• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 PEMBAHASAN 6.1 Distribusi Upaya Penangkapan dan Hasil Tangkapan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6 PEMBAHASAN 6.1 Distribusi Upaya Penangkapan dan Hasil Tangkapan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

6.1 Distribusi Upaya Penangkapan dan Hasil Tangkapan

Dinamika kegiatan penangkapan udang di Delta Mahakam sangat ditentukan oleh musim. Keadaan Selat Makassar dipengaruhi angin barat (Desember – Pebruari) dan angin timur (Juni - Agustus). Pada saat angin timur bertiup kencang nelayan di pesisir selatan tidak leluasa beroperasi, sedangkan pada saat angin barat bertiup kencang nelayan di pesisir utara mengalami kendala serupa. Kondisi Selat Makassar yang tenang pada musim peralihan atau pancaroba merupakan kondisi ideal yang mendukung terjadinya operasi penangkapan ikan yang optimum.

Walaupun kondisi laut pada saat musim timur kurang ramah (seperti ditunjukkan oleh rendahnya upaya penangkapan udang, Gambar 6e-g) namun total produksi dan produktivitas (hasil tangkapan per trip) kegiatan penangkapan udang tahun 2003 adalah relatif tinggi (Tabel 5). Total produksi dan produktivitas yang tinggi ini dapat disebabkan beberapa faktor, seperti akumulasi udang di sekitar muara/pantai akibat arus laut yang kuat dan besarnya gelombang yang dibangkitkan oleh angin timur serta hanya sebagian kecil armada yang beroperasi. Akumulasi udang ini didominasi oleh udang dewasa yang siap memijah namun berada di dekat perairan dangkal, seperti dilaporkan oleh Suyatna (2001). Akumulasi udang dewasa di perairan dangkal pada saat musim timur tersebut tidak lazim seperti dijelaskan dalam daur hidup udang; udang yang siap memijah berada pada perairan yang lebih dalam atau lebih jauh dari pantai (Munro 1968).

Selama musim peralihan (musim hujan dalam pancaroba I mulai dari Maret sampai dengan Mei (BMG 2003) dan musim kemarau dalam pancaroba II mulai dari September sampai dengan Nopember) arus laut arahnya tidak menentu (Zainuri et al. 2002). Pada saat ini, kondisi laut pada umumnya tenang sehingga banyak kapal udang beroperasi (dilihat dari upaya atau jumlah trip operasi). Berbeda dengan musim timur, produktivitas (hasil tangkapan per trip) dalam kedua musim peralihan ini adalah rendah. Namun dari total produksi yang dicapai musim peralihan I relatif tinggi, akibat akumulasi upaya penangkapannya tinggi. Rendahnya produktivitas udang pada musim peralihan I (musim hujan) sebesar 6,4 kg/trip kemungkinan disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang menentukan salinitas air terhadap migrasi udang, seperti dilaporkan oleh Staples (1980) untuk perikanan udang di Teluk Carpentaria, Australia. Kiriman air tawar dari daerah hulu sungai Mahakam yang masuk ke kawasan muara dan sekitarnya menyebabkan

(2)

‘terhambatnya’ migrasi udang dari perairan dalam ke perairan dangkal (di sekitar muara) atau udang-udang yang berada di muara menjadi ‘terdorong’ menjauhi muara menuju ke perairan yang lebih dalam. Fenomena serupa dilaporkan oleh Chin dan Goh (1967) untuk perairan Sabah, Malaysia Timur, Zalinge dan Naamin (1975) untuk perairan Cilacap Jawa Tengah, dan Qureshi (1975) untuk perairan di Pakistan. Fenomena yang sama, yaitu produktivitas udang tinggi setelah musim hujan, juga terjadi di Laut Arafura namun pada periode setelah musim angin timur yang umumnya bercurah hujan tinggi (Naamin, 1984). Produktivitas udang optimum di daerah Delta Mahakam terjadi pada musim timur (Juli 2003). Hal ini konsisten dengan laporan Poernomo (1968), Naamin dan Poernomo (1972) bahwa induk udang bertelur sepanjang tahun dengan musim puncak pada awal dan akhir musim hujan. Dengan demikian, operasi penangkapan udang pada musim timur dan musim barat merupakan periode terbaik bagi nelayan untuk mendapatkan udang (Tabel 3).

Distribusi upaya penangkapan udang di Delta Mahakam tersebut dapat juga disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti ukuran kapal, topografi dasar laut dan dugaan nelayan terhadap keberadaan koloni sumberdaya udang yang ekonomis. Delta Mahakam adalah daerah estuari yang merupakan daerah penangkapan udang ideal seperti dinyatakan Ayodhyoa (1981) dan Sadhori (1985). Menurut mereka, daerah penangkapan yang cocok untuk operasi penangkapan udang dengan trawl adalah perairan yang mempunyai dasar laut datar atau rata, tidak terdapat karang atau tonggak-tonggak, bersubstrat lumpur atau lumpur bercampur pasir, kecepatan arus pasang dan pada midwater tidak besar dan perairan mempunyai daya produktivitas yang besar, serta tempat berkumpulnya ikan atau udang yang merupakan daerah sasaran setiap penangkapan.

