• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Bandung Provinsi Jawa Barat. Batas-batas admistratif Desa Margamukti, Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN. Bandung Provinsi Jawa Barat. Batas-batas admistratif Desa Margamukti, Utara"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1. Keadaan Geografi dan Topografi

Desa Margamukti berada di wilayah Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Batas-batas admistratif Desa Margamukti, Utara dan Barat berbatasan dengan Desa Pangalengan, Selatan berbatasan dengan Desa Sukamanah dan Timur berbatasan dengan Desa Tarumajaya Kecamatan Kertasari. Berdasarkan topografi, Desa Margamukti merupakan daerah dataran dan pegunungan dengan ketinggian 1.200 m-1.400 m di atas permukaan laut. Suhu harian berkisar 16˚C-20˚C. Luas wilayah Desa Margamukti seluas 2.613.049 Ha dengan topografi daratan seluas 345.859 Ha dan pegunungan 2.267.195 Ha. 4.1.2. Keadaan Peternakan Sapi Perah

Perkembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Pangalengan banyak dipengaruhi oleh keberadaan KPBS Pangalengan, yang didirikan pada tanggal 22 Maret 1969. Secara adminstratif wilayah kerja KPBS Pangalengan meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Pangalengan, Kertasari, dan Pacet, serta terdiri dari 21 desa, 17 komisariat daerah, dan 38 Tempat Pelayanan Koperasi (TPK). Di Desa Margamukti terdapat 5 TPK: Cipanas II, Los Cimaung I, Los Cimaung II, Rancamanyar, dan Pangkalan. Lokasi penelitian berada di TPK Los Cimaung I dan Los Cimaung II. Rincian populasi sapi perah dan jumlah anggota peternak di Desa Margamukti per TPK disajikan pada Tabel 6.

(2)

Tabel 6. Populasi Sapi Perah dan Anggota Koperasi (Peternak) di Desa Margamukti per-Januari 2015 No TPK Populasi Peternak (Orang) Populasi Sapi Perah (Ekor) Keterangan

1. Cipanas II 128 522 Sebagian anggota masuk ke

dalam wilayah Desa Pangalengan

2. Los Cimaung I 87 463

3. Los Cimaung II 113 670

4. Pangkalan 89 333

5. Rancamanyar 173 349

KPBS Pangalengan menyediakan berbagai kebutuhan untuk usaha sapi perah seperti menyediakan pakan ternak, melayani kesehatan ternak, melayani kawin suntik (IB), melakukan penyuluhan usaha peternakan sapi perah, dan menampung serta memasarkan susu dari peternak.

4.2. Karakteristik Responden 4.2.1. Usia

Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa usia peternak berkisar antara 19-59 tahun. Berikut usia peternak disajikan pada Tabel 7 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

No Selang Usia (tahun) Skala Usaha

I II III n % n % n % 1. 19 - 29 4 18,18 1 8,33 - - 2. 30 - 39 7 31,82 2 16,67 2 33,33 3. 40 - 49 11 50,00 6 50,00 4 66,67 4. 50 - 59 1 4,55 3 25,00 - -

(3)

Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa usia peternak berkisar antara 19-59 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan tertua 59 tahun. Pada setiap skala usaha persentase terbesar usia peternak berada pada selang usia 40-49 tahun. Hal ini berarti sebagian besar peternak berada dalam usia produktif. Peternak pada usia produktif cenderung lebih terbuka terutama terhadap inovasi yang berkaitan dengan usaha peternakan sapi perah bahkan cenderung lebih giat mencari informasi inovasi tersebut untuk pengembangan usaha ternak sapi perahnya. Peternak berusia produktif juga memiliki fisik yang relatif kuat. Kedua hal tersebut berdampak positif terhadap pengembangan usaha peternakan sapi perah. 4.2.2. Tingkat Pendidikan Formal

Pendidikan adalah proses atau kegiatan untuk mengembangkan kemampuan dan kepribadian individu. Semakin tinggi tingkat pendidikan sesorang, semakin mudah untuk menyerap berbagai informasi. Rincian tingkat pendidikan formal peternak disajikan pada Tabel 8 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal

No Tingkat Pendidikan Skala Usaha

Formal I II III n % n % n % 1. < SD 8 36,36 7 58,33 3 50,00 2. SMP/sederajat 9 40,91 3 25,00 2 33,33 3. SMA/sederajat 4 18,18 2 16,67 1 16,67 4. S1 1 4,55 0 0,00 0 0,00

(4)

Berdasarkan Tabel 8, tingkat pendidikan formal yang dicapai peternak pada skala usaha I lebih beragam bila dibandingkan skala usaha lainnya. Peternak pada skala usaha II dan skala usaha III sebagian besar tingkat pendidikan formal yang dicapai adalah Sekolah Dasar (SD). Kelompok peternak yang berpendidikan hingga sekolah menengah rata-rata berusia 34 tahun, sedangkan peternak yang berpendidikan SD rata-rata berusia 45 tahun. Hal ini dapat disebabkan karena keadaan sosial ekonomi pada masa lalu belum memungkinkan untuk dapat sekolah pada jenjang yang lebih tinggi, fasilitas pendidikan yang terbatasnya, dan kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan pada masa itu.

4.2.3. Jumlah Kepemilikan Sapi Perah

Usaha peternakan sapi perah pada umumnya tidak hanya memelihara induk laktasi saja, tetapi juga memelihara sapi perah non produktif. Sapi perah yang non produktif terdiri dari sapi kering, pedet, dan dara yang diperuntukan

untuk replacement stock. Rata-rata jumlah kepemilikan sapi perah peternak di

lokasi penelitian disajikan pada Tabel 9 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 9. Rata-rata Jumlah Kepemilikan Sapi Perah

Sapi Perah Skala Usaha

I II III

𝒏̅ (𝐒𝐓) 𝒏̅ (𝐒𝐓) 𝒏̅ (𝐒𝐓)

Produktif Laktasi 2,55 4,75 8,17

Non Produktif Dara 0,64

1,38 0,41 0,72 0,25 0,46 Pedet 0,19 0,06 0,21 Kering 0,14 0,00 0,00 Jantan 0,41 0,25 0,00

(5)

Menurut Kusnadi, dkk. (1983) bahwa dalam usaha pemeliharaan sapi perah yang ekonomis, satu ekor sapi perah yang sedang berproduksi hanya dapat dibebani 0,40 Satuan Ternak (ST) sapi perah yang belum produktif. Berdasarkan Tabel 9, pada skala usaha I satu ekor sapi produktif dibebani 0,54 ST hal ini berarti komposisi pemeliharaan sapi perah pada skala usaha I tidak ekonomis, sedangkan sapi produktif pada skala usaha II dan skala usaha III masing-masing dibebani 0,15 ST dan 0,07 ST sapi non produktif. Pemeliharaan induk laktasi yang sedikit pada skala usaha I disebabkan terbatasnya modal untuk membeli sapi perah induk serta lahan yang dimiliki terbatas.

