• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN CENDANA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN FATMAWATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN CENDANA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN FATMAWATI"

Copied!
202
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

FATMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Mei 2011

Fatmawati

(3)

Fatmawati. Analysis of Sandalwood Policy Management in South Central Timor Regency. Under Direction of HARIADI KARTODIHARDJO, M. BUCE SALEH

The sandalwood management in South Central Timor Regency is based on Regional Regulation (Perda) No. 25/2001 on Sandalwood. Facts now show that it is increasingly hard to find sandalwood or its population is decreasing, the sandalwood handicraft industries are short of the raw materials, and the communities are as yet not interested in developing sandalwood. This study was aimed to verify the factors related to the problems of sandalwood management and to examine the process of making the sandalwood regulation in South Central Timor Regency. The data was collected with a triangulation technique and processed through a descriptive analysis, logistic regression, multiple linier regression, simultaneous equations in econometrica, analysis of content and process of making policies as wich do by the Institute of Development Studies (IDS). The results indicate that the level of knowledge and understanding of society to changes in regulation of sandalwood has not changed and the factors affecting the management of sandalwood in the community are social, economic and technical aspects not pay attention. The discourse of policies to manage sandalwood has not changed, that is, sandalwood is considered as the economy asset and source of income for the people and the region. The role of government is more dominant and has not taken into account the involvement and the problems faced by the people as the subject regulated and the recipient of the policy impacts. Perda TTS No. 25/2001 on Sandalwood should be changed totally.

(4)
(5)

FATMAWATI. Analisis Kebijakan Pengelolaan Cendana Di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan M. BUCE SALEH.

Cendana (Santalum album L.) merupakan tumbuhan endemik/asli dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang bernilai ekonomi tinggi. Pengelolaan cendana sejak tahun 1999 sudah diserahkan ke pemerintah daerah tingkat kabupaten sesuai Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan di Bidang Kehutanan kepada Daerah. Pemerintah Daerah Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana untuk melestarikan cendana dengan memberikan hak kepemilikan dan kebebasan menjual cendana kepada masyarakat. Tetapi fakta sekarang menunjukkan populasi cendana semakin sulit ditemukan atau menurun, industri kerajinan cendana kekurangan bahan baku dan masyarakat belum tertarik menanam cendana.

Penelitian ini bertujuan melakukan verifikasi faktor penyebab permasalahan pengelolaan cendana dan mengetahui proses pembuatan kebijakan yang mengatur pengelolaan cendana di Kabupaten TTS serta membuat rekomendasi kebijakan untuk mengatasi pengelolaan cendana di Kabupaten TTS dalam rangka mencapai pengelolaan cendana yang lestari. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dan evaluasi. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik triangulasi yaitu mempelajari dokumen, wawancara mendalam dan pengamatan secara langsung di lapangan. Jumlah responden 60 orang petani terdiri dari 30 orang yang memiliki cendana dan 30 orang yang tidak memiliki cendana. Pengolahan data menggunakan analisis dekriptif, regresi logistik (model logit), regresi linier berganda, persamaan simultan dalam ekonometrika, analisis isi dan proses pembuatan kebijakan seperti yang dilakukan Institute of

Development Studies (IDS).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap perubahan peraturan cendana belum berubah. Jumlah responden yang belum mengetahui keberadaan Perda cendana yaitu sebesar 73,3% atau 44 orang dari seluruh responden. Hal ini menggambarkan bahwa tahapan sosialisasi dan implementasi belum efektif. Tahapan sosialisasi menunjukkan: (1) efektifitas sosialisasi belum menjangkau seluruh masyarakat terutama di pedesaan, (2) resistensi masyarakat sebagai dampak kebijakan provinsi yang mengatur cendana tahun 1986 dan kekhawatiran kebijakan yang berlaku akan berubah, (3) isi kebijakan masih bersifat disintensif bagi masyarakat, (4) masyarakat tidak terlibat dalam proses penyusunan sehingga mengurangi rasa tanggungjawab terhadap kelestarian cendana. Tahapan implementasi Perda belum dilaksanakan karena: (1) kurangnya komitmen pemerintah untuk membuat program terkait pengembangan cendana, (2) belum adanya prioritas anggaran, dan (3) petunjuk teknis yang dikeluarkan belum tepat. Kurangnya peran dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam pengembangan cendana menunjukkan lemahnya kemauan politik pemerintah yang berdampak kepada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

(6)

Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap peluang petani memiliki cendana dan tidak memiliki cendana dengan menggunakan analisis regresi logistik (model logit) yaitu jarak lahan dan pendapatan rumahtangga. Hasil analisis model logit mengambarkan permasalahan yang dihadapi petani yaitu aspek teknis pemeliharaan dan keamanan kepemilikan cendana serta aspek ekonomi yaitu kemampuan ekonomi rumahtangga, di mana petani yang memiliki cendana termasuk kategori rumahtangga mampu dan petani yang tidak memiliki termasuk kategori rumahtangga miskin.

Analisis terhadap faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani yang memiliki cendana menggunakan analisis regresi linier berganda menunjukkan pendapatan cendana memberikan kontribusi secara signifikan terhadap pendapatan rumahtangga. Permasalahan yang dihadapi petani cendana yaitu aspek teknis pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan cendana, ketersediaan dan penanganan benih/bibit, penanaman cendana, dan penanganan hama penyakit cendana. Analisis terhadap pendapatan rumahtangga petani secara umum menunjukkan faktor yang berpengaruh yaitu tingkat pengetahuan dan keterampilan petani, pertimbangan lokasi penanaman, ketersediaan lahan yang dimiliki masih diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan cendana masih sebagai jenis tanaman sampingan

Analisis perilaku ekonomi rumahtangga petani menggunakan persamaan simultan dalam ekonomterika dilakukan untuk melihat faktor yang berpengaruh pada rumahtangga petani cendana terkait dengan alokasi tenaga kerja, pendapatan dan konsumsi dalam memproduksi cendana. Hasil analisis menunjukkan bahwa cendana memberikan kontribusi secara signifikan terhadap pendapatan rumahtangga. Permasalahan petani cendana dari hasil analisis yaitu aspek sosial terkait alokasi tenaga kerja (keluarga dan di luar keluarga) dan aspek ekonomi pengeluaran rumahtangga untuk kebutuhan produksi cendana dan kebutuhan konsumsi.

Berdasarkan beberapa hasil analisis kuantitatif di atas diperoleh permasalahan yang dihadapi petani dalam pengelolaan cendana meliputi: 1) aspek sosial yaitu alokasi tenaga kerja dalam mengembangkan cendana masih rendah, 2) aspek ekonomi meliputi petani yang mengembangkan cendana adalah petani yang mampu, sementara secara umum petani di Kabupaten TTS masih berkutat dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari atau tergolong petani miskin dan berusaha mendapatkan pendapatan yang cepat. Secara mikro ekonomi pada skala ekonomi rumahtangga petani cendana menunjukkan usaha cendana menguntungkan petani cendana, dan 3) aspek teknis meliputi tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakat yang rendah meliputi penanganan benih/bibit, teknik penanaman, penanganan hama dan penyakit cendana.

Pengkajian proses pembuatan Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 yang mengandung substansi penguasaan cendana oleh pemerintah provinsi dengan pembagian hasil 85% untuk pemerintah dan 15% untuk masyarakat pada cendana yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat menunjukkan peran pemerintah propinsi sebagai penguasa dengan kepentingan politik dan ekonomi yang lebih besar daripada kelestarian cendana. Narasi kebijakan dalam pembuatan kebijakan adalah nilai-nilai yang melekat pada cendana sejak masa lampau yang sulit dirubah. Diskursus kebijakan yang berkembang yaitu nilai ekonomi cendana sebagai asset dan sumber penghasilan untuk rakyat, daerah dan negara sehingga

(7)

pengelolaannya diatur pemerintah daerah. Peran pengetahuan dalam proses pembuatan Perda tersebut belum dipertimbangkan. Sedangkan proses pembuatan Perda No. 2 Tahun 1999 tentang pencabutan Perda No. 16 Tahun 1986 merupakan inisiatif DPRD Provinsi didasari pemberlakuan PP No. 62 Tahun 1998 disertai pertimbangan kepentingan politik, ekonomi, dan ekologi untuk kelestarian cendana berdasarkan masukan dari pihak luar yaitu perguruan tinggi dan lembaga penelitian.

