• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional tetapi sudah menjadi internasional, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkup seperti sekarang ini, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim, dan bahkan juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara.

Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, luas dan akibat yang ditimbulkannya, walaupun dampak akhirnya adalah menimbulkan kesengsaraan rakyat. Di negara miskin korupsi mungkin menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi dan menggerogoti keabsahan politik yang akibat selanjutnya dapat memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Di negara maju korupsi mungkin tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya, tetapi juga korupsi dapat menggerogoti keabsahan politik di negara demokrasi yang maju industrinya, sebagaimana juga terjadi di negara berkembang. Korupsi mempunyai pengaruh yang paling menghancurkan di negara-negara yang sedang mengalami transisi seperti Indonesia, apabila tidak

(2)

dihentikan, korupsi dapat menggerogoti dukungan terhadap demokrasi dan sebuah ekonomi pasar.1

Masalah korupsi merupakan masalah yang mengganggu, dan menghambat pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di masa terjadinya krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus menerus pada saat ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Korupsi pada saat ini maupun untuk masa yang akan datang merupakan ancaman serius yang dapat membahayakan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa pada umumnya, dan khususnya Bangsa Indonesia sehingga kejahatan korupsi selayaknya dikategorikan sebagai kejahatan yang membahayakan kesejahteraan bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita sebagai berikut:

Menempatkan korupsi dalam posisi tersebut bukanlah tidak beralasan dan kecenderungan ke arah tersebut sudah dimulai oleh organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) lembaga ini (OECD) telah mengambil inisiatif dan berhasil mempertemukan visi dan misi para anggotanya dalam pemberantasan korupsi dan diwujudkan dalam suatu perjanjian yang disebut

“The OECD Anti Corruption Treaty” yang ditandatangani oleh 29 (dua puluh sembilan) anggota dan 3 (tiga) negara di Amerika Selatan dan 2 (dua) negara di Eropa. Perjanjian ini berlaku efektif sejak bulan Desember 1998.2

1

Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 1-2.

2

Romli Atmasasmita, “Prospek Penanggulangan Korupsi di Indonesia Memasuki Abad XXI: Suatu Reorientasi atas Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia”, Disampaikan dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya dalam Ilmu Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, 25 September 1999, hlm. 5.

(3)

Upaya pemberantasan korupsi telah mulai direalisasikan dalam kerangka yuridis pada masa pemerintahan Habibie dengan keluarnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasan pergantian Undang-Undang Korupsi dari UU No. 3 Tahun 1971 menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam diktum UU No. 31 Tahun 1999 sebagai berikut:

Bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.3

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga telah diubah menjadi Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam era reformasi dewasa ini, upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi beserta penjatuhan pidana bagi pelakunya mengalami perkembangan dengan makin mencuatnya wacana penjatuhan pidana mati bagi koruptor. Banyak pro dan kontra tentang pemberlakuan pidana mati untuk kasus korupsi ini. Pro dan kontra pidana mati ini memberikan pendapat yang berbeda-beda. Ada pembela pidana mati itu perlu untuk menjerakan dan menakutkan penjahat, dan relatif tidak menimbulkan

3

Indonesia, Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Diktum No. c.

(4)

sakit jika dilaksanakan dengan tepat. Yang menentang pidana mati antara lain mengatakan bahwa pidana mati dapat menyebabkan ketidakadilan, tidak efektif sebagai penjera, karena sering kejahatan dilakukan karena panas hati dan emosi yang di luar jangkauan dan kontrol manusia.

Di Indonesia, penerapan pidana mati sendiri sebenarnya sudah diatur di dalam undang-undang. Pasal 2 ayat (2) UU No. 20 tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan". Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Romli Atmasasmita berpendapat bahwa penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi efektif diterapkan di Republik Rakyat Cina (RRC), dan ternyata cukup berhasil dalam rangka mengurangi tindak pidana korupsi. Hal ini tentunya dapat dijadikan contoh untuk Indonesia dalam menjatuhkan pidana mati bagi koruptor-koruptor.4

4

Romli Atmasasmita, Sosialisasi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme, Disampaikan dalam Diskusi Panel di Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, 19 Juli 2000.

(5)

Berkenaan dengan penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Republik Rakyat Cina, Presiden Republik Rakyat Cina Jiang Zemin menggambarkan sebagai kanker ganas yang menggerogoti tubuh pemerintah dan politik luar negeri, karena itulah Cina dalam beberapa tahun terakhir sangat giat melancarkan perang terhadap korupsi.

