• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN KORPORASI DI BIDANG EKONOMI SRI WULANDARI,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN KORPORASI DI BIDANG EKONOMI SRI WULANDARI,"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PIDANA TERHADAP KEJAHATAN KORPORASI DI BIDANG EKONOMI

SRI WULANDARI, SH.MHum.MKn Program Studi Ilmu Hukum

Email :Sriwulan_64@yahoo.co.id ABSTRAK

Korporasi biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana untuk menyebut badan hukum. Korporasi adalah kumpulan terorganisir dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum atau bukan badan hukum. Dalam hukum pidana korporasi diterima sebagai subjek tindak pidana, yang pengaturannya masih bergantung pada pengaturan – pengaturan hukum pidana di luar Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Kriteria pertanggungjawaban korporasi tergantung pada cara dan sistem perumusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan masalah pidana. Namun asas kesalahan tidaklah mutlak, mengingat kerugihan dan bahaya yang disebabkan korporasi sangat besar. Karena itu, dalam pemberian sanksi terhadap korporasi tidak hanya mempunyai financial impacts tetapi juga non financial impacts yang disertai dengan tindakan pencegahan sarana hukum pidana penal dan non penal, kesemuannya itu merupakan salah satu aspek politik kriminal yang merupakan bagian dari politik social. Kata Kunci : Korporasi –Pertanggungjawaban Pidana.

Abstract

Corporations commonly used by lawyers to refer to criminal legal entity. The corporation is an organized collection of people or property and either a legal entity or legal entity. In criminal law the corporation is accepted as the subject of crime, the regulation of which is still dependent on the setting - criminal law setting out the draft - Criminal Code (Criminal Code). Criteria for corporate responsibility and depends on the way the system formulation of criminal liability (fault) and criminal matters. But the principle is not absolute error, given the harm caused kerugihan and very large corporations. Therefore, the imposition of sanctions against the corporation not only has financial but also non-financial Impacts Impacts accompanied by precautions means of criminal law and penal non-penal, kesemuannya it is one of criminal political aspects that are part of social politics.

(2)

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtspersoon), legal body atau legal person.

Dalam berbagai peraturan perundang – undangan hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan. Korporasi dapat dibedakan berdasarkan macam, jenis dan sifatnya. Menurut macamnya korporasi dapat dibedakan antara badan hukum orisinil dan badan hukum yang tidak orisinil. Sedangkan menurut jenisnya dibagi menjadi badan hukum publik dan badan hukum privat dan menurut sifatnya badan hukum dapat dibedakan menjadi korporasi (corporatie) dan yayasan (stichting).

Korporasi sebagai subjek hukum telah diterima dalam berbagai lapangan hukum. Dalam hukum pidana korporasi diterima sebagai subjek tindak pidana, meskipun masih terbatas pada beberapa peraturan perundang – undangan di luar Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).

KUHP sebagai aturan umum hukum pidana belum mengakui korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan yang harus bertangungjawab. Hal ini berarti KUHP masih mengikuti sistim pertanggungjawaban yang pertama, yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat dan

pengurus itu yang harus bertangggungjawab. Oleh karena itu pengembangan pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana masih tergantung pada pengaturan – pengaturan hukum pidana diluar KUHP.

Kejahatan korporasi dapat diartikan sebagai praktik – praktik atau kegiatan korporasi yang bertentangan dengan nilai – nilai dalam masyarakat dengan skala korban yang cukup luas, yang kadang – kadang belum terjangkau oleh hukum. Peranan korporasi yang sangat besar dan adanya korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar – besarnya berpotensi menimbulkan bahaya bagi masyarakat, baik berupa perusakan kondisi alamiah atau perusakan kondisi sosial. Tidak sedikit korban kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi. Namun hingga saat ini belum ada lembaga yang menghitung berapa kerugihan akibat kejahatan korporasi. Meski demikian perkembangan perhatian masyarakat terhadap kejahatan korporasi menunjukan kecenderungan yang positif, misalnya dari pengamat birokrat, swadaya masyarakat, ilmuwan dan kalangan pers. Penanggulangan kejahatan korporasi merupakan salah satu aspek dari politik criminal, yang merupakan bagian dari politik penegakan hukum dan semua itu merupakan bagian dari politik social. Politik kriminal yang bersifat represif dengan mendayagunakan sistemmperadilan pidana, pada dasarnya tidak akan memadai jika tidak dilenhkapi dengan tindakan pencegahan sarana non penal hukum