Penyusunan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 diprakarsai oleh Dinas Kehutanan Kabupaten TTS dengan tujuan menyikapi kekosongan aturan yang mengatur cendana setelah pemerintah provinsi mencabut perda cendana dan menyerahkan pengelolaannya kepada kabupaten, mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat, dan menjaga pertumbuhan populasi cendana yang semakin menurun. Diskursus kebijakan tidak berubah dalam proses pembuatan Perda. Faktor-faktor yang menjadi kendala pada tahap implementasi Perda cendana belum dipertimbangkan sebagai informasi penting dalam proses pembuatan kebijakan. Faktor kendala pada tingkat masyarakat meliputi aspek sosial, ekonomi dan teknis rumahtangga petani merupakan syarat kondisi pemungkin pada tahap perencanaan dan pelaksanaan kebijakan.

Isi Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 lebih menjawab masalah pengakuan kepemilikan cendana kepada masyarakat dan kebebasan penjualan cendana oleh masyarakat, belum menjawab permasalahan yang dihadapi pelaksana kebijakan yaitu lembaga pelaksana dan masyarakat. Aspek-aspek kepentingan dan politik, asumsi dasar yang digunakan masih berdasarkan kepentingan pengambil kebijakan. Pengetahuan dan informasi yang tersedia belum dijadikan sebagai acuan dalam proses pembaharuan pembuatan kebijakan pengelolaan cendana ke depannya. Berdasarkan permasalahan di atas, rekomendasi dalam penelitian ini adalah Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana harus dilakukan perubahan secara total dengan memberikan hak pengelolaan cendana 100% kepada masyarakat dan menghapus petunjuk teknis yang bersifat disinsentif bagi masyarakat.

Strategi pengelolaan cendana terhadap permasalahan petani yaitu kepastian dan perlindungan hak kepemilikan lahan dan tanaman cendana, pendidikan dan pelatihan (Diklat) cendana, pola tanam cendana dengan

Agroforesyty dan pengembangan cendana model PHBM, pembentukan kelompok

tani, penyuluhan dan pendampingan, serta pemberian bantuan insentif langsung dan tak langsung. Perumusan kebijakan pengelolaan cendana perlu melibatkan multipihak yang terkait dengan cendana terutama masyarakat. Tahapan proses perumusan harus dikomunikasi melalui kegiatan konsultasi publik atau dengar pendapat serta mengadopsi pengetahuan dan informasi yang akurat, pengetahuan lokal “Banu Haumeni” dan keterlibatan lembaga adat.

Kata kunci: cendana, rumahtangga, pengelolaan, narasi/ diskursus, proses pembuatan kebijakan, Perda

(8)
(9)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(10)
(11)

DI KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN

FATMAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(12)
(13)
(14)
(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan pada Bulan April-Juni 2010 ini berjudul“Analisis Kebijakan Pengelolaan Cendana Di Kabupaten Timor Tengah Selatan”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS.dan Bapak Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS. selaku pembimbing, Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.For. sebagai penguji luar komisi dan Bapak Dr. Ir. Didik Suhardjito, MS. selaku pimpinan sidang.

2. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penyelesaian karya tulis ini.

3. Kementerian Kehutanan sebagai sponsor, pimpinan Pusat Diklat Kehutanandan Pimpinan Balai Diklat Kehutanan Kupang yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 ini.

4. Rekan-rekan Ilmu Pengelolaan Hutan Angkatan 2008 untuk kebersamaan, persahabatan dan masukannya dalam mempertajam analisis karya tulis ini. 5. Seluruh instansi dan pihak terkait di tingkat pusat (Kementerian Kehutanan,

Pusat Diklat Kehutanan dan Balai Diklat Kehutanan), tingkat provinsi (Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Kantor Gubernur Provinsi NTT, DPRD Provinsi NTT) dan tingkat kabupaten (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten TTS, DPRD Kabupaten TTS, Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah kabupaten TTS) atas fasilitas, data dan informasi yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Suami tercinta Sulaiman S. Wutun, anakku tersayang M. Sulfaizan Wutun dan Aulia Salsabilla Wutun, Ibunda tercinta Ema Kota Noormandiri, serta saudari-saudariku tercinta kakanda Aisyah Ali, dan adik-adikku tersayang atas dukungan materiil dan doa yang diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak, Amien.

Bogor, Mei 2011

(16)
(17)

Penulis dilahirkan di Tawau, 26 Maret 1976 dari Bapak Ali Paji (alm) dan Mama Ema Kota Noormandiri. Penulis merupakan putri keempat dari tujuh bersaudara. Penulis menikah dengan Sulaiman S. Wutun pada tahun 2003 dan dikaruniai putra-putri yaitu M. Sulfaizan Wutun dan Aulia Salsabila Wutun.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kalimantan Timur yaitu SD Negeri 2 Nunukan tahun 1988, SMP Negeri 1 Nunukan tahun 1991, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Larantuka di Kabupaten Flores Timur, NTT tahun 1994. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin di Ujungpandang pada tahun 1999.

Penulis bekerja sebagai Widyaiswara pada Balai Diklat Kehutanan Kupang di Propinsi NTT sejak tahun 2000. Tahun 2008 penulis mendapat Beasiswa dari Kementrian Kehutanan melalui Pusat Diklat Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor sampai sekarang.

(18)
(19)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 4 Tujuan Penelitian ... 6 Manfaat Peneltian ... 7 Kerangka Pemikiran ... 7 TINJAUAN PUSTAKA Analisis Kebijakan ... 13 Kebijakan Publik ... 14

Aktor dan Pelaku Pembuat Kebijakan ... 17

Lingkungan Publik... 17

Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Publik ... 19

Proses Pembuatan Kebijakan ... 21

Implementasi Kebijakan ... 26

Kebijakan Pengelolaan Cendana Di Propinsi Nusa Tenggara Timur. .. 28

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat ... 37

Faktor-faktor Yang Berpengaruh Dalam Pengelolaan Cendana ... 39

Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani ... 40

METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 43

Metode Penelitian ... 43

Teknik Pengumpulan Data ... 43

Analisis Data ... 46

Definisi Operasional ... 57

KEADAAN UMUM LOKASI Geografi ... 59

Iklim dan Hidrologi ... 60

Penduduk dan Tenaga Kerja ... 61

Pendidikan ... 61

Penggunaan Lahan ... 61

Pertanian dan Kehutanan ... 62

Perkembangan Cendana di Kabupaten TTS ... 63

Deskrispsi Desa Contoh ... 68

Deskripsi Responden Yang Memiliki Cendana dan Tidak Memiliki Cendana ... 70

(20)

Karakteristik Ekonomi Rumahtangga Petani Cendana ... 72

HASIL DAN PEMBAHASAN Sosialisasi dan implementasi Perda Kabupaten TTS No 25 Tahun 2001 79 Faktor-faktor yang Berpengaruh Dalam pengelolaan Cendana 1. Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepemilikan Cendana 81 2. Analisis Pendapatan Rumahtangga Petani ... 84

3. Analisis Pendapatan Petani Secara Umum ... 88

4. Analisis Ekonomi Rumahtangga Petani Cendana ... 91

Proses Pembuatan Kebijakan 1. Analisis Isi Kebijakan ... 101

2. Analisis Proses Pembuatan Kebijakan ... 108

Strategi Kebijakan Pengelolaan Cendana di Kabupaten TTS ... 123

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 129

Saran ... 130

DAFTAR PUSTAKA ... 133

(21)

Nomor Halaman

1. Tahapan proses pembuatan kebijakan ... 21

2. Hasil inventarisasi cendana di Provinsi NTT tahun 1965 – 1998 ... 28

3. Produksi cendana Pelita I - VI Tahun 1969 - 1996 ... 29

4. Kontribusi cendana terhadap PAD NTT tahun 1986 s/d 2000 ... 30

5. Produksi kayu cendana di Provinsi NTT 1999 – 2008 ... 31

6. Variabel yang berpengaruh, defenisi operasional, parameter pengukuran dan keterangan penilaian yang digunakan dalam Model Logit ... 47