Efektivitas penerapan pidana mati didasarkan juga pada alasan bahwasannya pidana mati itu lebih pasti dan tertentu dari hukuman penjara, karena hukuman penjara sering diikuti dengan kemungkinan melarikan diri karena pengampunan ataupun karena adanya pembebasan. Pidana mati sering dipertahankan, karena pada dasarnya pidana mati memakan ongkos yang jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan hukuman penjara seumur hidup.5

Alasan yang pro terhadap pidana mati antara lain dikemukakan oleh De Bussy yang membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus. Bahaya terhadap gangguan ketertiban hukum di Indonesia adalah lebih besar. Hazewinkel Suringa berpendapat bahwa pidana adalah suatu alat pembersih radikal yang pada masa revolusioner dapat dipergunakan. Van Veen menganggap pidana mati sebagai alat pertahanan bagi masyarakat yang sangat berbahaya dan juga pidana mati dapat dan boleh dipergunakan sebagai alat demikian.6

5

Ibid., hal. 75.

6

(6)

Selain argumentasi yang pro terhadap pidana mati, tidak sedikit pula yang kontra terhadap pidana mati untuk koruptor. Di Indonesia sendiri, walaupun sudah diatur secara jelas di dalam perundang-undangan, namun sampai saat ini tidak ada implementasinya. Pihak yang kontra terhadap pidana mati pada umumnya menghubungan penjatuhan tindak pidana mati dengan hak hidup dan kemanusiaan.

Keterkaitan pidana mati dengan hak asasi manusia (HAM) sangatlah erat, hal ini didasarkan pada satu alasan bahwasannya penjatuhan pidana mati terkait erat dengan hak yang paling asasi bagi manusia. Dalam konteks penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu haruslah dikaji secara mendalam, mengingat penjatuhan pidana mati merupakan pidana yang terberat dalam arti pelaku akan kehilangan nyawanya yang merupakan sesuatu hak yang tak ternilai harganya.

Eksistensi pidana mati sebagai pidana perampasan nyawa sudah digugat dengan timbulnya pendapat-pendapat yang kontra baik berupa pendapat perorangan atau kelompok. Alasan untuk menentang pidana mati yang paling mendasar adalah alasan kemanusiaan yang dilihat dari hak hidup seseorang. Walaupun pidana mati banyak yang menentang namun tidak satupun negara berkembang yang telah menghapuskan pidana mati dari KUHP nya termasuk Indonesia.

Pengakuan terhadap HAM di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan batasan tentang hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia

(7)

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.7

Berbicara mengenai Pidana Mati tidak lepas dari pembicaraan mengenai nyawa manusia, dan berbicara mengenai nyawa manusia yang merupakan Hak Azazi Manusia, berarti berbicara mengenai Penciptanya, dan sebagai manusia yang beragama, kita tidak bisa menutup mata dari hukum tuhan, yaitu agama.

Indonesia terdiri dari masyarakat yang pluralistik, yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Bangsa yang Pluralistik itu telah mengadakan kesepakatan nasional, yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945, sebagai hukum dasar ( fundamental Law ) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Fundamental Law itulah yang merupakan hukum positif tertinggi yang harus dijadikan pegangan tertinggi oleh semua warga negara Indonesia.

Di dalam UUD 1945 Pasal 28J merupakan dasar utama pembenaran pidana mati, sepanjang pidana mati itu memenuhi kriteria yang ada dalam pasal 28J, khususnya yang berkaitan dengan “ untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai agama “, tidak bisa dilepaskan dari kelima sila yang terdapat dalam Pancasila, khusunya sila pertama “

7

Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (HAM), UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1.

(8)

Ketuhanan Yang Maha Esa “, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD 1945 yang ada dalam pembukaan UUD 1945.

Dilihat dari sudut hukum Islam, maka sila pertama dapat dipahami identik dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam, dengan pengertian bahwa dalam ajaran islam diberikan toleransi, kebebasan dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi pemeluk agama-agama lain untuk melaksanakan ajaran agama mereka masing-masing. Segi lain yang perlu dicatat dalam hubungan dengan sila pertama ini ialah bahwa negara Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama. Prinsip yang terkandung dalam sila pertama itu ialah adanya suatu pengakuan bangsa Indonesia terhadap wujud Tuhan. Hal yang terakhir ini ditegaskan oleh Presiden Soeharto pada Dies Natalis kerajaan ke-25 Universitas Indonesia, 15 Februari 1975, dan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, 24 Maret 1975 di Jakarta sebagai berikut: “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan sifat bangsa kita yang percaya bahwa ada kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan kita di dunia sekarang. Ini memberi dorongan untuk mengejar nilai-nilai yang dianggap luhur yang akan membuka jalan bagi kehidupan yang baik di masa nanti itu”8

Salah satu prinsip pengakuan dan perlindungan yang berkaitan dengan martabat manusia itu telah digariskan dalam al-Qur’an, surah al-Isra/17:33, yang artinya:

8

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta,Prenada Media, 2003), hal.196.

