• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGUKURAN RUTE DAN PERATURAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGUKURAN RUTE DAN PERATURAN PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

MINGGU KE 2&3

Diskripsi singkat : materi minggu ini berisi tentang macam-macam pengukuran dan pemetaan serta teknik-tekniknya bagi setiap tahapan dalam perencanaa trase transportasi, serta standar peraturan perencanaan geometric jalan raya dan klasifikasinya.

Manfaat : mahasiswa mengetahui akan kebutuhan peta dan macam-macam pengukuran yang dibutuhkan dalam perencanaan survey rute.. Relevansi : setelah mengikuti kuliah minggu ini, diharapkan mahasiswa akan

termotifasi untuk mempelajari materi selanjutnya.

Learning Outcome : setelah mengikuti kuliah minggu ini mahasiswa dapat memahami kebutuhan peta-peta untuk perencanaan tahapan survey rute, dapat mengetahui klasivikasi jalan rayadasar serta memahami standar perencanaan geometri pada perencanaan jalan raya dan kereta api.

BAB II

PENGUKURAN RUTE DAN

PERATURAN PERENCANAAN

GEOMETRIK JALAN

II.1. Pengukuran-Pengukuran Untuk Mencari Trase. Maksud dari pengukuran disini adalah untuk: 1. Menentukan trase sementara atau tetap/definitip. 2. Menentukan pembelian tanah atau ganti rugi. 3. Pematokan trase yang tepat untuk dikerjakan.

4. Setelah pekerjaan selesai, dibuat gambar revisi untuk memudahkan pengawasan dan dokumentasi.

II.1.1. Menentukan trase.

(2)

1. Langsung mentrase di lapangan.

Perencana langsung ke lapangan dan melihat kemungkinan-kemungkinan medan yang dapat dilalui jalur yang direncanakan. Untuk sementara dipilih satu profil memanjang. Setelah itu, pada as profil dipasang patok-patok sambilmelihat ada tidaknya sesukaran yang ditemui di lapangan. Sesudahnya dibuat profil memanjang.

2. Terlebih dahulu menggunakanpeta-peta.

Peta-peta yang digunakan adalah peta-peta topografi dengan skala 1 : 25.000 atau 1 : 50.000. Kemudian dibuat beberapa kemungkinan jalur, setelah salah satu jalur terpilih, dilakukan pengukuran sipat datar memanjang, kemudian dibuat pengukuran/pemetaan sepanjang jalur terpilih tersebut selebar 3 sampai 4 kali lebar jalur yang akan dibebaskan atau dibeli,

dipetakan dengan skala sangat besar atau skala 1 : 1000 serta dibuat atau diukur profil

memanjang dan melintang terhadap as jalur sementara dengan interval setiap 50 m atau lebih kecil dari itu. Dengan hasil peta ini, akan ditentukan as definitip dan disesuaikan dengan profil-profil melintangnya, supaya proyek baru ini dapat digambar serta batas-batas dari tanah yang akan dibebaskan, digambaaar dan dicocokkan dengan batas-batas yang ada pada peta kadaster. Setelah itu baru as dan batas-batas dipatok di lapangan. Dalam kenyataannya, tidak ada yang memakai cara 1 atau 2 dengan konsekuwen, tetapi pada umumnya dikombinasikan keduanya. Adanya peta-peta tersebut ( p.topografi dan p. kadaster) dll adalah sangat penting dan menguntungkan dalam perencanaan jalur, karena kita dapat membuat rencana secara tepat dan ekonomis.

II.1.2. Pembebasan dan pembelian tanah.

Dari peta jalur terpilih yang telah dibuat pada tahap sebelumnya, kemudian kita tumpangsusunkan (superimpose) denganpeta kadaster, sehingga dapat dideliniasi batas-batas garis proyek, sehingga dari padanya dapat ditentukan luas dan persil-persil yang harus

dibebaskan serta daapat diketahui pula nama-nama pemegang hak atas tanah tersebut.

(3)

Meliputi pemasangan patok-patok pinggir jalur, selokan-selokan, bangunan jembatan, gorong-gorong dan bangunan lain, agar supaya pelaksanaan konstruksi tidak menemui kesulitan lagi di lapangan..

II.1.4. Pembuatan peta revisi.

Apabila pekerjaan konstruksi telah selesai, maka harus dibuat peta revisi untuk arsip dan atau maintenance, tergantung pada banyaknya penyimpangan dari peta perencanaan sebelumnya.