Bentuk dasar laut atau topografi erat kaitannya dengan kedalaman, juga berpengaruh pada distribusi upaya penangkapan, topografi yang landai umumnya dangkal sangat baik untuk operasional trawl, keadaan ini terdapat di sekitar Delta Mahakam, namun bagian utara dan selatan delta topografi pantainya lebih curam dibandingkan sekitar delta dan beberapa kawasan terdapat hamparan batu karang yang cukup luas, kondisi topografi demikian operasional trawl tidak dapat dilakukan, sehingga terdapat distribusi upaya penangkapan yang tidak merata seperti sepanjang pantai Handil Baru – Salok Api Laut dan Semangkok – bagian Utara Muara Badak. Pendugaan gerombolan udang oleh nelayan saat melaut turut menentukan distribusi upaya penangkapan, umumnya nelayan lokal memiliki pengalaman dengan melihat tanda-tanda keberadaan udang seperti tingkat kekeruhan air, arah arus, angin dan kedalaman. Penguasaan medan daerah penangkapan yang dimiliki oleh nelayan lokal, juga menentukan distribusi upaya penangkapan, karena pada beberapa

(3)

stasiun dan alur kedalaman terdapat banyak sampah, jalur pipa minyak dan gas bawah laut milik perusahaan bagi hasil Pertamina dan batang kayu besar yang dapat merobek dan merusak jaring saat trawl ditarik.

Selain hal tersebut di atas, distribusi upaya penangkapan juga ditentukan oleh ukuran kapal, faktor ini juga sangat menentukan cakupan daerah penangkapan udang, kapal yang berukuran kecil cenderung beroperasi di perairan pantai, sementara yang berukuran lebih besar cenderung beroperasi lebih jauh dari pantai. Perahu trawl berukuran kurang dari 5 GT mendominasi perairan yang kedalamanya kurang dari 5 meter di sekitar delta. Sebagian kecil dari armada perahu kurang dari 5 GT tersebut adapula yang beroperasi pada perairan yang lebih dalam hingga 16 mil laut dari pantai. Kapal-kapal trawl yang berukuran lebih besar dari 5 GT tersebar pada perairan yang lebih dalam, > 5 meter.

Spesifikasi teknis unit penangkapan udang yang beroperasi pada kedalaman < 5 meter lebih homogen, yaitu didominasi oleh perahu yang berukuran kurang dari 5 GT. Sebaliknya pada perairan dengan kedalaman lebih dari 5 – 10 meter, 10 - 20 meter, 20 – 50 meter dan lebih dari 50 meter spesifikasi teknis unit penangkapan udang yang beroperasi lebih beragam/heterogen. Pada perairan dengan kedalaman lebih dari 20 meter, ketiga kategori ukuran kapal beroperasi, sehingga komposisi armada penangkapan udang yang terlibat paling beragam. Keberagaman tersebut jika ditinjau dari kesesuaian teknis dan peraturan-peraturan yang ada, perahu atau kapal yang lebih besar dari 5 GT perlu dialihkan untuk beroperasi di perairan lebih dari 3 mil jaraknya dari pantai, yaitu dengan kedalaman minimum rata-rata 7 meter.

Pengalihan daerah operasi dari perairan dangkal ke perairan yang lebih dalam seyogianya juga tetap menguntungkan. Ukuran udang pada kedalaman 20 - 50 meter umumnya lebih besar dibanding dengan udang di tempat dangkal. Hal ini didukung oleh pendapat Kirkegaard et al. (1970), yang menyatakan udang dewasa biasanya terdapat pada perairan dengan kedalaman antara 15 - 35 meter, jika paparan benuanya (shelf) cukup landai mencapai jarak 150 km dari pantai. Di Teluk Carpentaria (Queensland) pengelompokkan udang dewasa berukuran 26 - 37 ekor per kg pada siang maupun malam hari, terdapat pada kedalaman 16 - 24 meter pada jarak 37 km dari pantai. Udang pada strata kedalaman 20 - 50 meter di Delta Mahakam memiliki nilai (harga) yang lebih tinggi per kilogramnya (Lampiran 3 dan Gambar 11). Dengan demikian, usaha penangkapan udang di kedalaman tersebut dapat lebih menguntungkan dan mendukung kelangsungan usaha perikanan udang setempat.

(4)

Berdasarkan statistik produksi udang yang ada dan hasil perhitungan usaha dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa usaha perikanan udang di Delta Mahakam menguntungkan pengusahanya. Jika usaha tersebut tidak menguntungkan, maka seharusnya kegiatan penangkapan udang di kawasan ini sudah berhenti sejak lama. Beberapa faktor yang diduga mendukung kelangsungan usaha penangkapan udang lokal tersebut antara lain stok udang selalu tersedia, pemasaran berlangsung lancar, harga jual hasil tangkapan masih dapat menutupi biaya operasional, dan kegiatan penangkapan udang dengan trawl “direstui” oleh otoritas lokal walaupun tidak formal. Kejadian kenaikan harga BBM pada tahun 2002 tidak berpengaruh besar terhadap kelangsungan usaha karena harga jual masih dapat menutupi biaya operasi. Hal ini merupakan indikasi bahwa usaha penangkapan udang lokal relatif tidak sensitif (Tabel 6 - 10).

6.2 Status dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Udang

Pengelolaan sumberdaya udang dan perikanan tangkap secara lestari, harus ditinjau dari aspek biologi maupun ekonomi dengan pendekatan faktor output (yield). Keluaran model bioekonomi dalam kondisi terkendali meliputi pendugaan stok udang optimal (kg/tahun), hasil tangkap optimal (kg/tahun) dan upaya penangkapan optimal (trip/tahun). Nilai masing-masing variabel ini akan membentuk keseimbangan yang terkendali, dimana dari nilai ini akan tergambar kondisi pelestarian sumberdaya perikanan udang dengan tujuan agar sumberdaya udang tersebut dapat dimanfaatkan secara menguntungkan dalam waktu relatif tak terbatas, selama tak ada perubahan besar terhadap keseimbangan lingkungan perairan. Keluaran dari model bioekonomi lainnya keseimbangan Maximum Sustainable Yield (MSY) yang menggambarkan keseimbangan lestari suatu perairan atas sumberdaya udang secara biologi yang boleh diambil, sedangkan keseimbangan akses terbuka atau kondisi perikanan bebas tangkap (open acces), menggambarkan kondisi keuntungan (Rp/tahun) dari pemanfaatan sumberdaya udang yang impas atau nol.