4.3. Penerapan Good Dairy Farming Practice

Good Dairy Farming Practice terdiri dari tujuh aspek, yaitu reproduksi, kesehatan ternak, higien pemerahan nutrisi, kesejahteraan ternak, lingkungan, dan manajemen sosial ekonomi. Penerapan GDFP pada setiap skala usaha disajikan pada Tabel 10 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 10. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice

No Aspek GDFP Skala Usaha

I II III

1 Reproduksi ternak 85,33 86,31 87,22

2 Kesehatan ternak 77 79,45 83,58

3 Higien pemerahan 82,67 86,17 86,24

4 Nutrisi (pakan dan air) 55,3 62,44 82,74

5 Kesejahteraan ternak 52,99 55,09 60,76

6 Lingkungan 49,07 51,17 56,14

7 Manajemen sosial ekonomi 36,4 51,38 57,89

(6)

Berdasarkan Tabel 10, rata-rata persentase penerapan GDFP pada skala usaha I sebesar 62,69%, skala usaha II sebesar 67,43%, dan skala usaha III sebesar 73,50%. Persentase penerapan GDFP pada setiap aspek meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kepemilikan sapi perah. Hal ini dapat disebabkan peternak yang memiliki jumlah sapi banyak akan memberi perhatian yang lebih kepada usaha sapi perahnya termasuk memelihara ternak dengan baik, menjaga kesehatan ternak, melakukan sanitasi kandang sehingga berdampak pada tingginya penerapan GDFP. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Sopiyana (2006) dimana tingkat tatalaksana peternakan pada skala usaha yang lebih besar, nyata lebih tinggi diabandingkan dengan skala usaha yang lebih kecil.

Berdasarkan perhitungan perbandingan berpasangan terhadap aspek-aspek GDFP menggunakan metode AHP didapatkan urutan prioritas penerapan aspek-aspek GDFP oleh peternak. Urutan prioritas aspek-aspek-aspek-aspek GDFP oleh peternak disajikan pada Tabel 11 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5.

Tabel 11. Prioritas Penerapan Aspek-aspek Good Dairy Farming Practice oleh Peternak per Skala Usaha

No Aspek GDFP Ranking

Skala Usaha I Skala Usaha I Skala Usaha I

1 Reproduksi 1 1 1

2 Kesehatan Ternak 3 3 3

3 Higien Pemerahan 2 2 2

4 Nutrisi (Pakan dan Air) 4 4 4

5 Kesejahteraan Ternak 5 5 5

6 Lingkungan 6 7 7

(7)

Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa reproduksi merupakan aspek prioritas utama dalam penerapan GDFP pada setiap skala usaha. Prioritas kedua adalah aspek higien pemerahan. Pada setiap skala usaha, perbedaan antara

nilai eigenvector aspek reproduksi dan higien pemerahan hanya berbeda sedikit

(lihat Lampiran 5). Hal ini berarti peternak menganggap kedua aspek tersebut memiliki tingkat kepentingan yang sama dan hampir mendapat urutan prioritas yang sama. Pengetahuan mengenai poin-poin penting pada aspek reproduksi ternak merupakan dasar dalam penerapan tatalaksana reproduksi. Pengetahuan tersebut diperoleh peternak dari pengalaman beternak, penyuluhan, dan peran inseminator. Higien pemerahan menjadi prioritas kedua diduga karena pemerahan adalah proses menghasilkan susu yang merupakan sumber pendapatan peternak sehingga peternak memberikan perhatian khusus pada kegiatan pemerahan.

Prioritas ketiga adalah aspek kesehatan ternak, pelaksanaan tatalaksana kesehatan ternak tidak terlepas dari peran serta dokter hewan dan paramedis. Aspek keempat nutrisi (pakan dan air), peternak memberikan pakan tidak berdasarkan perhitungan melainkan melalui perkiraan dan air untuk minum tidak

disediakan secara adlibitum. Aspek kelima adalah kesejahteraan ternak, hal ini

dapat disebabkan karena pengetahuan peternak mengenai kesejahteraan ternak masih terbatas. Aspek lingkungan dan manajemen sosial ekonomi mendapat urutan prioritas terakhir disetiap skala usaha karena fokus utama peternak adalah meningkatkan produksi dengan hanya memperhatikan aspek-aspek teknis.

(8)

4.3.1. Reproduksi Ternak

Produktivitas ternak merupakan hasil resultan antara faktor genetik, lingkungan, dan interaksi keduanya. Lingkungan dibedakan menjadi dua yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Lingkungan eksternal merupakan faktor yang berpengaruh dari luar tubuh ternak seperti iklim, pemberian pakan dan menajemen pemeliharaan sedangkan lingkungan internal merupakan aspek biologis dari sapi laktasi seperti lama laktasi, lama kering, periode kosong, dan selang beranak (Anggraeni, 2003).

Efisiensi reproduksi adalah salah satu kriteria keberhasilan usaha peternakan sapi perah. Rendahnya efisiensi reproduksi dapat disebabkan beberapa faktor, antara lain kelainanan anatomis alat reproduksi, fisiologis (hormonal), pathologis, genetik, dan manajemen reproduksi. Tingkat efisiensi reproduksi seekor ternak dapat diukur dengan performa reproduksinya. Pengetahuan dan

pengalaman peternak mengenai zooteknis khususnya performa reproduksi sangat

berperan dalam mencapai tingkat efisiensi reproduksi. Rata-rata persentase penerapan GDFP aspek reproduksi disajikan pada Tabel 12 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

(9)

Tabel 12. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Reproduksi

No Sub Aspek Skala Usaha (%)

Reproduksi I II III

1. Bangsa sapi perah yang dipelihara 100 100 100

2. Cara pemilihan bibit (seleksi) 77,56 84,90 91,67

3. Cara kawin 100 100 100

4. Pengetahuan birahi 100 100 100

5. Umur pertama beranak 100 100 100

6. Kawin pertama setelah beranak 66,67 66,67 66,67

7. Jarak kelahiran (calving interval) 100 100 100

8. Service per Conception (S/C) 66,67 66,67 66,67

Rata-rata 88,86 89,78 90,63

Sapi FH merupakan sapi perah yang tergolong sensitif terhadap temperatur dan kelembaban. Pemeliharaan sapi FH pada ketinggian 561-750 m di atas

permukaan laut dengan kisaran suhu antara 22-310C memungkinkan terjadinya

stres panas dan berpengaruh negatif terhadap produktivitas (Sudrajad dan Adiarto, 2011). Suhu nyaman untuk berproduksi susu adalah 5ºC hingga 20º C dengan produksi optimal pada suhu sekitar 10º C (Payne, 1990). Kondisi lingkungan

Pangalengan dengan suhu sebesar 16-200C, berada pada kisaran suhu nyaman

untuk berproduksi susu bagi sapi FH.

