• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Representasi Sosial

Representasi sosial merupakan suatu teori yang dirintis oleh pemikiran seorang peneliti Psikologi Sosial, Serge Moscovici, sehingga teori representasi sosial berada di bawah teori besar psikologi sosial. Menurut Hollander (1981)

dalam Pidarta (2007), psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antarindividu.

Jodelet (2005) dalam Putera dkk (2009) menjelaskan istilah representasi sosial pada dasarnya mengacu kepada hasil dan proses yang menjelaskan mengenai pikiran umum (common sense). Pikiran umum adalah cara berpikir „rasional‟ yang praktis melalui hubungan sosial dengan menggunakan gaya dan logikanya sendiri, yang kemudian didistribusikan kepada anggota suatu kelompok yang sama melalui komunikasi sehari-hari (Putera dkk, 2009). Abric (1976) dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari beberapa elemen yakni informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Elemen-elemen ini terorganisasi dan terstruktur kemudian membentuk suatu sistem sosial-kognitif seseorang. Struktur representasi sosial terdiri dari central core peripheral core. Karakteristik (central core) unsur utama yaitu bersifat lebih stabil dan tidak mudah untuk berubah. Karakteristik

(periphery) yaitu sebagai pelengkap dari unsur utama, paling mudah berubah. Jika kita ingin merubah representasi sosial maka harus merubah central core.

Representasi sosial ini membentuk suatu pengetahuan yang akan menentukan persepsi dan pikiran seseorang tentang suatu kenyataan dan akan mempengaruhi tindakan yang individu lakukan, yang mana representasi sosial ini dibentuk dari suatu proses komunikasi dan interaksi yang terjadi pada antara individu dan dibagikan secara kolektif (Johar, 2011). Selain itu, Gunawan (2003) menyebutkan bahwa representasi sosial akan mempengaruhi perilaku seseorang.

(2)

Sesuai dengan pernyataan Abric (1989) sebagaimana dikutip oleh Pandjaitan (2010):

“... Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkah laku adalah representasi sosial yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan. Berdasarkan sejumlah eksperimen yang dilakukannya dapat disimpulkan bahwa tingkah laku para subyek ataupun kelompok tidaklah didasari oleh karakteristik obyektif dari suatu situasi melainkan oleh representasi mereka atas situai tersebut. ...” (Abric, 1989, seperti dikutip Padjaitan 2010).

Kesimpulannya adalah representasi sosial akan membentuk pemahaman dan perilaku seseorang terhadap suatu objek. Jadi representasi sosial sebenarnya memperkenalkan adanya sintesis yang baru antara individu dengan lingkup sosialnya. Posisi individu dalam teori ini dinilai tidak menghasilkan pola pikir dalam situasi yang terisolasi, namun dari basis saling mempengaruhi satu sama lain. Hal tersebut menjadi dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek dan mempengaruhi perilaku individu berdasarkan makna bersama tersebut.

a. Fungsi Representasi Sosial

Moscovici (1973) dalam Adriana (2009) menyebutkan bahwa representasi sosial memiliki dua fungsi sekaligus, antara lain:

1. Representasi sosial berfungsi sebagai tata aturan bagi individu untuk menyesuaikan diri dan memahami (serta menguasai keadaan pada lingkungan fisik ataupun lingkungan sosialnya.

2. Selain itu, representasi sosial juga dapat memungkinkan terjadinya aktivitas pertukaran sosial mereka, dan sebagai kode untuk menamai serta mengklasifikasikan dengan jelas berbagai macam aspek pada lingkungan, kesejahteraan individu dan kesejarahan kelompoknya.

Bergman (1998) dalam Wesman (2011) juga menyatakan bahwa teori sosial terlihat pada pemikiran subyektif seseorang individu yang menciptakan sebuah kenyataan dari kenyataan yang tidak diketahui sebelumnya. Oleh sebab itu, representasi sosial memiliki fungsi sebagai alat untuk memberikan arti bagi setiap istilah yang asing atau abstrak bagi mereka.

