• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

“Pleasure in the job puts perfection in the work.” –Aristotle-

Perawat merupakan salah satu profesi di rumah sakit, yang memiliki tanggung jawab dan peran penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Sebagai salah satu ujung tombak dalam memberikan pelayanan kepada pasien, penting bagi perawat memiliki kondisi emosi atau perasaan yang positif, salah satunya kepuasan kerja (job satisfaction). Job satisfaction menjadi penting karena ketika individu merasa puas dengan pekerjaan, mereka cenderung akan lebih produktif dan meningkatkan kualitas institusi atau perusahaan (Kusku, 2003). Semakin tinggi job satisfaction yang dimiliki perawat akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien (Ratnamiasih, Govindaraju, Prihartono, dan Sudirman, 2012).

Meningkatnya kualitas pelayanan tidak lepas dari kinerja perawat dalam melayani pasien. Seperti yang dikatakan Yanidrawati (2012) bahwa tingginya kinerja perawat dikarenakan tingginya tingkat job satisfaction pada perawat. Begitu juga sebaliknya, rendahnya kinerja perawat karena rendahnya tingkat job satisfaction pada perawat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yanidrawati (2012) pada perawat di salah satu rumah sakit di Bekasi, terdapat fakta bahwa tingkat job satisfaction pada perawat rendah yaitu sebesar 7,04%

yang berarti mempengaruhi kinerja perawat yang menjadi rendah. Dalam penelitian ini, perawat yang tidak puas atau mengalami job dissatisfaction sebesar 92,96%. Fakta lain menunjukkan bahwa terdapat perawat yang mengalami job dissatisfaction sebesar 60,7% di salah satu rumah sakit di Medan (Aryanti & Arruum, 2012).

Kinerja perawat yang rendah karena mengalami job dissatisfaction dapat berdampak buruk pada pelayanan di rumah sakit. Contoh kasus seperti perawat di RS Siloam Tangerang pada sekitar awal tahun 2015, di mana perawat salah menyuntikkan obat yang akhirnya berujung dengan kematian pasien (www.suarajakarta.co, diakses pada 17 Maret 2017). Kondisi tersebut sangat berdampak buruk bagi pasien maupun pihak rumah sakit, di mana kinerja perawat yang rendah. Hal ini dapat dikarenakan perawat tidak merasa puas dan nyaman dengan pekerjaannya. Selain itu, kepuasan perawat pada pekerjaannya perlu diperhatikan karena job dissatisfaction yang dialami perawat akan berdampak pada komitmen mereka dalam bekerja dan mempengaruhi mereka untuk melakukan turnover (Pathak, 2012). Huffman, Casper, dan Payne (2013) menambahkan ketika para karyawan merasa tidak puas pada pekerjaannya, mereka mungkin lebih mencari jalan keluar dengan tindakan negatif. Jika hasil job satisfaction pada aspek pekerjaan atau organisasi tidak menjadi lebih baik, meninggalkan organisasi akan menjadi pilihan agar mereka merasa lebih puas.

Locke (1976, dalam Huffman, et al., 2013) mendefinisikan job satisfaction sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau positif yang

dihasilkan dari penilaian seseorang pada pekerjaan atau pengalaman kerjanya. Menurut Hulin dan Judge (2003), job satisfaction merupakan respon psikologis seseorang terhadap pekerjaannya. Respon ini ditunjukkan oleh beberapa faktor seperti kognitif (evaluasi terhadap kerja), afektif (kondisi emosional), dan perilaku. Pada penelitiannya, Christen, Iyer, dan Soberman (2006) menemukan bahwa job satisfaction memiliki pengaruh khususnya pada performansi kerja, usaha, dan kepuasan pada struktur kerja.

Job satisfaction penting untuk diteliti, karena job satisfaction merupakan dampak positif dari organisasi berupa sikap dan perilaku positif yang dilakukan karyawan, dalam hal ini perawat. Menjadi suatu keharusan bagi organisasi dalam mengelola pentingnya job satisfaction agar dapat memajukan organisasi (Nikolic, Vukonjanski, Nedeljkovic, Hadzic & Terek, 2013). Melakukan komunikasi internal yang informal merupakan salah satu cara meningkatkan job satisfaction. Pentingnya job satisfaction pada karyawan salah satunya adalah terciptanya efektivitas yang terjadi di dalam organisasi (Robbins & Judge, 2013). Karyawan dengan tingkat job satisfaction yang tinggi akan berusaha melakukan pekerjaannya dengan baik demi kemajuan organisasi dan bersedia untuk bekerja sama tim, daripada karyawan yang memiliki tingkat job satisfaction yang rendah.