(9)

“ Dan janganlah kamu membunuh nyawa yang diharamkan Allah, kecuali dengan suatu alasan yang benar.”

Yang dimaksud dengan “alasan yang benar” dalam ayat itu ialah alasan yang dibenarkan oleh hukum Islam seperti qishas yang merupakan salah satu bentuk hukuman dalam hukum pidana Islam.Dari ayat di atas dapat ditarik suatu garis hukum bahwa manusia dilarang menghilangkan nyawa baik nyawa orang lain maupun nyawanya sendiri (bunuh diri). Disini tampak jelas bahwa hak untuk hidup dan hak atas perlindungan untuk hidup diwajibkan pada penyelenggara negara. Perlu segera dipahami bahwa dalam negara hukum menurut al-Qur’an dan sunnah, manusia hanya memiliki hak untuk hidup dan hak atas perlindungan untuk hidup. Adapun “hak untuk mati” sama sekali tidak dimiliki manusia karena soal kematian setiap manusia adalah wewenang Tuhan.9

Dalam nomokrasi Islam, jaminan perlindungan terhadap nyawa manusia sangat diperhatikan, sebagai tercantum dalam al-Qur’an, surat al-Maidah/5:32 yang artinya:

“ Barangsiapa yang membunuh seseorang manusia karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kekacauan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”. Dari ayat ini dapat ditarik garis hukum yaitu manusia dilarang membunuh sesamanya, kecuali berdasarkan alasan yang dibenarkan hukum islam yaitu qishas.

Menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan qishas dikualifisir sebagai tindakan pidana karena orang yang menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan qishas itu

9

(10)

wajib dijatuhi hukuman mati atau pidana mati. Suatu tindak pidana pembunuhan dalam ayat ini diumpamakan bahwa seoarang pembunuh seakan-akan telah melakukan pembunuhan terhadap seluruh manusia. Logika al-Qur’an di sini terletak pada bahwa manusia itu adalah anggota masyarakat dan membunuh seorang masyarakat berarti juga membunuh keturunannya, karena itu dalam hukum pidana Islam, hukuman mati wajib dijalankan kecuali apabila keluarga korban memaafkannya.10 Penjatuhan pidana mati kepada pelaku tindak pidana merupakan obat terakhir (ultimum remedium), yang hanya dijalankan apabila upaya-upaya lain seperti pencegahan sudah tidak berjalan.

Dari uraian yang dikemukakan di atas maka penerapan pidana mati dengan mendasarkan pada alasan-alasan yang sudah dikemukakan ternyata masih didukung oleh pihak-pihak yang pro dengan alasan bahwa pidana mati masih cukup efektif dan rasional khususnya diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang sangat berat jika tidak dijatuhkan pidana mati akan berakibat lebih buruk terhadap keamanan dan ketentraman di masyarakat. Sedangkan bagi pihak yang kontra menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi.

Pencantuman pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo. UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, tepatnya yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) yang belum terealisasi pada akhirnya menjadi fenomena baru dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia. Dengan semakin maraknya kasus-kasus korupsi dewasa ini serta upaya penyelesaiannya yang kurang maksimal,

10

(11)

tentunya kondisi ini sudah selayaknya menjadi bahan pemikiran khususnya bagi aparat penegak hukum dan pemerintah dalam upaya penegakan korupsi yang serius dan kongkrit sehingga kasus-kasus korupsi yang muncul dewasa ini tidak menjadi komoditas politik semata, tetapi benar-benar dapat diselesaikan melalui prosedur hukum yang transparan dan adil.