7. Variabel yang berpengaruh terhadap pendapatan rumahtangga petani cendana, defenisi operasional, parameter pengukuran dan keterangan penilaian ... 48

8. Variabel yang berpengaruh terhadap pendapatan rumahtangga petani secara umum, defenisi operasional, parameter pengukuran dan keterangan penilaian ... 49

9. Penggunaan lahan di Kabupaten TTS... 62

10. Luas panen dan produksi tanaman pangan di Kabupaten TTS... 62

11. Luas kawasan hutan menurut pola tata guna lahan di Kabupaten TTS 63 12. Perbandingan hasil inventarisasi cendana di Kabupaten TTS Tahun 1975 -2008 ... 63

13. Luas areal penanaman cendana di Provinsi NTT ... 64

14. Produksi cendana di Kabupaten TTS ... 65

15. Kontribusi cendana terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten TTS ... 66

16. Luas dan jumlah penduduk pada tiga desa penelitian di Kecamatan Amanuban Barat ... 68

17. Tingkat pendidikan pada tiga desa penelitian di Kecamatan Amanuban Barat ... 69

18. Mata pencaharian tiga desa penelitian di Kecamatan Amanuban Barat ... 69

19. Karakteristik rumahtangga petani rata-rata berdasarkan kepemilikan Cendana ... 70

20. Karakteristik rumahtangga petani berdasarkan luas, kepemilikan dan jarak lahan ... 71

(22)

21. Karakteristik rumahtangga petani berdasarkan mata pencaharian ... 71 22. Umur petani pada lokasi penelitian ... 72 23. Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan formal ... 73 24. Alokasi kerja rata-rata anggota rumatangga pada usahatani dalam

setahun... 74 25. Alokasi kerja rata-rata anggota rumatangga ke luar usahatani

dalam setahun ... 75 26. Rata-rata pendapatan rumahtangga petani cendana ... 76 27. Rata-rata pengeluaran rumahtangga petani cendana ... 77 28. Faktor-faktor yang mempengaruhi responden memiliki

dan tidak memiliki cendana ... 82 29. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga

petani cendana ... 84 30. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani

secara umum... 88 31. Hasil pendugaan parameter persamaan alokasitenaga kerja keluarga

pada usaha cendana ... 92 32. Hasil pendugaan parameter persamaan alokasitenaga kerja keluarga

di luar usaha cendana ... 94 33. Hasil pendugaan parameter persamaan produksi usaha cendana ... 95 34. Hasil pendugaaan parameter persamaan total pendapatan

rumahtangga ... 97 35. Hasil pendugaaan parameter persamaan konsumsi total ... 99 36. Bagi hasil cendana berdasarkan Perda Provinsi NTT ... 103 37. Hak-hak terikat berdasarkan posisi kelompok masyarakat ... 104 38. Ringkasan analisis proses pembuatan perda cendana ... 122

(23)

Nomor Halaman 1. Kerangka pikir analisis pembuatan dan implementasi kebijakan ... 10 2. Kerangka pemikiran penelitian ... 11 3. Tiga unsur kebijakan ... 14 4. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah ... 20 5. Analisis Proses Pembuatan Kebijakan oleh IDS ... 56 6. Lokasi penelitian ... 60 7. Lokasi areal penanaman cendana Bapak Ronny Liy di Desa Tublopo 174 8. Pohon cendana di pekarangan rumah Ibu Wilhelmina Mince dan

terubusan cendana di pekarangan Bapak Elias Tauho di Desa

Tublopo ... 174 9. Tanaman cendana di lahan Bapak Daniel Lette di Desa Mnelalete ... 175 10. Pohon cendana di lahan Bapak Zem Sae di Desa Mnelalete ... 175 11. Suasana diskusi dengan responden bersama Kepala Desa Pusu Bapak

Sebulan Taenono ... 176 12. Tanaman cendana pada lahan Bapak Alek Se‟U dan Bapak Melan

(24)
(25)

Nomor Halaman 1. Hasil olah data regresi logistik (Model Logit) ... 141 2. Data responden dalam peluang kepemilikan cendana di lokasi penelitian 145 3. Data responden yang memiliki cendana ... 147 4. Data responden yang tidak memiliki cendana ... 148 5. Data responden secara umum ... 149 6. Analisis regresi pendapatan rumahtangga petani cendana... 151 7. Analisis regresi pendapatan rumahtangga petani secara umum ... 152 8. Program dan hasil pendugaan model ekonomi rumahtangga

petani cendana ... 153 9. Peubah-peubah dalam analisis ekonomi rumahtangga petani ... 161 10. Daftar pertanyaan peluang kepemilikan cendana ... 163 11. Daftar pertanyaan analisis ekonomi rumahtangga petani cendana ... 168 12. Panduan pertanyaan Penelitian Kebijakan... 172 13. Gambar tanaman cendana kegiatan di lokasi penelitian ... 174

(26)
(27)

Latar Belakang

Cendana (Santalum album L.) merupakan tumbuhan endemik/asli dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan terkenal sebagai komoditi yang mahal dan mewah. Cendana di NTT merupakan jenis cendana yang terbaik di dunia yang menghasilkan minyak cendana dengan kadar santalol yang tinggi dibandingkan jenis cendana yang terdapat di negara penghasil cendana lainnya seperti Australia, India, Selandia Baru dan Fiji (Agusta & Jamal 2000). Kebutuhan minyak cendana dunia sekitar 200 ton per tahun. Mayoritas kebutuhan tersebut disuplai dari India (50%). Indonesia, Australia, Kaledonia Baru dan Fiji menyuplai sekitar 20 ton, sehingga masih kekurangan sekitar 80 ton per tahun. Minyak cendana banyak diekspor ke Eropa, Amerika, China, Hongkong, Korea, Taiwan dan Jepang (Dephut 2009). Dengan demikian, cendana memiliki nilai ekonomi yang kompetitif baik di dalam maupun di luar negeri.

Cendana pernah memberikan kontribusi bagi perekonomian khususnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi NTT. Kontribusi cendana terhadap PAD tahun 1990-1997 berkisar 14 - 37%. Rata-rata kontribusi cendana terhadap PAD Propinsi NTT sebesar 22.61% atau sebesar Rp4 071 925 588.00 (BanoEt 2000). Tahun 2000 terjadi perubahan drastis di mana cendana tidak memberikan kontribusi terhadap PAD atau 0% (Darmokusumo et al. 2000). Penyebab penurunan produksi cendana adalah kebijakan pengelolaan cendana melalui berbagai peraturan daerah (Perda). Penyebab utama penurunan produksi cendana di NTT adalah kesalahan pengelolaan pada masa lalu yang mengutamakan aspek ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian (ekologi) dan aspek sosial (Butar-butar & Faah 2008; Sirait 2005; Rahayu et al. 2002; Darmokusumo et al. 2000).

Pemerintah melakukan eksploitasi cendana di NTT sejak tahun 1969–1999 yang diikuti dengan berbagai peraturan daerah tentang cendana. Umumnya isi dari peraturan-peraturan daerah yaitu tentang fee, pajak, sangsi-sangsi bagi masyarakat yang mengganggu tanaman cendana di lapangan dan penguasaan pemerintah terhadap cendana yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan negara.

(28)

Peraturan yang sangat merugikan bagi masyarakat dan membuat masyarakat trauma atau apatis terhadap cendana sampai sekarang adalah Perda Propinsi NTT No. 16 Tahun 1986 tentang Cendana yang menyatakan bahwa cendana yang tumbuh secara alami di dalam maupun di luar kawasan hutan termasuk di lahan milik dikuasai oleh pemerintah melalui Dinas Kehutanan Propinsi, dan untuk pembagian hasil penjualan cendana di lahan milik tercantum 85% untuk pemda dan 15% untuk masyarakat.

Pendapatan daerah yang berkurang, penurunan populasi dan kualitas cendana di alam serta peraturan perundangan yang lebih tinggi menyebabkan pemerintah Propinsi NTT mencabut Perda No. 16 Tahun 1986 melalui Perda Propinsi No. 2 Tahun 1999 yang dikeluarkan pada tanggal 26 Maret 1999. Perda ini merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 62 Tahun 1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan ke daerah. Pengelolaan cendana selanjutnya diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota masing-masing untuk menghindari kepunahan cendana di alam. Keberadaan cendana di NTT termasuk dalam daftar tumbuhan langka dengan kategori rawan (vulnerable) yang berarti beresiko tinggi mengalami kepunahan di alam (IUCN 2010). Sedangkan menurut CITES cendana dimasukkan ke dalam Appendix II (WWF Indonesia 2008).

