1
Neokolonialisme dan Krisis Global : SWOT Analyses
Pemimpin Muda
“Dalam kepalan tanganmulah masa depan bangsa, wahai pemuda” (Musthofa al-Ghulayaini)
A. PENDAHULUAN
Implementasi praktik neokolonialisme menyebabkan penguasaan sepihak
terhadap sumber hajat hidup orang banyak. Penguasaan ini mengakibatkan adanya
krisis global. Pemimpin muda mempunyai kekuatan (strength) fisik dan mental yang
lebih dibandingkan pemimpin tua, sehingga mampu menghadapi segala peluang
(opportunity) dan ancaman (threat) yang terjadi pada krisis global. Kekuatan fisik
dan mental pemuda pun diharapkan mampu menutupi berbagai kelemahan
(weakness) yang dimiliki oleh pemuda.
Praktik neokolonialisme terlihat jelas pada sistem pemerintahan
korporatokrasi. Negara tidak lagi dalam penguasaan pemerintah namun
tercengkeram dalam kepentingan kaum korporat atau perusahaan besar. Hal ini
berdampak pada pengalihan sumber alam yang hanya terkonsentrasi pada kaum
korporat dan pemerintah tidak lagi mampu melindungi kepentingan khalayak
umum. Sehingga sebagian besar masyarakat mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Akhirnya ketimpangan ekonomi ini akan berakibat adanya krisis
2 Praktik neokolonialisme tidak hanya menjadi penyebab terjadinya krisis
global, namun juga sangat berpengaruh pada cara penyelesaian krisis global. Cara
penyelesaian ini akan cenderung mengurangi subsidi kepada masyarakat miskin.
Sedangkan bantuan lebih diutamakan kepada perusahaan yang mengalami pailit.
Metode ini dilakukan berdasarkan dalih bahwasanya pihak korporat yang akan
menyelesaikan krisis global, sehingga pihak korporat perlu diutamakan dibanding
kepentingan khalayak umum.
Pemimpin muda memiliki berbagai peran strategis untuk menyelesaikan
akar permasalahan terjadinya krisis global yaitu praktik neokolonialisme. Pemimpin
muda diharapkan lebih mampu membendung pengaruh neokolonialisme. Hal
tersebut akan terangkum dalam SWOT (Strength, Weakness, Oportunity, Threat)
Analyses Pemimpin Muda dalam Menghadapi Krisis Global akibat Implementasi
Praktik Neokolonialisme.
B. NEOKOLONIALISME DAN KRISIS GLOBAL
Krisis global disebabkan terutama oleh adanya implementasi praktik
neokolonialisme. Praktik neokolonialisme secara harfiah didefinisikan sebagai neo
(baru), kolonial (penjajah), isme (paham). Secara umum, neokolonialisme berarti
sistem penjajahan bentuk baru. Hal ini dikarenakan sistem penjajahan tidak
dilakukan secara langsung seperti halnya pada zaman kolonial. Penjajahan ini
dilakukan oleh pihak korporat yang menguasai sumber hajat hidup khalayak umum
3 Praktik neokolonialisme hanya mengedepankan sikap hidup yang hedonistik, liberalis dan anti sosial. Hal ini terlihat pada bentuk persaingan bebas (liberal) yang tidak sehat dengan hilangnya kontrol pemerintah dalam mengendalikan persaingan. Persaingan ini akan menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah. Pihak yang menang akan terus berjaya, bersenang-senang (hedonisme) tanpa peduli kepada kesengsaraan pihak yang kalah (anti sosial). Dan sektor publik hanya terkonsentrasi pada pihak yang menang. Sedangkan pihak yang kalah tidak lagi berada dalam tanggung jawab pemerintah (Prasetyo, 2009).
Dengan demikian sebagian besar masyarakat tidak akan menikmati sumber hajat
hidup orang banyak dan selanjutnya akan berdampak pada terjadinya krisis global.
Akar permasalahan terjadinya krisis global adalah praktik
neokolonialisme. Praktik ini menyebabkan sektor publik dikuasai oleh segelintir
kelompok elit (korporat). Segala sektor publik tidak lagi dikelola oleh pemerintah
dan digunakan sebesar untuk kemakmuran rakyat, melainkan dipasrahkan kepada
korporat. Selanjutnya hasil pengelolaan akan dinikmati oleh sekelompok kecil
golongan. Bahkan korporat mampu „membeli‟ kekuasaan pemerintah.
