• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Konsep Ekowisata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Konsep Ekowisata"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Konsep Ekowisata

Definisi dan konsep ekowisata masih terus menjadi bahan diskusi di dunia internasional, bahkan ada yang menyatakan bahwa “ekowisata adalah sebuah konsep yang menggabungkan teori konservasi moderen dengan pembuatan uang” (Ziffer 1989), dimana kapitalis dan konservasi bergabung memperjuangkan hal yang sama yaitu pelestarian hidupan liar untuk mendapatkan keuntungan.

Penelitian-penelitian tentang pariwisata sejak tahun 1980 telah mengarah pada pariwisata yang bertanggung jawab, ramah lingkungan serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal, hal ini biasa disebut sebagai pariwisata alternatif (Krippendorf 1982 dalam Fennell 1999). Sebagai bagian dari kegiatan pariwisata, akar ekowisata terletak pada wisata alam (Priskin 2001). Istilah ekowisata mulai diperkenalkan pada tahun 1987 oleh Hector Ceballos- Lascurain, setelah itu beberapa pakar mendefinisikan ekowisata yang masing-masing meninjau dari sudut pandang berbeda (Fennell 1999).

Ekowisata umumnya didefinisikan sebagai perjalanan ke daerah yang masih alami untuk menikmati pemandangan dan hidupan liar (Boo 1990; Jacobson 1994), dengan asumsi bahwa sedikit atau tidak menimbulkan dampak pada lingkungan dan memberikan manfaat secara ekonomi dengan mempertahankan keutuhan budaya masyarakat setempat (Kinnaird & O’Brien 1996; Fandeli 2000a). Ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial yang diberi batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya dan keberlanjutannya (Fandeli 2000b). Ekowisata merupakan pariwisata alternatif dalam dunia perjalanan dan konservasi (Western 1993 dalam Lindberg 1993). Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi, oleh karena itu ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab (Fandeli 2000a). Para konservasionis melihat ekowisata sebagai kegiatan yang mampu meningkatkan kemampuan finansial dalam kegiatan konservasi dan meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi, sedangkan para

(2)

ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana 1999).

Banyak orang menganggap bahwa ekowisata merupakan kesempatan untuk menghasilkan pendapatan dan lapangan pekerjaan di daerah-daerah yang masih alami, tetapi sedikit sekali uang dari pendapatan yang kembali ke tempat tersebut (Lindberg 1991; Boo 1990). Pembagian hasil dari keuntungan wisata dapat mengurangi konflik antara institusi pengelolaan kawasan dengan masyarakat lokal dan meningkatkan partisipasi lokal dalam pengelolaan kawasan (Archabald & Treves 2001). Teorinya, meningkatkan pariwisata di negara-negara berkembang dapat meningkatkan pendapatan lokal. Pendapatan lokal yang tinggi dapat menyumbangkan insentif untuk konservasi (Taylor et al. 2003; Wunder 2000), karena pendapatan wisata lokal sasarannya adalah mereka sendiri dan sebagai instrumen untuk konservasi (Wunder 2000). Menurut Ziffer (1989) relevansi dari ekowisata terletak pada tiga hal, yaitu

1 Ekowisata dapat memajukan dan membiayai konservasi,

2 Ekowisata dapat memajukan dan membiayai pembangunan ekonomi, dan 3 Ekowisata dapat menghancurkan sumberdaya alam yang dilindungi.

Batasan Ekowisata secara nasional dirumuskan oleh Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam rencana strategis ekowisata nasional adalah suatu “konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, berintikan partisipasi aktif masyarakat, dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah dan diberlakukan bagi kawasan lindung; kawasan terbuka; kawasan alam binaan serta kawasan budaya” (Sekartjakrarini 2004).