Penerapan GDFP harus disertai dengan pelaksanaan seleksi untuk memilih sapi perah dengan kualitas genetik yang baik. Program seleksi dasar yang dapat dilakukan oleh peternak rakyat adalah pemilihan bibit berdasarkan silsilah (keturunan), produksi susu, dan penampilan eksterior. Jumlah peternak berdasarkan kategori cara seleksi (pemilihan bibit) disajikan pada Tabel 13.

(10)

Tabel 13. Jumlah dan Persentase Peternak Sapi Perah Berdasarkan Kategori Cara Seleksi (Pemilihan Bibit)

No Kategori Skala Usaha I Skala Usaha II Skala Usaha III

n % n % n %

1. Baik 5 22,73 6 50,00 4 66,67

2. Sedang 14 63,64 5 41,67 2 33,33

3. Rendah 3 13,64 1 8,33 - 0,00

Jumlah 22 100 12 100 6 100

Berdasarkan Tabel 13 diatas menunjukan bahwa secara keseluruhan cara seleksi (pemilihan bibit) yang dilakukan oleh peternak masuk dalam kategori baik dan sedang. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa pada skala usaha I hanya terdapat 22,73% peternak masuk dalam kategori baik sisanya peternak masuk dalam kategori sedang dan rendah. Hal ini menunjukan modal dapat menjadi salah satu faktor dalam pelaksanaan program seleksi. Keterbatasan modal yang dialami peternak mengakibatkan peternak membeli ternak yang performanya terbatas ataupun menjual pedet betina keturunan dari induk yang produktivitasnya tinggi.

Proses kawin pada ternak dapat dibagi menjadi dua macam yang pertama kawin alam dan yang kedua inseminasi buatan. Inseminasi Buatan (IB) adalah proses deposisi semen ke dalam saluran reproduksi betina dengan bantuan manusia (inseminator) dan merupakan salah satu bentuk teknologi reproduksi. Salah satu manfaat inseminasi buatan adalah mempertinggi penggunaan pejantan unggul dengan genetik yang tinggi tanpa harus melakukan pemeliharaan pejantan. Seluruh peternak di lokasi penelitian menggunakan IB dengan bantuan inseminator dari KPBS.

(11)

Inseminator atau paramedis lainnya tidak melakukan kontrol secara rutin, tetapi berdasarkan laporan dari peternak apabila ada sapi birahi ataupun ambruk. Guna keberhasilan IB pengetahuan mengenai ciri-ciri birahi harus dimiliki oleh peternak. Keterlambatan peternak dalam melaporkan sapi birahi akan berakibat pada keberhasilan IB yaitu terjadinya kebutingan. Hasil penelitian menunjukan bahwa peternak mengetahui dan memahami ciri-ciri birahi pada sapi dengan baik.

Penampilan reproduksi seekor sapi perah dapat dilihat dari parameter-parameter reproduksi seperti umur pertama beranak, kawin pertama setalah

beranak, calving interval, dan service per conception (S/C). Umur beranak

pertama adalah umur dimana saat sapi (dara) mengalami beranak untuk yang pertama kalinya, sedangkan kawin pertama setelah beranak adalah selang waktu

antara sapi melahirkan sampai dikawinkan kembali. Calving interval atau selang

beranak adalah jarak antara dua kelahiran. Service per conception adalah jumlah

perkawinan sampai terjadi kebuntingan.

Hasil penelitian menunjukan bahwa peternak mengawinkan sapi dara pada umur 15-24 bulan dengan rata-rata 18 bulan, sehingga pada umur 24-33 bulan dengan rata-rata 30 bulan sapi dara sudah beranak untuk yang pertama kalinya. Umur beranak pertama lebih cepat bila dibandingkan dengan hasil penelitian Atabany (2012), dimana sapi dara di BBPTU mulai dikawinkan setelah berumur 18 bulan dan beranak pertama rata-rata umur 32,30 bulan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh tingkat nutrisi yang diberikan, menurut Hardjopranjoto (1995) tingkat nutrisi yang rendah (kualitas dan kuantitas) akan menghambat

(12)

umur berahi pertama dan pubertas akan tertunda. Lingkungan adalah faktor yang mempengaruhi penundaan umur kawin pertama, sapi FH mengalami umur kawin pertama yang beragam pada setiap wilayah (Pirlo, dkk. 2000)

Interval kawin pertama setelah beranak di lokasi penelitian sesuai dengan pendapat Toelihere (1993) yaitu rata-rata 90 hari pada birahi ke tiga, tetapi menurut Sudono, dkk. (2005) sapi FH dapat dikawinkan kembali 40-60 hari (birahi kedua) setelah melahirkan. Hal ini dapat disebabkan karena pada birahi

kesatu dan kedua sapi mengalami silent heat sehingga peternak tidak dapat

mendeteksi gejela estrus. Lamanya interval kawin pertama setelah beranak dapat mengakibatkan panjangnya masa kosong, dampak lebih lanjut menurunkan produksi susu total dan pendapatan peternak.

Selang beranak di lokasi penelitian sesuai dengan pendapat Izquierdo, dkk. (2008) dimana selang beranak berada pada kisaran 12-13 bulan, sedangkan sapi perah di BBPTU mengalami gangguan reproduksi karena selang beranak lebih lama dari 400 hari atau 13,30 bulan (Atabany, 2012). Selang beranak yang lama akan menyebabkan waktu untuk memproduksi susu (umur produktif) sapi tersebut berkurang sehingga menurunkan produktivitas produksi susu.

Rata-rata nilai S/C sapi FH di lokasi penelitian adalah 2-3 dan sangat sulit memperoleh nilai S/C 1,0 namun menurut Toelihere (1993) nilai S/C sudah dapat dikatakan baik untuk kondisi peternakan sapi perah di Indonesia bila mencapai nilai 2.0 Nilai S/C dipengaruhi oleh fertilitas sapi induk itu sendiri dan keterampilan inseminator.

(13)

4.3.2. Kesehatan Ternak

Manajemen program kesehatan ternak bertujuan untuk menjamin susu yang dihasilkan aman dan layak dikonsumsi serta mengontrol penyakit ternak. Aspek kesehatan ternak di dalam GDFP menekankan pada pencegahan dari pada pengobatan. Pencegahan dilakukan sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi, sedangkan pengobatan dipandang sebagai bentuk penyelamatan ternak dari suatu penyakit yang menurunkan produksi. Penerapan GDFP aspek kesehatan ternak yang dijalankan oleh peternak pada setiap skala usaha disajikan pada Tabel 14 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 14. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Kesehatan

No Sub Aspek Skala Usaha (%)

Kesehatan Ternak I II III

1. Pembentukan ternak yang resisten terhadap penyakit 91,67 91,67 91,67

2. Pencegahan penyakit masuk ke dalam peternakan 68,56 70,83 79,17

3. Penerapan manajemen kesehatan ternak yang efektif 67,61 71,88 69,79

4. Penggunaan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk

80,11 83,33 93,75

Rata-rata 76,99 79,43 83,59

Berdasarkan Tabel 14, rata-rata penerapan GDFP aspek kesehatan ternak adalah sebesar 80%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa 91,67% peternak menjamin bahwa sapi perah yang dipelihara resisten terhadap penyakit. Salah satu cara yang efektif dalam meningkatkan daya tahan ternak adalah vaksinasi. Peternak secara rutin memberikan vaksin kepada sapi perah atas saran dan rekomendasi dokter hewan dan paramedis.