II.1.5. Peta-peta untuk perencanaan.

Untuk jalan raya misalnya, pada awalnya sudah kita ketahui dimana jalan ini akan dimulai dan berakhir. Makin banyak data yang tersedia untuk perencanaan jalan ini , makin mudah trase dapat ditentukan. Untuk menentukan trase sementara kita dapat menggunakan peta topografi skala 1 : 25.000, sedang untuk perencanaan kita perbesar peta ini hingga 1 : 10.000 , kemudian dikombinasi dengan peta geologi dan peta dari dinas Pekerjaan Umum. Peta kadaster skala 1 : 2.500 selain dipakai untuk pembebasan tanah, juga dipakai untuk perencanaan drainase, saluran pembuangan air, dan penggunaan tanah. Lebar yang perlu diukur tergantung pada

kelonggaran (speling) antara as sementara dan as definitip. Bila diperlukan kelonggaran yang besar , kita harus mengukur jalur yang lebar. Dalam hal yang demikian, maka akanlebih menguntungkan apabila digunakan pemetaan udara. Lebar sebuah jalur terbang skala 1 : 5000 dengan ukuran film 23 x 23 cm, kira-kira meliput 1100 meter. Foto udara juga menyajikan banyak informasiyang ada di lapangan, dan dari foto-foto tersebut dapat pula dibuat strip mosaic. Pemetaan dengan wahana foto udara kurang menguntungkan apabila dibuat pada daerah sempit, adanya asap atau kabut, salju tebal dan hutan yang lebat.

Skala-skala yang digunakan :

1. Skala peta-peta untuk penyuluhan dari 1:2.500 sampai 1:25.000 dengan interval garis kontur 1 m, 2,5 m, dan 5 m.

(4)

3. Skala untuk desain 1:250 – 1:1000 dengan interval garis kontur sampai 0,5 m.

II.1.6. Keuntungan-keuntungan peta foto 1. Biaya rendah daan lebih mendetil.

2. Lebar jalur dapat mencapai 1 mil yang memberikan kemungkinan yang besar dalam memilih tempat atau trase yang baik.

3. Tidak melanggar hokum, disbanding dengan mengukur langsung di lapangan/ teristris. 4. Lebih member informasi yang lebih jelas misalnya: daerah yang kritis, kering, pola drainase,

tempat-tempat yang mengandung material untuk bangunan seperti batu, pasir dan lain-lain, keramaian lalulintas, ada tidaknya pepohonan dan lain-lain disekitar untuk pemandangan.

II.1.7. Cara pengukuran.

Pertama-tama dibuat jalur kerangkapoligon didekat jalur terpilih, dan kalau ada ikatan titik tetap yang ada (triangulasi atau yang lain). Keuntungan dari polygon adalah : 1. Tiap bagian dapat dihitung sendiri, dan kemudian dapat disambung lagi, serta hitungan

kilometer (Km) dan hectometer (Hm) dapat dibuat dengan teliti.

2. Untuk control dari beberapa tempat dapat diukur dengan mudah, dan biaya rendah. 3. Dengan diikatkan pada titik triangulasi, lebih mudah pula untuk disesuaikan dengan

pengukuran dari instansi lain, seperti Kadaster, Pekerjaan Umum dan lain-lain. Karena titik-titik polygon ini terletak dijalur kerja, maka titik-titik-titik-titik polygon ini tidak terganggu selama pekerjaan bangunan-bangunan jalan, dan bangunan tersebut diikat dari titik polygon terdekat. Titik-titik utama dari polygon ini dibuat dari beton, sedangkan yang lain dapat dibuat dari kayu atau pipa besi atau pralon yang dicor semen. Panjang sisi-sisi polygon antara 0,1 saqmpai 0,5 km, dan sebaiknya diukur dengan alat EDM.

(5)

Kalau pemetaannya dengan cara fotogrammetris, titik-titik polygon ini sebagai ground kontrolnya. Sebelum mengadaakan pengukuran detil dan pemetaan, ada baiknya melihat dulu arsip peta kadaster, apakah telah ada pengukuran-pengukuran di daerah itu sebelumnya. Kebanyakan belum ada atau tidak lengkap, sehingga kita harus melakukan pemetaan dan digabung dengan peta kadaster. Pada peta haruslah dicantumkan segala sesuatu yang penting untuk pekerjaan dan pembangunan jalan ini, seperti : jalan-jalan yang ada (lebar,panjang) gorong-gorong, talang air, jembatan dan lain-lain.

