BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan Negara yang menganut paham nomokrasi atau negara hukum, yaitu paham yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi sekaligus menempatkan hukum sebagai dasar dalam melakukan penyelenggaraan negara. Hal tersebut ditegaskan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi : Negara Indonesia merupakan negara hukum.
Dalam konsepsi sebuah negara hukum, terdapat ciri-ciri yang menandakan bahwa negara tersebut merupakan negara hukum. Frederick Julius Stahl sebagaimana yang dikutip oleh Jimly Asshidiqqie memberikan empat ciri Negara hukum, yaitu : perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pembagian kekuasaan, pemerintahan yang berdasarkan undang-undang, dan adanya peradilan tata usaha negara.
1Dalam beberapa tahun terakhir Indonesia mengalami masa-masa sulit dalam hal perekonomian, khususnya pasca krisis global. Hal tersebut tidak hanya berdampak dengan meningkatnya angka kemiskinan, bersamaan dengan ini tingkat kejahatanpun semakin meningkat. Bahkan pelaku kejahtan saat ini justru sudah umum untuk dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Rumah dan keluarga yang dianggap sebagai tempat paling aman dan nyamanpun kini
1
Jimly Asshidiqqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
hlm. 122.
didalamnya tidak terlepas dari terjadinya tindak kejahatan bahkan saat ini telah muncul istilah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT yang dilakukan khususnya terhadap perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Pada umumnya, orang berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern rumah tangga, jadi merupakan hal yang bersifat tabu apabila ada campur tangan dari pihak di luar lingkup keluarga tersebut yang ikut terlibat dalam masalah yang sedang terjadi pada kehidupan rumah tangga.
Upaya penanggulangan KDRT yang tepat dan efektif tidak hanya ditujukan untuk melidungi individu-individu dalam rumah tangga, tetapi juga merupakan bentuk perlindungan kepada masyarakat, karena kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan suatu bagian dan kesatuan dari upaya perlindungan masyarakat (social deffense) dan upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
2Upaya penanggulangan kejahatan secara garis beras dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui sarana penal (hukum pidana) dan sarana non penal (di luar hukum pidana). Upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana penal menitikberatkan pada pemberantasan kejahatan sesudah kejahatan itu terjadi atau bersifat represif, sedangkan upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana non penal lebih menekankan pada usaha pencegahan agar kejahatan tidak terjadi atau bersifat preventif.
2
Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, hlm. 4.
Dalam mengatasi kejahatan sanksi hukum berupa sanksi pidana merupakan sanksi yang paling efektif dalam menangani dan/atau menanggulangi kejahatan. Meskipun demikian dalam hukum pidana dikenal adanya asas yakni hukum pidana sebagai suatu upaya terakhir (ultimum remidium). Artinya bahwa sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak bisa menanganinya. Dengan kata lain, sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir, setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif. Hukum pidana diberlakukan sebagai ultimum remidium agar selain memberikan kepastian hukum, juga agar proses hukum pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap korban maupun terhadap pelaku itu sendiri.
Penjatuhan sanksi pidana bukanlah satu-satunya solusi terbaik dalam menyelesaikan perkara pidana khususnya tentang suatu tindak pidana KDRT yang menimbulkan kerusakan yang dapat di restorasi kembali atau dapat dikembalikan ke keadaan semula. Restorasi tersebut memungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku, paradigma seperti ini biasa dikenal dengan restorative justice, dimana pelaku memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkan
dari tindak kejahatan yang dilakukkannya kepada korban, keluarga dan juga masyarakat.
3Dalam hal ini penyelesaian perkaranya tidak harus dilanjutkan ke pengadilan. Untuk restorative justice ini dapat diimplementasikan melalui penyelesaian perkara dengan ADR (Alternative Dispute Resolution) seperti diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
3
Kuat Puji Prayitno. 2010. Restorative Justice untuk Sistem Peradilan Pidana Indonesia
(Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto).Jurnal Dinamika Hukum,
Universitas Jendral Soedirman, hlm 107.
Penyelesaian Sengketa. ADR (Alternative Dispute Resolution) merupakan penyelesaian suatu perkara diluar peradilan melalui upaya damai yang mengedepankan prinsip win-win soltion yaitu kedua belah pihak yang berperkara sama-sama merasa menang dan tidak ada yang merasa dikalahkan.
