• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying Pada Siswa SD 1. Pengertian Perilaku bullying pada Siswa SD - HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN REGULASI EMOSI DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA SD - UMBY repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Bullying Pada Siswa SD 1. Pengertian Perilaku bullying pada Siswa SD - HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DAN REGULASI EMOSI DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA SD - UMBY repository"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Bullying Pada Siswa SD 1. Pengertian Perilaku bullying pada Siswa SD

Priyatna (2010) mengatakan bahwa perilaku bullying adalah perilaku yang disengaja, seperti mengejek atau memukul sehingga mengakibatkan seseorang dalam keadaan tidak nyaman atau terluka dan terjadi berulang-ulang. Fataruba (2015) menyatakan bahwa perilaku bullying adalah manipulasi yang dapat berupa kekerasan fisik, verbal, atau psikologis dengan sengaja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa kuat atau berkuasa dengan tujuan menyakiti atau merugikan seseorang atau sekelompok orang yang merasa tidak berdaya.

Hertinjung dan Karyani (2015) menjelaskan bahwa bullying adalah orang yang kuat mengganggu orang lemah dan dapat diartikan juga sebagai anak yang lebih tua mengganggu anak yang lebih muda dan dilakukan secara terencana, baik individu maupun kelompok. Rigby (dalam Selemogwe, dkk., 2014) menyatakan bahwa perilaku bullying adalah perilaku manipulasi yang dapat berupa kekerasan fisik, verbal, atau psikologis dengan sengaja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang merasa kuat atau berkuasa dengan tujuan menyakiti atau merugikan seseorang atau sekelompok orang yang merasa tidak berdaya. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa perilaku bullying dilakukan oleh orang yang merasa kuat kepada orang yang lemah, sehingga terancam kehidupannya.

(2)

18

Perilaku bullying tidak hanya terjadi di lingkungan sosial masyarakat, tetapi juga terjadi di lingkungan sekolah. Proses terjadinya perilaku bullying di sekolah, selain bullies (pelaku) dan victim (korban), ada penonton yang memberi dukungan, penonton yang diam saja dan penonton yang menolong korban

(bystander). Menurut Olweus (dalam Halimah, dkk., 2015), korban mengacu pada

siswa yang menjadi sasaran perilaku negatif oleh satu atau lebih siswa lain yang bermaksud untuk menyakiti. Pelaku adalah individu yang memiliki kekuatan lebih dan berbuat dengan sengaja untuk menyakiti pihak lain yang lebih lemah.

Bystander adalah pihak-pihak lain di sekitar bullies dan victim yang menjadi saksi

atau pengamat fenomena bullying. Literatur lain menyatakan bahwa bystander adalah orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian bullying dan mempunyai peran yang besar dalam mencegah atau melanggengkan bullying. Perilaku bullying seringkali bergantung pada reaksi pengamat (bystander) yaitu pengamat yang pasif atau pengamat yang mendukung dengan menyoraki. Pelaku

bullying kadang tidak menyadari motivasi ini namun menikmati perhatian dan

rasa berkuasa tersebut. Dari beberapa peran bullying yang telah dikemukakan sebelumnya, penelitian ini akan lebih memfokuskan pada pelaku bullying.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku

bullying siswa SD merupakan perilaku yang disengaja dan terjadi berulang-ulang,

(3)

19

2. Aspek-aspek perilaku bullying

Priyatna (2010) menjelaskan bullying terbagi menjadi 2 aspek yakni perilaku bullying secara fisik dan non-fisik.

a. Bullying secara fisik contohnya menggigit, menarik rambut, memukul,

menendang, mengunci, dan mengintimidasi korban di ruangan atau dengan mengitari, memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan merusak barang-barang atau benda-benda milik korban

b. Bullying secara non-fisik dibedakan menjadi 2 yaitu verbal dan non-verbal.

Bullying verbal contohnya panggilan yang meledek, pemalakan, pemerasan,

mengancam atau intimidasi, menghasut, berkata jorok pada korban, berkata menekan, menyebarluaskan kejelekan korban. Kemudian bullying non-verbal, terbagi lagi menjadi langsung dan tidak langsung. Bullying non-verbal tidak langsung, contohnya manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan menghasut, curang, sembunyi-sembunyi.

Bullying non-verbal langsung, contohnya gerakan (tangan, kaki, atau anggota

badan lain) kasar atau mengancam, menatap, muka mengancam, menggeram, hentakan mengancam, atau menakuti.

Perilaku bullying menurut Hertinjung dan Karyani (2015) dapat diungkap melalui aspek-aspek perilaku bullying ada 5 bentuk, yaitu:

(4)

20

b. Kontak verbal langsung antara lain mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama, sarkasme, merendahkan, mencela atau mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.

c. Perilaku non-verbal langsung antara lain: melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam, biasanya disertai bullying fisik atau verbal.

d. Perilaku non-verbal tidak langsung dengan mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.

e. Pelecehan seksual, kadang dikategorikan perilaku agresi fisik.

Rigby (dalam Saifullah, 2016) mengemukakan empat aspek bullying antara lain yaitu:

a. Bentuk fisik yaitu menendang, memukul, dan menganiaya orang yang dirasa mudah dikalahkan dan lemah secara fisik.

b. Bentuk verbal yaitu menghina, menggosip, dan memberi nama ejekan pada korbannya.

c. Bentuk isyarat tubuh yaitu mengancam dengan gerakan dan gertakkan

d. Bentuk berkelompok yaitu membentuk koalisi dan membujuk orang untuk mengucilkan seseorang.