Potensi lestari di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya (kedalaman kurang dari 20 meter), mencapai sekitar 9.300 ton per tahun dengan upaya penangkapan optimal lestari 38.875 trip per tahun, yang diduga telah terjadi kelebihan tangkap, karena kondisi aktual menggambarkan upaya penangkapan optimal telah dicapai, begitu juga produksi dalam kondisi sedang menurun, bahkan sebagai perbandingan telah melampaui tingkat keseimbangan akses terbuka (open acces).

(5)

Status perikanan udang di Delta Mahakam dan sekitarnya ini (< 20 meter) tidak berbeda dari yang terjadi di perairan pantai utara Jawa, yaitu telah terjadi tingkat pengusahaan yang berlebih (over exploited) terhadap spesies udang jerbung. Total upaya penangkapan udang dan produksi udang di lokasi tersebut telah melebihi nilai-nilai optimum, jumlah unit kapal optimum dan MSY udang jerbung di perairan utara Jawa masing-masing adalah 7.320 unit/tahun dan 9.970 ton/tahun (Marwoto 1990).

6.3 Perikanan Udang Yang Optimum

Keadaan perikanan udang yang optimum mengacu pada dua fungsi yaitu fungsi tujuan dan pembatas/kendala. Fungsi tujuan mengarahkan usaha perikanan untuk meningkatkan hasil tangkapan, mutu, harga dan keuntungan yang maksimum. Di lain pihak terdapat faktor pembatas sebagai kendala untuk optimasi diantaranya terbatasnya sumberdaya udang, biaya operasi penangkapan, modal, tenaga, waktu dan sebagainya. Untuk mencapai suatu keadaan optimum perlu dilakukan optimasi seperti efisiensi dan efektivitas upaya penangkapan.

Fungsi tujuan dilakukan pada wilayah yang belum dimanfaatkan secara maksimal yaitu isobath 20 - 50 meter, sebaliknya potensi pada perairan strata < 10 meter yang telah mencapai overfishing relatif kecil. Densitas udang yang belum dieksploitasi maksimal tersebut pada kedalaman 20 - 50 meter dan > 50 meter, masing-masing 42,1 ton/bulan dan 35,2 ton/bulan, sedangkan yang telah dieksploitasi baru mencapai 4,4 ton/bulan dan 2,1 ton/bulan, mengindikasikan belum maksimalnya tingkat pemanfaatan sumberdaya udang, jika dibandingkan dengan total biomassa yang belum dimanfaatkan pada wilayah perairan ini, total luas wilayah 5.925 km2 (wilayah kedalaman 20 – 90 meter) mampu

mengoptimumkan pendapatan nelayan dengan pengembangan spesifikasi teknis unit penangkapan atau teknologi, agar efektif dan efisien.

Luas kawasan potensial yang harus optimum upaya pemanfaatan dan tingkat eksploitasinya, perlu dilakukan pemerataan dan distribusi yang seimbang sesuai dengan kapasitas daya dukung perairan. Wilayah perairan yang sangat intensif dilakukan pengurangan upaya penangkapan, sedangkan pada daerah yang minimum dilakukan penambahan upaya penangkapan. Dengan demikian pemanfaatan sumberdaya udang ekonomis yang terdapat pada perairan yang lebih dalam, diprediksikan dapat meningkatkan hasil tangkapan dan keuntungan, sekaligus mengurangi padatnya upaya penangkapan yang terkonsentrasi pada perairan dangkal.

(6)

Sehubungan dengan pengalihan dan peningkatan upaya penangkapan ke perairan yang lebih dalam, khusus musim timur direkomendasikan adanya pengurangan frekuensi upaya atau hingga tidak ada kegiatan upaya penangkapan, ini dilakukan erat kaitannya dengan musim mijah udang untuk mendukung keberlanjutan stok udang di perairan ini. Selanjutnya hal serupa juga dilakukan untuk perairan dangkal (kedalaman hingga 10 meter), dengan tanpa mengurangi jumlah unit penangkapan. Optimasi yang dilakukan di atas mengarah pada dua kondisi dari fungsi tujuan dan faktor pembatas, keadaan tersebut yaitu dapat minimum atau maksimum. Optimasi keadaan minimum dilakukan terhadap upaya penangkapan, besarnya investasi usaha dan biaya operasional tiap trip penangkapan, sedangkan keadaan maksimum terhadap volume, mutu dan keuntungan atau nilai produksi, yang berimbas pada meningkatnya pendapatan usaha. Sebagai gambaran jika terjadi eksploitasi yang tinggi, akan berdampak pada kenaikan biaya operasional per trip (akibat jauhnya fishing ground) dan tingkat keuntungan akan semakin menurun.