Job satisfaction merupakan fenomena yang kompleks dengan banyak komponen yang mempengaruhi. Bormann dan Abrahamson (2014) menjelaskan faktor yang mempengaruhi job satisfaction pada perawat adalah bekerja pada pekerjaannya saat ini, bayaran atau gaji, kesempatan untuk

promosi, supervisi atau atasan, dan rekan kerja. Adanya job satisfaction juga dipengaruhi ketika individu lebih terlibat (engage) dengan pekerjaannya dalam organisasi. Hal ini didukung oleh Saks (2006) yang mengatakan bahwa employee engagement akan mempengaruhi individu mengalami adanya job satisfaction.

Kemudian Cullen, Edwards, Casper, dan Gue (2014) mengatakan bahwa ketika merasakan dukungan yang kuat dari organisasi, kebutuhan sosial-emosi individu terpenuhi dan mereka cenderung menunjukkan perilaku kerja yang lebih positif, termasuk job satisfaction. Adanya relasi dengan supervisor atau atasan serta dukungan yang kuat dari organisasi mempengaruhi karyawan untuk merasakan job satisfaction. Ketika karyawan merasa puas dengan pekerjaannya, mereka akan cenderung menunjukkan performansi yang tinggi kepada supervisor dan juga organisasi. Relasi antara supervisor kepada karyawannya dapat dikatakan unik, di mana adanya timbal balik antara supervisor dan karyawannya akan meningkatkan kualitas relasi yang tinggi yang didasarkan pada kepercayaan, saling menghargai, dan saling menguntungkan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa Leader-Member Exchange (LMX) secara eksplisit merupakan perspektif adanya social exchange theory antara supervisor dan karyawannya.

Leader-Member Exchange (LMX) didefinisikan sebagai kualitas hubungan leaders, supervisor atau atasan dengan bawahan mereka dalam lingkungan kerja dan bagaimana mereka dapat saling mempengaruhi (Erdogan & Enders, 2007). Kemudian Gerstner dan Day (1997) juga menyebutkan

bahwa tingginya tingkat job satisfaction juga dipengaruhi oleh kualitas Leader-Member Exchange (LMX) yang tinggi. Tingginya kualitas relasi supervisor dan karyawannya ini menjadi penting untuk menciptakan kondisi emosional yang positif dan performansi kerja karyawan. Sebagai contoh, dalam review literaturnya, Erdogan dan Enders (2007) menyebutkan bahwa tingginya LMX memberikan keuntungan kepada karyawan dalam bentuk konkrit atau nyata seperti pemberdayaan, peningkatan produktivitas, improvisasi, dan peningkatan gaji, juga keuntungan dalam bentuk tidak konkrit atau nyata seperti komunikasi dengan atasan, dan memiliki hubungan atas dasar percaya. Hal ini membentuk lingkungan yang positif di organisasi, yang menyebabkan job satisfaction pada karyawan menjadi lebih tinggi (Erdogan & Enders, 2007). Sebaliknya, rendahnya tingkat LMX justru akan diikuti juga dengan tingkat job satisfaction yang rendah pada karyawan.

Ozdevecioglu, Demirtas, dan Kurt (2015), mengatakan bahwa sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas LMX yang tinggi mempengaruhi munculnya outcomes positif, seperti performansi pada tingkat yang lebih tinggi (dalam bentuk tugas dan konteks performansi), job satisfaction, komitmen organisasi, organizational trust, loyalitas, organizational citizenship behavior (OCB), dan menurunnya tingkat employee turnover pada karyawan (e.g., Harris et al., 2009; Sparrowe & Liden, 1997; Gerstner & Day, 1997; Morrow et al., 2005). Hal ini yang kemudian diinginkan oleh organisasi karena akan memberikan dampak positif seperti memajukan organisasi. Kemudian, Nicolic, et al. (2013) menyimpulkan bahwa

tingkat LMX yang tinggi mengarah pada penguatan hubungan antara internal communication satisfaction dan job satisfaction. Tingginya tingkat LMX yang tinggi dapat berupa bentuk komunikasi internal yang baik, di mana komunikasi tidak terjadi pada kondisi formal saja melainkan pada kondisi informal juga. Kondisi ini yang berdampak pada perasaan positif pada karyawan seperti job satisfaction.