Pemerintah dituntut untuk menyelesaikan permasalahan krisis global.
Tetapi pengambilan kebijakan tersebut seringkali dipengaruhi juga oleh praktik
neokolonialisme. Adanya pengaruh praktik neokolonialisme sama sekali tidak
berpihak pada kemaslahatan masyarakat namun hanya untuk kepentingan korporat.
Hal ini terlihat pada penawaran program International Monetery Fund (IMF)
terhadap permasalahan krisis global di Indonesia, sebagaimana Lembaga Studi
4 Program ini dirancang untuk memotong pengeluaran pemerintah yang terlalu besar, menghentikan laju inflasi dan memperbesar pendapatan untuk membayar hutang luar negeri yang bertumpuk. Untuk menekan pengeluaran, pemerintah antara lain diminta menghentikan subisidi terhadap kebutuhan pokok dan produk minyak, menunda atau membatalkan pembangunan atau bantuan bagi proyek-proyek infrastruktur yang besar. Alokasi untuk gaji dan kesejahteraan pegawai negeri juga dibatasi kenaikannya, yang diiringi pengurangan jumlah pegawai di beberapa tempat. Sebaliknya untuk memperbesar pendapatan, pemerintah mengurangi beban ekonomi biaya tinggi (high-cost economy), membuka Indonesia bagi penanaman modal asing dan perdagangan internasional, menghapus monopoli dan proteksi, baik oleh negara maupun swasta. Pemerintah juga akan menggiatkan sektor pajak, seperti mencabut keputusan bebas pajak untuk beberapa sektor, menetapkan pajak-pajak baru dan bersama IMF, mengadakan penelitian untuk melihat potensi pendapatan dari pajak lainnya. „Reformasi‟ juga terjadi di sector finansial, seperti penyehatan sektor perbankan, pembenahan administrasi pemerintahan, yang secara umum merupakan langkah liberalisasi ekonomi.
Berdasarkan pernyataan tersebut jelas terlihat bahwa cara-cara yang dilakukan oleh
IMF sangat membebani masyarakat dan memberikan kenikmatan kepada para
korporat.
Penyelesaian masalah krisis global lebih memihak pada peningkatan
penanaman modal asing. Hal ini berarti terjadi transaksi penjualan aset negara
kepada korporat. Tindakan ini dilakukan seolah-olah IMF berusaha menyelamatkan
pemerintah yang sedang dililit hutang. Penyelamatan ini melalui pendapatan yang
akan diperoleh pemerintah melalui penanaman modal asing pada aset negara yang
merupakan sektor publik. Dengan demikian sektor publik berada ditangan korporat
dan tidak lagi dinikmati untuk kebutuhan hajat hidup orang banyak. Di sisi lain,
5 mengalami krisis. Bahkan subsidi terhadap pemenuhan kebutuhan pokok dikurangi.
Hal inipun dilakukan dengan dalih bahwasanya pemerintah harus mengurangi
pengeluaran.
Fenomena ini menunjukkan dengan jelas bahwasanya keterlibatan IMF
lebih memegang prinsip neokolonialisme. Solusi yang ditawarkan oleh IMF bersifat
praktis dan tidak substansial. Sebagaimana telah diketahui bahwa substansi masalah
krisis global adalah praktik neokolonialisme, sehingga pemerintah harus lebih jeli
membendung pengaruh neokolonialisme terhadap kebijakan permasalahan bangsa.
Praktik ini akan semakin memperburuk kondisi perekonomian bangsa sejalan
dengan Mujiyanto yang menyatakan sebagai berikut :
Prinsip-prinsip dasar kapitalisme pun dilanggar untuk menutupi kebobrokan yang terjadi. Negara yang semula tidak boleh ikut campur tangan, terpaksa masuk lebih dalam untuk menyelamatkan para pemilik modal dari kebangkrutannya. Itupun tidak bisa menyelesaikan masalah. Saat ini dunia sedang tergelincir dalam dunia krisis. Bahkan pemenang hadiah nobel bidang ekonomi, Joseph Stiglitz, menyatakan krisis keuangan Amerika Serikat -dedengkot kapitalisme- menjalar menjadi krisis keuangan global bahkan lebih buruk dari „Great depression‟ pada era 1930-an. Dia mengatakan, negara-negara yang selama ini meniru sistem Kapitalisme Gaya Amerika harus bersiap-siap menghadapi „kehancuran‟ ekonominya.