(3)

pidana (non penal) yang dilakukan secara integrative dengan kebijakan hukum pidana (penal).

Pemahaman anatomi kejahatan korporasi merupakan usaha pengungkapan karateristik korporasi. Oleh karena korporasi sebagai suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dibidang ekonomi, maka kejahatan korporasi adalah kejahatan yang bersifat organisatoris.

Karena itu, pemahaman terhadap korban kejahatan korporasi dapat dikaji dari pihak – pihak yang mempunyai tujuan / kepentingan yang berlawanan dengan tujuan dan kepentingan korporasi yang bersifat menyimpang. Disisi lain kejahatan korporasi di bidang ekonomi terus berkembang mengikuti perkembangan ekonomi masyarakat suatu bangsa. Untuk itu diperlukan perhatian serius dari fungsionalisasi hukum pidana; mulai dari upaya pemecahan melalui peraturan perundang – undangan administrasi, kriminalisasi dan upaya pemecahan hukumnya.

Dalam perkembangan ada kecenderungan bahwa dalam mempertanggungjawabkan korporasi asas kesalahan tidak mutlak berlaku, mengingat realitas dalam masyarakat menunjukan bahwa kerugihan dan bahaya yang disebabkan oleh aktifitas korporasi sangat besar. Sehingga kriteria yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkan korporasi

tentang pidana apa yang lebih tepat untuk dikenakan terhadap korporasi tergantung cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban pidana yang digunakan dan persoalan pokok pertanggungjawaban pidana (kesalahan) serta masalah pidana.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah Bentuk Pertanggungjawaban Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi di Bidang Ekonomi ?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui dan menganalisa bentuk pertanggungjawaban hukum pidana terhadap kejahatan koporasi di bidang ekonomi.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain (hukum perdata) sebagai badan hukum. Arti badan hukum atau korporasi bisa diketahui dari jawaban atas pertanyaan “apakah subjek hukum itu ? ”.

Pengertian subjek hukum pada pokoknya adalah manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat, yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban. 1) (Ali Chidir, Badan Hukum, Bandung, Alumni,1991, hal.18)

(4)

Secara konsep timbulnya badan hukum itu sendiri terjadi akibat perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dulu di alam kehidupan manusia yang masih primitive (sederhana) kegiatan usaha hanya dilakukan secara perorangan. Tetapi dalam perkembangan tumbuhlah kebutuhan untuk menjalankan usaha secara bekerjasama dengan beberapa orang agar dapat dihimpun modal yang lebih banyak.

Apa yang dinamakan badan hukum tiada lain sekadar suatu ciptaan hukum, dengan menunjuk kepada adanya suatu badan hukum maka terhadap badan ini disebut sebagai subjek hukum. Bahkan salah satu alasan lain adalah agar memudahkan menunjuk siapa subjek hukum yang harus bertanggungjawab diantara orang – orang yang terhimpun dalam badan tersebut, yang secara yuridis mengkontruksikan dengan menunjuk “badan “ itu sebagai subjek hukum yang harus bertanggungjawab.

