• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Kebijakan Pengembangan, Kebutuhan dan Impor Jagung 2.1.1. Kebijakan Pengembangan Jagung

Jagung diusahakan pada lingkungan yang beragam yaitu dari lahan kering, sawah tadah hujan hingga sawah beririgasi. Areal pertanaman jagung telah mengalami pergeseran, pada tahun 1980-an dominan (78 persen) di tanam dilahan kering dan sisanya sebesar 11 persen ditanam dilahan sawah irigasi dan 10 persen ditanam disawah tadah hujan. Namun, saat ini diperkirakan areal pertanaman jagung di lahan sawah irigasi dan tadah hujan meningkat berturut-turut sebesar 10-15 persen dan 20-30 persen terutama di daerah produksi jagung komersial (Badan Litbang Pertanian, 2005).

Produksi jagung nasional masih bersifat musiman, dimana saat penen raya melimpah dan dilain pihak saat bulan-bulan tertentu paceklik. Hal ini sangat berkaitan dengan musim tanam yang dominan dilakukan pada musim hujan (Oktober-Maret), sedangkan pada musim kemarau (April-September) luas pertanaman relatif sedikit. Produksi jagung di Indonesia relatif tersebar di seluruh pelosok, dan dalam luasan yang belum memenuhi skala usaha yang mampu mensuplai produksi yang cukup untuk setiap saat dalam satu wilayah. Sehingga untuk memperoleh produksi yang relatif besar diperlukan proses pengumpulan (colecting) dari berbagai daerah yang terpencar.

Penerapan inovasi teknologi di tingkat petani cukup beragam, bergantung pada orientasi produksi (subsisten, semikomersial, komersial), kondisi kesuburan tanah, resiko yang dihadapi, dan kemampuan petani membeli atau mengakses sarana produksi. Penggunaan varietas pada tahun 2002 adalah 28 persen hibrida,

(2)

47 persen komposit unggul, dan 25 persen komposit lokal. Karena pertimbangan harga dan resiko yang dihadapi, cukup banyak petani yang menanam benih hibrida turunan (F2) (Badan Litbang Pertanian, 2005).

Menurut Djulin, et.al., (2005) bahwa hingga kini jagung masih dominan ditanam di lahan kering pada musim hujan, walaupun disisi lain juga terjadi perluasan jagung di lahan sawah pada musim kemarau. Masih dominannya pertanaman jagung di lahan kering dan dominannya penanaman dimusim hujan menyebabkan timbulnya permasalahan terkait mutu hasil dan fluktuasi harga yang relatif besar. Kondisi ini juga merupakan sebagai salah satu penyebab lambatnya adopsi teknologi jagung.

Hasil penelitian Djulin, et.al., (2005) juga menyebutkan bahwa usahatani jagung unggul (hibrida) di lahan sawah dan lahan kering memberikan hasil sebesar 6.14 ton/ha dan 4.62 ton/ha, dengan keuntungan yang diraih masing-masing sebesar 2.9 juta rupiah dan 2.1 juta rupiah per hektar. Penelitian lainnya Sumaryanto (2005) mengungkapkan bahwa rata-rata produktivitas usahatani jagung hibrida di DAS Brantas sebesar 5.2 ton/ha, dengan tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar 2.1 juta rupiah per hektar.

Sementara itu, pengembangan jagung kedepan diarahkan untuk mencapai tujuan terciptanya Indonesia menjadi produsen jagung yang tangguh dan mandiri pada tahun 2025 dengan ciri-ciri produksi yang cukup dan efisien, kualitas dan nilai tambah yang berdaya saing, penguasaan pasar yang luas, meluasnya peran stakeholder, serta adanya dukungan pemerintah yang kondusif (Deptan, 2005). Untuk merealisasikan program tersebut ditempuh melalui strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam (PAT), peningkatan efisiensi produksi,

(3)

penguatan kelembagaan petani, peningkatan kualitas produk, peningkatan nilai tambah, perbaikan akses pasar, pengembangan unit usaha bersama, perbaikan sistem permodalan, pengembangan infrastruktur, serta pengaturan tataniaga dan insentif usaha. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2008), bahwa faktor-faktor pendukung dalam peningkatan produksi jagung antara lain berupa: (1) iklim pengembangan yang kondusif, (2) harga komoditas jagung yang menarik, dan (3) kebijakan dan program pemerintah yang meliputi: subsidi pupuk dan benih, akselerasi penerapan inovasi dan teknologi usahatani, bantuan alsintan, fasilitasi penyuluhan dan sebagainya.

