PENGARUH LEADER MEMBER EXCHANGE (LMX)
TERHADAP EMPLOYEE VOICE BEHAVIOUR DENGAN
EMPLOYEE ENGAGEMENT SEBAGAI VARIABEL
MEDIATOR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Timotius Keifan Adi Prasetyo
129114153
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
“Sekalipun, aku berjalan dalam lembah kekelaman
Aku tidak takut bahaya. Sebab Engkau besertaku” Mazmur 23:4
Always take a chance because we never know what might
happen
And that chance not coming twice !
Its not important how you start the game,
but how you finishes it !
YOUR DREAM DOESN’T HAVE AN EXPIRATION
DATE.
TAKE A DEEP BREATH AND TRY AGAIN
.v
Terimakasih kuucapkan kepadamu Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat yang
selalu mengalir tiada henti disetiap hembusan nafasku.
Kepada ibuku Bunda Maria atas penyertaanMu selama ini dalam hidupku.
Dengan bangga dan perasaan penuh bahagia, kupersembahkan Skripsi ini kepada:
Kedua orangtuaku mama Betty dan Papa Willy yang dengan segenap kekuatan dan
jerih payah mereka, membimbing dan mendoakanku hingga aku dapat menjadi
seperti sekarang ini. Untuk adik-adikku Rika dan Angga yang selalu mendukung
dan juga selalu mendoakanku.
Kepada kekasihku , sahabat dan semua teman-teman seperjuanganku dan seluruh
pihak yang membantuku dalam menyelesaikan karya ilmiah ini. Tuhan selalu
vii
PENGARUH LEADER MEMBER EXCHANGE (LMX)
TERHADAPEMPLOYEE VOICE BEHAVIOUR DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT SEBAGAI VARIABEL MEDIATOR
Timotius Keifan Adi Prasetyo ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana pengaruh Leader-Member Exchange (LMX) terhadap voice behaviour pada karyawan dengan employee engagement sebagai variabel mediator. Penelitian ini memiliki tiga hipotesis minor dan satu hipotesis mayor. Hipotesis minor yang pertama, LMX memiliki pengaruh yang positif siginifikan terhadap voice behaviour. Kedua, LMX memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap employee engagement. Ketiga, employee engagement memiliki pengaruh yang positif signifikan terhadap voice behaviour dan hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah pengaruh LMX terhadap voice behaviour dapat dimediasi oleh employee engagement. Subjek dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 140 orang karyawan yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta di Pekanbaru, Riau. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Liden dan Masyln (1998) untuk LMX, Van Dyne et al (2003) untuk voice behaviour dan Saks (2006) untuk employee engagement. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah LMX sebesar 0.905, reliabilitas skala voice sebesar 0.841 dan reliabilitas skala engagement adalah sebesar 0.870. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis regresi sederhana dan causal step analysis yang dikembangkan oleh Baron dan Kenny (1986) untuk melihat efek mediasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa seluruh hipotesis dalam penelitian ini diterima. Diketahui nilai standardized coefficients (β) sebesar 0.533 untuk hubungan antara LMX dan voice behaviour, 0.683 untuk hubungan antara LMX dan employee engagement dan 0.578 untuk hubungan antara engagement dengan voice behaviour. Berdasarkan analisa yang dilakukan menggunakan causal step, diketahui engagement dapat memediasi pengaruh LMX terhaap voice dengan jenis mediasi yang terjadi adalah partial mediation.
viii
THE INFLUENCE OF LEADER MEMBER EXCHANGE (LMX) TOWARD EMPLOYEE VOICE BEHAVIOUR WITH EMPLOYEE ENGAGEMENT
AS A MEDIATING ROLE
Timotius Keifan Adi Prasetyo ABSTRACT
The purpose of this research was to know the influence of Leader-Member Exchange (LMX) toward employees voice behavior with employee engagement as the mediator variable. This research has three minor hypotheses and one major hypotheses. The first minor hypotheses is, LMX has a significant positive influence toward voice behavior. Second, LMX has a significant positive influence toward employee engagement. Third, employee engagement has a significant positive influence toward voice behavior and the major hypotheses in this research is the influence of LMX toward voice behavior can be mediated by employee engagement. The amount of subjects for this research is 140 nurses who work in a public hospital in Pekanbaru, Riau. The measurement tools that is used for this research is the scale that has been adapted from Liden and Masyln (1998) for LMX, Van Dyne et al (2003) for voice behavior and Saks (2006) for employee engagement. The measurement realibility in this research is 0.905 for LMX, 0.841 for voice and 0.870 for engagement. Hypotheses trial is done using simple regression analysis and causal step analysis which were improved by Baron and Kenny (1986) to see the mediation effect. The analysis result shows that all hypotheses in this research are accepted. It is known that the value of standardized coefficients (β) is 0.533 for the relationship between LMX and voice behavior, 0.683 for the relationship between LMX and employee engagement and 0.578 for the relationship between engagement and voice behaviour. Based on the analysis which is done using causel step, it is known that engagement can mediate the the influence of LMX toward voice behaviour using voice and the type of mediation which is done is partial mediation.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur sebesar besarnya dipanjatkan kepada Tuhan Yesus dan
Bunda Maria yang selalu menyertai dan membimbing sehingga proses penulisan
skripsi dapat berjalan dengan lancar dan baik. Meskipun banyak kesulitan yang
saya hadapi selama proses penulisan skripsi ini, tetapi pada akhirnya skripsi ini
dapat terselesaikan dengan tepat pada waktunya. Skripsi ini disusun dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi (S. Psi.).
Kelancaran dan kesuksesan dalam menyusun skripsi ini tidak terlepas dari peran
banyak pihak yang telah membantu dalam menghadapi kesulitan yang saya temui.
Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan rasa terimakasih saya yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Priyo Widiyanto, M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma
3. Suster Th. Dewi I. Gallang, F.CJ., selaku Dosen Pembimbing Akademik
saya yang selalu memberi masukan, semangat untuk menyelesaikan studi S1
saya selama di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
4. Bapak Minta Istono, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terimakasih
untuk bapak yang selalu berusaha meluangkan waktu di tengah
kesibukannya untuk membimbing, memberi saran, masukan dan selalu
xi
menyusun skripsi. Pak Minto juga selalu meyakinkan saya untuk bisa
menyelesaikan skripsi dengan tepat waktu meskipun banyak rintangan yang
saya temui. Terimakasih banyak ya pak Minto.
5. Mama Betty Krovan dan Bapak Willy Brordus, kedua orang tua saya yang
sangat saya cintai dan banggakan. Terimakasih banyak atas doa, dukungan
materi maupun psikoligis, cinta dan pelajaran hidup yang telah saya terima
selama ini. Saya mohon maaf karena belum banyak yang dapat saya berikan
untuk membalas kebaikan kalian. Semoga Tuhan selalu memberkati dan
melimpahkan berkat kebahagiaan yang tak terhingga untuk mama dan papa.
6. Kepada Maria Stella Kusuma Dewi dan Benediktus Angga, kedua adik yang
saya cintai. Terimakasih atas semangat dan keceriaan yang telah kalian
berikan untuk saya. Semoga kalian juga selalu semangat dalam menjalani
pendidikan sampai nanti sukses di kemudian hari.
7. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terimakasih
bapak dan ibu atas ilmu yang pernah dibagikan kepada saya selama saya
menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi USD ini.
8. Seluruh Staff dan Karyawan Psikologi USD yang telah sabar melayani dan
memberikan informasi selama saya berkuliah di Fakultas Psikologi USD ini.
9. Kepada Ibu Jeany dan Ibu Donna selaku Wakil Direktur dan Kepala Diklat
Rumah Sakit. Terimakasih banyak tante Jeany dan tante Donna karena telah
xii
data penelitian. Terimakasih juga atas semangat dan dukungannya kepada
saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi dengan tepat waktu.
