• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pada periode selepas muktamar jelang satu abadnya yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pada periode selepas muktamar jelang satu abadnya yang"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada periode 2010-2015 selepas muktamar jelang satu abadnya yang ke-46, Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah (PPA) justru memindahkan posisi humas dari statusnya sebagai state of being menjadi aktivitas komunikasi yang dapat dijalankan tanpa harus berada dalam posisi formal yang bernama humas. Pada periode kepemimpinan 2005 – 2010 sebelum muktamar ke-46, PPA memiliki bagian humas yang bernama Lembaga Humas dan Penerbitan lengkap dengan ketua lembaga, staf hingga karyawan kantor khusus. Namun, menurut Sekretaris PPA 2010 - 2015, Setiawati, dalam rapat pleno di awal periode 2010 – 2015 (Pleno II, 21 Juli 2010), diputuskan bahwa lembaga humas dan publikasi dihapuskan dari struktur PPA. Adapun mekanisme kehumasan diembankan kepada Sekretaris PPA yang dipimpin oleh sekretaris umum organisasi beserta dua orang sekretaris. Di bawah jabatan sekretaris umum dan sekretaris tersebut ada karyawan kantor PPA yang menunjang laju kesekretariatan pada tataran teknis.

Secara rinci, Keputusan Pleno II tersebut menyatakan bahwa humas secara institusi melekat pada organisasi dengan mekanisme pelaksanaannya di bawah sekretaris. Alasan dari penghapusan Lembaga Humas dan Penerbitan tersebut tidak tertulis dalam data Keputusan Pleno II PPA (2010), maupun Keputusan

(2)

Meskipun demikian, efisiensi disinyalir menjadi salah satu faktor pemindahan pelaksanaan humas di bawah mekanisme sekretaris. Pasalnya, dengan pelekatan tersebut, PPA kini tinggal memiliki dua lembaga yakni Lembaga Kebudayaan serta Lembaga Pengkajian dan Pengembangan. Dengan demikian, secara kuantitas, terjadi perampingan jumlah anggota PPA yang memungkinkan terjalinnya komunikasi yang lebih efisien. Di samping itu, dengan melekatkan humas pada sekretaris, maka anggaran yang dialokasikan juga dapat diminimalisir dengan harapan hasil yang sama atau lebih baik. Tak hanya itu, sekretaris juga merupakan posisi yang paling dekat dengan para ketua yang turut menandakan dekatnya posisi tersebut dengan eksekutif puncak organisasi baik untuk kepentingan administrasi maupun komunikasi.

Setiawati menambahkan bahwa dalam mekanisme organisasi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, pengaturan struktur merupakan wewenang dari pimpinan. Itulah sebabnya, keputusan terkait alih fungsi kehumasan dari Lembaga Humas dan Penerbitan kepada sekretaris PPA diputuskan dalam rapat pleno yang hanya dihadiri pimpinan pusat, dan bukan muktamar yang diikuti oleh pimpinan pusat hingga daerah bahkan cabang. Meskipun demikian, posisi muktamar sendiri menjadi momen penting karena menandai pergantian struktur pimpinan yang berhak dan bahkan wajib menyelenggarakan sidang pleno guna memutuskan kebijakan-kebijakan organisasi.

Di samping itu, rentang waktu dua periode kepemimpinan PPA dengan praktik penerapan humas yang berbeda menunjukkan kuatnya unsur longitudinal pada kasus ini yang sukar untuk dicari kesamaannya dengan lembaga lain yang

(3)

sejenis. Di samping memang, sejauh pengamatan peneliti pada berbagai struktur organisasi sosial keagamaan perempuan di Indonesia di tingkat pusat atau nasional yang menjadi anggota KOWANI, hanya Wanita Islam dan ‘Aisyiyah yang memiliki sebuah bagian dengan nama Lembaga Humas yang tertulis secara eksplisit dalam rentang 10 tahun terakhir ini.

Adapun dari sisi tempat, perubahan kelembagaan humas itu terjadi pada pimpinan paling puncak dari organisasi ini. Lazimnya, pimpinan puncak memiliki komposisi paling purna dan lengkap dalam suatu organisasi. Sebab, segala urusan dari tingkat ranting, cabang, daerah hingga wilayah akan bermuara pada pimpinan pusat. Namun, Lembaga Humas dan Penerbitan yang sebelumnya ada dalam struktur, justru ditiadakan dalam periode 2010-2015 ini. Konsekuensinya, susunan kepemimpinan pada tingkat wilayah dan daerah, cabang maupun ranting pasti akan menginduk pada tingkat pusat, baik sebagian maupun keseluruhannya.

Sedangkan dari sisi waktu, keputusan untuk melekatkan fungsi mekanisme kehumasan pada bagian sekretaris itu justru terjadi saat representasi dari organisasi sosial keagamaan perempuan ini akan menapaki usianya yang ke-1 abad. Rentang waktu yang telah dilewati tersebut tentu juga menunjukkan beragamnya relasi komunikasi yang perlu dibangun dengan berbagai stakeholder. Meskipun demikian, setelah berpengalaman memiliki LHP selama satu periode, PPA justru meniadakan lembaga yang semestinya membangun dan mengembangkan beragam komunikasi tersebut pada periode kepemimpinan 2010-2015.

(4)

Sejauh ini, sedikit sekali, kalaupun ada, penelitian yang dilakukan untuk mengkaji status penerapan humas di Indonesia, khususnya pada zona organisasi sosial keagamaan perempuannya. Itulah sebabnya, penelitian yang menganalisis domain tersebut sangat diperlukan. Penelitian ini mencoba menjawab urgensi tersebut. Selain mengkaji model penerapan humas PPA sebagai bagian dari gerakan sosial keagamaan perempuan di Indonesia, urgensi penelitian ini juga terletak pada upaya untuk membuktikan apakah humas memang perlu diampu oleh lembaga khusus, atau sebenarnya secara aplikatif, khususnya dalam konteks organisasi sosial keagamaan perempuan di Indonesia, pelekatan mekanisme humas humas pada bagian lain seperti yang dilakukan ‘Aisyiyah itu tidak membuat perbedaan praksis yang signifikan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah model humas yang diterapkan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah pra Muktamar Jelang Satu Abad Ke-46 di Yogyakarta?

2. Bagaimanakah model humas yang diterapkan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah paska Muktamar Jelang Satu Abad Ke-46 di Yogyakarta?

3. Mengapa Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menerapkan humas dengan model tersebut?

(5)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan humas PPA melalui tipologi model-model humas serta faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan tersebut. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis terkait urgensi kelembagaan humas dalam organisasi sosial khususnya yang berbasis keagamaan dan digerakkan oleh perempuan. Selain itu, hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi rekomendasi penting bagi PPA pada muktamarnya ke-47 yang akan datang terkait aspek humas untuk mengoptimalkan efektifitas organisasi.

D. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah PPA terkait dengan penerapan humas yang dilakukan sebelum dan sesudah Muktamar Ke-46. Unit analisisnya adalah organisasi, dalam hal ini Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, khususnya Lembaga Humas dan Penerbitan yang mengelola humas pada periode 2005 – 2010 dan Sekretaris yang mengelola humas pada periode 2010 – 2015.

E. Pendekatan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan interpretatif. Hal ini dianggap paling tepat karena penelitian ini ingin menggambarkan dimensi-dimensi penerapan model humas pada PPA pra dan

(6)

Pendekatan interpretatif sendiri berdasarkan pada keyakinan bahwa realitas sosial lebih eksis dalam alam ide daripada dalam fakta konkret. Pemaknaan atas realitas sosial kemudian terjadi melalui interaksi sosial antar individu dan cara masing-masing individu memaknai lingkungannya yang terdiri atas beragam simbol maupun perilaku individu tersebut. Dengan demikian, pendekatan interpretatif percaya bahwa individu memiliki peran penting dalam membentuk lingkungan dan aktivitas organisasi. Hal ini membuat pendekatan interpretatif sesuai dengan penelitian ini. Sebab, penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan pemahaman atas proses penerapan humas dalam organisasi melalui sudut pandang para pelaku penerapan humas PPA di lapangan daripada stabilitas organisasi itu sendiri.

F. Kerangka Pemikiran

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah model humas yang diterapkan oleh PPA sebelum dan sesudah Muktamar Ke-46 serta latar dari penerapan model tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ada dua konsep utama yang perlu dipahami. Pertama, model humas serta dimensi-dimensinya yang membantu memetakan penerapan humas pada level organisasi. Kedua, faktor – faktor yang mempengaruhi penerapan humas. Faktor – faktor tersebut diketengahkan karena secara teoritis dapat membantu menganalisis latar penerapan model humas tertentu oleh suatu institusi. Selain itu, karena sub-ordinasi humas dari Lembaga Humas dan Penerbitan PPA menjadi latar dari

(7)

permasalahan yang akan dijawab oleh penelitian ini maka pembahasan tentang kelembagaan humas dalam suatu organisasi juga akan diketengahkan.