Banyaknya definisi ekowisata menunjukkan bahwa ekowisata sebenarnya masih merupakan suatu konsep yang akan terus berkembang. Menurut Ziffer (1989) lebih kurang ada 10 istilah dengan banyak variasi yang sering dipakai dalam ekowisata, substansi istilah tersebut berbeda dan terpisah. Kategori istilah ada yang bersifat deskripsi seperti ekspresi dari perjalanan-alam dan perjalanan petualangan, segmen wisata ini berbasis pada aktivitas dimana wisatawan berpartisipasi selama

(3)

kunjungan mereka. Kategori istilah yang lain berbasis nilai seperti wisata yang bertanggung jawab, perjalanan yang beretika, yang menekankan kebutuhan untuk mempertimbangkan pendekatan dan dampak perjalanan tanpa mempengaruhi aktivitas wisata. Definisi secara penuh dari konsep ekowisata (Gambar 2) harus meliputi motivasi, tingkah laku, dampak dan keuntungan yang diperoleh (Ziffer 1989).

DESKRIPSI/AKSI

Wisata berbasis alam Wisata sejarah alam Perjalanan budaya Perjalanan petualangan Perjalanan pengalaman

Perjalanan menambah nilai/pendidikan

EKOWISATA PENDEKATAN BERENCANA MOTIVASI TINGKAH LAKU DAMPAK KEUNTUNGAN NILAI Wisata alternatif

Wisata yang bertanggung jawab Perjalanan etika

Gambar 2 Definisi ekowisata menurut Ziffer (1989).

Secara konseptual ekowisata adalah suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Supriatna et al. 2000).

(4)

2.2. Pengembangan Ekowisata

Sebagai alat pembangunan, ekowisata dapat mewujudkan tiga tujuan dasar dari konservasi keanekaragaman hayati (UNEP 2003), yaitu

1 Melindungi keanekaragaman hayati dan budaya dengan penguatan sistem manajemen kawasan lindung (umum atau privat) dan meningkatkan nilai ekosistem.

2 Mendukung penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dengan menaikkan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam ekowisata dan jaringan usaha yang relevan.

3 Membagi keuntungan pengembangan ekowisata dengan masyarakat lokal, melalui partisipasi aktif dalam perencanaan dan pengelolaan dari kegiatan ekowisata.

Dengan menyalurkan keuntungan wisata untuk masyarakat lokal, para konservasionis berharap dapat membangun sikap masyarakat lokal untuk mendukung konservasi dan dapat mengimbangi biaya-biaya pelestarian (Archabald & Treves 2001). Harus disadari bahwa walaupun ekowisata dapat menjadi alat berharga untuk melestarikan keanekaragaman hayati, juga mempunyai dampak negatif yang lama terhadap lingkungan (ekologis), satwa liar dan masyarakat lokal jika pengelolaannya kurang tepat (Kinnaird & O’Brien 1996). Beberapa bahaya tertentu dapat timbul dari kegiatan ekowisata yang tidak dibatasi seperti masalah kesenjangan ekonomi dan perselisihan diantara anggota masyarakat, konflik budaya antara wisatawan dan masyarakat lokal dan gangguan ekologis yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat.

Pengelolaan hutan untuk ekowisata merupakan pilihan yang prospektif (Fandeli 2000b), hal ini dilihat dari perubahan yang terjadi pada kurun waktu dua dekade terakhir ini yaitu telah terjadi pergeseran dari mass tourism ke customized tourism. Ekowisata dapat dikembangkan di kawasan hutan produksi; hutan lindung dan hutan konservasi, juga di desa-desa yang mempunyai kekhasan/keunikan. Ada empat prinsip yang harus menjadi pegangan dalam pengembangan hutan untuk ekowisata yaitu konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat dan ekonomi (Ridwan 2000).

(5)

Ketersediaan dan kualitas komponen produk wisata sangat ditentukan oleh kesiapan para pelaku wisata yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Keberhasilan dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata merupakan hasil kerja sama antara stakeholder, yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat (Spoule 1996 dalam Fennell 1999). Menurut Fennel (1999) ada delapan prinsip untuk membangun kemitraan antara stakeholder. Prinsip tersebut adalah

1 Berdasarkan budaya masyarakat lokal.

2 Memberikan tanggung jawab kepada masyarakat lokal.

3 Mempertimbangkan untuk mengembalikan kepemilikan daerah yang dilindungi kepada penduduk asli.

4 Memberikan insentif kepada masyarakat lokal.

5 Mengaitkan program pembangunan dari pemerintah dengan daerah yang dilindungi.

6 Memberikan prioritas kepada masyarakat dengan skala kecil. 7 Melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan.

