• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Tangguh Dewantara (2007), telah melakukan penelitian tentang citra Quickbird yang berjudul Kajian Akurasi Geometrik Citra Quickbird

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. Tangguh Dewantara (2007), telah melakukan penelitian tentang citra Quickbird yang berjudul Kajian Akurasi Geometrik Citra Quickbird"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II Tinjauan Pustaka

II.1 Penelitian Terdahulu

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1993). Pengamatan tanpa kontak langsung ini dilakukan dengan memanfaatkan energi elektromagnetik yang dipancarkan oleh obyek atau benda dari permukaan bumi. Energi elektromagnetik ini kemudian ditangkap oleh sensor yang berada dalam satelit, dimana satelit ini merupakan salah satu wahana pembawa sensor dalam sistem penginderaan jauh.

Penelitian tentang pemanfaatan data penginderaan jauh resolusi tinggi telah beberapa kali dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain:

1. Soebagio (2006) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Peningkatan Kualitas Data Spasial SIG PBB dengan Pemanfaatan Citra Quickbird (Studi Kasus Kel. Citarum Kota Bandung)”. Penelitian dilakukan dengan menggunakan citra Quickbird bergeoreferensi yang dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas data spasial SIG PBB. Penelitian ini mengevaluasi data luas bidang dan kelengkapan data SIG PBB yang dibandingkan dengan data SISMIOP pada wilayah penelitian. Penelitian selanjutnya diarahkan pada pemanfaatan keunggulan citra Quickbird sebagai citra resolusi tinggi. Citra Quickbird dijadikan acuan dalam melakukan transformasi dan editing peta SIG PBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa citra Quickbird dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan jumlah bidang kena pajak pada peta SIG PBB di wilayah penelitian dan informasi dari citra Quickbird dapat digunakan sebagai dasar pemeliharaan basis data SISMIOP dalam rangka penggalian potensi pajak dan data yang up to date.

2. Tangguh Dewantara (2007), telah melakukan penelitian tentang citra Quickbird yang berjudul “Kajian Akurasi Geometrik Citra Quickbird

(2)

Orthogonal untuk Penentuan Posisi dan Luas Objek Dalam Menjamin Kepastian Objek Pajak Bumi dan Bangunan”. Analisis dilakukan untuk menguji kepastian posisi dan luas objek menurut informasi spasial pada peta SIG PBB dengan data sebenarnya di lapangan. Hasil pengujian menunjukkan ketelitian posisi dengan menggunakan citra Quickbird yang telah di orthorektifikasi jauh lebih baik dibandingkan dengan ketelitian posisi dari data spasial PBB. Terjadi peningkatan ketelitian posisi mencapai 25 kali. Demikian pula mengenai rata-rata persentase perbedaan luas antara luas lapangan dengan luas data spasial PBB sebesar 9% dan rata-rata persentase perbedaan luas lapangan dengan luas hasil digitasi pada citra Quickbird orthorektifikasi sebesar 3%. Peningkatan ketelitian objek luasan pajak meningkat 3 kali dengan menggunakan citra hasil pengolahan orthorektifikasi pada objek penelitian ini.

3. Ari Yunianto (2007) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Akurasi Penentuan Luas Objek PBB Menggunakan Citra Quickbird dan Ikonos”. Penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan antara citra Quickbird dengan citra Ikonos mengenai posisi, jarak dan luas, yang diperoleh dari citra yang telah direktifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa citra Quickbird memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan citra Ikonos.

Dari berbagai penelitian yang telah ada, maka perbedaan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

 Fokus utama dalam penelitian ini adalah menganalisis akurasi citra Quickbird untuk mengetahui tingkat ketelitian yang dihasilkan.

 GCPs yang diperoleh dari penentuan posisi dengan GPS dijadikan sebagai titik ikat untuk pengukuran blok-blok bidang tanah di lapangan.

 Menggunakan dua variasi jumlah titik sekutu yang berbeda yaitu 11 titik sekutu dan 10 titik sekutu terbaik.