(3)

b. Pembentukan Representasi Sosial

Menurut Moscovici (1984) dalam Deaux dan Philogene (2001) representasi sosial tersebut dibentuk melalui dua buah proses, yaitu anchoring dan

objectifying.

1. Anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) suatu obyek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses anchoring, informasi baru diintegrasikan kedalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek diterjemahkan dalam kategori dan gambar yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu.

2. Objectifications, mengacu kepada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu obyek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan obyek-obyek yang konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan juga dipengaruhi oleh efek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas obyek tersebut.

c. Pengukuran Representasi Sosial

Pengukuran suatu representasi sosial dapat dilakukan melalui beberapa metode, di antaranya: percobaan, kuesioner, asosiasi kata, dan metode diferensiasi semantik. Dalam Wagner dan Hayes (2005) sebagaimana dikutip oleh Johar (2011) dikatakan bahwa pada percobaan, variabel percobaan yang digunakan adalah variabel terikat dan bukan variabel bebas. Percobaan pada proses representasi sosial mengungkapkan struktur, organisasi, dan komponen tindakan individu, serta tidak bersifat universal tergantung pada populasi yang digunakan. Selain itu, Wagner dan Hayes (2005) dalam Johar (2011) juga mengatakan bahwa pada asosiasi kata, representasi dilihat dari penghitungan kata-kata stimulus mengenai suatu objek yang dinyatakan oleh para subjek.

Pada asosiasi kata, para subjek akan memberikan secara spontan jawaban atau pandangan nya dari suatu objek yang diberikan dan mereka diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benak mereka ketika mereka membaca kata mengenai objek tersebut. Selanjutnya, kata-kata yang didapatkan dari subjek diurutkan mulai dari kata yang paling menggambarkan objek sampai

(4)

kata-kata yang kurang menggambarkan objek yang akan diukur representasinya (Nadra, 2010). Pada penelitian ini, responden hanya diminta untuk menyebutkan minimal satu kata yang dianggap paling mewakili objek penelitian, yaitu TPI Cituis. Hal ini dilakukan karena responden menemukan kesulitan ketika diminta untuk menyebutkan lima kata untuk mewakili TPI Cituis. Skala Likert digunakan untuk mengukur elemen sikap dan keyakinan dalam representasi sosial.

2.1.2 Nelayan

Menurut Imron (2003) sebagaimana dikutip oleh Mulyadi (2007), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan atau pun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya.

Menurut Mulyadi (2007), nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Adapun nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.

Satria (2002) menggolongkan nelayan menjadi empat tingkatan yang dilihat dari kapasitas teknologi (alat tangkap dan armada), orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi. Berikut adalah tingkatannya:

1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada kebutuhan sendiri (subsisten), nelayan ini mengalokasikan hasil jual tangkapannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan bukan diinvestasikan untuk pengembangan skala usaha.

2. Post-fisher yaitu nelayan yang telah menggunakan teknologi penangkap ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan sarana perahu motor semakin membuka peluang nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan

(5)

tersebut karena mempunyai daya tangkap yang lebih besar. Pada jenis ini, nelayan sudah berorientasi pasar.

3. Commercial-fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya sudah besar dan dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dan dicirikan dengan status tenaga kerja yang beragam, dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan lebih modern sehingga diperlukan keahlian tersendiri dalam pengoperasiannya.

4. Industrial-fisher, ciri nelayan industri menurut Pollnac (1988) dalam Satria (2002) adalah:

a. Diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan argoindustri di negara-negara maju;

b. Secara relatif lebih padat modal;

c. Memberi pendapatan yang lebih tinggi daripada perikan serderhana, baik untuk pemilik maupun awak kapal; dan

d. Menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan yang menjadi sasaran TPI sendiri sepertinya terbatas kepada nelayan tradisional (peasant-fisher) dan post-fisher. Kepemilikan alat tangkap dapat menunjukkan tingkat pendapatan seorang nelayan. Pendapatan yang berbeda akan menghasilkan pola pikir yang berbeda dalam memandang suatu kebutuhan. Hanson (1984) dalam Amanah dkk (2005) menyatakan bahwa masyarakat pesisir seringkali memiliki kesempatan yang lebih rendah dalam mengakses pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pendidikan, kesehatan dan pemenuhan sarana produksi usahanya sehingga terkadang kondisi sosial ekonominya relatif masih rendah.