Berdasarkan dasar uraian yang penulis kemukakan di muka mengenai permasalahan korupsi, khususnya yang berkaitan dengan kondisi di Indonesia, mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi. Apakah penerapan pidana mati sudah sedemikian urgennya untuk situasi dan kondisi Indonesia sebagai negara dengan angka korupsi yang tinggi di dunia dan apakah penerapan pidana mati sudah berjalan sesuai norma hukum dan agama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji di dalam penulisan Tesis ini mendasarkan pada alasan bahwasanya permasalahan korupsi-korupsi di Indonesia sudah sedemikian parahnya sehingga pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi apakah urgen bagi aparat penegak hukum dalam upaya pencegahan korupsi di Indonesia. Hal ini dikarenakan penjatuhan hukum pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia belum pernah dijatuhkan meskipun sudah mendapat landasan hukum yang kuat dengan telah diaturnya mengenai pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(12)

Mengingat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan pada tanggal 16 Agustus 1999 sehingga dalam penerapannya ditemukan masalah-masalah khususnya dalam hal penerapan sanksi pidananya terutama yang menyangkut pidana mati, karena penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi selain dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku-pelaku tindak pidana korupsi juga dapat menimbulkan kontroversi terutama yang menyangkut hak asasi manusia, karena dengan penjatuhan pidana mati ini tentunya ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup yang merupakan hak yang paling hakiki bagi manusia.

Didasari oleh pemikiran-pemikiran yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Bagaimana penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penerapan pidana mati dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

(13)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis yaitu :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah ilmu pengetahuan pada penegakan hukum positif dalam penanggulangan perilaku anti korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan era kini.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat memberikan masukan bagi Pemerintah sehingga kebijakan yang diambil agar tetap mempertimbangkan aspek kejujuran dalam berprofesi (mental anti korupsi) dalam rangka menciptakan manfaat dan keadilan bagi masyarakat.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan dan secara khusus di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Urgensi Pidana Mati Terhadap Pelaku Korupsi” belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama. Obyek penelitian yang dilakukan merupakan suatu kajian ilmiah dan belum pernah dianalisis secara komprehensif dalam suatu penelitian ilmiah sehingga penelitian ini merupakan sesuatu yang baru dan asli sesuai dengan azas-azas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan transparan untuk kritikan yang bersifat membangun sesuai dengan topik dan permasalahan.

(14)

E. Kerangka Teori dan Konsepsi

a). Kerangka Teori

Kerangka Teoritis dalam penulisan ilmiah berfungsi sebagai pemandu untuk mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum yang dianggap paling relevan.

Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai urgensi penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu batasan atau pengertian dari pidana itu sendiri. Menurut Van Hamel, arti dari pidana adalah:

Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.11

Mengenai pidana yang dapat dijatuhkan, pengaturannya diatur jenisnya dalam Pasal 10 KUHP yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan, pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan, sedangkan pidana tambahan terdiri dari pidana tambahan perampasan

11

(15)

barang-barang tertentu, pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman keputusan hakim.12

Pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang terberat karena objek dan sasarannya adalah nyawa seseorang yang merupakan sesuatu yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya, oleh karena itu setiap manusia, selalu berusaha untuk mempertahankan nyawanya untuk tetap hidup. Pidana mati ditujukan untuk membinasakan penjahat yang dianggap tidak dapat diperbaiki lagi agar kejahatannya tidak ditiru oleh orang lain atau tidak semakin bertambah orang yang dirugikan. Pidana mati biasanya diancamkan secara selektif dan selalu diikuti dengan ancaman pidana lain sebagai alternatifnya.

Berkenaan dengan pidana mati ini Modderman mengatakan bahwa:

Demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan, namun penerapan ini hanya sebagai sarana terakhir dan harus dilihat sebagai wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasa dapat diterapkan.13

Selanjutnya Oemar Seno Adji juga memberikan pendapatnya mengenai penjatuhan pidana mati sebagai berikut :

Selama negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam bahaya, selama tata tertib masyarakat di kacaukan dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan ia masih memerlukan pidana mati.14

12

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hal. 6.

13

J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap

Pembunuhan Berencana, (Jakarta: C.V. Rajawali), hlm. 47.

14

(16)

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan penjatuhan pidana mati sebagai berikut:

Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubungan dengan inilah zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan di muka umum.15

Adapun pengertian korupsi itu sendiri dapat dilihat dari beberapa pendapat antara lain menurut Andi Hamzah dinyatakan sebagai berikut:

Korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.16

Pengertian tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa:

1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Selain yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian

15

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Eresco, 1989), hlm. 9.

16

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 9.