(3)

II.2 Landasan Teori

II.2.1 Peta Dasar Pendaftaran Tanah

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mendefinisikan bahwa peta dasar pendaftaran adalah peta yang memuat titik-titik dasar teknik dan unsur-unsur geografis seperti sungai, jalan, bangunan dan batas fisik bidang tanah. Dalam penjabarannya, unsur-unsur dalam definisi peta dasar pendaftaran tanah tersebut diperoleh melalui proses pengukuran. Metode pengukuran yang dilakukan bisa dengan cara terrestris, fotogrametri ataupun metode lainnya.

Pengadaaan titik-titik dasar teknik diselenggarakan oleh Bakosurtanal dan Badan Pertanahan Nasional dengan melakukan pemasangan, pengukuran, pemetaan dan pemeliharaannya. Titik dasar teknik dilaksanakan berdasarkan kerapatan dan dibedakan atas orde 0, 1, 2, 3, 4 serta titik dasar teknik perapatan. Untuk orde 0 dan 1 dilaksanakan oleh Bakosurtanal sedangkan orde 2, 3, 4 dan titik dasar teknik perapatan dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Pada titik dasar teknik akan memuat koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu sistem tertentu, yang nantinya berfungsi sebagai titik kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran situasi dan detail situasi serta rekonstruksi batas.

Pemasangan titik dasar teknik dilakukan untuk setiap interval ± 10 km (orde 2), ±

1-2 km (orde 3) dan ± 150 meter (orde 4). Dalam pelaksanaan pekerjaan pengukuran titik-titik dasar teknik orde 2, 3 dan 4 menggunakan cara penentuan titik melalui Global Positioning System (GPS) dengan mengikatkan kepada titik dasar teknik orde 0 dan 1 dan bila tidak memungkinkan, pengukuran konvensional secara terrestris masih dapat diperkenankan untuk titik dasar teknik orde 4 (Sarah, 1997).

Seluruh hasil pengukuran titik dasar teknik dipetakan dalam suatu peta dasar teknik, dimana peta ini adalah peta yang memuat penyebaran titik-titik dasar

(4)

teknik dalam cakupan wilayah tertentu. Peta ini dapat mempermudah dalam pemeliharaan dan pemakaian titik-titik dasar teknik sebagai titik ikat pada saat dilakukan pengukuran bidang-bidang tanah serta dalam pembuatan peta dasar pendaftaran tanah itu sendiri.

Pengukuran dan pemetaan untuk pembuatan peta dasar pendaftaran tanah dapat diselenggarakan dengan cara terrestrial, yaitu pengukuran dan pemetaan yang dilaksanakan di permukaan bumi. Penelitian ini juga melaksanakan pengukuran dengan cara terrestris dengan metoda polar. Hasil ukuran dari metoda polar ini dijadikan sebagai data acuan yang dianggap benar dan digunakan sebagai pembanding dari hasil ukuran yang diperoleh dengan metoda citra satelit. Prinsip pengukuran dengan metoda polar dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar II.1 Metoda polar

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah memungkinkan dalam pembuatan peta dasar pendaftaran tanah dilakukan dengan metode lain. Metoda lain yang dimaksudkan adalah citra satelit.

Dengan kemajuan teknologi dalam dunia perpetaan dan teknologi satelit, maka dimungkinkan pembuatan peta-peta skala besar dari citra satelit. Sepanjang ketelitian dan hasil yang diperoleh memenuhi ketentuan yang disyaratkan.

U U a b c d e f g

α

2d 2 1

α

2a

α

2b

(5)

Penggunaan citra satelit akan membantu dalam hal cakupan wilayah lebih luas dan biaya pemetaan yang lebih murah.