10. Clara Christania Agha Sariri, sebagai teman, sahabat, adik sekaligus pacar
yang sangat saya kasihi. Terimakasih banyak atas dukungan, doa, cinta,
kasih sayang dan semangatmu yang tak henti hentinya selalu engkau
berikan, sehingga saya selalu termotivasi untuk menyelesaikan pendidikan
di S1 dan sukses di kemudian hari. Terimakasih juga karena mau menemani
di saat stress, di saat sulit, mau mendengarkan keluh kesah dan ketakutan
saya serta selalu meyakinkan saya bahwa saya mampu melewatinya.
Semoga Tuhan selalu menyertai dan memberikan berkat yang melimpah
kepadamu dan kita.
11. Gebby, Nevi, Ache. Orang-orang dibalik layar yang selalu memberikan
semangat, motivasi dan kepercayaan mereka kepada saya. Terimakasih ya
teman-teman SMA yang gila yang selalu mau untuk meluangkan waktu
sekedar bertemu, bercerita dan memberikan semangat, yang bagi saya
sangat mahal harganya. Tantangan yang sesungguhnya telah menanti,
semoga kalian sukses dalam karir, hidup dan cintanya. Meskipun kita akan
menghadapi jalan masing-masing jangan pernah segan untuk kembali
bertemu untuk sekedar bercerita ya teman-teman .
12. Nata, Leo, Guerika, Silvi, Elga dan Sakti, teman-teman bimbingan skripsi
saya bersama pak Minto. Terimakasih atas kebersamaan kita dalam
xiii
banyak sekali kesulitan yang kita alami selama ini. Saya minta maaf jika
selama ini saya suka egois dan berperilaku tidak menyenangkan terhadap
kalian. Saya tetap mendoakan yang terbaik untuk kalian. Semoga kita bias
bertemu pada waktu dan keadan yang berbeda. Tetap semangat dan jangan
berhenti berdoa. Semoga kita akan tetap saling mendukung satu sama
lainnya.
13. Zelda, Yosua, Erlin, Bayu, Rezky, Gung is, Mitha, Bincik, Putri, teman
-teman yang selalu mau mendengarkan curhatan, cerita-cerita dan
gossip-gossip gila bersamaku. Terimakasih teman-teman karena sudah mau
meluangkan waktu untuk sekedar menemaniku nongkrong dan main
disela-sela kesibukan kita. Terimakasih juga karena kalian mau untuk berbagi
cerita dan membicarakan banyak gossip yang kita temui mulai dari yang
kecu sampai saru sehingga memberi warna menyenangkan yang menghiasi
kehidupan perkuliahanku. Saya berterimakasih juga atas semangat yang
selalu kalian berikan di saat saya menemui kesulitan. Semoga Tuhan selalu
memberkati dan sukses untuk kalian.
14. Patris, Vintsen, Lita dan Della, teman-teman pertamaku ketika aku
berkuliah di Sanata Dharma. Terimakasih teman-teman karena sudah
menjadi teman kuliah pertamaku. Terimakasih juga main barengnya ya
meskipun semakin lama kita semakin sibuk dengan urusan masing-masing.
Tapi kenangan yang pernah kita buat tidak akan pernah terlupakan. Sukses
xiv
15. Teman – teman Psikologi Kelas D yang saya kasihi. Terimakasih
teman-teman atas pengalaman berharga dan persahabatan yang sudah terjalin
antara kita. Terimakasih atas keceriaan yang telah kita alami sehari-hari
pada saat masa perkuliahan. Terus berusaha supaya kelak nanti kita bertemu
dalam keadaan sehat dan sukses. Semangat !
16. Seluruh teman – teman dan sahabat saya di Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma angkatan 2012. Terimakasih atas pengalaman dan cerita
yang telah kita buat selama kurang lebih 4 tahun ini. Terimakasih banyak
atas bantuan yang pernah diberikan kepada saya sehingga saya dapat
melalui perkuliahan dengan lancar. Kita memulai langkah kita disini,
dirumah kita Fakultas Psikologi. Pada akhirnya kita akan pergi dari rumah
untuk mencari kesuksesan kita masing-masing. Akan tetapi, rumah ini akan
selalu menjadi tempat kita kembali pulang, mengenang masa-masa indah
dan melepas rindu kita. Sampai jumpa lagi sahabat dengan lebih banyak
cerita dan dengan situasi yang berbeda. Titip salam pada masa depanmu
Saya meminta maaf apabila sikap dan perlakuan saya selama ini ada yang
kurang berkenan. Semoga hubungan kita tetap terus berlanjut dan tetap
saling membantu satu sama lain.
17. Teman – teman panitia INSADHA 2013, PPKM 2014, LIVE IN 2014,
HUMAS periode 2015/16, dan AKSI 2016. Terimakasih teman-teman
semua atas pengalaman yang boleh saya terima sehingga tidak hanya
hardskill saja yang saya dapatkan selama menempuh pendidikan di
xvi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ... xix
DAFTAR GAMBAR ... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ... xxii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 11 C. Tujuan Penelitian ... 11 D. Manfaat Penelitian ... 11 1. Manfaat Teoritis ... 11 2. Manfaat Praktis ... 12
BAB II : LANDASAN TEORI ... 13
A. Voice Behavior ... 13
1. Definisi Voice Behaviour ... 13
2. Dimensi Voice Behaviour ... 17
xvii
B. Leader-Member Exchange ... 25
1. Definisi Leader Member Exchange ... 25
2. Dimensi Leader Member Exchange ... 27
3. Dampak dari Leader Member Exchange... 28
C. Employee Engagement ... 30
1. Definisi Employee Engagement ... 30
2. Jenis-jenis Employee Engagement ... 33
3. Aspek-aspek Employee Engagement ... 34
4. Faktor yang memengaruhi Employee Engagement ... 35
5. Dampak dari Employee Engagement ... 36
D. Dinamika Hubungan Leader Member Exchange, Employee Voice Behaviour dan Employee Engagement ... 38
E. Kerangka Penelitian ... 42
F. Hipotesis Penelitian ... 43
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 44
A. Jenis Penelitian ... 44 B. Variabel Penelitian ... 45 C. Devinisi Operasional ... 45 1. Voice Behaviour ... 45 2. Leader-Member Exchange ... 46 3. Employee Engagement ... 46 D. Subjek Penelitian ... 47 E. Instrumen Penelitian... 48
1. Metode Pengumpulan Data ... 48
2. Alat Pengumpulan Data ... 50
a. Skala voice behaviour ... 50
xviii
c. Skala engagement... 52
F. . Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 53
1. Validitas Alat Ukur ... 53
2. Reliabilitas Aitem Skala ... 54
3. Reliabilitas Alat Ukur ... 55
a. Skala voice behaviour ... 55
b. Skala LMX ... 56
c. Skala engagement ... 56
G. Analisis Deskriptif ... 58
H. Metode Pengolahan Data ... 58
1. Uji Asumsi ... 58
a. Uji Normalitas ... 58
b. Uji Homoskedastisitas ... 59
c. Uji Linearitas ... 59
2. Uji Hipotesis... 60
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62
A. Pelaksanaan Penelitian ... 62
B. Deskripsi Penelitian ... 63
1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 63
2. Deskripsi Data Penelitian ... 68
C. Analisis Data Penelitian ... 70
1. Uji Asumsi ... 70 a. Uji Normalitas ... 70 b. Uji Homoskedastisitas ... 71 c. Uji Linearitas ... 72 2. Uji Hipotesis... 73 D. Pembahasan ... 79
xix
E. Keterbatasan Penelitian ... 87
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
A. Kesimpulan ... 89
B. Saran ... 89
1. Bagi Perawat Rumah Sakit... 90
2. Bagi Kepala Ruangan ... 91
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 93
xx
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Dimensi Voice dan Silent ... 18
Tabel 2.2. Variabel yang Dapat Menyebabkan dan Menghambat Voice Behaviour ... 22
Tabel 3.1. Sebaran Aitem Skala Voice ... 51
Tabel 3.2. Sebaran Aitem Skala LMX ... 52
Tabel 3.3. Sebaran Aitem Skala Engagement ... 53
Tabel 3.4. Reliabilitas Skala Voice Behaviour ... 56
Tabel 3.5. Reliabilitas Skala LMX ... 56
Tabel 3.6. Reliabilitas Skala Engagement... 57
Tabel 4.1. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 64
Tabel 4.2. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lama Bekerja Di Rumah Sakit ... 65
Tabel 4.3. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Lama Bekerja Dengan Kepala Ruangan Saat Ini ... 65
Tabel 4.4. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Usia ... 66
Tabel 4.5. Deskripsi Data Subjek Berdasarkan Skor Ide, Informasi, Kritikan, Saran dan Gagasan yang Dimiliki ... 67
Tabel 4.6. Deskripsi Statistik Data Penelitian ... 69
Tabel 4.7. Uji Normalitas Residu ... 70
xxi
Tabel 4.9. Uji Linearitas... 73
Tabel 4.10. Uji Hipotesis 1 Regresi Antara LMX dan Voice... 75
Tabel 4.11. Uji Hipotesis 2 Regresi Antara LMX and Engagement ... 76
Tabel 4.12. Uji Hipotesis 3 Regresi Antara Engagement dan Voice ... 76
Tabel 4.13. Uji Hipotesis 4 Multiple Regression LMX, Engagement Dan Voice ... 77
xxii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Model Penelitian ... 43
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Reliabilitas Aitem dan Skala Penelitian ... 100
Lampiran 2. Hasil Uji T ... 102
Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas Residu ... 103
Lampiran 4. Hasil Uji Homoskedastisitas ... 105
Lampiran 5. Hasil Uji Linearitas ... 106
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Silent is not gold anymore! Speak up when you are sure your words are better than your silent!”.