(5)

21

bullying mental atau psikologis adalah bullying yang tidak terlihat dan tidak dapat

didengar seperti memandang dengan sinis, mendiamkan, mengucilkan.

Beberapa pendapat mengenai bentuk-bentuk perilaku bullying yang dalam penelitian ini dijadikan aspek-aspek penelitian meliputi aspek fisik dan non fisik.

Bullying secara non-fisik dibedakan menjadi 2 yaitu verbal dan non-verbal. Aspek tersebut berdasarkan pendapat dari Priyatna (2010). Alasannya, aspek fisik

dan non fisik digunakan dalam penelitian ini karena dua aspek tersebut sudah menjelaskan aspek-aspek yang dikemukakan oleh ahli lain.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying

Faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying dibedakan menjadi dua yaitu faktor internal dan eksternal, dengan penjelasannya, sebagai berikut:

a. Faktor Internal

Rigby (2007) menjelaskan bahwa faktor internal yang mempengaruhi perilaku bullying terdiri dari religiusitas, regulasi emosi, kepribadian, perasaan berkuasa, dan gender. Faktor-faktor internal tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1) Religiusitas

(6)

22

lubuk hati manusia. Dengan demikian, religiusitas merupakan suatu sikap dan keyakinan seseorang terhadap Tuhan sesuai dengan tata aturan agama yang dianut oleh orang tersebut. Agrawal dan Kehksha (2015) berpendapat bahwa seseorang yang sudah bertingkah laku sesuai dengan agamanya menunjukkan adanya unsur internalisasi agama dalam diri seseorang (religiusitas). Ajaran agama yang melarang menyakiti orang lain diterapkan oleh seseorang, sehingga orang tersebut tidak melakukan bullying.

2) Regulasi Emosi

Umasugi (2010) menjelaskan dalam penelitiannya, menjelaskan bahwa pemikiran dan perilaku individu sangat dipengaruhi oleh regulasi emosi. Siswa yang memiliki regulasi emosi mampu menyadari dan mengatur pemikiran dan perilakunya dalam emosi-emosi yang berbeda (emosi positif dan negatif). Ketika sedang mengalami emosi negatif, siswa dengan regulasi emosi yang baik tetap dapat berfikir jernih sehingga perilaku yang muncul tetap berdasarkan logika dan kesadaran. Ekspresi emosi negatif yang dapat diregulasi dengan baik akan mampu meminimalisasi proyeksi negatif pada perilaku yang berujung pada perilaku bullying. Gross dan Jazaieri (2014) berpendapat bahwa regulasi emosi ialah strategi yang dilakukan oleh seseorang secara sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau mengurangi satu aspek dari respon emosi yang diwujudkan dalam perilaku.

(7)

23

mendapat perhatian, tetapi kurang mampu dalam memilih cara untuk mengurangi respon emosi, sehingga berpengaruh terhadap perilaku melakukan bullying pada orang lain.

3) Kepribadian

Usman (2013) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa faktor internal yang mempengaruhi terjadinya bullying adalah faktor kepribadian. Faktor kepribadian yang memberikan kontribusi besar pada siswa dalam melakukan perilaku bullying atau menjadi pelaku bullying. Pelaku bullying cenderung memiliki kepribadian dengan sikap empati yang rendah, impulsif, dominan, dan tidak bersahabat. Faktor-faktor dalam kepribadian berkontribusi besar pada ciri khas perilaku individu dalam situasi bullying, di mana tingginya tingkat dari ketidakstabilan emosi dan rendahnya tingkat dari keramahtamahan berpengaruh pada pelaku bullying.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Soedjatmiko, dkk., (2013: 178) mengungkapkan bahwa faktor-faktor dalam kepribadian berkontribusi besar pada ciri khas perilaku anak-anak dalam situasi bullying, di mana tingginya tingkat emosi berpengaruh pada pelaku bullying. Seperti contoh, berdasarkan hasil penelitian, anak yang berusia antara usia 9-13 tahun menunjukkan perilaku suka mengancam orang lain dan mengajak berkelahi.

4) Perasaan berkuasa

(8)

24

bangga dianggap hebat dan ditakuti oleh siswa lain yang melihatnya menindas. Perilaku bullying pada siswa sebagai upaya mendapatkan perhatian „tertentu‟ dari teman sebaya (bystander) dapat memicu terulangnya perilaku

tersebut di sekolah. Alasan seseorang menjadi pelaku bullying adalah bahwa pelaku bullying merasakan kepuasan apabila pelaku “berkuasa” di kalangan teman sebayanya. Maksudnya, pelaku bullying merupakan siswa yang ditakuti dan menguasai teman-teman lainnya, sehingga memberikan penguatan terhadap perilaku bullying.

5) Gender

Perbedaan gender pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan dapat menimbulkan perilaku bullying, karena adanya perbedaan pola pikir dan perasaan. Laki-laki cenderung mengutamakan pikiran dan perempuan mengutamakan perasaan. Oleh sebab itu, perilaku bullying ada kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan perasaan. Perempuan jarang melakukan bullying, karena ada perasaan untuk tidak menyakiti orang lain.

(9)

25

b. Faktor eksternal

Wiyani (2013) menjelaskan bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku bullying, antara lain sebagai berikut:

1) Perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, dan etnisitas atau rasisme.