Badan Pertanahanan Nasional melalui forum ilmiah tahunan Ikatan Suryeyor Indonesia memaparkan bahwa untuk melakukan pemotretan udara dibutuhkan dana sekitar Rp30.000-Rp40.000 per hektar dan biaya proses fotogrametris untuk pemetaannya belum termasuk dalam alokasi tersebut. Sedangkan jika memanfaatkan citra satelit resolusi tinggi seperti Quickbird, Ikonos dan Spot, biaya perolehan citra satelit tersebut berkisar antara Rp300 sampai dengan Rp5.000 per hektarnya.

Pembuatan peta dasar pendaftaran tanah dapat dilakukan pula dengan memanfaatkan peta lain yang memenuhi syarat ketelitian planimetris lebih besar atau sama dengan 0,3 mm pada peta. Peta dasar pendaftaran tanah dibuat dalam tiga skala yaitu skala 1:1000 atau lebih besar untuk daerah pemukiman, skala 1:2500 atau lebih besar untuk daerah pertanian dan skala 1:10.000 untuk daerah perkebunan besar.

II.2.2 Global Positioning System (GPS)

GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat (Abidin et al, 1995). Sistem ini didisain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu diseluruh dunia tanpa tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Dibandingkan dengan sistem dan metode penentuan posisi lainnya, GPS mempunyai banyak kelebihan dan menawarkan lebih banyak keuntungan, baik dalam segi operasionalisasinya maupun kualitas posisi yang diberikan.

Survey penentuan posisi dengan GPS umumnya dilaksanakan untuk menentukan koordinat dari titik-titik yang membentuk suatu jaringan tertentu, dengan melakukan pengamatan terhadap sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh sistem satelit navigasi GPS. Jaringan titik-titik GPS ini dapat digunakan sebagai jaringan

(6)

titik-titik kontrol untuk keperluan pemetaan topografi, pemetaan kadaster, pekerjaan rekayasa, pemetaan fotogrametri dan lain-lain.

Dalam hal penentuan posisi, GPS dapat memberikan ketelitian posisi yang spektrumnya cukup luas. Dari yang sangat teliti (orde milimeter, relatif) sampai yang biasa-biasa saja (orde beberapa meter, absolut). Ketelitian posisi yang diperoleh secara umum akan tergantung pada empat faktor yaitu: metode penentuan posisi yang digunakan, geometri dan distribusi dari satelit-satelit yang diamati, ketelitian data yang digunakan dan strategi/metode pengolahan data yang diterapkan (Abidin, 2007).

Metode penentuan posisi dengan GPS dapat dikelompokkan atas beberapa metode yaitu: absolute, differential, static, rapid static, pseudo-kinematik dan stop and go. Penentuan posisi dengan GPS dalam penelitian ini menggunakan metode penentuan posisi differensial. Pada penentuan posisi differensial (sering disebut pula dengan metode penentuan posisi relatif), posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya (station referensi). Secara ilustratif, metode penelitian posisi differensial ditunjukkan pada Gambar II.2

Gambar II.2 Metode penentuan posisi differensial (Abidin, 2007)

Dengan menggunakan metode differensial, beberapa jenis kesalahan dan bias dari data dapat dieliminasi atau direduksi dengan mengurangkan data yang diamati oleh dua receiver GPS pada waktu yang bersamaan. Pengeliminasian dan pereduksian ini akan meningkatkan akurasi dan presisi data dan selanjutnya akan

(7)

meningkatkan tingkat akurasi dan presisi posisi yang diperoleh. Karena itu metode ini dapat menghasilkan ketelitian posisi yang relatif tinggi berkisar dari level milimeter (dengan data fase) sampai level 1-3 meter (dengan data pseudorange) (Abidin, 2007).