(14)

Seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, bahwa seluruh peternak memelihara sapi perah bangsa FH yang sangat sensitif terhadap suhu dan kelembaban. Wilayah pangalengan berada pada kisaran suhu tersebut yaitu 16ºC-20ºC sehingga sapi FH tidak akan mengalami cekaman panas yang berlebih dan menimbulkan berbagai penyakit. Menurut Chase (2010) suhu tinggi, kelembaban tinggi dan radiasi energi matahari adalah faktor lingkungan yang menyebabkan stres panas, menurunnya kesehatan, dan penampilan sapi perah FH. Sapi perah yang mengalami stres panas akan terjadi penurunan penampilan reproduksi berupa panjang dan intensitas estrus menurun, angka kebuntingan menurun, peningkatan resiko kematian embrio dan penurunan pertumbuhan janin (Chase, 2010).

Performa peternak dalam mencegah masuknya penyakit ke dalam

peternakan rata-rata sebesar 72,85%. Biosecurity merupakan pencegahan dasar

masuknya suatu penyakit. Elemen dasar biosecurity antara lain isolasi,

pembersihan dan desinfeksi serta pengaturan lalulintas, dalam hal ini peternak lebih fokus terhadap kebersihan terutama kebersihan kandang. Peternak membersihkan kandang lebih dari dua kali dalam sehari. Suwito dan Andriani (2012) mengungkapkan lingkungan kandang sapi yang tidak dibersihkan dapat menyebabkan puting dan ambing menjadi kotor akibatnya susu yang dihasilkan memiliki jumlah Coliform lebih tinggi. Kebersihan kandang akan berdampak positif terhadap kesehatan ternak.

(15)

Peternak tidak memiliki kandang isolasi maka dari itu sapi yang sakit disatu kandangkan dengan sapi yang sehat. Hal ini terjadi akibat terbatasnya lahan dan miniminya pengetahuan mengenai tindakan isolasi. Sapi yang sakit atau sedang dalam masa perawatan sebaiknya ditempatkan di kandang terpisah guna mencegah terjadinya penularan penyakit. Pengaturan lalu lintas dalam dan sekitar peternakan sangatlah buruk. Pengaturan lalu lintas dapat berupa penyediaan desinfektan untuk alas kaki bagi pengunjung. Peternak tidak menyediakan desinfektan untuk alas kaki bagi pengunjung dan tidak mengetahui perihal penggunaan desinfektan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan peternak soal biosecurity masih kurang.

Penerapan manajemen kesehatan ternak yang efektif oleh peternak rata-rata hanya sebesar 69,76% bila dibandingkan dengan sub aspek kesehatan ternak

lainnya adalah yang paling rendah. Hal ini disebabkan peternak

mengesampingkan hal yang sangat penting dan mendasar yaitu catatan. Kegiatan pencatatan dapat memberikan keterangan tentang individu sapi terutama produktivitasnya sehingga dapat dijadikan pedoman untuk menentukan sapi yang menguntungkan dan pengafkiran. Catatan juga dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dan pengontrolan tatalaksana.

Sebagain besar peternak menggunakan bahan kimia dan obat ternak sesuai petunjuk penerapannya rata-rata sebesar 85,73%. Hal yang harus diperhatikan dalam pengobatan yaitu waktu henti obat. Peternak tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan waktu henti obat tetapi dokter hewan dan paramedis selalu

(16)

memberikan saran bahwa selama beberapa hari ke depan susu dari sapi yang baru diobati harus dipisahkan. Hal tersebut guna mencegah adanya residu kimia pada susu. Hasil penelitian Kusmaningsih dkk. (1996) hanya 14,28% peternak yang mengetahui waktu henti obat dan sebanyak 8,16%. tidak menjual susu ke koperasi selama 2-5 hari setelah pengobatan.

4.3.3. Higien Pemerahan

Konsumen menuntut standar kualitas susu yang tinggi, di sisi lain susu adalah produk ternak yang sangat peka terhadap berbagai cemaran/ kontaminasi baik itu dari mibroba ataupun zat-zat lainnya. Proses pencemaran terhadap susu dapat terjadi pada berbagai kesempatan antara lain: saat susu diperah,

penyimpanan pada milkcan, transportasi dari kandang ke cooling unit,

penanganan ditempat penampungan hingga pengangkutan melalui truk tanki sampai pada industri pengolah susu (IPS).

Penanganan susu yang pertama dan paling penting adalah pada saat proses pemerahan yang dilakukan oleh peternak. Peternak harus menyadari bahwa tujuan utama dari pemerahan adalah bukan hanya menghasilkan susu yang banyak, tetapi juga susu yang berkualitas serta menjaga sapi tetap sehat. Penerapan higien pemerahan bertujuan untuk menghilangkan semua sumber kontaminasi yang dapat beresiko pada penurunan kualitas susu dan kesehatan sapi. Proses higieni pemerahan melingkupi pemerah, area pemerahan, peralatan dan perlengkapan pemerahan, serta ternak sapi perah.

(17)

Peternak di TPK Los Cimaung I dan Los Cimaung II seluruhmya melakukan pemerahan dua kali yaitu pada pagi hari sekitar pukul 04.30-06.00 WIB dan sore hari pukul 14.00-15.30 WIB. Pemerahan dilakukan dengan menggunakan tangan dan tidak ada yang menggunakan mesin pemerah. Peternak pada umumnya telah mengetahui dan melakukan higien pemerahan dari mulai pra pemerahan, pemerahan, dan pasca pemerahan. Penilaian aspek higien pemerahan disajikan pada Tabel 15 informasi lebih lengkap dapat dilihat di Lampiran 3.