(17)

tindak pidana korupsi juga diatur dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berkenaan dengan tindak pidana korupsi, Muladi dan Barda Nawawi Arief berpendapat:

Tindak pidana korupsi termasuk jenis tindak pidana yang penanggulangannya sangat diprioritaskan, namun diakui termasuk jenis perkara yang sulit penanggulangannya atau pemberantasannya. Kongres PBB Ke-VI mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Effenders pada tahun 1980 mengklasifikasikan jenis tindak pidana korupsi sebagai tipe tindak pidana yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the reach of the law).17

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi memiliki landasan hukum yang kuat karena sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana sudah penulis sebutkan sebelumnya.

Adapun penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi palaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadinya bencana alam nasional,

17

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 134.

(18)

sebagai penanggulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.18

Penjatuhan pidana yang tegas khususnya pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi harus menjadi prioritas utama dalam rangka penyelesaian kasus-kasus korupsi sehingga tidak berlarut-larut yang akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat-aparatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ramelan selaku mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sebagai berikut :

Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam negara demokrasi dimana supremasi hukum senantiasa dikedepankan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka konsepsi dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi adalah menggunakan asas-asas kepastian hukum dimaksudkan agar penanganan suatu perkara tidak berlarut-larut, transparansi terbuka penanganannya, tidak ditutup-tutupi dan bukan karena rekayasa.19

Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentunya merupakan dasar hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum khususnya hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi koruptor-koruptor yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999.

Kekeliruan dalam menderivasikan nilai-nilai Pancasila dan tujuan yang dicita-citakan bangsa Indonesia pada masa Orde Baru terjadi tanpa hambatan. Model

18

Indonesia, Op. Cit., Penjelasan Pasal 2 ayat (1).

19

Ramelan, Profesionalisme Jaksa Menyongsong Penegakan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Menyongsong Pemberlakuan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang Baru di Fakultas Hukum Universitas Tri Sakti, Jakarta: 22 Agustus 1999, hlm. 22.

(19)

penataan oleh hukum mengikuti cara sentralisme dan regimentasi, yang secara sepihak memaksakan kehendak dan tidak toleran terhadap orang lain serta tidak menerima perbedaan atau pluralisme sebagai berkah dan kekayaan. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang terkandung dalam nilai-nilai dasar hukum nasional, merupakan nilai sentral dan menjiwai nilai-nilai yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum nasional mengenal adanya hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum susila. Berpangkal dari keyakinan dan kebenaran bahwa manusia ciptaan Tuhan, dan Tuhan memberikan aturan-aturan bagi ciptaan-Nya, maka sudah semestinya hukum kodrat dan hukum susila tidak bertentangan dengan hukum Tuhan. Ketiga macam hukum ini tidak berdiri sendiri ataupun terpisah satu sama lain.20

Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara. Karena doktrin semacam ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun lima unsur utama itu bertumpu pada suatu prinsip yang sangat mendasar bagi segenap bangsa Indonesia yaitu sila pertama dari Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena sila pertama ini menurut Hazairin mempunyai ”posisi yang istimewa”, ia ”terletak diluar ciptaan akal budi manusia”. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, inilah maka negara hukum Pancasila memiliki bukan hanya suatu ciri tertentu tetapi ciri yang paling khusus dari semua konsep negara hukum. Sila pertama merupakan pula dasar kerohanian dan dasar moral bagi Bangsa Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat, artinya, penyelenggaraan kehidupan bernegara dan bermasyarakat wajib memperhatikan dan

20

(20)

mengimplementasikan petunjuk-petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu dan dengan empat sila lainnya setiap orang yang arif dan bijaksana akan melihat banyak persamaan antara konsep nomokrasi Islam dengan konsep Negara Hukum Pancasila. Persamaan itu antara lain tercermin dari lima sila atau Pancasila yang sudah menjadi Asas Bangsa dan Negara Indonesia.21 b). Kerangka Konsep

Sebagai acuan pokok untuk mengorganisasi dan menganalisa masalah tesis ini, penulis mengunakan konsep yang termuat dalam Teori penghukuman yang akan mendeskripsikan tujuan diberlakukannya hukuman kepada penjahat atas kejahatan yang dilakukannya. Demikian dengan tindak pidana korupsi yang meupakan kejahatan. Berkaitan dengan urgensi dan efektifitas pidana mati terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi Indonesia akan dilihat dari teori penghukuman sebagaimana telah disebutkan di atas.

Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum adalah di dalam tangan negara (pemerintah)., yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :22

21

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta,Prenada Media,2003)Hal. 99.

2222

R. Soesilo dalam Syahruddin Husein, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya”, USU Digital Library, 2003, hal. 5.

(21)

Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.

Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :

a. Teori absolut atau teori pembalasan b. Teori relatif atau teori tujuan c. Teori gabungan

a. Teori absolut

Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan.