Selain itu, menurut Ditjen Tanaman Pangan (2010) bahwa upaya meningkatkan produksi jagung nasional akan menghadapi beberapa tantangan dan sekaligus peluang baik bersifat internal maupun eksternal. Pengembangan produksi jagung dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam. Beberapa tantangan dalam pengembangan jagung antara lain: (1) kebutuhan jagung yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yaitu untuk pangan dan bahan baku industri makanan, serta untuk pemenuhan kebutuhan pakan ternak dimana hasil produk peternakan untuk penyediaan protein hewani, (2) produksi jagung yang belum merata sepanjang tahun, dan saat ini masih dominan ditanam dilahan kering (tadah hujan), (3) jagung masih dianggap sebagai tanaman kedua setelah padi (secondary crop), padahal perannya sangat strategis dalam pemenuhan bahan baku pakan dan industri makanan (industrial crop), (4) untuk komoditas jagung masih belum terdapat jaminan harga jual seperti halnya pada komoditas padi yang telah memiliki referensi harga pembelian pemerintah, dan (5) penerapan teknologi yang

(4)

belum sepenuhnya sesuai anjuran, sementara introduksi teknologi spesifik lokasi cukup intensif disebarkan ke tingkat petani baik oleh pemerintah maupun swasta.

Sementara itu, peningkatan produksi memiliki peluang yang besar melalui: (1) peningkatan produktivitas jagung, dimana produktivitas saat ini masih dibawah produktivitas potensial dengan semakin meningkatnya penggunaan varietas unggul hibrida, (2) terdapatnya peran swasta yang aktif dalam dalam pengembangan industri benih, teknologi budidaya dan pemasaran hasil, (3) harga jagung yang semakin meningkat seiring dengan permintaan jagung yang semakin meningkat, (4) dukungan pemerintah daerah dalam pengembangan jagung, dan (5) masih memungkinnya perluasan areal pertanaman jagung pada lahan-lahan yang belum diusahakan dan yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Upaya peningkatan produktivitas dibedakan atas tingkat produktivitas yang telah ada selama ini. Bagi daerah-daerah yang telah memiliki produktivitas tinggi diarahkan untuk dimantapkan, dan bagi daerah–daerah yang tingkat produktivitasnya masih rendah dilakukan uapaya akselerasi melalui penggunaan benih hibrida, benih komposit, penerapan teknologi spesifik lokasi, pemupukan berimbang, pengelolaan usahatani terpadu lahan kering. Perluasan areal tanam (PAT) diarahkan ke daerah di luar Jawa yang memiliki potensi cukup luas melalui penambahan baku lahan, mengoptimalkan lahan kering, rehabilitasi dan konservasi lahan, serta pengembangan lahan rawa/lebak/pasang surut.

Untuk mendukung tercapainya sasaran-sasaran tersebut, perlu dukungan aspek hulu antara lain penyediaan lahan, perbaikan pengairan, sarana produksi, alsintan, permodalan, dan infrastruktur jalan usahatani. Di bidang pengolahan dan pemasaran jagung diarahkan untuk mewujudkan tumbuhnya usaha pengolahan

(5)

dan pemasaran jagung yang dapat meningkatkan nilai tambah dan harga yang wajar ditingkat petani sehingga petani dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraanya. Untuk mendukung kebijakan tersebut, maka strategi yang akan ditempuh dalam pengembangan pengolahan dan pemasaran jagung tersebut diarahkan untuk: meningkatkan mutu dan nilai tambah jagung, meningkatkan harga jagung dan pembagian keuntungan (profit sharing) yang proposional bagi petani, tumbuhnya unit-unit pengolahan dan pemasaran jagung yang dikelola oleh kelompok tani/gabungan kelompok tani atau asosiasi jagung, meningkatkan efisiensi biaya pengolahan dan pemasaran serta memperpendek mata rantai pemasaran, mengurangi impor jagung dan meningkatkan ekspor jagung (Deptan, 2005).

Selanjutnya program pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil jagung yang dilaksanakan adalah : (1) pengembangan dan penanganan pasca panen dalam rangka meningkatkan mutu jagung. Program ini terkait dengan penerapan manajemen mutu sehingga produk yang dihasilkan sesuai persyaratan mutu pasar/ konsumen. Dalam kaitan tersebut diperlukan pelatihan dan penyuluhan yang intensif tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan mananjemen mutu, (2) pembangunan unit-unit pengolahan di tingkat petani/gapokatan/asosiasi, (3) penguatan modal, (4) penguatan peralatan mesin kegiatan pengolahan dan penyimpanan jagung, peralatan yang diperlukan antara lain pengering jagung (dryer), corn sheller (pemipil), mesin tepung, mesin bongol jagung (pemotong/pencacah bonggol), mixer (pencampur pakan) dan gudang, (5) membentuk dan memfasilitasi sistem informasi dan promosi, serta asosiasi jagung, (6) Pembangunan drying dan silo center di setiap lokasi sentra produksi

(6)

jagung, dan (7) Pengembangan industri berbasis jagung lokal dengan kekuatan sendiri.