4Kondisi peradilan di Indonesia seringkali mengalami permasalahan seperti lambatnya proses penyelesaian perkara, banyaknya manipulasi selama proses peradilan dan biaya perkara yang relatif mahal, oleh karena itu penyelesaian perkara yang dilakukan tanpa melibatkan lembaga peradilan diharapan kedua belah pihak sama-sama berposisi sebagai pemenang dengan kata lain tidak ada diantara kedua belah pihak yang merasa dirugikan. Umumnya cara ini digunakan untuk sengketa perkara-perkara di bidang keperdataan terutama dalam hubungan bisnis, sehingga kemudian digunakan ADR (Alternative Dispute Resolution) seperti mediasi, negosiasi, dan rekonsiliasi. Dalam perkembangannya saat ini mediasi juga digunakan dalam perkara-perkara pidana tertentu di bidang hukum pidana salah satunya adalah perkara KDRT, mediasi dalam bidang hukum pidana ini lebih dikenal sebagai mediasi penal. Penyelesaian melalui mediasi menitik beratkan pada kesepakatan hasil musyawarah mufakat dari para pihak terkait.
Pemulihan pelaku dan korban pada perkara KDRT berfokus pada penyembuhan luka (to restore) yang diderita oleh korban, bukan bertujuan untuk balas dendam (an eye for an eye).
5Hal tersebut dimaksudkan guna menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup rumah tangga yang didalamnya terdapat anak-
4
Ibid,hlm. 108
5
Fatahillah A.Syukur, 2011, Mediasi Perkara KDRT Teori dan Praktek Di Pengadilan Indonesia,
CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 10.
anak hasil buah perkawinan yang sudah tentu masih memerlukan kasih sayang, dan nafkah dari kedua orang tuanya.
Dalam lingkup ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, KDRT seringkali diajukan sebagai dasar alasan perceraian di Pengadilan. Terjadinya perceraian dalam hubungan perkawinan akan menimbulkan banyak dampak negatif terutama bagi anak dan istri terutama terkait dengan hak-hak mereka setelah putusnya hubungan perkawinan. Untuk mencegah timbulnya dampak negatif tersebut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Pasal 34 ayat (1) telah mengatur mengenai ketentuan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pegadilan jika Pengadilan telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak namun tidak berhasil. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi juga mengharuskan perkara yang masuk Pengadilan Negeri wajib mengupayakan mediasi terlebih dahulu sebelum perkara diperiksa.
Seiring dengan diterbitkanya Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (PERKAP) No. 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar
Strategi Dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam penyelenggaraan Tugas
POLRI dan Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui ADR, maka Kepolisian
sebagai lembaga terdepan dalam melindungi dan mengayomi masyarakat
memiliki tugas penting dalam mengupayakan penyelesaian kasus pidana melalui
mediasi, termasuk juga dalam penanganan perkara KDRT. Untuk itu pihak
kepolisian berperan dalam penerapan penyelesaian perkara yang cepat dan hemat biaya dengan melakukan tindakan diskresi.
Polisi sebagai salah satu dari aparat penegak hukum yang merupakan salah satu bagian dari sistem penegakan hukum di Indonesia mempunyai peranan penting sebagai pemelihara keamanan, ketertiban masyarakat, juga sebagai salah satu alat penegak hukum dalam proses pidana. Fungsi kepolisian menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia adalah “Salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Selain itu fungsi Kepolisian juga bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yaitu terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Tujuan tersebut tercantum dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Peristiwa kekerasan dalam rumah tangga pada masa ini sudah sering
dijumpai kasusnya di lingkungan sekitar, salah satunya di wilayah hukum Polres
Magelang. Data yang penulis peroleh dari Polres Magelang dalam kurun waktu
tahun 2012 sampai tahun 2016 per bulan April mencatat adanya 17 laporan yang
diterima, 16 laporan tersebut diselesaikan tanpa dilimpahkan kepada penuntut
umum, dan hanya 1 kasus yang sampai kepada tahap pelimpahan berkas kepada penuntut umum.
6Berdasarkan latar belakang diatas penulis mengambil judul penelitian
“Tindakan Diskresi Oleh Penyidik Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi landasan penyidik Polres Magelang dalam melakukan tindakan diskresi terhadap perkara KDRT ?