Pada pemetaan secara fotogrametris, akanlebih banyakmemberikan informasi yang benar di lapangan,kecualibila tertutup awan atau pohon yang besar-besar, demikian pula profil sungai, dalamnya danau tidak daapat diukur dari fotoudara sehingga harus diukur secara teristris.

II.1.8. Urutan Survei,

1. Survei penyuluhan (Reconisance Survey) , untuk mendapatkan jalur atau rute yang praktis. 2. Survei pendahuluan (Preliminary Survey). Hasil dari tahap ini adalah suatu trase yang didesain

di atas jalur yang didapat dari taahap penyuluhan, serta perhitungan dan penggambaran. 3. Pematokan (Location Survey). Trase yang direncanakan pada tahap ke 2, dipindah dari atas

peta ke lapangan.

4. Survei konstruksi (Construction Survey). Untuk berbagai detil seperti lengkung horizontal dan vertical, jembatan, dam, pintu air, dan kadang-kadang kalau diperlukan untuk pemindahan trase jalan, serta galian dan timbunan.

5. Survei pemetaan setelah pekerjaan selesai, untuk arsip dan pemeliharaan.(Maintenance Survey).

II.1.9. Lokasi macam-macam rute. Dengan lokasi rute jalan dimaksud :

(6)

Penentuan alinyemen di atas peta. Pekerjaan ini meliputi survey penyuluhan dan survey pendahuluan.

Pemindahan alinyemen dari peta ke lapangan, meliputi :

1. Lokasi garis as/sumbu jalan (center line) dengan jurusan dan landai tertentu di lapangan. 2. Mengatur dan menjuruskan garis tersebut serta member tanda-tanda (ranging and marking

a line)

3. Mengukur dan menandai sudut-sudut jurusan dari rute jalan. 4. Meletakkan lengkungan-lengkungan.

5. Membuat stationing dan menandai titik-titik yang bersangkutan.

6. Mengkur suatu strip yang agak sempit dari daerah sepanjang sumbu proyek. 7. Mengadakan pengukuran sipat datar memanjang danmelintang.

II.1.10. Lokasi rute jalan kereta api.

Jalan kereta api dibuat sedapat mungkin lurus, karena jarak terpendek antara dua buah titik adalah garis lurus. Ukuran gerbong dan lokomotif telah tertentu, dank arena berjalan diatas rel, tidak dapat menyimpang, sehimgga diperlukan suatu trase yang agak sempit, tidak selebar jalan raya.

Pada jalan kereta api gesekan antara roda dan rel kecil, maka kemiringan jalan kereta api juga harus kecil, pada jalan yang lurus kemiringan hanya boleh 1% dan pada lengkung vertical pada kecepatan tinggi dinyatakan dengan :

pada bagian cekung (sag) dan r = 0,010 pada bagian cembung (summit) , r ini menentukan panjang lekuk.

Dengan kecepatan rendah, besarnya r dapat sampai 2 kali. Lengkung horizontal pada jalan utama:

(7)

Kelengkungan D max = 60, kecuali pada daerah pegunungan.

Pada jalan tingkat rendah D = 60 - 100 , pada kecepataan tinggi sekali D max = 20.dan untuk jalan pedalaman D : 140 – 160.

Pembiayaan jalan kereta api memerlukan modal yang besar sekali, namun biaaya

pemeliharaannya kecil. Sesuai dengan daerahnya, datar, jaraknya yang jauh dan angkutan yang banyak serta beban yang berat, maka angkutan kereta api hanya dari stasiun ke stasiun dan tidak ada pelayanan door to door service. Dinegara-negara yang maju kereta api dikendalikan dari jarak jauh (remote control)

II.1.11. Rute jalan raya.

Dalam prinsipnya, pengukuran jalan raya sama dengan jalan kereta api, perbedaannya hanya pada pemilihan tempat, karena pada jalan raya banyak macam kendaraan yang

dikemudikan oleh manusia, yang bisa ngantuk, mabuk, bosan dan seringkali kurang sabar. Jalan raya harus dibuat sedemikian rupa supaya aman,dan nyaman dalam pemakaiannya.

Penggunaan jalan raya atau jalan pada umumnya alah untuk : a. Door to door servise

b. Macam-macam kendaraan seperti yang :

Bermotor : sepeda motor, mobil penumpang, bus, truk, traktor dsb. Tak bermotor : sepeda, becak.