(22)

Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :23

1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif 2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak

boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi

3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.

Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang

dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :24 1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.

2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.

3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada

23

Ibid, hal. 5.

24

(23)

hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.

b. Teori relatif atau teori tujuan

Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum.

Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan pelanggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.

c. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara

(24)

kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.

Kebijakan penaggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah ‘politik kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. penerapan hukum pidana b. pencegahan tanpa pidana

c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media.

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal' (bukan/diluar hukum pidana). Dalam pembagian GP. Hoefnagels tersebut diatas upaya-upaya yang disebut dalam (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the

(25)

book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.25 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.26

Metode penelitian yang digunakan pada proposal penelitian ini, sebagai berikut :

a. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang menggunakan metode yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,27 yang berkaitan urgensi dan efektifitas pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam penelitian hukum normatif yang digunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam perangkat hukum.

Menurut Ronald Dworkin, penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yagn menganalisis baik hukum yang tertulis dalam buku (law as written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses.28

25

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafitti Press, 2006), hal.118

26

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003), hal. 3.

27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 14.

28

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada “Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi”, Medan, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

(26)

Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian ini hanya untuk menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap urgensi dan penerapan pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

b. Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Penelitian ini menggunakan 2 (dua) pendekatan, yaitu :

1. Pendekatan undang-undang (statute approach)

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan issue hukum yang sedang ditangani, yaitu : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999

jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan.

2. Pendekatan Perbandingan (Comparative approach)

Pendekatan perbandingan (comparative approach) ini dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus penjatuhan pidana mati pada pelaku korupsi yang terjadi di negara lain, yaitu di China kemudian akan dilakukan perbandingan dengan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan ini

(27)

adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan yuridis dan sosial dalam penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. 29

c. Sumber Data

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, didasarkan pada penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan menghimpun data-data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh dari :

1. Bahan Hukum Primer, terdiri dari : a. Norma atau kaedah dasar ; b. Peraturan dasar ;

c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, tindak pidana dan penghukuman, hak asasi manusia beserta peraturan-peraturan terkait lainnya.

2. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer,

29

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2007, hal. 94.

(28)

sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini. 30

d. Teknik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research, yaitu meneliti sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan permasalahan dalam tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah hukum, artikel-artikel, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, pendapat sarjana dan bahan-bahan lainnya. Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

e. Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai urgensi dan efektifitas pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klassifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara induktif kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung yang diperoleh, yaitu berupa data-data skunder melalui penelitian kepustakaan (library research).

30

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hal. 41.

(29)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika pada penulisan tesis ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Keaslian Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori dan Konsepsi, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II URGENSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU KORUPSI DI INDONESIA

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian Tindak Pidana Korupsi, Pertanggungjawaban Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity), Pro dan Kontra terhadap pidana mati dan urgensi pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

BAB III PENERAPAN PIDANA MATI DI INDONESIA

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian Pidana Mati, Pidana Mati dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, beberapa masalah dalam pelaksanaan Pidana Mati, Pidana Mati dalam persfektif Hak Asasi Manusia dan penerpan pidana mati terhadap pelaku korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

(30)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan Kesimpulan dan Saran berdasarkan hasil pembahasan.

Referensi

Dokumen terkait

apakah citra Kereta Api Prambanan Ekspres dimata Komunitas Pramekers Joglo sudah sesuai dengan citra yang diharapkan perusahaan mengenai Kereta Api Prambanan Ekspres

Tugas akhir yang berjudul “Analisis Pemilihan Moda Transportasi Alternatif Akibat Gangguan Operasional Kereta Commuter Indonesia Pada Rute Red Line Jakarta Kota -

– Tes virologis HIV yang positif (HIV-RNA atau HIV-DNA atau antigen HIV p24 yang ultrasensitif) dikonfirmasi ddengan tes virologis kedua yang didapatkan dengan cara berbeda lebih

Komponen Domestik dan Asing dengan Kondisi Tarif Impor Nol Persen..

Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perbedaan komposisi kokamidopropil betain dan gliserin pada sediaan sabun wajah

Kesimpulan yang didapat untuk Kinerja e-service quality pada online shop p-clothes berdasarkan hasil analisis deskriptif secara keseluruhan berada dalam kategori

Auditee Audit Internal Mutu, yaitu Audit sistem dan kepatuhan terkait implementasi capaian visi, misi, tujuan dan sasaran (VMTS) untuk Unit auditee dan sub auditee UPT