2. Bagaimana mekanisme penyelesaian tindak pidana KDRT melalui diskresi yang dilakukan oleh penyidik Polres Magelang ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah :
1. Untuk mengetahui landasan tindakan diskresi yang dilakukan oleh penyidik Polres Magelang dalam melakukan tindakan diskresi terhadap perkara KDRT.
2. Untuk mengetahui tentang mekanisme penyelesaian tindak pidana KDRT melalui diskresi yang dilakukan oleh aparat kepolisian Polres Magelang.
6
Data sekunder Polres Magelang diolah 15 Maret 2016.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian dan tujuan yang ingin dicapai dengan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi atau wawasan serta memberikan masukan bagi perkembangan kajian dalam ilmu hukum utamanya hukum pidana. Selain itu dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang sedang diteliti dalam hal ini mengenai dasar pertimbangan polisi dalam melakukan diskresi terhadap penyelesaian suatu perkara pidana KDRT diluar peradilan di Polres Magelang.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran yang mungkin bisa dijadikan salah satu masukan pertimbangan kepada penyidik dalam melakukan diskresi terhadap penyelesaian suatu perkara pidana KDRT di Polres Magelang.
E. Keaslian Penelitian
Untuk mengetahui keaslian dari penelitian dalam Penulisan Hukum ini,
Penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan di perpustakaan Hukum
Universitas Gadjah Mada. Penulisan Hukum dengan judul, “Tindakan Diskresi
Oleh Penyidik Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga”, belum pernah dilakukan. Penelitian yang sudah pernah dilakukan pada topik dengan objek KDRT adalah sebagai berikut:
1. Penelitian sejenis dengan topik KDRT pernah dilakukan pada tahun 2013 oleh Wahyu Putri Kartikasari dengan judul “Perlindungan Hukum Anak sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Kabupaten Magelang”.
7Penelitian tersebut dengan mengangkat rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak yang merupakan korban KDRT di Kabupaten Magelang
b. Hambatan apa saja yang timbul dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban KDRT di Kabupaten Magelang
Pada penelitian tersebut memuat hasil kesimpulan bahwa pelaksanaan hukum terhadap KDRT di Kabupaten Magelang dilakukan atas dasar kerjasama dari pihak pemerintah, aparat-aparat penegak hukum, serta masyarakat. Kerjasama ini diwujudkan dengan adanya jaringan koordinasi antara para pihak yang menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tergabung dalam pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) Kabupaten Magelang.
2. Penelitian sejenis dengan topik KDRT juga dilakukan oleh Mia Adiana pada tahun 2014 dengan judul “Kebijakan Penal Upaya penanggulangan Pidana KDRT di Kabupaten Banjarnegara (studi kasus kekerasan
7
Wahyu Putri Kartika Sari, 2014, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban KDRT di
Kabupaten Magelang, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
seksual)”.
8Dalam penelitian tersebut megangkat rumusan masalah sbagai berikut :
a. Bagaimana pelaksanaan kebijakan penanggulagan tindak pidana kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga dengn menggunakan sarana penal di Kabupaten Banjarnegara.
b. Bagaimana kendala-kendala dalam pelaksanaan kebijakan penal dalam penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga di Kabupaten Banjarnegara.
Pada penelitian tersebut diatas memuat hasil kesimpulan bahwa upaya penanggulangan tindak pidana kekerasan seksual alam lingkup rumah angga di kabupaten banjarnegara dengan sarana huum pidana yang dilakukan oleh kepolisian esort kabupaten banjarnegara, kejaksaan negeri banjarnegara, dan pengadilan negeri banjarnegara telah berjalan cukup optimal.
3. Penelitian sejenis dngan topik KDRT juga dilakukan oleh Yuni Iswantoro pada tahun 2016 dengan rhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga judul “Penerapan Mediasi Penal Oleh Penyidik di Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta”.
9Dalam penelitian tersebut mengangkat rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah penerapan mediasi penal dalam kasus-kasus tindak pidana KDRT yang diangani oleh penidik di POLDA D.I Yogyakarta
8
Mia Adiana, 2013, “Kebijakan Penal Upaya Penangulangan Pidana KDRT di Kabupaten Banjarnegara (Studi Kasus Kekerasan Seksual), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah mada, Yogyakarta.
9