Skenario optimasi untuk pencapaian fungsi tujuan dan minimalisasi faktor pembatas atau kendala, direkomendasikan pada strata kedalaman yang minimum pemanfaatannya, dimaksimalkan rata-rata sekitar 40% saja yang diupayakan dari trip standar, atau sebanyak 8.554 trip/tahun dan 19.349 trip/tahun masing-masing untuk kedalaman 10 - 20 dan 20 - 50 meter, dengan mengurangi upaya pada daerah intensif (5 - 10 meter) menjadi sebanyak 7.546 trip/tahun, maka total trip yang dilakukan pada kedalaman lebih dari 5 meter sebanyak 38.239 trip/tahun, masih kurang dari Emsy (38.875 trip/tahun). Begitu juga untuk

pengembangan tarikan standar optimum untuk wilayah potensial mencapai 111.612 towing per tahun. Berdasarkan ukuran kapal trip standar tersebut berbeda-beda untuk tiap kategori sesuai dengan kemampuan daya tangkap alat yang digunakan, dalam hal ini adalah lebar dari jaring trawl secara horisontal yang dapat diukur dari rata-rata panjang tali ris atas (headrope) dari tiap kategori unit penangkapan.

Hasil skenario optimasi tersebut di atas diharapkan dapat mencapai total produksi optimum sebesar 9.146.769 kg (9.146 ton/tahun) sesuai dengan kurva ploting upaya penangkapan dan total produksi (Gambar 15) dan hasil tangkapan per upaya (CPUE) juga meningkat hingga mencapai lebih kurang 232 kg/trip, seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 14 tingkat CPUEopt dan hubungannya dengan total upaya penangkapan

(7)
(8)

Rekomendasi teknis dari hasil skenario optimasi tersebut, sehubungan dengan pengalokasian upaya penangkapan, sebaiknya untuk kapal ukuran < 5 GT tidak dipaksakan untuk mengakses daerah yang lebih dalam, tetapi lebih maksimal pada kedalaman 5 - 20 meter atau pada Jalur I (< 6 mil laut jarak dari pantai), sesuai peraturan yang berlaku pada Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 392 tahun 1999 tentang pengaturan jalur penangkapan ikan. Surat Keputusan tersebut menyatakan pada jalur 0 - 3 mil laut kapal dengan alat tangkap yang diperbolehkan melakukan operasi penangkapan adalah alat tangkap yang menetap (stationary), alat tangkap mobile tanpa modifikasi dan kapal tanpa motor dengan panjang total (length overall / LOA) • 10 meter dan pada jalur 3 - 6 mil laut kapal yang boleh beroperasi diantaranya alat tangkap mobile yang dimodifikasi dan kapal tanpa motor/bermotor tempel dengan LOA • 12 meter atau • 5 GT . Rekomendasi kebijakan teknis diharapkan dapat menata keadaan upaya penangkapan udang di Delta Mahakam dan sekitarnya, karena kondisi lapang tidak sesuai dengan aturan jalur penangkapan seperti yang telah disebutkan di atas. Kapal trawl bermotor ukuran < 5 GT banyak beroperasi di jalur < 3 mil, namun pada jalur 6 - 12 mil laut operasional trawl dari segi ukuran kapal dan alat tangkap memenuhi aturan.

Kebijakan teknis lainnya diharapkan tidak ada penambahan ukuran kapal hingga >30 GT, seperti keadaan armada trawl yang beroperasi di perairan lain umumnya didominasi oleh ukuran kapal besar. Keadaan armada trawl dengan ukuran besar seperti dilaporkan Naamin (1984) dan Marwoto (1990) terdapat pada perairan pantai utara Jawa dan Laut Arafura umumnya kapal trawl berukuran 90 – 594 GT. Bagi pemerintah daerah juga tidak mendapatkan keuntungan dari keberadaan kapal trawl berkapasitas besar, karena dari segi perijinan kapal ukuran > 30 GT merupakan wewenang pemerintah pusat, kontribusi terhadap daerah juga dipastikan minim sebab umumnya perusahaan skala besar hasil tangkapannya langsung diekspor melalui cold storage milik mereka sendiri yang ada di Pulau Jawa atau Pulau Sulawesi. Imbas lainya adalah degradasi stok udang hasil eksploitasi kapal trawl besar ini akan sangat cepat dibandingkan kapal dengan ukuran < 30 GT. Keadaan degradasi stok dan pemanfaatan yang telah berlebih tersebut, seperti dilaporkan oleh Naamin & Poernomo (1972) untuk daerah perairan Cilacap Jawa Tengah, Marwoto (1990) untuk perairan pantai utara Jawa, serta Naamin (1984) untuk perairan Laut Arafura.

Sehubungan dengan kebijakan teknis tersebut di atas, pada Jalur II (6 - 12 mil laut) merupakan daerah penangkapan paling potensial karena CPUA di jalur ini relatif tinggi. Daerah penangkapan yang memiliki kepadatan udang atau hasil tangkapan per satuan luas

(9)

yang tinggi, merupakan aset berharga dari segi ekonomi bagi keberlanjutan usaha. Hal ini didukung oleh pernyataan Gordon (1954), yang menyatakan aspek ekonomi perlu diperhitungkan dalam rangka optimasi dan pengembangan, yaitu output (keuntungan) harus lebih besar daripada input (biaya produksi), karena tujuan paling utama usaha penangkapan adalah keuntungan (profit oriented).

Menurut Fauzi (2001), menyatakan pada kondisi akses terbuka tingkat effort yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari yang semestinya untuk mencapai keuntungan yang optimal lestari, sehingga dari sudut pandang ekonomi, keseimbangan open acces

menimbulkan alokasi sumberdaya alam yang tidak benar (misallocation), karena kelebihan sumberdaya (tenaga kerja, modal) yang dibutuhkan untuk usaha perikanan tersebut bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif. Pandangan di atas merupakan inti dari prediksi Gordon yang mengatakan bahwa akses terbuka akan menimbulkan kondisi economic overfishing.