II.2.3 Citra Quickbird

Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari satelit Quickbird. Satelit Quickbird merupakan satelit komersial yang dapat menghasilkan citra resolusi tinggi, yang dimiliki oleh perusahaan bernama DigitalGlobe. Satelit ini diluncurkan pada tanggal l8 Oktober 2001. Karakteristik citra Quickbird adalah sebagai berikut:

Tabel II.1 Karakteristik Citra Quickbird

Tempat Peluncuran Vanderberg Air Force Base, California

Wahana Pembawa Boeing Delta II

Ketinggian Orbit 450 km

Sudut Inklinasi 97,2 º,sun-synchronous

Kecepatan 7.1 km/detik

Waktu Saat Melintas Equator 10.30 AM

Waktu Orbit 93.5 menit

Resolusi Temporal 1-3,5 hari

Luas Sapuan 16,5 x 16,5 km

Resolusi Pankromatik 61 cm sampai 72 cm Resolusi Multispektral 2,44 m sampai 2,88 m

Band Pankromatik : 450-900 nm

Biru : 450-520 nm Hijau : 520-600 nm Merah : 630-690 nm Near Infra Red : 760-900 nm Sumber: DigitalGlobe (2002)

II.2.3.1 Distorsi Geometrik Citra

Citra yang dihasilkan dari satelit penginderaan jauh, tentunya tidak terlepas dari berbagai macam kesalahan, baik kesalahan sistematik maupun kesalahan acak (random). Kesalahan dalam pengolahan citra, terkait dengan aspek geometrik maupun aspek radiometrik. Aspek geometrik citra merupakan aspek yang berkenaan dengan bentuk dan posisi objek permukaan bumi pada citra, sedangkan

(8)

aspek radiometrik citra berkenaan dengan sinyal/energi yang berpengaruh selama pembentukan citra.

Distorsi geometrik merupakan penyimpangan yang disebabkan karena orbit satelit sangat tinggi dan medan pandangnya kecil. Penyimpangan geometrik citra ini menurut sifatnya dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu kesalahan sistematik dan kesalahan non sistematik (random). Kesalahan sistematik merupakan kesalahan yang dapat diperkirakan sebelumnya, dan besar kesalahan pada umumnya konstan. Kesalahan geometrik yang bersifat random (acak) tidak dapat diperkirakan terjadinya. Dalam penelitian ini tidak membahas mengenai kesalahan sistematik citra, tetapi akan dilakukan koreksi geometrik citra terhadap kesalahan non sistematiknya.

II.2.3.2 Koreksi Geometrik

Salah satu proses peningkatan mutu citra yang orientasi prosesnya per citra adalah proses koreksi geometrik citra. Jenis gangguan yang bersifat geometrik yang sering terjadi waktu proses rekaman citra dapat berbentuk pergeseran pusat citra, perubahan ukuran citra dan perubahan orientasi citra yang sering disebut sebagai skewed (Murni,1992).

Koreksi geometrik citra mempunyai tiga tujuan (Purwadhi, 2001) yaitu:

a. melakukan rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar koordinat citra sesuai dengan koordinat geografi;

b. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau mentranformasikan sistem koordinat citra multispektral atau citra multitemporal; dan

c. registrasi citra ke peta atau transformasi sistem koordinat citra ke peta, yang menghasilkan citra dengan sistem proyeksi tertentu.

Oleh karena itu koreksi geometrik dilakukan dengan proses transformasi, yang dapat ditetapkan melalui hubungan sistem koordinat citra (i,j) dan sistem koordinat peta (x,y). Secara sederhana, tranformasi pada citra diilustrasikan seperti pada gambar berikut ini:

(9)

kolom (i) 1 2 3 4 5 y 1 2 3 ●(x,y) 4 (0,0) x (i,,j) (b) ba ris ( j) (a)

Gambar II.3 (a) Sistem koordinat citra didefinisikan oleh baris dan kolom; (b) Sistem koordinat peta didefinisikan oleh sumbu x dan y

Koreksi geometrik yang sederhana dan sering digunakan untuk mengatasi gangguan-gangguan tersebut di atas adalah proses rotasi citra, skala citra dan translasi citra, yang semuanya termasuk transformasi dua dimensi. Apabila diperlukan peningkatan mutu citra dengan tujuan ketelitian yang tinggi, seperti misalnya pada pembuatan peta dasar dengan skala yang tepat, maka diperlukan koreksi geometrik yang lebih kompleks seperti proses registrasi citra dengan menggunakan titik-titik kontrol (Ground Control Points) dan teknik interpolasi (Murni, 1992).

