederhana, tahapan dan sifat kebijakan yang diperlukan disajikan pada Gambar 3 berikut (Widodo & Suadi 2006).

Schaefer (b=0)

Maximum Sustainable Yield

Y1 Y2

Mengurangi

Mendorong Membatasi

(Effort)opt

Gambar 3. Tahapan dan tingkat kebijakan yang diperlukan dalam pengelolaan perikanan

(34)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di TPI (Tempat Pendaratan Ikan) Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan berat ikan contoh yang ditangkap di perairan Teluk Palabuhanratu dan didaratkan di TPI Palabuhanratu berlangsung mulai bulan 14 Januari sampai 25 Maret 2009 dengan interval waktu pengambilan dua minggu. Sedangkan pengumpulan data sekunder dilaksanakan pada bulan Oktober 2008 sampai Maret 2009 di PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara) Palabuhanratu. Berikut ini disajikan peta lokasi daerah penangkapan ikan tembang

(Sardinella fimbriata) di perairan Teluk Palabuhanratu yang didaratkan di TPI

Palabuhanratu (Gambar 4).

(35)

3.2. Pengumpulan Data

3.2.1. Pengumpulan data primer

Data primer diperoleh dari pengambilan contoh yang dilakukan secara acak terhadap jenis ikan tembang (S. fimbriata) yang hanya tertangkap di perairan Teluk Palabuhanratu dan di daratkan di TPI Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pengambilan ikan contoh dilakukan dengan interval waktu pengambilan dua minggu selama tiga bulan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengukuran panjang dan berat untuk menduga pertumbuhan populasi dan pola pertumbuhan individu ikan tembang di Palabuhanratu. Menurut Lagler (1970) untuk memperoleh hasil yang baik dalam penggunaan metode frekuensi panjang maka jumlah contoh harus banyak.

Panjang ikan tembang yang diukur adalah panjang total. Panjang total adalah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya (Effendie 1979). Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan penggaris panjang 30 cm dengan skala terkecil 1 mm. Sedangkan berat ikan tembang yang ditimbang adalah berat basah total. Berat basah total adalah berat total jaringan tubuh ikan dan air yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini digunakan timbangan digital yang mempunyai skala terkecil 1 gram. Pengukuran berat basah total merupakan cara pengukuran berat yang paling mudah dilakukan di lapangan (Busacker et al. 1990).

Selanjutnya digunakan metode deskriptif survei yang bersifat studi kasus. Menurut Nawawi (2003) in Irnawati et al. (2006), bentuk survei yang digunakan sebagai bagian dari metode deskriptif yaitu dengan menggunakan analisis dokumenter atau analisis informasi. Penelitian dilakukan dari dokumen yang tersedia untuk mengungkapkan informasi berguna. Studi kasus adalah penelitian dengan karakteristik masalah yang berkaitan dengan latar belakang dan kondisi saat ini dari subyek yang diteliti serta interaksinya dengan lingkungan (Indriantoro & Supomo 1999 in Irnawati et al. 2006).

Pengumpulan data dan informasi lainnya dilakukan dengan cara observasi dan wawancara dengan nelayan ikan tembang di sana. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara berupa data unit penangkapan ikan tembang (pemilik, mesin, kapal, nelayan atau anak buah kapal dan alat tangkap), kegiatan operasi

(36)

penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya operasi penangkapan. Informasi ini kemudian digunakan untuk mendeskripsikan kegiatan perikanan tembang di Palabuhanratu

3.2.2. Pengumpulan data sekunder

Data sekunder meliputi data produksi hasil tangkapan ikan tembang yang di daratkan di TPI Palabuhanratu dan upaya penangkapan (kapal perikanan, alat tangkap dan jumlah nelayan) selama empat tahun (2003-2006), serta keadaan umum daerah Teluk Palabuhanratu untuk menduga model stok dan potensi sumberdaya ikan tembang di perairan tersebut. Pada penelitian ini digunakan upaya penangkapan yaitu jumlah perahu motor tempel. Hal ini dikarenakan menurut Ditjen Tangkap-DKP (2006), perahu motor tempel memiliki daerah penangkapan hanya di perairan Teluk Palabuhanratu. Data tersebut diperoleh dari studi pustaka dari arsip-arsip yang dimiliki oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi, TPI Palabuhanratu dan PPN Palabuhanratu.