2.1.3 Tempat Pelelangan Ikan

Menurut Biro Pusat Statistik (Sensus Pertanian 1993), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah pasar yang biasanya terletak di dalam pelabuhan/pangkalan pendaratan ikan, dan di tempat tersebut terjadi transaksi penjualan ikan/hasil laut baik secara lelang maupun tidak (tidak termasuk TPI yang menjual/melelang ikan darat). Biasanya Tempat Pelelangan Ikan ini dikoordinasi oleh Dinas Perikanan atau Pemerintahan Daerah. Tempat Pelelangan Ikan tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) tempat tetap (tidak berpindah-pindah); (b) mempunyai

(6)

bangunan tempat transaksi penjualan ikan; (c) ada yang mengkoordinasi prosedur lelang/penjualan; (d) mendapat izin dari instansi yang berwenang (Dinas Perikanan/Pemerintah Daerah).

TPI merupakan pusat dari seluruh kegiatan perikanan, yang mengumpulkan semua hasil tangkapan untuk dijual melalui sistem lelang (Direktorat Jenderal Perikanan (1981) dalam Yunizar, 1989. Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Yunizar (1989) mengatakan bahwa secara umum pelelangan ikan diartikan sebagai suatu metode transaksi di pusat produksi yang diselenggarakan di TPI antara nelayan dan bakul dengan tujuan agar dapat diperoleh harga yang wajar serta pembayaran secara tunai kepada nelayan.

Berdasarkan Keputusan Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 139 Tahun 1997; 902/Kpts/PL.420/9/97; 03/SKB/M/IX/1997 tertanggal 12 September 1997 tentang penyelengaraan tempat pelelangan ikan, bahwa yang disebut dengan Tempat Pelelangan Ikan adalah tempat para penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli ikan melalui pelelangan dimana proses penjualan ikan dilakukan di hadapan umum dengan cara penawaran bertingkat (Pramitasari, 2005).

a. Fungsi Tempat Pelelangan Ikan

Fungsi TPI menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1985) sebagaimana dikutip Yunizar (1989) adalah sebagai:

1.Tempat pelelangan;

2.Tempat menyortir, mencuci, dan menimbang sebelum ikan dilelang; 3.Tempat pengepakkan sebelum ikan dikirim ke daerah pemasaran.

TPI pada hakekatnya adalah pasar induk dari segi institusi. Manfaat dari pelelangan ikan menurut Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Adi (1995) adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan;

2. Sebagai sumber data statistik yang akurat baik untuk keperluan perencanaan pembangunan maupun pengelolaan kelestarian sumber daya perikanan;

(7)

3. Sebagai sarana melepaskan ketergantungan nelayan kepada pemilik modal dan penghapusan sistem ijon;

4. Sebagai sarana pembinaan mutu hasil perikanan sekaligus pengaturan harga yang layak bagi konsumen;

5. Sebagai sumber pendapatan bagi Pemerintah Daerah yang sekaligus dapat melakukan fungsi kontrol terhadap penghimpunan dan penggunaan dana retribusi.