II.2.4 Transformasi Citra

Penentuan parameter untuk koreksi geometrik citra penginderaan jauh digital disesuaikan dengan sifat kesalahan, sehingga dapat dilakukan alternatif pendekatannya. Koreksi geometrik yang bersifat random (non-sistematik) diselesaikan dengan analisis titik kontrol tanah/titik ikat (GCPs) melalui fungsi transformasi yang menghubungkan antara sistem koordinat tanah dan citra. Fungsi transformasi dapat didekati dengan persamaan polinomial, yaitu persamaan matematika antara sistem koordinat citra dengan sistem koordinat geografis. Metode ini memerlukan ketersediaan peta teliti yang sesuai dengan daerah liputan citra, dan titik-titik kontrol tanah yang dapat dikenali dalam citra, seperti perpotongan jalan raya, galengan sawah, tubuh air yang kecil, dan lain sebagainya. Proses koreksi dengan meletakkan sejumlah titik-titik kontrol tanah yang ditempatkan sesuai dengan koordinat di citra dan koordinat di peta.

(10)

Koordinat tersebut dinamakan koordinat-koordinat titik sekutu. Titik sekutu ini kemudian digunakan untuk proses transformasi guna menentukan parameter transformasi. Transformasi koordinat merupakan konversi dari satu koordinat ke sistem koordinat yang lain, atau hubungan antara posisi (koordinat) pixel citra asli (input) dan citra hasil transformasi (output). Akurasinya tergantung pada orde polinomial, jumlah dan distribusi titik kontrol tanah. Proses transformasi dapat dilihat dalam diagram alur berikut ini:

Gambar II.4 Koreksi geometrik yang bersifat non-sistematik

II.2.4.1 Tranformasi Helmert

Persamaan transformasi Helmert adalah sebagai berikut:

X = px - qy + C1 ... (2.1) Y = py + qx + C2 ... (2.2) Dijabarkan dalam bentuk matrik: (Schodlbaner dalam Hendriatiningsih, 2000)

1 2 1 0 0 1 p q T x y C U y x C                        

Dengan: T, U = timur, utara ( sistem TM-30 ) x, y = absis, ordinat (sistem Lokal/Citra) p, q, C1, C2 = parameter transformasi

(11)

dimana p = λ cos ω ... (2.3) q = λ sin ω ... (2.4)

Pada persamaan di atas, λ adalah faktor perbesaran, ω adalah faktor rotasi dan C1, dan C2 adalah faktor-faktor translasi.

Apabila nilai-nilai parameter transformasi diketahui besarnya, maka setiap titik yang berkoordinat citra dapat ditransformasi menjadi koordinat TM30. Untuk mengetahui besarnya nilai parameter diperlukan minimal dua buah titik sekutu, dengan cara sebagai berikut:

X = [ATA]-1ATF ... (2.5) Dengan: X= 1 2 p q C C             A= 1 0 0 1 y x x y       titik sekutu F= T U       titik sekutu Disamping itu: λ = [p2 + q2]0,5 ... (2.6) ω = arc Tan [-q/p] ... (2.7)

II.2.5 Resolusi Citra

Sensor adalah alat perekam obyek bumi. Sensor dipasang pada wahana dan letaknya jauh dari obyek yang diindera, maka diperlukan tenaga elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek tersebut. Sensor elektronik membangkitkan sinyal elektrik yang sesuai dengan variasi tenaga elektromagnetik. Tenaga radiasi yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek dan ditangkap oleh sensor, dapat menghasilkan citra yang sesuai dengan wujud aslinya. Setiap sensor mempunyai kepekaan spektral terbatas. Tidak ada satu sensorpun yang peka terhadap seluruh panjang gelombang. Sensor terbatas

(12)

kemampuannya untuk mengindera obyek kecil. Batas kemampuan memisahkan setiap obyek dinamakan resolusi (Purwadhi, 2001).