Dalam review literaturnya, Rockstuhl, Dulebohn, Ang, dan Shore (2012) mengatakan bahwa sebagian besar penelitian mengenai LMX dilakukan berdasarkan konteks budaya barat seperti individualisme dan low power distance. Namun, sebagaimana Anand, Hu, Liden, dan Vidyarthi telah meninjau, LMX yang terjadi di Asia dan bagian lainnya juga dapat dilakukan pada budaya kolektif dan higher power distance (dalam Rockstuhl et al., 2012). Rockstuhl et al. memberikan contoh penelitian bahwa LMX sangat terkait dengan job satisfaction dan mengurangi intensitas turnover di Amerika Serikat (e.g., Pillai, Scandura, & Williams, 1999; Francis, 2010) tetapi, keterkaitan antara LMX dengan job satisfaction lebih rendah di China dan tidak ada kaitannya dengan intensitas turnover di India (e.g., Yi, 2002; Mehta, 2009). Oleh karena itu, menarik untuk diteliti lebih lanjut mengenai keterkaitan antara LMX dengan job satisfaction.

Meskipun telah ditemukan bahwa LMX dapat mempengaruhi job satisfaction secara positif pada karyawan (Gerstner & Day, 1997; Dulebohn, Bommer, Liden, Brouer, & Ferris, 2012), namun Loi, Chan, dan Lam (2014) menjelaskan bahwa hubungan antar variabel ini masih belum ditemukan

dalam beberapa literatur yang ada. Selain itu, pada meta-analisis yang dilakukan Gerstner dan Day (1997) ditemukan bahwa job satisfaction dan performansi merupakan dua variabel yang paling sering diteliti sebagai hasil dari LMX. Dalam meta-analisisnya ini, Gerstner dan Day menyimpulkan bahwa masing-masing hubungan antara LMX dengan job satisfaction dan LMX dengan performansi kerja berbeda-beda, sehingga diperlukan adanya mediator ataupun moderator dalam hubungan tersebut. Maka dari itu, peneliti membutuhkan adanya mediator dalam hubungan LMX dengan job satisfaction.

Berdasarkan perspektif social exchange theory, kualitas LMX yang tinggi dapat menambah motivasi intrinsik karyawan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik, sehingga memungkinkan bahwa karyawan pada kualitas LMX yang tinggi akan menjadi lebih terlibat (engage) dalam organisasi dan pekerjaannya (Breevaart, Bakker, Demerouti, & Heuvel, 2015). Schaufeli, Salanova, Gonzalez-Roma, dan Bakker (2002) mendefinisikan engagement merupakan sikap yang positif, di mana engagement mengacu kepada kondisi kognitif dan afektif yang kuat dan meluas, yang tidak hanya berfokus pada hal-hal tertentu, seperti objek atau perilaku. Engagement ditandai dengan adanya aspek-aspek seperti semangat (vigour), dedikasi, dan absorption. Beberapa penelitian mengatakan bahwa karyawan yang terlibat (engage) lebih mungkin akan menjadi produktif (Saks, 2006) dan tetap setia bekerja pada atasan maupun organisasi (Saks, 2006; Shuck, Reio, & Rocco, 2011).

Saks (2006) mengatakan alasan teoritis yang kuat untuk menjelaskan mengenai employee engagement dapat ditemukan pada social exchange theory. Ketika karyawan memiliki kualitas hubungan yang baik dengan atasan, mereka akan lebih terlibat (engage) serta memiliki sikap, tujuan, dan perilaku yang lebih positif. Individu yang lebih terlibat (engage) dianggap memiliki kualitas hubungan dengan atasan yang baik dan dapat dipercaya, maka cenderung akan menunjukkan sikap dan tujuan yang positif terhadap organisasi (Saks, 2006).

Penelitian yang dilakukan Dhivya dan Sripirabaa (2015) dan Breevaart et al. (2015) membuktikan bahwa adanya korelasi yang positif dan signifikan antara LMX dengan employee engagement. Karyawan yang memiliki kualitas LMX yang tinggi, akan terlibat (engage) dalam melakukan pekerjaan yang bukan menjadi tugas mereka atau di luar dari job description mereka, seperti menolong rekan-rekan kerja yang memiliki beban kerja lebih, atau membantu mengerjakan tugas karyawan yang sedang tidak hadir. Perilaku ini akan menciptakan lingkungan kerja yang saling membantu dan mendukung satu sama lain (Breevaart, et al., 2015). Anitha (2014) menambahkan bahwa employee engagement dipengaruhi oleh kepemimpinan, team, hubungan antar rekan kerja, training, pengembangan karir, dan kompensasi.