Jika diasumsikan tingkat teknologi dan efisiensi usaha para nelayan penangkap udang adalah sama, serta telah melampaui tingkat keseimbangan akses terbuka (open acces), maka keuntungan yang diperoleh nelayan trawl mencapai titik jenuh (zero profit). Sebaliknya jika tingkat teknologi dan efisiensi usaha heterogen, maka akan terjadi persaingan usaha penangkapan udang, sehingga hanya nelayan penangkap udang dengan teknologi dan efisiensi usaha yang tinggi yang akan tetap “survive” dan memperoleh keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya udang yang dilakukannya. Perbedaan tingkat teknologi dan efisiensi usaha menjadi pertimbangan, guna mencapai kondisi keseimbangan perikanan udang yang optimum.

Untuk menghindari keadaan missallocation tersebut di atas, keragaan teknis dan efektivitas dalam pengoperasian alat tangkap trawl perlu mendapat perhatian. Udang sebagai target species, namun trawl dalam operasionalnya akan menangkap jenis-jenis biota dasar lainnya. Operasi penangkapan dengan menggunakan trawl, ada beberapa faktor yang menentukan efektivitas dan efisiensi dari alat. Untuk efektivitas operasi penangkapan berkaitan langsung dengan hasil tangkapan. Beberapa faktor penentu efektivitas adalah tingkah laku udang, ukuran alat tangkap trawl, topografi dasar perairan, kapasitas ruang (retain area), bahan alat tangkap, selektivitas, intensitas upaya penangkapan, frekuensi penangkapan dan stok sumberdaya udang di suatu daerah fishing ground, serta keterampilan dan pengalaman dari nelayan trawl.

Ukuran alat tangkap mempengaruhi efektivitas operasi penangkapan, contoh alat tangkap trawl dasar, karena semakin lebar ukuran alat tangkap trawl atau panjang tali ris

(10)

atas (headrope), maka areal dasar perairan yang disapu akan semakin luas, dengan demikian jumlah udang dan biota lain di dasar perairan yang tertangkap oleh alat tangkap tersebut, juga akan semakin besar.

Namun besarnya hasil tangkapan tidak semata-mata dipengaruhi oleh ukuran lebar alat tangkap trawl, tetapi juga akan dipengaruhi oleh stok sumber daya udang di areal pengoperasian alat tangkap tersebut. Ukuran alat tangkap tidak akan meningkatkan hasil tangkapan, apabila stok udang di suatu areal penangkapan tidak banyak, dalam arti sumberdaya udangnya hanya sedikit. Bila suatu areal penangkapan yang hanya memiliki stok udang dan ikan dalam jumlah kecil, tetapi penangkapan menggunakan ukuran alat tangkap yang terlalu besar, maka pengoperasian alat tersebut akan sangat tidak efisien. Penggunaan alat tangkap dalam ukuran yang besar akan memakan biaya operasi yang besar pula, sedangkan hasil udang dan ikan yang bernilai ekonomis tinggi lainnya yang tertangkap hanya sedikit, dengan sendirinya biaya operasi tidak sebanding dengan hasil tangkapan atau dengan kata lain jumlah input (biaya operasi) yang dikeluarkan tidak sebanding dengan output (keuntungan) yang diterima.

Efektivitas pengoperasian alat tangkap juga dipengaruhi oleh tingkat keterampilan dan pengalaman nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap. Walaupun suatu areal penangkapan memiliki stok udang atau ikan yang tinggi, namun jika yang mengoperasikan alat kurang terampil dan berpengalaman, maka hasil yang tertangkap tidak akan optimal. Rata-rata pengalaman nelayan trawl di Delta Mahakam dan sekitarnya rata-rata 8,1 tahun, yang dapat dianggap lebih matang pengalaman dalam operasional jaring trawl. Keterampilan dan pengalaman nelayan ini akan mempengaruhi waktu yang diperlukan, dan teknik pengoperasian dari alat tangkap tersebut. Teknik pengoperasian yang kurang tepat akan mengurangi hasil tangkapan, sehingga tidak optimal.

Pada dasarnya efektivitas dan efisiensi dalam operasi penangkapan udang dengan suatu alat tangkap, memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Masing-masing faktor memiliki keterkaitan yang pada akhirnya akan mempengaruhi biaya operasi dan hasil tangkapan. Sebagai faktor pembatas atau kendala, biaya, waktu dan jumlah tenaga kerja menentukan tingkat efisiensi operasi penangkapan dalam menggunakan suatu alat tangkap. Jumlah tenaga kerja juga merupakan salah satu faktor penentu efisiensi operasi penangkapan. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan dalam operasi penangkapan, maka biaya yang diperlukan juga akan semakin besar. Jumlah tenaga kerja yang digunakan tergantung pada ukuran kapal dan ukuran alat tangkap serta teknologi yang digunakan dalam operasi penangkapan. Keadaan tenaga kerja beberapa