Tabel 15. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Higien Pemerahan

No Sub Aspek Skala Usaha (%)

Higien Pemerahan I II III

1. Pemerahan tidak melukai ternak dan pencegahan

masuknya kontaminan ke dalam susu

85,87 92,78 90,74

2. Lingkungan pemerahan berada dalam kondisi

yang bersih (kandang, peralatan, dan pemerah)

75,57 78,99 81,25

3. Penanganan susu setelah proses pemerahan 86,67 86,67 86,67

Rata-rata 82,70 86,15 86,22

Berdasarkan Tabel 15 bahwa rata-rata penerapan GDFP aspek higien pemerahan adalah sebesar 85,02%. Lebih lanjut data memperlihatkan sebesar 89,80% peternak menjamin bahwa proses pemerahan yang dilakukan tidak melukai ternak dan mencegah susu terkontaminasi. Sebanyak 65% peternak memeriksa sapinya terlebih dahulu sebelum pemerahan. Hal ini dimaksudkan

apabila ada sapi sakit dan memerlukan treatment khusus, serta untuk mencegah

tercampurnya susu dari sapi yang sehat dan susu dari sapi yang sakit. Seluruh peternak memisahkan susu dari sapi yang sakit sesuai dengan rekomendasi dokter hewan dan paramedis.

(18)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Elmoslemeny, dkk. (2009) bahwa kebersihan dari ambing dan puting sapi berperanan penting dalam menentukan kualitas susu secara mikrobiologi. Peternak membersihkan ambing sapi menggunakan air hangat namun adapula yang menggunakan air dingin setelah itu ambing dilap menggunakan lap kering dan bersih. Pengunaan air hangat dianjurkan untuk pembersihan ambing dan puting sapi sebelum pemerahan untuk meminimalisasir jumlah bakteri di dalam susu (Elmoslemeny, dkk. 2009). Dari 40 orang peternak 14 orang diantaranya mencelupkan puting atau dipping ke dalam desinfektan sebelum atau sesudah pemerahan. Pemakaian larutan antiseptik dengan dosis 2 ml dilarutkan dalam 1 liter air sebelum pemerahan bertujuan untuk membersihkan puting dan mencegah terjadinya penyakit radang ambing atau mastitis (Suwito dan Andriani, 2012).

Penerapan kebersihan lingkungan pemerahan oleh peternak sebesar 78,60%. Seluruh Peternak membersihkan kandang dan memandikan sapi secara rutin sebelum pemerahan. Hasil penelitian Suwito dan Andriani (2012) dari 20 orang peternak 13 orang diantaranya membersihkan kandang dan memandikan sapi sebelum pemerahan. Pada saat pemerahan, lingkungan kandang yang tidak dibersihkan dapat menyebabkan puting dan ambing menjadi kotor akibatnya susu

yang dihasilkan memiliki jumlah Coliform lebih tinggi. Coliform merupakan

bakteri indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat sanitasi dari lingkungan maupun kebersihan dari ternak (Jayaraou, dkk., 2003).

(19)

Milkcan yang digunakan peternak berbahan stainless steel sehingga tidak mudah berkarat. Kebersihan dari milkcan merupakan hal yang perlu diperhatikan,

karena sebagai tempat untuk menampung susu. Milkcan yang terkontaminasi E.

Coli dan Salmonella sp menyebabkan susu yang dikumpulkan tersebut tidak layak konsumsi. Setelah pemerahan, peternak mencuci seluruh peralatan menggunakan air bersih dan sabun. Peralatan yang tidak dibersihkan setelah pemerahan memungkinkan mikroba dapat tumbuh karena masih menyisakan susu. Sepenuhnya peternak menyadari akan pentingnya higien pemerah. Peternak menggunakan sepatu boot yang teratur dibersihkan, walaupun tidak menggunakan wearpack tetapi peternak menggunakan pakaian yang bersih ketika memerah. Peternak selalu mencuci tangan sebelum memerah sapi satu ke sapi berikutnya. Tangan pemerah dapat berperan sebagai sumber kontaminan.

Sebesar 85,02% peternak sudah melakukan penganan susu pasca pemerahan dengan baik dan benar. Peternak menyetor susu ke tempat pengumpulan susu atau TPK segera setelah pemerahan selesai. Waktu yang ditempuh peternak untuk menyetor susu ke TPK kurang lebih berkisar 5-10 menit karena TPK berada dilokasi tidak jauh dari pemukiman penduduk. Lokasi TPK jauh dari pabrik sehingga kontaminasi susu dari polusi limbah pabrik terminimalisir. Penelitian berlangsung pada musim hujan sehingga akses menuju TPK kerap kali becek dan berlumpur. Peternak menggunakan milkcan tertutup rapat sehingga cipratan dari lumpur atau genangan air tidak akan mengkontaminasi susu.

(20)

4.3.4. Nutrisi (Pakan dan Air)

Manajemen pemberian pakan pada sapi perah sangat mempengaruhi produksi susu. Nutrisi adalah kunci utama produktivitas, kesehatan, dan kesejahteraan sapi perah. Salah satu permasalahan pengembangan peternakan sapi perah di daerah adalah ketersediaan sumber pakan, terutama hijauan. Biaya pakan pada peternakan ruminansia mencapai 65-80% dari total seluruh biaya produksi. Tidak hanya kuantitas pakan saja yang penting diperhatikan namun kualitas dan kontinuitasnya juga harus dipertimbangkan untuk menunjang keberhasilan suatu usaha peternakan. Berikut hasil penilaian GDFP aspek nutrisi (pakan dan air) pada setiap skala usaha disajikan pada Tabel 16 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 16. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Nutrisi (Pakan dan Air)

No Sub Aspek Skala Usaha (%)

Nutrisi (Pakan dan Air) I II III

1. Menjamin ketersediaan pakan dan air 63,64 72,22 88,89

2. Menjamin kebutuhan pakan dan air (kuantitas dan

kualitas) terpenuhi

59,34 60,88 81,02

3. Kontrol kondisi gudang pakan 45,96 58,33 77,78

4. Menjamin pakan yang dibeli berasal dari supplier

yang terjamin kualitasnya

52,27 58,33 83,33

Rata-rata 55,30 62,44 82,74

Berdasarkan Tabel 14 rata-rata persentase penerapan GDFP aspek nutrisi (pakan dan air) sebesar 66,83% dan 74,92% peternak menjamin ketersediaan pakan dan air. Konsentrat utama yang digunakan oleh peternak adalah konsentrat reguler (RC) dan pellet dengan kandung protein kasar (PK) masing-masing 14%

(21)

dan 17% yang diperoleh dari koperasi. Hasil pemeriksaan terhadap beberapa konsentrat yang dijual koperasi menunjukkan nilai TDN kurang dari 55% dan protein kasar di bawah 13%. Hal ini bisa menyebabkan produksi susu menjadi rendah, bahkan untuk kebutuhan pokok saja tidak tercukupi. Berdasarkan NRC (2001), nilai TDN pada pakan untuk ternak laktasi dengan bobot 350 kg sebesar 56.2%. Guna memenuhi kekurangan kebutuhan nutrisi sapi perah, para peternak sering kali menambahkan ongok atau ampas tahu kepada ternaknya, beban biaya pakan pun akan bertambah yang nantinya akan mengurangi pendapatan peternak dari pendapatan susu (Soeharsono dan Gunawan, 2013).