C. SWOT ANALYSES PEMIMPIN MUDA
Peran pemimpin pemuda sangat strategis terhadap pencegahan implikasi
neokolonialisme. Pemimpin muda lebih mampu menawarkan solusi penyelesaian
permasalahan krisis global. Hal ini dikarenakan adanya kekuatan yang dimiliki oleh
pemimpin muda. Salah satu persyaratan pemimpin muda sebagaimana pemimpin
6 kriteria yang harus dimiliki oleh para pemimpin muda terpilih. Yakni, mereka harus
berumur di bawah 50 tahun, melakukan karya nyata, memimpin organisasi, dan
memiliki popularitas‟ (dikutip dalam Media Indonesia, 2008).
1. Strength (Kekuatan)
Berdasarkan aspek historis, peran pemimpin muda mengawal
perjuangan Bangsa Indonesia mulai dari kebangkitan nasional pada tahun 1908,
lahirnya sumpah pemuda tahun 1928, hingga proklamasi kemerdekaan tahun
1945. Bahkan peruntuh praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di era orde baru
diperankan oleh pemimpin muda melalui perjuangan reformasi tahun 1998.
Ginanjar kartasasmita, mantan Ketua Bapenas berpendapat :
Kepemimpinan serupa itu sangat sesuai untuk para pemuda, karena ciri pemuda yang dinamis. Kepemimpinan yang dinamis diperlukan oleh masyarakat yang sedang membangun. Apabila dengan bertambahnya usia, kepemimpinan menjadi lebih arif karena bertambahnya pengalaman, namun hal itu bisa dibarengi dengan berkurangnya dinamika. Barangkali itu adalah trade off-nya. Pada lapisan pemimpin-pemimpin muda itulah kita harapkan memperoleh sumber dinamika. Sumber dinamika yang dapat mengembangkan kreativitas, melahirkan gagasan
baru, mendobrak hambatan-hambatan, mencari pemecahan masalah, kalau perlu
dengan menembus sekat-sekat berpikir konvensional.
Sifat dinamis yang dimiliki oleh pemimpin muda tersebut berawal dari
penanaman idealisme sebagi jati diri pemimpin muda. Konsep idealisme yang
dimiliki pemuda mampu memberikan angin segar terhadap penyelesaian
7 Aspek umur sangat terkait dengan kondisi kesehatan yang dimiliki. Hal
ini sejalan dengan Siti dkk yang menyatakan bahwa „secara umum dapat
dikatakan terdapat kecenderungan menurunnya kapasitas fungsional baik pada
tingkat selular maupun pada tingkat organ sejalan dengan proses menua‟. Dan tidaklah dipungkiri bahwa kesehatan berhubungan dengan aktifitas
kepemimpinan. Maka pemimpin muda lebih maksimal menjalankan peran
kepemimpinan dibandingkan pemimpin tua.
Berbagai potensi pemimpin muda tersebut akan lebih mampu menyikapi
praktik neokolonialisme yang sedang menggerogoti sistem pemerintahan.
Kapasitas fungsional yang dimiliki pemimpin muda akan melahirkan sikap yang
dinamis. Sikap ini akan menghasilkan ide-ide yang kreatif dan idealis untuk
menyelesaikan masalah krisis global.
2. Weakness (Kelemahan)
Idealisme yang dimiliki oleh pemuda kadangkala berkebalikan dengan
kondisi realita. Salah satu faktor penyebab adalah kurangnya pengalaman yang
diperoleh pemuda. Namun tidaklah dipungkiri bahwasanya faktor pengalaman
seringkali membatasi ruang gerak untuk penyelesaian masalah. Berbagai
kekuatan yang dimiliki oleh pemuda diharapkan mampu meminimalisir faktor
kelemahan ini. Sebagaimana David L. Cooperrider menyarankan agar setiap
manusia lebih mengembangkan faktor kekuatan dan tidak terlalu terkekang
dengan kelemahan yang ada. Selain itu faktor kelemahan ini dapat diminimalisir
melalui peluang (Opportunity) yang dimiliki pemimpin muda.
8 3. Opportunity (Peluang)
Pengembangan potensi kepemimpinan pemuda bisa dilakukan
melalui berbagai wadah. Ginanjar kartasasmita memaparkan beberapa wadah
yang mampu mengembangkan potensi tersebut yaitu „Organisasi-organisasi
kemasyarakatan, termasuk organisasi kepemudaan,
organisasi-organisasi profesi, organisasi-organisasi-organisasi-organisasi fungsional merupakan wadah yang tepat
untuk membangun kepeloporan dan kepemimpinan seperti yang diharapkan‟.