Employee engagement merupakan hal penting yang menjadi perhatian utama para atasan dan manajer di organisasi seluruh dunia (Welch, 2011). Mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan elemen penting yang berpengaruh pada efektivitas, inovasi, dan persaingan pada organisasi. Selain

itu, Welch (2011) juga menyebutkan bahwa engagement dipengaruhi oleh komunikasi internal, yang merupakan penerapan dalam organisasi yang secara efektif menyampaikan nilai-nilai organisasi dan melibatkan karyawan dalam mencapai tujuan organisasi. Engagement juga merupakan salah satu indikator utama kesejahteraan pada karyawan dan organisasi (Bakker & Demerouti, 2008).

Karyawan yang engage seringkali memiliki emosi yang positif, seperti bahagia dan antusias, bekerja secara baik, lebih produktif, dan ikut terlibat dengan karyawan lain sehingga meningkatkan performansi kerja tim (Bakker & Demerouti, 2008). Menurut Breevaart, et al. (2015), karyawan yang engage juga memiliki semangat dan antusias yang tinggi, merasa bangga, dan menikmati pekerjaannya.

Karakteristik kualitas LMX yang tinggi adalah adanya timbal balik yang saling menguntungkan antara atasan dan karyawan (Breevaart, et al., 2015). Di sisi lain, Breevaart, et al. (2015) mengatakan bahwa adanya dampak buruk ketika kualitas LMX meningkat dalam konteks performansi kerja. Karyawan memang akan merasa lebih engage ketika mereka memiliki tingkat LMX yang tinggi, karena para atasan membantu mempermudah pekerjaan mereka. Hal ini menyebabkan karyawan merasa dituntut untuk membalas kebaikan atas mereka dengan performansi yang sangat baik pada pekerjaannya. Adanya tuntutan pekerjaan tersebut juga mempengaruhi karyawan untuk lebih engage. Namun di sisi lain, karyawan akan merasa

tuntutan tersebut menjadi beban kerja yang dapat memberatkan dan menjadi sumber stress pada tersebut (Breevaart, et al., 2015).

Meskipun demikian, pada penelitian ini keterkaitan LMX dan employee engagement merupakan hal yang penting. Laschinger dan Leiter (2006) mengatakan bahwa pada konteks perawat, peran atasan merupakan hal yang penting dalam menciptakan kondisi karyawan menjadi lebih engage dan memberi pelayanan yang berkualitas pada pasien. Selain itu, karyawan yang engage akan merasa yakin dan puas dengan pekerjaannya sehingga dapat bekerja secara efektif dan memberikan pelayanan yang layak dan berkualitas pada pasien (Laschinger & Leiter, 2006). Oleh karena itu, penelitian ini menarik perhatian untuk menggunakan employee engagement sebagai mediator.

Karyawan yang engage juga menunjukkan optimisme, sikap positif, dan perilaku proaktif kepada rekan-rekan kerja, serta menciptakan suasana positif dalam tim (Bakker dan Demerouti, 2008). Hal ini menyebabkan adanya job satisfaction karyawan pada organisasi dan lingkungan kerjanya. Penelitian lain yang dilakukan Giallonardo, Wong, dan Iwasiw (2010), ditemukan bahwa engagement, sebagai variabel mediator, secara positif mempengaruhi job satisfaction pada perawat. Pada penelitian ini, salah satu dimensi dari engagement yaitu dedikasi yang kaitannya kuat dengan job satisfaction (Giallonardo et al., 2010). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa karyawan yang terlibat (engage) dengan organisasi dan pekerjaannya, cenderung akan mengalami job satisfaction. Hal ini juga didukung oleh hasil

penelitian yang dilakukan Saks (2006), dimana dijelaskan pengukuran engagement signifikan terhadap job satisfaction. Bahkan employee engagement dapat mempengaruhi job satisfaction.

Maka dari itu, peneliti mengambil employee engagement sebagai variabel yang dapat menjadi mediator dalam hubungan antara Leader-Member Exchange (LMX) dan job satisfaction.

Dokumen terkait