Ditarik binatang : gerobak, kereta kuda.

Pada landai 6% dengan tenaga kuda hanya dapat ditarik 0,5 dari muatan pada jalan datar, dan pada landai 10% hanya 0,25 nya. Pada jalan landai lebih dari 3% truk dengan muatan biasa, kecepatannya sudah berkurang. Pada umumnya jalan yang datar lebih lebar dan lebih banyak kemungkinan, dan pada jalan raya kita hanya membuat jalan dengan perhitungan kendaraan apa yang akan menggunakan jalan ini.

(8)

Biaya pembuatan jalan raya tidak setinggi jalan kereta api, namun biaya perawatannya lebih tinggi daripada jalan kereta api. Biasanya jalan raya dibuat oleh Pemerintah dengan uang dari raakyat seperti pajak kendaraan dan bea-bea lainnya. Jadi masyarakat harus mendapatkan kembali dalam arti keuntungan baik pada transportasi barang maaupun manusia. Faktor ini penting sekali pada perencanaan dan pelaksanaan.

II.2. Peraturan Geometrik Perencanaan Jalan Raya.

Dalam perencanaan jalan raya bentuk geometriknya telah ditentukan sedemikian hingga jalan yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada lalu lintas sesuai dengan fungsinya. Peraturan Perencanaan Geometrik Jajan Raya, berkembang dari waktu ke wktu sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi pengangkutan dan lalu lintas.

Sehubungan dengan mendesaknya pekerjaan-pekerjaan perencanaan jalan raya akibat meningkatnya kebutuhan lalu lintas di satu pihak dan meningkatnya usaha dan dana untuk pengembangan sarana dan prasarana jalan di pihak lain, maka Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jendral Bina Marga telah menentapkan Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan dengan Surat Keputusan Direktur Jendral Bina Marga N0.25/Kpts/Bm/70 tanggal 31 Agustus 1970 dan kemudian di perbaharui dengan Spesifikasi Standar Untuk Perencanaan Geometrik Jalan Raya Luar Kota (Rancangan Akhir) pada Desember 1990.

Adapun secara garis besar isi dari PPGJ tersebut adalah sbb:

II.2.1. Klasifikasi dan Lalu-Lintas Jalan Raya.

Jalan raya pada umumnya digolongkan dan di klasifikasi menurut fungsinya yaitu: Jalan Utama, Jalan Sekunder dan Jalan Penghubung.

Alan Utama : adalah jalan raya yang melayani lalu lintas yang cukup tinggi antarakota-kota yang penting atau antara pusat-pusat produksi dan pusaat-pusat eksport. Jalam dalam golongan ini harus dapat melayani lalu lintas yang cepat dan berat.

(9)

Jalam Sekunder : adalah jalan raya yang melayani lalu lintas yang cukup tinggi anatara kota-kota penting dan kota-kota yang lebih kecil, serta melayani daerah-daerah disekitarnya.

Jalan Penghubung: adalah jalan untuk keperluan aktifitas daerah yang juga dipakai sebagai jalan penghubung antara jalan-jalan dari golongan yang sama atau yang berlainan.

Dalam hubungannya dengan perencanaan geometriknya, jalan raya dibagi dalam kelas-kelas yang penetapannya didasarkan selain pada fungsinya juga pada besarnya volume serta sifat lalu-lintas yang diharapkan akan menggunakan jalan tersebut.

Volume lalu-lintas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp) yang besarnya menunjukkan jumlah lalu-lintas harian rata-rata (LHR) untuk kedua jurusan. Klasifikasi jalan tersebut adalah sebagai berikut:

KLASIFIKASI LALULINTAS HARIAN

RATA-RATA(LHR) DLM SMP FUNGSI KELAS Utama Sekunder Penghubung I II A II B II C III >20.000 6,000 s.d…20.000 1.500 s.d. 8.000 >2000 -

Dalam menghitung besarnya volume lalulintas untuk menetpkan kelas jalan, kecuali untuk jalan-jalan yang tergolong dalam kelas IIC dan III, kendaraan tak bermotor tidak diperhitungkan dan untuk jalan-jalan kelas IIA dan I, kendaraan lambat tidak diperhitungkan.

Khusus untuk perencanaan jalan klas I, sebagai dasar harus digunakan volume lalulintas pada saat-saat sibuk, yang besarnya ditetapkan sebesar 15% dari volumeharian rata-rata. Volume sibuk ini selanjutnya disebut volume tiap jam u8ntuk perencanaan atau disingkat VDP, sehingga VDP=15% LHR.