Sebuah perusahaan yang bernama PT. BUMI Resources Tbk.
membuat sebuah sarana komunikasi yang dinamakan dengan speak up
system. Speak up system adalah sebuah prosedur yang berlaku untuk
semua karyawan, management, direktur, komisaris dan pihak terkait yang
bekerja dalam perusahaan maupun anak perusahaannya yang digunakan
untuk melaporkan segala bentuk informasi khususnya pelanggaran
pedoman (code of conduct) yang mungkin terjadi dalam perusahaan
tersebut. (www.bumiresources.com, diakses pada 14 agustus 2016).
Salah satu alasan mengapa perusahaan memberikan fasilitas seperti
speak up system pada PT.BUMI Resources Tbk. diatas adalah karena diam
bukan lagi menjadi hal yang baik dilakukan terutama jika kita berbicara
dalam konteks organisasi atau perusahaan. Morisson, See dan Caitlin
(2015) mengatakan bahwa pada kenyataannya ketika seorang karyawan
dihadapkan pada pilihan apakah ingin mengungkapkan isu yang sedang
terjadi pada perusahaannya atau tidak, karyawan cenderung lebih memilih
Fakta mengenai hal tersebut terlihat dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Souba, Way, Lucey, Sedmak dan Notestine (2011) pada
orang-orang yang bekerja di departemen dan sekolah kesehatan di
Amerika yang menemukan bahwa 69% orang setuju bahwa mereka lebih
memilih diam ketika menemukan permasalahan di tempat kerja. Hal
serupa juga dikatakan oleh Morisson, Milliken dan Hewlin (2003) bahwa
85% dari karyawan profesional dan manager secara sadar telah gagal
untuk speak up atau mengutarakan hal yang penting dan krusial yang
seharusnya menjadi perhatian bagi perusahaan.
Perilaku informal dan kebebasan berkomunikasi dari karyawan
mengenai ide, saran, informasi mengenai permasalahan, atau pendapat
tentang isu yang ada di tempat kerja dengan maksud dan tujuan untuk
meningkatkan performa organisasi atau membawa perubahan biasa dikenal
dengan istilah voice behaviour. Voice behaviour juga dikonsepkan sebagai
salah satu tipe extra role behavior yang dapat menunjukkan letak
permasalahan dan memberikan saran atau jalan keluar yang konstruktif ke
arah yang lebih baik (Van Dyne, Cummings & Parks, 1995; Morisson,
2014). Ketika seorang karyawan lebih memilih untuk menahan informasi
yang penting dan potensial atau gagal untuk mengungkapkan apa yang ada
dalam pikiran mereka, secara konstruktif perilaku ini dikenal dengan silent
(Morisson & Milliken, 2000).
Fenomena voice telah banyak menjadi topik penelitian dan menjadi
& Botero, 2003; Morisson et al. 2003; Morisson, 2014). Dalam beberapa
penelitian, perusahaan atau organisasi akan berjalan dengan lebih baik
ketika para karyawannya mau mengutarakan ide, informasi, dan gagasan
yang mereka miliki (Morisson, 2014; Van Dyne, Dishan, & Jeffrey 2008).
Akan tetapi, meskipun voice memiliki banyak manfaat bagi
organisasi, voice behavior juga memiliki two-cost oriented, yaitu
menantang dan memiliki resiko yang cukup potensial (Van Dyne &
LePine, 1998). Maksudnya ialah selain memberikan dampak positif bagi
perusahaan, voice behaviour juga dianggap menentang standard prosedur
ketika orang lain atau target voice tidak setuju dengan masukan yang
diberikan sehingga hal ini dapat merusak hubungan dalam pekerjaan (Van
Dyne & LePine, 1998). Hal ini seringkali terjadi pada tempat-tempat yang
masyarakatnya memiliki budaya kolektif (Zhao, 2014) dan Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki ciri budaya kolektif yang
tinggi (Purba & Seniati, 2004).
Budaya kolektif merupakan nilai budaya yang erat kaitannya
dengan perilaku sosial (Van Dyne, Vandewalle, Kostova, Latham &
Cumings, 2000). Van Dyne et al (2000) juga menjelaskan bahwa nilai
budaya kolektif adalah keyakinan seorang individu bahwa kepentingan
kelompok merupakan kepentingan yang harus didahulukan daripada
kepentingan pribadi. Ketika budaya individualis menekankan pada “pekerjaan individu”, budaya kolektif akan lebih menekankan pada “pekerjaan kelompok”.
Ashford, Sutcliffe dan Christianson (2009) mengatakan jika
karyawan tidak berani untuk voice di tempat kerja, maka akan berpotensi
menyebabkan beberapa hasil merugikan bagi perusahaan atau organisasi.
Contohnya seperti: kinerja yang lemah, korupsi, moral karyawan yang
rendah, kematian pasien di rumah sakit dan kecelakaan. Oleh karena itu,
voice behavior sangat diperlukan dalam sebuah oganisasi dan penting
untuk diteliti lebih lanjut.
Morisson (2014) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang
menjadi penyebab dan dapat memengaruhi voice behaviour karyawan.
Diantaranya ialah karakteristik individu (individual dispositions), persepsi
dan sikap terhadap pekerjaan dan organisasi (job and organizational
attitudes and perception), emosi, kepercayaan dan konsep berpikir
individu (emotion, beliefs and schemas), perilaku pemimpin dan
supervisor (supervisor and leader behaviour), dan faktor kontekstual yang
lain. Indonesia sebagai negara yang memiliki nilai kolektif tinggi pastinya
memiliki sistem tim kerja yang berkembang dengan baik (Purba & Seniati,
2004). Hal ini menandakan bahwa kualitas komunikasi atasan dan
bawahan memainkan peran yang penting dan signifikan dalam iklim dan
lingkungan pekerjaan sebuah organisasi (Dulebohn, Bommer, Liden,
Brouer & Gerald, 2011) khususnya di Indonesia. Oleh karena itu, hal
tersebut perlu diteliti lebih lanjut.
Konsep yang membahas dan mempelajari kualitas hubungan
kerja dan bagaimana mereka dapat saling memengaruhi dikenal dengan
istilah Leader-Member Exchange (LMX) (Erdogan & Enders, 2007). Zhao
(2014) lebih lanjut mengatakan bahwa LMX memiliki peran penting
dalam memengaruhi voice behaviour pada karyawan.