Resolusi suatu sensor merupakan indikator tentang kemampuan sensor atau kualitas sensor dalam merekam obyek. Di dalam citra, resolusi merupakan parameter limit atau daya pisah obyek yang masih dapat dibedakan. Empat parameter kemampuan sensor yaitu resolusi spasial, resolusi spektral, resolusi radiometrik dan resolusi temporal. Penelitian ini hanya berkaitan dengan resolusi spasial yang ada pada citra Quickbird yang digunakan.

Resolusi spasial adalah ukuran obyek terkecil yang masih dapat disajikan, dibedakan dan dikenali pada citra. Semakin kecil ukuran obyek yang dapat direkam, semakin baik kualitas sensornya.

II.2.6 Kesalahan

Kesalahan adalah perbedaan antara nilai ukuran (measured value) dan nilai yang benar (true or correct value) (Barry, 1978). Kesalahan yang mungkin menghinggapi data pengukuran dapat berupa kesalahan besar/kekeliruan (blunder), kesalahan sistematik (systematic error) dan kesalahan kebetulan atau acak (accidental eror, random error) (Kahar, 2007). Sebagai contoh, kesalahan besar adalah jika terjadi kesalahan baca hasil pengukuran. Kesalahan besar seperti ini sangat mudah ditentukan dan dapat dihilangkan dari daftar ukuran.

Kesalahan sistematik yang terdapat pada pengukuran dapat bersumber pada alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran. Pengaruh kesalahan sistematik ini dapat dihilangkan dengan memperbaiki kesalahan pada alat atau dengan teknik pengukuran yang dapat menghilangkan pengaruh sistematik itu, atau dengan menghilangkannya suatu model atau rumus yang berkaitan dengan pengaruh sistematik tersebut. Jika kesalahan besar dan kesalahan sistematik ini sudah tidak terdapat lagi pada data pengukuran, maka sisa yang mungkin terdapat pada pengukuran adalah kesalahan yang terjadi secara kebetulan atau acak yang dapat ditentukan dengan hitungan perataan.

(13)

II.2.7 Ketelitian Geometrik II.2.7.1 Akurasi dan Presisi

Presisi adalah gambaran dari derajat ketelitian dan kemurnian dalam melakukan suatu pengukuran. Akurasi adalah gambaran dari koreksi hasil pengukuran (Barry, 1978). Sebagai contoh, kelompok hasil tembakan dari senapan pada target. Dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar II.5 Akurasi dan presisi (Barry, 1978)

Gambar II.5 (a) dan gambar II.5 (b) adalah sangat presisi sedangkan gambar II.5 (a) dan gambar II.5 (c) sangat akurat. Gambar II.5 (a) dapat dikatakan presisi dan akurasi. Gambar II.5 (b) dapat dikatakan presisi tetapi tidak akurasi dan gambar II.5 (c) dikatakan akurasi tetapi tidak presisi. Sedangkan gambar II.5 (d) dikatakan tidak akurasi dan tidak presisi.

Gambar berikut ini menjelaskan tentang bentuk kurva distribusi normal berdasarkan keterangan gambar II.5:

Gambar II.6 Kurva distribusi normal (1) Kurva Gambar II.5 (a)

Akurasi dan Presisi Kurva Gambar II.5 (b) Presisi dan tidak Akurasi

X

1 X

(14)

2 2

RMSxRMSy

Gambar II.7 Kurva Distribusi Normal (2)

Akurasi didefinisikan sebagai kecocokan dengan nilai yang benar (X). Dan presisi didifinisikan sebagai kedekatan kelompok tembakan/nilai tanpa melihat koreksi atau kebenaran (X±σ). Ada beberapa parameter yang dapat digunakan untuk menentukan ketelitian geometrik dari suatu ukuran yang telah dikoreksi, yaitu:

A. Root Mean Square Error (RMSe)

RMSe merupakan parameter yang digunakan untuk mengevaluasi nilai hasil dari pengamatan/pengukuran terhadap nilai sebenarnya atau nilai yang dianggap benar. RMSe ini dihitung pada saat transformasi koordinat selesai dilakukan. Caranya dengan menguji beberapa titik pada ukuran hasil koreksi geometrik terhadap titik yang dianggap benar (yang sudah terreferensi) dengan sistem proyeksi tertentu.