3.3. Distribusi Frekuensi Panjang

Data yang digunakan dalam penentuan distribusi frekuensi panjang ini adalah data panjang total dari ikan tembang yang ditangkap di perairan Palabuhanratu dan di daratkan di TPI Palabuhanratu. Tahap untuk menganalisis data frekuensi panjang ikan yaitu :

(a) Menentukan jumlah selang kelas yang diperlukan (b) Menentukan lebar selang kelas; dan

(c) Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas dengan memasukkan panjang masing-masing ikan contoh pada selang kelas yang telah ditentukan

Distribusi frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam selang kelas yang sama kemudian diplotkan dalam sebuah grafik. Dari grafik tersebut dapat terlihat pergeseran distribusi kelas panjang setiap bulannya. Pergeseran distribusi frekuensi panjang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Bila terjadi pergeseran modus distribusi frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort.

(37)

3.4. Identifikasi Kelompok Ukuran

Kelompok ukuran ikan tembang (S. fimbriata) dipisahkan dengan menggunakan metode Bhattacharya. Metode Bhattacharya merupakan metode pemisahan kelompok umur secara grafis. Metode ini pada dasarnya terdiri atas pemisahan sejumlah distribusi normal, masing-masing mewakili suatu kohort ikan, dari distribusi keseluruhan, dimulai dari bagian sebelah kiri dari distribusi total. Begitu distribusi normal yang pertama telah ditentukan, ia disingkirkan dari distribusi total dan prosedur yang sama diulangi selama hal ini masih mungkin dilakukan untuk memisahkan distribusi-distribusi normal dari distribusi total (Sparre & Venema 1999). Keseluruhan proses dapat dibagi ke dalam lima tingkatan sebagai berikut :

Langkah 1 : Tentukan suatu kemiringan yang tidak terkontaminasi (bersih dari suatu distribusi normal pada sisi kiri dari distribusi total). Langkah 2 : Tentukan distribusi normal dari kohort yang pertama dengan

menggunakan suatu transformasi ke dalam suatu garis lurus. Langkah 3 : Tentukan jumlah ikan per grup panjang yang menjadi bagian

dari kohort pertama dan kemudian kurangkan mereka dari distribusi total.

Langkah 4 : Ulangi proses ini untuk distribusi normal berikutnya dari kiri, sampai tidak lagi dapat diketemukan distribusi normal yang bersih.

Langkah 5 : Kaitkan nilai rata-rata panjang dari kohort-kohort yang ditentukan dalam langkah 1 sampai langkah 4 terhadap perbedaan umur antara kohort-kohort tersebut.

3.5. Pertumbuhan

3.5.1. Plot Ford-Walford (L∞, K) dan t0

Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1995). Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy.

(38)

Lt = L∞ (1-e[-K(t-t0)]) Keterangan :

Lt : Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu)

L∞ : Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik)

K : Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu)

t0 :umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol

Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan t0 sama dengan nol, maka persamaannya menjadi sebagai berikut.

Lt = L∞ (1-e[-K(t-t0)]) (1)

Lt = L∞ - L∞ e[-Kt] L∞ - Lt = L∞ e[-Kt]

(2) Setelah Lt+1 disubtitusikan ke dalam persamaan (1) maka diperoleh perbedaan persamaan baru tersebut dengan persamaan (1) seperti berikut.

Lt+1 - Lt = L∞ (1-e[-K(t+1)]) - L∞ (1-e[-Kt]) = -L∞ e[-K(t+1)] + L∞ e[-Kt]

= L∞ e[-Kt] (1-e[-K]) (3)

Persamaan (2) disubtitusikan ke dalam persamaan (3) sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut.