8 Mempunyai keberanian untuk melakukan pelarangan.

Tempat Tujuan Ekowisata

Tempat tujuan wisata merupakan elemen yang penting karena tempat tujuan tersebut umumnya merupakan alasan utama bagi wisatawan untuk berkunjung (Cooper et al. 1993), jadi keadaan di tempat tujuan wisata seperti atraksi wisata, fasilitas, aksesibilitas, pelayanan dan keamanan akan sangat mempengaruhi jumlah pengunjung. World Tourism Organisation (WTO) dan United Nation Environmental Programme (UNEP) menetapkan kriteria-kriteria untuk suatu kawasan ekowisata (Tabel 1), kriteria-kriteria tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan lokasi tujuan ekowisata (Stecker 1996). Dalam pengembangan dan pengelolaan ekowisata sangat penting untuk mengetahui segmen pasar atau sisi permintaan dari ekowisata. Segmen pasar dari ekowisata dipengaruhi oleh faktor-faktor keadaan sosio-demografi, karakteristik dalam perjalanan, motivasi dan pengalaman pengunjung. Pengunjung yang memiliki kebutuhan tertentu, akan memilih tujuan wisata tertentu pula.

(6)

Tabel 1 Kriteria kawasan wisata No Kriteria

1 Kekhasan atraksi alam (Flagship attraction): tipe hutan, sungai, danau - keanekaragaman hayati - keunikan spesies tertentu - kemudahan mengamati flora dan fauna

2 Atraksi pendukung/pelengkap: berenang (air terjun, sungai, pantai)- kegiatan olahraga (jalan kaki, memancing, mendayung) - budaya lokal (kesenian, kebiasaan-kebiasaan tradisional) - peninggalan sejarah

3 Aksesibilitas dan Infrastruktur: jarak ke bandara international atau pusat-pusat wisata - akses (jalan raya, jalan kereta api, penerbangan, pelabuhan) - fasilitas kesehatan - komunikasi yang memadai

5 Iklim: cuaca yang mendukung kegiatan rekreasi - banyaknya curah hujan dan distribusinya

6 Kondisi politik dan sosial: adanya stabilitas sosial politik - terjaminnnya keamanan pengunjung – pengunjung dapat diterima oleh masyarakat lokal

Sumber: WTO/UNEP dalam Stecker (1996).

Kusler (1991) dalam Fennell (1999) mengklasifikasikan ekoturis berdasarkan tujuan wisata, pengalaman yang diinginkan dan dinamika kelompok. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut

1 Ekoturis mandiri adalah orang-orang yang melakukan perjalanan secara individual, tinggal di berbagai tipe akomodasi yang berbeda-beda dan mempunyai mobilitas untuk mengunjungi berbagai tujuan wisata. Pengalaman mereka sangat fleksibel dan merupakan persentase terbesar dari semua ekoturis. 2 Ekoturis dalam tur adalah orang-orang yang melakukan perjalanan dalam

kelompok dan mengunjungi objek wisata eksotik.

3 Kelompok ahli atau akademisi adalah orang-orang yang biasanya terlibat dalam penelitian baik sebagai individu maupun kelompok. Pada umumnya mereka tinggal di suatu tempat dalam jangka waktu cukup panjang dan lebih bersedia mengalami kondisi kesusahan dibandingkan ekoturis yang lain.

(7)

Lindberg (1991) mengklasifikasikan ekoturis berdasarkan pada dedikasi, waktu, tujuan dari perjalanan, tempat dan cara melakukan perjalanan yang dibagi dalam empat kelompok.

1 Hard-Core Nature Tourist: para ilmuwan/peneliti.

2 Dedicated Nature Tourist: ekoturis yang ingin mengetahui tentang budaya masyarakat atau tempat-tempat yang dilindungi (cagar alam).