Menindaklanjuti pencabutan perda di atas dan dalam rangka otonomi daerah, Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) yang pernah menjadi daerah sentra produksi cendana terbesar untuk Pulau Timor, mengeluarkan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana. Isi Perda antara lain tentang pengakuan kepemilikan atas cendana yang berada dalam lahan milik masyarakat/kelompok dan kebebasan masyarakat untuk menjual cendana secara bebas dengan pembagian hasil penjualan 90% untuk masyarakat dan 10% untuk pemerintah. Penelitian terakhir di Kabupaten TTS oleh Rahardjo dan Oematan (2008) menunjukkan bahwa 45 responden masih memiliki tanaman cendana tetapi sebagian masih memiliki keengganan dalam pengelolaan cendana dan pemahaman masyarakat terhadap perubahan Perda tentang cendana masih sangat rendah.

(29)

Sirait (2005) menyatakan bahwa hanya 5 responden atau 4 % dari seluruh responden yang melakukan penanaman cendana, tidak terdapat produksi kayu cendana pada masyarakat dan pengusaha/pengrajin tidak lagi mendapatkan pasokan bahan baku kayu cendana secara resmi. Data BPS Kabupaten TTS (2008) menunjukkan penurunan produksi cendana yaitu tahun 2002 sebanyak 148.39 ton menjadi 33.5 ton pada tahun 2008. Kontribusi cendana terhadap PAD Kabupaten TTS tahun 2003-2009 masih rendah yaitu rata-rata 0.26% atau Rp61 354 567/tahun (DPPKAD 2009). Penurunan produksi cendana menunjukkan keberadaan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana belum memberikan stimulus perubahan sikap dan tindakan dari masyarakat untuk mengembangkan tanaman cendana.

Pengelolaan cendana di beberapa negara yang menjadi produsen cendana pernah mengalami pasang surutnya produksi cendana seperti yang dialami Kabupaten TTS atau Propinsi Nusa Tenggara Timur secara umum. Namun pemerintah di negara lain secara cepat melakukan perubahan kebijakan dalam pengelolaan cendana. Produksi cendana di India mulai menurun dari 4.000 ton pada tahun 1950, 2000 ton tahun 1990 dan menjadi 1000 ton tahun 2000. Perkiraan produksi cendana di India akan habis pada tahun 2008 (Awasthi 2007). Khawatir kehilangan pasar global minyak cendana, Propinsi Kartanaka di India sudah melakukan perubahan kebijakan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat dan perusahaan dalam pengembangan cendana pada tahun 2001 dan diikuti oleh Propinsi Tamilnadu pada tahun 2002. Tahun 2006, Pemerintah India secara global melakukan kebijakan perubahan dalam bentuk Pengakuan Kepemilikan Hutan: Scheduled Tribes and Other Tradisonal Forest Dweller Act yaitu pengakuan kepemilikan hutan adat/masyarakat adat termasuk produk yang berada di dalamnya untuk pemanenan, pengumpulan dan penggunaannya (FAO 2009).

Australia juga melakukan hal yang sama dalam perubahan kebijakannya dengan memberikan peluang kepada investor/perusahaan dan masyarakat dalam pengembangan cendana (FAO 2009; Ghose & David 2007). Pengembangan cendana di Australia sudah dilakukan tahun 1970–1976 dalam bentuk penelitian. Keberhasilan penanaman cendana oleh lembaga penelitian, menarik perhatian

(30)

sektor swasta dan masyarakat dengan membangun forest farm sandalwood dalam luasan kecil sampai ratusan hektar.

Forest farm adalah istilah yang digunakan di Australia Utara dan Australia Barat untuk hutan tanaman yang dikembangkan di lahan milik (Kusdamayanti 2005). Australia sudah memiliki luasan 830 ha pada tahun 2001 cendana, dan akan ditingkatkan menjadi 2.300 ha pada tahun 2011 (Awasthi 2007). Saat ini, India sudah mengimpor cendana dari Australia untuk pemenuhan kebutuhan industri minyak cendana. Target pemerintah Australia adalah menjadi produsen cendana terbesar di dunia untuk masa akan datang. Hal yang sama juga dilakukan di negara produsen lain seperti New Kaledonia, Fiji, Tonga, Vanuatu dan Queensland, saat ini sedang menggalakan pengembangan cendana (Robson 2004).

Perumusan Masalah

Analisis kebijakan adalah suatu analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat memberikan landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Dunn 2004). Perumusan masalah dilakukan melalui empat fase yaitu pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem specification) dan pengenalan masalah (problem sensing).

Kebijakan pemerintah Kabupaten TTS mengeluarkan Perda No. 25 Tahun 2001 tentang cendana terbukti belum menjawab permasalahan yang terjadi di lapangan karena perda tersebut sekedar menindaklanjuti peraturan sebelumnya. Permasalahan pengelolaan cendana yang mementingkan aspek ekonomi tanpa melibatkan masyarakat/lembaga adat yang sudah ada sebelumnya (aspek sosial) menyebabkan berkurangnya populasi cendana di alam (aspek ekologis). 999Pengakuan secara hukum atas hak kepemilikan dan penjualan atas cendana di lahan milik yang tercantum dalam Perda No. 25 Tahun 2001, terbukti belum dapat merubah sikap dan perilaku masyarakat di Kabupaten TTS untuk mengembangkan cendana. Tingkat keberhasilan pengelolaan cendana yang rendah di Kabupaten TTS disebabkan kurangnya sosialisasi dan implementasi perubahan Perda tentang cendana (Rahardjo & Faah 2008; Harisetijono 2003; Rahayu et al. 2002) dan belum efektifnya Perda No. 25 Tahun 2001 sebagai dasar hukum dalam pengelolaan cendana (Sirait 2005).

(31)

Kebijakan yang tepat dan efektif adalah kebijakan yang dapat merubah perilaku/respon masyarakat. Kebijakan yang efektif memerlukan pengkajian yang dalam tentang masalah yang terjadi di lapangan, informasi yang lengkap tentang karakteristik SDA dan pengetahuan yang relevan. Lebih lanjut dikatakan bahwa efektifitas implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan dirumuskan atas dasar masalah yang tepat serta terdapat kemampuan menjalankan solusinya di lapangan (Dunn 2004).

Permasalahan tersebut di atas disebabkan belum berubahnya orientasi/arah kebijakan pemda yang memandang pengelolaan cendana hanya dari sisi fisik kayu belum memperhatikan subyek yang diatur yaitu swasta, individu, kelompok masyarakat, dan lingkungan, serta peraturan perundangan masih menjadi instrumen yang dominan bahkan tunggal. Kedua hal ini terjadi akibat adanya narasi kebijakan dan diskursus yang menjadi kebijakan konvensional politik dan tidak sejalan dengan masalah yang terjadi di lapangan (Kartodihardjo 2006b).

Pembangunan suatu daerah akan menimbulkan suatu permasalahan jika hasil pembangunan yang dicapai tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan yang diharapkan. Kerusakan sumberdaya alam di beberapa negara disebabkan belum berubahnya orientasi atau arah kebijakan secara mendasar yaitu pengelolaan sumberdaya alam secara komprehensif serta aturan main dan instrumen dalam kelembagaan belum diikuti dengan pembaharuan landasan filosofi dan kerangka pikir berdasarkan karakteristik sumber daya alam (Diamond 2005 dalam Kartodihardjo 2006b).

Pola pengelolaan sumberdaya alam yang lestari harus menempatkan sumberdaya tersebut sebagai subjek dan obyek pembangunan regional maupun nasional secara menyeluruh dan berkelanjutan. Pembangunan di suatu daerah merupakan suatu optimasi pemanfaatan sumberdaya alam yang ada untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam tersebut sehingga dapat dinikmati generasi sekarang dan yang akan datang.