(10)

Klas I.

Klas jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksudkan untuk daapat melayani lalulintas cepat dan berat. Dalam komposisi lalulintasnya tidak terdapat kendaraan lambat dan tak bermotor. Jalan raya dalamkelas ini merupakan jalan-jalan yang berjalur banyak dengan konstruksi perkerasan dari jenis yang terbaik dalam arti tingginya tingkaatan pelayanan terhadap lalulintas.

Klas II.

Kelas ini mencakup semua jalan-jalan sekuder. Dalam komposisi lalulintasnya terdapat lalulintas lambat. Berdasarkan komposisi dan sifat lalaulintasnya, dibagi dalam tiga kelas : IIA, IIB,dan IIC.

Klas IIA:

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi permukaan jalan dari jenis aspal beton (hot mix) atau yang setaraf, dimana dalam komposisi lalulintasnya terdapat kendaraanlambat tapi tanpa kendaraan tak bermotor. Untuk lalulintas lambat, harus disediakan jalur tersendiri.

Klas IIB.

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi berganda atau yang setaraf dimana dalam komposisi lalulintasnya terdapatkendaraan lambat, tetapi tanpa kendaraan yang tak bermotor.

Klas IIC.

Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengaan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi tunggal dimana dalam komposisi lalulintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor.

(11)

Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan merupakan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua. Konstruksi permukaan jalan yang paling tinggi adalah pelaburan dengan aspal.

II.2.2. Keadaan Topografi.

Untuk memperkecil biaya pembangunan , sesuatu standard perlu disesuaikan dengan keadaan topografi. Berkaitan dengan itu, jenis medan lapangan dibagi menjadi tiga golongan, umumnya dibedakan menurut besarnya lereng melintang dalam arah kurang-lebih tegaklurus sumbu jalan raya.

Klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang yang bersangkutan adalah sebaai berikut :

Golongan medan Lereng melintang - Datar (D) 0 sampai 9,9% - Perbukitan 10 sampai 24% - Pegunungan > 25%

II.2.3. Standar Perencanaan.

Dirjen Bina Marga Departemen Kimpraswil telah menetapkan Peraturan No.13/1970 tentang Standar Perencanaan Geometrik Jalan Raya seperti dalam table sebagai berikut :

Ketentuan-ketentuan dasar dari perencanaan geometric seperti tersebut diatas, adalah merupakan syarat batas, yang harus dibatasi penggunaannya sesedikit mungkin , agar dapat menghasilkan jalan-jalan yang memuaskan.

(12)

KLASIFIKASI JALAN

JALAN RAYA UTAMA

JALAN RAYA SEKUNDER

JALAN PENG HUBUNG I II A II B II C III KLASIFIKASI MEDAN A B C A B C A B C A B C A B C Lalulintas harian rata-rata

(LHR) dan smp

Kecepatan rencana (Km/jm) Lebar daerah penguasaan minimum (m)

Lebar perkerasan (m) Lebar median minimum (m) Lebar bahu (m)

Lereng melintang perkerasan Lereng melintang bahu Jenis lapisan permukaan Miring tikungan maximum Jari-jari lengkung minimum (m) Landai maksimum >20.000 120 100 80 60 60 60 Minimum 2x(2x3,75) 10 3,5 3,0 3,0 2% 4% Aspal beton (hot mix) 10 % 560 350 210 3% 5% 6% 6000-20.000 100 80 60 40 40 40 2 x 3,5 atau 2x(2x3,5) 1,5 3,00 2,50 2,50 2% 4% Aspal beton 10% 350 210 115 4% 6% 7% 1500-8000 80 60 40 30 30 30 2 x 3,50 - 3,00 2,50 2,5 2% 6% Penetrasi ber ganda/setara 10% 210 115 50 5% 7% 8% < 2000 60 40 30 30 30 30 2 x 3,0 - 2,5 1,5 1,0 3% 6% Plg tg pene trasi tunggal 10% 115 50 30 6% 8% 10% - 60 40 30 20 20 20 3,50 – 6,00 1,50 – 2,50 4% 6% Plg tg pelabu ran dg aspal 10% 115 50 30 6% 8% 12% Catatan : # untuk 4 jalur

## menurut keadaan setempat II.2.4. Jarak Pandang.

Syarat jarak pandang yang diperlukan dalam perencanaan jalan raya untuk mendapatkan keamanan yang setinggi-tingginya bagi lalulintas adalah seperti dijelaskan dalam uraian-uraian berikut :

(13)

Jarak pandang henti.