Menurut Rusastra dan Kasryno (2005) bahwa terdapat beberapa kebijakan strategis yang perlu dilakukan dalam pengembangan usahatani jagung terutama pada agroekosistem lahan kering yaitu: (1) introduksi varietas komposit yang berdaya hasil tinggi, berumur genjah, tipe tanaman pendek, dan berbatang kokoh, (2) penerapan teknologi usahatani konservasi sistem budidaya lorong (alley cropping), (3) pemanfaatan pupuk kandang untuk meningkatkan bahan organik tanah, (4) penanaman tepat waktu pada awal musim hujan, (5) introduksi teknologi tanpa olah tanah dan hemat tenaga kerja, dan (6) intensifikasi program penyuluhan untuk memperbaiki kemampuan manajemen petani.

Menurut Purwanto (2007) bahwa kebijakan peningkatan produksi jagung nasional dapat dilakukan dengan upaya: (1) perbaikan infrastruktur penunjang pertanian seperti irigasi, jalan usahatani dan lainnya, (2) pengembangan kelembagaan pertanian, seperti kelompok tani, koperasi tani dan lainnya, (3) penyuluhan aplikasi teknologi produksi, (4) bantuan permodalan pertanian, misal melalui penjaminan pinjaman, subsidi bunga, dan kredit lunak terhadap petani, dan (5) pemasaran hasil pertanian melalui peningkatan mutu hasil pertanian, sarana pemasaran hasil dan sebagainya.

Adapun program peningkatan produksi dapat ditempuh melalui: (1) peningkatan produktivitas terutama melalui penyebaran benih unggul jagung hibrida dan komposit unggul, (2) perluas areal tanam yang diarahkan ke luar Jawa yang memiliki potensi cukup luas melalui pemanfaatn lahan sawah selama musim kemarau yang tidak ditanami padi serta mengoptimalkan dan penambahan luas

(7)

baku lahan kering, (3) pengamanan produksi atas gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) jagung, dampak fenomena iklim dan menekan kehilangan hasil saat penanganan panen dan pasca panen yang kurang benar, (4) penguatan kelembagaan agribisnis di tingkat petani, kelembagaan usaha dan pemerintah sesuai perannya masing-masing, dan (5) pembiayaan dalam pengembangan produksi jagung, melalui bantaun benih jagung hibrida, pengadaan sarana pupuk dan pembinaan melalui pola Penguatan Modal Usaha Kelompok (PMUK), pendampingan teknologi, fasilitasi kredit pertanian dan program pengembangan jagung melalui kemitraan usaha (Purwanto, 2007).

Berbagai kebijakan diatas pada intinya adalah agar keuntungan/pendapatan usahatani jagung dapat lebih meningkat. Upaya peningkatan produksi jagung harus senantiasa diikuti upaya peningkatan efisiensinya. Proses produksi usahatani dikatakan efisien apabila faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani tersebut dialokasikan. Masalah alokasi faktor produksi ini erat kaitannya dengan tingkat keuntungan yang akan dicapai. Keuntungan maksimum tercapai pada saat nilai produktivitas marjinal dari faktor produksi (input) sama dengan biaya korbanan marjinal atau harga input yang bersangkutan.

2.1.2. Kebutuhan dan Impor Jagung

Peranan jagung bagi Indonesia, dengan jumlah penduduk yang banyak dan industri peternakan dan industri pakan yang berkembang cukup pesat sangat beralasan untuk memprioritaskan produksi jagung nasional. Selain untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, juga berpeluang untuk diekspor ke pasar internasional. Pemenuhan kebutuhan jagung bila mengandalkan impor akan berisiko tinggi, dan akan berdampak terhadap indutri peternakan (pakan) dalam

(8)

negeri. Fluktuasi ketersediaan dan harga pakan ternak yang sering muncul di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah karena pengaruh fluktuasi pasokan bahan baku jagung.

Menurut Tangendjaya, et.al., (2005) bahwa Indonesia dalam sepuluh tahun kedepan akan menghadapi permintaan jagung yang relatif besar untuk kebutuhan jagung dalam negeri, terutama untuk bahan baku industri pakan yang semakin meningkat. Permasalahan besar adalah teknologi dan agribisnis jagung di Indonesia masih jauh dari harapan untuk dapat mendukung permintaan tersebut. Jika teknologi dan agribisnis tetap bertahan seperti sekarang maka diperkirakan Indonesia akan mengimpor jagung yang cukup besar pada sepuluh tahun mendatang. Solusi atas hal ini, adalah melalui pemacuan sistem agribisnis jagung nasional agar menjadi lebih maju dengan perbaikan manajemen lahan, ukuran usaha yang lebih rasional dan penggunaan teknologi produksi secara intensif.