(32)

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan pokok yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah :

a. Sejauhmana tingkat pemahaman masyarakat terhadap perubahan Perda tentang cendana dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh di masyarakat dalam pengelolaan cendana,

b. Apa dan bagaimana proses pembuatan dan pencabutan Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 tentang cendana serta proses pembuatan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana, dan

c. Apa dan bagaimana kebijakan yang mampu mengatasi permasalahan pengelolaan cendana di Kabupaten TTS.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah melakukan verifikasi faktor penyebab permasalahan pengelolaan cendana dan mengetahui proses pembuatan kebijakan yang mengatur pengelolaan cendana di Kabupaten TTS. Untuk mencapai tujuan dimaksud, diperlukan beberapa kajian sebagai berikut:

1. Melakukan verifikasi terhadap penyebab permasalahan cendana yaitu:

a. Pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap perubahan Perda tentang cendana.

b. Keterlibatan masyarakat dan lembaga adat dalam perencanaan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan tentang cendana.

c. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepemilikan cendana dan perilaku ekonomi rumahtangga dalam pengelolaan cendana.

2. Mengetahui proses pembuatan dan pencabutan Perda Provinsi NTT No. 16 Tahun 1986 tentang cendana serta proses pembuatan Perda Kabupaten TTS No. 25 Tahun 2001 tentang cendana.

3. Membuat rekomendasi kebijakan untuk mengatasi pengelolaan cendana di Kabupaten TTS dalam rangka mencapai pengelolaan cendana yang lestari.

(33)

Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna:

1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten TTS dan Kabupaten lainnya di Propinsi NTT, dalam penyempurnaan aturan /kebijakan pengelolaan cendana yang lestari pada masa datang.

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi masyarakat dan swasta/dunia usaha/stakeholder yang tertarik dalam pengelolaan cendana secara lestari.

3. Memberikan kontribusi pemikiran ilmiah dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang pengelolaan cendana yang lestari.

4. Untuk mengembalikan identitas Propinsi NTT sebagai penghasil cendana

(pulau cendana) dan dalam rangka mempertahankan keragaman jenis

hayati (biodiversity) di dunia.

Kerangka Pemikiran

Kebijakan pengelolaan cendana di Kabupaten TTS melalui Perda No. 25 Tahun 2001 sampai sekarang belum menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan cendana baik di lahan milik maupun di kawasan hutan negara. Kebijakan sebelumnya (Perda Propinsi No. 16 Tahun 1986) yang lebih mementingkan aspek ekonomi dari cendana terhadap PAD yang tidak melibatkan masyarakat/lembaga adat dalam pengelolaan cendana berdampak pada menurunnya keberadaan populasi cendana di alam. Pengembangan cendana juga masih terkendala dengan sikap masyarakat yang sampai sekarang masih trauma dan apatis terhadap cendana.

Penurunan cendana baik kuantitas dan kualitas menyebabkan beberapa industri kerajinan dan pabrik penyulingan minyak cendana di Propinsi NTT mengalami kekurangan bahan baku. Beberapa industri dan kerajinan cendana saat ini sudah tidak berproduksi disebabkan kekurangan cendana sebagai bahan baku utama. Sebaliknya, keberadaan industri kerajinan dan pabrik penyulingan minyak secara tidak langsung dapat memberikan masukan terhadap PAD, lapangan usaha

(34)

dan tambahan pendapatan bagi masyarakat. Data tentang besarnya pendapatan dari usaha tersebut belum diketahui secara langsung.

Berbagai permasalahan dalam pengelolaan cendana perlu diketahui dengan melakukan identifikasi masalah-masalah yang menjadi kendala dalam pengembangan cendana di Kabupaten TTS pasca dikeluarkannya Perda No. 25 Tahun 2001 tentang cendana. Kajian beberapa literatur menyatakan bahwa permasalahan cendana disebabkan kurangnya sosialisasi dan implementasi perubahan perda tentang cendana (Butar-Butar & Faah 2008; Harisetijono 2003; Rahayu dkk. 2002) dan belum efektifnya Perda No. 25 Tahun 2001 sebagai dasar hukum dalam pengelolaan cendana (Sirait 2005).

Analisis kebijakan secara kuantitatif dilakukan melalui analisis di tingkat rumahtangga petani untuk mengetahui faktor-faktor sosial ekonomi, budaya dan kebijakan yang mempengaruhi masyarakat memiliki dan tidak memiliki cendana serta perilaku ekonomi rumahtangga petani yang memiliki cendana.

Rumahtangga petani (Farm Household) adalah satu unit kelembagaan yang setiap saat mengambil keputusan produksi pertanian, konsumsi, curahan waktu, tenaga kerja dan reproduksi. Pola perilaku rumahtangga dalam aktivitasnya dapat bersifat subsisten, semi-komersial sampai berorientasi pasar. Sesuai prinsip ekonomi, rumahtangga petani dalam mengalokasikan sumberdaya umumnya bertindak rasional, mengkonsumsi barang dan jasa untuk memaksimumkan utilitas, serta sebagai produsen akan memaksimumkan keuntungan, seperti layaknya sebuah perusahaan dalam skala besar (Purwita 2009).

Analisis kebijakan secara kualitatif dilakukan dengan pendekatan proses pembuatan kebijakan dengan mengkaji bagaimana proses pembuatan kebijakan seperti yang dikembangkan Institute of Development Studies (IDS): proses non_linier untuk melihat bagaimana narasi/diskursus, aktor dan kepentingan-kepentingan oleh orang atau kelompok tertentu (IDS 2006). Pendekatan tersebut menyakini bahwa penetapan masalah serta solusi tertentu seringkali melibatkan berbagai kepentingan, kerangka pikir dan aktor/jaringan. Pemahaman tentang bagaimana proses pembuatan dan implementasi kebijakan berlangsung, setiap pihak diharapkan dapat menjalankan suatu agenda untuk melakukan intervensi yang sesuai. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemisahan antara masukan yang

(35)

berdasarkan pandangan keilmuan dengan ide yang didasarkan kepentingan politik (Lackey 2007 dalam Kartodihardjo 2008). Untuk melihat hubungan proses pembuatan dan implementasi suatu kebijakan dan mengetahui di mana upaya memperbaiki suatu kebijakan dalam penelitian ini akan mengacu pada konsep yang dikembangkan Baginski dan Soussan (2002) pada Gambar 1.

Pengkajian kebijakan pengelolaan cendana di Kabupaten TTS dilakukan dengan pendekatan proses pembuatan kebijakan dan implementasinya serta didukung dengan analisis faktor-faktor sosial ekonomi dan budaya rumahtangga petani untuk mendapatkan faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan dalam rangka pembaharuan kebijakan pengelolaan cendana di masa depan. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh alternatif kebijakan pengelolaan cendana yang optimal dan lestari di Kabupaten TTS.

(36)
(37)

Aspek Ekonomi Aspek Sosial Aspek Ekologi

Identifikasi Masalah Kebijakan

Populasi cendana menurun: Kurang bahan baku industri kerajinan & pabrik

penyulingan minyak cendana PAD Lapangan usaha Pendapatan masyarakat Analisis Kebijakan Faktor Kepemilikan Cendana dan Perilaku

Ekonomi RT Petani Proses Pembuatan dan Implementasi Kebijakan Rekomendasi masalah kebijakan Pengelolaan cendana yang lestari

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian Kebijakan Pengelolaan Cendana (Perda Propinsi No.16 Thn 1986 dan

Perda Kabupaten TTS No. 25 Thn 2001

Trauma & peran masyarakat/adat Nilai2 budaya 1. Diskursus/narasi, Aktor dan Kepentingan 2. Faktor-faktor Yang Berpengaruh

(38)
(39)

Analisis Kebijakan

Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan keputusan. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan juga berorientasi kepada tindakan (action-oriented), sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan (Suharto 2006). Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan bagi para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (Dunn 2004).

Lebih lanjut Dunn (2004) menyatakan analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan dan dalam proses pembuatan kebijakan. Pengetahuan kebijakan tentang proses pembuatan kebijakan dilakukan dengan menganalisis tentang sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik. Hal ini dapat tercapai jika pengetahuan tentang kebijakan dikaitkan dengan pengetahuan dalam proses kebijakan, anggota-anggota badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif bersama dengan warga negara yang memiliki peranan dalam keputusan publik, dapat menggunakan hasil-hasil analisis kebijakan untuk memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya. Efektifitas pembuatan kebijakan tergantung pada akses terhadap stok pengetahuan yang tersedia, komunikasi, dan penggunaan analisis kebijakan menjadi penting sekali dalam praktek dan teori pembuatan kebijakan publik.

Analisis kebijakan lebih fokus kepada bagaimana pengambil keputusan mendapatkan sejumlah alternatif kebijakan yang terbaik, sekaligus alternatif yang terpilih sebagai rekomendasi dari analisis kebijakan atau tim analisis kebijakan. Peran analisis kebijakan adalah memastikan bahwa kebijakan yang hendak diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh publik, dan bukan asal menguntungkan pengambil kebijakan.

Analisis kebijakan adalah salah satu di antara sejumlah banyak faktor dalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola

(40)

institusional di mana kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara 3 unsur yaitu: kebijakan publik, pelaku publik dan lingkungan publik. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Berikut tiga unsur dalam sistem kebijakan.

Gambar 3 Tiga Unsur Kebijakan (Thomas R Dye dalam Dunn 2004) Hubungan antara komponen-komponen informasi kebijakan dan metode-metode analisis-kebijakan memberi landasan untuk membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan: a) analisis prospektif, merupakan analisis yang dilakukan sebelum aksi kebijakan dimulai; b) analisis retrospektif, merupakan analisis yang dilakukan sesudah aksi kebijakan dilakukan dan c) analisis terintegrasi, merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan penciptaan informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil (Dunn 2004).

Analisis kebijakan terintegrasi tidak hanya mengkaitkan tahapan retrospketif dan prospektif, tetapi menuntut para analis secara terus menerus menghasilkan dan menstransformasikan informasi setiap saat. Artinya analisis terintegrasi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus menerus sepanjang waktu. Dengan demikian, analisis yang terintegrasi merupakan multidisiplin karena dibangun atas kekuatan disiplin yang menspesialisasikan pada analisis perspektif (seperti ekonomi, teknik sistem, riset operasi), dan yang menekankan pada analis retrospektif (seperti ilmu politik, sosiologi, dan hukum).

Kebijakan Publik

Kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah (Dunn 2004). Kebijakan publik merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan oleh „otoritas” dalam sistem politik yaitu para

Pelaku Publik

(41)

senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan sebagainya (Easton 1965 dalam Agustino 2008).

Seorang analis kebijakan R.S Parker (1975) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu obyek atau sebagai respon terhadap suatu keadaan yang krisis (Wahab 2008). Sebagai suatu peraturan, kebijakan publik mempunyai karakteristik yang satu dengan lainnya saling mendukung. Karakteristik dimaksud adalah:

a. Kebijakan bersifat ganda (berantai), tidak berdiri sendiri secara tunggal. b. Kebijakan yang satu terkait dengan kebijakan yang lain yang merupakan mata

rantai berkesinambungan.

c. Kebijakan harus didukung oleh suatu sistem. Kegagalan suatu sistem politik akan berpengaruh terhadap suatu kebijakan pemerintah.

d. Kebijakan harus dapat mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang

almost possible menjadi possible. Kebijakan harus dapat mengubah yang

hampir mungkin menjadi mungkin.

e. Kebijakan yang baik harus didukung dengan informasi yang lengkap dan akurat. Informasi yang tidak lengkap dan akurat akan mengakibatkan salah pandang dan salah penafsiran dalam mengaplikasikan suatu kebijakan.

Pada prinsipnya ketika kebijakan diluncurkan, maka kebijakan tersebut harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap kondisi semula. Oleh karena itu perlu adanya ukuran efektifitas dari kebijakan itu. Yang diperlukan dalam pengukuran efektifitas suatu kebijakan adalah:

a. Efesien, artinya kebijakan harus dapat meningkatkan efesiensi kondisi sekarang dibanding kondisi yang lalu.

b. Fair, artinya adil yaitu bahwa kebijakan harus dapat ditempatkan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

c. Insentif, artinya bahwa kebijakan yang diambil harus dapat memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk dapat melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan yang diputuskan.

(42)

d. Enforceability, artinya mempunyai kekuatan untuk menegakkan hukum. Kebijakan tidak akan berjalan efektif apabila kondisi penegakan hukum yang lemah (poor law enforcement).

e. Public acceptability, artinya dapat diterima oleh masyarakat. f. Moral, artinya bahwa kebijakan harus dilandasi dengan etika.

Beberapa pokok pikiran yang perlu dipertimbangkan dalam pembahasan kebijakan kehutanan dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Mengembangkan iklim berusaha serta kehidupan bermasyarakat yang memperhatikan dan peduli terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Langkah ini sangat jelas berhubungan dengan insentif dan disentif ekonomi, peran serta masyarakat dan penegakan hukum dalam rangkaian kebijakan tataguna lahan serta pengelolaan sumberdaya alam, kehutanan, dan daerah aliran sungai. Alokasi lahan yang secara de facto mengakui tanah adat dan lahan masyarakat harus ditegakkan.

b. Kepedulian dan sense of possession dari masyarakat terhadap situasi negatif, akan tumbuh jika terdapat pengakuan masyarakat. Demikian pula, luas unit usaha dalam kebijakan tataguna lahan harus disesuaikan dengan resiko yang terjadi dan degradasi sumberdaya alam lainnya. Sistem insentif dan disentif bagi pengelola hutan harus ditegakkan, sehingga apabila terjadi kerusakan lahan, para pemilik konsesi dan masyarakat ikut merasakan dan bertanggungjawab.

c. Memperbaiki penegakan hukum dan kebijakan di tingkat pemerintah daerah dan pusat. Disamping itu, masyarakat adat dan masyarakat lainnya harus secara luas dapat melakukan kontrol (dan penuntutan hukum) atas kelalaian pemerintah dalam penanggulangan bencana sumberdaya alam dan kehutanan serta degradasi alam lainnya.

d. Meningkatkan porsi dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam berbagai urusan yang berhubungan dengan perencanaan, implementasi, dan kontrol terhadap kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan kehutanan. Hal ini sebenarnya sangat relevan dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang saat ini sedang digalakkan, walaupun kita tidak harus berharap banyak terhadap paket kebijakan desentralisasi, karena kemungkinan untuk

(43)

terjadinya kesalahan pengelolaan (mismanajemen), masih cukup besar sehingga tragedi lama mungkin terjadi (Arifin 2001).

Aktor dan Pelaku Pembuat Kebijakan

Pelaku kebijakan adalah para individu atau kelompok yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Para pelaku kebijakan antara lain kelompok warga negara, perserikatan buruh, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih, dan para analis kebijakan (Dunn 2004). Pejabat pembuat kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk ikut dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik, walau dalam kenyataannya beberapa orang yang mempunyai wewenang untuk bertindak dikendalikan oleh orang lain, seperti pimpinan partai politik atau kelompok penekan (Agustino 2008).

Yang termasuk dalam pembuat kebijakan secara normatif adalah legislatif, eksekutif, administrator, dan para hakim (Agustino 2008). Masing-masing mempunyai tugas dalam pembuatan kebijakan yang relatif berbeda dengan lembaga lainnya. Selain lembaga-lembaga tersebut di atas yang secara formal membuat kebijakan publik, masih ada elemen lain yang berpartisipasi dalam proses kebijakan di antaranya kelompok kepentingan, partai politik, dan warganegara secara pribadi. Kelompok di atas dikenal sebagai partisipan non-pemerintah karena bagaimanapun elemen ini dianggap penting atau dominan dalam situasi yang berlainan, walau pada dasarnya kelompok ini tidak memiliki wewenang yang sah untuk membuat kebijakan.

Lingkungan Publik

Lingkungan kebijakan publik yaitu konteks khusus di mana kejadian-kejadian di sekelilig isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik (Dunn 2004). Kebijakan publik akan dibentuk dan membentuk lingkungan sekitarnya (sosial, politik, ekonomi maupun budaya). Suatu keadaan akan terjadi di mana kebijakan menyalurkan masukannya pada lingkungan sekitarnya, namun pada saat yang sama atau yang lain, lingkungan sekitar membatasi dan memaksakan pada perilaku yang harus dikerjakan oleh para pengambil keputusan/kebijakan. Artinya, interaksi antara lingkungan

(44)

kebijakan dan kegiatan kebijakan publik memiliki hubungan yang saling berpengaruh.

Pemahaman lingkungan kebijakan yang spesifik perlu ditingkatkan dengan pemaknaan yang plural, dalam tiga ketegori luas yaitu:

a. Lingkungan umum di luar pemerintahan dalam arti pola-pola yang melibatkan faktor-faktor sosial ekonomi, politik dan nilai-nilai tertentu

b. Lingkungan di dalam pemerintahan dalam arti institusional, seperti karakteristik birokrasi, sumberdaya yang dimiliki, sumberdaya finansial yang tersedia, dan sebagainya.

c. Lingkungan khusus yang mempengaruhi kebijakan.

Beberapa bentuk lingkungan yang mempengaruhi dapat dilihat dari sisi formulasi, implementasi, hingga evaluasi bahkan perubahan kebijakan publik seperti karakteristik geografis (sumber-sumber alam, iklim, topografi), variabel demografi (populasi masyarakat, persebaran usia, lokasi), budaya politik, sistem sosial, dan sistem ekonomi. Negara lain juga menjadi penting dalam struktur lingkungan kebijakan khususnya berkaitan dengan kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri.

Khusus untuk ilmuwan/studi kebijakan publik dan ilmuwan politik, lebih menitikberatkan pada pembahasan variabel kondisi budaya politik dan variabel sosial ekonomi. Kedua variabel di atas menjadi hal penting untuk memahami pengaruhnya terhadap kebijakan yang terjadi.

a. Kondisi dan Budaya Politik

Setiap masyarakat mempunyai kebiasaan, tradisi, dan budaya yang membedakan nilai serta perilaku anggota masyarakat dari yang lain. Budaya masyarakat pada umumnya dapat membentuk budaya politik, yang secara luas memberikan nilai, kepercayaan, dan sikap mengenai apa yang yang harus dilakukan oleh pemerintah dan bagaimana mereka harus menjalankan, serta hubungan antara warga negara dan pemerintah. Yang menjadi perhatian dalam budaya politik suatu negara adalah bagaimana suatu kebijakan publik diformulasi dan implementasikan dengan mengkaji kondisi dan budaya politik yang terjadi.

(45)

b. Kondisi Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi sangat sulit dipisahkan dalam proses formulasi kebijakan publik. Tingkat masyarakat dalam perkembangan ekonomi akan menentukan batasan yang dapat dikerjakan pemerintah dalam menyediakan barang-barang dan pelayanan publik kepada masyarakat. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap apa yang dikerjakan pemerintah dalam program kesejahteraan adalah sumber-sumber ekonomi yang dipakai.

Penelitian yang dilakukan Thomas R. Dye (1966) dengan mengikutsertakan analisis statistik mengenai output kebijakan di 50 negara, menunjukkan tingkat perkembangan ekonomi (dengan variabel: pendapatan perkapita, persentasi populasi urban, tingkat rata-rata pendidikan dan pekerjaan industri) mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kebijakan negara dalam hal pendidikan, kesejahteraan, jalan raya dan peraturan publik). Sedangkan variabel politik (partisipasi pemberi suara, persaingan antar partai, kekuatan partai politik dan pembagian legislatif) hanya mempunyai hubungan yang lemah (Agustino 2008).

Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Publik

Pemahaman dan penjelasan tentang proses pembuatan keputusan dilihat dengan beberapa pendekatan teoritis dalam sistem politik. Pendekatan teoritis sangat berguna untuk mempermudah cara berpikir kita dan memberikan saran yang mungkin bagi kegiatan politik atau khususnya dalam menganalisis masalah kebijakan publik.

Metodologi analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima macam pertanyaan: Apa hakekat permasalahan? Kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya? Seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah? Alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang diharapkan? Jawaban terhadap pertanyaan di atas membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa-depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan (Dunn 2004).

Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia: definisi, prediksi, preskripsi,

(46)

deskripsi, dan evaluasi seperti pada Gambar 4 (Dunn 2004). Prosedur-prosedur dalam analisis kebijakan memperoleh nama-nama khusus yaitu:

a. Perumusan masalah (definisi): menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan.

b. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu.

c. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah.

d. Pemantauam (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan.

e. Evaluasi, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah.

Kelima prosedur analisis kebijakan dapat dilihat pada gambar di bawah:

(47)

Proses Pembuatan Kebijakan

Analisis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik. Proses ini dapat divisualisasikan sebagai proses pembuatan kebijakan, yang memiliki lima tahap penting yaitu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan (Dunn 2004). Tahapan dan karakteristik pembuatan kebijakan di atas dapat dilihat pada Tabel 1. Perlu ditekankan bahwa analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir dari upaya memperbaiki proses pembuatan kebijakan.

Tabel 1 Tahapan proses pembuatan kebijakan

Tahapan Karakteristik

Penyusunan Agenda Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama Fomulasi Kebijakan Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan

untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif Adopsi Kebijakan Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan

dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan peradilan

Implementasi Kebijakan Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumberdaya finansial dan manusia

Penilaian Kebijakan Unit-unit pemeriksaan dan akuntasi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif, legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Sumber: Dunn (2004)

Perhatian yang sangat penting dalam proses pembuatan kebijakan adalah proses perumusan masalah publik pada tahapan penyusunan agenda publik. Perumusan permasalahan publik merupakan fundamen dasar dalam merumuskan kebijakan publik sehingga arahnya menjadi benar, tepat dan sesuai. Perumusan masalah menurut Dunn (2004) akan sangat membantu para analis kebijakan untuk menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis masalah publik, memetakan tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yang

(48)

berseberangan/bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan baru. Lebih lanjut dikatakan, dalam perumusan masalah terdapat fase-fase yang harus dilakukan secara hati-hati yaitu pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem defenision), spesifikasi masalah (problem

specification) dan pengenalan masalah (problem sensing). Hal terpenting lain

dalam pembuatan kebijakan selain merumuskan masalah adalah menemukan masalah publik yang dibedakan dengan masalah privat.

Masalah kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir tetapi dapat dicapai melalui tindakan publik (Dunn 2004). Ciri-ciri yang menonjol dari masalah kebijakan sebagai berikut: a. Saling ketergantungan dari masalah kebijakan, yang mengharuskan perlunya

pendekatan yang holistic.

b. Subyektifitas. Masalah merupakan elemen dari banyak situasi masalah yang diabstraksikan oleh analis. Hal yang sangat penting dalam analisis kebijakan yaitu membedakan situasi masalah dengan masalah kebijakan.

c. Sifat buatan dari masalah. Masalah kebijakan sebenarnya adalah apa yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

d. Dinamika masalah kebijakan, menjelaskan bahwa solusi terhadap masalah dapat menjadi usang meskipun barangkali masalah itu sendiri belum usang.

Proses pembuatan kebijakan berhubungan dengan didapatkannya persetujuan dari alternatif kebijakan yang dipilih. Proses ini dapat dipelajari sebagai suatu proses individual atau kolektif. Ada beberapa kriteria yang dapat mempengaruhi pilihan kebijakan yang bersifat individual manakala hendak diputuskan yaitu nilai (sosial, ekonomi, religius, politik, dan lain-lain), afiliasi pada partai politik, kepentingan para pemilih (konstituen), pendapat publik, dan perbedaan (Agustino 2008).