Pengertian korporasi dalam hukum pidana positif lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana konsep tersebut di atas. Beberapa peraturan perundang – undangan di luar Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP), merumuskan pengertian korporasi yang beraneka ragam. Misalnya dalam Pasal 1 butir 13 UU No.5/1997 tentang Psikotropika dan Pasal 1 butir 19 UU No. 22/1997 Jo. Pasal 1 butir 21 UU No.35/2009 tentang Narkotika, yang memberikan pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisir dari orang dan / atau

kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi harus sesuai denngan sifat korporasi yang bersangkutan. Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan yaitu disamping pidana dapat pula dikenakan berbagai tindakan terhadap pelaku. Namun demikian tetap harus diingat bahwa dampak yang ingin dicapai dalam pemberian sanksi terhadap korporasi adalah tidak hanya yang mempunyai financial impacts tetapi juga non financial impacts, karenanya pidana mati, pidana penjara dan pidana kurungan tidak dapat dijatuhkan pada korporasi dan sanksi yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda, pidana tambahan, tindakan tata tertib, tindakan administrasi dan sanksi keperdataan yang berupa ganti kerugihan. Masalah penentuan kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana merupakan hal yang tidak mudah. Karena korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak mempunyai kejiwaan seperti halnya natuurlijk person. Namun persoalan tersebut dapat diatasi sekiranya kita menerima konsep kepelakuan fungsional (functioneel daderschap), maka kemampuan bertanggungjawab masih berlaku dalam mempetanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Sebab keberadaan korporasi tidak dibentuk bukan tanpa tujuan dan dalam mencapai tujuan

(5)

korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah.

Berkaitan dengan masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, ada 3 teori pertanggungjawaban pidana sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief, sebagai berikut :

1. Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung ( Direct Liability Doctrine) atau teori identifikasi (identification theory) bahwa perbuatan / kesalahan ‘ pejabat senior’ diidentifikasi sebagai perbuatan / kesalahan korporasi; 2. Doktrin pertanggungjawaban pidana pengganti (Vicarious Liability) didasarkan pada ‘employment principle’ bahwa majikan adalah penanggungjawab utama dari perbuatan para buruh / karyawan;

3. Dokterin pertanggungjawaban pidana yang ketat menurut undang – undang ( Strict Liability). Bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dapat juga semata – mata berdasarkan undang – undang. 6) (Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003. Hal. 233).

Karena itu perlu diberikan penjelasan tentang batas – batas kejahatan korporasi. Dimana kejahatan korporasi dapat dibedakan antara white collar crime

(kejahatan krah putih), accupational crime (kejahatan jabatan) dan organized crime (kejahatan yang terorganisasi). Ada beberapa masalah yang perlu difahami berkaitan hal tersebut yaitu:

1. White collar crime; 2. Occupational crime; dan

3. Organized crime yang berhubungan dengan kejahatan korporasi.

Pada konsep white collar crime, dikembangkan untuk menunjukan sekumpulan tindak pidana yang melibatkan tindakan moneter dan ekonomi dalam arti luas, dimana pada masa – masa sebelumnya hal ini tidak terkait dengan kriminalitas.

Sutherland merumuskan

white collar crime sebagai kejahatan yang dilakukan orang – orang yang memiliki kedudukan social tinggi dan terhormat. Perumusan ini sebagai suatu usaha untuk merombak teori tentang perilaku criminal yang secara tradisional sudah stereotip, yang menyatakan bahwa pelaku kejahatan adalah orang – orang yang berasal dari kelas sosial dan ekonomi yang rendah (perampokan, pencurian dan kejahatan – kejahatan kekerasan lainnya). Dengan perumusan tersebut, Sutherland ingin menunjukan bahwa kejahatan merupakn fenomena yang terdapat dalam kelas – kelas masyarakat yang lebih tinggi, dimana penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara tradisional. Sehingga dalam white callor crime terdapat dua elemen sebagai pesan moral dan politik, yaitu:

(6)