Berbeda dengan teori kepemimpinan lainnya, LMX melihat
bagaimana sebenarnya kualitas hubungan antara atasan dengan bawahan
mereka secara spesifik dan bagaimana mereka dapat saling memengaruhi
(Erdogan & Enders, 2007). Perbedaan lain dari konsep LMX dengan teori
kepemimpinan seperti servant leadership, transformational leadership
ataupun authentic leadership adalah LMX berfokus pada hubungan dyadic
dan hubungan yang unik dari pemimpin dalam mengembangkan
komunikasi dengan tiap-tiap karyawannya. Sementara teori kepemimpinan
yang lain lebih berfokus pada perilaku tertentu dari seorang pemimpin
saja, tidak melihat hubungan timbal baliknya (Gesterner & Day, 1997;
Graen & Uhl-Bien, 1995). Hal ini yang menyebabkan pemimpin memiliki
kualitas LMX yang berbeda-beda dengan setiap bawahannya.
Berdasarkan teori reciprocity yang diungkapkan oleh Cropanzano
dan Mitchell (Dalam Zhao, 2014), karyawan yang memiliki kualitas LMX
yang tinggi dengan atasannya akan merasa memiliki tanggung jawab untuk
membalas perlakuan dan memenuhi kewajban timbal balik tersebut
dengan terlibat dalam melakukan kinerja extra role. Di sisi lain, Van Dyne
dan LePine (1998) memperkenalkan voice behaviour sebagai perilaku
demikian, karyawan juga akan merasa bahwa atasan akan memperlakukan
mereka secara hormat dan bermartabat, yang pada akhirnya akan
menimbulkan perasaan aman untuk mengungkapkan pemikiran dan isu
yang sedang mereka pikirkan tentang pekerjaan dan organisasi (Zhao,
2014).
Wang, Chenjing Gan dan Chaoyan Wu (2016) mengatakan bahwa
beberapa penelitian telah mencoba melihat apakah LMX dapat mendorong
karyawan untuk melakukan voice behaviour di tempat kerja. Akan tetapi,
mekanisme bagaimana hubungan antara LMX dan voice behaviour masih
belum jelas apakah secara langsung berhubungan atau ada variabel lain
yang dapat memediasi hubungan keduanya. Wang et al (2016) juga
menambahkan bahwa hanya satu penelitian yang dilakukan oleh Burris,
Detert dan Chiaburu (2008) yang melihat psychological attachment
(specifically, affective commitment) sebagai mediator antara LMX dengan
voice behaviour. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut mengenai
variabel yang mungkin memediasi LMX dengan voice.
Menurut Bakker, Breevehart, Demerouti dan Heuvel (2013),
kualitas relasi LMX yang rendah biasanya disebabkan karena relasi atasan
dan bawahan yang hanya didasarkan pada tuntutan formal kontrak kerja
mengenai tanggung jawab dan job desk karyawan serta bayaran yang
menjadi hak mereka. Padahal, kualitas LMX yang tinggi bukanlah relasi
atasan dan bawahan yang dibangun hanya berdasarkan kontrak kerja
saling menghormati dan rasa tanggung jawab bersama dalam perusahaan
(Bakker et al. 2013).
Ozdevecioglu (2015) menyebutkan bahwa LMX yang tinggi dapat
menimbulkan perilaku-perilaku positif karyawan seperti performa yang
tinggi, kepuasan kerja, komitmen organisasi, kepercayaan terhadap
organisasi, loyality, Organizational Citizenship Behaviour (OCB), dan
rendahnya tingkat turnover. Selain itu, menurut perspektif social exchange
theory, kualitas LMX yang baik dapat memicu motivasi intrinsik
karyawan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik pula, sehingga
memungkinkan bahwa karyawan dengan LMX yang berkualitas akan
menjadi lebih terlibat (engage) dalam organisasi dan pekerjaan mereka
(Bakker et al. 2013).
Engagement sesungguhnya merupakan perasaan yang dimiliki oleh
karyawan yang berasal dari inisiatif pribadi berupa kemampuan
beradaptasi, usaha, dan ketekunan yang diarahkan pada tujuan organisasi
(Mone, Christina, Kathryn, Bennett, & Carolyn, 2011). Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa adanya korelasi positif dan signifikan
antara LMX dengan keterlibatan karyawan (employee engagement)
(Dhivya & Sripirabaa, 2015; Bakker et al. 2013; Elia 2015). Akan tetapi,
LMX yang tinggi juga dapat berpotensi menimbulkan fenomena yang
dinamakan dengan Social Loafing. Social loafing merupakan sebuah
keadaan dimana seorang karyawan akan merasa posisi atau kedudukannya
melainkan hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan job description atau
perilaku in-role nya saja (Handoyo & Sandjadja, 2012).
Davoudi, Oraji dan Kaur (2012) menjelaskan bahwa social loafing
merupakan sebuah fenomena yang terjadi pada saat seorang karyawan
mengalami less effort untuk mencapai tujuan organisasi. Social loafing
akan lebih rentan terjadi jika seseorang bekerja dalam sebuah kelompok
dibandingkan dengan ketika mereka bekerja secara individu. Oleh karena
itu, dengan meningkatnya dukungan dari atasan, bawahan akan merasa
pekerjaannya sangat mudah untuk dilakukan dan mereka tidak
menunjukkan keterikatan dan komitmennya pada organisasi (dalam
Handoyo & Sandjadja, 2012; Karau & Kipling, 1993).
Meskipun demikian, Anitha (2013) menjelaskan bahwa pemimpin
tetap memiliki peran yang penting dalam menumbuhkan employee
engagement. Penelitian yang dilakukan Wallace dan Trinka (2009)
menunjukkan engagement akan muncul secara alami ketika seorang
pemimpin mampu menginspirasi bawahannya (dalam Anitha, 2013).
Pemimpin juga memiliki peran untuk mengomunikasikan pentingnya
peran dan usaha karyawan bagi kesuksesan organisasi. Ketika pekerjaan
dari karyawan dihargai dan dianggap penting oleh atasan mereka, hal
tersebut akan membuat mereka semakin engage (Anitha, 2013).
Berdasarkan gap antara hasil penelitian dan teori social loafing tersebut,
perlu diteliti lebih lanjut mengenai hubungan antara LMX dengan
Seperti dijelaskan oleh Anitha (2013), karyawan yang engage
merupakan karyawan yang cenderung terlibat dalam organisasi dan siap
untuk melakukan kinerja extra role. Anitha juga mengutarakan beberapa
akibat jika karyawan engage terhadap organisasi mereka, yaitu kepuasan
kerja, komitmen organisasi, keinginan untuk tidak berhenti bekerja (turn
over rendah), dan Organizational Citizenship Behaviour. Karyawan yang engage juga berarti secara kualitas akan unggul karena mereka
menunjukkan minat tinggi dalam pekerjaan dan siap untuk “bekerja ekstra” bagi organisasi mereka (Ress, Alfes & Gatenby, 2013).
Secara lebih lanjut Anitha (2013) mengatakan bahwa employee
engagement adalah “alat” yang baik untuk membantu setiap organisasi
dalam mencapai keunggulan kompetitif dibandingkan dengan organisasi
lainnya. Karyawan merupakan faktor yang sangat penting dan tidak dapat
digantikan posisi dan perannya dalam perusahaan, karena dianggap
sebagai aset paling berharga jika dikelola dengan benar. Apalagi jika
mereka dapat engage dengan organisasi ataupun pekerjaan mereka.
Employee engagement juga merupakan variabel mendasar yang
memengaruhi hubungan kerja, sikap dan perilaku (Ress et al. 2013).
Salanova dan Schaufeli (dalam Ress et al. 2013) menjelaskan bahwa
karyawan yang lebih terlibat (engage) dengan pekerjaan mereka akan lebih
cenderung berperilaku dengan cara yang positif dan kooperatif, untuk
kepentingan perusahaan dan diri mereka sendiri. Sementara itu, seperti
perilaku yang dikategorikan sebagai extra role behaviour. Voice juga
dijelaskan sebagai perilaku yang bersifat tidak wajib dan merupakan
ekspresi konstruktif. Dengan kata lain, hal tersebut dilakukan untuk
meningkatkan bukan hanya sekadar mengkritik saja (Van Dyne & LePine,
1998). Secara lebih lanjut Van Dyne dan LePine juga menjelaskan bahwa
voice dapat digambarkan sebagai salah satu tipe dari perilaku Organizational Citizenship Behaviour (OCB).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan karyawan yang engage dengan organisasi mereka akan
cenderung melakukan voice behaviour. Hal ini karena ketika karyawan
merasa engage mereka akan merasa terlibat, penuh gairah, dan
menunjukkan perilaku bahwa mereka memiliki peran pada lingkungan
kerja (Mone et al. 2011). Salah satu perilaku yang menunjukkan bahwa
mereka terlibat adalah dengan cara menyuarakan ide, gagasan, dan
informasi yang penting dan krusial bagi organisasi mereka. Seperti yang
dikatakan oleh Morisson (2014), voice dilakukan ketika karyawan merasa
bahwa permasalahan dan kesempatan mengenai ide, gagasan dan
informasi tersebut relevan dan penting untuk diutarakan terhadap
organisasi.