(11)

kapal lokal dengan kapasitas 5 - 10 GT dan 10 - 30 GT di daerah ini umumnya menggunakan jasa anak buah kapal (ABK) rata-rata 1 - 2 orang dengan upah Rp.15.000 hingga Rp.20.000 per hari, jika dalam 1 bulan rata-rata 25 trip (one day fishing), biaya untuk upah yang dikeluarkan sebesar Rp.375.000 hingga Rp.500.000 per bulan, hal ini belum termasuk bonus tambahan untuk ABK jika hasil tangkapan melebihi dari target, biaya tersebut jika hasilnya tidak tercapai maka kerugian akan menimpa nelayan. Operasi penangkapan, dapat dikatakan efisien jika biaya yang dikeluarkan dalam operasi penangkapan tidak lebih besar dari hasil yang didapatkan. Artinya dari segi biaya, operasi penangkapan tersebut tidak mengalami kerugian. Keadaan saat ini untuk menghasilkan 1 kg udang membutuhkan biaya rata-rata sebesar Rp.12.068 dapat digolongkan tidak efisien. Operasi penangkapan tetap dilakukan dengan harapan, bahwa pada akhirnya akan mendapat keuntungan dengan biaya operasi yang kecil, dan hasil yang didapatkan dalam jumlah yang besar, atau dengan kata lain hasil tangkapan akan mampu menutupi biaya operasi penangkapan.

Selain biaya, faktor penentu lain dari efisiensi operasi trawl adalah waktu. Lamanya waktu yang diperlukan dalam operasi penangkapan, akan mempengaruhi biaya operasi dan hasil tangkapan. Semakin lama waktu yang diperlukan dalam operasi penangkapan, maka biaya akan semakin besar dan mutu hasil tangkapan akan semakin menurun, dengan demikian harga hasil tangkapan akan menjadi rendah. Berarti semakin lama waktu operasi penangkapan, efisiensi akan berkurang karena biaya semakin besar, sedangkan hasil yang didapatkan jika dijual di pasaran harganya akan rendah, akibatnya operasi penangkapan akan mengalami kerugian.

Dalam hal pemasaran bukan merupakan faktor kendala, karena hasil tangkapan utama trawl di daerah ini seperti udang windu (Penaeus monodon), udang putih (Penaeus indicus), udang jerbung (Penaeus merguensis) dan udang loreng (Penaeus endeavour), ditampung oleh 7 cold storage besar yang ada di sekitar Delta Mahakam, diantaranya yang berada di Sungai Meriam yaitu PT. Misaja Mitra Cold Storage, PT. Samarinda Cendana

Cold Storage Co. Industries, PT. Syam Surya, CV. Novianti Mulia Abadi dan yang berada di Balikpapan yaitu PT. Aromah Nelayan Mandiri, PT. Sumber Kalimantan Abadi dan PT. Manggar Bina Persada.

Hal yang berbeda terjadi pada aspek teknis yang dapat dikategorikan sebagai faktor kendala optimasi, yang mana untuk mencapai fungsi tujuan dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan hasil tangkapan dengan trawl dasar, dimana sasaran utamanya (target species) adalah udang dan ikan ekonomis, telah banyak penelitian yang dilakukan, baik

(12)

yang telah selesai maupun yang dalam proses penelitian. Beberapa segi dari trawl dasar yang sering dilakukan penelitiannya adalah mengenai penampilan trawl, dimana yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana keterbukaan mulut trawl pada saat operasi penangkapan di dasar perairan. Hal ini penting karena berhubungan dengan banyaknya ikan yang berhasil ditangkap selama pengoperasian alat, untuk itu trawl biasanya ditambah dengan beberapa alat seperti try net, otter board dan beam trawl, yang diharapkan akan mampu memonitor dan membantu terbukanya mulut trawl secara optimal. Bukaan mulut trawl secara horisontal lebih penting jika dibandingkan dengan bukaan mulut secara vertikal. Penggunaan otter board dalam usaha memaksimalkan bukaan mulut trawl juga banyak diteliti, yaitu bentuk otter board yang paling baik, atau letak otter board tersebut pada saat pengoperasian alat tangkap.

Untuk trawl dasar, karena sasaran penangkapan adalah udang atau ikan demersal, maka biasanya tali ris bawah akan lebih kendur dibandingkan dengan tali ris atas (headrope). Selektivitas dari trawl juga banyak dijadikan bahan penelitian oleh para ahli. Ukuran mata jaring biasanya sangat menentukan selektivitas dari trawl. Ukuran mata jaring biasanya didefinisikan sebagai panjang dari mata jaring yang direntangkan. Dalam menentukan selektivitas dari trawl ini, biasanya jumlah dan ukuran udang yang lolos dari bagian kantong (cod end) akan dilihat dengan cara menutup bagian kantong dengan jaring yang mempunyai mata jaring lebih kecil. Udang dalam kantong dengan udang yang tertahan pada jaring penutup kantong kemudian akan dibandingkan (Sparre dan Venema 1999).

6.4 Pengembangan Teknologi Unit Penangkapan

Hingga saat ini jumlah kecelakaan kapal penangkap udang/ikan sering terjadi, dan beberapa nelayan banyak yang hilang setiap tahunnya, akibat kejadian kapal tenggelam di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya. Teknologi harus dikembangkan, agar secara spasial upaya penangkapan ke perairan yang lebih dalam terutama pada isobath > 20 meter, memungkinkan produktivitas meningkat, terutama teknologi pada unit penangkapan udang.

Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) dalam Iskandar (1997) dan Fyson (1985), mengemukakan beberapa persyaratan minimal untuk kapal ikan yang dapat digunakan untuk operasi penangkapan, yakni memiliki kekuatan struktur badan kapal, menunjang keberhasilan operasi penangkapan, memiliki fasilitas penyimpanan hasil tangkapan ikan/udang dan memiliki stabilitas yang tinggi. Stabilitas kapal mutlak diperlukan sebagai

(13)

kemampuan kapal untuk kembali ke posisi semula (tegak) setelah mengalami momen temporal, dimana posisi miring akibat bekerjanya gaya baik dari luar maupun dari dalam kapal tersebut. Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi desain suatu kapal penangkap ikan adalah tujuan penangkapan ikan, alat dan metode penangkapan, kelaik lautan dan keselamatan awak kapal, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan desain kapal, pemilihan material yang tepat untuk konstruksi, penanganan dan penyimpanan hasil tangkapan, serta faktor-faktor ekonomis.

Penyebab tenggelamnya kapal adalah faktor cuaca buruk berupa badai angin atau gelombang besar saat operasional trawl dilakukan. Untuk itu dinamika kapal di laut secara khusus dapat dilihat dari kualitas seakeeping kapal tersebut di atas gelombang laut.

Seakeeping merupakan suatu istilah, yang mencakup studi tentang keragaan dan reaksi kapal di laut, atau suatu istilah yang menyatakan kemampuan kapal untuk tetap menjalankan fungsinya secara normal di laut (Gillmer dan Johnson 1982). Menurut Sevastianov (1994) dalam Novita et al. (2003) tenggelamnya kapal adalah suatu transisi gerak osilasi di sekitar 3 posisi stable equilibrium yang membahayakan yaitu mast up dan

mast down serta satu posisi unstable equilibrium yang tidak lain merupakan sudut

vanishing stability dari suatu kapal. Nilai probabilitas ketenggelaman kapal dipengaruhi oleh nilai tinggi gelombang nyata dan rata-rata periode gelombang, dimana kemungkinan utama tenggelamnya kapal, jika tinggi gelombang pada kisaran 2 – 4 meter (Novita et al.

2003).

Efektivitas pengoperasian kapal penangkap udang di laut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh seaworthiness dan seakindliness sebagai kriteria utama yang harus dipenuhi oleh suatu kapal, yang berkaitan erat dengan karakteristik gerakan kapal.

Seaworthiness, menunjukkan kemampuan kapal untuk tetap selamat dalam segala bahaya di laut, misalnya tabrakan, kandas, kondisi ekstrim seperti gelombang yang sangat kuat dan efek lain yang berkaitan dengan cuaca buruk. Seakindliness, memberikan indikasi mengenai karakteristik yang menekankan pada respon kapal terhadap kondisi operasional lingkungan laut. Oleh karena itu seaworthiness, lebih menyangkut pada keselamatan kapal itu sendiri dan seakindliness terhadap kenyamanan kerja di atas kapal (Novita 1999).

Kelayakan desain kapal trawl mempengaruhi keragaan teknis kapal pada saat beroperasi di laut. Untuk memprediksi pergerakan kapal yang sebenarnya di laut, tahanan dan karakteristik propulsi kapal, muatan struktural dan pengaruh dinamik seperti kebasahan geladak dan slamming, merupakan suatu permasalahan yang komplek, untuk itu pemilihan bentuk hull dan dimensi kapal yang sesuai untuk dioperasikan pada berbagai kondisi laut

(14)

sangat dibutuhkan (Bhattacharya 1978). Nilai L/B berpengaruh terhadap tahanan penggerak kapal, mengecilnya nilai ini akan berakibat buruk terhadap kecepatan. Nilai L/D berpengaruh terhadap kekuatan memanjang, membesarnya nilai ini mengakibatkan kekuatan memanjang akan melemah. Nilai B/D berpengaruh terhadap stabilitas kapal, membesarnya nilai ini mengakibatkan stabilitas kapal lebih baik, tetapi propulsive abilitiy -nya akan memburuk (Novita 1999).

Teknologi yang dikembangkan tersebut di atas dilakukan, agar upaya penangkapan udang dapat dilakukan sepanjang tahun, dan stabil saat menghadapi gelombang musim timur dan barat. Daya mesin yang besar dan lebih ekonomis terhadap bahan bakar merupakan langkah pengembangan usaha penangkapan yang lebih feasible. Semakin tinggi teknologi yang digunakan dalam suatu operasi penangkapan, biasanya tenaga kerja yang digunakan akan semakin kecil. Sehubungan dengan perbaikan teknologi pada kapal, perlu dilakukan pula upaya penyempurnaan alat tangkap, agar lebih efektif guna meningkatkan produktivitas hasil tangkapan, dapat dengan cara perbaikan pada berbagai komponen teknis yang mendukung sempurnanya fungsi alat tangkap trawl tersebut, diantaranya komponen yang terdapat pada :

a Alat tangkap (fishing gear) misalnya panjang, lebar, mesh size, bahan jaring dan jumlah unit

b Peralatan pengendali alat tangkap (fishing gear controller) misalnya panjang dan lebar

otter board serta panjang ground warp

c Peralatan pemantau alat tangkap (monitoring fishing gear devices) seperti dipasangnya “try net” sebuah kamera yang dipasang di dalam air untuk dapat memonitor sempurna atau tidaknya bukaan mulut trawl

d Peralatan pengendali tingkah laku ikan atau udang (fish behaviour controller) seperti

otter board yang menggaruk dasar perairan menimbulkan “sand cloud” atau kabut lumpur yang berfungsi mengaburkan pandangan ikan dan udang, atas keberadaan jaring trawl yang akan memerangkap mereka

e Peralatan pemantau tingkah laku ikan/udang (fish behaviour monitoring) seperti fish finder dan echo sounder yang dapat memonitor keberadaan ikan secara vertikal dan horisontal, namun untuk udang yang berada di dalam lumpur tidak dapat terdeteksi dan f Peralatan penanganan hasil tangkapan (fish handling) dapat berupa coldbox, basket atau