1. Status pelaku tindak pidana (status of offender); dan

2. Kejahatan tersebut berkaitan dengan karakter dan jabatan tertentu (the accupation character of offence).

White collar crime ini berbentuk korporasi dan kejahatan akupasi (kejahatan jabatan). Kejahatan akupasi dilakukan sebagian besar oleh individu berkaitan dengan jabatannya dan kejahatan akupasi berbeda dengan kejahatan terorganisir, bentuk kejahatan ini tidak selalu berhubungan dengan jabatan (akupasi) dalam birokrasi dan tidak menutup kemungkinan pelaku mempunyai hubungan dengan orang – orang yang mempunyai jabatan dalam suatu birokrasi. Oleh karena korporasi sebagai suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi, maka kejahatan korporasi adalah kejahatan yang bersifat organisatoris. Menurut Kriesberg, ada tiga model pengambilan keputusan korporasi yang melanggar hukum, yaitu:

1. Rational actor model;

2. Organisation process model; dan 3. Kejahatan korporasi merupakan

prodak dari keputusan – keputusan yang dibuat secara individu untuk keuntungan pribadi. 3) (Setiyono, Kejahatan Korporasi, Averroes press, 2002, hal. 74)

3. METODOLOGI PENELITIAN.

1. Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif artinya penelitian ini menekankan pada ilmu hukum dan menelaah kaidah – kaidah hukum yang berlaku dimasyarakat. Sehingga pendekatan yang dilakukan adalah kajian permasalahan hukum dari aspek peraturan hukum yang berlaku.

2. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder sebagai sumber data utama (data kepustakaan) dan data primer sebagai sumber data pendukung yang diperoleh melalui kegiatan wawancara dengan beberapa orang hakim dan panitera pengadilan negeri.

3. Penyajian datanya dilakukan secara kualitatif yang berupa uraian - uraian diskriptif, selanjutnya dilakukan analisa data secara normatif kualitatif yaitu analisa dengan menggunakan teori – teori hukum, asas- asas hukum, peraturan perundang – undangan dan doktrin hukum yang berlaku terhadap masalah yang diteliti.

4. PEMBAHASAN MASALAH

Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai sekarang masih jadi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontra. Sebagaimana ditegaskan Oemar

Seno Adji bahwa kemungkinan adanya

pemidanaan terhadap persekutuan – persekutuan didasarkan tidak saja atas pertimbangan – pertimbangan utilitas,

(7)

melainkan pula atas dasar – dasar teoritis dapat dibenarkan.

Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada 3 sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, yaitu:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggungjawab;

2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawab; 3. Korporasi sebagai pembuat dan

yang bertanggungjawab. 2) (Hatrik Hamzah, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hal.30)

Dalam point pertama pengurus korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawab, maka sistem pertanggungjawabanya ditandai dengan usaha- usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon). Sehingg apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkunngan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Sistem ini membedakan “tugas pengurus” dari pengurus.

Pada sistem pertanggungjawaban korporasi yang ke dua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang – undang, bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), akan tetapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban

dari pengurus badan hukum (korporasi) tersebut. Secara perlahan- lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Dalam sistem pertanggungjawaban ini korporasi dapat sebagai pembuat tindak pidana, akan tetapi yang bertanggungjawab adalah anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.

Dalam sistem pertanggungjawaban yang ketiga merupakan permulaan adanya tanggungjawab yang langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabanya menurut hukum pidana. Hal – hal yang dapat dipakai sebagai dasar pembenar atau alasan – alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah sebagai berikut :

a.

Karena dalam berbagai tindak pidana ekonomi atau fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugihan yang diderita masyarakat sedemikian besarnya sehingga tidak mungkin seimbang bilamana pidana hanya memidana pengurus saja;

b. Dengan hanya memidana pengurus saja, tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana lagi. Sehingga jika memidana korporasi dengan jenis dan beratnya sesuai

(8)

dengan sifat korporasi, maka diharapkan korporasi dapat mentaati peraturan yang bersangkutan.

Yang menjadi motif dari kejahatan korporasi dapat dibagi menjadi 2 yaitu: bahwa

1. Tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar – basarnya yang tercermin pada ciri-ciri individual; dan

2. Terjadinya kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kebutuhan para pesaing, Negara, pekerja, konsumen dan masyarakat.