Seluruh peternak pada skala usaha II dan skala usaha III memperoleh rumput dengan cara menanam sendiri sedangkan pada skala usaha I hanya sebagian peternak. Pada skala usaha I jumlah kepemilikan sapi relatif sedikit sehingga kebutuhan pakan per hari tidak terlalu besar, ketersediaan rumput di lapangan cukup memenuhi kebutuhan. Peternak pada skala usaha II dan skala usaha III juga mencari rumput lapangan untuk menutupi kekurangan hijauan yang dihasilkan kebun sendiri. Pada musim kemarau kerap kali peternak mengalami kekurangan hijauan dan mensubstitusinya dengan limbah pertanian seperti daun jagung dan limbah kubis.

Sebesar 67,08% peternak menjamin kebutuhan pakan dan air baik secara kuantitas ataupun kualitas. Sebanyak 47,85% peternak memberikan pakan kepada

sapi berdasarkan usia, bobot badan, periode laktasi, dan kebuntingan. Air yang digunakan untuk minum sapi berasal dari sumber yang bersih sehingga

(22)

air tidak berbau, berasa, dan berwarna. Sebagian besar peternak menyimpan persedian pakan di area dekat kandang, peternak tidak memiliki bangunan khusus yang diperuntukan untuk gudang pakan. Area penyimpanan persediaan pakan tersebut memiliki ventilasi yang baik sehingga dapat mencegah pertumbuhan jamur.

4.3.5. Kesejahteraan Ternak

Kesejahteraan ternak bertujuan menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar ternak. Kesejahteraan ternak sangat berhubungan erat dengan kesehatan, yang juga merupakan aspek GDFP. Pada peternakan sapi perah kesejahteraan ternak tidak hanya diperuntukan pada sapi laktasi, tetapi juga pada

pedet, dara untuk replecement stock, dan jantan. Penerapan kesejahteraan ternak

memberikan efek positif terhadap produktivitas ternak.

Kebutuhan-kebutuhan dasar ternak yang menjadi fokus utama kesejahteraan ternak diantaranya ternak bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan lingkungan, bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit, bebas dari cekaman dan tekanan, serta bebas bergerak dan berprilaku normal. Kelima

kebutuhan dasar seekor ternak tersebut dikenal dengan istilah five freedoms.

Berikut hasil penilaian GDFP aspek kesejahteraan ternak pada setiap skala usaha disajikan pada Tabel 17 informasi lebih lengkap dapat dilihat di Lampiran 3.

(23)

Tabel 17. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Kesejahteraan Ternak (animal welfare)

No Sub Aspek Skala Usaha (%)

Kesejahteraan Ternak (animal welfare) I II III

1. Bebas dari rasa lapar dan haus 48,35 46,46 54,79

2. Bebas dari ketidaknyamanan lingkungan 66,67 66,67 66,67

3. Bebas dari rasa sakit, cedera, dan penyakit 84,38 94,79 100

4. Bebas dari cekaman dan tekanan 65,61 67,50 82,22

5. Bebas bergerak dan berprilaku normal - - -

Rata-rata 53,00 55,08 60,74

Berdasarkan Tabel 17, rata-rata persentase penerapan GDFP aspek kesejahteraan ternak sebesar 56,27%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa penerapan indikator five freedoms bebas dari rasa lapar dan haus rata-rata sebesar 49,87%, nilai ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan persentase penerapan indikator five freedoms lainnya. Hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil peternak

yang memberikan air minum secara adlibitum. Kebutuhan minum ternak hanya

dicukupi dari lolohan yang merupakan campuran dari pakan konsentrat yang

dilarutkan dengan air hangat ataupun air dingin. Sapi membutuhkan air minum sebanyak 12 galon atau 45 liter air setiap harinya karena kurang lebih 50%-70%

atau 2/3 bagian berat hidup ternak merupakan air oleh karena itu, untuk menjaga

produktivitas ternak perlu adanya penyediaan air minum yang ditempatkan dekat dengan ternak serta pemberian hijauan yang mengandung air di dalamnya (Deptan, 1997).

(24)

Sebagian besar peternak memberikan hijauan dilakukan dengan cara perkiraan jumlah tanpa ukuran potongan, dan diberikan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Penggunaan metode tersebut mengakibatkan banyaknya sisa hijauan yang terbuang dan konsumsi pakan ternak menjadi sedikit. Hasil penelitian Novianti (2014) rumput yang diberi perlakuan pemotongan ukuran, dapat mempengaruhi jumlah konsumsi pakan dan penyerapan nutrient pakan. Hal serupa juga dilakukan peternak terhadap pemberian konsentrat, pada umumnya peternak memberikan konsentrat tidak ditentukan jumlahnya, sehingga masih kurang/tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh sapi yang mengakibatkan produksi susu tidak maksimal.

Penerapan indikator five freedoms ternak bebas dari ketidaknyamanan

rata-rata sebesar 67,67%. Sebagian besar peternak menggunakan kandang yang semi terbuka atau tanpa dinding, dengan demikian ventilasi berjalan baik, temparatur tidak panas, dan sinar matahari dapat masuk ke kandang. Kondisi kandang demikian mengakibatkan tiupan angin yang keras langsung masuk ke dalam kandang, untuk menghindari hal tersebut letak kandang perlu diatur atau diberi pelindung angin. Sebagian besar peternak tidak memperhatikan arah mata angin dalam membangun kandang dan tidak memberikan pelindung angin atau wind breaker di dalam kandang. Lantai kandang terbuat dari semen yang diberi alas karpet dengan posisi lantai lebih tinggi 20-30 cm dari tanah sekitarnya dan kemiringan mencapai 2% dari panjang lantai. Hal ini bertujuan untuk memudahkan proses pembersihan kandang.

(25)

Penerapan indikator five freedoms ternak bebas dari sakit, cedera, dan

penyakit rata-rata sebesar 93,06%. Pengobatan, kelahiran, pemasangan eartag

dibantu oleh dokter hewan dan paramedis sehingga dapat dijamin bahwa prosedurnya dilakukan dengan baik dan benar. Peternak pada skala usaha I dan skala usaha II tidak memberikan perlakuan khusus terhadap pedet yang baru dilahirkan atau ketika akan disapih. Sebagain besar peternak pada kedua skala usaha tersebut tidak melakukan pembesaran pedet, tetapi mereka menjulanya. Sering kali peternak menjual pedet ketika usianya kurang dari 1 minggu. Pada usia tersebut bobot pedet belum memenuhi kriteria dalam proses pengangkutan dan keadaan pusarnyapun belum kering.