Secara umum, untuk menghitung besarnya RMSe dalam bidang dua dimensional adalah sebagai berikut: (Lo dan Yeung, 2002)

RMSe = ………. (2.10)

dengan:

RMSx = Pergeseran titik koordinat arah X RMSy = Pergeseran titik koordinat arah Y

B. Standar Deviasi (

σ

)

Standar deviasi merupakan konsep akurasi yang menunjukkan tingkat ketelitian atau kedekatan setiap data dengan data lainnya dalam pengamatan terhadap suatu

1 X Kurva Gambar II.5 (c)

Akurasi dan tidak Presisi Kurva Gambar II.5 (d) Tidak Akurasi dan tidak Presisi

(15)

2 1 ( ) / n i l l n  

objek. Standar deviasi dalam bidang dua dimensional akan berkaitan dengan besar kecilnya nilai residual dari komponen x dan komponen y. Rumus yang digunakan untuk menentukan standar deviasi:

σ

= ………... (2.11)

dengan:

l = nilai ukuran

l = nilai yang dianggap benar n = banyaknya data ukuran

II.2.8 Reduksi Jarak ke Bidang Proyeksi TM30

Untuk mendapatkan jarak/panjang suatu garis pada bidang proyeksi, terdapat konstanta yang harus diperhatikan yaitu faktor skala (faktor perbesaran). Faktor perbesaran pada bidang proyeksi berbeda nilai/harganya untuk setiap titik. Untuk titik yang berdekatan dapat digunakan nilai faktor skala salah satu titik (biasanya titik tengah).

Dinyatakan dengan notasi:

D = m SE ... (2.12) dimana:

D = jarak pada bidang proyeksi (bidang datar) m = faktor skala garis

SE= jarak pada ellipsoida

Faktor skala garis diperoleh dari rumus:

m = K0 [1+( X12+ X1X2+X22)/(6R2)] ... (2.13) dimana:

K0 = faktor perbesaran proyeksi (untuk TM30 = 0,9999) X1X2 = absis titik, titik-titik ujung garis

(16)

II.2.9 Konversi Koordinat Geodetik ke Koordinat Proyeksi TM30

Rumus konversi koordinat dari koordinat geodetik suatu titik (L,B) untuk dinyatakan dalam koordinat sistem proyeksi TM30 (X,Y) adalah sebagai berikut:

X = (a1)∆B + (a3)∆B3 + (a5)∆B5

Y = (a0) + (a2)∆B2 + (a4)∆B4 ... (2.14)

dimana:

∆B = B – B0 ... (2.15) a0 = K0G ... (2.16)

G = E0 (L/ρ) +E2 Sin 2L +E4 Sin 4L + E6 Sin 6L + ... (2.17)

2 4 6 0 1 3 5 (1 ) 4 64 256 Eaeee ... (2.18) 2 4 6 2 3 3 45 ( ) 8 32 1024 E  a eee ... (2.19) 4 6 4 15 45 ( ) 256 1024 Ea ee ... (2.20) 6 6 35 ( ) 3072 E  a e ... (2.21) 2 2 2 2 2 2 a b e f f a     ... (2.22) 1 ( 0 ) / a   K NCosL  ... (2.23) 2 2 ( 0 ) / 2 a   K NSinLCosL ... (2.24) 3 2 3 3 ( 0 ( / ) )) / 6 a   K NCos N MTan L  ... (2.25) 3 2 2 4 4 ( 0 (4( / ) ( / ) )) / 24 a   K NSinLCos L N MN MTan L  ... (2.26) 5 2 5 5 ( 0 ((14( / ) 18 9)) /120 a   K NCos L N MTan L  ... (2.27) 2 2 1 a N e Sin L   ... (2.28) 2 2 2 3 (1 ) ( 1 ) a e M e Sin L    ... (2.29)