3 Mainstream Nature Tourist: ekoturis yang menghendaki tempat-tempat spesifik seperti cagar alam.

4 Casual Nature Tourist: ekoturis yang datang sekali-sekali ke tempat-tempat yang alami .

Hard-core dan dedicated nature tourist tidak membutuhkan akomodasi yang lengkap, berbeda dengan mainstream dan casual nature tourist dimana tingkat pelayanan dan akomodasi harus disiapkan lebih baik.

The Ecotourism Society (Eplerwood 1999 dalam Fandeli 2000a) menyatakan ada delapan prinsip dalam kegiatan ekowisata.

1 Mencegah dan menanggulangi aktivitas pengunjung yang mengganggu alam dan budaya.

2 Pendidikan konservasi lingkungan. 3 Pendapatan langsung untuk kawasan. 4 Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. 5 Meningkatkan penghasilan masyarakat. 6 Menjaga keharmonisan dengan alam. 7 Menjaga daya dukung lingkungan. 8 Meningkatkan devisa buat pemerintah.

Pengembangan ekowisata melibatkan berbagai pihak seperti pengunjung, sumberdaya alam, pengelola, masyarakat lokal, kalangan bisnis termasuk biro perjalanan (tour operator), pemerintah, LSM, dan lain sebagainya. Pada prinsipnya pengembangan ekowisata yang baik merupakan simbiosis antara konservasi dan pembangunan, namun kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara pelaku ekowisata bisa terjadi (Lindberg et al. 1997 dalam Nugraheni 2002).

(8)

Kegiatan yang berdasarkan prinsip ekowisata tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi kegiatan ekowisata di berbagai objek ekowisata. Usaha evaluasi kegiatan ekowisata telah banyak dilakukan dengan berbagai metode evaluasi, diantaranya yang dikembangkan oleh Wallace dan Pierce (1996) dengan enam kriteria utama evaluasi.

1 Berusaha meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.

2 Meningkatkan kesadaran dan pemahaman sistem alam dan budaya setempat serta keterlibatan pengunjung terhadap berbagai aspek yang mempengaruhi sistem tersebut.

3 Berkontribusi terhadap konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang dilindungi.

4 Memaksimalkan partisipasi masyarakat lokal sejak awal dan dalam jangka panjang dalam proses pengambilan keputusan tentang jenis dan jumlah wisata yang ada.

5 Memberikan keuntungan ekonomis dan yang lainnya kepada masyarakat lokal yang melengkapi dan tidak menggantikan jenis mata pencaharian tradisional. 6 Menyediakan kesempatan bagi masyarakat lokal dan karyawan ekowisata

untuk mengunjungi dan belajar lebih banyak tentang keindahan alam dan obyek wisata yang menjadi daya tarik pengunjung.

Keenam kriteria utama tersebut dijabarkan dalam bentuk kriteria operasional praktis dan telah dipraktekkan untuk mengevaluasi beberapa obyek ekowisata seperti Amazon, Brazil (Wallace & Pierce 1996). Para peneliti lain melakukan evaluasi kegiatan ekowisata dengan kriteria sejenis dengan berbagai macam penekanan yang berbeda, seperti penekanan pada segi konservasi.

Peranan masyarakat lokal harus dipertimbangkan karena mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari ekosistem, sekaligus adalah pelaku yang berhak mengambil keputusan. Dalam prinsip ekowisata yang telah diterima secara umum, ekowisata berorientasi lokal dan melibatkan masyarakat lokal (Fennell 1999).

Ekowisata harus bermanfaat bagi masyarakat lokal melalui keterlibatan aktif secara sosial ekonomi (Ceballos-Lascurain 1993) dan memaksimalkan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan sejak awal secara jangka panjang.

(9)

Partisipasi dan peran serta masyarakat lokal adalah salah satu alternatif untuk memperlambat hilangnya nilai-nilai keragaman biologi di bumi ini (Carlson 2001). Kedatangan pihak luar lebih cenderung memisahkan masyarakat lokal dengan hutan dan sebaliknya melakukan monopoli hutan, hal ini menyebabkan masyarakat mengalami disintegrasi hubungan dengan hutan yang selama ini telah menghidupi mereka (Liswanti 2004).

