BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Daun Sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.)
1. Klasifikasi Tanaman Daun Sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.)
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Piperales Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper crocatum Ruiz & Pav.
(Juliantina F.R, 2009) 2. Deskripsi Tanaman
Tanaman sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam famili
Piperaceae dengan penampakan daun yang berwarna merah keperakan dan mengkilat saat terkena cahaya. Tanaman ini menyukai tempat teduh berhawa sejuk dengan sinar matahari 60-70% dapat tumbuh subur dan bagus pada daerah pegunungan, bila tumbuh di daerah panas batangnya cepat mengering dan warna merah daunnya akan pudar (Juliantina F.R., 2009).
3. Nama Daerah
Sirih merah memiliki berbagai nama daerah diantaranya sirih talan (Maluku), jahe sunti (Jawa), canbei, sereh, sireh, seureuh, ani-ani, ganjang, bolu, amu atau reman (Sudewo, 2005).
4. Kandungan Kimia
tanaman tersebut. Sirih merah memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder, antara lain:
a. Saponin
Saponin termasuk dalam glikosida yang dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah yang dapat membentuk basa dalam air. Apabila dihidrolisis dengan asam akan menghasilkan gula dan sapogenin (Harborne, 1987). Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol, sebagai glikosida basanya dihidrolisis oleh asam uronat yang berikatan. Berdasarkan struktur glikon saponin dibedakan menjadi saponin tipe steroid dan terpenioid (Robinson, 1995). Pembentukan buih yang stabil selama lebih dari 30 menit dengan tinggi 3cm di atas permukaan cairan menunjukan adanya saponin (Fitriyani A et al, 2011).
b. Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa fenol terbesar ditemukan di alam dan yang memberikan zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian kuning yang ada dalam tanaman. Flavonoid jarang ditemukan dalam bentuk flavonoid tunggal pada jaringan tumbuhan. Sering dijumpai campuran flavonoid yang berbeda kelas, misalnya flavon dan flavonol pada antosianin berwarna yang terdapat dibunga (Harborne,1987). c. Alkaloid
B. Unguentum 1. Definisi Salep
Menurut FI edisi IV, unguentum atau salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir (Depkes RI, 1995). Sedangkan menurut FI edisi III, bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok. Pemeriannya tidak boleh berbau tengik (Depkes RI, 1979).
2. Macam-macam Basis Salep a. Dasar Salep Hidrokarbon
Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep berlemak. Hanya sejumlah kecil komponen yang ditambahkan kedalamnya. Dasar salep hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, dan sukar dicuci. (Depkes RI 1995). Contoh dasar salep hidrokarbon adalah petroleum putih, salep kuning, salep putih, paraffin, minyak mineral (Ansel, 1989).
b. Dasar Salep Serap
Dasar salep ini dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu dasar salep yang dapat bercampur dengan air membentuk emulsi air dalam minyak (Parafin hidrofilik dan Lanolin anhidrat), dan emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan air tambahan (Lanolin) (Depkes RI, 1995). Contoh dasar salep serap adalah adeps lanae dan petrolatum hidrofilik (Anief, 2007).
c. Dasar Salep Dapat Dicuci Dengan Air
d. Dasar Salep Larut Dalam Air
Dasar salep ini juga disebut “dasar salep tak berlemak” dan terdiri konstituen larut dalam air. Dasar salep ini tepat disebut dengan gel (Depkes RI, 1995). Contoh dasar salep ini adalah polietilenglikol (Ansel, 1989).
3. Sifat Salep Ideal
Sifat dasar salep yang ideal yaitu stabil selama masih dipakai mengobati maka harus bebas dari inkompatibilitas, lunak dan mudah dipakai, dasar salep yang cocok tidak boleh merusak atau menghambat aksi terapi dari obat yang mampu melepas obatnya pada daerah yang diobati, dan terdistribusi merata (Anief, 2007).
Pemilihan dasar salep untuk dipakai dalam formulasi salep bergantung pada beberapa faktor, seperti kecepatan pelepasan bahan obat dari dasar salep, absorbsi obat, kemampuan mempertahankan kelembapan kulit oleh dasar salep, waktu obat stabil oleh dasar salep, pengaruh obat terhadap dasar salep (Yanhendri et al, 2012).
C. Uraian Bahan 1. Propilenglikol
Pemerian : cairan kental, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, higroskopik. Kelarutan : dapat bercampur dengan air, etanol (95%) P dan kloroform P, larut dalam 6 bagian eter : tidak dapat campur dengan eter minyak tanah P dan dengan minyak lemak. Bobot per ml 1, 035 g sampai 1,037 g. Khasiat dan penggunaannya yaitu sebagai zat tambahan, pelarut (Depkes RI, 1979).