Sedangkan karateristik korban kejahatan korporasi dapat diidentifikasi sebagai berikut :

a. Unawer Victim yaitu korban yang tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban;

b. Abstrack Victim yaitu korban yang sifatnya abstrak, sehingga sulit untuk menentukan secara khusus; c. The Diffusion of Victimization yaitu

penyebaran korban yang sangat luas sehingga secara individual kerugihan sangat sedikit.

Clinard dan Yeager, menyatakan

bahwa korban kejahatan korporasi tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban. Berarti terdapat kesulitan untuk mengetahui apakah telah terdapat suatu

kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau tidak. 4) (Setiyono,Kejahatan Korporasi, Averroes Press, 2002, hal. 66)

Pada kejahatan korporasi, korban sering kali bersifat abstrak, seperti pemerintah, perusahaan / konsumen yang jumlahnya banyak. Sedangkan secara individual kerugihanya sangat sedikit. 5) (Muladi, Korban Kejahatan Korporasi, Materi Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, FH. Undip. 1995, hal. 5)

Penyebaran korban yang yang sangat luas dan kondisi ketidak sadaran korban bahwa ia menjadi korban ditambah sulitnya dalam mengidentifikasi / mengungkap adanya kejahatan korporasi merupakan situasi yang menguntungkan bagi korporasi dalam melestarikan kejahatannya. Dalam kondisi seperti ini korban korporasi tidak dapat dikualifikasikan lagi sebagai korban yang tidak ada kaitannya dengan pelaku, tetapi dapat diidentifikasi terhadap terjadinya kejahatan korporasi.

Bentuk – bentuk kejahatan korporasi dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu:

1. Kejahatn korporasi di bidang ekonomi;

2. Kejahatan korporasi dibidang social budaya; dan

3. Kejahatan korporasi menyangkut masyarakat luas.

Bentuk kejahatan korporasi yang sering dilakukan adalah praktik pemberian keterangan tidak benar. Secara umum kondisi tersebut akan menimbulkan

(9)

dampak negatif kepada satu pihak dan mendatangkan keuntungan bagi pelaku. Disadari atau tidak pelaku telah melakukan perbuatan melanggar peraturan perundang – undangan atau ketentuan hukum yang berlaku / etika dalam masyarakat.

Kejahatan korporasi dibidang ekonomi, antara lain berupa perbuatan tidak melaporkan keuntungan keuntungan perusahaan yang sebanarnya, menghindari atau memperkecil pembayaran pajak dengan cara melaporkan data yang tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya, memberikan sumbangan kampanye politik secara tidak sah. Praktik pemberian keterangan yang tidak benar dilakukan korporasi dengan modus poerandi, sebagai berikut :

1. Transfer Pricing (pemindahan keuntungan melalui transfer dengan harga tidak wajar dengan tujuan untuk menghindari pajak,

2. Under Invoicing (penerbitan dua invoice dengan tujuan untuk menghindari pengenaan bea masuk / pajak),

3. Over Invoicing (mnipulasi harga atau mark up,

4. Window dressing (tindakan mengelabuhi masyarakat yaitu menciptakan citra baik dimasyarakat dengan informasi yang tidak benar). Kejahatan korporasi dalam bidang ekonomi terus berkembang mengikuti perkembangan ekonomi masyarakat, karena itu fungsionalisasi hukum pidana