Kebutuhan jagung nasional secara total sangat tinggi yaitu pada tahun 2000 mencapai 10 juta ton, dan tahun 2009 mencapai 15 juta ton. Sementara produksi jagung pada tahun 2000 mencapai 9.68 juta ton, sehingga untuk menutupi kebutuhan maka dilakukan impor yang besarnya mencapai 1.29 juta ton. Namun, pada tahun 2009 produksi jagung nasional sudah diatas kebutuhan yaitu sebesar 17.59 juta ton dan impor menurun menjadi 300 ribu ton. Impor jagung nasional pada periode 2000-2009 mengalami penurunan yaitu sekitar 10.22 persen per tahun (Lampiran 1). Jika produksi jagung terus dipertahankan atau ditingkatkan, maka ke depan impor jagung nasional akan semakin menurun. Namun sebaliknya, jika produksi jagung nasional stagnan sementara kebutuhan terus meningkat maka impor jagung akan meningkat. Pada perkembangan

(9)

selanjutnya, ternyata impor jagung justru semakin meningkat dimana menurut data GPMT impor jagung pada tahun 2010 mencapai 1.5 juta ton, dan pada akhir tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai 2,5 juta ton. Meningkatnya impor jagung, akan semakin terkuras untuk pembiayaan impor dan menurunkan keuntungan usahatani jagung domestik. Oleh karena itu, diperlukan upaya kesinambungan untuk meningkatkan produksi jagung dalam negeri.

Menurut Swastika (2006), bahwa dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor jagung, maka solusi pemecahannya antara lain: (1) melakukan promosi secara intensif atas penggunaan benih jagung hibrida, sehingga produktivitas jagung nasional akan meningkat, (2) pengembangan kerjasama yang saling menguntungkan diantara perusahaan benih dengan petani jagung dan pabrik pakan serta makanan ternak, (3) penyediaan paket kredit bersubsidi untuk petani dengan prosedur pinjaman yang sederhana, dan (4) konsolidasi petani melalui penguatan kelompok tani dalam rangka memperbaiki posisi tawar petani.

2.2. Model Fungsi Keuntungan, Penawaran Output, Permintaan Input, dan Daya Saing Komoditas Pertanian

2.2.1. Model Fungsi Keuntungan, Penawaran Output, dan Permintaan Input

Secara umum, keuntungan didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan (current revenue) dikurangi biaya (total cost). Debertin (1986) mendefinisikan keuntungan adalah nilai total produk (TVP) dikurangi total biaya (TC). Model fungsi keuntungan jangka pendek di kembangkan awal oleh Lau and Yotopaulus (1972). Keuntungan maksimum tercapai pada saat nilai produk marginal sama

(10)

dengan harga input (marginal factor cost). Model fungsi keuntungan dinormalkan oleh harga output menjadi fungsi keuntungan UOP (Unit Output Price).

Asumsi-asumsi yang harus dipenuhi sehubungan dengan fungsi keuntungan tersebut adalah: (1) petani dianggap sebagai unit analisis dan setiap petani individu mempunyai motif untuk memaksimumkan keuntungan, (2) petani dianggap sebagai price taker dalam pasar output dan input variabel,dan (3) fungsi produksi adalah concave dalam input variabel bahwa setiap petani menggunakan input yang sama, artinya produktivitas input pada setiap petani adalah sama (Lau and Yotopaulus, 1972). Adapun pertimbangan teoritis yang berkaitan dengan fungsi keuntungan UOP, menurut Puerta (2009) adalah: (1) menurun dan convex terhadap harga-harga input tidak tetap yang dinormalkan dengan harga output, (2) menaik terhadap jumlah input tetap, dan (3) menaik terhadap harga nominal output.

Menurut Lau and Yotopaulus (1972) bahwa antara fungsi produksi dan keuntungan adalah satu set yang saling berhubungan karena keduanya merupakan dual transformasi. Berdasarkan pendekatan tersebut maka dapat diturunkan fungsi permintaan input dan penawaran output.

Dalam penelitian empiris, terdapat 2 model ekonometrika yang sering digunakan yaitu: fungsi keuntungan Translog dan Cobb-Douglas. Dalam penelitian ini akan digunakan fungsi keuntungan translog. Pada kenyataannya seseorang petani atau produsen menentukan keputusannya berdasarkan harga-harga yang terjadi. Dengan kata lain bahwa dengan anggaran atau pendapatan yang terbatas maka untuk pengambilan keputusan berproduksinya maka yang menjadi faktor penentunya adalah harga input dan harga output.