2. Polietilenglikol 4000
3. Polietilenglikol 400
Pemerian : cairan kental jernih, tidak berwarna, bau khas lemah, agak higroskopik. Kelarutan : larut air, etanol 95%, aseton, hidrokarbon, aromatik, tidak larut eter dan hidrokarbon alifatik. Khasiat dan penggunaannya sebagai zat tambahan (Depkes RI, 1979). 4. Propil Paraben
Pemerian : serbuk hablur putih, tidak berbau, tidak berasa. Kelarutan : sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian etanol(95%) P, dalam 3 bagian aseton P, dalam 140 bagian gliserol P dan dalam 40 bagian minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Khasiat dan penggunaan sebagai pengawet (Depkes RI, 1979).
5. Metil Paraben
Pemerian : serbuk hablur halus, putih, hampir tidak berbau, tidak berasa, kemudian agak membakar diikuti rasa tebal. Kelarutan : larut dalam 500 bagian air, 20 bagian air mendidih, 3,5 bagian etanol (95%) P dan 3 bagian aseton P, mudah larut dalam eter P dan dalam larutan alkali hidroksida, larut dalam 60 bagian gliserol P panas dan dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih. Khasiat dan penggunaan sebagai pengawet (Depkes RI, 1979).
6. Natrium Lauril Sulfat
7. Vaselin Putih
Pemerian : warnanya putih, bening, lengket, massa lunak, tidak berasa, tidak berbau, tidak bercahaya. Kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%), larut dalam kloroform, eter P dan dalam eter minyak tanah P. Khasiat dan penggunaan sebagai zat tambahan (Depkes RI, 1979).
8. Setil Alkohol
Pemerian : seperti lilin, lapisan atas warna putih, butiran halus, bau khas. Kelarutan : dapat larut dalam etanol (95%) dan eter, kelarutan bertambah dengan meningkatnya suhu, hampir tidak larut dalam air. Khasiat dan penggunaan sebagai pengeras, emolien, menyerap air (Rowe, R, C, et al, 2003).
9. Cera Alba
Pemerian : zat padat, lapisan tipis bening, putih kekuningan, bau khas lemah. Kelarutan : praktis tidak larut dalam air,agak sukar larut dalam etanol (95%) P dingin, larut dalam kloroform P, eter P hangat, minyal lemak dan minyak atsiri. Khasiat dan penggunaan sebagai zat tambahan (Depkes RI, 1979).
10. Adeps Lanae
Pemerian : massa seperti lemak, lengket, warna kuning, bau khas. Kelarutan : tidak larut dalam air, dapat bercampur dengan air lebih kurang 2 kali beratnya, agak sukar larut dalam etanol dingin, lebih larut dalam etanol panas, mudah larut dalam eter, dan dalam kloroform ( Depkes RI, 1995)
11. Parafin Cair
12. Natrium Tetraborat
Pemerian : hablur transparan tidak berwarna atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa asin dan basa, dalam udara kering merapuh. Kelarutan : larut dalam 20 bagian air, dalam 0,6 bagian air mendidih dan dalam lebih kurang 1 bagian gliserol P, praktis tidak larut dalam etanol (95%) P ( Depkes RI, 1979).
13. Oleum Citri
Pemerian : cairan kuning pucat atau kuning kehijauan, bau khas, rasa pedas agak pahit. Kelarutan : larut dalam 12 bagian volume etanol (90%) P, larutan agak beropalesensi, dapat bercampur dengan etanol mutlak P ( Depkes RI, 1979).
D. Antiinflamasi
Inflamasi merupakan tindakan protektif yang berperan dalam melawan agen penyebab jejas sel. Inflamasi melakukan misi pertahanannya dengan cara melarutkan, menghancurkan, atau menetralkan agen patologis terjadi karena peningkatan aliran darah dan edema (Kumar
et al., 2007 dalam Utami et al, 2011). Inflamasi atau radang dapat disebabkan oleh trauma fisik, infeksi maupun reaksi antigen dari penyakit; seperti terpukul benda tumpul dan infeksi bakteri pada luka terbuka (timbulnya nanah pada luka) yang dapat menimbulkan nyeri dan dapat mengganggu aktivitas (Yuliati, 2010 dalam Senewe, 2013).
Mekanisme Antiinflamasi
E. Obat-Obat Antiinflamasi
Obat-obatan antiinflamasi nonsteroid (AINS) umumnya mengacu pada obat yang menekan inflamasi seperti steroid, namun tanpa efek samping steroid. Berbeda dengan steroid yang bekerja untuk mencegah pembentukan asam arakhidonat pada membran sel, obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi. Umumnya obat AINS yang digunakan untuk terapi rheumatoid arthritis, bermanfaat untuk menghilangkan rasa sakit, dan mencegah edema akibat pengaruh prostaglandin (Wilmana, 1995).