Perencanaan dan pengelolaan ekowisata yang baik dapat menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk konservasi keanekaragaman hayati dalam jangka panjang dengan keadaan yang mendukung seperti kondisi pasar, manajemen di tingkat lokal dan hubungan yang harmonis antara pengembangan ekowisata dengan konservasi (UNEP 2003).

2.3. Kawasan Suaka Alam

Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, menjabarkan pengertian hutan dan klasifikasinya. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan ditetapkan berdasarkan fungsi pokok sebagai (1) hutan konservasi, (2) hutan lindung (HL), dan (3) hutan produksi (PHKA 2005a).

Kawasan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang terdiri dari

1 Kawasan Hutan Suaka Alam: hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan.

2 Kawasan Hutan Pelestarian Alam; hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

(10)

Ketentuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya, kawasan konservasi diklasifikasikan sebagai berikut

1 Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyanggah kehidupan, yang mencakup: - Kawasan Cagar Alam: yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan

tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.

- Kawasan Suaka Margasatwa (SM): mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

2 Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyanggah kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang mencakup:

- Kawasan Taman Nasional: mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. - Kawasan Taman Wisata Alam: dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan

bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam.

- Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura): dengan tujuan untuk koleksi tumbuhan dan satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian; ilmu pengetahuan; pendidikan; menunjang budidaya; budaya; pariwisata dan rekreasi.

Pada tahun 1980, Commission on National Parks and Protected Areas (CNPPA) dan The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) menyusun daftar kawasan yang dilindungi berdasarkan kriteria pengelolaan konservasi, dimana Indonesia ikut menerima kriteria tersebut (Daryadi

(11)

1999 dalam Fandeli 2000c). Semua kawasan tersebut dapat dikembangkan untuk ekowisata (Fandeli 2000c).

1 Scientific Reserve/Strict Nature Reserve (Cagar Alam/Cagar Ilmiah). 2 National Parks/Provincial Parks (Taman Nasional/Taman Provinsi).

3 Natural Monuments/Natural Landmarks (Monumen Alam/Landmark Alam). 4 Nature Conservation Reserve/Managed Nature Reserves/Wildlife Sanctuaries

(Suaka Margasatwa).

5 Protected Landscape (Bentang Alam Dilindungi). 6 Resource Reserve (Cagar Sumberdaya).

7 Anthropological Reserve/Natural Biotic Reserve (Cagar Budaya/Kawasan Biotis Alam).

8 Multiple Use Managemen Area/Managed Resource Areas (Kawasan Pengelolaan Manfaat Ganda/Kawasan Sumberdaya Dikelola).

9 Biosphere Reserve (Cagar Biosfir).

10 World Heritage Sites (Taman Warisan Dunia).

Kawasan CA dan TWA dikelola oleh pemerintah berdasarkan satu rencana pengelolaan yang disusun berdasarkan kajian aspek-aspek ekologi, teknis, ekonomis dan sosial budaya. Rencana pengelolaannya sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Upaya pengawetannya dilaksanakan dalam bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan serta penelitian dan pengembangan yang menunjang pengawetan (PHKA 2005b).

Wilayah Sulut memiliki 10 kawasan konservasi yang terdiri dari CA Gunung Ambang (yang diperluas pada tahun 1984), CA Gunung Tangkoko

dan CA Gunung Duasudara (yang lebih dikenal dengan nama Cagar Alam Tangkoko-Duasudara), CA Gunung Lokon, SM Gunung Manembo-Nembo, SM Karakelang Utara dan Selatan, TNBNW, TWA Batuangus, TWA Batuputih dan TNL Bunaken (Lampiran 1). Kawasan suaka alam khususnya CATDS berada di bawah Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulut. Wilayah kerja BKSDA Sulut sampai saat ini masih meliputi dua provinsi yaitu Sulut dan Gorontalo (lampiran 2).