Pada pelaksanaan pelelangan ikan juga terdapat hambatan-hambatan, berikut adalah hambatan pelelangan ikan menurut Direktur Bina Prasarana Perikanan (1987) dalam Yunizar (1989), antara lain:

1. Belum dilakukannya sistem lelang dengan penawaran terbuka dan bebas, sehingga banyak merugikan nelayan;

2. Administrasi pengelolaan dan pengawasan pelelangan belum berjalan sempurna;

3. Petugas-petugas TPI umumnya masih belum memiliki persyaratan (job qualification) untuk pelaksanaan tugasnya;

4. Pelelangan ikan banyak didominasi oleh pedagang-pedagang ikan yang juga adalah tengkulak-tengkulak atau pelepas uang;

5. Praktek-praktek penjualan ikan di tengah laut masih banyak terjadi;

6. Hasil tangkapan nelayan kecil, sering tidak dijual di TPI karena adanya pembatasan jumlah minimal ikan yang boleh dilelang;

7. Pembayaran harga ikan kepada nelayan tidak secara tunai;

8. KUD sebagai pelaksana pelelangan ikan kebanyakan belum mampu melaksanakan tugasnya terutama untuk menjamin berlangsungnya penawaran secara bebas dan terbuka;

9. Sarana-sarana pemasaran seperti: penyediaan es, cool box, cool room, dan sebagainya, khususnya di PPI banyak yang belum memadai;

10.Banyak Pemerintah Daerah Tingkat I lebih mengutamakan TPI sebagai sumber pendapatn, sehingga melupakan sebagai fungsi pokok TPI sebagai sarana untuk mengusahakan harga yang layak dan pembayaran secara tunai kepada nelayan.

(8)

b. Karakteristik Tempat Pelelangan Ikan

Tempat Pelelangan Ikan idealnya memiliki fasilitas yang baik agar dapat mendukung fungsinya secara optimal. Sarana seperti tempat penyediaan es, cool box, dan cool room seharusnya telah dapat terpenuhi mengingat fokus dari TPI adalah ikan yang merupakan komoditas yang cepat rusak. Kelengkapan fasilitas pada suatu TPI adalah karakter dari masing-masing TPI, karena ternyata tidak semua TPI telah memiliki fasilitas yang memadai. Karakter lain yang dapat dilihat pada suatu TPI adalah letaknya. TPI yang baik adalah TPI yang letaknya berdekatan dengan PPI (Pelabuhan Pendaratan Ikan) sehingga ketika nelayan pulang dari melaut dapat langsung membawa hasil tangkapannya ke TPI. Hal ini tentu saja akan sangat mengefisienkan waktu dan tenaga para nelayan.

TPI adalah tanggung jawab dari pemerintahan daerah sehingga dapat terjadi perbedaan kebijakan antara TPI yang satu dengan TPI yang lainnya atau bergantung kepada kebijakan pemerintahan daerah tempat TPI tersebut berdiri. Dengan demikian kebijakan yang berlaku pada suatu TPI dapat dikategorikan sebagai karakteristik TPI. Perbedaan kebijakan ini dapat terlihat misalnya pada pengimplementasian biaya retribusi dan sistem lelang yang belaku.

2.1.4 Hubungan Patron-Klien

Salah satu ciri dari masyarakat nelayan adalah adanya hubungan patron-klien. Ikatan patron-klien muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan nelayan akan jaminan atas kelancaran kegiatan pencarian nafkah mereka. Kebutuhan ini mereka penuhi dengan menjalin sebuah hubungan patron-klien dengan seorang tengkulak. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial ekonomi mereka (Satria, 2002).

“... Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang berat, mengandung resiko dimana penghasilannya tidak menentu. Kondisi alam (musim/cuaca) mempengaruhi kondisi perekonomian para nelayan. jika perbedaan musim dan cuaca yang tidak memungkinkan kegiatan penangkapan ikan maka akan berdampak pada putusnya sumber penghasilan nelayan. situasi yang demikian maka para nelayan terpaksa melakukan pinjaman atau kredit, berhutang barang kebutuhan pokok yang harganya jauh lebih tinggi dari biasanya. ...” (Layn, 2008).

(9)

Scot (1972) dalam Layn (2008) menyatakan hubungan patron-klien merupakan suatu kasus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan status sosial lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron.