Lt+1 - Lt = (L∞ - Lt) (1-e[-K]) = L∞ (1-e[-K]) - Lt + Lt e[-K]

Lt+1 = L∞ (1-e[-K]) + Lt e[-K] (4)

Persamaan (4) merupakan bentuk persamaan linear dan jika Lt (sumbu x) diplotkan terhadap Lt+1 (sumbu y) maka garis lurus yang terbentuk akan memiliki kemiringan (slope) (b) = e[-K] dan intersep (a) = L∞ (1-e[-K]). Lt dan Lt+1 merupakan panjang ikan pada saat t dan panjang ikan yang dipisahkan oleh interval waktu yang konstan (Pauly 1984).

Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1983 in Lelono 2007) sebagai berikut.

(39)

3.5.2. Analisis hubungan panjang-berat

Berat dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dan berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan sebagai pangkat tiga. Namun sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda sehingga untuk menganalisis hubungan panjang-berat masing-masing spesies ikan tembang digunakan rumus yang umum sebagai berikut (Effendie 1997) :

W = a L b Keterangan :

W = Berat L = Panjang

a = Intersep (perpotongan kurva hubungan panjang-berat dengan sumbu y) b = Penduga pola pertumbuhan panjang-berat

Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan persamaan sebagai berikut :

Ln W = Ln a + b Ln L

Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan analisis regresi dengan ln W sebagai y dan Ln L sebagai x, maka didapatkan persamaan regresi :

y = a + bx

Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial), dengan hipotesis :

H0 : b = 3, hubungan panjang dengan berat adalah isometrik.

H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik, dimana: Allometrik positif, jika b>3 (pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang) dan,

Allometrik negatif, jika b<3 (Pertambahan panjang lebih cepat daripada pertambahan berat). thitung = 1 0 1

Sb

b

b

(40)

Keterangan :

b1 = Nilai b (dari hubungan panjang berat) b0 =3

Sb1 =Simpangan koefisien b

Setelah itu bandingkan nilai thitung dengan nilai ttabel pada selang kepercayaan 95%. Kemudian untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan, kaidah keputusan yang diambil adalah :

thitung > ttabel : tolak hipotesis nol (H0) thitung < ttabel : gagal tolak hipotesis nol

3.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Langkah 1 : Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan

menggunakan inverse persamaan von Bertalanffy.

Langkah 2 : Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 t

Langkah 3 : Menghitung t t/2

Langkah 4 : Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinierkan yang dikonversikan ke panjang

Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut.

(41)

Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) menyarankan untuk memperhitungkan jenis ikan yang memiliki kebiasaan menggerombol ikan dikalikan dengan nilai 0,8 sehingga untuk spesies yang menggerombol seperti ikan tembang nilai dugaan menjadi 20% lebih rendah.

M = 0,8 e(-0,0152-0,279*Ln L∞+ 0,6543*Ln K+ 0,463*LnT ) Keterangan :

M : Mortalitas alami

L∞ : Panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy

K : Koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy

T : rata-rata suhu permukaan air (0C)

Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F = Z-M

Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984) :

3.7. Model Surplus Produksi

Pendugaan potensi sumberdaya ikan tembang dilakukan dengan cara analisis hasil tangkapan (catch) dan upaya penangkapan (effort) menggunakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer dan Fox. Model surplus produksi dapat diterapkan bila diketahui dengan baik tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan atau hasil tangkapan per unit upaya

(catch per unit effort/CPUE) per spesies dan atau CPUE berdasarkan spesies dan

upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre & Venema 1999).

Tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schaefer (1954) in King (1995) dapat diketahui melalui persamaan berikut :

(1) Hubungan antara hasil tangkapan (Y) dengan upaya penangkapan (f), Y = af + bf 2

(42)

(2) Upaya penangkapan optimum (fmsy) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol atau dy/df = 0 :

Y = af + bf 2 Y’= a + 2bf Y’= 0

a = -2bf fmsy = -a/2b

(3) Maximum sustainable yield (MSY) atau merupakan hasil tangkapan

maksimum lestari diperoleh dengan mensubtitusikan nilai upaya

penangkapan optimum (fmsy) ke persamaan pada butir 1 di atas, Y = af + bf 2

MSY = (a) fmsy+ (b) fmsy2 MSY = -a2/4b

Pada model ini, untuk mendapatkan gambaran pengaruh dari upaya penangkapan (f) terhadap hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) dan untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b pada rumus di atas digunakan analisis regresi dengan melinierkan model Schaefer seperti berikut:

Y = af + bf 2 CPUE (Y/f) = a+bf

Rumus yang digunakan untuk mengetahui CPUE adalah sebagai berikut (Gulland 1983) :

Keterangan :

CPUE : Hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/unit)

Catch : Hasil tangkapan per tahun (kg) ; dan

Effort : Upaya penangkapan per tahun (unit).