Penerapan indikator five freedoms ternak bebas dari cekaman dan tekanan rata-rata sebesar 71,78%. Proses tatalaksana peternakan tidak menyebabkan cekaman dan ketakutan yang menimbulkan penderitaan psikologis. Peternak harus memiliki kemampuan teknis beternak guna menghindari ternak mengalami ketakutan selama proses pemeliharaan. Salah satu indikator dalam implementasi kesejahteraan ternak adalah kemampuan atau pengetahuan peternak. Kemampuan dan pengetahuan yang mutlak harus dimiliki oleh seorang peternak diantaranya mengenal ternak dalam keadaan sakit atau tidak, mengenali tingkah laku ternak, melakukan pengobatan, menguasai manajemen secara teknis, dan mengenali keadaan lingkungan. Di lokasi penelitian sapi tidak memperoleh kebebasan dalam

melakukan perilaku normalnya. Peternak merancang kandang tanpa

(26)

4.3.6. Lingkungan

Peternakan sapi perah dapat menyebabkan dampak lingkungan seperti emisi GRK, perubahan iklim, pencemaran terhadap air, dan hilangnya unsur hara tanah. Pada umumnya peternak tidak memahami dampak lingkungan tersebut. Hal ini terlihat dari pelaksanaan teknis, seperti penggunaan air berlebih ketika membersihkan kandang dan penggunaan pupuk kimia untuk kebun rumput. Penerapan GDFP aspek lingkungan dapat dilihat pada Tabel 18 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 18. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Lingkungan

No Sub Aspek Skala Usaha (%)

Lingkungan I II III

1. Implementasi sistem peternakan ramah

lingkungan

49,04 34,17 35,00

2. Manajemen penanganan limbah 50,00 50,00 50,00

3. Menjamin peternakan tidak menimbulkan efek

terhadap lingkungan sekitar

68,18 69,44 83,33

Rata-rata 49,04 51,20 56,11

Berdasarkan Tabel 18, rata-rata persentase penerapan GDFP aspek lingkungan sebesar 52,27%. Implementasi sistem peternakan ramah lingkungan adalah sebesar 39,40% hal ini disebabkan peternak tidak mengetahui dan menerapkan sistem peternakan berkelanjutan. Penerapan manajemen penanganan limbah sebesar 50,00%. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya peternak tidak melakukan pengolahan limbah atau kotoran ternak, namun mengalirkannya ke suatu kolam penampungan. Kotoran sapi di kolam penampungan dimanfaatkan oleh petani untuk digunakan sebagai pupuk pada lahan tanaman pangannya.

(27)

Beberapa peternak pada skala usaha III memanfaatkan sendiri kotoran ternak sebagai pupuk kandang untuk digunakan pada kebun rumput atau untuk dijual. Penggunaan pupuk kandang untuk kebun rumput hanya tambahan saja, pupuk utama yang digunakan peternak adalah pupuk urea.

Perilaku peternak pada saat membersihkan kandang menimbulkan efek negatif terhadap lingkungan. Seluruh peternak ketika membersihkan kandang langsung mengalirkan kotoran sapi menggunakan air tanpa dipisahkan terlebih dahulu. Pada sisi yang sama peternak juga hanya menggunakan selang air biasa

untuk membersihkan kandang tanpa adanya sprai controller. Kedua hal tersebut

mengakibatkan banyaknya air yang dibutuhkan dan terbuang percuma. Perilaku demikian sangat bertentangan dengan prinsip dasar peternakan berkelanjutan.

Kegiatan sanitasi dan higien dalam peternakan sudah bagus. Hal tersebut terlihat dari peternak membersihkan kandang lebih dari dua kali dalam satu hari dengan alasan untuk menghindari bau tanpa mempertimbangkan hal-hal lainnya seperti penggunaan air yang berlebih. Hal ini kemungkinan disebabkan tidak ada penyuluhan mengenai dampak lingkungan dari peternakan sapi perah berikut penyebab dan sekaligus pencegahannya dari petugas atau penyuluh dari koperasi atau dinas setempat

4.3.7. Manajemen Sosial Ekonomi

Sosial ekonomi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari peternakan sapi perah. Penerapan GDFP aspek manejemen sosial ekonomi dapat dilihat pada Tabel 19 informasi lebih lengkap dapat di lihat pada Lampiran 3.

(28)

Tabel 19. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice Aspek Manajemen Sosial Ekonomi

No Sub Aspek Skala Usaha (%)

Manajemen Sosial Ekonomi I II III

1. Implementasi manajemen SDM yang efektif dan

bertanggung jawab

40,43 59,72 79,17

2. Menjamin kegiatan di dalam peternakan dilakukan

dengan aman dan kompeten

34,09 50,00 50,00

3. Manajemen keuangan 34,85 44,44 44,44

Rata-rata 36,43 51,39 57,87

Berdasarkan Tabel 16 persentase penerapan GDFP aspek manajemen sosial ekonomi sebesar 48,56%. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa implementasi manajemen SDM yang efektif dan bertanggung jawab pada skala usaha I labih kecil bila dibandingkan dengan skala usaha II dan skala usaha III. Hal tersebut dikarenakan pada skala usaha I mayoritas peternak tidak memiliki pekerja atau staf dari luar, pekerjaan di kandang dibantu oleh keluarga (family worker) dengan itu peternak beranggapan tidak perlu menerapkan social responsible karena pekerja merupakan anggota keluarga sendiri.

Jam kerja yang diberlakukan peternak sesuai dengan jobdesc yang

diberikan apabila diakumulasikan dalam satu hari pekerja bekerja rata-rata 8 jam, tetapi tidak memenuhi standar jam kerja mingguan dimana dalam satu minggu minimal dalam satu hari mendapat libur. Semua peternak pada skala usaha III memiliki pekerja (yang bukan pekerja keluarga) sehingga mereka sangat mementingkan kesejahteraan para pekerja atau staf dengan pemberian bonus. Para

peternak beranggapan tidak perlu melakukan training kepada para pekerjanya

(29)

Hanya sebagian kecil peternak yang menerapkan manajemen keuangan. Hal ini disebabkan peternak hanya fokus terhadap aspek-aspek teknis yang berhubungan langsung dengan produksi. Menurut Moran (2008) dengan mengetahui biaya produksi memungkin peternak pada skala usaha kecil dapat

meningkatkan keuntungannya dan sangat esensial untuk menjaga

keberlangsungan usaha.

4.4. Analisis Pendapatan Peternak

Pendapatan peternak ditentukan oleh besarnya produksi dan harga jual susu. Biaya produksi yang dikeluarkan seperti pengadaan pakan konsentrat, tenaga kerja, kesehatan ternak, dll juga menentukan tingkat pendatan peternak.