mulai dari upaya pencegahan melalui peraturan perundang – undangan administrasi, kriminalisasi dan upaya penegakan hukumnya harus memperoleh perhatian serius. Kondisi ini sejalan dengan upaya kriminalisasi terhadap korporasi yang ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 5 /1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Seiring dengan semakin besar peranan korporasi dalam berbagai bidang, khususnya bidang ekonomi dan adanya kecenderungan korporasi melakukan kejahatan untuk mencapai tujuannya; merupakan hal yang tidak mudah dalam penentuan kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana. Karena korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak mempunyai sifat kejiwaan seperti halnya natuurlijk person. Namun persoalan tersebut dapat diatasi dengan konsep kepelakuan fungsioanal, maka kemampuan bertanggungjawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana. Sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan tersebut selalu diwujutkan melalui perbuatan manusia alamiah. Sehingga kriteria yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mempertanggungjawabkan korporasi tentang pidana apa yang lebih tepat untuk dikenakan terhadap korporasi tergantung cara atau sistim perumusan pertanggungjawaban pidana yang digunakan dan persoalan pokok pertanggungjawaban pidana (kesalahan) serta masalah pidana.

(10)

Asas kesalahan (geen straf zonder) merupakan asas fundamental dalam pemidanaan. Meskipun orang telah melakukan tindak pidana, tidak selaklu dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dijatuhi pidana jika orang itu mempunyai kesalahan. Dan untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana perlu diperhatikan hal – hal sebagai berikut :

1. Asas kesalahan tetap tidak ditinggalkan dengan konstruksi kesalahan korporasi tersebut diambil dari kesalahan pengurus atau anggota direksi;

2. Asas keslahan tidak mutlak berlaku dengan mendasarkan adagium res ipsa loquitor.

Dalam perkembangan ada kecenderungan bahwa dalam mempertanggungjawabkan korporasi asas kesalahan tidak mutlak berlaku, mengingat realitas dalam masyarakat menunjukan bahwa kerugihan dan bahaya yang disebabkan oleh aktifitas korporasi sangat besar.

Masalah penentuan kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagai subjek tindak pidana merupakan hal yang tidak mudah. Sehingga diperlukan langkah – langkah upaya penegakan hukum pidana yang dilakukan dengan pencegahan dan penangulangan kejahatan. Penanggulanga kejahatan korporasi merupakan salah satu aspek dari politik criminal yang bersifat represif dengan mendayagunakan sistem

peradilan pidana secara integrative anatara kebijakan penal (sarana hukum pidana) dan non penal (sarana selain hukum pidana). Penanggulangan kejahatan korporasi dengan sarana non penal diarahkan dalam rangka mengembangkan tanggungjawab korporasi terhadap kondisi – kondisi social tertentu, yang secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan korporasi. Sedangkan sarana penal bukanlah sarana yang bersifat absolute, sehingga harus menggunakan sanksi pidana. Karena kejahatan korporasi merupakan kejahatan yang bersifat kompleks dan bermotif ekonomis, sehingga sarana non penal harus lebih diutamakan dalam penanggulangan kejahatan korporasi terebut. Karena itu, sanksi pidana yang sebaiknya dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda yang seberat – beratnya sebagai pidana pokok, disamping pidana tambahan dan sanksi administrasi. Dengan dijatuhkanya pidana denda yang sangat tinggi maka pelaku kejahatan korporasi akan menanggung resiko ekonomis biaya yang sangat besar yang harus dikeluarkan sehingga akan melebihi target hasil kejahatannya. Belum lagi dengan pidana tambahan yang berupa penutupan seluruh atau sebagian aset usahanya. Diharapkan pemidanaan tersebut mempunyai dampak yang sangat luas bagi kejahatan korporasi yang secara filosofis bertentangan dengan nilai – nilai keadilan masyarakat, secara sosiologis tidak dikehendaki masyarakat dan secara victimologis banyak menimbulkan kerugihan kepada pihak pihak lain.