Jaarak ini minimum harus dipenuhi dalam setiap bagian dari jalan raya, jarak ini adalah sebagaimana tercantum dalam table II dibawah.

Jarak pandang menyiap.

Jarak ini diperlukan untuk jalan raya dua jalur. Karena beratnya syarat untuk dapat memenuhi jarak pandang menyiap minimum maka apabila pertimbangan memaksa, syarat ini dapat digunakan hanya untuk menetapkan bagian jalan yang memerlukan larangan bagi lalalintas untuk meenyiap. Besarnya jarak pandang menyiap minimum adalah sebagaimana tercantum dalam table II di bawah.

TABEL II

STANDAR PERENCANAAN ALINEMEN

Kecepatan rencana Km/jam Jarak pandang henti (m) Jarak pandang menyiap (m) Jrjr lengkung minimum dmn mrg tkgn tak diperlkn (m) Bts jrjr lengk tkgn dmn hrs menggnkn bsr peralhn (m) Landai rltp maks antara tepi perkerasan 120 100 80 60 50 40 30 225 165 115 75 55 40 30 790 670 520 380 220 140 80 3000 2300 1600 1000 660 420 240 2000 1500 1100 700 440 300 180 1 ; 280 1 : 240 1 : 200 1 : 160 1 : 140 1 : 120 1 : 100

(14)

Ketentuan untuk mengukur jarak pandang.

Jarak pandang diukur dari ketinggian mata pengemudi ke puncak penghalang. Untuk jarak pandang henti ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm dan ketinggian penghalang adalah 10 cm, sedangkan untuk jarak pandang menyiap ketinggian mata pengemudi adalah 125 cm dan ketinggian penghalang adalah 125 cm.

II.2.5. Penampang Melintang

Umum

Penampang melintang yang digunakan harus sesuai dengan klasifakasi jalan dan kebutuhan lalulintas yang bersangkutan, serta harus diperhatikanlebar badan jalan yang ada (dalam hal perbaikan jalan yang ada). Lebar minimum beberapa bagian penampang melintang yang utama adalah sebagaimana tercantum pada table I.

Dalam hal dapat dipastikan akan dibuat jalur jalan tambahan dikemudian hari, maka penyediaan daerah penguasaan jalan untuk itu harus sudah dipikirkan.

Lebar perkerasan.

Lebar perkerasan pada umumnya ditentukanberdasarkan lebar jalur lalulintas normat. Lebar jalur lalulintas normal adalah 3,50 m kecuali jalan penghubung dan IIC yang cukup menggunakan lebar jalur lalulintas sebesar 3,00 m dan jalan-jalan raya utama yang memerlukan lebar jalur yang harus sesuai untuk lalulintas yang sangat cepat dan sesuai dengan standar internasional, yaitu 3,75,m.

Jalan-jalan satu jalur seperti jalan-jalan penghubung lebar perkerasannya tidak ditetapkan berdasarkan lebar jalur, karena kecilnya intensitas.

(15)

Lebar bahu.

Lebar bahu minimum yang diperkeras berkisar antara 1,0 m untuk jalan kelas IIC di daerah pegunungan sampai 3,0 m untuk jalan kelas I di daerah pegunungan. Untuk jalan penghubung lebar bahu di daerah pegunungan tergantung pada keadaan setempat. Untuk jalan-jalan kelas I, penguranganlebar bahu samasekali tak dianjurkan, bahkan diluar tepi bahu harus ada bahu lunak selebar minimum 2,0 m. Hal yang sama juga dianjurkan untuk kelas jalan IIA, apabila segala sesuatunya memungkinkan.

Drainase

Perlengkapan drainase, karena merupakan bagian yang sangat penting dari suatu jalam seperti saluran tepi, saluranmelintang dan lain-lainnya, harus direncanakan berdasarkan data-data hidrologis seperti intensitas, lamanya dan frekuensi curah hujan, besar dan sifat daerah aliran dan lain-lainnya. Drainase ini harus cukup sehingga dapat membebaskan atau paling sedikit mengurangi pengaruh jelek dari air terhadap konstruksi perkerasan.

Kebebasan

Kebebasan minimum yang diperlikan pada setian bagian jalan adalah seperti yang tercantum dalam gambar pada halaman berikut ini.

II.2.6. Alinemen Horisontal.

Umum

Alinemen horizontal harus ditetapkan sebaik-baiknya kecuali utnuk memenuhhi syarat-syarat dasar teknik lalulintas sebagai mana tercantum dalam table I , juga harus dipertimbangkan

penyediaan drainase yang cukup baik danmemperkecil pekerjaan tanah yang diperlukan. Kemungkinan akan pembangunan bertahap harus telah diperhatikan, misalnya peningkatan

(16)

kekuatan perkerasan, perbaikan alinemen baikvertikal maupun horizontal, yang diperlukan dikemudian hai, dapat dilakukan dengan

penambahan biaya yang sekecil -kecilnya.

(17)

Jari-jari lengkung minimum.

Jari-jari minimum untuk setiap kecepatan rencana sebagaimana tercantum dalam table I, ditentukan berdasarkan miring tikungan maksimum dan koefisien gesekan melintang maksimum dengan rumus :

Dimana : R : jari-jari lengkung minimum (m) V : kecepatan rencana ( Km/jam ) e : miring tikungan ( % )

f : koefisien gesekan melintang.

Jari-jari lengkung minimum dimana miring tikungantidak diperlukan

Suatu tikungan dengan jafi-jari lengkung yang cukup besar sampai batas-batas tertentu tidak perlu diadakan miring tikungan tercantum dalam table II.

Lengkung peralihan.

Lengkung peralihan ialah lengkung pada tikungan yang dipergunakan untuk mengadakan peralihan dari bagian jalan yang lurus ke bagian jalan yang mempunyai jari-jari lengkung dengan miring tikungan tertentu atau sebaliknya. Batas besarnya jari-jari lengkung dimana suatu

tikungan harus sudah menggunakan lengkung peralihan tercantum dalam table II. Lengkung peralihan yang digunakan adalah lengkung spiral atau clothoid. Panjang minimum lengkung peralihan pada umumnya ditentukan oleh jarak yang diperlukan untuk perubahan miring

tikungan yang tergantung pada besarnya landai relatip maksimum antara kedua sisi perkerasan. Besarnya landai relatip maksimum tersebut tercantum dalam table II.

(18)

Pelebaran perkerasan pada tikungan;

Untuk membuat tingkatan pelayanan suatu jalan selalu tetap sama, baik dibagian lurus maupun tikungan, perlu diadakan pelebaran pada perkerasan di tikungan. Besarnya dapat ditentukan sebagaimana grafik I di halaman berikut.

GRAFIK I

(19)

Pandangan bebas pada tikungan.

Untuk memenuhi kebebasan pandangan pada tikungan sesuai dengan panjang jarak pandang yang diperlukan , harus diadakan kebebasan samping yang besarnya dapat ditentukan dengan menggunakan grafik II.

(20)

II.2.7. Alinemen Vertikal.

Umum

Alinemen vertikalsangat erat hubungannya dengan besarnya biaya pembangunan, biaya penggunaan kendaraan erta jumlah kecelakaan lalulintas. Dalam menetapkan besarnya landai jalan harus diingat bahwa sekali suatu landai digunakan, maka jalan sukar di upgrade dengan landai yang lebih kecil tanpa perubahan yang mahal. Maka penggunaan landai maksimum sebagaimana tercantum dalam table I sedapat mungkin dihindari.

Alinemen harus direncanakan sebaik-baiknya dengan sebanyak-banyaknya mengikuti medan, sehingga dapat menghasilkan keindahan jalan yang harmonis dengan alam sekitarnya.

Landai maksimum.

Landai maksimum sebagaimana tercantum dalam table I harus hanya digunakan apabila pertimbangan biaya pembangunan adalah sangat memaksa, dan hanya untuk jarak pendek. Dalam perencanaan landai perlu diperhatikan panjang landai tersebut yang masih tidak

menghasilkan pengurangan kecepatan yang dapat mengganggu kelancaran jalannya lalulintas. Panjang landai maksimum yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan gangguan jalannya arus lalulintas yang berarti, atau bisa disebut dengan istilah panjang kritis landai, adalah panjang yang mengakibatkan pengurangan kecepatan maksimum sebesar 25 Km/jam. Panjang krisis landai tersebut adalah sebagai berikut :

Landai % 3 4 5 6 7 8 10 12

Panjang jritis (m) 480 330 250 200 170 150 135 120

Apabila pertimbangan biaya pembangunan memaksa, panjang kritis tersebut boleh dilampaui, dengan ketentuan bahwa bagian jalan diatas landai kritis disampingnya harus ditambah suatu jalur pendakian khusus untuk kendaraan-kendaraan berat.