(12)

Deskripsi Cagar Alam Tangkoko-Duasudara (CATDS)

Kawasan yang terkenal sejak masa Wallace (1859) karena kelimpahan dan keunikan hidupan liarnya (Kinnaird & O’Brien 1997), yang pada awalnya ditetapkan sebagai Monumen Alam Tangkoko pada tahun 1919 (GB No. 6 STBL 1919 Tgl. 12 Feb) seluas 3.196 ha oleh pemerintah Belanda dan pada tahun 1942 ditetapkan sebagai CA oleh The Nature Protection Ordinance. Setelah kemerdekaan kawasan ini dipertahankan sebagai CA (Kinaird & O’Brien 1996), dan diklasifikasikan sebagai hutan hujan dataran rendah (IUCN 1991). Pada tahun 1978 kawasan CA Duasudara ditetapkan seluas 4.299 ha (KEPMENTAN 700/1978)1. Sejak saat itu kedua kawasan ini disatukan dengan nama Cagar Alam Tangkoko-Duasudara, tetapi lebih dikenal dengan nama CA Tangkoko dengan pintu masuk utama kawasan di wilayah Batuputih.

Kawasan CATDS adalah tonggak sejarah pelestarian di Sulawesi Bagian Utara (Sulut dan Gorontalo) dengan tujuan untuk menjadikannya sebagai laboratorium alam, sehingga sampai saat ini CATDS disebut oleh masyarakat sekitarnya sebagai “Tanah Larangan” (NRM 2002). Proyek konservasi pertama dilakukan oleh John dan Kathleen Mackinnon pada akhir tahun 1970 (Lee et al. 1999), setelah itu Tangkoko mulai dikenal oleh para peneliti dan dunia internasional.

Untuk memfasilitasi kegiatan wisata yang berlangsung di kawasan maka pemerintah menetapkan TWA Batuputih seluas 615 ha berada di Kecamatan Bitung Utara dan TWA Batuangus seluas 635 ha di Kecamatan Bitung Timur (KEPMENTAN 1049/KPTS/UM/1981, Tgl. 21 Desember)2. Kedua TWA ini berbatasan langsung dengan kawasan CA, tetapi usaha tersebut tidak dapat mengatasi masalah kegiatan ekowisata di CATDS.

Kawasan CATDS dapat diakses dari laut dan dari semua desa di perbatasannya melalui jalan darat (Kinnaird & O’Brien 1997; Lee et al. 1999), dengan jarak lebih kurang 60 km dari Kota Manado dan lebih kurang 20 km dari Kota Bitung. Dari Kota Manado melalui jalan darat memerlukan waktu lebih kurang 120 menit dan dari Kota Bitung dapat ditempuh lebih kurang 70 menit. Melalui jalur laut dengan menggunakan perahu motor 2 x 40 Pk dapat ditempuh

1 BKSDA Sulut (2004). 2 ibid

(13)

dalam waktu lebih kurang 90 menit dari pantai Bitung ke pantai Batuputih. Di dalam kawasan CA dapat dilakukan kegiatan pariwisata secara terbatas seperti menikmati panorama alam dan hidupan liar (BKSDA Sulut 1998).

2.4. Peraturan-Peraturan dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi Sejumlah hukum dan kebijakan untuk melindungi kawasan dan spesies telah ditetapkan (Lee et al. 2001). Menurut Sembiring et al. (1999) peraturan-peraturan perundangan tersebut dapat dimasukkan dalam dua kategori berikut ini 1 Peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur tentang pengelolaan

kawasan konservasi.

2 Peraturan yang secara tidak langsung mengatur atau terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi, termasuk didalamnya peraturan-peraturan pokok sektor sumberdaya alam. Peraturan-peraturan tersebut memiliki hubungan dan memberikan implikasi pada pengelolaan konservasi.

Sampai tahun 2003 jumlah kawasan pelestarian alam yang boleh dimanfaatkan untuk pariwisata tercatat sebanyak 160 lokasi masing-masing TN 41 lokasi, Tahura 17 lokasi dan TWA 102 lokasi (Dephut 2003 dalam Sekartjakrarini 2004). Dari segi kebijakan, untuk mendukung komitmen mengintensifkan penerapan konsep ekowisata dalam pembangunan pariwisata nasional, pemerintah melalui sektor-sektor terkait telah mengeluarkan sejumlah kebijakan operasional-teknis3, diantaranya

1 Pedoman Pengembangan Pariwisata Alam di TN, TWA, HL, SM, TB dan Hutan Produksi (2001 dan 1999)

2 Standar dan Kriteria Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam (2001)

3 Standar dan Kriteria Penilaian Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (2001) 4 Pedoman Pengembangan Ekowisata (1998)