Oleh karena itu, apakah employee engagement merupakan variabel
yang dapat memediatori hubungan antara Leader-Member Exchange dan
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat hubungan antara Leader Member Exchange dan Voice
Behaviour ?
2. Apakah Employee Engagement dapat memediatori hubungan antara
Leader Member Exchange dan Voice Behaviour ?
C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
Leader-Member Exchange dan Voice Behaviour. Selain itu, untuk
mengetahui apakah Employee Engagement dapat memediasi hubungan
antara Leader Member Exchange dan Voice Behaviour.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
tentang hubungan atau korelasi antara LMX dan perilaku voice pada
karyawan dengan employee engagement sebagai variabel mediator dan
dapat menjadi salah satu referensi bagi para akademisi dan bagi
2. Manfaat praktis
Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat
memberikan gambaran bagi perusahaan mengenai kualitas relasi
atasan dan bawahan yang sedang terjadi dan memberikan gambaran
bagi perusahaan mengenai sejauh mana karyawan mereka terlibat
dalam organisasi. Jika hipotesis dalam penelitian ini terbukti,
perusahaan nantinya dapat berupaya untuk meningkatkan kualitas
LMX antara karyawan dan supervisor mereka sehingga dapat
meningkatkan employee engagement dan voice behaviour di tempat
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Voice Behaviour
1. Definisi Voice Behaviour
Karyawan seringkali memiliki ide, informasi dan pendapat
yang bertujuan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan
pekerjaannya sendiri maupun organisasi (Van Dyne, Ang & Botero,
2003). Premeaux dan Bedeian (2003) mengatakan bahwa ketika
seorang karyawan menyatakan pendapat mengenai permasalahan yang
terjadi dalam lingkungan pekerjaan seperti saran kepada orang lain
(teman kerja) dan organisasi, melakukan pendekatan komunikatif
dalam melihat permasalahan yang terjadi dan menyuarakan informasi
yang berhubungan dengan pekerjaan maka karyawan tersebut dapat
dikatakan telah melakukan voice behaviour (dalam Nikolau, Maria &
Dimitris, 2007)
Pengertian voice sebagai komunikasi informal telah ada sejak
beberapa dekade yang lalu tepatnya pada tahun 1980-an dan terus
berkembang dengan penelitian-penelitian yang berhubungan dengan
area tersebut. Salah satunya, Spencer (1986) yang pada waktu itu
mendefinisikan voice sebagai ungkapan ketidakpuasan dengan maksud
mengubah situasi dan permasalahan serta ungkapan untuk menarik diri
voice juga dikorelasikan dan dikaitkan dengan tingkat turnover pada
perusahaan. Pada akhir tahun 1990-an, penelitian-penelitian yang
dilakukan tidak lagi melihat voice behaviour hanya sebagai ungkapan
ketidakpuasan, melainkan juga sebagai salah satu bagian penting
dalam perilaku extra role atau salah satu cara seorang karyawan
melakukan pekerjaan yang melebihi kewajibannya (Morisson, 2014).
LePine dan Van Dyne (1998) juga telah memperkenalkan voice
sebagai salah satu perilaku yang termasuk dalam extra role behaviour.
Artinya, perilaku tersebut tidak terdapat dalam job desk yang ada
dalam sebuah perusahaan dan merupakan inisiatif pribadi dari individu
tersebut. LePine dan Van Dyne juga menyebutkan voice behaviour
memiliki kontribusi yang dapat membawa performa perusahaan
menjadi lebih efektif. Selain itu, voice behaviour merupakan kesediaan
dari karyawan untuk memberikan ide dan pemikiran mereka yang
berkaitan dengan proses kerja dan menjadi hal yang perlu dipelajari
oleh tim kerja dalam organisasi. Voice juga merupakan komunikasi
yang bersifat informal atau dengan kata lain, karyawan bebas untuk
berkomunikasi mengenai ide, saran, perhatian, informasi mengenai
permasalahan dalam perusahaan atau dalam hubungan dengan rekan
kerja terhadap orang yang memiliki wewenang untuk mengambil
keputusan dengan maksud untuk membawa perubahan yang lebih baik.
Dalam sejarah perkembangannya, konsep voice memiliki
beberapa istilah yang serupa dan juga ikut membantu menjelaskan
voice behaviour, salah satunya ialah issue selling. Issue selling
merupakan upaya yang dilakukan seorang karyawan untuk membuat
atasan memerhatikan sebuah masalah atau isu tertentu yang sedang
terjadi. Issue selling juga dapat dikatan perilaku “penghasutan” yang
dilakukan karyawan. Perilaku ini tidak hanya membutuhkan voice
behaviour saja melainkan juga karyawan tersebut membangun koalisi,
mencari sekutunya dan mempersiapkan presentasi resmi mengenai
permasalahan tersebut. Hal ini membantu menjelaskan motivasi
seorang karyawan dalam melakukan voice behaviour (Miceli & Near
dalam Morisson, 2014; Dutton, Susan, Katherine & Kathi, 2002).
Selain itu, Miceli, Near dan Dworkin (2008) juga
mengemukakan istilah lain yang serupa dengan voice yang disebut
dengan whistle blowing. Whistle blowing merupakan pengungkapan
perilaku yang illegal, tidak bermoral, atau tidak berkenan yang
dilakukan oleh seseorang kepada organisasi (dalam Morisson, 2014).
Penelitian yang dilakukan terhadap beberapa istilah tersebut pada
umumnya mengungkapkan ekspresi ketidaksepakatan atau pendapat
bertentangan terhadap perusahaan yang dapat kita lihat sebagai voice
behaviour. Selain itu, perilaku ini juga ditujukan dalam bentuk keluhan
terhadap organisasi (Near & Miceli, 1989). Fokus dalam literatur yang
mengenai cara karyawan mengekspresikan perbedaan pendapat mereka
dan bagaimana feedback yang diberikan oleh atasan sebagai respon
dari ekspresi karyawan tersebut (Morisson, 2014). Hal inilah yang
membedakannya dengan voice behaviour.
Jika membahas mengenai voice tentunya kita tidak dapat
terlepas dari yang dinamakan silent. Secara bentuk perilaku, voice dan
silent muncul sebagai dua kutub yang berlawanan. Bila dilihat
perbandingan keduanya secara singkat, silent adalah perilaku “dengan sengaja” menahan informasi dan voice adalah kebalikannya yaitu mengatakan dan mengungkapkan informasi tersebut. Karyawan yang
melakukan voice behaviour belum tentu silent. Hal ini dikarenakan
seseorang yang tidak melakukan voice bisa saja karena meeka tidak
memiliki ide, gagasan ataupun hal-hal lain yang dapat disuarakan.
Silent juga bukan berarti seseorang karyawan mengalami “lack of speech”. Akan tetapi, silent merupakan perilaku karyawan yang tidak
mengekspresikan keadaan atau informasi sebenarnya yang dimiliki
dari keadaan organisasinya (Van Dyne, Ang & Botero, 2003; Pinder &
Harlos, 2001).
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan, maka dapat
disimpulkan bahwa voice behaviour merupakan perilaku menyuarakan
ide, gagasan, informasi, gagasan atau saran mengenai permasalahan
yang ada dalam lingkungan kerja yang tidak terdapat dalam job
memiliki wewenang untuk mengambil keputusan tertentu terkait
informasi tersebut dengan tujuan membawa organisasi atau perusahaan
ke arah yang lebih baik.
2. Dimensi Voice Behaviour
Karyawan yang silent tidak dapat langsung dikatakan bahwa
ia tidak voice di tempat kerja. Hal ini dikarenakan, karyawan tidak
voice bisa saja karena mereka memang tidak memiliki pendapat atau
informasi yang penting disampaikan (Van Dyne, Ang & Botero,
2003). Oleh karena itu, ada motif tertentu dari seorang karyawan
ketika melakukan voice di tempat kerja.
Van Dyne et al (2003) menggambarkan enam bentuk spesifik
perilaku atau tiga bentuk dimensi dari voice dan silent behaviour yang
dikategorikan berdasarkan motivasi yang dimiliki oleh karyawan.
Motivasi tersebut adalah disengaged, protective dan other-oriented.
Disengaged merupakan motivasi yang didasari oleh perasaan tidak
mampu untuk membuat perubahan yang berarti dalam perusahaan
atau organisasinya (Pinder & Harlos, 2001; Whiteside & Barclay,
2013). Protective merupakan motivasi yang didasari perasaan takut
dan memikirkan resiko pribadi yang akan dihadapi (Van Dyne et al.
2003; Milliken, Morisson & Hewlin, 2003; Milliken & Morisson,
2000). Sedangkan other-oriented merupakan motivasi yang didasari
pada perasaan kooperatif dan altruistic (Van Dyne et al. 2003; Organ,
Berdasarkan ketiga motivasi individu tersebut, Van Dyne et al
(2003) mengemukakan dimensi paralel dari voice dan silent yaitu
Acquiescent voice/ silent, Defensive voice/ silent dan ProSocial voice/ silent. Keenam perilaku spesifik tersebut tergambar dalam Tabel 2.1
berikut ini.
Tabel 2.1
Dimensi Voice dan Silent (Van Dyne et al. 2003)
Type of behaviour Employee Motive Employee Silence (dengan sengaja menahan informasi dan pendapat) Employee Voice (mengutarakan informasi dan pendapat) Disengaged Behaviour
(perasaan tidak mampu untuk membuat
perubahan)
Acquiescet Silence Acquiescet Voice
Self Protective Behaviour
(perasaan takut dan memikirkan resiko pribadi yang akan
dihadapi)
Defensive Silence Defensive Voice
Other-Oriented Behaviour
(perasaan kooperatif dan altruistik)
ProSocial Silence ProSocial Voice
a. ProSocial Voice
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, voice termasuk
dalam salah satu bentuk perilaku extra role atau perilaku informal
yang menguntungkan bagi organisasi. Prosocial voice merupakan
pekerjaan, informasi dan pendapat berdasarkan motivasi karyawan
yang kooperatif. Dengan kata lain, perilaku ini dilakukan atas dasar
inisiatif pribadi, perilaku proaktif dan other-oriented. (Organ,
1998; Van Dyne et al. 2003; LePine & Van Dyne 1998)
Fokus utama dari perilaku ini ialah memberi keuntungan
untuk organisasi. Bentuk perilaku prosocial voice adalah berupa
mengutarakan permasalahan dan solusinya juga menyurakan ide
yang bersifat konstruktif bagi organisasi. Pengutaraan prosocial
voice bukan bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, akan
tetapi berorientasi pada kepentingan bersama (Van Dyne et al.
2003). Prosocial voice inilah yang merupakan bentuk dan definisi
dari voice behaviour yang dikemukakan oleh banyak literatur
(LePine & Van Dyne, 1998; Zhao, 2014; Van Dyne et al. 2003,
Morisson, 2014). Dengan kata lain literatur atau penelitian tersebut
menyebut prosocial voice sebagai voice behaviour secara konstruk. Contoh, “Saya mengungkapkan solusi mengenai permasalahan yang sedang terjadi demi kemajuan perusahaan ini”. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini akan digunakan dimensi prosocial voice
dari Van Dyne et al (2003) untuk mengukur voice behaviour pada
karyawan.
b. Defensive Voice
Dalam mengutarakan pendapatnya, seorang karyawan juga
keyakinan dan ketakutan akan adanya resiko dalam mengutarakan
pendapat sehingga, akan muncul sebuah kecenderungan yang
dinamakan self protected (Van Dyne et al. 2003; Detert & Burris,
2007). Schlenker dan Weigold (1989) mendefinisikan
self-protected behaviour sebagai perilaku individu yang senang
mengambil keputusan yang aman-aman saja dan tidak suka
mengambil tanggung jawab yang ditanggung sendiri (dalam Van
Dyne et al. 2003).
Defensive voice adalah tanggapan, ide atau pendapat
mengenai permasalahan yang terjadi dan diungkapkan dengan
maksud mengalihkan perhatian karena ketakutannya dari masalah
tersebut. Individu dengan defensive voice akan menyuarakan
pendapat yang berfokus pada orang lain untuk melindungi dirinya.
Hal ini dikarenakan adanya faktor risiko yang dianggap berbahaya
oleh individu tersebut jika menyuarakan pendapatnya (Van Dyne et
al. 2003; Milliken et al. 2003; Milliken & Morisson, 2000). Contoh, “Saya sering merasa takut untuk mengutarakan pendapat sehingga saya selalu setuju dengan pendapat mayoritas dari kelompok kerja saya.”
c. Acquiescent Voice
Acquiescent voice merupakan perilaku individu dalam
mengungkapkan ide, gagasan, informasi dan pendapat yang
ini biasanya dilakukan dengan cara ikut mendukung gagasan dan
pendapat orang lain dalam kelomponya. Individu yang melakukan
Acquiescent voice akan pasif dalam mengungkapkan ide dan
gagasannya. Acquiescent voice merupakan perilaku disengage yang
dilatarbelakangi oleh perasaan tidak mampu untuk membuat
perubahan dalam perusahaan atau organisasi (Van Dyne et al,
2003; Pinder & Harlos, 2001; Whiteside & Barclay, 2013; Milliken
et al. 2003). Contoh, “Saya cenderung mendukung ide dari orang
lain karena saya merasa tidak memiliki keterlibatan apa-apa dalam
perusahaan ini.”
3. Faktor-faktor yang memengaruhi voice behaviour
Sama seperti konstruk psikologis lainnya, voice behaviour juga
dapat dipengaruhi maupun dihambat oleh faktor-faktor tertentu.
Faktor-faktor tersebut berperan dalam memunculkan keinginan
seseorang untuk membuat perubahan dalam organisasi atau
meningkatkan ekspektasi subjektif seseorang sehingga melakukan
voice (Van Dyne et al. 2003; Morisson, 2014). Dari sekian banyak
literatur yang memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor
penyebab voice, Morisson (2014) merangkumnya ke dalam sebuah
Tabel 2.2
Variabel yang dapat menyebabkan dan menghambat voice behaviour (Morisson, 2014)
Faktor – faktor Penyebab Penghambat
Karakteristik individu - Extraversion - Proactive - Personality - Assertiveness - Conscientiousness - Duty orientation - Customer orientation Achievement orientation
Persepsi dan sikap terhadap pekerjaan dan organisasi - Organizational identification - Work-group identification - Felt obligation for change - Job satisfaction - Role breadth - Control or influence - Organizational support - Detachment -Powerlessness Emosi, kepercayaan dan konsep berfikir individu - Anger - Psychological safety - Fear - Futility
- Image or career risks
Perilaku pemimpin dan supervisor - Openness - Consultation - Leader–member exchange - Transformational leadership - Ethical leadership - Leader influence - Abusive leadership faktor kontekstual yang lain
- Group voice climate - Caring climate - Formal voice mechanisms
- Job and social stressors - Climate of fear or silence
- Instrumental climate - Hierarchical structure - Change-resistant culture
Dalam tabel tersebut, Morisson (2014) menjelaskan bahwa
beberapa faktor yang menjadi penyebab dan dapat memengaruhi voice
behaviour karyawan ialah karakteristik individu (individual
dispositions), persepsi dan sikap terhadap pekerjaan dan organisasi
(job and organizational attitudes and perception), emosi, kepercayaan
dan konsep berfikir individu (emotion, beliefs and schemas), perilaku
pemimpin dan supervisor (supervisor and leader behaviour), dan
beberapa faktor kontekstual yang lain.