Pada dasarnya, perbedaan (terlebih jika perbedaan tersebut bersifat ekstrim) individu dengan suatu kelompok dimana individu bergabung, jika tidak dapat disikapi dengan baik oleh anggota kelompok tersebut.

a) Perbedaan keadaan ekonomi dalam status keluarga dapat menimbulkan perilaku bullying, karena status ekonomi lemah ada kecenderungan banyak terjadi konflik.

b) Etnisitas atau rasisme berhubungan dengan perbedaan etnis daerah atau suatu bangsa. Adanya perbedaan daerah berkaitan dengan adat atau kebiasaan suatu daerah satu dengan lainnya berbeda. Perbedaan tersebut dapat menimbulkan perilaku bullying pada orang yang memiliki etnis dengan kebiasaan bersikap keras untuk melakukan bullying.

2) Lingkungan keluarga

(10)

26

3) Situasi sekolah yang tidak harmonis atau diskriminatif

Bullying juga dapat terjadi jika pengawasan dan bimbingan etika dari

para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten.

4) Lingkungan teman sebaya

Faktor lain yang berasal dari luar individu adalah teman sebaya. Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau individu dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Interaksi teman sebaya dengan usia yang sama memainkan peran yang unik pada kehidupan individu. Sekelompok teman sebaya yang mempunyai ikatan emosional yang kuat dan berinteraksi, bertukar pikiran, dan pengembangan dalam kehidupan sosial dan pribadinya.

Kelompok teman sebaya memberikan pengaruh terhadap tumbuhnya perilaku bullying di sekolah. Menurut Usman (2015) dalam penelitiannya, kelompok teman sebaya yang memiliki masalah di sekolah akan memberikan dampak yang negatif bagi sekolah seperti kekerasan, perilaku membolos, rendahnya sikap menghormati kepada sesama teman dan guru. Teman di lingkungan sekolah idealnya berperan sebagai “partner” siswa dalam proses

pencapaian program-program pendidikan. Fakta dilapangan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan Usman pada siswa SMA di Kota Gorontalo mengungkapkan ada sebagian siswa yang melakukan perilaku bullying di sekolah disebabkan oleh dorongan teman-temannya.

(11)

27

religiusitas, regulasi emosi, kepribadian, perasaan bangga, perasaan berkuasa, pengalaman masa lalu, dan perasaan iri. Faktor eksternal meliputi perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, gender, lingkungan keluarga (komunikasi orangtua-anak), lingkungan teman sebaya, dan lingkungan sekolah, lingkungan sosial.

Beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku bullying di atas, dalam penelitian ini difokuskan faktor internal pendapat dari Rigby (2007) bahwa faktor internal yang mempengaruhi perilaku bullying terdiri dari religiusitas, regulasi emosi, kepribadian, perasaan berkuasa, dan gender. Penelitian ini difokuskan pada faktor internal yaitu religiusitas dan regulasi emosi. Alasan dipilihnya faktor internal sesuai pendapat Golmaryami, dkk., (2015) bahwa faktor internal merupakan faktor yang lebih diutamakan sehubungan seseorang melakukan

bullying, karena faktor internal dapat membentuk perilaku seseorang.

Dipilihnya faktor internal religiusitas dan regulasi emosi dalam penelitian ini, menurut Jalaluddin (2016) bahwa religiusitas merupakan salah satu faktor penting dalam membentuk sikap dan moral siswa mengenai perbuatan yang baik dan buruk, yang dilarang dam dilakukan, sehingga membentuk moral seseorang menjadi baik dan mampu mengontrol perilaku untuk tidak melakukan bullying, khususnya pada siswa SD, karena siswa SD sebagai awal pendidikan formal yang mendasar sikap dan perilaku untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

(12)

28

religiusitas yang baik maka tidak akan melakukan bullying, sebaliknya subjek yang memiliki religiusitas yang kurang baik akan cenderung melakukan bullying.

Dipilihnya faktor internal regulasi emosi dengan alasan berdasarkan pendapat Umasugi (2012), bahwa regulasi emosi merupakan semua kesadaran dan ketidaksadaran strategi yang digunakan untuk menaikkan, memelihara dan menurunkan satu atau lebih komponen dari respon emosi. Kemampuan individu untuk memelihara dan menurunkan emosinya akan menentukan bagaimana individu bersikap ketika dihadapkan pada situasi tertentu yang dapat menimbulkan bullying. Regulasi emosi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah regulasi emosi anak (siswa SD) sesuai pendapat Santrock (2009) bahwa anak memiliki regulasi emosi, karena anak mampu menyesuaikan diri saat berinteraksi dengan teman sehingga anak dapat mengendalikan emosinya.

B. Religiusitas 1. Pengertian Religiusitas

(13)

29

Pengertian tersebut berbeda dengan pendapat Anshari (dalam Azizah, 2010) mengartikan religi, agama atau din sebagai sistem tata keyakinan atau tata keimanan atas dasar sesuatu yang mutlak diluar diri manusia dan merupakan suatu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggap mutlak, serta sistem norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam lainnya dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang telah dimaksud. Sebuah proses untuk mencari sebuah jalan kebenaran yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral. Religiusitas sebagai sistem yang konfleks yang terdiri dari kepercayaan, keyakinan yang tercermin dalam sikap dan melaksanakan upacara-upacara keagaman yang dengan maksud untuk dapat berhubungan dengan Tuhan. Menurut Mangunwijaya (dalam Ismail, 2010) bila dilihat dari kenampakannya, agama lebih menunjukkan kepada suatu kelembagaan yang mengatur tata penyembahan manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih melihat aspek yang ada di lubuk hati manusia. Religiusitas lebih menunjuk kepada aspek kualitas dari manusia yang beragama. Agama dan religiusitas saling mendukung dan saling melengkapi karena keduanya merupakan konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang mempunyai dua kutub, yaitu kutub kehidupan pribadi dan kutub kebersamaannya di tengah masyarakat.

(14)

30

keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama ke dalam diri seseorang.

Agrawal dan Kehksha (2015) berpendapat bahwa seseorang yang sudah bertingkah laku sesuai dengan agamanya menunjukkan adanya unsur internalisasi agama dalam diri seseorang (religiusitas). Religiusitas dapat memberikan jalan keluar kepada individu untuk mendapatkan rasa aman, berani, dan tidak cemas dalam menghadapi permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Agama Islam sendiri mengajarkan bahwa dengan mendekatkan diri kepada Allah, agar mendapatkan ketenangan hidup dan dapat mengontrol perilaku.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa religiusitas adalah sikap batin pribadi (personal) setiap manusia yang berupa sikap dan keyakinan seseorang terhadap Tuhan sesuai dengan tata aturan agama yang dianut oleh orang tersebut.

2. Aspek Religiusitas

Ismail (2010) berpendapat bahwa religiusitas sebagai sikap batin, tidak dapat dilihat secara langsung namun bisa tampak dari pengungkapan sikap tersebut. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa religiusitas merupakan sikap batin seseorang yang dapat dilihat dari ungkapan sikap melalui perilaku.

Aspek yang digunakan menurut penelitian Ismail (2010) berdasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Glock dan Stark ada lima aspek, yaitu:

(15)

31

Tiap‐tiap agama memiliki seperangkat keyakinan yang harus dipatuhi oleh penganutnya, misalnya kepercayaan adanya Tuhan.

b. Aspek peribadatan (the ritulistic dimension) yaitu tingkat kepatuhan seseorang mengerjakan kewajiban ritual sebagaimana yang diperintahkan dalam agamanya (religious practice), misalnya kewajiban bagi orang Islam seperti; sholat, zakat, puasa, pergi haji bila mampu.

c. Aspek penghayatan (the experiential dimension) yaitu tingkatan seseorang dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan atau pengalaman‐pengalaman keagamaan (religious feeling). Semua agama memiliki harapan bagi individu penghayatannya akan mencapai suatu pengetahuan yang langsung mengenai realitas yang paling sejati atau mengalami emosi‐emosi religius misalnya; merasa doanya dikabulkan, merasa diselamatkan Tuhan.

d. Aspek pengamalan (the consequential dimension) yaitu aspek yang mengukur sejauhmana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, yakni bagaimana individu berhubungan dengan dunia terutama dengan sesama manusia (religious effect).

(16)

32

Jalaluddin (2016) berpendapat bahwa aspek-aspek religiusitas ada tiga dengan aspek-aspeknya, sebagai berikut:

a. Cipta (reason) merupakan fungsi intelektual jiwa manusia. Melalui cipta, orang dapat menilai, membandingkan, dan memutuskan sesuatu tindakan terhadap stimulan tertentu. Perasaan intelek ini dalam agama merupakan suatu kenyataan yang dapat dilihat, terlebih-lebih dalam agama modern, peranan, dan fungsi reason ini sangat menentukan. Dalam lembaga-lembaga keagamaan yang menggunakan ajaran berdasarkan jalan pikiran yang sehat dalam mewujudkan ajaran-ajaran yang masuk akal, fungsi berpikir sangat diutamakan.

b. Rasa (emotion) memberi makna dalam kehidupan beragama diperlukan penghayatan yang seksama dan mendalam sehingga ajaran itu tampak hidup. Jadi, yang menjadi obyek penyelidikan sekarang pada dasarnya adalah bukan anggapan bahwa pengalaman keagamaan seseorang itu dipengaruhi oleh emosi, melainkan sampai beberapa jauhkah peranan emosi itu dalam agama. c. Karsa (will) merupakan fungsi eksekutif dalam jiwa manusia. Will berfungsi

(17)

33

lemah. Jika tingkah laku keagamaan itu terwujud dalam bentuk perwujudan yang sesuai dengan ajaran keagamaan dan selalu mengimbangi tingkah laku, perbuatan dan kehidupannya sesuai dengan kehendak Tuhan.

Selanjutnya Ismail (2010) mengemukakan bahwa pokok-pokok ajaran Islam dapat dijadikan aspek religiusitas terdiri dari (1) aqidah (iman), (2) syariah, dan (3) akhlaq. Dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan religius jika orang mampu melaksanakan dimensi-dimensi religiusitas tersebut dalam perilaku dan kehidupannya.

Beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek religiusitas adalah aspek keyakinan (the ideological dimension), peribadatan (the ritulistic

dimension), penghayatan (the experiential dimension), pengamalan (the

consequential dimension), intelektual (the intelectual dimension), cipta (reason),

rasa (emotion), karsa (will), aqidah (iman), syariah, dan akhlaq.