Ketidakseimbangan pertukaran pada hubungan patron-klien dapat dengan mudah ditemukan. Ketidakseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah dalam arti barang dan jasa yang diterima lain dengan yang telah diberikan. Namun dalam pandangan individu yang terlibat dalam hubungan patron-klien pertukaran yang mereka lakukan dapat saja dianggap seimbang. Gouldner (1977) dalam Layn (2008) menyatakan bahwa equivalence dapat berarti bahwa, apa yang dipertukarkan sangat berlainan wujudnya namun sama nilainya menurut pandangan para pelakunya, dan besar kecilnya nilai sesuatu yang dipertukarkan ini ditentukan oleh berbagai macam faktor, misalnya kebutuhan penerima saat pemberian diberikan, semakin tinggi nilai pemberian baginya makin besar pula rasa wajib untuk membalas pemberian tersebut. Keseimbangan ini sering disebut denga heteromorphic reciprocity.

Menurut Mulyadi (2007), Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang secara konseptual disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam memasarkan hasil, ternyata belum optimal. Kendala yang dihadapi TPI dalam mengundang nelayan untuk menggunakan fasilitas yang tersedia ternyata terjadi karena alasan sosiologis di mana nelayan telah menjalin hubungan dengan tengkulak dalam suatu hubungan patron-klien, yaitu tengkulak memberikan fasilitas kredit kepada nelayan. Sebaliknya nelayan memiliki kewajiban untuk menjual hasil tengkapannya kepada tengkulak.

2.2 Kerangka Pemikiran

Representasi sosial tentang TPI pada nelayan dipengaruhi oleh faktor internal (karakteristik individu nelayan) dan faktor eksternal. Karakteristik individu meliputi status nelayan, jenis alat tangkap yang digunakan, tingkat

(10)

pendidikan, tingkat pendapatan, tingkat usia dan tingkat pengalaman. Faktor eksternal yang dimaksud dalam penelitian ini berasal dari TPI sendiri yaiu karakteristik dari TPI Cituis dan faktor eksternal lain yang berasal dari kehidupan sosial ekonomi nelayan, yaitu hubungan patron-klien antara tengkulak dan nelayan. Karakteristik TPI yang diduga dapat mempengaruhi representasi sosial nelayan terhadap TPI, antara lain: kelengkapan fasilitas, letak, sistem lelang, sistem retribusi dan pegawai dari TPI tersebut. Tingkat pemanfaatan TPI oleh nelayan dapat dilihat dari frekuensi mengikuti kegiatan lelang, persentasi jumlah ikan yang dilelang dari hasil tangkapan, dan kegiatan yang diikuti nelayan di TPI selain dari kegiatan lelang.

Representasi sosial tentang TPI pada nelayan adalah sejumlah imej, opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai TPI yang ada pada nelayan. Representasi sosial berarti pemahaman bersama tentang suatu hal di kelompok tertentu yang di dalamnya terdiri dari informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap. Nelayan dapat berkomunikasi satu sama lain tentang TPI melalui informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap mereka. Komunikasi tersebut akan menghasilkan suatu pengetahuan sosial tentang TPI yang hampir sama di antara nelayan. Representasi sosial merupakan suatu pandangan fungsional yang membiarkan individu atau kelompok memberikan makna atau arti terhadap tindakan yang dilakukannya, untuk mengerti suatu realita kehidupan sesuai dengan referensi yang mereka miliki, dan untuk beradaptasi terhadap realitas tersebut. Maka representasi sosial individu mengenai suatu hal akan mempengaruhi perilaku individu terhadap hal tersebut. Jadi, representasi sosial tentang TPI pada nelayan akan mempengaruhi perilaku nelayan. Namun pada penelitian ini tidak akan mengkaji mengenai tingkat pemanfaatan TPI oleh nelayan karena berada di luar tujuan penelitian. Penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

(11)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan Ikan (TPI) pada Nelayan

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan representasi sosial tentang TPI pada nelayan yang menggunakan alat tangkap gardan dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring rampus.

2. Terdapat perbedaan representasi sosial tentang TPI pada nelayan yang berstatus nelayan buruh, nelayan perorangan dan nelayan juragan.