(11)

Fungsi keuntungan Translog telah digunakan oleh beberapa peneliti seperti: Sidhu and Baanante (1981); Simatupang (1988), Nwachuku and Onyenweake (2005), dan Adeleke, et.al., (2008). Chand and Kaul (1986) memberikan catatan atas penggunaan fungsi keuntungan Cobb Douglas. Pada penggunaan fungsi keuntungan Cobb Douglas antara lain memiliki karakteristik: (1) bahwa dugaan elastisitas harga atas permintaan input yang berhubungan dengan harga sendiri yang selalu elastis, dan (2) dugaan elastisitas permintaan harga silang akan selalu negatif, yang berarti bahwa hubungan antar input akan selalu bersifat komplementer. Sidhu and Baanante (1981) menemukan elastisitas permintaan input yang berhubungan dengan harga output adalah negatif, sehingga seluruh faktor input bersifat komplementer.

Sementara itu, fungsi penawaran output dan permintaan input pada penelitian ini diturunkan langsung dari fungsi keuntungan. Dengan menggunakan prinsip Hotteling Lemma, turunan parsial keuntungan maksimal terhadap perubahan harga output merupakan fungsi penawaran output dan turunan parsial keuntungan maksimal terhadap perubahan harga input merupakan fungsi permintaan input. Menurut Debertin (1986), bahwa permintaan input pada suatu proses produksi pertanian tergantung atas beberapa faktor seperti: (1) harga output yang diproduksi, (2) harga input produksi yang bersangkutan, (3) harga input subtitusi dan komplementernya, dan (4) parameter fungsi produksi itu sendiri, khususnya elastisitas produksi dari masing-masing input.

Menurut Lau dan Yotopoulus (1972) bahwa terdapat beberapa keunggulan menggunakan pendekatan dual (fungsi keuntungan), yaitu: (1) fungsi penawaran output dan permintaan input dapat diturunkan secara langsung dengan mudah, (2)

(12)

penurunan fungsi penawaran output dan permintaan input dari fungsi keuntungan memberikan hasil yang sama jika fungsi tersebut diturunkan dari fungsi produksi, dan (3) analisis dengan menggunakan fungsi keuntungan dapat menghindari masalah bias pada persamaan simulatan. Hal ini disebabkan karena pada fungsi keuntungan semua peubah eksogen terletak disebelah kanan dan peubah endogen terletak disebelah kiri persamaan.

2.2.2. Daya Saing Komoditas Pertanian

Suatu negara memproduksi dan mengekpor suatu komoditas adalah karena adanya keunggulan komparatif. Teori keunggulan komparatif pertama kali diperkenalkan oleh David Ricardo tahun 1817. Menurut Ricardo perdagangan antar dua negara akan menguntungkan dua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif yang dimaksud adalah memiliki biaya yang lebih efisien dalam memproduksi suatu komoditas (Krugman dan Obstfeeld, 2000; serta Salvatore, 1997).

Teori keunggulan komparatif Ricardo memiliki kelemahan yaitu menganggap bahwa tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi yang mempengaruhi harga komoditas yang diproduksi. Oleh karena itu, teori ini disempurnakan oleh G. Haberler melalui teori opportunity cost yang menyatakan bahwa suatu negara yang memiliki opportunity cost paling rendah dalam memproduksi suatu komoditas akan memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditas tersebut. Teori komparatif berdasarkan opportunity cost tersebut kemudian disempurnakan lagi oleh Heckscher dan Ohlin yang kemudian dikenal dengan teori Heckscher–Ohlin. Menurut teori ini, keunggulan komparatif suatu

(13)

negara dipengaruhi oleh perbedaan kelimpahan faktor produksi yang dimiliki dan intensitas penggunaan faktor-faktor produksi yang berlimpah.

Menurut Barbaros, et.al., (2007), untuk mengukur tingkat daya saing (competitiveness) ekspor komoditas suatu negara dibanding negara pesaingnya (rival countries) dapat digunakan ukuran Revealed Comparative Advantage Index (Indeks RCA) dan Comparative Export Performance (CPA) Index. Keunggulan komparatif terhadap suatu komoditas tidak selamanya akan dimiliki suatu negara. Oleh karena itu, agar keunggulan komparatif bersifat dinamis harus diikuti dengan perbaikan teknologi melalui berbagai penelitian.

Hal yang sama juga diungkapkan Batra and Khan (2005), bahwa keunggulan komparatif dalam ekspor komoditas dapat diukur dengan Revealed Comparative Advantage Index (Indeks RCA). Jika nilai indeks RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar dari satu, maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditas tersebut atau terspesialisasi. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu, berarti keunggulan komparatif untuk komoditis tersebut tergolong rendah, di bawah rata-rata dunia atau tidak terspesialisasi.

Menurut Simatupang (2005), bahwa daya saing suatu usaha merupakan suatu kemampuan usaha untuk tetap layak secara privat (financial) pada kondisi teknologi usahatani, lingkungan ekonomi dan kebijakan ekonomi dan kebijakan pemerintah yang ada. Analisis terhadap daya saing dapat didekati dengan estimasi nilai DRCR (Domestic Resource Cost Ratio) dan PCR (Private Cost Ratio). Nilai DRCR digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif suatu

(14)

komoditas pertanian suatu negara, sedangkan PCR merupakan indikator untuk mengukur keunggulan kompetitif suatu komoditas pertanian suatu negara.