(15)

6.5 Pengelolaan Perikanan Udang

Manajemen upaya penangkapan udang dengan alat tangkap trawl perlu dilakukan melalui optimasi upaya penangkapan udang diantaranya dengan pengaturan jalur penangkapan (zonasi), pengurangan atau pembatasan ijin penangkapan ikan, konservasi untuk rekrutmen dan adopsi peraturan konvensi penangkapan ikan. Berkaitan dengan Keppres no. 39 tahun 1982 yang melarang beroperasinya trawl di Indonesia terkecuali daerah > 130o BT, kegiatan penangkapan udang dengan trawl di Delta Mahakam dan sekitarnya yang telah berlangsung sejak 1970 termasuk illegal fishing. Pelanggaran ini tidak dapat dicegah dan ditindak secara hukum oleh instansi berwenang setempat sehingga perlu adanya solusi alternatif untuk transformasi mata pencaharian pengganti. Hingga saat ini solusi tersebut belum dapat dipecahkan, salah satu jalan keluarnya untuk mewujudkan pengelolaan perikanan udang adalah melalui aplikasi pengaturan jalur penangkapan sesuai dengan SK Mentan no. 392 tahun 1999. Surat Keputusan ini mengatur jenis dan ukuran kapal untuk perairan-perairan dengan jarak tertentu dari pantai.

Berdasarkan alokasi upaya penangkapan udang yang optimum seperti dijelaskan terdahulu (bagian 6.3 Perikanan udang yang optimum) penangkapan udang di sekitar Delta Mahakam harus lebih diarahkan ke Jalur II (6 - 12 mil laut). Opsi manajemen ini perlu didukung oleh legalitas operasional trawl sebagai alat tangkap paling efektif dan efisien untuk menangkap udang oleh pemerintah lokal. Penanganan opsi ini memerlukan sejumlah syarat seperti adanya zonasi sesuai ukuran kapal, penentuan dimensi kapal dan alat tangkap, daerah konservasi udang dan aturan-aturan lainnya. Legalitas dari pemerintah lokal ini merupakan wujud pengelolaan desentralistik, yang menitikberatkan pada pemberdayaan stakeholder lokal dengan tujuan kemandirian (Royat 2000).

Kebijakan pembatasan ijin kapal penangkap ikan dengan kapasitas < 5 GT pada perairan kurang dari 20 meter, memungkinkan kegiatan penangkapan menjadi lebih luas sehingga tercipta wilayah penyangga (buffer zone) pada kisaran jarak 0 - 3 mil laut dari pantai, begitu juga dengan wilayah pada kedalaman 5-10 meter yang sudah mencapai over exploited setiap tahunnya. Selain kawasan penyangga yang terletak berbatasan langsung dengan pantai, beberapa tempat di lepas pantai Delta Mahakam dapat dianggap sebagai zona konservasi karena membatasi kegiatan penangkapan udang. Kawasan itu adalah wilayah tambang lepas pantai (rig) dan pipa jalur minyak dan gas (pipeline) milik perusahaan tambang Kontraktor Production Sharing (KPS) Pertamina.

(16)

Kawasan tersebut dapat dikatakan sebagai bukti adanya “sinergi” antara usaha perikanan dengan perusahaan tambang. Kawasan tersebut juga dapat dianggap sebagai wilayah konservasi (no take zone), sebagai wilayah inti (core zone) dan tempat spawning

oleh induk udang. Keberlanjutan sumberdaya udang dapat terjadi karena udang muda diberi kesempatan untuk tumbuh mencapai ukuran layak tangkap sebelum tertangkap oleh nelayan. Adanya wilayah penyangga merupakan upaya untuk menjamin keberlanjutan secara ekonomi, pendapatan dan kesejahteraan bagi nelayan serta keberlanjutan produk perikanan (Gulland 1972; Charles 1989; FAO 1983; Lawson 1984; Regier dan Grima 1985).

Referensi

Dokumen terkait

Pengajar bahasa di dalam masyarakat multilingualisme seperti negara Indonesia, bukan hanya menguasai bahasa Indonesia saja untuk mengajar, tetapi seorang guru harus menguasai B1

Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa aplikasi ini layak untuk digunakan dalam membantu pembelajaran berhitung di mata pelajaran Matematika khususnya di

Data pada penelitian ini adalah data rata-rata waktu ke matian cac ing pada setiap kelo mpok perla kuan infusa bii wa luh dan kelo mpok perla kuan pipira zin sitrat,

Hal tersebut bisa diselesaikan dengan menerapkan data mining, konsep data mining dalam pencarian dokumen menggunakan cosine similarity terdapat beberapa langkah –

Paket perencanaan yang dilaksanakan bersamaan dengan pekerjaan fisik di tahun anggaran 2015 melalui pengadaan langsung dimasing-masing SKPD sebagian besar belum berjalan,

Untuk itu, bisa dikembangkan beberapa karakter lokal Indonesia yang dapat digunakan secara langsung oleh pengguna Game Engine Adventure Maker dalam pengembangan game lokal

Akan tetapi jika melihat asumsi data riil yang digunakan, prosentasi sebesar lebih dari 50% merupakan indikasi baik bahwasannya pemodelan yang dilakukan telah cukup sesuai jika

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kualitas pelayanan kesehatan rawat jalan di RSUD Barru ditinjau dari prosedur administrasi dinyatakan cukup baik dengan nilai rata-