Aspek yang digunakan dalam penelitian adalah aspek yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ismail, 2010) ada lima aspek, yaitu keyakinan (the

ideological dimension), peribadatan (the ritulistic dimension), penghayatan (the

experiential dimension), pengamalan (the consequential dimension) dan

(18)

34

C. Regulasi Emosi 1. Pengertian Regulasi Emosi

Gross dan Jazaieri (2014) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah kemampuan yang dilakukan secara sadar untuk mempertahankan, memperkuat, atau mengurangi respon emosi yang berpengaruh terhadap perilaku. Bradley, dkk,. (2009) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan, meningkatkan atau mengurangi emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Maksudnya, regulasi emosi individu positif, maka perilaku yang dilakukan individu cenderung yang baik sesuai dengan aturan. Sebaliknya, individu yang memiliki regulasi negatif ada kecenderungan melakukan pelanggaran aturan.

Santrock (2009) berpendapat bahwa regulasi emosi adalah kemampuan individu dalam memadukan data-data mengenai emosi yang dirasakan oleh diri sendiri maupun orang lain untuk menentukan tingkah laku yang paling efektif yang akan ditampilkan pada saat berinteraksi dengan orang lain.

Massah, dkk, (2016) berpendapat bahwa regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan emosi (regulate feeling), reaksi fisiologis

(regulate physiology), kognisi yang berhubungan dengan emosi (emotionrelated

cognitions), dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (emotion- related

(19)

35

Sheppes, dkk., (2015) berpendapat bahwa regulasi emosi terdiri dari proses internal dan eksternal yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. Smieja, dkk., (2011) menjelaskan bahwa aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali pikiran, tingkah laku, respon fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan.

Massah, dkk., (2016) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa ada dua hal penting yang terkait dengan regulasi emosi yaitu ketenangan (calming) dan fokus

(focusing), individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini dapat

(20)

36

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah kemampuan secara sadar untuk mempertahankan, memperkuat, atau mengurangi respon emosi yang berhubungan dengan perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau meningkatkan atau mengurangi emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif.

2. Aspek-aspek Regulasi Emosi

Gross dan Jazaieri (2014) menjelaskan ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :

a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk

dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.

b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk

tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya, sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.

c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk

dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.

d. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu

(21)

37

Menurut Smieja, dkk., (2011) regulasi emosi memiliki aspek, antara lain : a. Keyakinan akan kemampuan diri: sikap positif individu tentang dirinya,

bahwa individu mengerti sungguh-sungguh akan apa yang dilakukan.

b. Optimis: sikap positif individu yang selalu berpandangan baik dalam menghadapi segala hal tentang diri, harapan dan kemampuannya.

c. Obyektif: sikap individu yang memandang permasalahan ataupun sesuatu sesuai dengan kebenaran semestinya bukan menurut kebenaran pribadi yang menurut dirinya benar.

d. Bertanggung jawab: kesediaan individu untuk menanggung segala sesuatu yang telah menjadi konsekuensinya.

e. Rasional dan realistik: kemampuan menganalisa masalah, sesuatu hal, sesuatu kejadian dengan menggunakan pemikiran yang dapat diterima akal sehat dan sesuai kenyataan.

Massah, dkk, (2016) berpendapat bahwa regulasi emosi merupakan salah satu ciri dari kematangan emosi yang diartikan sebagai kondisi yang stabil. Karakteristik emosi yang stabil antara lain tidak adanya perubahan perasaan yang cepat dan tidakmenentu, keceriaan, memiliki rasa percaya diri, sikap realistik, dan optimistik, tidak terobsesi dengan perasaan bersalah, cemas maupun kesepian.

Kesimpulan aspek-aspek regulasi emosi yaitu Strategies to emotion

regulation (strategies), Engaging in goal directed behavior (goals), control

emotional responses (impulse), dan acceptance of emotional response

(acceptance), keyakinan akan kemampuan diri, optimis, obyektif,

(22)

38

Berdasarkan pada kesimpulan di atas, dalam penelitian ini menggunakan aspek-aspek regulasi emosi yang mengacu pada pendapat Gross dan Jazaieri (2014). Alasannya, aspek-aspek tersebut mampu mengungkapkan regulasi emosi dibandingkan aspek dari pendapat orang lain.Aspek-aspek yang dikemukakan oleh Gross dan Jazaieri dijelaskan lebih mendetail berupa gambaran regulasi emosi, sehingga memudahkan dalam pembuatan pernyataan pada skala.

D. Hubungan antara Religiusitas dengan Perilaku Bullying Pada Siswa SD Setiap individu memiliki religiusitas, baik anak, remaja, ataupun orang dewasa dengan tingkat religiusitas yang berbeda-beda sesuai perkembangan usia. Religiusitas pada penelitian ini khususnya pada siswa SD dalam tingkat usia termasuk kategori anak. Aviyah dan Farid (2014) menjelaskan bahwa religiusitas merupakan aspek yang telah dihayati oleh individu di dalam hati, getaran hati nurani pribadi dan sikap mengenai religiusitas yaitu sikap keberagamaan yang berarti adanya unsur internalisasi agama ke dalam diri seseorang

(23)

39

Proses hubungan religiusitas dengan perilaku bullying dijelaskan oleh Umasugi (2010) bahwa anak yang memiliki religiusitas tinggi akan berusaha menjauhi larangan-larangan ajaran agama dan perilaku bullying merupakan perilaku yang dilarang oleh agama, sehingga anak akan menjauhi bullying. Sebaliknya, anak yang religiusitas rendah atau kurang memahami larangan ajaran agama, baik disengaja atau tanpa sengaja melakukan bullying yang dianggap perilaku biasa.

Religiusitas diungkap melalui aspek-aspek yang dikemukakan oleh Glock dan Stark (dalam Ismail, 2010) ada lima aspek, yaitu keyakinan (the ideological

dimension), peribadatan (the ritulistic dimension), penghayatan (the experiential

dimension), pengamalan (the consequential dimension), dan intelektual (the

intellectual dimension). Aspek keyakinan berkaitan dengan tingkatan seseorang

dalam meyakini kebenaran ajaran agamanya yang memiliki seperangkat keyakinan yang harus dipatuhi. Keyakinan individu pada dalam ajaran agama tidak diperbolehkan menyakiti orang, sehingga individu tidak melakukan bullying karena individu beranggapan bahwa bullying merupakan perbuatan yang melanggar aturan agama.

(24)

40

seseorang dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan atau pengalaman‐pengalaman keagamaan yang berhubungan dengan emosi. Kaitannya dengan perilaku bullying yaitu individu yang memiliki ketidakstabilan tinggi berpengaruh pada perilaku bullying. Sebaliknya, individu yang memiliki ketidakstabilan rendah akan mampu mengontrol emosinya untuk tidak melakukan bullying.

Jalaluddin (2016) berpendapat bahwa aspek intelektual yaitu aspek yang mengukur pengetahuan dan pemahaman seseorang mengenai ajaran agama mengenai aturan-aturan dalam menjalankan ajaran agama dan memahami aturan yang harus dikerjakan sesuai ajaran agama. Pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki seseorang mengarah pada perilaku untuk taat menjelakan perintah agama. Aspek pengamalan yaitu aspek yang mengukur sejauhmana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, khususnya dalam hubungannya dengan manusia, bahwa sesama harus saling menyayangi. Adanya sikap menyayangi yang dimiliki individu, maka individu berusaha untuk tidak menyakiti orang lain.

(25)

41

Ismail (2010) mengemukakan bahwa perasaan-perasaan atau pengalaman keagamaan yang selalu muncul dalam diri individu menyebabkan timbulnya kontrol internal dalam dirinya sehingga dapat mencegah timbulnya perilaku-perilaku menyimpang yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Konsep untuk menyayangi dan mencintai sesama yang terkandung dalam nilai-nilai agama akan dimaknai dengan baik oleh individu yang memiliki tingkat religiusitas yang baik. Kondisi tersebut akan meminimalisasi munculnya perilaku

bullying seperti mengintimidasi, meyakiti orang lain dan bentuk-bentuk perilaku

bullying baik fisik, verbal maupun non verbal. Contohnya perilaku bullying fisik

seperti menendang, memukul, dan menampar. Perilaku bullying verbal contohnya mengancam, menghina, dan memaki. Perilaku bullying non verbal, contohnya mengucilkan, menmgirimklan surat kaleng, dan melihat dengan sinis.

Atas dasar penjelasan tersebut, maka religiusitas mempengaruhi terjadinya perilaku bullying. Umasugi (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa faktor internal yang berhubungan dengan pemahaman dan pengetahuan agama atau religiusitas pada individu yaitu keyakinan-keyakinan individu mengenai perbuatan baik dan buruk yang diajarkan dalam agama. Perilaku bullying merupakan perbuatan buruk yang dilarang agama dan siswa yang memahami pengertian tersebut akan berusaha menjauhi perilaku bullying.

E. Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Perilaku Bullying Pada Siswa SD

(26)

42

respon yang membimbing tingkah laku individu dan menyediakan informasi untuk membantu individu mencapai tujuannya. Kemampuan individu dalam mengatur emosi disebut regulasi emosi.

Regulasi emosi dalam penelitian ini diungkap menggunakan aspek-aspek pada pendapat Gross dan Jazaieri (2014) ada empat aspek, yaitu: strategies to emotion regulation (strategies), engaging in goal directed behavior (goals),

control emotional responses (impulse), dan acceptance of emotional response

(acceptance). Strategies to emotion regulation (strategies) sebagai keyakinan

individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif. Misalnya, individu sedang marah dengan temannya dan ingin memukul teman tersebut tetapi tidak jadi dilakukan, karena individu tersebut timbul rasa kasihan. Individu yang mampu mengurangi emosi negatif tidak melakukan bullying pada teman lainnya, seperti saat diejek siswa tidak membalas ejekan tersebut.

Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu

untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya, sehingga individu dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik, yaitu tidak melakukan bullying. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi, sehingga individu tidak terpengaruh untuk melakukan perbuatan yang merugikan orang lain yaitu tidak melakukan bullying. Contohnya, saat diajak teman untuk berkelahi, siswa menolaknya.

Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu

(27)

43

seseorang sedang marah dan mencoba untuk bersikap sabar. Diperjelas oleh Umasugi (2012) bahwa ketika sedang mengalami emosi negatif, individu dengan regulasi emosi yang baik tetap dapat berfikir jernih, sehingga perilaku yang muncul merupakan perbuatan yang merugikan orang lain.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Santrock (2009) menunjukkan bahwa kontrol emosi mempunyai peran penting dalam perilaku individu. Massah, dkk., (2016) menjelaskan bahwa regulasi emosi menggambarkan keputusan individu yang melalui pertimbangan kognitif untuk menyatukan perilaku yang telah disusun untuk meningkatkan hasil dan tujuan tertentu seperti yang diinginkan. Individu dengan regulasi emosi tinggi sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Individu yang memiliki regulasi tinggi cenderung akan menghindari bullying dan tidak akan terbawa arus pergaulan lingkungannya. Misalkan anak mampu berpikir bahwa bullying merupakan perbuatan yang menyakiti orang lain, sehingga anak tidak menendang atau memukul saat ada perbedaan pendapat dengan teman.

(28)

44

perilaku yang berujung pada perilaku bullying. Misalkan anak yang memiliki regulasi emosi bersikap sabar akan mampu mengontrol emosi, sehingga saat diejek oleh teman anak tersebut tidak membalas mengejek tetapi bersikap diam.

Penjelasan tersebut dibuktikan dalam hasil penelitian yang dilakukan Umasugi (2010), dengan kesimpulan bahwa ada hubungan negatif yang signifikan antara regulasi emosi dengan perilaku bullying. Regulasi emosi individu baik akan mampu mengontrol perilaku, sebaliknya subjek yang memiliki regulasi emosi yang kurang baik cenderung melakukan bullying.

F. Hubungan antara Religiusitas dan Regulasi Emosi dengan Perilaku Bullying

Religiusitas merupakan suatu keimanan dan keyakinan seseorang kepada Tuhan. Keimanan seseorang dapat diketahui melalui kesesuaian beribadah dengan tata peribadatan sesuai dengan agama yang dianut oleh individu tersebut. Seseorang yang religiusitas bertingkah laku sesuai dengan agamanya menunjukkan adanya unsur internalisasi agama dalam diri seseorang. Religiusitas dapat memberikan jalan keluar kepada individu untuk mendapatkan rasa aman, berani, dan tidak cemas dalam menghadapi permasalahan yang melingkupi kehidupan.Religiusitas diungkap berdasarkan pendapat Glock dan Stark (dalam Ismail 2010) ada lima aspek, yaitu keyakinan (the ideological dimension), peribadatan (the ritulistic dimension), penghayatan (the experiential dimension), pengamalan (the consequential dimension) dan intelektual (the intelectual

(29)

45

Umasugi (2010) menjelaskan bahwa aspek religiusitas sebagai tingkat seseorang dalam meyakini kebenaran ajaran agama berdasarkan pemikiran tentang religiusitas dirasakan dalam ketenangan emosi yang nantinya diwujudkan dalam karsa melakukan tindakan ajaran agama. Sejauhmana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya dalam kehidupan sosial dapat dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat mengontrol perilakunya, termasuk mengontrol perilaku bullying. Dengan demikian dapat dipahami bahwa religiusitas merupakan faktor internal yang mempengaruhi perilaku bullying. Misalnya dalam ajaran agama Islam menyakiti orang lain merupakan perbuatan dosa, karena takut berdosa maka individu berusaha untuk tidak menyakiti orang lain.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa religiusitas dapat memberikan jalan keluar kepada individu untuk mendapatkan rasa aman, tenang, berani, dan tidak cemas dalam menghadapi permasalahan yang melingkupi kehidupan. Rasa aman, tenang, dan tidak cemas berhubungan dengan emosi seseorang. Emosi seseorang dalam kehidupan sehari-hari perlu dilakukan pengontrolan yang disebut dengan regulasi emosi. Regulasi emosi sebagai kemampuan individu untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosional untuk mencapai tujuan. Regulasi dipandang secara positif, individu yang melakukan regulasi emosi akan lebih mampu melakukan pengontrolan emosi.

(30)

46

goal directed behavior (goals), control emotional responses (impulse), dan

acceptance of emotional response (acceptance)

Individu yang memiliki keempat aspek tersebut, maka individu memiliki regulasi emosi yang baik akan mampu menyadari dan mengatur pemikiran dan perilakunya. Ketika sedang mengalami emosi negatif, siswa dengan regulasi emosi yang baik tetap dapat berfikir jernih sehingga perilaku yang muncul tetap berdasarkan logika dan kesadaran. Ekspresi emosi negatif yang dapat diregulasi dengan baik akan menurunkan perilaku negatif pada yang berujung pada perilaku

bullying. Dijelaskan oleh Golmaryami, dkk., (2015) bahwa ekspresi emosi negatif

individu menunjukkan ketidakmampuan individu dalam mengelola emosi, sehingga individu tidak dapat menahan diri untuk melakukan hal-hal yang dapat menyakiti orang lain.

(31)

47

Agrawal dan Kehksha (2015) menjelaskan bahwa religiusitas seseorang dapat memberikan jalan keluar kepada individu untuk mendapatkan rasa aman, tenang, dan tidak cemas berhubungan dengan emosi seseorang. Emosi seseorang dalam kehidupan sehari-hari perlu dilakukan pengontrolan yang disebut dengan regulasi emosi. Priyatna (2010) menyatakan bahwa individu memiliki regulasi emosi yang baik akan mampu menyadari dan mengatur pemikiran, sehingga mengatur perilakunya untuk tidak melakukan bullying.

G. Landasan Teori

Individu dalam kehidupan sehari-harinya dalam berperilaku mempunyai pedoman agama sebagai ajarannya, sehingga memungkinkan individu memiliki religiusitas. Perilaku religiusitas adalah perilaku yang berdasarkan keyakinan suara hati dan keterikatan kepada Tuhan, diwujudkan dalam bentuk kuantitas dan kualitas peribadatan serta norma yang mengatur hubungan dengan Tuhan, hubungan sesama manusia, hubungan dengan lingkungan yang terinternalisasi dalam manusia. Religiusitas diungkap berdasarkan pendapat Glock dan Stark (dalam Ismail 2010) ada lima aspek, yaitu keyakinan (the ideological dimension), peribadatan (the ritulistic dimension), penghayatan (the experiential dimension), pengamalan (the consequential dimension), dan intelektual (the intelectual

dimension).

(32)

48

individu dengan cara memberikan pendidikan religiusitas yang didapatkan melalui keluarga, sekolah, dan lingkungan sekitar. Umasugi, (2012) berpendapat bahwa individu yang religiusitasnya baik akan mampu menyelesaikan permasalan yang dihadapinya dengan tenang dan sesuai dengan tuntunan agama. Hal ini dapat menjelaskan bahwa individu yang memiliki religiusitas yang baik tidak akan melakukan bullying pada temannya

Agrawal dan Kehksha (2015) menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki religiusitas tinggi mampu mengontrol emosi yang disebut dengan regulasi emosi. Regulasi emosi sebagai kemampuan untuk tenang di bawah tekanan. Individu yang mempunyai regulasi emosi yang baik akan mampu memahami keadaan emosinya dengan tenang, dan mengarahkan emosinya ketika mendapat tekanan. Regulasi emosi diungkap berdasarkan aspek-aspek dari Gross dan Jazaieri (2014), meliputi Strategies to emotion regulation (strategies),

Engaging in goal directed behavior (goals), control emotional responses

(impulse), dan acceptance of emotional response (acceptance). Individu yang

(33)

49

Umasugi (2010) berpendapat bahwa religiusitas seseorang dalam meyakini kebenaran ajaran agama mampu mempengaruhi pemikiran dalam mengelola emosi, sehingga individu yang menyakini ajaran agama demi kebaikan akan menjauhi larangannya, karena individu mampu meregulasi emosi yang nantinya diwujudkan dalam perilaku untuk tidak berbuat menyakiti orang lain atau menjauhi perilaku bullying.

Penjelasan teori tersebut memberikan pemahaman bahwa fokus dalam penelitian ini yaitu variabel independen yaitu religiusitas (X1) dan regulasi emosi (X2) mempengaruhi terjadinya variabel dependen yaitu perilaku bullying (Y). Pengaruh variabel independen terhadap dependen dijelaskan dalam kerangka teori berikut ini. H1 H3 H2

Gambar 1. Dinamika Hubungan Antar Variabel Keterangan :

H1 menunjukkan hubungan X1 dengan Y. H2 menunjukkan hubungan X2 dengan Y.

H3 menunjukkan hubungan X1 dan X2 dengan Y.

Religiusitas (X1) Aspek: 1. Ideological 2. Ritualistic 3. Eksperiencal 4. Konsequential

5. Intelectual Perilaku Bullying (Y)

Aspek:

1. Fisik

2. Non Fisik (Verbal

dan non verbal) Regulasi Emosi (X2)

Aspek:

1. Strategies to emotion

regulation (strategies)

2. Engaging in goal directed

behavior (goals)

3. Control emotional responses

(impulse)

4. Acceptance of emotional

(34)

50

H. Hipotesis

Berdasarkan pada kerangka pemikiran, maka hipotesis dalam penelitian yaitu:

1. Ada hubungan negatif antara religiusitas dengan perilaku bullying pada siswa SD. Artinya, semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah bullying. Sebaliknya religiusitas rendah, maka perilaku bullying tinggi.

2. Ada hubungan negatif antara regulasi emosi dengan perilaku bullying pada siswa SD. Artinya, semakin tinggi regulasi emosi maka semakin rendah perilaku bullying atau sebaliknya, regulasi emosi rendah maka perilaku

bullying semakin tinggi.

Gambar

Gambar 1. Dinamika Hubungan Antar Variabel

Referensi

Dokumen terkait

Kejadian, pelaku ditemukan langsung oleh petugas kepolisian polres bone saat melakukan operasi cipta kondisi sedang membawa, memiliki, menyimpan dan menguasai

I (and my co-authors) here by assign and transfer to VEKTORA – Journal of Vector Borne and Reservoir Diseases all rights of copyright ownership and permission to the article,

With some samples a second contaminant maximum (CN, Ca, NaCl and KCl) was observed at the interface between the bulk metal and surface gild layer and possibly originated from

Pada penelitian ini penerapan metode Critical Chain Project Management dilakukan pada penjadwalan proyek PLTA Peusangan – Aceh Tengah, yang sebelumnya telah memiliki

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan data primer.. Data primer merupakan sumber data yang langsung diberikan

Ini dikarenakan dengan sikap ilmiah tersebut pembelajaran akan berjalan dengan baik, sehingga mencapai tujuan pembelajaran dan hasil belajar yang diinginkan, dimana

Minun tuli myös saada lupa lasten vanhemmilta satutuntien dokumentointiin valitsemallani tavalla (esim. keskustelujen äänitys). 9.1.2015 kävin keskustelemassa Hyvinkään

Penelitian ini, data penelitian menggunakan instrumen non-tes akan dibandingkan dengan suatu kriteria yang telah ada, sehingga instrument non-tes memerlukan uji