Model kedua yang digunakan dalam model surplus produksi adalah model alternatif yang diperkenalkan Fox (1970) in Sparre & Venema (1999). Model ini menghasilkan garis lengkung bila Y/f secara langsung diplot terhadap upaya (f), akan tetapi bila Y/f diplot dalam bentuk logaritma terhadap upaya maka akan menghasilkan garis lurus. Adapun perumusan model Fox (1970) in King (1995) sebagai berikut.

(43)

Y = f (ea+bf)... (1)

fmsy dapat dicapai pada saat dy/df = 0, sehingga : Y’ = ea+bf + f b ea+bf = 0

(1+f b) (ea+bf) = 0 jadi fmsy =-1/b

Untuk mendapatkan MSY, maka fmsy dimasukkan ke dalam persamaan (1) sehingga :

MSY = (-1/b) (ea-1)

Pada model ini untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b pada rumus di atas juga digunakan analisis regresi dengan melinierkan model Fox seperti berikut:

Y = f (ea+bf) Y/f = ea+bf Ln (Y/f) = a+bf

Kedua model tersebut kemudian dibandingkan nilai koefisien

determinasinya (r2) dari hasil regresi masing-masing. Model yang mempunyai nilai r2 lebih besar menunjukkan model tersebut mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan model sebenarnya. Koefisien determinasi merupakan bilangan yang menyatakan proporsi keragaman total nilai peubah Y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah X melalui hubungan linier tersebut (Walpole 1992).

Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (TAC) adalah 80% dari potensi maksimum lestarinya (MSY) (FAO 1995). Hal ini berdasarkan prinsip kehati-hatian dalam pendugaan stok sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat terus lestari.

TAC = MSY x 80% Keterangan :

MSY : Jumlah tangkapan maksimum lestari (ton); dan TAC : Jumlah tangkapan yang di perbolehkan

Gambar

Gambar 1. Diagram dinamika dari suatu stok yang dieksploitasi
Tabel  1.  Data  upaya  penangkapan  ikan  tembang  di  Teluk  Palabuhanratu  tahun    2003-2006 (unit)
Tabel 2. Hasil tangkapan (ton) ikan tembang di Palabuhanratu
Gambar 2. Ikan tembang (Sardinella fimbriata)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut laporan tahunan statistik Palabuhanratu (2011), volume produksi ikan hasil tangkapan bagan apung yang didaratkan di pelabuhan pada tahun 2011 mengalami penurunan dari

Selain itu penelitian ini diharapkan mampu memberi alternatif pengelolaan sumberdaya ikan tembang yang tepat berdasarkan hasil tangkapan maksimum (MSY) dan upaya ( effort

Berdasarkan informasi mengenai kondisi aktual dinamika stok ikan layur (Lepturacanthus savala) yang diperoleh dalam penelitian ini maka diperlukan adanya

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang (2008), jenis ikan yang dominan dihasilkan adalah ikan tembang. Ikan tembang merupakan jenis ikan pelagis

Pola pertumbuhan isometrik juga terjadi pada Sardinella gibbosa di Labuan, Teluk Palabuhanratu, dan Blanakan (Hari 2010), sedangkan dari nilai b yang diperoleh dan setelah

Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi faktor-faktor produksi yang mempengaruhi hasil tangkapan nelayan pancing ulur di PPN Palabuhanratu dan menganalisis

Berdasarkan informasi mengenai kondisi aktual dinamika stok ikan layur (Lepturacanthus savala) yang diperoleh dalam penelitian ini maka diperlukan adanya

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Subang (2008), jenis ikan yang dominan dihasilkan adalah ikan tembang. Ikan tembang merupakan jenis ikan pelagis