Dalam hal ini, perhitungan pendapatan menggunakan analisis Income Over Feed

Cost (IOFC). Income Over Feed Cost merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi biaya yang diperoleh dari hasil penjualan produksi dikurangi biaya pakan. Penerimaan peternak atas penjualan susu dapat dilihat pada Tabel 20 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 20. Rata-rata Penerimaan Peternak atas Penjualan Susu Skala

Usaha

Setoran Susu Rata-rata per Hari

(liter/hari) Rata-rata Harga Susu (Rp/liter) Total Penerimaan (RP/bulan) I 32 4.094 4.063.215 II 49 4.063 6.017.176 III 93 4.136 11.546.451

(30)

Rata-rata produksi susu per hari oleh masing-masing peternak antar skala usaha berbeda-beda hal ini disebabkan jumlah kepemilikan sapi laktasi yang berbeda-beda pula. Harga susu ditentukan oleh kualitas dan kebersihan susu untuk saat ini harga susu dapat mencapai Rp. 4.097,- per liter yang merupakan harga tertinggi dan harga terendah mencapai Rp. 3.587,- per liter. Salah satu penyebab rendahnya kualitas susu adalah kualitas pakan yang diberikan.

Dalam analisis ini, biaya pakan yang diperhitungkan adalah biaya pakan ril yang dikelurkan oleh peternak. Rumput tidak dimasukan ke dalam perhitungan karena peternak tidak melakukan pembeliaan rumput. Rumput yang digunakan peternak bersumber dari lahan sendiri dan rumput lapangan. Pendapatan peternak atas biaya pakan yang dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 21 informasi lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 21. Income Over Feed Cost Skala Usaha Total Penerimaan (Rp/bulan) Total Biaya Pakan (Rp/bulan) Total Biaya Pakan (Rp/ST/hari) IOFC I 4.063.215 3.334.969 27.320 845.537 II 6.017.176 4.626.042 28.555 1.391.134 III 11.546.451 10.434.492 30.569 3.593.959

Berdasarkan Tabel 21, total biaya pakan yang dikelurakan per Satuan Ternak (ST) per hari adalah Rp. 28.815/ST/hari. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa semakin tinggi jumlah kepemilikan sapi perah semakin tinggi pula biaya pakan yang dikeluarkan per ST. Hal ini dapat disebabkan

(31)

peternak pada skala usaha II dan skala usaha III memilih pakan yang berkualitas guna meningkatkan produksi susu walaupun harganya lebih mahal.

Berdasarkan Tabel 21 rata-rata pendapatan peternak di lokasi penelitian adalah Rp. 1.943.543/bulan. Lebih lanjut data memperlihatkan bahwa semakin tinggi skala usaha semakin tinggi pula tingkat pendapatan yang diperoleh. Hal ini

disebabkan oleh banyaknya kepemilikan sapi laktasisehingga sumber penghasilan

penjualan susu lebih besar. Pendapatan biaya rill yang dikeluarkan atas pakan konsentrat pada tingkat kepemilikan sapi laktasi 1-3 ekor menunjukan nilai pendapatan positif yaitu sebesar Rp. 845.537/bulan. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Siswanto, dkk. (2012), pendapatan dari usaha sapi perah pada tingkat kepemilikian induk laktasi sebanyak 3 ekor menunjukan nilai pendapatan negatif. Komposisi kepemilikan sapi perah juga menentukan tingkat pendapatan yang diperoleh peternak.

4.5. Hubungan Antara Penerapan Good Dairy Farming Practice dengan Tingkat Pendapatan Peternak

Penelitian ini menguji hubungan antara penerapan GDFP dengan pendapatan peternak dengan menggunakan korelasi Spearman. Berikut hasil analisis statistika disajikan pada Tabel 22 informasi lebih lengkap dapat dilihat di Lampiran 7.

(32)

Tabel 22. Hasil Uji Korelasi Spearman Variabel Penerapan GDFP terhadap Pendapatan Peternak

Skala Usaha Koefisien Korelasi

Skala Usaha I 0,39

Skala Usaha II 0,21

Skala Usaha III 0,66

Seluruh Responden Penelitian 0,51*

Keterangan : *berhubungan nyata pada P<0,05

Berdasarkan Tabel 22, hasil uji korelasi Spearman menunjukan bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif antara penerapan GDFP dengan pendapatan peternak, nilai koefisien korelasi sebesar 0,51 (hubungan cukup berarti). Hal ini berarti semakin tinggi penerapan GDFP, maka semakin tinggi pula tingkat pendapatan peternak. Tabel 22 memperlihatkan koefisien korelasi pada skala usaha II lebih rendah bila dibandingkan koefisien korelasi pada skala usaha I. Hal ini dapat disebabkan standar deviasi atau keragaman penerapan GDFP dan IOFC pada skala usaha II lebih besar daripada skala usaha I.

Good Dairy Farming Practice memiliki peran sangat penting karena tidak hanya bertujuan untuk menjalankan usaha sapi perah dengan baik dan benar sesuai prosedur tetapi juga menjaga agar sapi tetap sehat, menjamin terciptanya produk susu yang aman dan sehat untuk dikonsumsi, serta meminimalisir dampak lingkungan. Pendapatan utama peternak adalah penjualan susu yang dipengaruhi oleh produksi susu dan harga jual susu yang juga dipengaruhi oleh kualitas susu. Peningkatan kuantitas dan kualitas susu merupakan salah satu kondisi yang dapat dicapai dengan penerapan GDFP.

Gambar

Tabel  6.  Populasi  Sapi  Perah  dan  Anggota  Koperasi  (Peternak)  di  Desa  Margamukti per-Januari 2015  No  TPK  Populasi  Peternak  (Orang)  Populasi  Sapi Perah (Ekor)  Keterangan
Tabel 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
Tabel 9. Rata-rata Jumlah Kepemilikan Sapi Perah
Tabel 10. Rata-rata Persentase Penerapan Good Dairy Farming Practice
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan utnuk mengetahui mahkamah konstitusi sebagai pengawal demokrasi dan konstitusi khususnya dalam menjalankan constitutional review. Metode

h) Menu selanjutnya adalah Overview, dimana konfigurasi pada tahap sebelum-sebelumnya akan ditampilkan sebelum paket CMS Joomla di instalasi. Ada hal yang harus diperhatikan

Pada Activity Diagram Kerja Praktek Jurusan Ganda Manajemen - Teknik Industri dan Ganda Manajemen - Sistem Informasi, State yang digunakan : Menerima Laporan

Bank Muamalat Indonesia Kantor Cabang Banjarmasin”, sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar strata satu Sarjana Ekonomi, pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Berdasarkan gambar 4.14 dijelaskan untuk menghapus data jenis pembayaran dilakukan dengan cara klik icon tempat sampah pada baris/data yang akan dihapus, maka akan muncul

Ada beberapa tahapan: (1) tahapan pencanaan, yaitu proses merencanakan aplikasi sistem kearsipan elektronik yang bertujuan untuk mendukung proses pemindahan arsip,

Namun, dengan adanya fakta bahwa fungsi otopsi itu sangat banyak untuk mengungkap kebenaran dan juga dengan adanya KUHAP yang menyatakan bahwa otopsi harus

Pada metode padan menggunakan teknik dasar PUP (Pilah Unsur Penentu) dan teknik lanjut HBS (Hubung Banding Menyamakan). Tahap penyajian hasil analisis data menggunakan