1. Model – Model Humas

Sederhananya, model atau tipologi merupakan representasi dari sesuatu, baik berupa barang, proses maupun ide. Dengan kata lain, model yang dipakai dalam menganalisis penerapan humas merupakan sebuah simplifikasi atau cara cepat untuk memahami praktik atau penerapan humas yang dilakukan. Penerapan humas dalam penelitian ini merupakan perihal mempraktikkan aktivitas-aktivitas humas yang dilakukan oleh obyek penelitian, dalam hal ini organisasi sosial keagamaan perempuan yang diwakili oleh PPA. Pemaknaan tersebut berangkat dari Istilah “penerapan” yang berasal dari kata dasar “terap” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) memuat 3 makna utama yaitu proses, cara, perbuatan menerapkan; pemasangan; serta pemanfaatan atau perihal mempraktikkan. Praktik tersebut terutama pada proses komunikasi karena dasar humas adalah komunikasi. Wolvin dan Wolvin menyebutkan bahwa model komunikasi “help us to see the components of communication from a perspective that allows for analysis and...understanding of the complexities of the process” (Uyo, 2006: 40). Dalam hal ini, teori tentang model humas menyediakan alat-alat yang dapat digunakan untuk mengkaji penerapan humas dalam organisasi (Lihat Hon dan Grunig, 1999; Rhee, 2004; Uyo, 2006; Gale, 2007; Putra, 2008; Laskin, 2009).

(8)

a. The Hunt Grunig Model

The Hunt Grunig Model atau yang juga dikenal dengan The Four Models merupakan teori middle-range yang diturunkan dari excellence theory. Menurut Grunig (2006), excellence theory merupakan grand theory atas nilai keseluruhan fungsi humas terhadap organisasi. Walaupun tidak menjelaskan segala sesuatu tentang humas, teori ini menyediakan cara berfikir komprehensif untuk menyelesaikan beragam masalah humas baik yang bersifat positif maupun normatif. Laskin (2009) menyebutnya sebagai perspektif teoritis yang dominan dalam penelitian humas. Oleh karena itu, perspektif yang membingkai teori ini juga bertumpu pada excellence theory yang meyakini bahwa penerapan humas yangexcellenceadalah humas yang bersifat dua arah (two way) dan memiliki efek komunikasi yang seimbang bagi institusi maupun publik (simetris).

Model PR yang diutarakan oleh Hunt dan Grunig mensimplifikasi humas ke dalam 4 model (lihat Pētersone, 2004 dan Laskin, 2009). Model pertama adalah keagenan pers (press agentry), yakni humas yang bertujuan untuk propaganda atau memperoleh publisitas yang bagus dari pers atau media. Menurut Grunig dan tim excellence project-nya, model yang diinisiasi oleh Phineas T. Barnum ini merupakan tipologi dari humas yang bertugas membuat cerita luar biasa tentang organisasi dengan nilai berita yang sedikit. Oleh karena itu, model ini sering disebut sebagai PR-like activities. Model ini lebih banyak diterapkan oleh organisasi – organisasi yang bergerak dalam bidang olahraga, teater serta promosi produk. Dewasa ini, model keagenan pers termasuk model yang paling jarang digunakan.

(9)

Model kedua adalah informasi publik (public information), yaitu humas yang bertujuan untuk menyebarkan informasi terpercaya bagi publik. Baik model keagenan pers atau model informasi publik sama-sama bersifat satu arah karena humas tidak mengambil input dari publik atau hanya menjadikan publik sebagai obyek semata. Model yang diinisiasi oleh Ivy Leedbetter Lee ini merupakan model humas yang saat ini paling banyak digunakan. Sebagian besar yang menggunakan model ini adalah humas pemerintah dan asosiasi non profit.

Model ketiga adalah asimetris dua arah (two-way asymmetrical model), yaitu humas yang bertujuan untuk melakukan persuasi ilmiah kepada publik sehingga publik akan bertinndak sesuai dengan yang diinginkan oleh organisasi. Model yang diinisiasi oleh George Creel dan Edward Bernays ini banyak digunakan oleh para agensi humas serta organisasi – organisasi profit.

Model The Hunt Grunig yang terakhir adalah simetris dua arah (two-way symmetrical model), yaitu humas yang bertujuan untuk mencapai pemahaman dua arah dengan publik sekaligus memperoleh efek komunikasi yang seimbang. Dengan demikian, organisasi yang digawangi humas dapat memahami keinginan publik, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga, proses komunikasi antara humas dengan publik tak hanya bersifat dua arah, namun juga simetris. Salah satu penanda utama model ini adalah perencanaan komunikasi humas yang matang dengan berbagai khalayak kunci. Sayangnya, sulit untuk menelusuri historisitas model ini. Dan hingga saat ini, model simetris dua arah termasuk model yang sangat jarang digunakan, susah diukur, memiliki reliabilitas rendah serta tidak

(10)

Pembagian model ala Hunt dan Grunig tersebut berdasarkan pada arah (two way or one way) dan keseimbangan efek komunikasi yang dituju (simetris atau tidak simetris) (Rhee, 2004; Laskin, 2009). Model keagenan pers dan informasi publik mencerminkan komunikasi yang dilakukan humas pada publik hanya bersifat satu arah dan tidak simetris. Sementara itu, model dua arah menunjukkan kategori humas yang melibatkan publik dalam komunikasi yang dilakukan. Sedangkan indikator-indikator dari aktivitas humas yang simetris dan asimetris dapat dilihat dari simpulan Hon dan Grunig (1999: 16-17) dan Rhee (2004: 40-41) sebagai berikut:

Indikator asimetris dua arah adalah:

1. Contending: upaya organisasi meyakinkan publik untuk menerima posisi organisasi.

2. Avoiding: upaya organisasi menghindari konflik dengan publik, baik yang bersifat psikis maupun fisik.

3. Accommodating: upaya organisasi mendengar aspirasi publik.

4. Compromising: upaya organisasi dalam berkompromi dengan publik pada berbagai hal, namun dengan tetap berada pada posisi yang diinginkannya. Dengan demikian, hasil kompromi tersebut belum tentu memuaskan semua pihak.

Indikator simetris dua arah adalah:

1. Cooperating: baik organisasi maupun publik bekerja sama untuk mencapai hubungan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak.

(11)

2. Being unconditionally costructive: upaya organisasi untuk memberikan yang terbaik menurut mereka bagi hubungannya dengan publik, meskipun harus merelakan posisinya, dan atau tidak mendapatkan sikap timbal balik.

3. Saying win-win solution or no deal: upaya organisasi dan publik untuk menyepakati keputusan yang bersifat mutual bagi keduanya. Dan atau sama-sama sepakat untuk tidak sepakat-no deal. Kesediaan untuk sama-sama tidak sepakat ini merupakan komunikasi yang simetris karena menunjukkan bahwa kedua belah pihak menyadari potensi untuk saling sepakat pada keputusan yang mutual pada waktu yang akan datang.

Grunig menyebutkan bahwa praktik kehumasan yang paling bagus dan paling dapat diterima adalah model simetris dua arah (Putra, 2008: 2.4). Pasalnya, model ini menuntut humas untuk tidak egois. Dengan kata lain, humas diminta mendengarkan aspirasi publik yang disasarnya kemudian mengakomodir aspirasi tersebut dalam aktivitas-aktivitas kehumasannya untuk mewujudkan hubungan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Artinya, humas tidak memaksakan kehendak pihak manajemen organisasi semata melainkan bertindak arif dengan melibatkan aspirasi publik.

Dalam perkembangannya, empat model humas di atas tidak lepas dari pro dan kontra, khususnya terkait model simetris dua arah. Kritik yang dilancarkan oleh berbagai pihak menyatakan bahwa model ini dianggap sebagai teori normatif atau produk akademik belaka yang tak pernah terjadi di dunia nyata. Apalagi, data penerapan humas oleh organisasi besar dengan model dua arah simetris ini jarang

(12)

ditemukan. Karenanya, ia disebut model yang terlalu utopis (Murphy, 1991; Laskin, 2009).

Model simetris dua arah itu juga dianggap tidak realistis karena hampir tidak mungkin organisasi akan mengorbankan diri sepenuhnya untuk mengakomodir kepentingan publik. Di samping itu, kecil sekali kemungkinan bagi publik untuk bisa bekerjasama dengan organisasi dalam posisi yang setara karena sebagian besar mereka memiliki tingkat sumber daya dan akses ke media yang lebih rendah daripada organisasi (Pētersone, 2004).