Monke and Pearson (1995) mengemukakan bahwa untuk mengukur keunggulan kompetitif dapat didekati dengan cara menghitung profitabilitas privat, sedangkan untuk mengukur keunggulan komparatif dapat dilakukan dengan menghitung profitabilitas sosial. Lebih lanjut Hadi et.al., (2002) mengemukakan bahwa DRCR menggambarkan daya saing pada kondisi pasar yang efisien (tidak terdistorsi), sedangkan nilai PCR menggambarkan daya saing pada kondisi pasar actual. Kondisi pasar aktual bisa merupakan pasar yang terdistorsi atau pasar yang efisien. Jika kondisi pasar aktual adalah efisien, maka nilai DRCR dan PCR adalah kurang dari satu. Sementara itu, Rosegrant, et.al, (1987) mengemukakan bahwa analisis keunggulan komparatif dengan indikator DRC pada komoditas pertanian dapat dikerjakan pada berbagai level regional. Analisis komparatif regional mengasumsikan 3 rejim dasar perdagangan regional yaitu: substitusi impor, perdagangan interregional, dan promosi ekspor. Dalam penelitian ini, untuk komoditas jagung karena dalam rangka pemenuhan kebutuhannya masih cukup dominan melakukan impor maka analisis akan difokuskan pada analisis sebagai substitusi impor.

2.3. Tinjauan Beberapa Studi Sebelumnya

2.3.1. Studi Penawaran Output dan Permintaan Input

Berbagai studi terkait komoditas jagung telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dengan model persamaan simulatan, seperti dilakukan Imron (2007), Darmansyah (2003) dan Purba (1999). Imron (2007) telah melakukan kajian tentang Dampak Kebijakan Ekonomi dan Perubahan

(15)

Faktor Eksternal Terhadap Kinerja Pasar Jagung dan Produk Turunannya di Indonesia. Hasil kajian ini antara lain menyebutkan bahwa peningkatan harga jagung dunia menyebabkan penawaran jagung domestik meningkat, namun tidak menyebabkan impor jagung Indonesia menurun. Demikian juga halnya dengan penawaran dan permintaan jagung oleh industri pakan ternak dan industri makanan tidak menurun. Implikasinya penawaran dan permintaan ternak mengalami peningkatan. Kondisi ini disebabkan sebagian besar pasokan jagung di Indonesia berasal dari impor karena produksi domestik masih sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga dan industri domestik.

Selanjutnya Hasil kajian Darmansyah (2003) menyebutkan bahwa permintaan komoditi tanaman pangan di pasar domestik tidak responsif oleh harga sendiri kecuali jagung. Pengaruh harga barang lain terhadap permintaan komoditi: jagung bersubstitusi dengan beras, ubikayu bersubstitusi dengan ubirambat, gula berkomplemen dengan gula sintetis dan beras bersubstitusi dengan terigu.

Purba (1999) juga telah melakukan kajian tentang Keterkaitan Pasar Jagung dan Pasar Ternak Ayam Ras di Indonesia. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pasar jagung seringkali dipandang sebagai pasar tunggal yang berdiri sendiri, sehingga kebijakan terhadap komoditas jagung dampaknya cenderung tidak menyebar dalam pasar produk turunannya. Padahal kenyataan pasar jagung punya hubungan yang sangat erat dengan pasar pakan, pasar daging ayam, maupun pasar telur ayam.

Sementara itu, juga terdapat studi-studi komoditas jagung dengan menggunakan model fungsi keuntungan. Studi yang dilakukan oleh Okuruwa, et.al., (2009) tentang efisiensi ekonomi padi dengan pendekatan fungsi

(16)

keuntungan menyimpulkan bahwa: (1) varietas padi berpengaruh signifikan terhadap peningkatan keuntungan usahatani; (2) peningkatan efisiensi teknis usahatani dilakukan melakukan akselerasi program dalam penyediaan varietas padi unggul/modern, ketersediaan pupuk dan lahan usahatani. Pada studi ini, peubah yang diamati meliputi peubah harga output, peubah harga input (benih, tenaga kerja, dan pupuk) serta peubah dummy skala usahatani.