Untuk memahami formulasi kebijakan publik, menurut Thomas R. Dye (1995) dalam Agustino (2008) setidaknya ada sembilan model formulasi kebijakan yang banyak digunakan selama ini oleh negara/lembaga/institusi dalam menetapkan keputusannya, yaitu: model sistem, model elite, model institusional, model kelompok, model proses, model rasional, model inkremental, model pilihan

(49)

publik, dan model teori permainan. Penjelasan dari beberapa model formulasi kebijakan tersebut, yaitu:

a. Model proses: kebijakan publik sebagai suatu aktivitas yang menyertakan rangkaian-rangkaian kegiatan (yang berproses) yang berujung evaluasi kebijakan.

b. Model rasional. Prinsip dasar dari model rasional adalah bagaimana keputusan yang diambil oleh pemerintah harus sudah diperhitungkan rasionalitas cost and benefits-nya bagi warga masyarakat. Tahapan yang harus dilakukan yaitu: (1) mengetahui pilihan-pilhan dan kecenderungan yang diinginkan warga; (2) menemukan pilihan-pilihan kebijakan yang mungkin untuk diimplementasikan; (3) menilai konsekuensi masing-masing dari pilihan kebijakan; (4) menilai perbandingan perhitungan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian apabila kebijakan diimplementasikan; (5) memilih alternatif kebijakan yang efesien dan ekonomis. Model ini dikenal juga sebagai Model Rasional Komprehensif.

c. Model inkremental, merupakan model formulasi yang “melanjutkan” atau “memodifikasi” kebijakan yang tengah berlangsung ataupun kebijakan yang telah lalu. Model ini disebut juga sebagai Model Praktis.

d. Model pilihan publik menyatakan kebijakan yang dibuat pemerintah haruslah kebijakan yang memang berbasis pada publik, yang sesuai dengan konteks negara demokratis yang mengedepankan one man one vote. Kebijakan publik yang mayoritas merupakan rancang bangun teori kontrak sosial yang sangat tergantung pada preferensi publik atas pilihan-pilihan yang ada.

e. Model teori permainan (game theory). Kebijakan publik berada pada kompetisi yang sempurna, sehingga pengaturan strategi kebijakan yang ditawarkan pada pengambil keputusan lain dapat diterima, khususnya oleh para penentang. Tahapan dalam model teori permainan, pengaturan/pemilihan strategi menjadi hal yang paling utama.

Grindle dan Thomas (1990) dalam Kartodihardjo (2008) dan Sutton (1999) menyatakan proses pembuatan kebijakan selama ini menggunakan pendekatan rasional atau linier yaitu: mengenali dan merumuskan isu yang diperkirakan sebagai masalah, kesenjangan atau gap antara kondisi saat ini dan kondisi harapan

(50)

yang diinginkan, merumuskan tindakan untuk mengatasi masalah atau gap, memberi bobot terhadap alternatif tindakan dengan mengenali resiko dan hambatan yang mungkin terjadi, memilih tindakan, pelaksanaan kebijakan, serta evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan.

Asumsi yang digunakan dalam model linier adalah pembuat kebijakan melakukan pendekatan terhadap masalah secara rasional, melalui setiap tahapan proses dengan logis, dan mempertimbangkan dengan cermat dan hati-hati berbagai informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang dimaksudkan, maka kesalahan seringkali tidak diarahkan pada kebijakan itu sendiri, melainkan pada aspek kegagalan politik atau pengelolaan dalam implementasi kebijakan tersebut (Juma & Clark 1995 dalam Sutton 1999). Kegagalan dalam pelaksana kebijakan biasanya ditujukan pada lemahnya “political will”, keterbatasan sumberdaya (anggaran, sumberdaya manusia), dan manajemen.

Model pembuatan kebijakan menurut Sutton (1999) berdasarkan adanya berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan dikategorikan menjadi 4 macam, yaitu:

a. Model tahap demi tahap (incremental model). Suatu kebijakan menetapkan isu sebagai alternatif yang dianggap kritis dan tidak ada perubahan yang mendasar dalam perumusan kebijakan dengan kebijakan sebelumnya.

b. Kebijakan sebagai argumen. Suatu kebijakan yang baru merupakan argumen, yang dikembangkan melalui perdebatan antara pemerintah dengan pihak lain. Pihak-pihak yang terlibat melakukan klaim dan justifikasi terhadap sesuatu dan pihak lain menanggapi secara kritis. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi ide menampilkan posisi politik dan fakta sosial dari berbagai pandangan dan ideologi.

c. Kebijakan sebagai eksperimen sosial. Pembaharuan kebijakan memperhatikan perubahan sosial yang berjalan sebagai suatu trial dan error, melalui pembuktian sejumlah hipotesis yang diuji berdasarkan realitas. Model ini menggunakan pendekatan eksperimen ilmu-ilmu alam.

d. Kebijakan sebagai proses belajar secara interaktif (interactive learning). Kebijakan ini berakar dari kritik kebijakan pembangunan top down, dimana

(51)

kebijakan dibuat berdasarkan perpektif aktor secara terbatas oleh individu-individu, lembaga atau kelompok sosial yang mengendalikan dan menjalankan sistem pemerintahan. Pendekatan ini mempromosikan interaksi antara para pembuat kebijakan dan para pihak yang langsung terkena dampak kebijakan. Contohnya pendekatan partisipatoty rural appraisal (PRA).

IDS (2006) menjelaskan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut: 1) Proses pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik dan bukan semata-mata masalah teknis, 2) Proses pembuatan bersifat incremental (bertahap), iterative (berulang) dan experimental (uji coba), serta belajar dari kesalahan, 3) Selalu diwarnai kepentingan yang tumpang tindih dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga yang terabaikan, 4) Keputusan tidak tersendiri dan mempertimbangkan hal teknis, tetapi nilai dan fakta sangat berperan penting, 5) Implementasi melibatkan pertimbangan dan negoisasi oleh pelaksana di tingkat lapangan, 6) Para ahli teknis dan pembuat kebijakan secara bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan.

Penelitian yang dilakukan oleh IDS (2006) di beberapa negara menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan dalam prakteknya tidak mengikuti pendekatan rasional (non_linier) tersebut. Penetapan masalah serta solusi atas suatu fenomena tertentu seringkali melibatkan berbagai kepentingan, kerangka pikir (discourse/narrative) maupun aktor dan jaringan, sehingga tidak lagi dapat menggunakan kerangka pendekatan rasional. Studi kasus terhadap tiga perumusan kebijakan pemerintah di bidang kehutanan yang dilakukan Kartodihardjo (2008) menunjukkan hal yang sama bahwa para pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan menghadapi situasi ketidakpastian, berbagai skenario muncul dengan berbagai perspektif yang senantiasa bersaing satu sama lain.

Proses pembuatan kebijakan tidak terlepas dari adanya narasi-narasi yang telah terbangun. Narasi dibangun sebagai upaya mengatasi adanya interaksi dan proses oleh orang banyak yang kompleks yang menjadi karakteristik situasi pembangunan. Kegiatan pembangunan mempunyai sifat ketidak-pastian. Birokrat dan para pembuat kebijakan mengartikulasikan ketidak-pastian tersebut dengan membuat narasi dan skenario melalui sejumlah penyederhanaan. Beberapa kasus

Gambar

Gambar 2  Kerangka Pemikiran Penelitian Kebijakan  Pengelolaan Cendana   (Perda  Propinsi No.16 Thn 1986 dan
Gambar 3  Tiga Unsur Kebijakan (Thomas R Dye dalam Dunn  2004)  Hubungan  antara  komponen-komponen  informasi  kebijakan  dan   metode-metode  analisis-kebijakan  memberi  landasan  untuk  membedakan  tiga  bentuk  utama  analisis  kebijakan:  a)  analisi
Gambar 4  Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn 2004)
Tabel 1  Tahapan proses pembuatan kebijakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kenaikan harga bahan binaan di Malaysia dalam projek pembinaan rumah kos rendah telah menyebabkan pemaju ingin meningkatkan harga rumah kos rendah sehingga 15%

Penolakan dan kecaman dunia internasional terhadap program nuklir Korea Utara terutama anggota DK-PBB yang menyetujui lahirnya resolusi-resolusi yang berisikan sanksi-sanksi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pembelajaran menggunakan media rak bilangan dapat mencapai ketuntasan belajar, untuk mengetahui apakah pembelajaran

[r]

Apabila klien merasa prototype sistem yang telah dikembangkan sesuai dengan keinginannya maka prototype tersebut dapat digunakan, akan tetapi jika prototype tersebut

1. Dari analisa ragam data berpengaruh sangat nyata. Hal ini diduga karena media pemeliharaan dengan kadar salinitas yang cukup tinggi tidak efektif dalam

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan, bahwa hambatan dalam pelaksanaan pembelajaran Penjasorkes di SD se- Kecamatan Mertoyudan