Menjawab beragam kritikan itu, Grunig (2006) sendiri menyebutkan bahwa akademisi humas perlu mengembangkan teori positif maupun normatif. Teori positif adalah teori yang sesuai dengan kondisi faktual di lapangan. Sementara itu, teori normatif membantu untuk meningkatkan realitas yang ada karena ia menyediakan idealitas dari apa yang seharusnya terjadi di lapangan (lihat juga Bowen, 2004).

Lagipula, konsep sismetris bukan berarti organisasi mengakomodir sepenuhnya kepentingan publik. Sebab, simetris di sini merujuk pada keseimbangan akomodasi atas kepentingan organisasi dan publik. Tidak heran jika Grunig, dkk dalam Laskin (2009) mengemukakan, “we did find that the four models still provide an accurate and useful tool to describe PR practice and worlview.” Terlebih lagi, model ini memang sudah populer digunakan untuk menganalisis penerapan humas pada level organisasi, dan bukan pada level program semata (Sriramesh, 2009).

(13)

Dalam merespon pro dan kontra penggunaan modelThe Hunt Grunigyang berkisar pada positif versus normatif itu, peneliti cenderung tidak mengesampingkan model tersebut, sebab model – model tersebut membantu kita memahami penerapan humas yang kompleks. Hal tersebut tentu tidak terlepas dari teori global public relations yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip penerapan humas yang efektif sebaiknya diaplikasikan sesuai kondisi ekonomi, politik, dan budaya yang melatarbelakangi suatu institusi (Grunig, 2009). Itulah sebabnya, untuk memahami penerapan humas dalam organisasi sosial keagamaan perempuan di Indonesia, diperlukan pemahaman terhadap hal-hal yang terkait dengan organisasi sosial keagamaan perempuan itu sendiri selaku latar dalam penelitian.

Selain itu, khususnya terkait dengan sisi etis, peneliti cenderung mengasumsikan bahwa setiap institusi memiliki kondisi atau lingkungan yang berbeda-beda. Tak hanya itu, aspirasi publik pun tak selamanya benar meskipun dengan mendengarkan mereka akan menunjukkan kesan aspiratif bagi tindakan-tindakan humas. Dengan demikian, apa pun model kehumasan yang diterapkan oleh suatu lembaga tidak bisa dicap salah atau benar, melainkan dikaji dan dipahami dulu secara seksama apa, bagaimana dan mengapa suatu humas dalam institusi menjalankan aktivitas atau program-program kehumasannya dalam tipologi tersebut.

Ringkasnya, The Hunt Grunig Model menjadi tipologi model humas utama yang dipilih untuk menggambarkan penerapan humas di PPA dalam penelitian ini karena beberapa hal berikut. Pertama, dengan posisinya sebagai

(14)

middle-range theory, The Hunt Grunig Model menjadi satu-satunya yang mengacu langsung pada perspektif dominan atau grand theory keilmuan humas. Kedua, model-model lain yang mencoba menggambarkan humas pada level organisasi merupakan pengembangan dari The Hunt Grunig model dan oleh karenanya, esensi-esensi model-model tersebut sudah ada dalam The Hunt Grunig model.

Meskipun demikian, karena penelitian ini berupaya untuk mengeksplorasi fakta yang ada di lapangan, model – model humas yang lain dapat menjadi pisau analisis pendukung. Di samping itu, terbuka pula kemungkinan munculnya model humas yang baru dari hasil analisis penelitian ini. Apalagi jika ternyata penerapan humas di PPA memiliki esensi-esensi yang berbeda dari model – model humas The Hunt Grunig atau model – model lain yang sudah ditemukan terlebih dahulu pada penelitian – penelitian sebelumnya.

b. Model-Model Humas Lain

The Hunt Grunig Model telah menginisiasi munculnya beberapa model humas yang lain, di antaranya adalah model pengaruh personal, model interpreter kultural dan mixed motive model. Model pengaruh personal ditemukan oleh Sriramesh setelah melakukan kajian mendalam di India. Model ini menggambarkan upaya praktisi humas yang menjalin hubungan baik yang bersifat personal, dengan individu-individu kunci di bidang politik dan media, supaya mereka mendapatkan perlakuan baik dari regulator dan atau pemberitaan positif di media yang dikelola individu-individu kunci tersebut. Dengan demikian, meskipun tanpa menulis pers release atau menggelar konferensi pers sekalipun,

(15)

para praktisi humas dapat memperoleh porsi pemberitaan positif di media (Pētersone, 2004; Puspa, 2007). Model ini merupakan derivasi dari model keagenan pers dan atau informasi publik ala The Hunt Grunig. Sebab, para praktisi yang menggunakan model pengaruh personal menujukan aktivitas humas mereka untuk meraih pencitraan positif bagi organisasi dan atau memberikan informasi untuk publik.

Sedangkan model interpreter kultural menggambarkan bagaimana perusahaan – perusahaan multinasional di Yunani menggerakkan aktivitas humasnya supaya bisa menerjemahkan norma-norma lokal untuk disesuaikan dengan tujuan-tujuan mereka. Model ini ditemukan oleh Lyra pada tahun 1991 yang mencoba mengembangkan temuan Grunig, dkk tentang penerapan humas di luar kultur Anglo-Saxon. Seperti model pengaruh personal, model ini juga disebut sebagai derivasi dari The Hunt Grunig Model karena tujuan awal penelitian Lyra adalah untuk melihat bagaimana humas diterapkan pada level organisasi di luar kultur Anglo-Saxon dengan mengacu pada penemuan-penemuan Grunig, dkk sebelumnya (Puspa, 2007; Gupta & Bartlett, 2009).

Sementara itu, mixed motived model lahir dari kontra atas model simetris dua arah ala The Hunt Grunig Model yang mendominasi pengertian model humas yang ideal pada level organisasi. Model yang ditemukan oleh Murphy ini diderivasikan dari game theory yang mengkombinasikan elemen model simetris dan asimetris The Hunt Grunig. Seperti laju suatu permainan, relasi antara organisasi dengan publik dianggap berada pada kontinum kompetisi murni dan

(16)

menyatukan kebutuhan-kebutuhan organisasi dan publik dengan menyeimbangkan kompetisi dan kooperasi di antara kedua belah pihak. Sebab, Murphy percaya bahwa kooperasi murni (simetris) itu terlalu utopis untuk dibawa ke dunia nyata. Menanggapi Murphy, Grunig dkk mengajukan argumen bahwa model simetris dua arah bukan berarti mengakomodasi secara total kebutuhan publik namun integrasi dari kebutuhan kedua belah pihak. Dengan demikian, model simetris adalah mixed motive model yang dimaksud oleh Murphy itu sendiri (Murphy, 1991; Pētersone, 2004).

c. Dimensi – Dimensi Penerapan Humas.

Pada akhirnya, teori model humas ala Grunig dan Hunt mengalami evolusi saat Grunig dan para akademisi humas mencoba untuk kembali pada dimensi-dimensi yang digunakan untuk mengkategorikan penerapan humas oleh suatu institusi, dalam rangka merekonseptualisasi model humas. Beberapa murid Grunig seperti Huang, Rhee dan Sha mencoba memberikan solusi terkait dimensi apa saja yang dapat diukur untuk melihat praktik humas dalam organisasi. Terakhir, Grunig, dkk memberikan 7 dimensi atau skala baru yang oleh para akademisi terlihat sebagai sebuah model alih-alih sekedar dimensi. Ketujuh dimensi itu adalah One-way, Two-way, Asymmetrical, Symmetrical, Interpersonal, MediateddanEthical(Laskin, 2009).

Ketujuh dimensi di atas juga kerap disederhanakan menjadi 4 dimensi yakni arah komunikasi yang meliputi one-way dan two-way, efek komunikasi yang dituju (asimetris dan simetris), bentuk komunikasi yang terdiri atas interpersonal dan termediasi, dan terakhir dimensi etik. Peneliti sendiri juga lebih

(17)

cenderung untuk menyederhanakannya menjadi 4 dimensi. Penyederhanaan tersebut sama sekali tidak mengubah esensi dari ketujuh dimensi di atas.

Sha (2007) menyebutkan indikator-indikator dari dimensi-dimensi strategis atau dimensi yang dianggap mewakili penerapan humas yang ideal. Pertama, indikator komunikasi dua arah mencakup kemauan organisasi untuk mendengarkan opini publik, melakukan penelitian sebelum melakukan aktivitas humas dan mencoba mengerti publik. Di samping itu, organisasi yang bersangkutan juga melakukan evaluasi setelah menyelesaikan kegiatan humas.

Kedua, indikator pada komunikasi simetrikal mencakup kemauan organisasi untuk tidak hanya mengubah sikap dan perilaku publik, akan tetapi juga mengubah sikap dan perilaku manajemen organisasi setelah menyerap opini publik. Selain itu, organisasi hendaknya juga berkonsultasi dengan publik yang terpengaruh oleh kebijakannya selama pengambilan keputusan. Organisasi juga diharapkan untuk memainkan peran yang kompleks dalam memediasi konflik yang terjadi antara organisasi dengan publik.

Adapun indikator komunikasi etikal mencakup kesadaran organisasi bahwa aktivitas-aktivitas yang dilakukannya berdampak pada publik serta kesediaannya untuk menyediakan data faktual yang akurat bagi publik meskipun data ini menempatkan organisasi pada posisi yang tidak diinginkan. Selain itu, organisasi menyerap kepentingan mayoritas lebih banyak daripada kepentingan personal dan bersedia menyampaikan motif dan alasan dari aktivitas-aktivitas yang mereka lakukan kepada publik.

(18)

Sedangkan indikator komunikasi termediasi meliputi penerbitan news release untuk menjangkau media massa, penggunaan media massa seperti televisi dan sebagainya, penerbitan material tercetak untuk merepresentasikan organisasi, seperti brosur atau pamflet serta penggunaan internet atau World Wide Webuntuk menerima dan mengirimkan informasi.

Terakhir, indikator – indikator pada komunikasi interpersonal meliputi pengontakan anggota publik secara personal, pengontakan anggota publik via telepon, penggunaan metode komunikasi tatap muka dalam frekuensi yang sering serta penyelenggaraan pertemuan-pertemuan personal dengan anggota publik.

Secara umum, interpersonal adalah metode komunikasi yang lebih banyak digunakan oleh humas dengan model komunikasi dua arah. Sedangkan dimensi komunikasi termediasi lebih cenderung digunakan oleh humas yang menerapkan model komunikasi satu arah (Laskin, 2009). Adapun dimensi etis memuat ketentuan bahwa keputusan dan kebijakan humas yang dilakukan organisasi harus sesuai dengan norma-norma maupun kewajiban universal (Bowen, 2004). Humas yang menerapkan dimensi simetris dua arah secara inherent merupakan humas yang memenuhi dimensi etik ini.

Di samping itu, meskipun tidak diadopsi secara luas layaknya The Hunt Grunig Model, dimensi sebenarnya memiliki reliabilitas yang lebih tinggi dari model. Dimensi-dimensi penerapan humas ini disebut juga sebagai model karena ia menerangkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan humas dalam setiap cluster-nya (Laskin, 2009).

(19)

Dalam perjalanannya, Pētersone (2004) menyebutkan bahwa Larissa Grunig dkk mengaplikasikan dimensi-dimensi tersebut ke dalam The Hunt-Grunig Model. Model keagenan pers terdiri atas dimensi asimetrikal, satu arah danunethicalserta menggunakan bentuk komunikasi termediasi. Model informasi publik terdiri atas dimensi asimetrikal, satu arah, cenderung serta lebih banyak menggunakan bentuk komunikasi termediasi namun cenderung lebih beretika daripada model keagenan pers. Sedangkan model asimetris dua arah terdiri atas dimensi dua arah komunikasi, keseimbangan komunikasi yang dituju bersifat asimetris, dapat dipraktikkan secara etis maupun non etis serta dapat menjalankan dua macam bentuk komunikasi baik interpersonal maupun termediasi. Adapun model simetris dua arah mencakup dimensi simetrikal, dua arah, etikal dan mencakup bentuk komunikasi interpersonal dan termediasi. Petersone menambahkan bahwa studi yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa The Hunt-Grunig Model yang sudah disempurnakan dengan dimensi-dimensi penerapan humas ini dapat diaplikasikan secara internasional.

Peneliti sendiri lebih cenderung pada upaya mengkaji penerapan humas melalui The Hunt-Grunig Model yang sudah disempurnakan dengan beragam dimensi tersebut. Sebab, model tersebut memiliki konsep deskripsi kategorisasi penerapan humas yang lebih jelas daripada model – model humas The Hunt-Grunig sebelumnya. Hal ini ditandai dengan indikator-indikator dari masing-masing dimensi tersebut. Adapun untuk menandai dimensi satu arah dan asimetris dapat dikaji melalui keterpenuhan pelaksanaan indikator-indikator dua arah dan simetris, karena sifat kedua dimensi tersebut yang saling berlawanan.

(20)

Dari sisi arah komunikasi, satu arah merupakan oposisi dari dua arah. Sementara dari segi keseimbangan efek komunikasi yang diharapkan, asimetris berlawanan dengan simetris.

Selain itu, indikator satu arah bisa jadi sama dengan dua arah, namun tujuannya berbeda. Pada indikator mendengarkan opini publik bisa jadi dilakukan juga oleh komunikasi satu arah, namun tujuannya adalah untuk publikasi dan atau penyampaian informasi. Sedangkan tujuan dua arah adalah dialog. Indikator pelaksanaan penelitian sebelum melakukan aktivitas humas memang tidak dilakukan oleh satu arah. Adapun indikator melaksanakan evaluasi setelah menyelesaikan kegiatan humas, bisa jadi juga dilakukan oleh satu arah hanya saja, berbeda dengan dua arah, evaluasi yang dilakukan pada dimensi satu arah tidak melibatkan publik yang terkait.

Di samping itu, indikator asimetris bisa jadi sama dengan indikator simetris. Hanya saja tujuan dari indikator-indikator penerapan tersebut berbeda. Bila melihat Hon dan Grunig (1999) dan Rhee (2004) di atas, maka tujuan-tujuan dari indikator dimensi asimetris adalahcontending, avoiding, accommodating dan compromising. Sedangkan tujuan dari indikator simetris bertujuan untuk cooperating, being unconditionally constructive dan saying win-win solution or no deal.

Dengan demikian, penelitian ini menggunakan dimensi-dimensi humas yang dikemukakan oleh Grunig dkk (Laskin, 2009) sebagai kerangka kerja analisis. Semua praktik humas PPA pertama kali dianalisis melalui 4 dimensi humas yang terdiri atas arah komunikasi, efek komunikasi yang diharapkan,

(21)

bentuk komunikasi dan penerapan etika. Selanjutnya, penerapan humas PPA tersebut diklasifikasikan ke dalam model – model humas The Hunt Grunig yang terdiri atas model keagenan pers, informasi publik, asimetris dua arah dan simetris dua arah.

2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penerapan Humas

Dozier dkk menyebutkan bahwa humas yang ideal (excellence)terdiri atas 3 hal yang saling melengkapi, yaitu pengetahuan, harapan terbagi dan kultur yang partisipatif (Laskin, 2009). Pengetahuan di sini adalah inti dari humas yang ideal di mana bagian humas harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk melakukan komunikasi dua arah dengan publik, melakukan penelitian dan memahami ilmu sosial dalam konteks komunikasi yang diembannya. Harapan terbagi maksudnya adalah baik manajer puncak dan bagian humas memiliki perspektif yang sama dalam menilai humas. Artinya, kedua pihak tidak hanya memandang humas sebagai petugas yang menerbitkan pers release atau menyambut tamu protokoler organisasi, namun juga sebagai bagian yang menangani manajemen komunikasi antara organisasi dengan khalayak-khalayak kunci. Sedangkan kultur partisipatif bermakna bahwa lingkungan kerja organisasi memiliki budaya kerjasama yang kondusif. Dozier dkk juga menambahkan bahwa faktanya, organisasi “that value team work, widely involve employees in decision making, and are open to ideas of outside the organization are more likely to have excellent programs.” Menurut peneliti, ketiga hal yang menentukan

(22)

mengidentifikasi mengapa suatu organisasi menerapkan humas dengan model tertentu daripada model yang lain.

J. Grunig dan L. Grunig sendiri selain mengajukan 2 variabel humas ideal yakni arah dan tujuan atau efek komunikasi yang kemudian dituangkan dalam empat model humas di atas, juga mengajukan 3 variabel lain yang dapat menjadi pisau analisis mengapa suatu organisasi menerapkan model humas tertentu. Ketiga hal yang menjadi faktor – faktor yang mempengaruhi penerapan humas tersebut adalah kultur organisasi, potensi departemen humas dan skema humas (Pētersone, 2004).

Kultur organisasi terdiri atas nilai-nilai, simbol-simbol, makna-makna, asumsi-asumsi, kepercayaan-kepercayaan dan harapan-harapan yang menyatu dan menyatukan sekelompok orang yang bekerja sama. Kultur tersebut mempengaruhi penentuan kebijakan organisasi, termasuk keputusan yang terkait dengan penerapan model-model humas. Terkait hal itu, secara inherent, organisasi yang menerapkan manajemen sistem tertutup cenderung menerapkan dimensi asimetris. Sebaliknya, organisasi dengan manajemen yang mempraktikkan sistem manajemen terbuka cenderung menerapkan dimensi simetris. Kultur organisasi sendiri berada pada kontinuum autoritarian ke partisipatif.

Faktor kedua adalah potensi departemen humas yang mencakup pengetahuan praktisi humas, khususnya mengenai model dua arah. Jika praktisi humas memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait model humas yang excellence, maka organisasi yang bersangkutan juga cenderung menerapkan

(23)

humas yang simetris dua arah. Di samping itu, semakin besar potensi departemen humas tersebut, maka semakin besar pula kemungkinan bagi praktisi senior untuk bergabung dalam lingkar pengambil kebijakan puncak pada organisasi tersebut.

Faktor ketiga adalah skema humas yang mencakup pemahaman dan keterampilan manajer senior terhadap humas. Hal tersebut tergantung pada dua hal. Pertama, praktisi humas yang memiliki pengetahuan dan keterampilan humas terlibat dalam koalisi manajerial puncak dan memfasilitasi pemahaman para manajer puncak terkait humas. Atau kedua, para manajer puncak itu mengedukasi diri mereka sendiri soal humas.

Peneliti sendiri lebih cenderung menggunakan istilah dari Dozier dkk tanpa mengabaikan substansi dari faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan humas dari Grunig di atas. Sebab, pengetahuan dan keterampilan humas ala Dozier dkk sama dengan potensi departemen humas dari Grunig, harapan terbagi mewakili skema humas di mana praktisi humas dan para manajer puncak organisasi memiliki pemahaman yang sama soal humas, dan kultur partisipatif selaras dengan kultur organisasi dari Grunig, di mana semakin autoritarian kultur suatu organisasi maka efek-efek komunikasi humas cenderung asimetris. Sebaliknya, semakin partisipatif kultur suatu organisasi, maka efek-efek atau tujuan komunikasi humas akan lebih cenderung simetris.

Merujuk pada kerangka teori yang telah dijelaskan di atas, operasionalisasi dimensi – dimensi penerapan humas tersebut secara detail dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut:

(24)

TABEL 1.

DIMENSI PENERAPAN HUMAS

Dimensi Makna Dimensi Indikator Panduan Pertanyaan dalam Wawancara Arah Komunika si (satu arah versus dua arah) Penyampaian informasi dari organisasi kepada publik. Komunikasi satu arah tidak memfasilitasi umpan balik dari publik kepada organisasi dan sebaliknya.

1. Relasi dengan publik

1. Siapa saja publik internal PPA?

2. Siapa saja publik eksternal PPA?

3. Bagaimana cara PPA menjalin relasi dengan publik?

2. Aktivitas Komunikasi

1. Apa saja kegiatan, aktivitas atau program -program Lembaga Humas dan Publikasi?

2. Bagaimana dengan paska Muktamar Ke-46? Bagian mana yang menjalankan aktivitas - aktivitas humas tersebut?

3. Mengapa

program-program Lembaga Humas dan Publikasi disublimasi ke bagian tersebut setelah Muktamar Ke-46? 3. Perencanaa n program humas 1. Bagaimana

langkah-langkah PPA dalam menjalankan program humas?

2. Bagaimana rencana evaluasi program humas yang dijalankan?

(25)

Efek Komunika si (asimetris versus simetris) Tujuan dari aktivitas-aktivitas humas organisasi. Jika tujuan dari organisasi adalah persuasi kepada publik supaya melakukan hal-hal yang menguntungkan bagi organisasi maka efek dari komunikasi yang dituju

organisasi itu disebut asimetris karena tidak seimbang. Sebaliknya, jika tujuannya adalah supaya tercipta dialog antara organisasi dan publik maka efek komunikasi yang dituju organisasi itu disebut simetris. 1. Tujuan Komunikasi 2. Penyikapan terhadap konflik dengan publik

1. Apakah tujuan dari program-program Lembaga Humas dan Publikasi? Apakah tujuan-tujuan tersebut berubah setelah Lembaga Humas dan Publikasi disublimasi ke bagian lain?

2. Apakah opini publik dapat mengubah perilaku dan kebijakan organisasi? Jika bisa, faktor - faktor apakah yang memungkinkan hal itu terjadi?

3. Apakah publik dilibatkan saat pihak manajemen PPA akan menetapkan suatu kebijakan? Mengapa? 4. Jika iya, bagaimana proses pelibatan tersebut? 1. Apakah selama ini PPA pernah menemui sikap atau perilaku publik yang tidak sesuai dengan kepentingan organisasi?

2. Jika ada, bagaimana sikap dan perilaku manajemen dalam menghadapi hal tersebut? Mengapa sikap dan atau perilaku tersebut yang dipilih? Bentuk Komunika si (interperso nal versus termediasi )

Cara yang ditempuh organisasi dalam berkomunikasi dengan publik. Jika sebagian besar aktivitas komunikasi dengan publik dilakukan secara personal, bentuk komunikasi

organisasi itu disebut interpersonal dan sebaliknya.

1. Strategi

komunikasi 1. Bagaimana cara PPAmelakukan kontak dengan publik? Mengapa cara itu yang dipilih?

2. Apakah ada anggota publik yang dihubungi secara personal? 3. Jika ada, bagaimana proses kontak personal itu dilakukan?

(26)

3. Apakah PPA memiliki daftar buku telepon yang berisi no telepon anggota publik?

4. Apakah PPA melakukan kontak via telepon dengan publik?

5. Jika iya, apakah ada petugas khusus yang bertugas melakukan kontak via telepon tersebut? 6. Apakah metode

komunikasi tatap muka juga dilakukan PPA saat berelasi dengan publik?

7. Apakah PPA menyelenggarakan

pertemuan personal dengan anggota publik?

8. Apakah PPA menerbitkan material tercetak untuk

merepresentasikan

organisasi kepada publik? 9. Jika ada, apa saja jenis material tercetak itu? 10. Apakah PPA menggunakan internet dalam berkomunikasi dengan publik?

11. Jika iya, apa saja jenis layanan internet yang digunakan oleh PPA? 12.Apakah ada perubahan pengelolaan manajemen informasi melalui internet sepanjang pra dan paska Muktamar Ke-46? 13. Bagaimana cara PPA menjangkau media massa? 14. Apakah PPA juga menerbitkan news release?

(27)

15. Adakah media massa organisasi yang digunakan PPA dalam berkomunikasi dengan publik?

16. Jika ada, apa sajakah media massa tersebut? 17. Apakah ada perubahan jenis media massa organisasi sepanjang pra dan paska Muktamar Ke-46? Etik Kesesuaian komunikasi kehumasan organisasi dengan norma-norma maupun kewajiban universal. 1. Sifat informasi 1. Bagaimanakah sifat informasi yang disampaikan PPA pada publik?

2. Apakah data yang menempatkan PPA pada posisi yang tidak diinginkan juga disampaikan pada publik?

3. Aspirasi manakah yang lebih diserap PPA: publik mayoritas atau personal? 4. Apakah semua motif maupun alasan dari aktivitas-aktivitas yang dilakukan organisasi perlu disampaikan pada publik? 5. Jika iya, bagaimana mekanisme penyampaian tersebut?

2.

Pengamalan kode etik

Apakah PPA mengadopsi suatu kode etik tertentu dalam berelasi dengan publik?

2. Mengapa kode etik tersebut yang diadopsi? 3. Apakah menurut Anda kode etik itu aplikatif dengan kondisi organisasi? Selain itu, karena penelitian ini tidak sekedar mengkaji bagaimana model humas yang diterapkan oleh PPA, namun juga menganalisis latar atau alasan

(28)

konsep terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi model penerapan humas. Selain konsep Operasionalisasi konsep tersebut dapat dilihat pada TABEL 2 berikut:

TABEL 2

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MODEL PENERAPAN HUMAS

Faktor – Faktor yang Mempengaruhi

Penerapan Humas

Makna Indikator Panduan Pertanyaandalam Wawancara

Pengetahuan dan Keterampilan Pengetahuan praktisi humas yang memadai untuk melakukan komunikasi dua arah dengan publik, melakukan penelitian humas dan memahami ilmu sosial dalam konteks komunikasi yang diembannya. 1. Latar pendidikan dan profesional 1. Mohon diskripsikan latar pendidikan dan profesional Anda. 2. Pemaknaan terhadap humas dan aktivitas-akt ivitasnya 1. Berdasarkan pengalaman Anda, bagaimana Anda mendefinisikan humas? 2. Berdasarkan pengalaman Anda, aktivitas-aktivitas apa sajakah yang termasuk dalam istilah humas? 3. Keterampila n dalam mengelola program humas 1. Mohon diskripsikan program-program humas PPA yang Anda terlibat di dalamnya.

2. Apakah tujuan dari program-program tersebut?

3. Mengapa

program-program tersebut penting?

4. Langkah apa saja yang ditempuh dalam mengelola program tersebut?

Harapan Terbagi Kesamaan perspektif

1. Perspektif terhadap

1. Bagaimanakah

(29)

antara manajer puncak dengan bagian humas dalam menilai humas itu sendiri. humas humas?

2. Apakah menurut Anda, organisasi sosial

keagamaan perempuan seperti PPA memerlukan bagian humas? Mengapa?

2. Pandangan terhadap kinerja humas 1. Menurut Anda, bagaimanakah kinerja Lembaga Humas dan Publikasi pra Muktamar Ke-46 yang lalu? 2. Berdasarkan

pengalaman Anda, apakah penerapan humas PPA akan lebih efektif jika berada pada bagian khusus humas atau jika

disublimasi pada bagian yang lain? Mengapa? Kultur

Partisipatif Kondusifitaslingkungan kerja organisasi. 1.Karakter Organisasi 2. Lingkungan kerja organisasi 1. Mohon jelaskan identitas organisasi 'Aisyiyah?

Apa tujuan organisasi 'Aisyiyah?

2. Apakah menurut Anda PPA memiliki budaya kerja yang kondusif? Mengapa?

3.Bagaimana partisipasi karyawan kantor PPA dalam mendukung aktivitas organisasi? 4. Bagaimana kondisi fisik kantor PPA? 2. Sikap terhadap pandangan non 1. Bagaimanakah PPA menyikapi pemikiran-pemikiran yang datang dari luar

(30)

organisasi 2. Apakah organisasi pernah mengalami perubahan sikap dan atau perilaku yang disebabkan oleh pandangan dari luar organisasi?

Kerangka konsep di atas menjadi panduan bagi peneliti dalam melakukan wawancara dengan informan yang dituju, dokumentasi dan observasi.

3. Kelembagaan Humas

Organisasi disebut efektif jika mampu memilih dan mencapai tujuan-tujuan yang sesuai dengan kepentingannya sekaligus harmoni dengan kepentingan publik baik internal maupun eksternal. Hal ini diperlukan supaya publik yang membentuk lingkungan organisasi tidak menghalangi maksud dan tujuan yang ingin dicapai, bahkan mendukung organisasi dalam mewujudkan tujuan-tujuannya. Untuk itu, organisasi perlu membangun dan menjaga hubungan jangka panjang yang bersifat terbuka, jujur dan saling menguntungkan dengan publik. Di sinilah nilai penting keberadaan humas untuk mewujudkan organisasi yang efektif terlihat. Sebab, humas yang excellence bertugas untuk mengidentifikasi publik kunci organisasi, menjalin hubungan jangka panjang dengan mereka dan menyediakan informasi yang memadai bagi manajemen organisasi terkait dengan publik strategis tersebut untuk memuluskan jalan organisasi dalam mencapai tujuan. (Rhee, 2004; Wilcox dan Cameron, 2009).

(31)

Meskipun demikian, tidak semua organisasi memiliki departemen atau lembaga humas secara khusus. Terkait dengan perlu tidaknya sebuah struktur humas yang terlembaga dalam sebuah korporasi atau organisasi, Karpel menyebutkan, “it doesn’t matter what the structure is as long as everyone works together” (Pophal, 2006). Kelembagaan humas sendiri dimaknai sebagai penempatan humas dalam struktur manajemen organisasi.

Lebih lanjut. Harlow menyebutkan bahwa fungsi humas memang dapat dimaknai sebagai kegiatan komunikasi yang tidak terlembaga maupun perwujudan kegiatan komunikasi yang dilembagakan (Ruslan, 1999). Sebagai kegiatan komunikasi, fungsi humas dapat dijalankan oleh setiap pimpinan organisasi, tanpa harus ditempatkan pada bagian tertentu dalam struktur. Adapun sebagai state of being,harus ada pejabat humas khusus yang berada pada struktur organisasi.

Tegasnya, humas tidak harus dilembagakan dalam struktur yang baku. Sebab, aktivitas ini dapat dilakukan oleh tim virtual yang secara struktur tidak diberi nama Departemen atau Lembaga humas. Bahkan, perencanaan hingga eksekusi kegiatan humas bisa saja dilakukan oleh pihak eksternal yang disewa suatu korporasi, yang lazim disebut dengan ‘konsultan’. Keberadaannya dalam lingkup internal sendiri tidak terlepas dari potensi negatif. Setiap organisasi juga tidak selalu memiliki kesamaan pandangan soal bagaimana menempatkan humas dalam kaitannya dengan fungsi manajemen yang lain seperti sumber daya manusia (SDM), hukum dan sebagainya. Untuk itu, humas memiliki beberapa

(32)

Pertama, co-existent di mana masing-masing fungsi manajemen bergerak secara independen. Kedua, combative, yakni masing-masing fungsi manajemen saling berlawanan. Ketiga, co-optive, yaitu salah satu fungsi manajemen mendominasi yang lain, baik humas yang didominasi maupun yang mendominasi. Keempat, celibate, di mana hanya ada satu fungsi yang eksis. Salah satu sebab suatu fungsi manajemen disub-ordinasi atau dihilangkan fungsinya ialah kesimpulan bahwa fungsi manajemen tersebut menjadi cost center dan bukan profit center. Begitu juga sebaliknya. Selanjutnya adalah coordinated, yakni masing-masing fungsi bergerak secara independen namun saling bekerja sama. Dan terakhir adalah combined, di mana fungsi humas disatukan dengan fungsi manajemen yang lain seperti SDM atau pemasaran dalam satu departemen atau bagian tunggal.

Lantas, bagaimanakah humas sebaiknya diterapkan, khususnya dalam hubungannya dengan fungsi-fungsi manajemen yang lain untuk mengoptimalkan kontribusinya dalam mengefektifkan organisasi? Hasil penelitian oleh Grunig dkk yang dibiayai oleh International Association of Business Communicators (IABC) merumuskan 14 generic principles of excellent public relations yang dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Empat di antaranya mencerminkan pentingnya menempatkan humas dalam posisi yang strategis termasuk kaitannya dengan fungsi manajemen yang lain (Grunig dan Grunig, 1998; Rhee, 2004) :

(33)

a. Humas sebaiknya ditempatkan dalam struktur organisasi sehingga ia memiliki akses dengan pembuat kebijakan utama yang menangani manajemen strategis dalam organisasi.

b. Semua program komunikasi sebaiknya dikoordinasikan dan diprogramkan oleh humas.

c. Humas sebaiknya tidak disub-ordinasi pada fungsi manajemen yang lain. d. Humas sebaiknya memiliki struktur horisontal yang mampu merefleksikan

publik strategis yang dikelolanya.

Berdasarkan empat prinsip generik humas di atas, peneliti berasumsi bahwa posisi coordinated dimana humas dan fungsi manajemen yang lain dapat bergerak secara independen namun saling bekerjasama merupakan posisi yang paling tepat. Sebab, humas tidak mendominasi namun juga tidak didominasi fungsi manajemen yang lain. Selain itu, faktor saling bekerjasama dengan fungsi manajemen yang lain mengindikasikan adanya koordinasi tujuan yang ingin dicapai sehingga masing-masing fungsi manajemen saling mendukung untuk terwujudnya pencapaian yang ingin diraih organisasi.

G. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian ini memuat metode, lokasi, desain, penentuan informan, teknik pengumpulan data, metode analisis data, hingga limitasi penelitian.

(34)

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Sebab, penelitian ini menekankan pada sifat realita yang terbangun secara sosial, hubungan yang erat antara peneliti dengan subyek yang diteliti, dan tekanan situasi yang membentuk penyelidikan. Selain itu, metode studi kasus sendiri digunakan karena sesuai dengan tujuan penelitian ini yang menekankan pada upaya mengkaji konteks penerapan model humas PPA secara empiris melalui proposisi – proposisi dari teori model-model humas dan bukan untuk menguji teori itu sendiri. Itulah sesebabnya, gambaran detail mengenai latar belakang dan sifat dari kasus yang diteliti menjadi sangat penting. Untuk sampai kepada tujuan penelitian, gambaran yang mendetail tersebut kemudian dikonstruksi guna memperoleh deskripsi dan penjelasan atas pertanyaan penelitian.

Di samping itu, pokok pertanyaan yang diajukan adalah dalam bentuk “bagaimana” dan “mengapa”. Pertanyaan bagaimana akan diarahkan kepada serangkaian peristiwa kontemporer di mana peneliti hanya memiliki peluang yang kecil atau bahkan tidak memiliki peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut. Artinya, peneliti tidak berpeluang melakukan kontrol terhadap peristiwa yang telah terjadi.

Selain itu, peneliti berupaya membandingkan antar kasus yang diteliti. Artinya, dalam penelitian ini, peneliti akan membandingkan penerapan humas oleh PPA sebelum dan sesudah pengalihan mekanisme kehumasan dari Lembaga Humas dan Penerbitan kepada bagian fungsi sekretaris paska Muktamar Ke-46. Metode perbandingan dalam studi kasus ini dilakukan agar peneliti bisa

(35)

memusatkan perhatian hanya pada atribut-atribut khusus yang sedang diperbandingkan sekaligus mengabaikam informasi-informasi lain yang tidak perlu tentang suatu kasus. Penelitian dengan metode studi kasus ini sendiri bersifat deskriptif, di mana peneliti mendalami faktor-faktor yang menjadi bagian dari peristiwa yang terjadi dan menggambarkannya melalui tulisan.

Hasil perbandingan penerapan tersebut kemudian dievaluasi dengan pertanyaan “mengapa”. Pertanyaan tersebut diarahkan untuk mengetahui serangkaian kondisi dan pemikiran yang mendorong penerapan humas PPA pada model tertentu.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan pada kantor pusat ‘Aisyiyah yang berlokasi di Jl. KH. A. Dahlan 32, Yogyakarta. Sebab, seluruh kegiatan administratif dan manajerial lebih banyak dilakukan dari kantor ini meskipun ‘Aisyiyah pusat juga memiliki kantor di Jakarta.

3. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain studi kasus tunggal. Desain studi kasus tunggal dipilih karena peristiwa sublimasi humas pada PPA ini merupakan kasus yang unik, jarang dan memiliki unsur longitudinal. Rentang waktu dua periode kepemimpinan PPA dengan eksistensi humas pra Muktamar ke-46 dan sub-ordinasi humas pada periode sesudahnya

(36)

menunjukkan kuatnya unsur longitudinal pada kasus ini yang sukar untuk dicari kesamaannya dengan lembaga lain yang sejenis. Apalagi dalam rentang 10 tahun ini, sejauh penelusuran peneliti pada organisasi sosial keagamaan perempuan di Indonesia yang menjadi anggota KOWANI, baru ‘Aisyiyah dan Wanita Islam yang memiliki bagian humas dalam struktur kepemimpinannya di tingkat pusat. Hal ini membuat kasus perubahan kelembagaan humas pada PPA tidak hanya memiliki unsur longitudinal tapi juga jarang ditemui. Selain itu, keunikan kasus ini dapat digambarkan dari sisi waktu, tempat dan fenomena, sebagai berikut:

a. Dari sisi waktu, keputusan untuk mensub-ordinasi fungsi Lembaga Humas dan Penerbitan pada bagian sekretaris itu justru terjadi saat representasi dari organisasi sosial keagamaan perempuan ini akan menapaki usianya yang ke-1 abad. Satu abad rentang waktu yang telah dilewati tersebut tentu juga menunjukkan beragamnya relasi komunikasi yang perlu dibangun dengan beragam stakeholder. Meskipun demikian, setelah berpengalaman memiliki Lembaga Humas dan Penerbitan selama satu periode, PPA justru meniadakan lembaga yang semestinya membangun dan mengembangkan beragam komunikasi tersebut pada periode kepemimpinan 2010-2015.

b. Dari sisi tempat, sub-ordinasi fungsi humas itu terjadi pada kepemimpinan paling puncak dari organisasi ini. Lazimnya, pimpinan puncak memiliki komposisi paling purna dan lengkap dalam suatu organisasi. Sebab, segala urusan dari tingkat ranting, cabang, daerah hingga wilayah akan bermuara pada pimpinan pusat. Namun, sebagai organisasi yang dipandang mampu merepresentasikan gerakan sosial keagamaan perempuan di Indonesia,

(37)

Lembaga Humas dan Penerbitan yang sebelumnya ada dalam struktur, justru ditiadakan dalam periode 2010-2015 ini. Konsekuensinya, susunan kepemimpinan pada tingkat wilayah dan daerah, cabang maupun ranting tentu akan menginduk pada tingkat pusat, baik sebagian maupun keseluruhannya. Organisasi perempuan dengan puluhan ribu amal usaha praksis seperti ‘Aisyiyah tentu memiliki fenomena tersendiri yang menarik untuk dikaji terkait hal itu.

c. Dari sisi wacana, subordinasi lembaga yang menangani bagian humas tersebut terjadi saat wacana soal pentingnya PR bagi organisasi non profit semakin menguat. Meskipun demikian, organisasi ini juga tetap terjaga eksistensinya dalam masyarakat. Khususnya bila dilihat dari tidak adanya arus penolakan publik yang disiarkan oleh media massa. Hal ini tentu berpotensi untuk menimbulkan kesenjangan tersendiri antara teori dan praktik sehingga diperlukan upaya pengkajian yang lebih mendalam.

Adapun kriteria untuk menilai kualitas desain penelitian terdiri atas beberapa komponen berikut:

a. Konstruk validitas: dilakukan dengan menggunakan beberapa sumber data yang diperoleh melalui penggunaan lebih dari satu teknik pengumpulan data (triangulasi metode) dan penelusuran informan-informan kunci.

b. Validitas eksternal: dilakukan dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis pada studi kasus tunggal. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah The Hunt Grunig Model yang sudah disempurnakan

(38)

penelitian yang digunakan, penelitian ini lebih ditujukan untuk menguji konteks dari kasus yang dikaji, bukan untuk menguji dari teori.

c. Reliabilitas: dilakukan dengan menggunakan protokol studi kasus yang memuat urutan atau jadwal penelitian saat melakukan pengumpulan data.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk ketajaman analisis, peneliti menganggap sumber data dari dokumentasi wawancara, dan observasi merupakan sumber data yang paling relevan untuk digunakan sebagai sumber data utama. Sebab, upaya mendapatkan data tersebut secara administratif relatif lebih memungkinkan daripada sumber lain. Secara rinci dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Dokumentasi: merupakan instrumen pengumpulan data dengan menelusuri dokumen baik dokumen publik maupun dokumen privat. Dokumentasi ini akan digunakan peneliti untuk menelusuri dokumen baik arsip-arsip publik maupun privat organisasi yang terkait dengan penerapan humas pada PPA. Panduan pertanyaan dalam wawancara di atas juga menjadi panduan dalam dokumentasi. Sebagai rancangan awal, identifikasi dokumen-dokumen yang akan dikumpulkan mencakup dokumen-dokumen berikut:

1. Biografi ataucurriculum vitaepara informan. 2. Struktur kepemimpinan organisasi.

(39)

4. Keputusan – keputusan Rapat Pleno II – V periode 2010 – 2015 yang memuat sublimasi Lembaga Humas dan Publikasi.

5. Buku telepon anggota publik PPA.

6. Program PPA periode 2005-2010 dan 2010 – 2015.

7. Laporan pertanggungjawaban Lembaga Humas dan Publikasi PPA pada Muktamar ke-46.

8. News Releaseorganisasi.

9. Material tercetak organisasi seperti brosur atau leaflet.

b. Wawancara: Penelitian ini akan menggunakan wawancara semi terstruktur. Wawancara terstruktur ditujukan untuk mendapatkan data yang akurat dari karakteristik yang dapat dikodekan guna menjelaskan perilaku yang telah dikategorikan sebelumnya. Sedangkan wawancara tak terstruktur digunakan untuk memahami kompleksitas perilaku anggota masyarakat tanpa adanya kategori absolut yang dapat membatasi kekayaan data yang bisa diperoleh. Maka, wawancara semi terstruktur merupakan penggabungan dari wawancara terstruktur dan tidak terstruktur. Artinya, meskipun periset telah memiliki haluan pertanyaan seperti yang tercantum dalam kerangka pemikiran di atas, namun pertanyaan tersebut bersifat terbuka. Hal ini memungkinkan bagi informan untuk bebas menyampaikan pendapat. Selain itu, periset juga dapat memberikan pertanyaan di luar haluan yang telah ditetapkan sebagai tanggapan dari respon informan.

c. Observasi: pengamatan terencana yang dilakukan peneliti pada latar penelitian ini menggunakan observasi langsung. Jenis observasi ini dipilih

(40)

dengan pertimbangan bahwa jenis situasi yang akan diamati tidak sepenuhnya bersifat historis, sehingga peneliti dapat memfokuskan pengamatan pada situasi-situasi tertentu. Selain itu, kontrol peneliti dapat diminimalisir melalui jenis observasi langsung ini, sehingga diharapkan dapat mengurangi bias pada hasil yang mungkin didapat. Adapun hasil observasi akan dikumpulkan dalam kartu data seperti berikut ini:

GAMBAR 1. KARTU DATA

Sebagai rancangan awal, identifikasi peristiwa yang akan diobservasi meliputi suasana kerja kantor PPA, rapat pimpinan organisasi, dan pengelolaan media organisasi.

5. Penentuan Informan

Sumber informasi dalam penelitian ini adalah para pihak terkait dengan obyek penelitian. Mereka yang berperan sebagai pengambil kebijakan organisasi sampai kepada mereka yang memiliki andil inisiatif dalam mendesain dan

KARTU DATA No: Hari/Tanggal: Waktu: Tempat: Pelaku: Peristiwa:

(41)

menjalankan humas, termasuk di dalamnya. Pada level pimpinan organisasi, informan utama dalam penelitian ini adalah mantan anggota Lembaga Humas dan Publikasi, sekretaris umum, hingga sekretaris yang bertanggungjawab terhadap pelaksanan humas. Informan pendukung terdiri atas para pimpinan maupun sumber lain yang dianggap relevan terkait dengan penerapan humas oleh PPA pra dan paska Muktamar ke-46 sesuai dengan kebutuhan peneliti saat berada di lapangan. Secara spesifik, berdasarkan penelusuran awal peneliti, para informan dari jajaran eksekutif puncak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Chamamah Soeratno: Saat ini mengemban amanah sebagai ketua PPA yang berkonsentrasi pada hubungan luar negeri. Meskipun demikian, ia adalah ketua umum PPA pra Muktamar ke-46 yang bertugas untuk mengendalikan organisasi secara keseluruhan termasuk humas.

b. Siti Noordjannah Djohantini: Saat ini mengemban amanah sebagai ketua umum PPA yang bertugas mengendalikan organisasi secara keseluruhan termasuk sekretaris yang menangani mekanisme pelaksanaan humas paska Muktamar ke-46.

c. Dyah Siti Nur’aini: Saat ini mengemban amanah sebagai sekretaris umum yang bertanggungjawab mengelola mekanisme humas sesuai dengan keputusan pleno pertama paska Muktamar ke-46.

d. Trias Setiawati: Saat ini mengemban amanah sebagai sekretaris yang secara khusus menangani mekanisme pelaksanaan humas.

e. Twediana Budi Hapsari: Saat ini tidak terlibat dalam kepengurusan ‘Aisyiyah tingkat pusat. Namun, pra Muktamar ke-46, ia merupakan anggota

(42)

aktif lembaga humas dan publikasi. Mantan Ketua Lembaga Humas dan Publikasi sendiri, Siti Hariti Sastriani, sudah meninggal dunia pada trimester pertama tahun 2012.

f. Witriani: Saat ini mengemban amanah sebagai anggota lembaga pengembangan dan penelitian. Namun, seperti Hapsari, ia merupakan anggota aktif lembaga humas dan publikasi sebelum Muktamar ke-46.

Keseluruhan informan di atas tidak bersifat baku. Pada saat penelitian berlangsung, informan yang diwawancara bisa saja berubah dengan menghormati faktor tanggung jawab informan pada organisasi maupun rekomendasi dari informan awal yang diwawancara.

6. Metode Analisis Data

Peneliti sebagai instrumen pokok penelitian akan mendeskripsikan secara konstruktif data yang dikumpulkan untuk kemudian dianalisis guna mengetahui bagaimana model – model humas diterapkan oleh PPA, pra dan paska Muktamar ke-46. Dengan kata lain, penelitian ini mengikuti kajian secara konstruktivis yang dikembangkan oleh para peneliti kasus yang bercorak naturalistik. Hal ini memungkinkan periset untuk menggabungkan deskripsi objektif dan interpretasi personalistik dalam menganalisis data, disertai dengan sikap hormat dan rasa keingintahuan serta sikap empatik pada fenomena yang sedang diteliti.

(43)

Secara umum strategi analisis studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah penyandaran pada proposisi – proposisi teoritis (relying on theoretical propositions). Proposisi – proposisi teoritis utama dalam penelitian ini merujuk pada The Hunt Grunig Model yang sudah dioperasionalisasikan pada kerangka pemikiran di atas. Proposisi – proposisi tersebut akan membantu peneliti dalam memprioritaskan data yang dianalisis untuk dikategorikan dalam dimensi – dimensi penerapan humas, digolongkan dalam tipologi atau model tertentu dan dikaji latar belakangnya. Meskipun demikian, dalam proses analisis penelitian ini juga tetap terbuka terhadap perspektif teoritis yang lain jika fakta di lapangan ternyata berbeda sama sekali dengan proposisi-proposisiThe Hunt Grunig Model.

Secara khusus, teknik yang digunakan adalah pattern matching di mana peneliti memasukkan data yang terkumpul dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan kemiripan pola – pola data tersebut dengan teori yang dirujuk untuk kemudian diinterpretasi dan diambil kesimpulannya. Secara detail, tahap – tahap pengolahan analisis data tersebut terdiri atas:

a. Editing: pada tahap editing, data yang telah terkumpul ditranskrip dan dibaca kembali dengan memperhatikan kelengkapan dan kesempurnaan data, kejelasan tulisan, pemahaman catatan, konsistensi data, keseragaman satuan yang digunakan dalam data dan kesesuaian jawaban.

b. Koding: pemberian kode pada data untuk memudahkan analisis. Dalam hal ini, data yang telah terkumpul diberi kode atau dimasukkan dalam kategori tertentu. Peneliti menggunakan tiga kategori dan empat sub-kategori. Tiga kategori tersebut adalah model penerapan humas, faktor – faktor yang

(44)

mempengaruhi penerapan humas serta karakteristik tambahan penerapan humas PPA yang tidak termasuk dalam kategori sebelumnya. Adapun empat sub-kategori terdiri atas empat dimensi penerapan humas yakni komunikasi satu arah versus dua arah, efek komunikasi asimetris versus asimetris, bentuk komunikasi interpersonal versus termediasi dan dimensi etis.

c. Tabulasi data: penyajian atau diskripsi data dalam bentuk tabel atau daftar yang mendiskripsikan data secara kronologis berdasarkan kategori-kategori yang telah dibuat untuk memudahkan pengamatan dan evaluasi.

d. Interpretasi data: penafsiran yang dilakukan dengan menghubungkan data mengenai pola-pola penerapan humas yang sudah diperoleh dengan teori – teori terkait topik penelitian yang diadaptasi.

e. Kesimpulan: pemberian konklusi atas interpretasi data sebagai hasil penelitian.

7. Limitasi Penelitian

Agar lebih fokus dan terarah, peneliti membatasi penelitian ini pada penerapan humas oleh Lembaga Humas dan Penerbitan (LHP) pra Muktamar Ke-46 dan oleh sekretaris PPA paska Muktamar ke-46. Dalam hal ini, pelaksanaan humas oleh sekretaris PPA atau paska Muktamar Ke-46 tersebut ditandai dengan keluarnya keputusan rapat pleno yang mensub-ordinasi tugas-tugas LHP pada sekretariat PPA pada Juli 2010 hingga peneliti turun ke lapangan untuk melakukan penelitian. Dengan demikian, hal sejenis yang

(45)

mungkin dilakukan selain oleh ‘Aisyiyah tingkat pusat, seperti Pimpinan Wilayah, Daerah, Cabang maupun Ranting ‘Aisyiyah lewat beragam bagian strukturnya, tidak termasuk dalam lingkup yang akan dijangkau oleh penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga tidak menjangkau pelaksanaan humas yang bisa jadi juga dilakukan oleh bagian lain dalam struktur PPA di luar LHP dan sekretaris.

Gambar

GAMBAR 1. KARTU DATA

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Walikota Yogyakarta tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta

Selain KTI terbit dalam bentuk buku apabila peneliti tersebut telah memiliki 1 KTI terbitan majalah ilmiah internasional atau mempunyai penemuan baru atau internasional atau

Sedangkan menurut penulis yaitu setelah melakukan praktek laut atau prola di kapal MT.Sengeti selama satu tahun, pesawat bantu fresh water generator adalah salah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang prediksi harga emas berdasarkan variable London Gold price, kurs USD - IDR, IHSG, inflation rate, dan return

Tugas Karya Seni yang berjudul “Problematika Sepakbola Indonesia sebagai Sumber Inspirasi Lukisan” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-1

Sedangkan sistem E-Procurement ini diharapkan dapat mengatasi masalah yang terdapat pada proses pengadaan tradisional tersebut, seperti melancarkan akses informasi,

Kristal tunggal yang didapatkan adalah kristal tunggal PCA bentuk 1 yang dikonfirmasi menggunakan PXRD dan difraktogram yang dihasilkan memiliki puncak pada 2θ yang sama

Dilihat dari kerangka konsep bahwa pengetahuan ibu sangat penting untuk mengambil sikap dan perilaku Ibu dalam pengolahan bahan makanan dan bagaimana cara memberikan