Sementara studi dengan menggunakan model fungsi profit dalam mengestimasi efisiensi ekonomi diantara petani kecil tanaman pangan dilakukan oleh Adeleke, et.al., (2008) di Oyo State Nigeria yang menyimpulkan antara lain: (1) tenaga kerja pria memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan usahatani, (2) rata-rata petani dapat meningkatkan keuntungan usahatani sebesar 57.8 persen melalui perbaikan efisiensi teknis dan alokatif, (3) kegiatan usahatani skala kecil cukup menguntungkan, dan sumberdaya yang digunakan pun sangat efektif. Peubah yang diamati pada studi ini adalah harga output, harga input variabel (benih, pupuk, tenaga kerja,dan pestisida), dan peubah tetap (pendidikan formal, pengalaman usahatani, luas lahan, dan ukuran keluarga rumah tangga tani). Studi lainnya di lakukan oleh Siero (1991) tentang maksimisasi keuntungan, dimana pada penelitian tersebut menggunakan fungsi keuntungan Cobb Douglas yang dinormalisasi dan terestriksi menunjukkan bahwa keuntungan usahatani jagung di Guatemala dipengaruhi secara nyata oleh harga outputnya. Peubah yang diamati dalam penelitian ini hampir sama dengan penelitian diatas.

Studi lainnya dilakukan oleh Yotopoulos and Lau (1974) yang menekankan keseimbangan umum sektor pertanian, baik produksi maupun

(17)

konsumsi. Asumsi yang digunakan adalah: (1) petani sebagai konsumen berusaha memaksimumkan utilitas dengan kendala sumberdaya, (2) petani sebagai produsen berusaha memaksimumkan keuntungan dengan kendala teknologi, sumberdaya, dan harga, (3) tenaga kerja dalam dan luar keluarga bersubstitusi sempurna, dan (4) petani ikut berpartisipasi dalam pasar tenaga kerja. Peubah yang diamati antara lain tenaga kerja, modal, areal tanam, upah tenaga kerja, dan harga komoditas pertanian.

Studi lainnya terkait fungsi penawaran ouput dan permintaan input usahatani jagung dilakukan oleh Khatri and Thirtle (1996) dengan menggunakan pendekatan fungsi keuntungan multi output dan multi input. Penelitian ini dilakukan di Inggris dengan menggunakan data time series 1954-1990 untuk komoditas pertanian (pangan, hortikultura dan ternak). Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh hubungan pada penawaran dan permintaan yang ditemukan adalah inelastis, tetapi respon harga pada sistem meningkat pada setiap waktunya. Pada penelitian ini selain memasukkan peubah variabel yaitu harga output dan harga input (input tanaman pangan/hortikultura: benih, tenaga kerja, pupuk dan pestisida; serta input ternak: pakan, obat ternak dan peralatan), dan peubah tetap penting antara lain adalah pengeluaran penelitian dan pengembangan pada sektor pertanian.

Penelitian terkait penawaran output dan permintaan input tanaman pangan juga pernah dilakukan oleh Hartoyo (1994) dengan menggunakan pendekatan fungsi keuntungan multi output dan multi input. Penelitian ini dilakukan di Pulau Jawa dengan menggunakan data time series 1980-1991. Peubah yang diamati meliputi peubah variabel yaitu harga output dan harga input variabel (pupuk urea,

(18)

pupuk TSP dan tenaga kerja). Sementara peubah tetap yang diamati adalah pengeluaran irigasi, curah hujan, pengeluaran untuk riset dan infrastruktur jalan.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu diatas maka untuk penelitian penawaran output dan permintaan input khususnya dengan pendekatan fungsi keuntungan masih sangat terbatas yang memasukan peubah tetap pengeluaran riset dan infrastruktur (khususnya jalan) di dalam modelnya. Penelitian-penelitian penawaran output dan permintaan input usahatani jagung di Indonesia, khususnya sesudah tahun 1998 dengan menggunakan data time series sangat sulit ditemuka n. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian pengaruh perubahan harga dan infrastruktur terhadap penawaran output, permintaan input dan daya saing jagung di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Penelitian menggunakan data time series 1985-2009, dan selain memasukan peubah variabel harga input dan output, juga memasukan peubah tetap yaitu: pengeluran riset dan pengembangan jagung (yang dilakukan pemerintah), infrastruktur jalan, luas panen dan biaya tetap usahatani. Model yang digunakan adalah fungsi keuntungan dengan bentuk fungsi translog.

2.3.2. Studi Daya Saing Usahatani Jagung

Studi tentang daya saing usahatani jagung telah dilakukan Simatupang (2005) yang menguraikan bahwa: (1) usahatani jagung hibrida layak secara sosial (ekonomi) dengan kisaran laba antara 747 ribu rupiah per hektar (di lahan sawah Provinsi Lampung) sampai 1.9 juta rupiah per hektar (di lahan kering Provinsi Sumatera Utara), (2) rasio sumberdaya domestik (DRCR) komoditas jagung berkisar antara 0.58 (pada usahatani di lahan kering Provinsi Sumatera Utara) sampai 0.82 (pada usahatani di lahan sawah Provinsi Lampung). Artinya usahatani jagung hibrida memiliki keunggulan komparatif atau daya saing baik di

(19)

lahan sawah maupun di lahan kering atau tetap memiliki daya saing walaupun pada era pasar bebas (tanpa campur tangan pemerintah dan tidak ada distorsi pasar), dan (3) titik impas sosial produktivitas bervariasi dari 3.9 ton/ha (pada lahan kering di Sumatera Utara) dan 5.82 ton/ha (pada lahan sawah di Jawa Timur), serta daya toleransi berkisar antara 13 persen (pada lahan sawah di Jawa Timur) sampai 35 persen (pada lahan kering di Sumatera Utara).