3. Terdapat hubungan positif nyata pada tingkat pendapatan nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

Faktor Eksternal

Tingkat Pemanfaatan TPI oleh Nelayan Faktor Internal

Karakteristik Nelayan: 1. Jenis alat tangkap 2. Status nelayan 3. Tingkat pendapatan 4. Tingkat pendidikan 5. Tingkat pengalaman 6. Tingkat usia Karakteristik TPI: 1. Fasilitas TPI 2. Letak TPI 3. Sistem retribusi 4. Sistem lelang Representasi Sosial tentang TPI pada Nelayan

Elemen: 1. Informasi

2. Sikap 3. Opini 4. Keyakinan Tingkat interaksi dengan

tengkulak (hubungan patron-klien)

Keterangan Gambar:

(12)

4. Terdapat hubungan positif nyata pada tingkat pendidikan nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

5. Terdapat hubungan positif nyata pada pengalaman nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

6. Terdapat hubungan positif nyata pada usia nelayan terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

7. Terdapat hubungan negatif nyata pada tingkat interaksi nelayan dengan tengkulak terhadap representasi sosial nelayan tentang TPI.

2.4 Definisi Operasional dan Pengukuran

Berdasarkan variabel-variabel yang terdapat pada kerangka pemikiran yang telah dirumuskan di atas, maka definisi operasionalnya adalah sebagai berikut:

1. Karakteristik Nelayan adalah berbagai karakter yang terdapat pada responden dan bersifat personal.

1) Usia adalah jawaban responden tentang lama hidup responden sampai ketika diwawancarai. Usia dikategorikan menjadi tiga kategori yang mengurutkan tingkat usia responden dari yang paling muda hingga yang paling tua. Berikut batasan pada tiap kategori:

a. Muda = -½ standar deviasi (x < 32 tahun) Skor = 0 b. Sedang = - ½ standar deviasi ≤ x ≤ + ½ standar deviasi

(32 ≤ x ≤ 40 tahun) Skor = 1

c. Tua = +½ standar deviasi (x > 40 tahun) Skor = 2 2) Tingkat pendidikan adalah jawaban responden tentang pendidikan terakhir

yang telah mereka capai. Kategorinya adalah sebagai berikut: a. tidak sekolah

b. SD / sederajat c. SMP / sederajat d. SMA / sederajat e. PT / sederajat

(13)

Namun pada saat penelitian, tingkat pendidikan responden tidak terlalu heterogen dehingga pengkategoriannya diubah sesuai data yang terkumpul saat penelitian, yaitu:

a. Tidak sekolah Skor = 0

b. SD Skor = 1

c. > SD Skor = 2

3) Tingkat pendapatan adalah jawaban responden tentang jumlah uang yang mereka dapatkan dari hasil menangkap ikan setiap bulannya. Kategorinya adalah:

a. Rendah (x < Rp 755.000,00) Skor = 0

b. Sedang (Rp 755.000,00 ≤ x ≤ Rp 1.111.000,00) Skor = 1

c. Tinggi (x > Rp 1.111.000,00) Skor = 2

4) Status nelayan adalah jawaban responden tentang kedudukan mereka sebagai seorang nelayan. Kategori yang digunakan adalah:

a. Anak Buah Kapal (ABK) b. Nakhoda

c. Juragan

5) Jenis alat tangkap adalah jawaban responden tentang alat yang mereka gunakan ketika menangkap ikan. Jenis alat tangkap dikategorikan sesuai dengan hasil dari pengumpulan data, yaitu:

a. Pancing b. Gardan c. Jaring rampus d. Jaring apollo e. Payang

6) Pengalaman adalah jawaban responden tentang lamanya mereka berkecimpung sebagai nelayan. Kategorinya adalah:

a. Rendah (x < 16 tahun) Skor: 0

b. Sedang (16 ≤ x ≤ 24 tahun) Skor: 1

(14)

2. Faktor Eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu nelayan, yang terdiri dari karakteristik TPI dan tingkat interaksi dengan tengkulak.

 Karakteristik TPI adalah jawaban responden tentang berbagai informasi tentang TPI Cituis yang mereka ketahui, meliputi:

1) Fasilitas TPI adalah kelengkapan sarana yang ada pada TPI Cituis.

2) Letak TPI adalah jarak yang harus ditempuh nelayan untuk mencapai TPI dari pendaratan ikan.

3) Sistem retribusi adalah sistem penarikan uang yang wajib dilakukan TPI kepada nelayan anggota lelang.

4) Sistem lelang adalah aturan main yang berlaku dalam kegiatan lelang.

 Tingkat interaksi dengan tengkulak adalah jawaban responden tentang seberapa sering mereka melakukan perjanjian dengan tengkulak. Kategorinya adalah:

a. Selalu Skor: 0

b. Kadang-kadang Skor: 1

c. Tidak pernah Skor: 2

Variabel faktor eksternal juga diukur melalui pendekatan kualitatif.

3.Representasi sosial tentang TPI pada nelayan adalah sejumlah opini, penilaian, dan pemahaman nelayan tentang TPI. Dalam representasi sosial ini terdapat empat elemen yang terdiri dari informasi, sikap, keyakinan, dan pendapat. Elemen-elemen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Informasi adalah segala pengetahuan mengenai TPI yang dimiliki responden, diukur dengan melihat tingkat pengetahuan tentang variabel karakteristik TPI, kategorinya adalah:

a. Rendah (x < 4) b. Sedang (4 ≤ x ≤ 7) c. Tinggi (x > 7)

2) Sikap adalah perasaan suka atau tidak suka dari responden terhadap kegiatan yang berlangsung di dalam TPI, kategorinya adalah:

a. Negatif (x < 9) b. Netral (9 ≤ x ≤ 10)

(15)

c. Positif (x > 10)

3) Keyakinan adalah suatu kepercayaan tertentu yang dimiliki oleh responden mengenai TPI Cituis, kategorinya adalah:

a. Negatif (x < 8) b. Netral (8 ≤ x ≤ 9) c. Positif (x > 9)

4) Opini adalah suatu hasil dari pemikiran responden mengenai TPI, yang berdasarkan pada informasi-informasi yang mereka dapatkan (diukur secara kualitatif).

Gambar

Gambar 1.  Kerangka Pemikiran Representasi Sosial tentang Tempat Pelelangan  Ikan (TPI) pada Nelayan

Referensi

Dokumen terkait

Varietas lokal atau landrace yaitu kultivar hasil seleksi petani yang mempunyai keunggulan dalam adaptasi terhadap cekaman lingkungan tertentu seperti kekeringan,

Perubahan Anggaran Dasar Perusahaan yang terakhir telah disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam Surat Keputusan No.. The Articles of

Kunjungan lapangan 25 (benih/bibit, pupuk, pestisida, dan hormon pengatur tumbuh dll) termasuk mengurangi penggunaan bahan anorganik dan diganti dengan bahan organik,

Dalam laporan kali ini akan dibahas metode prakiraan beban yang dilakukan pada bidang operasi sistem PT P+, P$/ 0aa /ali4 Prakiraan  beban yang dilakukan disini

Bagaimana konsep perilaku yang berhubungan dengan kegiatan sosial dapat mempengaruhi desain arsitektur dan lingkungan pada perancangan bangunan pasar induk tradisional baik

• Pada generasi berikutnya banyaknya transistor yang terdapat dalam sebuah microprocessor semakin banyak hal ini dikarenakan penggunaan teknologi yang semakin berkembang, sebagai

Sajrone perangan makna asil temuan panliten iki bakal ngandharake ngenani rekapitulasi saka siklus I lan siklus II adhedhasar asil observasi aktivitas guru, asil

gali nustatyti, kad tokiu atveju reikia laikyti, jog darbo sutartis arba darbo santykiai baigiami arba darbuotojo, arba darbdavio iniciatyva. Angelos Konstantinidis taip pat Uwe