Berbagai macam wadah tersebut diharapkan mampu memberikan peluang bagi
pemimpin muda untuk mengembangkan potensi.
Peluang kiprah politik yang diperoleh secara dini akan
memberikan banyak pengalaman bagi pemimpin muda, sehingga mampu
meminimalisir kelemahan pemimpin muda. Pengalaman ini akan menghasilkan
aksi nyata terhadap penyelesaian masalah krisis global. Selain itu, kepeloporan
pemimpin muda akan juga didapat lebih cepat. Masyarakat tidak hanya
mengenal kiprah pemimpin tua namun juga bisa mengakui keberhasilan peran
yang dijalankan oleh pemimpin muda.
Adyaksa Dault, Menteri Pemuda dan Olah Raga mengatakan
pemimpin harus memiliki kendaraan politik berupa partai politik. “Tanpa parpol, sulit masuk wilayah politik dan menjadi pemimpin,” (dikutip dalam
Media Indonesia, 2008). Partai politik merupakan wahana perjuangan yang
ideal untuk dilakukan. Partai politik khususnya partai oposisi diharapkan
9 dilakukan oleh pemerintah khususnya kebijakan yang dipengaruhi praktik
neokolonialisme.
4. Threat (Ancaman)
Salah satu ancaman yang dimiliki oleh pemimpin muda adalah
berkurangnya kesempatan untuk dalam kancah perpolitikan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Yudi Latif selaku pemimpin redaksi Majalah Biografi politik
yang berpendapat „Terlalu banyak pemimpin yang ada, tapi perkembangan tokoh muda kurang. Padahal arus sungai regenerasi seharusnya tak boleh
berhenti‟ (dikutip dalam Media Indonesia, 2008).
Budaya senioritas harus dihapuskan dalam sistem pemerintahan.
Pemimpin tua seharusnya menyadari adanya kedatangan pemimpin muda yang
lebih potensial. Adanya prioritas pemimpin muda dalam pemerintahan akan
memberikan angin perubahan. Pemimpin muda dengan segala kekuatan yang
dimiliki akan lebih mampu menyelesaikan permasalahan krisis global yang
diakibatkan praktik neokolonialisme.
Implikasi praktik neokolonialisme tidak dapat dimusnahkan dengan
mudah. Pemusnahan ini lebih ideal dilakukan oleh pemimpin muda yang memiliki
kekuatan (Strength) dan Peluang (Opportunity). Apabila praktik neokolonialisme
ini mampu dimusnahkan, krisis global akan bisa diatasi.
10 D. KESIMPULAN
1. Praktik neokolonialisme merupakan akar permasalahan adanya krisis global
2. Kendali sistem pemerintahan oleh pemimpin muda akan mampu membendung
praktik neokolonialisme.
3. Pemimpin muda memiliki kekuatan (Strength) dan peluang (Opportunity) yang
mampu meminimalisir kelemahan (Weakness) dan Ancaman (Threat)
DAFTAR PUSTAKA
ELSAM, Lembaga Studi Advokasi dan Masyarakat. 1998. INDONESIA DALAM
KRISIS, TIDAK REFORMASI, TANPA HAK ASASI MANUSIA. Jakarta.
Jaludin J. 2008. Pemerintah diuntungkan Krisis Dunia. MEDIA INDONESIA. 17
Desember 2008.
Kartasasmita G. 1997. Kepeloporan dan Kepemimpinan: Peran Pokok Pemuda
dalam Pembangunan. Disampaikan dalam peluncuran buku “Peran Pemuda
Menuju Indonesia Sesuai Cita-cita Proklamasi 1945”. Jakarta. 3 Maret 1997
Mujiyanto. 2008. Tinggalkan Sistem Kapitalisme. HIZBUT TAHRIR INDONESIA.
30 Desember 2008. pp: 1-5
Prasetyo AP. 2009. Implikasi Praktik Neokolonialisme dalam Globalisasi Terhadap
Stress dan Penuaan Dini. Fakultas Kedokteran UNS Solo.
Setiati S, Harimurti K, Roosheroe A. 2007. „Proses Menua dan Implikasi Kliniknya‟. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III edisi IV. Pusat