5 Pedoman Pengembangan Wisata Minat Khusus (2001) 6 Pedoman Pariwisata di Pulau-pulau Kecil (2003)

7 Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pengembangan untuk Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati di TN dan TWA (2001)

3 Sekartjakrarini, 2004. Bahan Kuliah Perencanaan Tata Ruang dan Ekowisata. Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana

(14)

8 Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada seluruh Gubernur Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata Daerah (SE No. 660.1/836/V/Bangda Tanggal 28 April 2000)

9 Pedoman Pengembangan Pariwisata di Kawasan Konservasi Laut (3003) 10 Pedoman Interpretasi di Kawasan Konservasi Laut (2004)

Selain kebijakan operasional teknis tersebut, peraturan-peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan konservasi dan pariwisata alam juga ditetapkan (Tabel 2). Secara regional di bidang pariwisata, Indonesia telah mengikat kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan secara internasional ikut menandatangani dan terikat dengan beberapa kesepakatan antar bangsa (Fandeli 2000c), antara lain:

1 World Conservation Strategy (tahun 1980), merupakan landasan penanggulangan ancaman terhadap sumberdaya alam

2 United Nation Converence on Environment and Development (UNCED) di Rio de Jeneiro (tahun 1992) yang menghasilkan antara lain Rio Declaration, Forest Principles, Convention on Climate Change, Convention on Biodiversity dan Agenda 21

3 Commission on National Parks and Protected Areas (CNPPA) dan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) pada tahun 1980 menyusun daftar kawasan yang dilindungi berdasarkan kriteria pengelolaan konservasi (ada 10 kriteria kawasan yang dilindungi)

Tabel 2 Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan konservasi dan ekowisata

No Peraturan Perihal

1 UU No. 5 Tahun 1990 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati 2 UU No. 9 Tahun 1990 Kepariwisataan

3 UU No. 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan Hidup 4 UU No. 41 Tahun 1999 Kehutanan

(15)

Lanjutan

Sumber: PHKA (2003); PKA (2000).

No Peraturan Perihal

5 PP No. 28 Tahun 1985 Perlindungan Hutan

6 PP No. 18 Tahun 1994 Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan TN, Tahura dan TWA 7 PP No. 67 Tahun 1996 Penyelenggaraan Kepariwisataan 8 PP No. 68 Tahun 1998 Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian Alam

9 PP No. 59 Tahun 1998 Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan

10 PP No. 34 Tahun 2002 Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

11 Keppres No. 32 Tahun 1990

Pengelolaan Kawasan Lindung 12 KEPMENHUT No. 28

Tahun 2003

Pembagian Rayon di TN, Tahura, TWA dan TB dalam Rangka Pengenaan Penerimaan Bukan Pajak

13 KEPMENHUT No. 441 Tahun 1990

Pengenaan Iuran dan Pungutan Usaha Hutan Wisata, TN, Tahura dan TWL

14 KEPMENHUT No. 167 Tahun 1994

Sarana dan Prasarana Pengusahaan Pariwisata Alam di Kawasan Pelestraian Alam

15 KEPMENHUT No. 446 Tahun 1996

Tata Cara Permohonan, Pemberian dan

Pencabutan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam 16 KEPMENHUT No. 447

Tahun 1996

Pembinaan dan Pengawasan Pariwisata Alam 17 KEPMENHUT No. 348

Tahun 1997

Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No. 446 tahun 1996

Gambar

Gambar 2  Definisi ekowisata menurut Ziffer (1989).

Referensi

Dokumen terkait

 Hutan konservasi Hutan konservasi : kawasan hutan dengan ciri khas : kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan.. tertentu yang

Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman

Kawasan Pelestarian Alam selanjutnya disingkat KPA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok

Hutan Konservasi adalah Kawasan Hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

· Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis

18 Ibid.. Pengawetan jenis tumbuhan dan satw di luar kawasan suaka alam dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari kepunahan.

Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman

Kawasan Pelestarian Alam selanjutnya disingkat KPA adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan