• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara leader-member exchange dan job satisfaction dengan employee engagement sebagai variabel mediator pada perawat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara leader-member exchange dan job satisfaction dengan employee engagement sebagai variabel mediator pada perawat."

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA LEADER-MEMBER EXCHANGE DAN JOB SATISFACTION DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT SEBAGAI

VARIABEL MEDIATOR PADA PERAWAT

Ignasius Bhagas Pawitra Adhisakti ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Leader-Member Exchange (LMX) dan job satisfaction dengan employee engagement sebagai variabel mediator pada perawat. Penelitian ini memiliki empat hipotesis. Hipotesis yang pertama, LMX memiliki hubungan positif signifikan dengan job satisfaction. Kedua, LMX memiliki hubungan positif signifikan dengan employee engagement. Ketiga, employee engagement memiliki hubungan positif signifikan dengan job satisfaction. Kemudian, hipotesis keempat pada penelitian ini yaitu employee engagement

memediasi hubungan antara LMX dan job satisfaction. Subjek dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 159 karyawan yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit negeri dan swasta di Sragen, Jawa Tengah. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Liden dan Maslyn (1998) untuk LMX, Hackman dan Oldham (1975) untuk job satisfaction, dan Saks (2006) untuk employee engagement. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah skala LMXsebesar α = 0.800, reliabilitas skala job satisfaction sebesar α = 0.852, dan skala engagement adalah sebesar α = 0.758. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan

analisis korelasional dengan bantuan program IBM statistik 22. Hasil analisis menunjukkan bahwa hipotesis pertama dan kedua diterima, sedangkan hipotesis keempat gugur. Diketahui nilai korelasi sebesar 0.539 dengan nilai siginifikansi sebesar p = 0.000 (p < 0.05) untuk hubungan antara LMX dan job satisfaction, serta nilai korelasi sebesar 0.184 dengan nilai siginifikansi sebesar p = 0.020 (p < 0.05) untuk hubungan antara LMX dan employee engagement.

(2)

THE RELATIONSHIP BETWEEN LEADER-MEMBER EXCHANGE AND JOB SATISFACTION WITH EMPLOYEE ENGAGEMENT AS A

MEDIATING ROLE IN NURSES

Ignasius Bhagas Pawitra Adhisakti ABSTRACT

This research aimed to find the relationship between Leader-Member Exchange (LMX) and job satisfaction with employee engagement as the mediator variable. This research has four hypotheses. The first hypotheses is LMX has a significant positive relationship with job satisfaction. Second, LMX has a significant positive relationship with employee engagement. Third, employee engagement has a significant positive relationship with job satisfaction. Then, the fourth hypotheses in this research is employee engagement mediated the relationship between LMX and job satisfaction. The amount of subjects for this research is 159 nurses who work in a public hospital in Sragen, Central Java. The measurement tools that is used for this research is the scale that has been adapted from Liden and Maslyn (1998) for LMX, Hackman and Oldham (1975) for job satisfaction, and Saks (2006) for employee engagement. The measurement reliability in this research is α = 0.800 for LMX, α = 0.852 for job satisfaction, and α = 0.758 for employee engagement. Hypotheses trial is done using correlational analysis with IBM statistic version 22. The analysis result shows that the first and second hypotheses in this research are accepted, whereas the fourth hypotheses is not supported. It is known that the value of correlation is 0.539 with signification p = 0.000 (p < 0.05) for the relationship between LMX and job satisfaction, and 0.184 with signification p = 0.020 (p < 0.05) for the relationship between LMX and employee engagement.

(3)

HUBUNGAN ANTARA LEADER-MEMBER EXCHANGE DAN

JOB SATISFACTION DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

SEBAGAI VARIABEL MEDIATOR PADA PERAWAT

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Ignasius Bhagas Pawitra Adhisakti NIM: 129114130

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

“All you can ever believe in is now, this

moment. Because in a blink, everything

can change.”

FIND WHAT YOU LOVE AN LET IT KILL YOU.

The only person with whom you have to

compare yourself is you in the past.

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

Tuhan Yang Maha Transenden,

yang telah memberikan semesta dan kehidupan.

Orang tua dan kedua kakak saya,

yang selalu mendoakan, menguatkan, dan memberikan cinta dan kasih sayang

kepada saya.

Sahabat dan teman-teman saya,

yang meluangkan waktunya untuk saling berbagi dan memberikan dukungan

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA LEADER-MEMBER EXCHANGE DAN JOB SATISFACTION DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT SEBAGAI

VARIABEL MEDIATOR PADA PERAWAT

Ignasius Bhagas Pawitra Adhisakti ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Leader-Member Exchange (LMX) dan job satisfaction dengan employee engagement sebagai variabel mediator pada perawat. Penelitian ini memiliki empat hipotesis. Hipotesis yang pertama, LMX memiliki hubungan positif signifikan dengan job satisfaction. Kedua, LMX memiliki hubungan positif signifikan dengan employee engagement. Ketiga, employee engagement memiliki hubungan positif signifikan dengan job satisfaction. Kemudian, hipotesis keempat pada penelitian ini yaitu employee engagement

memediasi hubungan antara LMX dan job satisfaction. Subjek dalam penelitian ini berjumlah sebanyak 159 karyawan yang berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit negeri dan swasta di Sragen, Jawa Tengah. Skala yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang telah diadaptasi dari Liden dan Maslyn (1998) untuk LMX, Hackman dan Oldham (1975) untuk job satisfaction, dan Saks (2006) untuk employee engagement. Reliabilitas skala dalam penelitian ini adalah skala LMXsebesar α = 0.800, reliabilitas skala job satisfaction sebesar α = 0.852, dan skala

engagement adalah sebesar α = 0.758. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis korelasional dengan bantuan program IBM statistik 22. Hasil analisis menunjukkan bahwa hipotesis pertama dan kedua diterima, sedangkan hipotesis keempat gugur. Diketahui nilai korelasi sebesar 0.539 dengan nilai siginifikansi sebesar p = 0.000 (p < 0.05) untuk hubungan antara LMX dan job satisfaction, serta nilai korelasi sebesar 0.184 dengan nilai siginifikansi sebesar p = 0.020 (p < 0.05) untuk hubungan antara LMX dan employee engagement.

(10)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN LEADER-MEMBER EXCHANGE AND JOB SATISFACTION WITH EMPLOYEE ENGAGEMENT AS A

MEDIATING ROLE IN NURSES

Ignasius Bhagas Pawitra Adhisakti ABSTRACT

This research aimed to find the relationship between Leader-Member Exchange (LMX) and job satisfaction with employee engagement as the mediator variable. This research has four hypotheses. The first hypotheses is LMX has a significant positive relationship with job satisfaction. Second, LMX has a significant positive relationship with employee engagement. Third, employee engagement has a significant positive relationship with job satisfaction. Then, the fourth hypotheses in this research is employee engagement mediated the relationship between LMX and job satisfaction. The amount of subjects for this research is 159 nurses who work in a public hospital in Sragen, Central Java. The measurement tools that is used for this research is the scale that has been adapted from Liden and Maslyn (1998) for LMX, Hackman and Oldham (1975) for job satisfaction, and Saks (2006) for employee engagement. The measurement reliability in this research is α = 0.800 for LMX, α = 0.852 for job satisfaction, and α = 0.758 for employee engagement. Hypotheses trial is done using correlational analysis with IBM statistic version 22. The analysis result shows that the first and second hypotheses in this research are accepted, whereas the fourth hypotheses is not supported. It is known that the value of correlation is 0.539 with signification p = 0.000 (p < 0.05) for the relationship between LMX and job satisfaction, and 0.184 with signification p = 0.020 (p < 0.05) for the relationship between LMX and employee engagement.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia

yang diberikan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini

disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

Penulisan skripsi ini tidak selesai hanya dengan usaha sendiri, namun karena

dukungan serta bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, saya ingin

mengucapkan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi,

Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas

Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu P. Henrietta P. D. A. D. S., S.Psi, M.A., selaku Wakil Ketua Program

Studi Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

4. Drs. Hadrianus Wahyudi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

Terima kasih atas saran dan dukungan untuk menyelesaikan studi S1 saya

selama di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

5. Bapak Minta Istono, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih

sudah senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing, mengingatkan,

memberi kritik dan saran, juga selalu memberi semangat selama saya

menemui kesulitan dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi. Terima

kasih juga Pak Minto selalu sabar dan mau direpotkan untuk membimbing

(13)

xi

kasih juga Pak Minto selalu sabar dan mau direpotkan untuk membimbing

saya.

6. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang telah

mendidik, memberikan banyak ilmu pengetahuan dan pengalaman selama

saya menempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma.

7. Seluruh Staff dan Karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma,

yang telah selalu dengan sabar dan ramah dalam melayani serta memberikan

informasi selama saya berkuliah di Fakultas Psikologi.

8. Aloysius Aridito Prihananto dan Maria Regina Dwi Ediputranti, kedua

orang tua yang saya kasihi. Terima kasih untuk selalu menjadi Tuhan

Realita yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang, mendukung dan

mengingatkan saya untuk selalu sadar dan bertanggungjawab menyelesaikan

apa yang sudah saya pilih dan mulai.

9. Paula Soekodarwendah Raedt dan Fransiskus Asisi Djoko Soekartarto.

Terima kasih atas dukungan dan kasih sayang yang telah diberikan,

sehingga saya dapat menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar sarjana S1.

10. Yogha Prasiddhamukti dan Mikael Pradipta, kedua kakak saya. Terima

kasih untuk selalu menjadi inspirasi saya dalam berkarya.

11. Vera Veronica, kekasih saya. Terima kasih atas seluruh cinta dan kasih

sayang serta kemurahan hati yang diberikan kepada saya.

12. Keluarga Salak Pondoh. Terima kasih telah senantiasa memberikan waktu,

(14)
(15)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...I

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……….ii

HALAMAN PENGESAHAN………...iii

HALAMAN MOTTO………...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..vi

ABSTRAK……….vii

ABSTRACT………viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………..ix

KATA PENGANTAR………...x

DAFTAR ISI………...xiii

DAFTAR TABEL……….xvii

DAFTAR GAMBAR……….xix

DAFTAR LAMPIRAN………...xx

BAB I: PENDAHULUAN……….………...1

A. Latar Belakang……….1

B. Rumusan Masalah………11

C. Tujuan Penelitian……….11

D. Manfaat Penelitian………...11

1. Manfaat Teoritis………..11

(16)

xiv

BAB II: LANDASAN TEORI……….……….13

A. Job Satisfaction ………. 13

1. Definisi Job Satisfaction………..13

2. Aspek-aspek Job Satisfaction………..………... 16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Satisfaction………… 17

B. Leader-Member Exchange………. 20

1. Definisi Leader-Member Exchange……….. 20

2. Dimensi Leader-Member Exchange…..………...23

3. Dampak Leader-Member Exchange...………...25

C. Employee Engagement……………….………...27

1. Definisi Employee Engagement ………...27

2. Aspek-aspek Employee Engagement ………..……….. 3. Faktor yang Memmpengaruhi Employee Engagement..………. 4. Dampak dari Employee Engagement... D. Dinamika Keterlibatan Hubungan Leader-Member Exchange dan Job Satisfaction... F. Hipotesis Penelitian ………... 39 40 BAB III: METODOLOGI PENELITIAN……….………41

A. Jenis Penelitian……….41

B. Variabel Penelitian………...42

C. Definisi Operasional……….42

(17)

xv

2. Leader-Member Exchange………. 43

3. Employee Engagement)………... 43

D. Subjek Penelitian………..44

E. Instrumen Penelitian……….45

1. Metode Pengumpulan Data……….45

2. Alat Pengumpulan Data………...45

a. Skala Job Satisfaction……….. 45

b. Skala Leader-Member Exchange……….. 47

c. Skala Employee Engagement………..…………49

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur………50

1. Validitas Alat Ukur………..50

2. Seleksi Item……….51

3. Reliabilitas Alat Ukur………..53

a. Skala Job Satisfaction ……….. 54

b. Skala Leader-Member Exchange ………. 55

c. Skala Employee Engagement……….……… 55

G. Metode Analisis Data………..……….56

1. Uji Asumsi………...56

a. Uji Normalitas………56

b. Uji Linearitas ……….………56

c. Uji Homoskedastisitas………57

(18)

xvi

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…….…………59

A. Pelaksanaan Penelitian……….59

B. Deskripsi Penelitian……….60

1. Deskripsi Subjek Penelitian……….60

2. Deskripsi Data Penelitian………64

C. Analisis Data Penelitian………...66

1. Uji Asumsi………...66

a. Uji Normalitas………66

b. Uji Linearitas ………... 67

2. Uji Hipotesis………69

D. Pembahasan………..73

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN…….………..81

A. Kesimpulan………..81

B. Keterbatasan Penelitian………81

C. Saran……….83

1. Bagi Perawat Rumah Sakit………...………... 2. Bagi Organisasi atau Perusahaan... 83 84 3. Bagi Peneliti Selanjutnya………85

DAFTAR PUSTAKA………86

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pemberian Skor pada Skala Job Satisfaction ….………446

Tabel 3.2

Tabel 3.3

Sebaran item skala Job Satisfaction………

Pemberian Skor pada Skala Leader-Member Exchange……. 47

48

Tabel 3.4 Sebaran item skala Leader-Member Exchange ……….. 49

Tabel 3.5 Pemberian Skor pada Skala Employee Engagement…... 49

Tabel 3.6 Sebaran item skala Employee Engagement………….………50

Tabel 3.7 Reliabilitas skala Job Satisfaction…….……….. 55

Tabel 3.8 Reliabilitas skala Leader-Member Exchange ……...………. 55

Tabel 3.9

Tabel 4.1

Tabel 4.2

Reliabilitas skala Employee Engagement ………...

Deskripsi data subjek berdasarkan jenis kelamin…………...

Deskripsi data subjek berdasarkan usia ………. 56

61

61

Tabel 4.3 Deskripsi data subjek berdasarkan lama bekerja di rumah

sakit……….62

Tabel 4.4 Deskripsi data subjek berdasarkan lama bekerja dengan

kepala ruangan saat ini………... 63

Tabel 4.5 Deskripsi Statistik Data Penelitian………..……… 65

Tabel 4.6

Hasil Uji Korelasional antara LMX dengan job satisfaction

Hasil Uji Korelasional antara LMX dengan employee

engagement….……….…….

67

68

70

(20)

xviii

Tabel 4.10 Hasil Uji Korelasional antara employee engagement dengan

(21)

xix

DAFTAR GAMBAR

(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1

Lampiran 2

Reliabilitas Item dan Skala Penelitian ………..

Hasil Uji-T……….. 94

96

Lampiran 3 Hasil Uji Normalitas Residu………...97

Lampiran 4 Hasil Uji Linearitas ……….……... 99

(23)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Pleasure in the job puts perfection in the work.” –Aristotle-

Perawat merupakan salah satu profesi di rumah sakit, yang memiliki

tanggung jawab dan peran penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan di rumah sakit. Sebagai salah satu ujung tombak dalam

memberikan pelayanan kepada pasien, penting bagi perawat memiliki kondisi

emosi atau perasaan yang positif, salah satunya kepuasan kerja (job

satisfaction). Job satisfaction menjadi penting karena ketika individu merasa

puas dengan pekerjaan, mereka cenderung akan lebih produktif dan

meningkatkan kualitas institusi atau perusahaan (Kusku, 2003). Semakin

tinggi job satisfaction yang dimiliki perawat akan berpengaruh pada

meningkatnya kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien (Ratnamiasih,

Govindaraju, Prihartono, dan Sudirman, 2012).

Meningkatnya kualitas pelayanan tidak lepas dari kinerja perawat

dalam melayani pasien. Seperti yang dikatakan Yanidrawati (2012) bahwa

tingginya kinerja perawat dikarenakan tingginya tingkat job satisfaction pada

perawat. Begitu juga sebaliknya, rendahnya kinerja perawat karena rendahnya

tingkat job satisfaction pada perawat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Yanidrawati (2012) pada perawat di salah satu rumah sakit di Bekasi, terdapat

(24)

yang berarti mempengaruhi kinerja perawat yang menjadi rendah. Dalam

penelitian ini, perawat yang tidak puas atau mengalami job dissatisfaction

sebesar 92,96%. Fakta lain menunjukkan bahwa terdapat perawat yang

mengalami job dissatisfaction sebesar 60,7% di salah satu rumah sakit di

Medan (Aryanti & Arruum, 2012).

Kinerja perawat yang rendah karena mengalami job dissatisfaction

dapat berdampak buruk pada pelayanan di rumah sakit. Contoh kasus seperti

perawat di RS Siloam Tangerang pada sekitar awal tahun 2015, di mana

perawat salah menyuntikkan obat yang akhirnya berujung dengan kematian

pasien (www.suarajakarta.co, diakses pada 17 Maret 2017). Kondisi tersebut sangat berdampak buruk bagi pasien maupun pihak rumah sakit, di mana

kinerja perawat yang rendah. Hal ini dapat dikarenakan perawat tidak merasa

puas dan nyaman dengan pekerjaannya. Selain itu, kepuasan perawat pada

pekerjaannya perlu diperhatikan karena job dissatisfaction yang dialami

perawat akan berdampak pada komitmen mereka dalam bekerja dan

mempengaruhi mereka untuk melakukan turnover (Pathak, 2012). Huffman,

Casper, dan Payne (2013) menambahkan ketika para karyawan merasa tidak

puas pada pekerjaannya, mereka mungkin lebih mencari jalan keluar dengan

tindakan negatif. Jika hasil job satisfaction pada aspek pekerjaan atau

organisasi tidak menjadi lebih baik, meninggalkan organisasi akan menjadi

pilihan agar mereka merasa lebih puas.

Locke (1976, dalam Huffman, et al., 2013) mendefinisikan job

(25)

dihasilkan dari penilaian seseorang pada pekerjaan atau pengalaman kerjanya.

Menurut Hulin dan Judge (2003), job satisfaction merupakan respon

psikologis seseorang terhadap pekerjaannya. Respon ini ditunjukkan oleh

beberapa faktor seperti kognitif (evaluasi terhadap kerja), afektif (kondisi

emosional), dan perilaku. Pada penelitiannya, Christen, Iyer, dan Soberman

(2006) menemukan bahwa job satisfaction memiliki pengaruh khususnya pada

performansi kerja, usaha, dan kepuasan pada struktur kerja.

Job satisfaction penting untuk diteliti, karena job satisfaction

merupakan dampak positif dari organisasi berupa sikap dan perilaku positif

yang dilakukan karyawan, dalam hal ini perawat. Menjadi suatu keharusan

bagi organisasi dalam mengelola pentingnya job satisfaction agar dapat

memajukan organisasi (Nikolic, Vukonjanski, Nedeljkovic, Hadzic & Terek,

2013). Melakukan komunikasi internal yang informal merupakan salah satu

cara meningkatkan job satisfaction. Pentingnya job satisfaction pada

karyawan salah satunya adalah terciptanya efektivitas yang terjadi di dalam

organisasi (Robbins & Judge, 2013). Karyawan dengan tingkat job

satisfaction yang tinggi akan berusaha melakukan pekerjaannya dengan baik

demi kemajuan organisasi dan bersedia untuk bekerja sama tim, daripada

karyawan yang memiliki tingkat job satisfaction yang rendah.

Job satisfaction merupakan fenomena yang kompleks dengan banyak

komponen yang mempengaruhi. Bormann dan Abrahamson (2014)

menjelaskan faktor yang mempengaruhi job satisfaction pada perawat adalah

(26)

promosi, supervisi atau atasan, dan rekan kerja. Adanya job satisfaction juga

dipengaruhi ketika individu lebih terlibat (engage) dengan pekerjaannya

dalam organisasi. Hal ini didukung oleh Saks (2006) yang mengatakan bahwa

employee engagement akan mempengaruhi individu mengalami adanya job

satisfaction.

Kemudian Cullen, Edwards, Casper, dan Gue (2014) mengatakan

bahwa ketika merasakan dukungan yang kuat dari organisasi, kebutuhan

sosial-emosi individu terpenuhi dan mereka cenderung menunjukkan perilaku

kerja yang lebih positif, termasuk job satisfaction. Adanya relasi dengan

supervisor atau atasan serta dukungan yang kuat dari organisasi

mempengaruhi karyawan untuk merasakan job satisfaction. Ketika karyawan

merasa puas dengan pekerjaannya, mereka akan cenderung menunjukkan

performansi yang tinggi kepada supervisor dan juga organisasi. Relasi antara

supervisor kepada karyawannya dapat dikatakan unik, di mana adanya timbal

balik antara supervisor dan karyawannya akan meningkatkan kualitas relasi

yang tinggi yang didasarkan pada kepercayaan, saling menghargai, dan saling

menguntungkan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa

Leader-Member Exchange (LMX) secara eksplisit merupakan perspektif adanya

social exchange theory antara supervisor dan karyawannya.

Leader-Member Exchange (LMX) didefinisikan sebagai kualitas

hubungan leaders, supervisor atau atasan dengan bawahan mereka dalam

lingkungan kerja dan bagaimana mereka dapat saling mempengaruhi (Erdogan

(27)

bahwa tingginya tingkat job satisfaction juga dipengaruhi oleh kualitas

Leader-Member Exchange (LMX) yang tinggi. Tingginya kualitas relasi

supervisor dan karyawannya ini menjadi penting untuk menciptakan kondisi

emosional yang positif dan performansi kerja karyawan. Sebagai contoh,

dalam review literaturnya, Erdogan dan Enders (2007) menyebutkan bahwa

tingginya LMX memberikan keuntungan kepada karyawan dalam bentuk

konkrit atau nyata seperti pemberdayaan, peningkatan produktivitas,

improvisasi, dan peningkatan gaji, juga keuntungan dalam bentuk tidak

konkrit atau nyata seperti komunikasi dengan atasan, dan memiliki hubungan

atas dasar percaya. Hal ini membentuk lingkungan yang positif di organisasi,

yang menyebabkan job satisfaction pada karyawan menjadi lebih tinggi

(Erdogan & Enders, 2007). Sebaliknya, rendahnya tingkat LMX justru akan

diikuti juga dengan tingkat job satisfaction yang rendah pada karyawan.

Ozdevecioglu, Demirtas, dan Kurt (2015), mengatakan bahwa

sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas LMX yang tinggi

mempengaruhi munculnya outcomes positif, seperti performansi pada tingkat

yang lebih tinggi (dalam bentuk tugas dan konteks performansi), job

satisfaction, komitmen organisasi, organizational trust, loyalitas,

organizational citizenship behavior (OCB), dan menurunnya tingkat employee

turnover pada karyawan (e.g., Harris et al., 2009; Sparrowe & Liden, 1997;

Gerstner & Day, 1997; Morrow et al., 2005). Hal ini yang kemudian

diinginkan oleh organisasi karena akan memberikan dampak positif seperti

(28)

tingkat LMX yang tinggi mengarah pada penguatan hubungan antara internal

communication satisfaction dan job satisfaction. Tingginya tingkat LMX yang

tinggi dapat berupa bentuk komunikasi internal yang baik, di mana

komunikasi tidak terjadi pada kondisi formal saja melainkan pada kondisi

informal juga. Kondisi ini yang berdampak pada perasaan positif pada

karyawan seperti job satisfaction.

Dalam review literaturnya, Rockstuhl, Dulebohn, Ang, dan Shore

(2012) mengatakan bahwa sebagian besar penelitian mengenai LMX

dilakukan berdasarkan konteks budaya barat seperti individualisme dan low

power distance. Namun, sebagaimana Anand, Hu, Liden, dan Vidyarthi telah

meninjau, LMX yang terjadi di Asia dan bagian lainnya juga dapat dilakukan

pada budaya kolektif dan higher power distance (dalam Rockstuhl et al.,

2012). Rockstuhl et al. memberikan contoh penelitian bahwa LMX sangat

terkait dengan job satisfaction dan mengurangi intensitas turnover di Amerika

Serikat (e.g., Pillai, Scandura, & Williams, 1999; Francis, 2010) tetapi,

keterkaitan antara LMX dengan job satisfaction lebih rendah di China dan

tidak ada kaitannya dengan intensitas turnover di India (e.g., Yi, 2002; Mehta,

2009). Oleh karena itu, menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai

keterkaitan antara LMX dengan job satisfaction.

Meskipun telah ditemukan bahwa LMX dapat mempengaruhi job

satisfaction secara positif pada karyawan (Gerstner & Day, 1997; Dulebohn,

Bommer, Liden, Brouer, & Ferris, 2012), namun Loi, Chan, dan Lam (2014)

(29)

dalam beberapa literatur yang ada. Selain itu, pada meta-analisis yang

dilakukan Gerstner dan Day (1997) ditemukan bahwa job satisfaction dan

performansi merupakan dua variabel yang paling sering diteliti sebagai hasil

dari LMX. Dalam meta-analisisnya ini, Gerstner dan Day menyimpulkan

bahwa masing-masing hubungan antara LMX dengan job satisfaction dan

LMX dengan performansi kerja berbeda-beda, sehingga diperlukan adanya

mediator ataupun moderator dalam hubungan tersebut. Maka dari itu, peneliti

membutuhkan adanya mediator dalam hubungan LMX dengan job

satisfaction.

Berdasarkan perspektif social exchange theory, kualitas LMX yang

tinggi dapat menambah motivasi intrinsik karyawan untuk melakukan

pekerjaan mereka dengan baik, sehingga memungkinkan bahwa karyawan

pada kualitas LMX yang tinggi akan menjadi lebih terlibat (engage) dalam

organisasi dan pekerjaannya (Breevaart, Bakker, Demerouti, & Heuvel, 2015).

Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, dan Bakker (2002) mendefinisikan

engagement merupakan sikap yang positif, di mana engagement mengacu

kepada kondisi kognitif dan afektif yang kuat dan meluas, yang tidak hanya

berfokus pada hal-hal tertentu, seperti objek atau perilaku. Engagement

ditandai dengan adanya aspek-aspek seperti semangat (vigour), dedikasi, dan

absorption. Beberapa penelitian mengatakan bahwa karyawan yang terlibat

(engage) lebih mungkin akan menjadi produktif (Saks, 2006) dan tetap setia

bekerja pada atasan maupun organisasi (Saks, 2006; Shuck, Reio, & Rocco,

(30)

Saks (2006) mengatakan alasan teoritis yang kuat untuk menjelaskan

mengenai employee engagement dapat ditemukan pada social exchange

theory. Ketika karyawan memiliki kualitas hubungan yang baik dengan atasan,

mereka akan lebih terlibat (engage) serta memiliki sikap, tujuan, dan perilaku

yang lebih positif. Individu yang lebih terlibat (engage) dianggap memiliki

kualitas hubungan dengan atasan yang baik dan dapat dipercaya, maka

cenderung akan menunjukkan sikap dan tujuan yang positif terhadap

organisasi (Saks, 2006).

Penelitian yang dilakukan Dhivya dan Sripirabaa (2015) dan Breevaart

et al. (2015) membuktikan bahwa adanya korelasi yang positif dan signifikan

antara LMX dengan employee engagement. Karyawan yang memiliki kualitas

LMX yang tinggi, akan terlibat (engage) dalam melakukan pekerjaan yang

bukan menjadi tugas mereka atau di luar dari job description mereka, seperti

menolong rekan-rekan kerja yang memiliki beban kerja lebih, atau membantu

mengerjakan tugas karyawan yang sedang tidak hadir. Perilaku ini akan

menciptakan lingkungan kerja yang saling membantu dan mendukung satu

sama lain (Breevaart, et al., 2015). Anitha (2014) menambahkan bahwa

employee engagement dipengaruhi oleh kepemimpinan, team, hubungan antar

rekan kerja, training, pengembangan karir, dan kompensasi.

Employee engagement merupakan hal penting yang menjadi perhatian

utama para atasan dan manajer di organisasi seluruh dunia (Welch, 2011).

Mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan elemen penting yang

(31)

itu, Welch (2011) juga menyebutkan bahwa engagement dipengaruhi oleh

komunikasi internal, yang merupakan penerapan dalam organisasi yang secara

efektif menyampaikan nilai-nilai organisasi dan melibatkan karyawan dalam

mencapai tujuan organisasi. Engagement juga merupakan salah satu indikator

utama kesejahteraan pada karyawan dan organisasi (Bakker & Demerouti,

2008).

Karyawan yang engage seringkali memiliki emosi yang positif, seperti

bahagia dan antusias, bekerja secara baik, lebih produktif, dan ikut terlibat

dengan karyawan lain sehingga meningkatkan performansi kerja tim (Bakker

& Demerouti, 2008). Menurut Breevaart, et al. (2015), karyawan yang engage

juga memiliki semangat dan antusias yang tinggi, merasa bangga, dan

menikmati pekerjaannya.

Karakteristik kualitas LMX yang tinggi adalah adanya timbal balik

yang saling menguntungkan antara atasan dan karyawan (Breevaart, et al.,

2015). Di sisi lain, Breevaart, et al. (2015) mengatakan bahwa adanya dampak

buruk ketika kualitas LMX meningkat dalam konteks performansi kerja.

Karyawan memang akan merasa lebih engage ketika mereka memiliki tingkat

LMX yang tinggi, karena para atasan membantu mempermudah pekerjaan

mereka. Hal ini menyebabkan karyawan merasa dituntut untuk membalas

kebaikan atas mereka dengan performansi yang sangat baik pada

pekerjaannya. Adanya tuntutan pekerjaan tersebut juga mempengaruhi

(32)

tuntutan tersebut menjadi beban kerja yang dapat memberatkan dan menjadi

sumber stress pada tersebut (Breevaart, et al., 2015).

Meskipun demikian, pada penelitian ini keterkaitan LMX dan

employee engagement merupakan hal yang penting. Laschinger dan Leiter

(2006) mengatakan bahwa pada konteks perawat, peran atasan merupakan hal

yang penting dalam menciptakan kondisi karyawan menjadi lebih engage dan

memberi pelayanan yang berkualitas pada pasien. Selain itu, karyawan yang

engage akan merasa yakin dan puas dengan pekerjaannya sehingga dapat

bekerja secara efektif dan memberikan pelayanan yang layak dan berkualitas

pada pasien (Laschinger & Leiter, 2006). Oleh karena itu, penelitian ini

menarik perhatian untuk menggunakan employee engagement sebagai

mediator.

Karyawan yang engage juga menunjukkan optimisme, sikap positif,

dan perilaku proaktif kepada rekan-rekan kerja, serta menciptakan suasana

positif dalam tim (Bakker dan Demerouti, 2008). Hal ini menyebabkan adanya

job satisfaction karyawan pada organisasi dan lingkungan kerjanya. Penelitian

lain yang dilakukan Giallonardo, Wong, dan Iwasiw (2010), ditemukan bahwa

engagement, sebagai variabel mediator, secara positif mempengaruhi job

satisfaction pada perawat. Pada penelitian ini, salah satu dimensi dari

engagement yaitu dedikasi yang kaitannya kuat dengan job satisfaction

(Giallonardo et al., 2010). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa

karyawan yang terlibat (engage) dengan organisasi dan pekerjaannya,

(33)

penelitian yang dilakukan Saks (2006), dimana dijelaskan pengukuran

engagement signifikan terhadap job satisfaction. Bahkan employee

engagement dapat mempengaruhi job satisfaction.

Maka dari itu, peneliti mengambil employee engagement sebagai

variabel yang dapat menjadi mediator dalam hubungan antara Leader-Member

Exchange (LMX) dan job satisfaction.

B. Rumusan masalah

Apakah hubungan antara Leader-Member Exchange dan job satisfaction

dapat dimediasi oleh employee engagement?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara Leader-Member

Exchange dan Job satisfaction dengan Employee engagement sebagai

variabel mediator.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

tentang hubungan atau korelasi antara Leader-Member Exchange

(LMX) dengan job satisfaction pada karyawan dan dapat menjadi salah

satu referensi bagi para akademisi dan bagi penelitian lebih lanjut yang

(34)

2. Manfaat praktis

1. Bagi Subjek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

gambaran bagi subjek mengenai sejauh mana job satisfaction pada

pekerjaannya dan keterlibatan yang telah mereka terapkan selama

ini bagi organisasi. Bagi supervisor, dapat menjadi evaluasi

mengenai kualitas hubungan mereka dengan bawahan.

2. Bagi organisasi

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat berguna

dan menjadi referensi bagi organisasi dalam merumuskan strategi

yang tepat untuk meningkatkan job satisfaction pada karyawan.

Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran

bagi organisasi mengenai kualitas relasi atasan dan bawahan yang

sedang terjadi dan memberikan gambaran bagi organisasi

(35)

13 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Job Satisfaction

1. Definisi Job Satisfaction

Saat ini banyak sekali penelitian yang menjelaskan konsep

mengenai job satisfaction. Salah satu teori yang paling sering

digunakan dalam mendefinisikan job satisfaction adalah teori dari

Locke (1976) yang mengatakan bahwa job satisfaction merupakan

kondisi emosi yang positif atau menyenangkan sebagai hasil dari

evaluasi pada pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang (dalam

Huffman et al., 2013). Demikian, Cranny et al. (1992, dalam Weiss,

2002) menyimpulkan definisi job satisfaction sebagai respon afeksi

atau emosional yang merepresentasikan sikap seseorang terhadap

pekerjaannya secara umum.

Macdonald dan MacIntrye (1997) mengatakan bahwa job

satisfaction dibedakan menjadi dua berdasarkan moril pada karyawan.

Yang pertama, job satisfaction mengarah pada individu dan situasi

pekerjaannya, dimana fokus pada bagaimana karyawan memiliki rasa

kebersamaan sebagai tujuan dalam organisasi. Kemudian yang kedua,

job satisfaction sewajarnya mengarah pada kondisi masa lalu dan masa

sekarang, ketika moril karyawan mengarah pada perasaan akan masa

(36)

Hulin dan Judge (2003) mengatakan bahwa job satisfaction

merupakan respon psikologis seseorang terhadap pekerjaannya.

Respon ini ditunjukkan oleh beberapa faktor seperti kognitif (evaluasi

terhadap kerja), afektif (kondisi emosional), dan perilaku. Eagley &

Chaiken menyebutkan tiga faktor yang berhubungan pada konsep job

satisfaction tersebut sesuai dengan konsep social attitudes (dalam

Hulin & Judge, 2003). Namun ada kesulitan mengenai sudut pandang

ini mengenai adanya inkonsistensi bahwa social attitudes pada

umumnya memiliki pengaruh yang lemah terhadap perilaku tertentu,

namun job attitudes pada umumnya memiliki hubungan yang kuat

dengan perilaku kerja, termasuk job satisfaction.

Dalam studi empiris, job satisfaction dianggap sebagai

perasaan yang menyeluruh mengenai pekerjaan, atau bagian yang

terkait dengan berbagai aspek pekerjaan (Spector, 1997). Job

satisfaction juga dianggap sebagai komponen utama yang positif

terhadap perilaku bekerja dalam lingkungan pekerjaan (Cicolini,

Comparcini, & Simonetti, 2013). Coomber dan Barriball (2007)

mengatakan ada beberapa segi dalam job satisfaction juga memiliki

keterlibatan aspek-aspek pekerjaan seperti gaji, rekan kerja,

supervisor, dan lingkungan kerja. Salah satu variabel dalam studi

mengenai perawat adalah intensitas turnover, dimana job satisfaction

yang tinggi akan mengurangi turnover pada perawat (Cavanagh, 1992;

(37)

Hackman dan Oldham (1975) melihat job satisfaction

berdasarkan lima dimensi pekerjaan. Yang pertama skill variety, yang

melihat sejauh mana karyawan melibatkan keterampilan dan bakatnya

dalam berbagai kegiatan dalam pekerjaannya. Kemudian task identity,

yang melihat sejauh mana karyawan mengidentifikasi dan

menyelesaikan pekerjaan dari awal hingga akhir. Selanjutnya task

significance, yang melihat sejauh mana pekerjaan dapat berpengaruh

pada kehidupan atau orang lain, entah itu dalam organisasi atau dalam

lingkungan eksternal. Kemudian ada autonomy, yang melihat sejauh

mana pekerjaan memberikan kebebasan, kemandirian, dan

kebijaksanaan kepada karyawan dalam menentukan prosedur dan

melaksanakan pekerjaannya. Yang terakhir adanya feedback, yang

melihat sejauh mana timbal balik pekerjaan karyawan dan evaluasi

bagaimana efektivitas karyawan dalam bekerja.

Dari berbagai definisi mengenai konsep job satisfaction,

peneliti menyimpulkan bahwa job satisfaction merupakan respon

psikologis individu yang positif terhadap pekerjaannya, yang

ditunjukkan oleh beberapa faktor seperti kognitif (evaluasi terhadap

(38)

2. Aspek-aspek Job Satisfaction

Hackman dan Oldham (1975), dalam teorinya mengenai job

dimensions pada Job Diagnostic Survey (JDS), menjelaskan bahwa job

satisfaction merupakan reaksi afeksi atau perasaan pada pekerjaan.

Reaksi afeksi atau perasaan merupakan outcome pada karyawan yang

mempengaruhi performansinya dalam melakukan pekerjaannya. Job

satisfaction, sebagai outcome pada karyawan, memiliki beberapa aspek

yang dapat mempengaruhi job satisfaction itu sendiri, seperti job

security, yang merupakan dimana karyawan merasa ada jaminan untuk

pekerjaannya di masa yang akan mendatang. Pay and other

compensation, merupakan upah atau gaji yang diterima karyawan

berdasarkan apa yang dilakukannya dalam pekerjaannya. Peers and

co-workers, merupakan rekan kerja atau lingkungan sosial yang berada

dalam lingkup pekerjaan pada karyawan. Supervision, yang merupakan

pemimpin atau atasan yang memberi aturan dan perintah atau

membimbing dan membantu karyawan dalam bekerja, dan

Opportunity for personal growth and Development on the job, dimana

adanya kesempatan pada karyawan untuk mengembangkan dirinya

dalam bekerja dan memperoleh pengembangan pada pekerjaannya.

Selain itu, Spector (1985) dalam teorinya mengenai Job

Satisfaction Survey (JSS) mengatakan ada sembilan aspek yang

mewakili adanya job satisfaction. Aspek-aspek dalam JSS dipilih dan

(39)

pelayanan. Sembilan aspek tersebut antara lain gaji, kesempatan untuk

promosi, tunjangan pekerjaan, dukungan organisasi, supervisor, rekan

kerja, komunikasi, kondisi pekerjaan, dan lingkungan dimana tempat

untuk bekerja. Sembilan aspek ini dapat mewakili job satisfaction yang

terjadi para karyawan (Spector, 1985).

Job Diagnostic Survey juga mengukur tiga bagian atau aspek

psikologis pada karyawan, seperti experienced meaningfulness of the

work dimana karyawan melihat sejauh mana pengalaman dalam

bekerja merupakan hal yang bermakna dan berharga. Kemudian

experienced responsibility for work outcomes dimana karyawan

merasa bertanggungjawab atas hasil kerjanya, dan knowledge of results

dimana karyawan mengerti seberapa efektif mereka menunjukkan

performansi kerja (Hackman & Oldham, 1975). Aspek psikologis ini

yang kemudian mendukung munculnya reaksi afeksi, termasuk job

satisfaction pada karyawan. Peneliti kemudian lebih memilih

menggunakan Job Diagnostic Survey karena melihat job satisfaction

berdasarkan faktor psikologis karyawan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Job Satisfaction

Coomber dan Barriball (2007) mengatakan bahwa banyaknya

komponen atau variabel yang dapat mempengaruhi job satisfaction.

Salah satunya teori mengenai job characteristics (Hackman &

(40)

task significance, autonomy, dan job feedback berkontribusi pada

munculnya job satisfaction pada pekerja. Adapula faktor yang

termasuk mempengaruhi job satisfaction pada perawat adalah bekerja

pada pekerjaannya saat ini, bayaran atau gaji, kesempatan untuk

promosi, supervisi atau atasan, dan rekan kerja (Bormann &

Abrahamson, 2014).

Penelitian mengenai job satisfaction pada perawat (AbuAlRub,

Omari, & Al-Zaru, 2009), mengatakan bahwa dukungan sosial dari

supervisor dan rekan kerja merupakan faktor utama yang menentukan

ada job satisfaction. Dikatakan bahwa perawat yang memiliki

dukungan yang lebih dari supervisor atau rekan kerjanya akan

menghasilkan tingkat job satisfaction yang tinggi. AbuAlRub, et al.

(2009) juga mengatakan bahwa komunikasi dengan supervisor dan

rekan kerja merupakan faktor yang berkorelasi positif dengan job

satisfaction. Social exchange merupakan teori yang tepat untuk

melihat hubungan interpersonal dalam pekerjaan (Edwards, Bell,

Arthur, Jr., & Decuir, 2008), termasuk adanya komunikasi dan

dukungan dari supervisor dan rekan kerja.

Leader-member exchange (LMX) merupakan salah satu teori

mengenai social exchange. Pada penelitianya, Vecchio et al. (dalam

Volmer, Niessen, Spurk, Linz & Abele, 2011) menemukan bahwa

LMX secara positif mempengaruhi munculnya job satisfaction pada

(41)

bahwa anggota akan memiliki job satisfaction yang tinggi ketika dia

memiliki kualitas Leader-member exchange (LMX) yang tinggi.

Podsakoff dan MacKenie menemukan bahwa bertambahnya job

satisfaction pada karyawan karena adanya kualitas LMX yang tinggi

(dalam Lapierre & Hackett, 2007).

Loi et al. (2014) mengatakan bahwa karyawan yang merasa

puas akan pekerjaannya dikarenakan memiliki tingkat LMX yang

tinggi dengan adanya support dari supervisor. Tingginya kualitas

LMX merupakan faktor keberhasilan untuk memperkuat

organizational identification dan perasaan yang positif pada karyawan,

termasuk job satisfaction. Tingginya LMX pada karyawan akan

menunjukkan tingginya job satisfaction pada karyawan karena adanya

organizational identification pada karyawan yang menghasilkan

kepuasan secara kognitif dan perasaan mengenai pekerjaan mereka.

Job satisfaction juga dapat dipengaruhi oleh employee

engagement. Seorang karyawan yang memiliki engagement yang

tinggi akan menunjukkan optimisme dan perilaku proaktif sebagai

bentuk keterlibatannya dalam organisasi sehingga akan menciptakan

perasaan dan suasana yang positif pada lingkungan kerja, termasuk

munculnya job satisfaction (Bakker dan Demerouti, 2008).

Salah satu bentuk employee engagement, yaitu dedikasi,

dikatakan memiliki pengaruh yang kuat akan munculnya job

(42)

dengan semangat dan merasa tertantang oleh pekerjaannya tersebut.

Sikap tersebut membantu mereka menemukan makna dalam

pekerjaannya, yang mana akan membuat mereka memiliki job

satisfaction yang tinggi (Giallonardo et al., 2010).

B. Leader-Member Exchange (LMX)

1. Definisi Leader-Member Exchange (LMX)

Pada umumnya, LMX seringkali dihubungkan pada faktor

sikap dan performansi, khususnya pada karyawan (Gerstner & Day,

1997). Teori LMX secara khusus juga membahas mengenai hubungan

timbal balik yang terjadi antara pemimpin dan anggotanya (Gerstner &

Day, 1997). Erdogan & Enders (2007) menjelaskan bahwa kualitas

hubungan leaders, supervisor atau atasan dengan bawahan mereka

dalam lingkungan kerja dan bagaimana mereka dapat saling

mempengaruhi disebut juga sebagai LMX itu sendiri.

Konsep mengenai LMX pertama kali dikemukakan oleh Graen

dan teman-temannya sejak 1973 (Gerstner & Day, 1997). Meski

demikian, Gerstner dan Day menjelaskan bahwa LMX dibedakan dari

teori kepemimpinan lainnya dengan berfokus pada hubungan timbal

balik antara pemimpin dengan anggotanya. Berbeda dengan teorinya

sebelumnya, yang mencoba menjelaskan kepemimpinan yang dilihat

dari fungsi dan karakteristik pada pemimpinnya, fokus penelitian LMX

(43)

tersebut, perkembangan kualitas hubungan antara pemimpin dan

anggotanya dapat mempengaruhi outcomes dari individu, kelompok

dan organisasi itu sendiri (Gerstner & Day, 1997).

Rockstuhl et al. (2012) mengatakan bahwa pada prinsip LMX,

sikap dan perilaku anggota atau bawahan terkait pekerjaan bergantung

pada bagaimana pemimpin memberikan perlakuan kepada anggotanya.

Meski demikian, hal mendasar pada teori LMX adalah seorang

pemimpin akan memberi perlakuan yang berbeda dalam membangun

relasi dengan setiap anggotanya (Graen & Uhl-Bhien, 1995), sehingga

setiap anggota pun memiliki kualitas relasi yang berbeda-beda dengan

pemimpinnya. Hal ini yang kemudian dapat dilihat tinggi atau

rendahnya kualitas LMX pada pemimpin dan anggotanya.

Kualitas LMX yang tinggi melebihi relasi yang hanya

berlandaskan kontrak kerja semata, tetapi relasi yang sudah

menyangkut aspek-aspek afektif seperti kepercayaan, saling

menghormati dan rasa tanggung jawab bersama dalam perusahaan.

Namun sebaliknya, kualitas LMX yang rendah hanya didasarkan pada

tuntutan formal kontrak kerja dimana karyawan melakukan apa yang

seharusnya menjadi tanggung jawab dalam job desk mereka dan

dibayar sesuai dengan ketentuan yang ada (Breevaart et al., 2015).

Tingginya kualitas LMX akan memberikan dampak positif bagi

organisasi, karena performansi karyawan yang semakin tinggi. Dalam

(44)

tinggi karena mereka merasa didukung oleh pemimpinnya dalam

melakukan pekerjaan sehingga menunjukkan performansi yang tinggi

(Breevaart, et al., 2015). Selain itu, Gerstner dan Day (1997)

mengatakan bahwa tingginya kualitas LMX akan menghasilkan

kepuasan dan efektifitas bekerja yang tinggi, komunikasi yang terbuka,

dan adanya extrarole behavior yang tinggi.

Di sisi lain, kualitas LMX yang rendah akan berpotensi

memberikan dampak negatif bagi organisasi. Dalam hal ini karyawan

memiliki intensitas bertemu yang rendah dengan pemimpinnya

(Dulebohn et al., 2012) sehingga menyebabkan adanya komunikasi

yang terbatas antara karyawan dan pemimpinnya (Gerstner dan Day,

1997). Karyawan pun akan menerima infomasi yang terbatas dan

bekerja secara monoton. Hal ini yang akan berpotensi pada

performansi karyawan yang menurun karena adanya ketidakpuasan

karyawan dalam bekerja, komitmen pada organisasi yang rendah, dan

tingkat employee turnover yang tinggi (Gerstner dan Day, 1997).

Pada teorinya, adanya perbedaan kualitas relasi LMX ini

membuat pemimpin secara tidak langsung membagi anggotanya

menjadi dalam dua kelompok, yaitu in group dan out group (Robbins

& Judge, 2013). Pada in group, anggota atau karyawan cenderung

memiliki LMX yang tinggi dengan pemimpinnya. Pemimpin memiliki

kepercayaan lebih pada anggotanya dan juga memberikan perhatian

(45)

kelompok in group juga memiliki komunikasi dengan lebih intens

dengan pimpinan. Kondisi ini membuat karyawan in group bersedia

untuk melakukan pekerjaan yang melampaui job description mereka.

Sebaliknya pada out group, karyawan cenderung memiliki kualitas

LMX yang rendah. Karyawan pada kelompok out group hanya

mendapat sedikit waktu yang diberikan oleh pemimpinnya, termasuk

komunikasi yang kurang dengan pemimpin. Kondisi ini membuat

karyawan cenderung tidak tertarik menerima tanggung jawab dan

tugas lebih yang diberikan. Hubungan karyawan pada kelompok out

group cenderung memiliki hubungan yang formal dengan pemimpin

sehingga melakukan pekerjaan sesuai dengan job description.

Berdasarkan pada beberapa konsep mengenai LMX tersebut,

dapat disimpulkan bahwa Leader-Member Exchange (LMX)

merupakan kualitas interaksi dan hubungan yang diciptakan antara

pemimpin atau supervisor dengan anggotanya dalam lingkungan

pekerjaan atau organisasi, di mana hubungan terbentuk tidak hanya

satu arah dari pemimpin ke karyawan melainkan terbentuk dua arah

dan memiliki kualitas yang berbeda-beda.

2. Dimensi Leader-Member Exchange (LMX)

Banyaknya variasi interaksi dan hubungan LMX menunjukkan

tinggi rendahnya kualitas LMX itu sendiri. Hal ini merupakan

(46)

Konsep multidimensional ini dapat membantu mengembangkan dan

menjaga kualitas LMX (Liden & Maslyn, 1998). Demikian pula yang

dikemukakan oleh Dienesch dan Liden (1986) bahwa kualitas LMX

dapat dilihat berdasarkan beberapa dimensi seperti perilaku yang

terkait oleh pekerjaan (contribution), loyal dan setia dengan anggota

lain (loyalty), dan adanya kesukaan antara satu dengan yang lain

(affect).

Pada dasarnya LMX dapat diidentifikasi satu, dua atau ketiga

dari bentuk exchange tersebut. Dalam perkembangannya, LMX

diketahui memiliki multidimensional konsep. Konsep yang

multidimensional inilah yang kemudian menyebabkan LMX menjadi

tidak hanya memiliki tiga bentuk exchange saja. Beberapa literatur,

secara garis besar, mengatakan bahwa terdapat empat dimensi pada

LMX. Empat dimensi tersebut meliputi Contribution, Loyalty,

Affection, dan Professional Respect (Dienesch & Liden, 1986; Liden &

Masylin, 1998; Masylin & Uhl-Bien, 2001). Contribution (Kontribusi)

merupakan persepsi tentang seluruh kegiatan yang berorientasi pada

tugas dan kualitas pekerjaan yang dilakukan anggota untuk mencapai

tujuan organisasi baik secara eksplisit atau implisit. Kemudian Loyalty

(Loyalitas) yang melihat sejauh mana pemimpin dan anggotanya

menunjukkan dukungan terhadap perilaku dan karakter satu dengan

yang lainnya. Affect (Afeksi) merupakan perasaan timbal balik yang

(47)

yang bukan karena nilai-nilai profesionalisme kerja saja. Professional

Respect, dimana persepsi mengenai sejauh mana setiap anggota dari

sebuah tim kerja telah membangun reputasi pribadi baik di dalam

maupun di luar organisasi.

3. Dampak dari Leader-Member Exchange (LMX)

Sebelumnya diketahui bahwa kualitas LMX yang tinggi dapat

memberikan dampak positif pada organisasi, termasuk outcomes yang

positif pada karyawan seperti kepuasan kerja, organizational

citizenship behavior dan komitmen terhadap pekerjaan pada karyawan

(Breevaart et al., 2015). Gerstner dan Day (1997) mengatakan bahwa

karyawan akan merasa puas dalam bekerja, komunikasi yang terbuka,

bekerja dengan efektif dan adanya extrarole behavior yang tinggi

ketika kualitas LMX tinggi. Selain itu, kualitas LMX yang tinggi

memberikan hasil yang diinginkan pada karyawan seperti performansi

pada tingkat yang lebih tinggi, job satisfaction, komitmen organisasi,

organizational trust, loyalitas, organizational citizenship behavior, dan

menurunnya tingkat employee turnover (Ozdevecioglu et al., 2015).

Tingginya kualitas LMX tidak hanya memberikan dampak

positif, namun juga dapat berpotensi menimbulkan dampak negatif.

Handoyo dan Sandjadja (2012) mengatakan bahwa ada fenomena

social loafing, dimana karyawan akan memandang dan merasa bahwa

(48)

melakukan apa yang menjadi tugasnya saja. Hal ini dikarenakan

dengan mendapat dukungan dan memiliki relasi yang baik dari atasan

membuat karyawan merasa cukup dengan pekerjaannya yang sesuai

job description, tanpa menujukkan keterlibatan dan keterikatannya

pada organisasi (Handoyo & Sandjadja, 2012).

Selain itu, rendahnya kualitas LMX dapat pula memberikan

dampak yang negatif bagi organisasi, dimana adanya ketidakpuasan

karyawan dalam bekerja, komitmen pada organisasi yang rendah, dan

tingkat employee turnover yang tinggi (Gerstner dan Day, 1997). Hal

ini dikarenakan dengan rendahnya kualitas LMX, komunikasi antara

karyawan dan pemimpinnya menjadi terbatas (Gerstner dan Day,

1997) sehingga karyawan merasa tidak didukung oleh atasan dan

performansinya menurun.

Meskipun demikian, banyak sekali outcomes positif pada

karyawan ketika kualitas LMX tinggi. Employee engagement menjadi

salah satu outcomes yang dipengaruhi oleh LMX. Karyawan akan

menjadi lebih terlibat (engage) dalam organisasi dan pekerjaannya

ketika memiliki kualitas LMX yang tinggi (Breevaart et al. 2015). Hal

ini dapat dilihat bahwa ketika karyawan memiliki kualitas LMX

dengan atasannya akan menimbulkan motivasi intrinsik, termasuk

engagement pada karyawan untuk melakukan tugas dan pekerjaan

(49)

melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugas mereka atau di luar

dari job description mereka.

C. Employee Engagement

1. Definisi Employee Engagement

Konsep mengenai employee engagement sudah menjadi topik

yang sangat menarik dalam dunia organisasi dan literatur pada sumber

daya manusia dalam beberapa tahun terakhir (Rana, Ardichvili &

Oleksandr, 2014). Konsep mengenai engagement mulai muncul dan

diperbincangkan dalam penelitian dan literatur bisnis dan organisasi

sekitar dua dekade yang lalu (Simpson, 2009). Analisis literatur

mengidentifikasi adannya tahapan-tahapan evolusi dalam konsep

employee engagement, dan dibagi menjadi serangkaian gelombang,

seperti Pre-Wave, Wave 1, Wave 2, dan Wave 3 (Welch, 2011).

Pada era Pre-Wave, para peneliti tidak menggunakan istilah

employee engagement, namun engagement lebih melihat bahwa

adanya kebutuhan bagi para karyawan untuk terlibat (engage) dengan

pekerjaan dan organisasi mereka (Welch, 2011). Katz and Kahn

mendiskusikan bahwa perilaku karyawan (employee behaviours)

diperlukan untuk mencapai efektivitas perusahaan, termasuk terlibat

dalam perilaku inovatif dan kooperatif, melebihi perannya dalam

(50)

Era Wave 1 pada tahun 1990an, dimulai dengan adanya karya

akademik mengenai personal engagement. Kahn (1990) yang

berpengaruh pada konsep ini mendefinisikan bahwa personal

engagement merupakan usaha memanfaatkan diri setiap anggota

organisasi terhadap peran mereka, berupa keterlibatan mereka secara

penuh terhadap organisasi, serta mempekerjakan dan mengekspresikan

diri secara fisik, kognitif dan emosi selama mereka bekerja dalam

organisasi atau perusahaan tersebut. Berdasarkan hal tersebut,

employee engagement merupakan aspek psikologis dari seorang

individu atau anggota organisasi mengenai kehadiran dan keterlibatan

mereka selama bekerja dalam sebuah organisasi atau perusahaan.

Kahn (1990) juga menjelaskan bahwa terdapat komponen

penting yang dapat meningkatkan engagement di tempat kerja, seperti

kebermaknaan (meaningfulness), keamanan (safety), dan ketersediaan

(availability). Meaningfulness didefinisikan rasa positif sebagai

investasi diri dalam peran kerja. Kemudian, safety didefinisikan

sebagai kemampuan untuk menampilkan diri sendiri tanpa rasa takut

akan konsekuensi negatif mengenai citra diri, status, atau karier.

Sedangkan availability merupakan rasa ingin memiliki secara fisik,

emosional, dan psikologis dari sumber daya yang diperlukan untuk

menyelesaikan pekerjaan.

Pada era Wave 2 (tahun 2000-2005), sudah mulai banyak

(51)

merumuskan skala yang dapat mengukur tinggi-rendahnya

engagament karyawan (Welch, 2011). Rothbard (2001, dalam Saks,

2006) mendefinisikan employee engagement sebagai kehadiran

psikologis yang melibatkan dua komponen penting, yaitu attention dan

absorption. Attention merupakan keterlibatan kognitif dan jumlah

waktu yang dihabiskan anggota karyawan untuk berfikir mengenai

pekerjaan dan peran mereka. Sedangkan absorption merupakan

perasaan tertarik dan terpikat terhadap peran dan pekerjaannya, dan

mengarah kepada intensitas anggota karyawan untuk fokus terhadap

pekerjaan tersebut.

Engagement juga didefinisikan sebagai sebuah aspek

psikologis yang dipicu oleh beberapa hal yakni energi (energy),

pengaruh (involvement) dan kemampuan (efficacy) dan merupakan

kebalikan dari tiga dimensi burnout yaitu exhaustion, cynicism, dan

inefficacy (Maslach, Schaufeli & Leiter, 2001). Schaufeli dan Bakker

(2004) mendefinisikan engagement sebagai keadaan pikiran positif dan

memenuhi yang berkaitan dengan pekerjaan, yang ditandai dengan

semangat (vigour), dedikasi (dedication), dan penyerapan

(absorption). Definisi ini menjadi cukup berpengaruh terhadap

perkembangan konsep engagement karena dipandang memiliki

kemiripan konsep dan fokus yang sama seperti yang dikemukan oleh

(52)

Periode tahun 2006-2010 yang merupakan era Wave 3, diawali

dengan munculnya catatan mengenai konsep engagement pada

penelitian mengenai burnout (Saks, 2006). Pada penelitian tersebut

engagement dianggap sebagai perilaku yang berkebalikan atau positive

antithesis dengan perilaku burnout. Tidak seperti halnya burnout,

engagement melihat bagaimana karyawan terlibat dalam pekerjaan

maupun organisasi mereka dan merasa mampu mengerjakan

tugas-tugas mereka dengan baik (Rana et al. 2014). Kemudian Macey dan

Schneider (2008) mendefinisikan employee engagement sebagai

sebuah keadaan kompleks yang meliputi sifat, keadaan dan konstruk

perilaku, serta pekerjaan dan kondisi organisasi yang mungkin

memfasilitasi keadaan dan perilaku keterlibatan.