Voice behaviour juga merupakan salah satu bagian dari contextual performance (Motowidlo & Van Scotter, 1994). LePine dan
Van Dyne (2001) menjelaskan bahwa contextual performance seorang
individu akan berbeda-beda sesuai dengan karakteristik masing-masing
dan peran yang dimiliki dalam sebuah organisasi. Contextual
performance tersebut berupa kepribadian (Nikolau, Vakoula &
Bourantas, 2008), orientasi individu terhadap tugas atau pribadi yang
proaktif (Morisson, 2014).
Jika dilihat dari tujuannya, maka seseorang akan melakukan
voice ketika ia merasa informasi yang dimiliki penting bagi organisasi
atau perusahaan (Nikolau et al. 2007; Deter & Burris, 2007; Morisson,
2014). Oleh karena itu, persepsi individu terhadap pekerjaan dan
organisasi juga menjadi faktor yang dapat memengaruhi voice
behaviour (Morisson, 2014) salah satunya ialah engagement. Engagement merupakan keterlibatan penuh terhadap organisasi,
mengekspresikan dan mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan
emosi selama bekerja dalam organisasi atau sebuah perusahaan (Rana
et al. 2014; Khan, 1990). Individu yang engage tentunya akan
cenderung melakukan voice di tempat kerja.
Dalam mengungkapkan ide atau informasi yang sifatnya
krusial, merupakan tantangan bagi seseorang yang hendak melakukan
voice. Hal ini dikarenakan beberapa perusahaan menganggap voice behaviour sebagai perilaku menantang status quo yang ada (LePine &
Van Dyne, 1998). Oleh karena itu, emosi, konsep berfikir dan
kepercayaan individu dapat berpengaruh terhadap voice behaviour.
Misalnya, karyawan yang memiliki pemikiran bahwa speak up
menimbulkan kerugian pribadi (psychological safety) akan cenderung
lebih memilih untuk silent (Van Dyne et al. 2003).
Faktor yang dapat mempengaruhi voice selanjutnya ialah
leadership behaviour dan ethical leadership (Liden & Masyln, 1998;
Cheng, Shu Ching, Jyh Huei & Yu Ha, 2014). Seorang pemimpin
biasanya merupakan target voice behaviour. Dalam sebuah organisasi
yang menerapkan sistem tim kerja, perilaku pemimpin sangat
berpengaruh terhadap perilaku karyawan. Oleh karena itu, perilaku
pemimpin juga ikut ambil bagian dalam memengaruhi kesediaan
karyawan untuk melakukan voice behaviour (Liden & Masyln, 1998;
Detert & Burris, 2007; Morisson, 2014). Selain itu, Karyawan akan
berkomunikasi dengan atasan mereka dan memiliki kesempatan lebih
banyak untuk speak-up. Oleh karena itu, kualitas leader-member
exchange juga akan berpengaruh terhadap voice behaviour karyawan
(Zhao, 2014; Wang et al. 2016).
B. Leader Member Exchange (LMX)
1. Definisi Leader Member Exchange
Teori LMX secara khusus membahas hubungan timbal balik
yang terjadi antara pemimpin dan anggotanya (Gerstner & David,
1997). LMX merupakan teori yang memiliki prinsip bahwa segala
bentuk sikap dan perilaku karyawan dalam sebuah organisasi sangat
bergantung pada bagaimana perlakuan yang diberikan oleh pemimpin
(Rockstuhl, Dulebohn, Ang & Shore, 2012).
Gerstner dan David (1997) menyebutkan bahwa LMX pertama
kali dikemukakan oleh Graen dan teman-temannya sejak tahun 1973.
Akan tetapi menurut Gerstner dan David, teori LMX telah dibedakan
dari teori tipe kepemimpinan lainnya berdasarkan fokus kajiannya
yakni hubungan dyadic antara pemimpin dengan bawahannya. Hal ini
berbeda dari teori kepemimpinan pada umumnya yang hanya
membahas mengenai pemimpin dari fungsi dan karakteristik
pribadinya saja bukan seperti LMX yang melihat hubungan dua arah
Graen dan Uhl-Bhien (1995) mengungkapkan hal mendasar
dari teori LMX ialah seorang pemimpin tidak akan memberi perlakuan
dan membangun relasi yang sama dengan setiap anggotanya. Setiap
anggota atau bawahan pastinya memiliki kualitas relasi dan perlakuan
yang berbeda-beda dengan pemimpinnya. Maka kualitas tersebut akan
berkisar dari kualitas LMX yang rendah sampai dengan kualitas LMX
yang tinggi (Rockstuhl et al. 2012).
Kualitas LMX yang rendah merupakan relasi antara atasan
dengan karyawan yang hanya didasarkan pada tuntutan formal kontrak
kerja semata. Dengan kata lain, hubungan karyawan dengan atasannya
hanya sebatas tanggung jawab yang ada dalam job desk dan karyawan
dibayar sesuai dengan ketentuan yang ada (Bakker, Breevehart,
Demerouti & Heuvel, 2013). Sebaliknya, kualitas LMX yang tinggi
bukanlah relasi atasan dan bawahan yang dibangun hanya
berlandaskan kontrak kerja semata, melainkan menyangkut
aspek-aspek afektif seperti kepercayaan, saling menghormati dan rasa
tanggung jawab bersama dalam perusahaan.
Masyln dan Uhl-Bien (2001) menyebutkan bahwa jika kualitas
LMX dalam sebuah tim kerja relatif tinggi maka, beberapa manfaat
positif akan didapatkan oleh pemimpin maupun karyawannya. Hal
positif tersebut berupa kepuasan kerja yang tinggi, efektifitas kerja
yang meningkat, komunikasi yang lebih intim dan terbuka, juga
yang relatif rendah, diketahui akan memberikan dampak yang negatif
bagi bawahan, dalam hal pekerjaan dan karir di perusahaan. Pada
kualitas LMX yang rendah, bawahan akan memiliki keterbatasan untuk
berkomunikasi dengan atasan. Sehingga, informasi yang didapatkan
otomatis juga akan terbatas. Hal ini akan dapat menyebabkan kepuasan
kerja yang rendah, efektifitas pekerjaan yang rendah, rendahnya
komitmen terhadap organisasi dan turnover yang tinggi (Maslyn &
Uhl-Bien, 2001).
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa leader-member exchange (LMX) merupakan
kualitas interaksi dan hubungan yang terjalin antara pemimpin dengan
bawahannya dimana pemimpin memiliki kualitas LMX yang berbeda
dengan setiap bawahannya. Kualitas tersebut akan berkisar dari
kualitas LMX yang tinggi sampai dengan kualitas LMX yang rendah.
2. Dimensi Leader-Member Exchange (LMX)
Kualitas LMX dapat dilihat berdasarkan pada tiga bentuk
dimensi yaitu: perilaku terkait tugas-tugas yang ada (kontribusi),
loyalitas terhadap satu dengan yang lainnya (loyalitas), dan perasaan saling “menyukai” antara atasan dengan bawahan (afeksi) (Dienesch & Liden, 1986; Graen & Uhl-Bien, 1995). LMX dapat diidentifikasi jika
terdapat satu, dua atau ketiga dari bentuk pertukaran tersebut. Dalam
Namun seiring dengan perkembangannya, beberapa literatur
dan penelitian yang ada telah menambahkan satu bentuk dimensi lagi
ke dalam konsep LMX, sehingga terdapat empat dimensi yang dapat
dijadikan tolak ukur LMX. Keempat dimensi tersebut meliputi
Kontribusi (contribution) atau persepsi tentang segala kegiatan yang
berorientasi pada pekerjaan atau job desk dalam perusahaan
(work-oriented activities) dan tugas di tingkat tertentu yang dilakukan oleh
setiap anggota kelompok untuk mencapai tujuan organisasi baik secara
eksplisit maupun implisit, Loyalitas (loyalty) yaitu sejauh mana
pemimpin dan anggotanya saling menunjukkan dukungan terhadap
sikap maupun karakter pribadi satu dengan yang lain, Afeksi (affect)
timbal balik dan perasaan saling memiliki yang disebabkan karena
daya tarik interpersonal bukan karena nilai-nilai profesionalisme kerja
semata, dan penghormatan professional (professional respect)persepsi
mengenai sejauh mana setiap anggota dari sebuah tim kerja telah
membangun reputasi pribadi baik di dalam maupun di luar organisasi
(Liden & Masylin, 1998; Masylin & Uhl-Bien, 2001).