(11)

5. PENUTUP 5.1. Kesimpulan

Seiring dengan semakin besar peranan korporasi dalam berbagai bidang khusunya bidang ekonomi dan adanya kecenderungan korporasi melakukan kejahatan dalam mencapai tujuanya, maka masalah penentuan kemampuan bertanggungjawab korporasi sebagi subjek tindak pidana merupakan hal yang tidak mudah. Sehingga perlu diperhatikan hal – hal : asas kesalahan dengan kontruksi asas kesalahan diambil dari kesalahan pengurus atau anggota direksi, asas kesalahan tidak mutlak berlaku dengan mendasarkan adagium res ipsa loquitor. Hal ini didasarkan pada realitas kerugihan masyarakat dan bahaya yang disebabkan aktivitas korporasi sangat besar. Mengingat KUHP menganut sistem dua jalur dalam pemidanaan maka dalam pemberian sanksi terhadap korporasi tersebut tidak hanya yang mempunyai financial impacts tetapi juga yang mempunyainon financial impacts dengan mendayagunakan sistem peradilan pidana yang berupa tindakan pencegahan baik dengan sarana penal (hukum pidana) maupun non penal (sarana non hukum pidana).

5.2. Rekomendasi

Akibat dr kejahatan korporasi sangat besar terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat baik secara filosofis, sosiologis dan victimologis maka sudah seharusnya pemidanaan terhadap korporasi bersifat

efektif dan mempunyai daya pencegahan (deterrent) yaitu dengan dijatuhkan pidana pokok/denda yang sangat berat disertai pidana tambahan berupa penutupan sebagian / seluruh asset – asset yang secara ekonomis membawa dampak yang sangat luas bagi pelaku kejahatan korporasi.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. Hukum Pidana Ekonomi (Selaras Inpres No. 4 th 1985). Jakarta. Erlangga. 1991 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung. Citra Aditya Bakti. 1996

--- Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2003 Chidir Ali. Badan Hukum. Bandung. Alumni. 1991

Hamzah Hatrik. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability). Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1996

I.S. Susanto. Tinjauan Kriminologis Terhadap Kejahatan Ekonomi. Materi Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi.

Semarang. Desember. 1995

Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung. Alumni. 1985

(12)

--- Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung. Alumni. 1992

--- Korban Kejahatan Korporasi. Materi Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi.

Semarang. FH UNDIP. Desember 1995

Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Yogyakarta.

Universitas Gajah Mada. 1981

Romli Admasasmita. Kapita Selekta hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung. Mandar Maju. 1995 Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian dasar dalam Hukum Pidana. Jakarta. Ghalia Indonesia. 1983

R. Soesilo. Kitab Undang – Undang Hukum PIdana (KUHP) serta Komentar Komentarnya, Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor. Politicia. 1993 Setiyono. Kejahatan korporasi, Analisis

Viktimologis dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia. Malang. Averroe Press. 2002

Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni. 1986

---Hukum Pidana I. Semarang. Badan Penyediaan Bahan -bahan Kuliah FH. UNDIP. 1987

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pembayaran biaya sekolah pada SD Ar-Raudah Bandar Lampung masih menggunakan pencatatan kebuku besar kemudian di-inputkan ke program microsoft Excel, sehingga

Didalam LKS disajikan langkah-langkah untuk menemukan akan suatu konsep dan membantu siswa mangkaitkan materi yang ada dikehidupan sehari-hari dengan konsep yang

Alat ukur Orientasi Pembelajaran Matematik (OPM) digunakan untuk mengukur tingkah laku individu berdasarkan lima gagasan iaitu sikap pembelajaran, kebimbangan, tabiat

Hal ini dipengaruhi adanya biaya tataniaga atau biaya pengolahan yang cukup besar yang dilakukan oleh pengumpul rotan sebelum menjual rotan tersebut yang meliputi

DAFTAR PESERTA PLPG RAYON 140 UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO.. GURU KELAS SD KABUPATEN CILACAP SAT U

Aspek penciptaan menjadi sangat penting dalam industri kreatif, untuk itu ada beberapa model dalam pengembangannya, pertama, menekankan pada revitalisasi tradisi

Sebab umum penyebab konflik politik Kerajaan Demak adalah pembunuhan Pangeran Sekar Seda Lepen oleh Sunan Prawoto karena dianggap sebagai

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Current Ratio (CR), Net Profit Margin (NPM), dan