Karyawan yang memiliki hubungan mendalam dan meluas

dengan perusahaan akan bersedia untuk melakukan beberapa hal untuk

membuat perusahaan sukses, diatas atau bahkan melampaui apa yang

di harapkan. Mereka juga akan menawarkan kerangka kerja untuk

membangun keterlibatan yang didasari oleh karyawan yang

mengetahui, menumbuhkan, menginspirasi, melibatkan, dan

menguntungkan para pemimpin senior, manajer, sumber daya manusia

profesional, dan karyawan itu sendiri (Gebauer & Lowman, 2008).

Banyak item-item yang ada pada survei mengenai engagement

menunjukkan bahwa aspek-aspek engagement secara postif berkaitan

(53)

seperti organizational citizenship serta komitmen dan keterikatan

organisasi (Robertson & Cooper, 2010).

Berdasarkan penjelasan konsep dan definisi tersebut, peneliti

menyimpulkan bahwa employee engagement merupakan keadaan

psikologis mengenai sejauh mana karyawan terlibat secara fisik,

kognitif dan emosi terhadap performansi dan menjalankan perannya

dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Dengan kata lain employee

engagement merupakan tingkat sejauh mana perasaan individu berada

dan terlibat dalam organisasi mereka.

2. Aspek-aspek Employee Engagement

Kahn (1990) sebagai yang berpengaruh pada konsep

engagement, menjelaskan bahwa engagement merupakan konsep

multidimensi yang bergerak bersama membentuk sebuah keterlibatan

dalam organisasi. Para peneliti pun juga memiliki pemahaman yang

sama mengenai gagasan multidimensi, seperti halnya Schaufeli, et al.

(2002) yang mendefinisikan engagement sebagai hal yang positif,

pemenuhan, hubungan kondisi pikiran dan pekerjaan yang ditandai

dengan tiga aspek yaitu semangat (vigour), dedikasi, dan absorption.

Aspek vigour (semangat) dilihat dari tingginya tingkat energi

dan ketahanan mental seorang karyawan saat bekerja. Karyawan juga

memiliki ketekunan dan kemauan untuk berinvestasi, meskipun

(54)

meningkatkan usaha karyawan dalam mencapai tujuan organisasi.

Kemudian aspek dedication (dedikasi) dilihat dari adaya perasaan

antusias, terinspirasi, rasa bangga, dan senang dalam menghadapi

tantangan dalam pekerjaan. Aspek ini ditunjukkan karyawan dengan

menginvestasikan diri mereka lewat kebanggaan, kepercayaan, dan

pengetahuan terhadap organisasi. Pada aspek absorption

(penyerapan) dilihat ketika karyawan sepenuhnya terkontraksi dan

menikmati pekerjaannya, dan merasa waktu berlalu dengan cepat dan

sulit terpisahkan dari pekerjaannya. Aspek ini berasal dari penilaian

karyawan mengenai seberapa bermakna dan aman pekerjaan mereka

(secara fisik, emosional, dan psikologis), serta seberapa tinggi

tingkat kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaannya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Employee Engagement

Saks (2006) mengatakan terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi employee engagement yang telah diidentifikasi dari

penelitian yang dilakukan Kahn (1990) dan Maslach et al. (2001).

Salah satunya adalah job characteristic (Kahn, 1990; Saks, 2006; Rana

et al. 2014). Dalam hal ini dijelaskan bahwa sebuah pekerjaan yang

memiliki karakteristik inti yang jelas akan lebih memungkinkan bagi

seorang individu untuk membawa diri mereka ke dalam pekerjaan

(55)

Kemudian faktor lain yang mempengaruhi employee

engagement adalah perceived organizational and supervisor support

(Saks, 2006; Rana et al. 2014). Kahn (1990) menemukan bahwa

dukungan dan kepercayaan dalam hubungan interpersonal yang terjalin

pada atasan dan karyawannya akan menimbulkan psychological safety.

Dalam kondisi ini, karyawan akan cenderung lebih engage pada

pekerjaannya, karena merasakan dukungan dari organisasi.

Sebaliknya, kurangnya dukungan dari organisasi akan menyebabkan

burnout pada karyawan. Salah satu bentuk dari perceived

organizational and supervisor support ialah LMX. Terbukti bahwa

karyawan yang memiliki kualitas LMX yang tinggi, akan terlibat

(engage) dalam melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugas

mereka atau di luar dari job description mereka (Dhivya & Sripirabaa,

2015; Breevaart et al., 2015).

Selain itu, Kahn (1990) mengatakan bahwa setiap individu

memiliki tingkat engagement yang bervariasi, tergantung seberapa

besar manfaat atau keuntungan yang mereka peroleh dari pekerjan

mereka. Hal tersebut dapat berupa external rewards (bonus) dan

penghargaan atau pengakuan bermakna yang mereka terima dari atasan

atau rekan kerja (Saks, 2006), dimana tingginya rewards dan

penghargaan akan membuat karyawan lebih engage. Kurangnya

external rewards dan penghargaan atau pengakuan akan berdampak

(56)

4. Dampak dari Employee Engagement

Beberapa penelitian sepakat bahwa employee engagement

menghasilkan dampak yang positif bagi perusahaan atau organisasi

(Saks, 2006; Guest, 2014). Hal ini dikarenakan karyawan yang lebih

engage seringkali memiliki emosi yang positif, seperti bahagia dan

antusias, bekerja secara baik, lebih produktif, dan ikut terlibat dengan

karyawan lain sehingga meningkatkan performansi kerja tim (Bakker

& Demerouti, 2008). Adapun dampak dari employee engagement

antara lain adalah:

a. Performansi Kerja

May et al. (2004, dalam Saks, 2006) berpendapat bahwa

psychological mindfulness merupakan kunci utama dari terjadinya

employee engagement pada perusahaan. Psychological mindfulness

tidak hanya menyebabkan attitudinal outcomes karyawan yang

positif (kepuasan kerja, motivasi, dll) saja, tetapi juga

menghasilkan behavioural outcomes seperti performansi kerja.

Ketika individu engage, mereka akan merasa puas, berkomitmen

dan produktif dalam bekerja serta akan mencurahkan seluruh

energi dan performansinya (Saks, 2006; Fleck & Inceoglu, dalam

(57)

b. Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

Dalam review literaturnya, Soane et al. (2012) menjelaskan

OCB merupakan suatu perilaku kooperatif karyawan yang dapat

menguntungkan serta membawa dampak positif bagi organisasi.

Salah satu bentuk OCB adalah extra role, yang dapat didefinisikan

sebagai perilaku yang didasari oleh inisiatif pribadi individu,

bersifat positif, sukarela, dan tidak terdaftar dalam reward formal

yang dilakukan yang memberikan keuntungan bagi organisasi.

OCB merupakan salah satu outcomes yang ditimbulkan oleh

adanya karyawan yang engage. Hal ini dikarenakan karyawan yang

engage akan cenderung menunjukkan perilaku positif dan

termotivasi untuk melakukan perilaku yang menguntungkan, salah

satunya adalah OCB (Soane et al., 2012).

c. Job Satisfaction

Karyawan yang engage juga menunjukkan optimisme,

sikap positif, dan perilaku proaktif kepada rekan-rekan kerja, serta

menciptakan suasana positif dalam tim (Bakker dan Demerouti,

2008). Hal ini menyebabkan adanya job satisfaction karyawan

pada organisasi dan lingkungan kerjanya. Penelitian lain yang

dilakukan Giallonardo et al. (2010), ditemukan bahwa engagement

secara positif berdampak pada adanya job satisfaction. Selain itu,

Gambar

Tabel 4.10
Gambar 2.1.  Model Penelitian…………………………………………40
Gambar 2.1 Model Penelitian
Tabel 3.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peran orang tua dalam hal ini sangat mempengaruhi apakah anak remaja berperilaku seks pranikah atau tidak, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Judul Skripsi : &#34;Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Al-Quran Hadits Peserta Didik Kelas II MI Hidavatul

dengan menekan tomb 01 Tool-Graphic Report ­ Resources and cost kemudian pada tampilan dialoque box dipilill total Usage For All Resources, maka akan terlihat

memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan tersedia bagi fungsi tersebut guna mencapai tujuan. Sistem ini merupakan serangkaian sistem yang diciptakan untuk membantu

Sistem Pengendalian Intern (SPI) adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan

Program di atas merupakan program sederhana, yang ditujukan untuk menampilkan nilai mahasiswa yang telah diinputkan dalam array satu dimensi secara berurutan mulai 1-10

Memberikan produk dan jasa kepada pelanggan untuk memecahkan masalah pada air dan air limbah, meningkatkan profitabilitas bisnis dengan menyediakan produk-produk yang..

Berdasarkan hasil pengamatan pada tabel, indikator pertama pada siklus kedua ini telah mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya motivasi siswa yang