3. Dampak dari Leader-Member Exchange
Demerouti, Breevaart dan Heuvel (2015) mengungkapkan
bahwa kualitas LMX yang tinggi akan berkorelasi dengan outcomes
yang positif seperti kepuasan kerja, Organizational Citizenship
Behaviour dan komitmen terhadap pekerjaan. Selain itu, LMX yang
karyawan seperti performansi tinggi, komitmen organisasi,
kepercayaan terhadap organisasi, loyalitas terhadap organisasi, dan
rendahnya tingkat turnover (dalam Ozdevecioglu, 2015)
Karyawan yang memiliki kualitas relasi yang baik dengan
atasannya akan merasa memiliki tanggung jawab untuk membalas
perlakuan tersebut. Biasanya, perasaan bertanggung jawab tersebut
akan diungkapkan dengan perilaku-perilaku dan kinerja extra-role
(Zhao, 2014). Sebaliknya, karyawan dengan kualitas LMX yang
rendah, akan memiliki negative reciprocity beliefs dimana karyawan
tersebut percaya bahwa LMX dapat merusak keadilan dalam
lingkungan kerja. Hal ini dikarenakan secara teori, pemimpin akan
membangun relasi dengan setiap bawahan dan kualitas relasi tersebut
dapat berbeda-beda satu dengan lainnya mulai dari relasi yang buruk
dan lemah sampai dengan relasi yang kuat dan menimbulkan
kepercayaan (Dhivya & Sripirabaa, 2015).
Di sisi lain, Handoyo dan Sandjadja (2012) mengungkapkan
bahwa LMX yang tinggi juga berpotensi menimbulkan dampak negatif
bagi organisasi. Dukungan dan relasi yang baik dengan atasan
berpotensi membuat seorang karyawan merasa malas dan merasa
bahwa mengerjakan job desk saja sudah cukup sehingga, terjadi sebuah
fenomena yang dinamakan dengan social loafing. Social loafing
merupakan keadaan dimana seorang karyawan akan merasa posisi atau
keterlibatannya dan hanya terbatas pada melakukan perilaku in-role
nya saja. (Handoyo & Sandjadja, 2012).
Meskipun demikian, karyawan dengan LMX yang berkualitas
akan menjadi lebih terlibat (engage) dalam organisasi dan pekerjaan
mereka. Hal ini dikarenakan tingginya kualitas LMX dapat
menimbulkan motivasi intrinsik individu untuk melakukan tugas dan
pekerjaan sebaik mungkin dan berusaha untuk memajukan organisasi
(Bakker et al. 2013)
C. Employee Engagement
1. Definisi Employee Engagement
Konsep mengenai employee engagement terbilang baru, tetapi
sudah populer dalam bidang pengembangan dan sumber daya manusia
(Rana, Alexandre & Oleksandr, 2014). Konsep ini mulai muncul dan
diperbincangkan dalam penelitian dan literatur bisnis dan organisasi
sejak dua dekade yang lalu. Adalah Khan (1990) yang pertama kali
mencetuskan engagement dalam penelitian akademik yang dilakukannya (Guest, 2014).
Kemunculan engagement merupakan tindak lanjut dari
penelitian mengenai burnout dan sebagai upaya dalam melihat
well-being pada karyawan. Hal ini dikarenakan penelitian yang dilakukan
terhadap burnout pada karyawan menjelaskan engagement sebagai
burnout (Saks, 2006). Tidak seperti halnya burnout, engagement
melihat bagaimana karyawan terlibat dalam pekerjaan maupun
organisasi mereka dan merasa mampu mengerjakan tugas-tugas
mereka dengan baik (Rana et al. 2014).
Khan (1990) menggambarkan istilah yang dapat menjelaskan
engagement, yaitu personal engagement dan personal disengagement. Personal engagement didefinisikan sebagai pemanfaatan diri setiap
anggota dalam organisasi, terhadap peran mereka berupa keterlibatan
secara penuh terhadap organisasi, mengekspresikan dan
mempekerjakan diri secara fisik, kognitif dan emosi selama mereka
bekerja dalam organisasi atau perusahaan tersebut. Sedangkan
personal disengagement adalah tidak adanya penghubung dari anggota
organisasi terhadap organisasi mereka sendiri. Hal ini terlihat dari
tidak adanya keterlibatan anggota dalam organisasi, penarikan diri
secara fisik, kognitif dan emosional selama bekerjaa dalam organisasi
atau perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan Khan (1990) tersebut
employee engagement merupakan aspek psikologis dari seorang
individu mengenai kehadiran dan keterlibatan mereka ketika
melakukan pekerjaan dalam sebuah organisasi atau perusahaan.
Rothbard (2001) mendefinisikan employee engagement sebagai
kehadiran psikologis yang melibatkan dua komponen penting, yaitu
dan jumlah waktu yang dihabiskan anggota karyawan berfikir
mengenai pekerjaan dan peran mereka. Sedangkan absorption
merupakan perasaan tertarik dan terpikat terhadap peran dan
pekerjaannya, dan mengarah kepada intensitas anggota karyawan
untuk fokus terhadap pekerjaan tersebut.
Dalam beberapa literatur penelitian, terdapat beberapa istilah
lain dalam organisasi yang serupa namun berbeda dengan engagement.
Misalnya komitmen organisasi. Komitmen organisasi merupakan sikap
dan keterikatan seseorang terhadap organisasi mereka. Hal ini berbeda
dengan engagement dikarenakan engagement bukanlah sebuah sikap
namun merupakan sebuah aspek psikologis yang tergambarkan berupa
tingkat sejauh mana individu menaruh perhatian penuh terhadap
performansi dan menghayati peran mereka dalam organisasi (Saks,
2006).
Konstruk lain yang juga serupa dengan engagement yaitu
keterlibatan kerja. Keterlibatan kerja merupakan hasil dari cognitive
judgement mengenai kebutuhan individu untuk memenuhi kepuasannya terhadap kemampuan dalam bekerja dan hal ini berkaitan
erat dengan citra diri seseorang. Engagement memainkan peran
sebagai salah satu faktor yang memengaruhi keterlibatan kerja dimana
seorang karyawan yang engage juga akan menununjukkan keterlibatan
Berdasarkan beberapa hal yang telah dikemukakan tersebut,
peneliti menyimpulkan bahwa employee engagement merupakan aspek
psikologis (kelekatan emosional) mengenai sejauh mana seorang
karyawan terlibat secara fisik, kognitif dan emosi terhadap performansi
dan menjalankan perannya dalam sebuah organisasi atau perusahaan.
Dengan kata lain employee engagement merupakan tingkat sejauh
mana perasaan individu berada dan terlibat dalam organisasi mereka.
2. Jenis-jenis Employee Engagemenet
Dalam perkembangannya setelah penelitian yang dilakukan
oleh Khan (1990) mengenai engagement, beberapa penelitian telah
membahas engagement secara lebih dalam (Guest, 2014; Saks, 2006;
Schaufeli et al. 2002). Sehingga employee engagement dapat dibagi
menjadi dua bentuk yaitu work engagement dan organizational
engagement (Guest, 2014; Saks, 2006)
a. Work engagement
Merupakan perasaan positif secara penuh terhap sebuah
pekerjaan. Keinginan dan kesediaan seorang karyawan untuk
melakukan usaha yang lebih terhadap suatu pekerjaan tertentu
sehingga karyawan tersebut dapat lupa waktu karena terlalu asik
dengan pekerjaannya. (Schaufeli et al. 2002; Guest, 2014; Saks,