(21)

Lengkung vertical.

Pada setiap pergantian landai harus dibuat suatu lengkung vertical yang memenuhi keamanan, kenyamanan dan drainase yang baik. Lengkung vertical yang digunakan adalah lengkung parabola sederhana.

(22)

Panjang minimum dari lengkung vertical cembung ditentukan berdasarkan syarat-syarat pandang henti dan drainase sebagaimana terlihat pada grafik III yang berlaku untuk semua jalan raya dan berdasarkan syarat pandang menyiap sebagaimana terlihat pada grafik IV, yang berlaku untuk jalan raya dua jalur.

(23)

GRAFIK V

Apabila biaya pembangunan tidak mengijinkan, maka grafik IV dapat dipergunakan untuk menetapkan bagian jalan yang mana harus dipasang tanda tidak boleh menyiap. Panjang lengkung vertical cekung minimum ditentukan berdasarkan jarak pandang waktu malam dan syarat drainase sebagaimana terlihat pada grafik V. Khusus untuk lengkung yang berada pada

(24)

lintasan dibawah, panjangnya ditentukan oleh besarnya kebebasan vertical dan jarak pandang seperti pada grafik VI.

(25)
(26)
(27)
(28)

Latihan :

Mahasiswa diminta untuk berdiskusi tentang kelas-kelas jalan yang ada di sekitar kampus kita, serta kemungkinannya di masa yang akan datang.

Rangkuman :

Bahwa untuk perencanaan rute/trase diperlukan beberapa tahapan survey,antara lain : survey penyuluhan, survey pendahuluan, pematokan, survey konstruksi dan pemeliharaan. Masing-masing tahap membutuhkan jasa pengukuran dan pemetaan dengan skala yang berbeda-beda, yang dapat dipenuhi dengan melakukan pemetaan secara teristris dan fotogrametris, yang masing-masing punya keuntungan dan kelemahannya masing-masing.

Bahwa jalan raya dapat diperinci atas dasar fungsi dan kelasnya, dan beberapa factor yang mempengaruhi dalam desain jalan diantaranya adalah tujuan pembangunan jalan tersebut, kondisi topografi dan biaya yang tersedia. Standar geometri perencanaan jalan raua telah dispesifikasi oleh Direktorat Bina Marga.

Referensi

1. Dirjen Bina Marga, 1990, Spesifikasi Standar untuk Perencanaan Geometrik Jalan Luar Kota, Departemen Pekerjaan Umum

2. Hickerson, T.F., 1964, Route Location and Design, Fifth Edition, Mc. Graw-Hill Book Company, New York.

3. Kavanagh,B.F.,1997. Surveying with Construction Application, Prentice Hall Inc, New Jersey.

4. Meyer, C.F., 1970, Route Surveying, Mc Graw-Hill Book Company, New York. 5. Tumewu, L,1977, Route Survey, Departemen Geodesi FTSP-ITB, Bandung.

(29)

Gambar

TABEL II
GRAFIK   III
GRAFIK  VI

Referensi

Dokumen terkait

Lebih jelasnya akan dibahas mengenai karakterisasi ideal prima, karakterisasi ideal maksimal, keterkaitan antara kedua ideal tersebut, dan keterkaitan antara kedua

Oleh karena itu dalam penelitian ini dipelajari pengaruh perubahan komposisi bahan pembentuk gelas dalam hal ini pengaruh perubahan kadar SiO2 dalam bahan pembentuk gelas

NSM Nama Madrasah Kecamatan Kuota... Wahib,

HUBUNGAN ORGANISATORIS ANTARA PEMERINTAH, PBB, ITU, IARU DAN ORARI PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL POSTEL UNITED NATIONS INTERNATIONAL TELECOMMU­

Orde suatu persamaan diferensial ditunjukkan oleh turunan tertinggi yang muncul dalam persamaan ini.. Sebuah persamaan diferensial berorde n diperoleh dari suatu fungsi yang

Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila

Geometrik jalan, merupakan karakteristik yang mempengaruhi terhadap kapasitas dan kinerja jalan, berupa : pembebanan lalu lintas, lebar jalur lalu lintas

[r]