(17)

Keterangan:

B = Bujur geodetik

B0 = Bujur geodetik meridian sentral

K0 = Faktor perbesaran proyeksi pada meridian sentral (TM30 = 0,9999) G = Panjang busur meridian dihitung dari equator

L = Lintang geodetik e2 = Eksentrisitas (1) kuadrat a = Jari-jari di equator b = Jari-jari di kutub f = 1/298,25722357 ρ = 206264”,80625 N = Jari-jari normal ellipsoid

M = Jari-jari meridian ellipsoid

II.2.10 Standar Ketelitian Peta Dasar Pendaftaran Tanah dari BPN

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dalam Pasal 17 menjelaskan:

(1) Peta Dasar Pendaftaran tanah dapat dibuat dengan menggunakan peta lain yang memenuhi syarat sebagai berikut:

a. peta tersebut mempunyai skala 1:1000 atau lebih besar untuk daerah perkotaan, 1:2500 atau lebih besar untuk daerah pertanian dan 1:10000 atau lebih besar untuk daerah perkebunan besar.

b. peta tersebut sebagaimana dimaksud pada huruf a mempunyai ketelitian planimetris lebih besar atau sama dengan 0,3 mm pada skala peta.

c. untuk mengetahui ketelitian planimetris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan pengecekan jarak pada titik-titik yang mudah diidentifikasi di lapangan dan pada peta.

(2) Apabila peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berada dalam sistem koordinat nasional, maka dilakukan transformasi ke dalam sistem koordinat nasional.

(18)

Dalam pelaksanaannya, berdasarkan Standarisasi Pengukuran dan Pemetaan Kadastral yang dikeluarkan oleh Bagian Proyek Administrasi Pertanahan Tahun 2003 dinyatakan bahwa:

a. Ketelitian (RMS) dari koordinat titik sekutu harus lebih kecil dari 0,1 mm pada skala peta.

b. Ketelitian dari perhitungan luas (KL) bidang tanah tidak lebih besar dari: KL≤ (0,5 L) ... ... (2.30) dimana:

KL = Ketelitian Luas (m2) L= Luas (m2)

Referensi

Dokumen terkait

Proses pelaksanaan program Misykat dapat dikatakan baik jika melalui tahapan pemberdayaan yaitu tahapan dialog, penemuan dan pengembangan. Tabel 9 menunjukkan bagaimana

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain agar dapat memahami hal. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin

Sasaran penerima PKH adalah rumah tangga sangat miskin (RTSM) sesuai kriteria badan pusat statistik (BPS) dan memenuhi satu diantara beberapa kriteria program yang terdiri dari

Dari definisi gelanggang polinom miring terlihat bahwa pembentukan gelanggang tersebut ditentukan oleh endomorfisma pada gelanggang tumpuannya.. Oleh karena itu,

Keempat bentuk tersebut adalah kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif yang melihat kemiskinan dari segi pendapatan, sementara kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural

Walaupun kerajaan Tanjung Kuntianak ini kecil, namun amatsubur makmur, aman tentram, gemah ripah loh jinawi, murah sandang murah pangan.Hal ini tidaklah

Berdasarkan hasil validasi penilaian ahli media tersebut dinyatakan bahwa media pembelajaran booklet materi bencana gempabumi layak digunakan di lapangan untuk penelitian

Adapun faktor pendukung dan penghambat bimbingan karir dalam menumbuhkan perilaku kewirausahaan santri diantaranya faktor Pendukung terdiri daripendiri pesantren