Hasil penelitian lainnya yaitu Swastika (2004) mengemukakan usahatani jagung Indonesia kurang mempunyai keunggulan komparatif, karena rendahnya efisiensi sebagai akibat dari kecilnya skala usaha dan terpencar di wilayah yang luas. Kurangnya sarana-sarana pendukung menyebabkan agribisnis jagung Indonesia tidak berkembang. Pengadaan sarana produksi serta pengolahan dan pemasaran hasil menjadi kendala utama. Namun, di beberapa sentra produksi usahatani jagung (terutama hibrida) mempunyai keunggulan komparatif efisien dan berkelanjutan. Tantangan yang masih dihadapi adalah bahwa penggunaan jagung hibrida masih relatif rendah, karena selain benihnya mahal juga varietas ini hanya baik untuk kondisi lahan subur dan memerlukan input tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar petani jagung yang miskin sumberdaya. Implikasinya adalah bahwa perlunya kebijakan operasional dalam pengembangan produksi jagung nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor.

Rosegrant, et.al., (1987) telah melakukan studi keunggulan komparatif dengan analisis DRC untuk komoditas tanaman pangan termasuk jagung. Hasil studi menyimpulkan bahwa usahatani jagung memiliki keunggulan komparatif dengan orientasi subtitusi impor dan perdagangan interregional (antar regional di Indonesia), hal ini di tunjukkan oleh rata-rata nilai DRC masing-masing sebesar

(20)

0.81 dan 0.80. Selain itu, Ilham dan Rusastra (2009) mengelaborasi berbagai hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa selama hampir satu dekade (1986-2008) nilai DRC dan PCR komoditas jagung bervariasi menurut lokasi, agroekosistem, dan musim. Besaran nilai DRC jagung berkisar antara 0.21 – 0.99 (DRC < 1), dan nilai PCR berkisar antara 0.48 – 0.85 (PCR < 1). Hal ini berarti bahwa usahatani jagung di Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif.

Pada penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya hanya terbatas pada penghitungan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Pada penelitian sebelumnya juga jarang dilakukan analisis sensitivitas usahatani atas perubahan input variabel dan faktor tetap. Oleh karena itu, pada penelitian ini disamping melakukan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif juga dilakukan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas pada penelitian ini dilakukan dengan cara memasukan perubahan-perubahan penawaran output (jagung) dan permintaan input variabel (benih, pupuk urea, pupuk TSP dan tenaga kerja) sebagai akibat atas perubahan harga input variabel dan faktor tetap (khususnya pengeluaran riset dan pengembangan jagung serta infrastruktur jalan). Hasil dari analisis ini adalah perubahan-perubahan keuntungan privat dan soaial usahatani jagung serta koefisien DRC dan PCR yang merupakan indikasi keunggulan komparatif dan kompetitif. Oleh karena itu, analisis sensitivitas pada penelitian ini disinkronkan dengan analisis kebijakan penawaran output dan permintaan input usahatani jagung yang telah dilakukan sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Total ekspor setelan, ensemble, jas, blazer, gaun, rok, rok terpisah, celana panjang, pakaian terusan berpenutup didepan, bertali, celana panjang sampai lutut dan celana

Universitas Kristen Petra Kemasan di atas digunakan dalam perancangan desain kemasan kantung tas yang dapat diisi kemasan primer ledre biasa maupun kemasan primer ledre

Sedangkan pada masing-masing kelas eksperimen, aspek-aspek hasil belajar mitigasi bencana erupsi gunung api yang diamati antara lain adalah aspek kognitif, aspek afektif serta

Pada kenyataannya perbuatan hukum peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli masih banyak yang tidak dibuktikan dengan akta jual beli dan tidak menggunakan

Islam mengemukakan bahwa Al-Qur’an memberikan ilustrasi atau contoh tentang perencanaan Nabi Musa AS pada saat hendak menghadapi Fir’aun, yaitu dengan mempersiapkan

Pada saat Peraturan Bupati ini mulai berlaku, maka Peraturan Bupati Kudus Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

Pembaca dapat mengikuti cerita dengan mudah kerana peristiwa-peristiwa disusun mengikut urutan waktu bermula dari kisah Seman, penduduk asal Tanah Melayu, kisah

Suhu di ruangan kerja sebaiknya dapat dijaga sekitar 18. Agar amannya maka prosedur yang tertulis dalam buku manual alat sterilisasi dengan